80s toys - Atari. I still have
www.ofekelana.wordpress.com
Di Baca 662 Kali Oleh Pengunjung
Kemelut Di Mojopahit   Jilid 01   "Ibunda, haruskah kita meninggalkan semua ini dan pergi melarikan diri? Apakah tidak ada jalan lain, ibu...?" dara yang sedang remaja itu dengan suara nelangsa berkali-kali bertanya kepada ibunda.   "Ibu, kenapa kita tiba-tiba menjadi penakut-penakut seperti ini? Kalau ada bahaya mengancam, apakah kita tidak mendapat perlindungan dari Gusti Adipati Ronggo Lawe yang terkenal bijaksana itu?" Adik dara itu, seorang anak laki-laki yang usianya kurang lebih sepuluh tahun, bertanya dengan dada dibusungkan. "Dan tidakkah kita seharusnya membela diri dengan gagah perkasa seperti mendiang ayah?"   Ibu mereka yang sedang mengajak kedua orang anaknya itu berkemas, menarik napas panjang, lalu memberi isyarat kepada dua orang anaknya untuk mengikutinya masuk ke dalam bilik, di mana dia lalu duduk di atas pembaringan dan dua orang anaknya itu berlutut di atas lantai depan ibu mereka yang kelihatan gelisah dan bersungguh-sunguh sehingga mereka berdua ikut menjadi khawatir.   Ibu itu berusia kurang dari empat puluh tahun, masih cantik sekali biar pun pakaiannya sederhana saja. Kulitnya kuning langsat dan wajahnya masih kelihatan segar dan belum ada keriput merusak kulit mukanya. Dia kelihatan gelisah dan pandang matanya seperti mata seekor kelinci ketakutan, sering kali memandang ke arah pintu kamar itu seolah-olah setiap saat akan muncul mara bahaya dari pintu itu. Kalau dia memandang kedua orang anaknya, alisnya berkerut karena sesungguhnya mereka gelisah, terutama kalau dia melihat anak perempuannya. Janda Galuhsari merasa dadanya seperti ditusuk. Dia tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri, akan tetapi dia khawatir sekali kalau-kalau malapetaka menimpa kedua orang anaknya.   Lestari, dara remaja itu, memandang kepada ibunya dengan wajah agak pucat. Pekerjaan berkemas tadi, yang dilakukan dengan pengerahan sedikit tenaga, membuat rambutnya yang ikal mayang agak kusut dan beberapa ikal rambut didahi berjuntai dan melingkar ke bawah, juga di depan kedua pelipisnya. Beberapa kali jari-jari tangannya yang kecil meruncing itu menyibakkan anak rambut yang menggelitik, akan tetapi anak-anak rambut yang nakal itu terjuntai kembali ke atas dahi dan pipinya yang berkulit halus dan tipis. Sepasang matanya jeli bersinar-sinar seperti bintang senja, dihias bulu mata yang panjang lentik dan lebat sehingga membentuk garis menghitam di sekeliling matanya, dilindungi oleh sepasang alis yang kecil panjang hitam melengkung seperti dilukis. Hidungnya kecil mancung, cuping hidungnya tipis dan mudah tergetar, serasi sekali dengan sebuah mulut yang memiliki daya tarik paling kuat. Mulut yang manis dan indah, dengan bibir yang penuh dan tiipis, merah basah seperti buah tomat matang yang membuat orang ingin sekali mengigitnya. Di balik sepasang bibir yang agak terbuka ketika dia memandang ibunya itu mengintai deretan gigi putih mengkilap, rata dan menjadi lebih indah karena dipangur (dipasah) dan samar-samar nampak ujung lidah merah kecil menempel di antara dua deretan gigi yang agak terbuka. Sukarlah melukiskan keindahan dara remaja ini, cantik jelita dan seperti setangkai bunga yang sedang mekar, harum semerbak mengandung sari madu berlimpah-limpah dalam usianya yang lima belas tahun itu.   Sutejo, adiknya yang baru berusia sepuluh tahun, telah membayangkan sikap gagah seorang kesatria. Tarikan dagunya yang meruncing, mulut yang tidak cengeng, sepasang mata yang bersinar-sinar penuh keberanian, serupa benar dengan mendiang ayahnya, seorang perwira yang digdaya dan perkasa, Lembu Tirta yang terkenal sebagai seorang di antara benteng-benteng Mojopait, yang membantu perjuangan Raden Wijaya yang kini telah menjadi Raja Mojopait pertama bergelar Sang Prabu Kertarajasa Jayawardana. Anak laki-laki ini baru berusia tiga tahun ketika ayahnya gugur di medan perang, akan tetapi karena seringnya dia mendengar penuturan ibunya tentang kegagahan ayahnya itu sehingga kini melihat ibunya ketakutan dan hendak melarikan diri, dia merasa penasaran sekali.   Sambil membelai rambut puterinya dan merangkul leher puteranya, janda Galuhsari berkata lirih, “Tari, tidak perlu engkau menyayangkan semua harta milik kita yang tidak berapa banyak ini. Apakah artinya harta kalau jiwa raga kita terancam bahaya? Yang terpenting adalah menyelamatkan jiwa raga yang sekali hilang tak dapat kita cari lagi, sebaliknya, harta benda dapat dicari setiap saat, anakku. Dan kau, Tejo, jangan salah mengerti. Kita bukanlah penakut, ibumu tidak sudi mencemarkan nama besar ayahmu dengan menjadi penakut. Juga kita boleh percaya akan kebijaksanaan dan keadilan Sang Adipati Tronggo Lawe. Akan tetapi…..bahaya yang mengancam kita kiranya tidak akan dapat ditolong oleh sang adipati.“   Janda yang masih nampak muda dan cantik itu kembali memandang ke pintu dengan gelisah. “Kita harus melarikan diri malam nanti, tidak boleh ditunda-tunda lagi…..“   “Akan tetapi mengapakah, ibu? Bahaya apakah yang mengancam kita?“ Lestari bertanya, kini mulai ikut gelisah dan juga memandang ke pintu.   “Ibu, siapa yang akan berani menganggu kita, keluarga mendiang Lembu Tirta?“ Sutejo berkata sambil mengepal tinjunya yang kecil.   “Tidak perlu kalian tahu akan hal itu, anak-anakku. Yang penting kalian ketahui adalah bahwa terdengar olehku adanya berita angin bahwa Kadipaten Tuban nampaknya bersiap-siap hendak memberontak Mojopahit. Dan aku tahu benar bahwa kekalutan ini tentu akan dipergunakan kesempatan baik oleh musuh besar kita.“   “Siapa dia, ibu?“ Lestari dan Sutejo bertanya hampir berbareng.   “Dia….. Progodigdoyo…..“   “Sang panewu…..?“ Lestari bertanya dengan matanya yang lebar jeli itu terbelalak.   “Kenapa dia musuh besar kita, ibu?“ Sutejo juga bertanya.   “Sebelum kita menghadapi bahaya, sebaiknya kalau kuceritakan kepada kalian, anak-anakku. Siapa tahu ……, segera terjadi perang dan mungkin kita akan cerai-berai ….. “   “Ah, ibu……!“ Lestari ngeri membayangkan kemungkinan itu. Akan tetapi adiknya hanya memandang kepada ibu mereka, sinar matanya tajam menuntut penjelasan.   “Kalian tentu tahu bahwa Panewu Progodigdoyo masih terhitung sanak dengan sang adipati, karena dia adalah keponakan dari ibu Gusti Adipati Ronggo Lawe. Karena itu, kekuasaannya tinggi, apalagi dia diangkat sebagai penewu yang mengepalai pasukan besar. Sebaliknya, ibumu hanya seorang janda, dan kita tidak apat berbuat sesuatu. Memusuhi dia sama artinya seperti ketimun melawan duren, akan hancur sendiri kita.“   “Ibu, ceritakan apa yang terjadi dan apa yang dilakukan oleh Panewu Progodigdoyo!“ Sutejo menuntut, suaranya penuh desakan dan penasaran.   “Semenjak belasan tahun yang lalu, Perwira Lembu Tirta, mendiang ayah kalian, dan Perwira Progodigdoyo di samping perwira-perwira lain termasuk Gusti Adipati Tuban, adalah pembantu-pembantu Gusti Prabu Kertarajasa Jayawardhana yang dahulu masih bernama Raden Wijaya. Mereka semua berjuang bahu membahu sebagai rekan-rekan yang saling setia. Akan tetapi, sejak…..mendiang ayah kalian menikah dengan ibumu...terjadi keretakan antara ayah kalian dengan Progodigdoyo...“   “Kenapa, ibu?“ Lestari bertanya ketika mendengar suara ibunya terputus-putus.   “Ahhhh…..,ibumu yang menjadi sebab anak-anakku. Progodigdoyo mencinta ibumu, akan tetapi aku memilih Perwira Lembu Tirta.“   Lestari dan Suteja saling pandang, kemudian mereka memandang lagi kepada ini mereka, janda Galuhsari yang menarik napas panjang.   “Kemudian delapan tahun yang lalu, dalam sebuah peperangan, ketika mendiang ayah kalian dan Progodigdoyo sedang bertempur melawan musuh bahu membahu, tiba-tiba dari samping Progodigdoyo bertindak curang dan khianat, ayahmu diserang dengan keris dan ditusuk lambungnya sehingga roboh“   “Ihhh…..!“ Lestari menjerit dan terisak.   “Si keparat Progodigdoyo!!“ Sutejo mengepal tinju dan sepasang matanya yang amat tajam itu bersinar-sinar.   “Sstttt…., jangan berteriak seperti itu, tejo. Sudah kukatakan, kita tidak berdaya dan rasa pensaran ini harus kita kubur saja di hati.“   Hening sejenak di balik itu. Sutejo masih berdiri mengepal tinju, Lestari masih terisak dan memeluk paha ibunya, sedangkan janda galuhsari duduk termenung memandang kosong ke depan.   "Bagaimana ibu bisa tahu apa yang terjadi di medan perang itu?" Tiba-tiba Sutejo bertanya, pertanyaan yang menunjukkan kecerdikan seorang anak berusia sepuluh tahun.   “Ayahmu yang tersangka telah tewas oleh Progodigdoyo itu ternyata masih kuat untuk merangkak pulang dan dia mati di dalam pelukanku, masih kuat menceritakan penghianatan Progodigdoyo.“   “Kenapa ibu tidak melaporkan kepada gusti adipati, atau kepada sang prabu?“ Lestari berkata penuh penasaran.   “Hemm, siapa yang akan percaya, anakku? Aku mengkhawatirkan keadaan kalian berdua yang masih kecil, maka aku diam saja, pura-pura tidak tahu karena kalau aku memusuhinya, kita semua akan celaka. Apa lagi karena Progodigdoyo adalah saudara sepupu Gusti Adipati Ronggo Lawe.“   “Ibu penakut!“ Tiba-tiba Sutejo berteriak, mukanya merah dan matanya melotot memandang ibunya.   Janda Galuhsari terkejut dan menangis. “Kalian tidak tahu…..betapa hebat aku menderita…..betapa Progodigdoyo selama ini berusaha untuk membujukku, untuk mengambil aku sebagai selir, dengan janji-janji muluk namun aku….. aku selalu menolak dan memperahankan diri…..tanpa berani menyebut-nyebut peristiwa itu…..dia sudah mengancam akan tetapi agaknya belum memperoleh kesempatan baik. Sekarang…..ada beriat bahwa Tuban akan memberontak terhadap Mojopahit, hal ini berbahaya sekali, tentu dia akan mempergunakan kesempatan selagi keadaan kalut untuk melaksanakan ancamannya, yaitu memaksaku. Maka lebih dulu kita harus menyingkir, minggat ke daerah Mojopahit…..“   Sejenak suasana hening sekali, yang terdengar hanya langkah-langkah halus janda Galuhsari yang mulai menyalakan lampu-lampu karena cuaca mulai gelap. Kemudian janda cantik itu duduk lagi dan merangkul Sutejo yang kelihatan masih marah, mencium dahi puteraanya itu. “Tejo ibumu bersabar dan menahan segala derita demi untuk keselamatan engkau dan mbakyumu. Kalau tidak ada kalian, apakah kau kira ibu masih suka hidup menderita seperti ini? Lebih baik menyusui ayah kalian.“   “Ibu….!“ Tejo dan Lestari berteriak dan merangkul ibu mereka. Bertangisanlah tiga orang itu dan akhirnya janda Galuhsari dapat menenangkan mereka.   “Aku menjadi isteri ayah kalian karena kami saling mencinta, dan dengan cinta kasih segala apa pun dapat diatasi dan dihadapi, anak-anakku. Selain itu, ibu masih teringat akan wejangan-wejangan mendiang kakek kalian, yaitu ayahku yang menjadi pertapa, oleh karena itu, aku tidak menaruh dendam kepada Progodigdoyo. Dendam menimbulkan kebencian bersemi di dalam hati, maka hidup akan merupakan penderitaan karena kita tidak akan dapat mengenal cinta kasih.“   “Apa maksudmu, ibu?“ Lestari bertanya. “Mengapa kita tidak boleh membenci? Tentu saja kita membenci orang yang jahat kepada kita dan mencinta orang yang baik kepada kita, ibu.“   Kembali janda Galuhsari menarik napas panjang. “Kelak kalian akan mengetahui sendiri, anak-anakku, akan tetapi selagi masih ada waktu, biarlah kalian mendengar wejangan mendiang kakekmu tentang cinta kasih murni.“   Maka terdengarlah nyanyian yang lirih namun merdu dari mulut yang menyanyikan tembang Sinom. Kesunyian malam itu dipecahkan suara lembut yang menggetar penuh penasaran dan yang menyusup ke dalam kalbu dua orang anak yang mendengarkan dengan hati terharu itu.   “Cinta kasih tidak akan dapat terujud apabila lima macam penonjolan diri ini berkuasa : Loba, ialah ketamakan, Selalu merasa kurang, Moha, gla hormat, selalu Merasa benar sendiri, Murka, Mudah marah dan banya Membenci, Himsa, suka menyiksa dan membunuh, Matsarya, iri hati dan suka mencela Orang lain. Betapa indah dan agungnya cinta ksih, tanpa cinta kasih, hidup menjadi kering dan gersang!“   Suasana menjadi sunyi hening ketika tembang itu habis dinyanyikan, akan tetapi hanya sebentar saja karena segera terdengar suara kasar dari luar pintu, “Ha, ha, ha, betapa tepatnya nyanyianmu itu, Galuhsari! Agaknya engkau sengaja menyambutku dengan nyanyian itu, ha-ha-ha!“   Janda yang cantik itu menahan jeritnya dengan punggung tangan kanannya, sedangkan Lestari memeluk pinggang ibunya dengan muka ketakutan ketika ibunya bangun berdiri dari tempat tidur. Sutejo membalikkan tubuhnya dan dengan kedua tangan terkepal dia memandang laki-laki tinggi besar berkumis panjang melintang yang telah berdiri di ambang pintu. Seorang laki-laki yang sikapnya gagah dan kasar, selain tubuhnya tinggi besar dan kumisnya panjang melintang di atas mulut seperti kumis Gatotkaca, juga pakaiannya sebagai seorang panewu itu membuatnya kelihatan rapi dan gagah. Seorang bangsawan yang berwibawa. Hidungnya besar membengol, ciri seorang laki-laki yang di kuasai hawa nafsu birahi yang besar dan matanya lebar tak megenal takut. Inilah Panewu Progodigdoyo yang sejak muda menjadi seorang prajurit yang pilihannya, gagah perkasa dan sakti, masih saudara sepupu, juga kepercayaan Adipati Ronggo Lawe di Tuban.   Melihat munculnya panewu yang baru saja mejadi bahan percakapannya dengan kedua orang anaknya, muka janda Galuhsari menjadi pucat sekali. Tak disangkanya bahwa musuh besar itu akan secepat itu muncul di dusun Kembangsari, yaitu tempat tinggalnya yang berada di sebelah selatan Tuban, akan tetapi masih termasuk Kadipaten Tuban. Dusun ini adalah dusun kampung halaman mendiang suaminya, sebuah dusun yang kecil saja namun karena berada di lereng pengunungan.   Ha-ha-ha, engkau makin cantik saja Galuhsari. Dan tembangmu tadi memang tepat. Hidupku kering dan gersang karena rinduku kepadamu. Galuhsari, setelah menanti selama delapan tahun, untuk yang terakhir kalinya aku datang sendiri meminangmu, manis! Lihat, tidak kasihankah engkau kepada puterimu yang sudah remaja ini, cantik jelita seperti ibunya. Dan lihat, puteramu yang masih kecil ini begitu gagah, mengingatkan aku kepada ayahnya, yaitu kakang Lembu Tirta. Mari engkau ikut dengan aku ke kadipaten dan anak-ankmu akan menjadi anak-anakku, terhormat dan hidup mulia.   Tidak sudi aku!! Bentakan nyaring ini keluar dari mulut Sutejo yang berdiri tegak memandang Panewu Progodigdoyo tanpa rasa takut sedikit pun.   Engkau mendengar itu, Progodigdoyo? itulah suara mendiang kakangmas Lembu Tirta melalui mulut anak kami, dan juga menjadi suara hatiku. Engkau tahu bahwa aku tidak mau menikah dengan siapa pun, maka tiggalkanlah kami, Progodigdoyo, biarkan aku menjanda selama hidup mendidik sendiri anak-anakku.   Tanpa diundang, Progodigdoyo lalu duduk di atas kursi di bilik itu, dan memandang kepada ini dan dua orang anaknya yang kini duduk di atas pembaringan. Matanya sejak tadi memandang dan menjelajahi wajah dan bentuk tubuh janda itu, kadang-kadang menelan ludah dan kalamenjing di keringkonangnya bergerak-gerak kalau matanya tiba di bagian-bagian tubuh yang membangkitkan birahinya, sinar matanya seperti membelai dan mengelus-elus tubuh janda itu,   Galuhsari, kenapa sampai sekarang engkau masih bersikeras dan tega sekali engkau merusak hatiku? Aku kesepian, Galuh, aku rindu padamu&..   Jangan berkata begitu, Panewu Progodigdoyo, bukankah di rumahmu telah ada isterimu dan para selirmu?   Ha-ha-ha, mereka itu kelihatan seperti sampah di waktu aku memandangmu. Kecantikan mereka dibandingkan dengan engkau seperti bintang-bintang berjajar bulan purnama! Ingat, Galuhsari, aku cinta padamu, aku kasihan kepadamu dan sudah sepatutnya kalau aku yang melindungi janda kakang Lembu Tirta, mengingat betapa kami seperti saudara sekandung. Kakang Lembu Tirta tentu akan rela melihat bekas istrinya menjadi kekasihku yang tercinta&..   Bohong! Ayah tidak rela karena engkau telah membunuhnya! Tiba-tiba Sutejo berteriak dan panewu itu sampai terloncat dari tempat duduknya mendengar ini. Lengannya yang panjang bergerak dan tangan kanannya sudah mencengkeram pundak Sutejo dan ditariknya anak itu ke dekatnya.   Apa kau bilang? bentaknya.   Panewu Progodigdoyo&..jangan kau ganggu anakku&.! Janda Galuhsari menjerit sambil menubruk maju, memegang lengan puteranya dan menariknya. Terjadi tarik menarik sebentar, kemudian tiba-tiba Progodigdoyo melepaskan cengkeramannya sehingga tubuh anak itu terlepas dan Galuhsari hampir jatuh, terhuyung ke belakang sambil memeluk Sutejo dan terjatuh duduk di atas pembaringan dipeluk oleh Lestari yang menangis. Akan tetapi Sutejo tidak menangis, hanya memandang panewu itu dengan mata terbelakak penuh kebencian.   Panewu Progodigdoyo menantap wajah janda itu dengan mata mendelik dan sinar mata penuh selidik, kemudian dia berkata, suaranya lirih akan tetapi mengandung ancaman mengerikan, "Galuhsari, jadi selama ini engkau tahu..."   Janda itu mengangguk. “Sebelum meninggalkan dunia karena kecuranganmu, dia masih kuat merangkak pulang..." lalu ia terisak.   Progodigdoyo kelihatan terkejut dan juga tidak enak hati, akan tetapi rasa malu karena kecurangannya itu bukan membuat dia mundur, bahkan membuat hatinya yang sudah dibikin keruh oleh nafsu itu semakin nekat. “Kalau begitu, ketahuilah bahwa apa yang kulakukan dahulu itu adalah demi cintaku kepadamu, Galuhsari! Maka, mau tak mau engkau menjadi milikku.“   “Keparat hina!“ Sutejo tiba-tiba memaki dan seperti seekor harimau kecil anak ini menerjang ke depan, kepalan tangannya yang kecil itu emukul ke arah perut panewu itu. Tentu saja sang panewu dengan amat mudahnya menangkap kedua tangan Sutejo yang meronta-ronta dengan sia-sia.   “Progodigdoyo, lepaskan anakku dan pergilah! Kalau tidak, aku akan menjerit dan menyerahkan seluruh penduduk dusun Kembangsari sudah dikepung oleh pasukanku, siapa yang akan berani melawan dan memberontak?“   “Kembalikan anakku!“   Akan tetapi Progodigdoyo yang kini mklum bahwa rahasiannya membunuh Lembu Tirta sudah ketahuan dan bahwa putera dari Lembu Tirta ini kalau dibiarkan hidup kelak hanya akan membikin repot saja, lalu memanggil pembantunya, “Klabang Curing ke sinilah!“   Dari luar pintu berkelebat bayangan orang dan tampaklah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi kurus dan begitu masuk, dia mengerling ke arah janda cantik itu dan anak daranya sambil tersenyum-senyum.   “Bawa anak ini ke dalam hutan dan...“ Progodigdoyo memberi isyarat dan hanya Klabang Curing saja yang maklum bahwa dia disuruh membunuh anak laki-laki itu di dalam hutan, atau jelasnya, anak itu harus dibunuh tanpa diketahui ibunya.   “Baik, kakang Panewu,“ katanya sambil tertawa dan suara ketawannya makin keras ketika Sutejo berusaha meronta-ronta dan melepaskan diri ketika kedua lengannya dipegang oleh orang tinggi kurus itu dan tubuhnya diseret keluar.   “Kembalinya anakku!“ Jerit janda Galuhsari sambil menangis.   Dari luar Sutejo yang masih meronta-ronta itu dapat mendengar semua suara di dalam bilik, karena Klabang Curing sambil tersenyum-senyum menyeringai agaknya ingin pula mendengarkan maka dia belum meninggalkan tempat itu.   Sutejo mendengar ibunya menangis, juga tangis kakaknya, Lestari. “Kau bunuh saja aku, akan tetapi kembalikan anakku…..“ Ibunya meratap.   “Ha-ha, anakmu itu tidak apa-apa, dan anakmu yang manis itu pun tidak akan diganggu kalau kau menyerahkan diri dengan baik-baik kepadaku, Galuhsari. Ke sinilah, manis, sudah tiba saatnya kau menghentikan sikap bermusuh itu padaku. Aku cinta padamu dan sudah delapan tahun aku menahan rinduku kepadamu.“   “Tidak……,tidak…..!“   Hening sejenak, kemudian Sutejo menengar jerit kakaknya. Lestari menjerit dan disusul lengking ibunya. “Progodigdoyo….apa….apa yang hendak kau lakukan?“ terdengar ibunya memekik di antara tangisnya.   “Kalau kau berkeras tidak mau, kau lihatlah betapa aku memaksa anakmu menggantikan engkau melayani aku…..“   “Jangan…..ahhh…..lebih baik kau bunuh aku…..kau boleh siksa aku…..akan tetapi jangan kau ganggu Lestari…..“ Ibunya meratap dan Sutejo meronta-ronta dan berteriak-teriak. Klabang Curing yang takut kalau-kalau ketahuan oleh atasannya bahwa dia pun ikut mendengarkan dengan asyik, cepat mendekap mulut anak itu sehingga Sutejo meronta-ronta akan tetapi tidak mampu melepaskan diri dari jari-jari tangan yang kuat itu.   “Nah, bagaimana?“ terdengar Progodigdoyo mengancam. “Anakmu, atau engkau yang menyerah dengan suka rela?“   Sutejo mendengar ibunya merintih, “…..sesukamulah…..asal kau jangan menggangu anakku…..“ Selanjutnya ia mendengar suara Progodigdoyo tertawa girang dan mendengar rintihan ibunya yang menahan tangis, diselingi tangis dan isak Lestari yang terdengar penuh perasaan takut dan ngeri.   “Heh-heh, hebat memang kakang Progodigdoyo…..“ Klabang Curing tertawa lalu menyeret tubuh Sutejo dari tempat itu, meniggalkan rumahnya dan dusun Kembangsari, terus menyeret tubuh anak itu ke arah hutan yang gelap.   Sutejo berhenti meronta dan Klabang Curing melepaskan lengan kanan anak itu, hanya memegangi tangan kirinya sambil terus menarik.   “Paman…..aku hendak dibawa ke manakah?“ Sutejo bertanya, suaranya penuh rasa penasaran, akan tetapi sedikit pun dia tidak merasa takut, dan diam-diam tangan kanannya meraba-raba ke pinggangnya. Di situ terselip sebatang keris yang tadi dibawannya ketika ibunya berkemas, Keris itu adalah keris peninggalan ayahnya, sebatang keris yang bernama Nogopusoro, keris pusaka yang selama berada di tangan mendiang Senopati Lembu Tirta telah minum darah entah berapa banyak lawan sehingga selain beracun, juga keris itu mempunyai wibawa menyeramkan.   “Hendak dibawa ke mana? Ha-ha-ha, ke mana lagi kalau tidak ke neraka?“ Klabang Curing terbahak. “Salahnya ibumu yang tidak tahu bahwa sang panewu tergila-gila kepadanya….,ha-ha-ha!“ Klabang Curing tertawa sambil mengangkat mukanya ke atas sehingga tidak tahulah dia betapa anak kecil itu telah mencabut keris Nogopusoro yang sudah berkarat oleh darah lawan.     “Cepp….!Aughhhh…..!“ Klabang Curing adalah seorang panglima yang memiliki kedigdayaan, biar pun lambungnya tertusuk keris karena dia tadi sama sekali tidak menduganya, namun dia dapat sempat mengerahkan tenaga kekebalannya sehingga keris itu tidak masuk lebih dalam lagi. Apa pula karena tenaga Sutejo memang tidak besar. Sambil mengerahkan tenaga ke lambungnya, Klabang Curing memaki, “Anak setan!“ dan kakinya menendang.   “Dessss….!“ Keris itu tercabut dari lambungnya ketika tubuh anak kecil itu mencelat sampai beberapa tombak jauhnya. “Setan cilik, kupatahkan batang lehermu ….. ahhhh!“ Klabang Curing yang meloncat hendak menubruk anak itu roboh terguling dan pingsan karena keampuhan keris Nogopusoro yang telah melukai lambungnya tadi.   Sutejo yang masih memegang keris di tangan, merasa kepalanya pening ketika dia terbanting jatuh, akan tetapi melihat musuhnya roboh, dia cepat menyimpan keris ayahnya dan bangkit berdiri, lalu berlari kembali menuju ke dusun Kebasari sambil membayangkan malapetaka yang mengancam ibunya dan kakaknya.   “Ibuuuu…..!“ Dia menjerit dan berlari terus dalam kegelapan malam. Masih hidupkah ibunya dan kakaknya? Sudah terlalu lama dia diseret oleh Klabang Curing tadi, hampir satu jam lamanya. Akan terlambatkah dia?   Dengan berindap-indap dan menyusup-nyusup karena melihat ada beberapa orang penunggang kuda menjaga di sekeliling rumah dan dusun, dia akhirnya berhasil memasuki rumah ibunya dari pintu belakang. Segera dia menyelinap mendaki kamar ibunya dan mengintai, tidak berani masuk secara sembrono karena dia mendengar suara di dalam. Dilihatnya ibunya berdiri di dekat pembaringan, rambutnya yang hitam panjang sampai ke pinggul itu terurai lepas dan hanya mengenakan tapih pinjung (kain yang dililitkan ke tubuh sampai ke dada), memandang kepada Panewu Progodigdoyo yang tersenyum-senyum sambil mengenakan lagi jubahnya.   “Progodigdoyo!“ ibunya membentak dan tangan kirinya memeluk Lestari yang menangis dengan muka pucat dan menyembunyikan mukanya ke dada ibunya “Engkau tadi berjanji tidak akan mengganggu anakku kalau aku mau menyerahkan diri kepadamu. Akan tetapi…..apa yang kau katakan tadi? Kau tidak boleh membawa Lestari…..!“   “Ha-ha-ha, Galuhsari, aku salah sangka tentang dirimu. Aku kecewa…..ternyata engkau sudah terlalu tua. Maka biarlah aku tidak jadi membawamu, dan sebagai gantinya anakmu ini akan kupersunting menjadi selirku. Dia cantik seperti engkau, akan tetapi dia masih muda dan segar, sedangkan engkau…..sayang, kau terlalu tua…..“   “Jahanam busuk!“ Janda itu memaki dengan jerit melengking saking marahnya. Dia telah mengalami penghinaan besar, menyeraahkan diri dan diperkosa di depan puterinya sendiri, hal yang dilakukan dengan hati berdarah demi keselamatan puterinya. Akan tetapi yang didapatkannya sebagai imbalan pengorbanan hebat ini hanya penghinaan yang menyakitkan hati, dan puterinya tetap saja akan dibawa oleh musuh besar itu.     “Hemmm, perempuan tua, jangan banyak lagak engkau. Lebih baik kau serahkan anakmu itu menjadi selirku dan engkau boleh menjadi pelayan di rumahku, kalau engkau masih ingin selamat. Siapa tidak tahu bahwa engkau hendak melarikan diri, hendak memberontak terhadap Tuhan?“   Kemarahan Galusari mencapai puncaknya. “Manusia berhati iblis…..! Dia memaki dan menyambar lampu di atas meja lalu dilemparnya lampu itu ke arah Progodigdoyo.”   “Ehhh…..!“ Lampu itu pecah berantakan menghantam dinding bambu bilik itu dan api yang disiram minyak menjilat dan membakar dinding bambu.   “Perempuan busuk!“ Progodigdoyo meloncat ke depan, tangan kirinya menampar dan tangan kananya menyambar Lestari. Galuhsari terpekik dan terlempar ke samping, sedangkan Lestari yang dapat dipondong oleh Progodigdoyo menjerit. Akan tetapi Progodigdoyo meloncat ake pintu kamar hendak pergi dari kamar yang mulai terbakar itu.   “Progodigdoyo manusia keparat!“ Tiba-tiba terdengar bentakan Sutejo yang menyerbu dari luar pintu kamar denagn keris terhunus.   Progodigdoyo terbelalak. “Kau…..??“ Dia merasa heran sekali melihat anak ini karena bukankah anak ini sudah disuruhnya bunuh oleh Klabang Curing? Mengapa bisa muncul di sini? Bulu tengkuknya meremang karena dia menduga bahwa yang muncul ini tentu arwah atau setan dari anak itu.   “Dessss….!!“ Galuhsari mengeluh lemah, tubuhnya terlempar masuk kembali ke dalam bilik yang sedang terbakar, terbanting keras dan pingsan! Progodigdoyo yang masih memondong tubuh Lestari yang meronta-ronta dan menjerit-jerit, hanya menoleh satu kali melihat betapa api mulai menjilat dan membakar rambut panjang dan kain yang hampir terlepas itu, kemudian meloncat ke luar.   “Ibu…..Tejo…..!“   Progodigdoyo memukul perlahan tengkuk Lestari dan dara remaja itu roboh lemas di dalam pondongannya, tak sadarkan diri. Tak lama kemudian yang terdengar bergema di dalam dusun kembangsri yang menjadi sunyi senyap itu hanya ringkik kuda dan derap kaki kuda meninggalkan dusun itu, dan suara ini pun lenyap, terganti oleh suara api yang mengamuk dan melahap rumah bekas tempat tinggal janda Galuhsari.   Baru pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali setelah api sudah kenyang dan menghabiskan rumah dan seluruh isinya, para tetangga berani mendekati tempat itu. Wajah mereka tegang karena semalam mereka mendengar bahwa pasukan dari Tuban datang untuk membikin pembersihan dan dikabarkan bahwa keluarga mendiang Lembu Tirta dicurigai dan diperiksa. Kemudian mereka mendengar jerit-jerit itu dan disusul suara api membakar rumah. Karena ketakutan mereka tidak berani keluar, dan baru pagi hari berikutnya mereka berani keluar memenuhi halaman rumah yang sudah menjadi puing itu dan menemukan kerangka yang sudah hangus dan sebagian menjadi abu. Itulah kerangka janda Galuhsari yang segera mereka rawat dan melarungkannya (menghanyutkan) ke air Sungai ambakberas. Anehnya, tidak ada bekas kerangka Sutejo, sedangkan mereka semua tahu bahwa Lestari telah ditawan dan dibawa ke Tuban, karena ketika pasukan itu meninggalkan dusun, ada penduduk yang sempat mengintai dengan tubuh mengigil dan melihat dara itu dalam pondongan Panewu Progodigdoyo.   Seperti biasanya terjadi di dalam jaman apa pun dan di mana pun, peraturan dan hukum hanya diterapkan untuk mengendalikan rakyat kecil belaka, sedangkan orang-orang besar biasanya atau sebagian besar adalah kebal terhadap hukum. Andaikata peristiwa pembunuhan, pembakaran rumah dan penculikan gadis itu dilakukan oleh rakyat biasa, tentu hukum akan mengejarnya sampai dia ditangkap dan dihukum sesuai dengan kejahatannya. Akan tetapi, kalau pembesar yang berkuasa melakukan sesuatu, biasanya peristiwa itu lewat begitu saja, karena pemegang hukum adalah para pembesar belaka. Rakyat hanya bisa merasa penasaran akan tetapi lambat laun peristiwa-peristiwa yang menyakitkan hati itu terlupa juga. Demikian pula dengan peristiwa di dusun Kembangsari ini. Karena tahu bahwa yang melakukan pembakaan dan pembasmian atas keluarga mendiang Perwira Lembu Tirta adalah pasukan Tuban yang dipimpin oleh Panewu Progodigdoyo, maka siapakah yang akan berani membuat ribut? Orang yang paling berkuasa di dusun itu hanyalah berpangkat lurah biasa, apa dayanya terhadap seorang senopati dari Kadipaten Tuban, tangan kanan Gusti Adipati Ronggo Lawe sendiri? Maka semua orang hanay bisa saling pandang, menggeleng-geleng kepala dan merasa kasian kepada nasib janda Galuhsari sekeluarga, akan tetapi tak berani membuka mulut karena mereka maklum bahwa ribut-ribut mempersoalkan peristiwa itu berarti mengundang malapetaka yang mungkin lebih mengerikan daripada peristiwa itu sendiri.   *** Apa yang diceritakan oleh janda Galuhsari sebelum dia tewas dalam keadaan mengerikan itu kepada anak-anaknya tentang pemberotakan mengerikan itu kepada anak-anaknya tentang pemberontakan Tuban memang benar. Api pemberontakan itu mulai menyala akibat rasa iri hati yang bergolak di dalam dada Sang Adipati Rongo Lawe.   Seperti dituturkan dalam Serat Panji Wijayakrama, Ronggo Lawe adalah putera dari Bupati Sumenep yang bernama banyak Wide, atau Aryo Wirorojo dan kemudian berganti nama menjadi Aryo Adikoro. Ayah dan anak ini merupakan Senopati-senopati Mojopahit yang telah banyak berjasa, terutama terhadap Sang Prabu Kertarajasa Jayawardana semenjak sang prabu belum menjadi raja dan masih bernama Raden Wijaya. Mereka itu merupakan ponggawa-ponggawa yang setia di samping tokoh-tokoh Mojopahit lainnya, terutama sekali Senopati Lembu Sora atau Ken Sora yang berpangkat demang, adik dari Aryo Wirorojo atau paman dari Ronggo Lawe, kebo Anabrang, Raden Nambi dan yang lain-lain.   Setelah Raden Wijaya berhasil menjadi Raja Mojopahit pertama bergelar Kertarajasa Jayawardhana, beliau tidak melupakan jasa-jasa para senopati (perwira) yang setia dan banyak membantunya semenjak dahulu itu membagi-bagikan pangkat kepada mereka. Ronggo Lawe diangkat menjadi adipati di Tuban dan yang lain-lain pun diberi pangkat pula. Dan hubungan antara junjungan ini dengan para pembantunya, sejak perjuangan pertama sampai Raden Wijaya menjadi raja, amatlah erat dan baik.   Akan tetapi guncangan pertama yang memperngaruhi hubungan ini adalah ketika sang prabu telah menikah dengan empat puteri mendiang Raja Kertanegara, telah menikah lagi dengan seorang puteri dari melayu. Sebelum puteri dari tanah Malayu ini menjadi isterinya yang kelima, Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana telah mengawini semua puteri mendiang Raja Kertanegara. Hal ini dilakukannya karena beliau tidak menghendaki adanya Kertanegara itu semua menjadi isterinya sehingga tidak akan timbul dendam dan perebutan kekuasaan kelak. Keempat orang puteri itu adalah Dyah Tribunan yang menjadi permaisuri, yang kedua adalah Dyah Nara Indraduhita, ketiga adalah Dyah Jaya Inderadewi, dan yang juga disebut Retno Sutawan atau Rajapatni yang berarti “terkasih“ karena memang puteri bangsu dari mendiang Kertanegara ini menjadi isteri yang paling dikasihinya. Dyah Gayatri yang bungsu ini memang cantik jelita seperti seorang dewi kahyangan, terkenal di seluruh negeri dan kecantikannya dipuja-puja oleh para sasterawan di masa itu.   Akan tetapi, datanglah pasukan yang beberapa tahun lalu diutus oleh mendiang Sang Prabu Kertanegara ke negeri Malayu. Pasukan ini dinamakan pasukan Pamalayu yang dipimpin oleh seorang senopati perkasa bernama Kebo Anabrang atau juga Mahisa Anabrang, nama yang diberikan oleh sang prabu mengingat akan tugasnya menyeberang (anabrang) ke negeri Malayu. Pasukan ekspedisi yang berhasil baik ini membawa pulang pula dua orang puteri bersaudara. Puteri yang ke dua, yaitu yang muda, bernama Dara Petak dan Sang Prabu Kertarajasa terpikat hatinya oleh kecantikan sang puteri ini, maka diambillah Dyah Dara Petak menjadi isterinya yang ke lima. Segera ternyata bahwa Dara Petak menjadi saingan yang paling kuat dari Dyah Gayatri, karena Dara Petak memang cantik jelita dan pandai membawa diri. Sang Prabu sangat mencintai isteri termuda ini yang setelah diperisteri oleh sang baginda, lalu diberi nama Sri Indreswari.   Terjadilah persaingan di antara para isteri ini, yang tentu saja dilakukan secara diam-diam namun cukup seru, persaingan dalam memperebutkan cinta kasih dan perhatian sri baginda yang tentu saja akan mengangkat derajat dan kekuasaan masing-masing. Kalau sang prabu sendiri kurang menyadari akan persaingan ini, pengaruh persaingan itu terasa benar oleh para senopati dan mulailah terjadi perpecahan diam-diam di antara mereka sebagai fihak yang bercondong kepada yah Gayatri keturunan mendiang Sang Prabu Kertanegara, dan kepada Dara Petak keturunan Malayu. Tentu saja Ronggo Lawe, sebagai seorang yang amat setia sejak jaman Prabu Kertanegara, berfihak kepada Dyah Gayatri. Namun, karena segan kepada Sang Prabu Kertarajasa yang bijaksana, persaingan dan kebencian yang dilakukan secara diam-diam itu tidak sampai menjalar menjadi permusuhan terbuka.   Kiranya tidak ada terjadi hal-hal yang lebih hebat sebagai akibat masuknya Dara Petak ke dalam kehidupan sang prabu, sekiranya tidak terjadi hal yang membakar hati Ronggo Lawe, yaitu pengangkatan patih hamangku bumi, yaitu Patih Kerajaan Majopahit. Yang diangkat oleh sang prabu menjadi pembesar yang tertinggi dan paling berkuasa sesudah raja sendiri itu adalah Senopati Nambi. Pengangkatan ini memang banyak terpengaruh oleh bujukan Dara Petak.   Mendengar akan pengangkatan patih ini, merahlah muka Adipati Ronggo Lawe. Ketika mendengar berita ini dia sedang makan, seperti biasa dilayani oleh kedua orang isterinya yang setia, yaitu Dewi Mertorogo dan Tirtowati. Mendengar berita itu dari seorang penyelidik yang datang menghadap pada waktu sang adipati sedang makan, Ronggo Lawe merah bukan main. Nasi yang sudah dikepalnya itu dibanting ke atas lantai dan karena dalam kemarahan tadi sang adipati menggunakan aji kedigdayaannya, maka nasi sekepal itu amblas ke dalam lantai! Kemudian terdengar bunyi berkerotok dan ujung meja diremasnya menjadi hancur!   "Kakangmas adipati...harap paduka tenang..." Dewi Mertorogo menghibur suaminya.   “Ingatlah, kakangmas adipati...sungguh merupakan hal yang kurang baik mengembalikan berkah ibu pertiwi secara itu...“ Tirtowati juga memperingatkan karena melempar nasi ke atas lantai seperti itu penghinaan terhadap Dewi Sri dan dapat menjadi kualat.   Akan tetapi Adipati Ronggo Lawe bangkit berdiri, membiarkan kedua tangannya dicuci oleh kedua orang isterinya yang berusaha menghiburnya. “aku harus pergi sekarang juga!“ katanya. “Pengawal lekas suruh persiapkan si Mego Lamat di depan! Aku akan berangkat ke Mojopahit sekarang juga!“   Mego Lamat adalah satu di antara kuda-kuda kesayangan Adipati Ronggo Lawe, seekor kuda yang amat indah dan kuat, warna bulunya abu-abu muda. Semua cegahan kedua istrinya sama sekali tidak didengarkan oleh adipati yang sedang marah itu. Tak lama kemudian, hanya suara derap kaki Mego Lamat yang berlari congkalang yang memecah kesunyian gedung kadipaten itu, mengiris perasaan dua orang isteri yang mencinta dan mengkhawatirkan keselamatan suami mereka yang marah-marah itu.   Pada waktu itu, sang prabu sedang dihadap oleh para senopati dan ponggawa. Semua penghadap adalah bekas kawan-kawan seperjuangan Ronggo Lawe dan mereka ini terkejut sekali ketika melihat Ronggo Lawe datang menghadap raja tanpa dipanggil, padahal sudah agak lama Adipati Tuban ini tidak datang menghadap sri baginda. Sang prabu sendiri juga memandang dengan alis berkerut tanda tidak berkenan hatinya, namun karena Ronggo Lawe pernah menjadi tulang punggungnya di waktu beliau masih berjuang dahulu, sang prabu mengusir ketidak senangan hatinya dan segera menyapa Ronggo Lawe.   Di dalam kemarahan dan kekecewaan, Adipati Ronggo Lawe masih ingat untuk menghanturkan sembahnya, akan tetapi setelah semua salam tata susila ini selesai, serta merta Ronggo Lawe menyembah dan berkata dengan suara lantang, “Hamba sengaja datang menghadap paduka untuk mengingatkan paduka dari kekhilafan yang paduka lakukan di luar kesadaran paduka!“ Semua muka para penghadap raja menjadi pucat mendengar ucapan ini, dan semua jantung di dalam dada berdebar tegang. Mereka semua mengenal belaka sifat dan watak Ronggo Lawe, banteng Mojopahit yang gagah perkasa dan selalu terbuka, polos dan jujur, tanpa tedeng aling-aling lagi dalam mengemukakan suara hatinya, tidak akan mundur setapak pun dalam membela hal yang dianggap benar.   Sang Prabu sendiri memandang dengan mata penuh perhatian, kemudian dengan suara tenang bertanya, “Kakang Ronggo Lawe, apakah maksudmu dengan ucapan itu?“   “Yang hamba maksudkan tidak lain adalah pengangkatan Nambi sebagai pepatih paduka! Keputusan yang paduka ambil ini sungguh-sungguh tidak tepat, tidak bijaksana dan hamba yakin bahwa paduka tentu telah terbujuk dan dipengaruhi oleh suara dari belakang! Pengagkatan Nambi sebagai patih hamangku bumi sungguh merupaan kekeliruan yang besar sekali, tidak tepat dan tidak adil, padahal paduka terkenal sebagai seorang Maha Raja yang arif bijaksana dan adil!“   Hebat bukan main ucapan Ronggo Lawe ini! Seorang adipati, tanpa dipanggil, berani datang menghadap sang Prabu dan melontarkan teguran-teguran seperti itu! Muka Patih Nambi sebentar pucat sebentar merah, kedua tangannya dikepal dan dibuka dengan jari-jari gemetar. Senopati Kebo Anabrang mukanya menjadi merah seperti udang direbus, matanya yang lebar itu seperti mengeluarkan api ketika dia mengerling ke arah Ronggo Lawe. Lembu Sora yang sudah tua itu menjadi pucat mukanya, tak mengira dia bahwa keponakannya itu akan seberani itu. Senopati-senopati Gagak Sarkoro dan Mayang Mekar juga memandang dengan mata terbelalak. Pendeknya, semua senopati dan pembesar yang saat itu menghadap sang prabu dan mendengar ucapan-ucapan Ronggo Lawe, semua terkejut dan sebagian besar marah sekali, akan tetapi mereka tidak berani mencampuri karena mereka menghormat sang prabu.   Akan tetapi Sang Prabu Kertarajasa tetap tenang, bahkan tersenyum memandang kepada Ronggo Lawe, ponggawanya yang dia tahu amat setia kepadanya itu, lalu berkata halus, “Kakang Ronggo Lawe, tindakanku mengangkat kakang Nambi sebagai patih hamangku bumi, bukanlah merupakan tindakan ngawur belaka, melainkan telah merupakan suatu keputusan yang telah dipertimbangkan masak-masak, bahkan telah mendapatkan persetujuan dari semua paman dan kakang senopati dan semua pembantuku. Bagaimana kakang Ronggo Lawe dapat mengatakan bahwa pegangkatan itu tidak tepat dan tidak adil?“   Dengan muka merah, kumisnya yang seperti kumis Sang Gatotkaca itu bergetar, napas memburu karena desakan amarah, Ronggo Lawe berkata lantang, “Tentu saja tidak tepat! Paduka sendiri tahu siapa si Nambi itu! Paduka tentu masih ingat akan segala sepak terjang dan tindak-randuknya dahulu! Dia seorang bodoh, lemah, rendah budi, penakut, sama sekali tidak memiliki wibawa...“   “Kakang Ronggo Lawe, tentu engkau tahu pula bahwa kakang Nambi adalah seorang ahli siasat dan ketatanegaraan. “Sang Prabu memotong.   “Memang tukang siasat dia, tukang akal-akalan, akal bulus yang kotor dan busuk. Negara akan celaka kalau patihnya seperti dia yang penuh kelicikan. Dan hamba katakan bahwa pengangkatan ini tidak adil, karena apakah Mojopahit kekurangan orang-orang yang sudah jelas setia dengan jiwa raganya, yang sudah mendarmabaktikan seluruh kehidupannya untuk paduka, yang sudah berjasa besar dalam setiap peperangan?“   “Hemmm...aku mengangkat patih berdasarkan kecakapannya untuk jabatan itu, kakang Ronggo Lawe.“ “Harap paduka mengampuni hamba. Akan tetapi, apabila paduka membutuhkan seorang patih hamangku bumi, seorang pembantu yang boleh diandalkan mengapa paduka mengangkat Nambi? Apakah Paman Lembu Sora kurang cakap? Seandainya paduka menganggap Paman Lembu Sora terlalu tua atau tidak memenuhi syarat, bukankah masih ada hamba? Mengapa justruh si Nambi yang picik itu yang diangkat?“   “Ronggo Lawe, engkau orang kasar yang sudah menjadi gila oleh iri hati!“ Tiba-tiba Nambi tidak dapat menahan dirinya lagi karena telah dihina berkali-kali di depan banyak orang. Kalau tadi dia diam saja adalah karena dia tidak berani ribut-ribut di hadapan sang prabu.   “Iri hati katamu? Bukan iri hati, melainkan ingin menegakkan Mojopahit karena kalau engkau yang menjadi patih, kedudukan Mojopahit pasti akan merosot, nama besar dan keagungan sang prabu akan terseret turun oleh kepicikanmu! Siapa yang tidak tahu bahwa Paman Lembu Sora dan aku, ya aku si Rongga Lawe, telah menyerahkan seluruh jiwa raga untuk keagungan sang prabu dan Mojopahit? Kalau tidak ada kami berdua di waktu sang prabu menghadapi tentara Tar-tar, apakah Mojopahit akan dapat terbangun? Jasa Paman lembu Sora ini tidak diperhatikan, dan dikalahkan oleh orang macam engkau!“   Suasana menjadi panas sekali dan kalau tidak ada sang prabu di situ, tentu telah terjadi pertempuran! Sang Prabu memandang dengan penuh kekhawatiran karena kalau sampai terjadi pertarungan antara pembantunya yang setia di depannya, maka selain hal itu amat memalukan, juga akan melemahakan kedudukannya. Maka dengan berbagai usaha dia mencoba untuk meredakan kemarahan Ronggo Lawe, akan tetapi Adipati Tuban ini tetap merajuk dan dengan suara lantang dia berkata. “Hamba tahu bahwa hamba telah melakukan dosa di hadapan paduka dengan sikap hamba ini. Akan tetapi, sikap hamba ini adalah wajar dan kalau hamba akan dijatuhi hukuman, hamba akan menerimanya! Siapa tidak akan meradang melihat betapa si pengecut licik, si penakut Nambi malah memperoleh kedudukan yang paling tinggi! Dan hamba serta Paman Lembu Sora dan para kawan lainnya harus tunduk dan menyembahnya! Keparat Nambi, entah dengan rayuan apa engkau dapat membujuk sang prabu. Kalau engkau hendak menyangkal semua kata-kataku, hayo keluar, pilihlah tempat yang kau sukai, waktu yang kau sukai, setiap saat, kapan saja, di mana saja, Ronggo Lawe siap untuk menghadapimu, menyelasaikan hal ini dengan taruhan nyawa sebagai ksatria! Tidak macam engkau yang hanya pandai bersilat lidah!“   Makin panaslah suasana di situ. Pendeta Brahmana yang diberi isyarat oleh sri baginda, lalu mendekati Ronggo Lawe dan berkata dengan suara halus dan tenang, “Anakmas Adipati Ronggo Lawe, harap suka tenang dan mendinginkan hati dan pikiran, ingatlah baik-baik apakah sikap seperti ini di hadapan sri baginda merupakan sikap yang benar? Dan apakah akibatnya yang akan menimpa para keluarga anakmas dengan sikap seperti ini?“   Para senopati dan pembesar yang hadir membenarkan dan mendukung kata-kata pendeta ini, akan tetapi sia-sia saja karena Ronggo Lawe tetap saja marah-marah dan menantang-nantang Nambi untuk keluar dan menghadapinya sebagai ksatria.   Kebo Anabrang, senopati perkasa yang pemarah, tidak lagi dapat menahan dirinya, menuding telunjuknya kepada Ronggo Lawe dan membentak, “Lawe, manusia kurang ajar kau! Kalau memang kau jantan, mengapa menangtang-nantang di hadapan sang prabu? Keluarlah dan siapkan segala senjata dan kedigdayaanmu di alun-alun!“   Ronggo Lawe menepuk dadanya. “Babo-babo, aku akan menghadapi semua penjilat dan penghianat!“ Adipati Tuban ini meloncat ke luar dan tanpa pamit dia meninggalkan ruang permusyawaratan itu. Dengan mata berapi-api dan muka merah Ronggo Lawe menuju ke alun-alun, menanggalkan bajunya, bertelanjang dada dan sambil meletakkan tangan di atas dahan kayu pohon, dia menanti keluarnya Nambi dan siapa saja yang berani melawannya! Setelah agak lama tidak ada yang keluar, kemarahannya menjadi-jadi dan mulailah Ronggo Lawe merusak tanaman dan merobohkan bangunan di depan istana. Jembangan-jembangan besar dan berat diangkatnya dan dibanting hancur berkeping-keping. Memang hebat tenaga senopati ini, dadanya yang telanjang itu berkilauan karena keringat, bidang dan tegap penuh dengan otot-otot yang menggembung dan kuat, seperti banteng. Matanya yang tajam itu bersinar-sinar dan tiada hentinya dia menantang mencelakakan Mojopahit dengan lidah beracun mereka! Para pengawal dan penjaga di sekitar alun-alun tidak ada penjaga di sekitar alun-alun tidak ada yang berani bergerak, hanya memandang dengan muka pucat dan seorang perwira penjaga cepat melapor ke dalam istana.   Sementara itu, suasana di ruangan balai pertemuan amat sunyi setelah Ronggo Lawe pergi. Semua orang terdiam, menunduk di hadapan Raja Kertarajasa yang berulang kali menghela napas. Kemudian terdengar sang prabu berkata dengan jelas mengandung kedukaan hati, “Paman Demang Lembu Sora, bagaimana pendapat paman dengan adanya peristiwa ini? Apakah sebaiknya Nambi kuturunkan kedudukannya sebagai patih dan mengangkat Lawe menjadi patih hamangku bumi, paman?“   Lembu Sora cepat menyembah. “Hendaknya paduka tidak melakukan hal itu karena bagaimana mungkin paduka menyerah junjungan hamba semua akan menyerah saja kepada kehendak Ronggo Lawe? Hal itu hanya akan merendahkan kedudukan paduka, karena hendaknya paduka ingat akan ketentuan bahwa segala sabda yang dikeluarkan oleh raja tidak dapat tidak harus dilaksanakan. Paduka sudah mengangkat anakmas Nambi sebagai patih, tidak mungkin kalau sabda paduka itu digagalkan hanya oleh ulah tingkah Ronggo Lawe.“   Biar pun Ronggo Lawe adalah keponakannya sendiri, namun Lembu Sora yang bijaksana tidak setuju akan sikap yang diperlihatkan Ronggo Lawe tadi, maka tentu saja dia pun tidak mau mebela keponakannya yang dianggapnya telah keliru dan salah.   Tiba-tiba seorang perwira penjaga datang menghadap dengan sembahnya, dilanjutkan dengan laporan yang diucapkan dengan suara gugup, “Ampunkan hamba... hamba melaporkan bahwa...Adipati Tuban mengamuk di alun-alun, merusak tanaman-tanaman dan merobohkan bangunan di depan istana...,tanaman dicabuti, jembangan dibanting dan dihancurkan...“   (Bersambung ke Jilid 2)   Jilid 02   Semua orang mengepal tinju mendengar ini. “Perkenankan hamba ke luar dan menghajar pemberontak itu, gusti.“ Kebo Anabrang yang sudah marah sekali itu menyembah, menggigit-gigit bibirnya dan mencancutkan kain, siap untuk melawan Ronggo Lawe.   “Hamba yang menjadi sebab kemarahannya, harap perkenankan hamba menghadapi Ronggo Lawe, Gusti.“ Nambi pun menyembah.   Akan tetapi sebelum sang prabu rapat mengambil keputuan, Senopati Pamandana menyembah dan berkata lantang, “Hamba kira tidaklah selayaknya kalau di alun-alun terjadi pertempuran antara Senopati Mojopahit. Bagaimana kalau ada utusan dari luar yang datang bertamu melihatnya? Hal ini akan membikin suram kecemerlangan nama Kerajaan Mojopahit.“   Sang prabu mengangguk-angguk. “Pendapatmu bijaksana, paman. Akan tetapi, bagaimana sebaliknya harus dilakukan untuk meredakan kemarahan kakang Ronggo Lawe?“   Hening sejenak karena semua senopati juga merasa bingung. Bagaimana harus menghadapi Ronggo Lawe yang marah itu kecuali dengan senjata? Tiba-tiba senopati Singosardulo menyembah dan berkata, “Hamba kira tidak ada seorang pun di antara hamba sekalian di sini yang akan dapat meredakan kemarahan Ronggo Lawe kecuali Paman lembu Sora.“     “Ah, kau benar!“ Sang prabu berseru girang. “Paman Damang lembu Sora, sekarang ini tiba saatnya engkau memperlihatkan kesetiaanmu yang sudah berkali-kali kau buktikan kepadaku. Kau keluarlah, paman, dan bujuklah si Ronggo Lawe agar dia suka menghentikan amukannya.“   “Hamba akan mencoba sekuasa hamba.“ Lembu Sora menyembah, lalu berpamit dan keluar dari tempat itu, langsung menuju ke alun-alun di mana Ronggo Lawe masih merusak tanaman dan hiasan di depan istana   Ketika Ronggo Lawe melihat orang keluar dari istana, dia menghentikan amukannya, akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa yang keluar menemuinya adalah pamannya sendiri, Lembu Sora! Hal ini sungguh tidak disangkanya. Pamannya keluar untuk menyambut tantangannya? Tidak mungkin! Tidak mungkin dia berani melawan pamannya yang juga gurunya itu.   Maka begitu Lembu Sora tiba di depannya, denagn kaki lemas Ronggo Lawe lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah, menahan dua titik air mata yang membasahi matanya.   “Aduh paman...,tak perlu paman memarahi saya. Saya sudah tahu betapa saya telah membikin malu kepada paman dengan semua sikap saya. Akan tetapi, tidak kuat hati saya melihat paman yang telah berjasa besar itu dikesampingkan dan dikalahkan oleh seorang macam Nambi.“   “Lawe, mengapa engkau menuruti hati yang kecewa dan marah sehingga engkau telah memperlihatkan sikap yang amat memalukan dan menghina sang prabu? Lupakan engkau akan segala kebaikan sang prabu, bahkan engkau telah dianggap sebagai seorang ponggawa kesayangan dan kepercayaan sang prabu, diperbolehkan ke luar masuk istana dengan bebas siang dan malam. Tidak tahukah engkau betapa sedihnya hati sang prabu, yang biar pun engkau telah bersikap seperti itu tadi masih menyarankan hendak menggantikan kedudukan Nambi dan menyerahkan kursi patih kepadamu?“   Ronggo Lawe menundukkan kepala mendengar ini. Dia mencabut kerisnya, menyerahkan keris pusakanya kepada Lembu Sora sambil berkata, “Duhai paman Lembo Sora...saya menerima salah dan tentu paman datang sebagai utusan sang prabu untuk menghukum saya. Karena paman boleh membunuh saya dan saya tidak akan melawan, paman.“   Lembu Sora menjadi terharus. Teringat dia betapa keponakannya ini telah berjuang bersama dia, menyerbu bermacam-macam musuh untuk membela Kerajaan Mojopahit dan Sang Prabu Kertarajasa, betapa entah sudah berapa kali di dalam medan yuda keponakannya ini menyelamatkan nyawanya dari serangan musuh secara menggelap. Dia menggeleng kepala dan diam-diam dia pun dapat mengerti akan rasa penasaran di dalam hati keponakannya yang berwatak keras ini.   “Lawe lebih baik engkau kembali saja ke Tuban dan ceritakan semua peristiwa ini kepada kakang Wirororjo. Kau dengarkan nasehat ayahmu, anakku, dan jangan kau mengamuk di sini karena pamanmu ini tentu akan merasa dan para Senopati Mojopahit.“   “Jadi paman tidak ingin menghukum saya? Kalau paman tidak sampai hati membunuh saya, baiklah, saya akan pulang, paman. Akan tetapi, setelah terjadi peristiwa ini, hanya ada dua pilihan bagi saya. Yaitu, memberontak atau berhamba lagi kepada sang prabu di Mojopahit. Akan tetapi, kalau saya berhamba lagi, tentu akan terulang kembali peristiwa ini karena paman sendiri tahu betapa sang prabu telah terbujuk oleh suara-suara berbisa yang datangnya dari tanah seberang. Nah, selamat tinggal, paman.“ Ronggo Lawe lalu meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata Lembu Sora yang mengandung kedukaan dan kekhawatiran besar, dan pandang mata para penjaga yang ketakutan dan segera mereka melaporkan ke dalam istana.     Mendengar pelapor para penjaga itu, dengan hati berat terpaksa sang prabu tidak melarang ketika para senopati lalu mengadakan persiapan, menyusun bala tentara untuk sewaktu-waktu digerakkan mengepung dan menggempur Kadipaten Tuban yang dianggap memberontak! Hanya Lembu Sora yang mengikuti semua peristiwa ini dengan keluh kesah di dalam hatinya. Batin orang tua perkasa ini tertekan hebat. Tentu saja dia merasa berat sekali kepada keponakan-keponakan yang tercinta itu, akan tetapi betapa pun juga, dia tidak mungkin membalik muka terhdapat Mojopahit.   ***   Panasnya badan dapat didinginkan dengan mandi air sejuk, akan tetapi panasnya hati sukar didinginkan dan tidak dapat diredakan dengan mandi di air Sungai Tambakberas seperti yang dilakukan oleh Adipati Ronggo Lawe, Kuda Mego Lumat dia tambatkan di sebatang pohon asam di tepi sungai dan karena hatinya yang panas membuat tubuhnya terasa gerah, adipati ini lalu meningalkan pakaian luarnya, lalu meredam tubuhnya di air sungai. Namun, air sungai di seluruh dunia tidak akan dapat mendinginkan hatinya yang masih panas, terutama sekali kalau dia teringat akan Nambi yang dianggapnya licik dan curang dan Kebo Anabrang yang menantangnya di depan sang prabu. Berulang kali tinjunya dikepal, giginya berkerot dan matanya liar memandang ke kanan kiri, mencari tempat penumpahan amarahnya. Namun pada senja hari itu di sekitar sungai Tambakberas sunyi senyap, apalagi dia menyeberang di dekat sebuah hutan yang liar. Hetinya yang panas, marah dan kecewa, membuat sang adipati tidak ingin bertemu dengan orang banyak, dan karena pada saat itu Sungai Tambakberas sedang surut, dia tidak menggunakan penyeberangan umum melainkan memilih tempat sunyi ini dan menyeberangkan kudanya tanpa bantuan perahu.   Akhirnya dia naik ke pentas dan selagi dia hendak mengenakan kembali pakaian dia hendak mengenakan kembali pakaian luarnya, tiba-tiba telinganya mendengar suara jerit wanita, datangnya jauh dari dalam hutan itu. Trengginas, seperti seekor harimau, Sang Adipati Rongo Lawe melompat dan berlari memasuki hutan itu, meninggalkan kuda dan pakaiannya, mengerahkan seluruh aji kesaktiannya sehingga larinya secepat seekor suara tangis wanita yang makin jelas terdengar itu.   Tiba-tiba dia berhenti dan mengintai dari balik pohon dengan mata beringas. Kemarahan yang sejak tadi sudah bernyala di dalam rongga dada adipati ini, kini menjadi makin berkobar ketika dia melihat lima orang laki-laki tinggi besar duduk seenaknya di atas rumput. Tiga orang di antara mereka tertawa terkekeh sambil menonton adegan yang memuakkan hati Ronggo Lawe, yaitu seorang wanita yang sudah terlepas gelung rambutnya yang panjang dan hampir telanjang pakaiannya yang dicabik-cabik oleh laki-laki itu. Si wanita berusaha mempertahankan kehormatan dengan meronta-ronta, mencakar dan kadang-kadang menjerit dan menangis, sedangkan laki-laki tinggi besar berperut gendut itu berusaha untuk menciumi bibir wanita itu dan menindihnya sambil terkekeh menjijikkan. Ada pun orang ke dua sedang mempermainkan seorang anak perempuan berusia delapan tahun yang terbelalak ketakutan dan mengigil ketika laki-laki tinggi besar yang memangkunya itu menciumi mukanya sambil terkekeh dan berkata, “Engkau juga calon seorang dara cantik, ha-ha-ha!“   “He, Jubis, hayo cepat, kami sedang menanti giliran kami, ha-ha-ha!“ Tiga orang itu memandang laki-laki pertama yang menggumuli dara itu dengan mata mengandung penuh gairah nafsu.   Ronggo Lawe merasa betapa dadanya hampir meledak saking marahnya. Bagi dia yang sedang marah kepada Mojopahit, pemandangan yang dilihatnya itu merupakan tanda keruntuhan kerjaan sehingga ada penjahat yang demikian nekat melakukan perbuatan laknat tidak jauh dari wilayah Mojopahit. Dia mengeluarkan suara seperti harimau untuk melepaskan kemarahannya, kemudian tubuhnya meloncat ke depan, dua kali dia menendang dan dua orang laki-laki tinggi besar yang menggumuli dara cantik bersama anak perempuan itu terlepas dari cengkraman mereka dan terpelanting pula. Si dara dengan muka pucat menengok, dan melihat bahwa penolongan itu seorang laki-laki gagah perkasa yang hanya memakai cawat dan pakaian dalam, dia cepat membetulkan kainnya yang koyak     Sementara itu, dua orang yang kena tendang tadi mengaduh-aduh, akan tetapi dengan marah mereka bangkit berdiri, bersama tiga orang temannya mereka mencabut kelewang (golok) dan memandang kepada Ronggo Lawe penuh kemarahan. Tentu saja mereka tidak mengenal adipati yang telah meninggalkan pakaian luarnya itu, dan mengira bahwa yang menganggu kesenangan mereka hanyalah seorang dusun belaka.   "Heh keparat siapa kamu, berani mengantar nyawa dengan mengganggu kesenangan kami?" bentak seorang di antara mereka yang jenggotnya sekepal sebelah dan matanya sebesar jengkol, agaknya pemimpin mereka yang tadi sedang berusaha memperkosa dara itu dan dipanggil dengan nama Jubris oleh kawan-kawannya.   Sinar mata Rongo Lawe ketika memandang mereka seperti api yang hendak membakar, kemarahan membuat dia sukar membuka mulut untuk bicara, akan tetapi akhirnya dapat juga dia berkata, "Aku mewakili Sang Hyang Yomodipati untuk mencabut nyawa kalian manusia-manusia busuk!"     Lima orang itu menjadi makin marah dan dengan teriak-teriak liar mereka lalu menyerbu, mengeroyok dan menyerang Ronggo Lawe denagn golok mereka. Terdengar angin bersuitan dan golok itu berdesing ketika senjata-senjata tajam itu menyambar-nyambar ganas ke arah tubuh Ronggo Lawe dari semua jurusan. Ternyata bahwa lima orang penjahat itu bukanlah perampok-perampok sembarangan dan melihat gerakan mereka ketika menyerang, jelas bahwa mereka itu memiliki kepandaian dan kekuatan yang lumayan. Adipati Ronggo Lawe memang sudah menduga akan hal ini karena melihat dua orang itu tadi masih sanggup bangkit lagi setelah terkena tendangan-tendangannya, dia mklum bahwa mereka bukan orang-orang lemah.   Akan tetapi betapa pun ganas dan kuatnya lima orang gerombolan penjahat yang pekerjaannya hanya merampok, membajak dan mangganggu rakyat kecil, tentu saja bukan apa-apa bagi Adipati Ronggo Lawe, Senopati Mojopahit yang sudah terkenal sekali memiliki kepandaian hebat, sakti mandraguna dan sudah memeiliki pengalaman luas dalam pertempuran dan perang campuh. Maka begitu melihat lima orang yang amat dibencinya karena perbuatan mereka tadi kini menerjang dengan golok mereka yang berkilauan saking tajamnya dan sering diasah, Ronggo Lawe sama sekali tidak mau mengelak, bahkan dia memapaki mereka dengan gerakan cepat dan tangkas sekali. Kedua tangannya sudah menyambar ke depan, menyambut dua batang golok yang datang paling dulu, tahu-tahu kedua tangannya dari bawah sudah menangkap pergelangan tangan dua orang yang memegang golok itu, kemudian dengan bentakan keras dia mengerahkan tenaga dan dua batang golok itu berikut tangan-tangan yang memegangnya telah terjerumus ke depan menyambut dua batang golok lain sedangkan kaki kirinya yang panjang menendang ke arah depan, tepat menghantam perut seorang diantara lima pengeroyoknya sebelum golok orang itu dapat mendekatinya.   "Tranggg...cringggg...bukkk...!" Lima orang perampok itu berteriak kaget sekali, dan orang yang kena ditendang perutnya, sekali ini merupakan tendangan yang dilakukan denagn pengerahan tenaga sakti sehingga datangnya amat cepat dan kuat. Batu gunung sekali pun akan ambyar terkena tendangan maut ini, apalagi hanya perut itu disisi dengan benda-benda kotor sedangkan hawa murni di tubuh itu sudah habis oleh penghamburan melalui nafsu-nafsu rendah.   Orang itu hanya sempat mengeluh pendek, tubuhnya terlempar ke belakang dan terbanting jatuh dalam keadaan tak bernyawa lagi karena dia tewas seketika pada saat kaki telanjang Ronggo Lawe bertemu dengan perutnya. Ada pun empat orang perampok lainnya terbelalak kaget karena mereka tadi hanya merasakan senjata golok-golok mereka yang diadu dengan amat kerasnya itu menjadi patah-patah!   “Keparat, hidup kalian hanya mengotorkan jagad!“ Ronggo Lawe membentak dan tidak memberi kesempatan lagi kepada mereka. Selagi mereka melongo saking kaget dan herannya, tubuh Ronggo Lawe bergerak cepat, dua tangannya menyambar-nyabar dan dua kali mesing-masing telapak tangannya menampar. Tamparan yang tak mungkin dapat dielakkan lagi oleh empat orang itu.   “Plak-plak-plak-plak!“   Empat orang terpelanting dan berpusing seperti disambar halilintar, kedua tangan memegangi kepala, kemudian roboh tergelimpang dan tidak bergerak lagi karena kepala mereka retak-retak oleh tamparan maut itu dan mereka tewas seketika. Ronggo Lawe berdiri tegak dan menunduk, memandang ke arah lima mayat yang dirobohkannya, dadanya yang tadi penuh hawa amarah menyesakkan napas, kini terasa lega seolah-olah telah tersalur ke luar segala rasa penasaran dan kemarahannya yang mulai menyala di dalam istana sang prabu di Mojopahit. Lenyap rasa pening di kepalanya dan pandang matanya menjadi awas. Mengingat akan kekejian yang dilakukan lima orang ini terhadap gadis dan anak perempuan tadi, dia melihat bahwa sudah semestinya turun tangan memberi hukuman kepada mereka, maka Ronggo Lawe tidak merasa menyesal telah membunuh mereka, bahkan merasa lega karena gadis dan anak perempuan kecil itu dapat terbebas dari bencana. Ngeri itu membayangkan andaikata dia tadi datang terlambat !   “Saya dan adik saya menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan kisanak yang telah menyelamatkan kami…..“   Suara halus di belakangnya inu membuat Ronggo Lawe sadar dan dia cepat membalikkan tubuhnya dan memandang ke bawah, di mana gadis tadi sambil menggandeng anak perempuan itu telah berlutut dan menyembah kepadanya. Wajah gadis itu menengadah, memandang kepadanya denagn sinar mata lembut dan bening, penuh keharuan dan penuh rasa terima kasih, sepasang mata yang bercahaya terang di wajah yang masih agak pucat, wajah seorang dara ayu, seperti setangkai bunga yang masih basah dan kekelahan habis diserang badai mengganas.   “Hemmm…..siapakah engkau, nini???“ tanya Ronggo Lawe, diam-diam dia mengagumi kecantikan yang asli dari gadis tepi sungai Tambakberas ini.   “Saya bernama Sri Winarti, dan ini adalah adik saya….“   “Saya Sulastri! Kepandaian paman hebat bukan main, dan saya ingin sekali dapat memiliki kepadanian seperti itu untuk melindungi kakak saya!“ Dengan lincah dan jenaka anak perempuan itu menyambung kata-kata kakaknya.   Ronggo Lawe tersenyum dan lenyaplah keangkeran wajahnya yang berkumis seperti Gatutkaca itu, berobah menjadi wajah tampan yang ramah. Namun hanya sebentar saja perasaan ksatria ini tersentuh kegembiraan oleh sikap Sulastri, dan dia sudah memandang lagi penuh wibawa.   “Sudahlah, bahaya sudah lewat. Kalian pulanglah, aku akan melaporkan kematian mereka itu kepada lurah setempat.“ Setelah berkata demikian, Ronggo Lawe melangkah hendak pergi mengambil pekaiannya di luar hutan dan melapor kepada kepala dusun yang berdekatan agar lima mayat penjahat itu dapat diurus sebagaimana mestinya.   Akan tetapi baru beberapa langkah dia berjalan, tiba-tiba terdengar suara halus merdu dari belakang memanggilnya, “Kisanak…..!“   Ronggo Lawe berhenti dan membalikkan tubuhnya. Dia tahu bahwa Sri Winarti yang memanggilnya dan maklum bahwa gadis itu tentu saja tidak tahu bahwa dia adalah Adipati Ronggo Lawe karena pada saat itu dia hanya mengenakan pakaian dalam dengan dada telanjang. Diam-diam Ronggo Lawe tersenyum dan teringat akan kenyataan bahwa yang membedakan manusia, dari tingkat dan derajat, pandai dan bodoh, kaya dan miskin mulia dan hina, hanyalah pakaian belaka. Tanggalkanlah pakaian dari tubuh mereka, dan semua manusia adalah sama saja! Apa bedanya dia dengan seorang pentani atau nelayan? Juga tidak ada bedanya antara dia dan ang prabu sekali pun! Maka yang terpenting dalam kehidupan bukanlah benda-benda lahiriah, kedudukan, harta, pengetahuan dan nama, karena semua itu tidak ada bedanya dengan pakaian belaka. Yang terpenting adalah batinnya! Batinnya yang harus berubah, yang harus “ maju “, bukan lahir!   “Ada apakah, nini?“ tanyanya halus, terharu juga dia mendengar sebutan “kisanak“ tadi karena selamanya baru ini ada orang, gadis remaja lagi, menyebutnya kisanak, padahal biasanya dia disebut dengan penuh pengormatan dan sanjungan.   Sri Winarti menggandeng tangan Sulastri, berlari kecil menghampiri Ronggo Lawe, kemudian dara itu menjatuhkan dirinya berlutut lagi. Ronggp Lawe mengerutkan alisnya, menduga bahwa agaknya gadis ini mengenal siapa dia maka menyembah-nyembah.   “Ah, aku hanya seorang dusun, jangan kau sembah-sembah, nini.“   “Tidak, kisanak adalah sesembahan saya, bintang penolong saya…..dan harap suka menaruh kasiahan kepada saya…..kepada adik saya…..“   “Hemm ….. apa maksudmu?“   “Saya dan adik saya tentu telah tewas, bahkan lebih hebat daripada itu, apabila tidak ada pertolongamu, kisanak. Oleh karena itu, terimalah kami untuk menghambakan diri…..saya hendak menyerahkan jiwa raga saya kepadamu untuk membalas budi dan untuk mohon perlindungan selamanya…..“   “Ehhh! Maksudmu….kau hendak menyerahkan diri menjadi isteriku?“   Wajah yang masih agak pucat itu menjadi merah dan cepat menunduk. Dengan suara gemetar dara itu berkata halus, “Terserah kepada kehendakmu, saya menyerahkan jiwa raga kepadamu….,menjadi isteri, menjadi pelayan atau apa saja akan saya lakukan dengan tulus ikhlas dan setia. “   Ronggo Lawe mengerutkan alisnya yang tebal. “Hemm, nini, engkau masih amat muda akan tetapi telah mengambil keputusan begitu aneh dan nekad. Aku telah mempunyai dua orang isteri, dan aku menolongmu tadi tanpa pamrih balasan apa pun, aku tidak mempunyai niat untuk memperisterimu.“   “Eh, paman, apakah mabkyuku ini kurang cantik? Dia adalah kembang dusun kami, dan aku akan girang sekali kalau mempunyai kakak ipar seperti paman yang gagah perkasa! Aku ingin belajar kesaktian tadi!“ Sulastri berkata lantang.   “Kisanak, maafkan saya. Kalau kisanak tidak berkenan mengambil saya sebagai isteri, biarlah saya menghambakan diri sebagai pelayan, mencucikan pakaianmu, membersikan lantai dan kebun rumahmu…..“   “Tidak, aku tidak bisa menerima…..kalian pulanglah ke rumah kalian, aku masih mempunyai banyak urusan yang harus kuselesaikan.“   Ronggo Lawe menganggap bahwa peluapan rasa terima kasih yang dirasakannya berlebihan dari dara muda cantik jelita itu sebagai suatu godaan, maka dia segera meninggalkan dara itu. Akan tetapi ketika dia mendengar isak tangis, dia terheran dan cepat menengok. Gadis itu berlutut sambil menangis dan menutupi mukanya dengan sedih sekali! Sedangkan Sulastri, anak kecil itu, berdiri dekat kakaknya dan memandang kepadanya dengan mata mengandung rasa penasaran dan kemarahan!   “Eh, mengapa kau menangis, nini?“ Ronggo Lawe melangkah kembali dan bertanya dengan suara halus, penuh selidik.   Dengan suara terisak-isak Sri Winarti menceritakan keadaannya. Dia dan adiknya adalah dua orang anak yatim piatu karena ayah dan ibunya telah tiada. Semenjak ayahnya meninggal karena sakit menyusul ibunya, beberapa bulan yang lalu, dai hanya hidup berdua dengan adiknya di dusun Gendangan dekat sungai Tambakberas. Dan mulailah mereka, atau lebih tepat dia, mengalami gangguan-gangguan dari para pria di mana pun dia berada. Hari itu dia dan adiknya mencari kayu bakar di hutan dan hampir saja mereka menderita malapetaka yang amat mengerikan.   “Berkat pertolongan kisanak maka saya dan adik saya selamat dan saya merasa yakin bahwa di bawah perlindungan kisanak saja maka kehidupan saya dan adik saya akan terjamin keselamatannya. Saya tidak berani pulang…..setelah mereka ini tewas…., karena tentu hal ini akan terdengar oleh kawan-kawan mereka dan kami akan celaka….“ demikian Sri Winarti melanjutkan kata-katanya.   Ronggo Lawe menarik napas panjang, kemudian berlata, “Jangan khawatir. Kalau begitu, marilah engkau ikut bersamaku ke dusun Gendangan, di mana aku akan menyerahkan engkau dan adikmu dalam perlindungan Ki Lurah Gendangan.“   “Ahhhh….!“ Dara itu menjerit lirih seperti orang terkejut dan ketakutan.   “Kenapa?“ Ronggo Lawe bertanya heran.   “Telah lama Lurah Gendangan membujuk-bujuk saya untuk menjadi selirnya, akan tetapi selalu saya tolak. Menyerahkan saya dalam perlindungan Lurah Gendangan sama artinya sengan memasukkan saya ke dalam sarang harimau buas.“   Makin dalam kerut merut di kening adipati itu. “begitukah? Mari, kita lihat saja nanti di Gendangan. Aku tanggung bahwa lurah itu tidak akan berani bertindak sewenang-wenang lagi. Jangan kau takut, aku akan melindungimu.“   Akhirnya Sri Winarti dan Sulstri mengikuti Ronggo Lawe yang mengambil pakaiannya di dekat sungai, setelah berpakaian di dekat sungai, setelah berpakaian dan menuntun kudanya lalu adipati itu mengajak Sri Winarati dan adiknya menuju ke dusun Gendangan. Setelah Ronggo Lawe berpakaian, dia lalu berlutut dan menyembah.   “Harap paduka sudi mengampuni hamba, raden…..hamba tidak tahu bahwa paduka…..seorang bangsawan….“   “Hushhh, sudahlah. Bangsawan atau bukan, aku hanya seorang manusia saja, tidak ada bedanya dengan engkau. Mari kita berangkat ke Gendangan!“   Dapat dibayangkan betapa kaget hati Sri Winarti ketika mereka tiba di halaman gedung Ki Lurah Gendangan, dia melihat ki lurah sendiri bersama para pembantunya menyambut penolongnya sambil menyembah-nyembah dan menyebutnya gusti adipati! Seluruh tubuh dara itu mengigil dan kedua kakinya lemas sehingga diapun berlutut dan menyembah sambil menarik adiknya untuk berlutut pula. Kiranya yang menolongnya itu adalah Adipati Tuban, Adipati Ronggo Lawe yang terkenal! Perasaan aneh menyelinap di dalam hati dara remaja ini. Memang tdia dia telah merasa kagum dan berterima kasih, perasaan itu telah membangkitkan cinta kasih dan penyerahan di dalam hati dara ini terhdap penolongnya. Biar pun penolongnya itu bukan seorang pria yang sudah matang, yang usianya hampir empat puluh tahun, namun dia melihat seorang pria yang jantan, gagah perkasa, berbudi dan halus tutur sapanya, membuat dia merasakan kemesraan yang mendalam. Kini, setelah mendengar bahwa pria itu adalah Sang Adipati Tuban yang terkenal sakti mandraguna dan arif bijaksana, hati dara itu makin tertnduk dan cinta yang bersemi di lubuk hatinya menjadi makin subur.   Dengan singkat Ronggo Lawe menceritakan kepada Ki Lurah Genangan tentang lima penjahat yang hendak mengganggu Sri Winarti dan adiknya. “Mereka telah kubunuh dan mayat mereka berada di dalam hutan,“ adipati itu melanjutkan. “Harap engkau suka mengurus mayat-mayat itu.“   “Baik, gusti adipati,“ ki lurah menjawab cepat.   (Bersambung ke Jilid 3)   Jilid 03   “Selain itu, aku mendengar bahwa Sri Winarti dan Sulastri ini sudah yatim piatu, maka sudah sepatutnya kalau ki lurah melindungi mereka di dusun ini.“   Wajah ki lurah yang sudah lebih dari lima puluh tahun usianya itu berseri gembira mendengar ini. “Tentu ….., tentu mereka baik-baik, harap paduka jangan khawatir, gusti adipati.“     “Aku mendengar bahwa engkau pernah membujuk Sri Winarti untuk menjadi selirmu?“   Pertanyaan yang tiba-tiba ini sekaligus mengusir seri wajah ki lurah dan dia menjadi gugup. “Ini …. Ini ….“ Dia tergagap.   “Aku tidak akan melarang engkau untuk mengambil selir. Itu adalah hakmu, ki lurah. Akan tetapi kalau engkau memaksa seorang wanita menjadi selirmu, dengan menggunakan kekuasaanmu, berarti engkau akan sama jahatnya dengan mereka yang kubunuh di dalam hutan itu!“ “Ti….Tidak ….Hamba takkan memaksa orang….“   “ Baik kalau engkau tidak melakukannya, dan ingat dua orang anak ini berada di bawah perlindungaku, kalau sampai terjadi sesuatu atas diri mereka, aku akan minta pertanggungan jawabmu. Mengerti ? “   Dengan muka berobah lurah itu mengangguk-angguk seperti seekor ayam mematuki gabah, menyatakan janji ketaatannya.   Ronggo Lawe lalu menoleh kepada Sri Winarti dan Sulastri yang masih berlutut. “Nini, kauajaklah adikmu pulang.“   Sri Winarti menyembah, mengangkat muka dan memandang denagn muka penuh kedukaan kemudian pergi bersama adiknya dari halaman gedung kelurahan itu. Setelah menerima penyambutan dan jamuan Ki Lurah Gendangan, tak lama kemudian Adipati Ronggo Lawe meninggalkan dusun Gendangan, membedal kudanya menuju ke Tuban. Akan tetapi baru saja keluar dari batas dusun, di tengah jalan dia melihat di dalam gelap sosok tubuh seorang wanita. Dia menahan kudanya dan ternyata Sri Winarti dan Sulastri telah menanti di tengah jalan.   “Eh, engkau lagi, nini? Mengapa kau menghadangku di sni?“ Ronggo Lawe meloncat turun dari atas kudanya dan menghampiri dara itu sambil menuntun kudanya.   Dengan isak tertahan Sri Winarti melangkah maju kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan kaki sang adipati dan menyembah-nyembah. “Gusti adipati…. Hamba….Hamba sekali lagi mohon agar paduka menerima hamba bersuwita (menghambakan diri)….“ Setelah meragu sebentar seolah-olah berat dia mengeluarkan kata-kata itu, Sri Winarti menyambung, “Hamba telah bersumpah tidak akan menghentikan usaha hamba untuk membalas budi paduka….“   “Sudahlah, nini. Engkau masih amat muda, dan cantik rupawan. Dunia terbentang luas dihadapanmu dan ki lurah tidak nanti akan berani mengganggumu lagi. Kau akan bertemu dengan seorang pemuda yang tampan dan cakap, yang sesuai untuk menjadi suamimu dan…“   “Hamba juga sudah bersumpah tidak akan melayani lain pria kecuali paduka!“ Dara itu memotong cepat.   Ronggo Lawe terkejut sekali, apalagi ketika dia melihat di antara kesuraman cuaca senja yang hampir terganti malam, betapa sepasang mata yang jernih itu memandangnya dengan sinar yang mengandung asmara! Ronggo Lawe menghela napas panjang.   “Dan hamba pun bertekad untuk berguru kepada paduka!“ Sulastri yang kecil dan pandai bicara, juga tabah sekali itu, berkata.   Ronggo Lawe lalu mengambil sebuah pundi-pundi kecil dari sela kudanya. Pundi-pundi itu terisi uang yang diserahkan kepada Sri Winarrti. “Nini ketahuilah bahwa aku sedang menghadapi persoalan negara yang amat ruwet, maka tentu saja pada saat seperti ini aku tidak mempunyai waktu dan minat untuk bicara tentang niatmu menghambakan diri padaku, sungguh pun aku menerimanya dengan hati terharu dan gembira. Kauterimalah pundi-pundi ini dariku, dan kelak kalau sudah selesai urusan negara, percayalah bahwa aku tidak melupakan seorang dara bernama Sri Winarti yang tinggal di susun Gendangan.“   Ucapan halus yang merupakan bayangan janji itu membuat Sri Winarti girang bukan main, dan sendang sesengukan dia mencium kaki sang adipati sambil menerima pundi-pundi dan menghaturkan terima kasih. Kemudian Adipati Ronggo Lawe juga menyerahkan sebuah benda kepada Sulastri. Benda ini adalah sebuah cincin yang tadi dilolos dari jari manis kiri sang adipati.   Sulastri, aku tahu bahwa engkau adalah seorang calon pendekar wanita yang hebat, akan tetapi sekarang bukanlah saatnya bagiku untuk menerima murid seperti engkau ini. Akan tetapi, kau terimalah Kundolo Mirah ini sebagai tanda bahwa engkau adalah murid Adipati Ronggo Lawe. Kundolo ini akan membuka pintu bagimu untuk dapat berhubungan dengan orang-orang yang sakti mandra guna di seluruh Nusantara.   Sulastri menerima perhiasan itu dengan girang. Kundolo adalah perhiasan cincin untuk telinga, yang oleh adipati itu dipakai di jari tangannya. Terbuat daripada emas berukir dan di tengahnya terhias sebutir batu mirah yang aseli.   Setelah memberikan pundi-pundi dan kundolo, Adipati Ronggo Lawe lalu meloncat ke atas kudanya dan melanjutkan perjalanannya ke utara, ke Tuban. Sri Winarti berdiri sambil memeluk adiknya dan memandang sampai bayangan pria yang telah merenggut cinta kasih hatinya itu lenyap dalam cuaca yang meulai menggelap. Kemudian, dengan pundi-pundi ditekan di dada, seolah-olah benda itu menggantikan pemberinya, dara ini bersama adiknya perlahan-lahan memasuki dusun Gendangan, membayangkan wajah yang gagah perkasa itu penuh kemesraan.   *** Pada keesokan harinya, Aryo Wirorojo yang bernama Banyak Wide atau Aryo Adikoro, Bupati Sumenep yang semenjak Raden Wijaya menjadi raja di Mojopahit tidak kembali ke Madura, melainkan tinggal bersama puteranya, Ronggo Lawe di Tuban, pergi ke kadipaten untuk menemui puteranya setelah dia mendengar bahwa puteranya telah kembali malam tadi dari Mojopahit.   Senopati Mojopahit yang telah berusia enam puluh tahun lebih ini masih nampak gagah dan sehat, sikapnya tenang dan bijaksana, tidak seperti puteranya yang berdarah panas. Semenjak Ronggo Lawe pergi dengan marah ke Mojopahit, ayah ini merasa tidak enak hatinya, maka begitu mendengar bahwa puteranya telah kembali, pagi-pagi itu dia sudah mengunjungi puteranya di kadipaten.   Begitu bertemu dengan Ronggo Lawe yang menyambutnya dan mereka duduk berhadapan di rungan dalam kadipaten, Aryo Wirorojo telah dapat menduga dari tingkah laku dan gerak-gerik puteranya bahwa ada sesuatu yang hebat terjadi dengan puteranya itu. Makin khawatirlah hati orang tua ini dan dia cepat bertanya tentang kunjungan puteranya itu ke istana sri baginda di Mojopahit.   Semenjak peristiwa di dalam hutan di mana dia menyelamatkan Sulastri dan Sri Winarti, membunuh lima orang penjahat keji, Adipati Ronggo Lawe telah dapat menenangkan hatinya, sungguh pun perasaan penasaran dan marah masih merupakan titik api yang tak kunjung padam. Maka kini mendengar pertanyaan ayahnya, diceritakannyalah semua peristiwa yang terjadi semenjak dia menghadap sang prabu sampai keributan yang terjadi sebagai semenjak dia menghadap sang prabu sampai keributan yang terjadi sebagai akibat protesnya terhadap pengangkatan Nambi sebagai patih hamangku bumi di Mojopahit. Diceritakannya pula bahwa pamannya, Lembu Sora sendiri yang maju dan menasihatinya untuk pulang ke Tuban sehingga dia tidak melanjutkan amukannya.   Mendengar penuturan puteranya itu, Sang Aryo Wirorojo terkejut dan menjadi pucat wajanya. Sejenak dia menatap wajah puteranya tanpa mampu mengeluarkan kata-kata. Jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya. Betapa tidak akan sakit perasaannya. Dia adalah seorang panglima yang amat setia kepada sang prabu dan dia rela untuk menyerahkan nyawanya sewaktu-waktu demi membela Mojopahit, dan kini puteranya yang amat dibanggakannya itu telah memperlihatkan sikap memberontak terhdap raja junjungannya, kiranya tidak akan dapat dibandingkan dengan cinta kasihnya terhadap puteranya. Oleh karena itu, dia lebih mengutamakan keselamatan puteranya dan mendengar penuturan Ronggo Lawe, ayah yang tua dan sedang di himpit duka dan kebingungan karena dihadapkan pada pilihan berat, yaitu kesetiaan terhadap raja atau kecintaan terhdap putera, Sang Aryo Wirorojo meruntuhkan air mata yang segera diusapkan dengan kepalan tangannya yang masih kokoh kuat.   “Ayah menangis?“ Ronggo Lawe memandang heran, hampir tidak percaya. Ayahnya adalah seorang ksatria utama yang amat gagah, dan bagi ksatria perkasa, air mata jauh lebih berharga dari pada darah. Lebih baik mencucurkan darah dari badan daripada mencucurkan air mata! Air mata dianggap ebagai permainan wanita dan tanda kelemahan jiwa. “Apakah ayah pun hendak menyalahkan saya seperti senopati yang lain?“   Aryo Wirorojo menggeleng kepalanya dan sudah dapat menguasai dirinya kembali. “Anakku, jangan engkau alah sangka. Memang, demi keadilan, rasa penasaran di hatimu itu benar. Melihat jasa dan kesetiaan, sepatutnya Lembu Sora atau engkau yang harus menjadi patih, bukan si Nambi. Akan tetapi engkau harus ingat bahwa seorang senopati mengutamakan kesetiaan dan kepatuhan terhadap semua sabda sang prabu yang menjadi junjungannya. Andaikata sang prabu menghendaki agar kita menempuh lautan api, kita akan mentaatinya, tanpa mengingat akan kepentingan diri pribadi. Hendaknya engkau ingat baik-baik, Lawe. Sikapmu itu berarti memberontak, dan pemberontakan berarti penghianatan terhadap sang prabu. Tahukah engkau apa akibatnya kalau engkau berkhianat? Akibatnya amat berat dunia akhirat, anakku. Nama keturunanmu akan terseret pula ke dalam lumpur kehinaan. Camkanlah baik-baik, pertimbangkanlah dengan kesadaran, sebelum terlambat oleh perbuatan yang hanya terdorong oleh nafsu amarah yang membuta.“   Ronggo Lawe menjai pucat wajahnya dan dia termenung dengan kepala tunduk menengar nasihat ayahnya itu. Terbayang olehnya betapa dua orang isterinya dan terutama sekali puteranya yang terkasih dan masih kecil kelak akan menjadi orang-orang yang dipandang rendah dan terhina, sebagai keluarga pemberontak dan penghianat!   Melihat betapa puteranya mulai sadar, Aryo Wirorojo melanjutkan dengan penuh harapan, “Puteraku, ksatria yang gagah, adipati yang bijaksana, ingatlah akan sabda dan janji sang prabu dahulu kepadaku. Bukankah sang prabu telah berjanji ketika beliau masih belum menjadi raja dahulu bahwa apabila Mojopahit berhasil dibangun, maka negara itu akan dibagi menjadi dua dan yang separuh akan diserahkan kepadaku sebagai imbalan jasa? Nah, kalau bagian itu sudah diserahkan kepadaku, siapa lagi kalau bukan engkau yang akan menjadi rajanya? Kalau sudah begitu, baru kita berdiri sendiri sebagai sebuah kerajaan yang terpisah dari kedulatan Mojopahit dan kalau kita sudah bukan menjadi ponggawa Mojopahit lagi, barukah engkau boleh bersikap sesuka hatimu tanpa ada bahaya akan dianggap sebagai pemberontak dan penghianat, anakku.“   Ronggo Lawe mengangguk-angguk dan dia dapat melihat kebijaksanaan dalam kata-kata ayahnya itu. Dia telah terburu nafsu, terdorong oleh amarah yang kini dia melihat jelas dibangkitkan oleh perasaan iri hati terhadap Nambi. Timbul penyesalannya dan baru terbuka matanya kini betapa dia telah bersikap keterlaluan dan tidak hormat di depan sri baginda. Dia harus mohon ampun kepada junjungannya itu!   Akan tetapi, selagi sang adipati mulai sadar dan mendengarkan wejangan-wejangan selanjutnya dari Aryo Wirorojo, tiba-tiba seorang pengawal melaporkan bahwa ada seorang prajurit datang dari Mojopahit yang mengaku sebagai utusan Sang Resi Mahapati. Resi Mahapati adalah seorang di antara para pendeta yang mengepalai keagamaan di Mojopahit, dan Resi Mahapati adalah kepala Agama Syiwa.   Ronggo Lawe bertukar pandang dengan ayahnya. Mereka tentu saja mengenal Sang Resi Mahapati yang sakti mandrahuna, seorang yang memiliki kedudukan tinggi di samping Pendeta Brahmanaraja yang mengepalai agama penyembah Brahma. Resi Mahapati terkenal ramah dan baik sikapnya terhadap semua senopati di Mojopahit.   “Suruh dia masuk saja ke sini,“ perintah Ronggo Lawe kepada pengawalnya.   Tak lama kemudian, seorang perajurit yang bertubuh tinggi kurus dan bermata tajam menandakan kecerdikannya datang. Bersujud di depan Adipati Ronggo Lawe. Adipati ini cepat bertanya siapa dia dan apa keperluannya datang menghadap ke Kadipaten Tuban.   “Harap paduka gusti adipati sudi mengampunkan kalau hamba mengganggu. Hamba bernama Maruto, pengawal peribadi Sang Resi Mahapati dan hamba diutus oleh sang resi untuk menyampaikan berita yang amat penting bagi paduka gusti adipati.“   Ronggo Lawe mengerutkan alisnya dan Aryo Wirorojo menyela, “Apakah engkau tidak membawa surat dari beliau?“   Maruto menyembah hormat, “Karena tergesa, sang resi tidak sempat surat dan hanya mengutus hamba untuk melapor ke sini secara lisan saja.“   “Katakan, apa yang hendak diberitahukan oleh sang resi kepadaku?“ Ronggo Lawe bertanya tak sabar lagi.   “Sang resi menganjurkan agar paduka gusti adipati hendaknya segera menyelamatkan diri mengungsi dan pergi dari Kadipaten demi keselamatan paduka….“   “Apa….?“ ronggo Lawe menggebrak meja dengan muka merah. Biar pun pesan sang resi itu bermaksud baik, akan tetapi menyuruh dia melarikan diri sugguh-sungguh merupakan suatu berita yang merendahkan dan menghina!“ Apa maksud sang resi dengan anjuran itu?“   “Sang resi mengutus hamba memberi tahu bahwa sekrang ini, Sang Patih Hamangkubumi Nambi telah berhasil memperoleh ijin dari sang prabu hendak menyerbu Tuban dan membasmi paduka sekeluarga yang dianggap pemberontak. “   “Jahanam Nambi….!!“ Ronggo Lawe bangkit berdiri dengan mata mendelik saking marahnya. “ Heh, Maruto, pulanglah engkau dan sampaikan terima kasihku kepada Sang Resi Mahapati, akan tetapi katakan bahwa Ronggo Lawe bukan seorang pengecut dan akan menyambut serbuan Nambi keparat dengan keris di tangan!“   Marunto menjadi ketakutan, menyembah dan bergegeas meninggalkan gedung kadipaten, melompat ke atas kudanya dan membalapkan tunggangannya itu keluar dari Kadipaten Tuban, kembali ke selatan ke Mojopahit.   Sementara itu, Aryo Wirorojo mencoba untutk menenangkan hati puteranya. “Lawe, tenanglah dan pikirkan masak-masak sebelum melakukan sesuatu.“   “Ayah, bagaimana saya bisa tenang dan bersabar lagi kalau dihina orang seperti ini? Siapakah bedebah Nambi itu sehingga berani dia menghina Ronggo Lawe? Ayah, paduka sendiri tentu maklum bahwa saya taidka berniat memberontak atau berkhianat terhdap junjungan kita, Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana di Mojopahit. Akan tetapi sebagai seorang ksatria, mundur dan lari merupakan pantangan besar bagi saya! Mati bukanlah apa-apa karena semua mahluk takkan terlepas dari kematian. Akan tetapi kehormatan merupakan hal yang jauh lebih berharga daripada nyawa. Lebih baik seribu kali mati sebagai seorang ksatria perkasa, mati sebagai seorang terhormat daripada hidup sebagai seorang pengecut yang lari tunggang langgang menghadapi bahaya. Tidak, ayah, saya harus melawan si Nambi keparat itu, biar pun dia menggunakan nama sang prabu di Mojopahit untuk menghina saya!“   Percuma saja Aryo Wirorojo menyabarkannya. Ronggo Lawe lalu mengumpulkan para pembantunya yang dihimpun oleh Panewu Progodigdoyo dan segera mereka melakukan perundingan. Semua ponggawa Tuban dikumpulkan dan para pembesar, akuwu, demang, dan tumenggung mengucapkan sumpah setia sampai mati kepada Ronggo Lawe Adipati Tuban. Utusan dikirim ke daerah Mojopahit menghubungi kawan-kawan yang menaruh simpati kepada Adipati Tuban.   Mendung mulai menyuramkan langit di atas Kerajaan Mojopahit. Api pemberontakan mulai bernyala dan api ini ternyata akan menjadi makin besar, merupakan kemelut di Mojopahit yang tak terlupakan orang dan tercacat di dalam sejarah sebagai lembaran-lembaran hitam, karena yang memberontak adalah senopati yang tadinya menjadi banteng Mojopahit, bahkan merupakan tiang-tiang pendiri Kerajaan Mojopahit Raden Wijaya yang kini menjadi raja!   Dua hari kemudian, ketika Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana sedang dihadap oleh para menteri dan senopati seperti biasa, dalam suasana anak murung karena peristiwa yang ditimbulkan oleh Ronggo Lawe masih berbekas di hati sang prabu dan para ponggawa, tiba-tiba datang seorang prajurit menghadap sang prabu, menghaturkan sembah dan dengan muka pucat prajurit itu melapor, “Hamba adalah seorang prajurit penjaga di dekat Sungai Tambakberas, di perbatasan antara Mojopahit dan Tuban, gusti, dan pagi hari tadi hamba mendengar berita bahwa sang adipati di Tuban telah mempersiapkan pasukan untuk menggempur Mojopahit, bahkan hamba melihat sendiri banyak pasukan menyeberang ke Tuban…“   Tentu saja sang prabu menjadi terkejut sekali, dan juga marah mendengar pelaporan perajurit yang bernama Maruto ini. “Sungguh tak tahu diri sekali kakang Ronggo Lawe!“ Sang Prabu berseru,   “Ijinkan hamba memimpin pasukan untuk menghancurkan pemberontak, gusti!“ Nambi mendahului yang lain, mengajukan permohonan dengan kata-kata tegas. Sang Prabu maklum bahwa Nambi menjadi sasaran kemarahan Ronggo Lawe, maka sudah sepantasnya kalau Nambi yang menanggulangi keributan itu pula, maka sang prabu memberi ijin persetujuannya. Nambi menyembah dan dengan tangkas patih ini lalu keluar dari istana dan mempersiapkan pasukan besar yang terdiri dari seribu orang pilihan untuk menghadapi pasukan Tuban. Hari itu juga Nambi memimpin pasukan ini menuju ke utara dengan gerakan cepat.   Sang Prabu membubarkan persidangan dan para senopati dengan prihatin kembali ke rumah masing-masing. Tidak ada yang tahu, bahkan menduga pun tidak betapa setelah persidangan bubar, terjadi hal yang amat luar biasa di dalam gedung tempat tinggal Sang Resi Mahapati. Seorang tinggi kurus dengan sikap sembunyi-sembunyi agar tidak kelihatan oleh orang lain menyelinap dan masuk ke dalam gedung itu, lagsung menuju ke ruangan belakang yang terjaga oleh beberapa orang prajurit pengawal Sang Resi Majapahit. Sebagai seorang pendeta yang mempunyai kedudukan tinggi di istana, tentu saja Resi Mahapati bukanlah sebangsa pendeta miskin, melainkan seorang pendeta yang memiliki rumah gedung, lengkap dengan perabot rumah mewah dan dijaga oleh prajurit-prajurit pengawal. Ternyata di ruangan itu telah menanti Sang Resi Mahapati dan orang yang menyelinap masuk tadi, yang bukan lain adalah Maruto, orang kepercayaan Mahapati yang telah disuruh oleh pendeta itu, mula-mula ke Tuban kemudian menghadap sang prabu.   Dengan muka girang Maruto memberi hormat dengan sembah, kemudian berkata, wajahnya berseri, suaranya mengandung kebanggaan dan kegirangan, “Semua perintah paduka telah hamba jalankan denagn baik, Adipati Tuban menjadi terbakar hatinya dan mempersiapkan bala tentara, sedangkan sang prabu sendiri juga telah menyetujui Gusti Patih Nambi mempersiapkan pasukan untuk mengempur Tuban. Hamba telah melaksanakan tugas dengan baik agar paduka memakluminya.“   “Apakah telah kaujaga baik-baik sehingga tidak ada orang kedua yang mengetahui semua perbuatanmu itu, Maruto?“ “Tidak ada, sang resi yang mulia. Setanpun tidak ada yang melihatnya.“   “Kalau begitu, biarlah engkau menjadi setan!“   “Apa ….,apa maksud paduka…..? Maruto bertanya oucat ketika Resi Mahapati memberi isarat dengan tangan kirinya diangkat ke atas. Empat orang pengawal muncul dan menyerang Maruto dengan keris mereka. Maruto terkejut sekali, meloncat dan mengelak, berusaha melawan sekuatnya. Akan tetapi denagn satu lagkah saja, Resi Mahapati menerjang dengan pukulan tanagn terbuka.   “Plakk!“ Tubuh Maruto terpelanting dan sebelum mampu bangkit atau menangkis, empat batang keris telah menghujam di tubuhnya. Dia terpekik satu kali dan tewas.   “Singkirkan mayatnya, kubur denagn baik, jangan sampai ada yang tahu.“ Resi Mahapati memerintah dan empat orang pengawal itu lalu membawa pergi mayat Maruto yang sial itu.   Resi Mahapati lalu melangkah ke dalam kamarnya, tersenyum penuh kemenangan dan mengangguk-angguk. “Ronggo Lawe harus dilenyapkan dulu, dia merupakan penghalang pertama yang berbahaya…..“ gerutunya seorang diri.     ***   Berbondong-bondong memang pasukan-pasukan kecil yang dipimpin oleh mereka yang bersimpati kepada Adipati Ronggo Lawe, meninggalkan Mojopahit untuk menyeberang ke Tuban dan membantu adipati yang gagah perkasa itu. Akan tetapi, ketika ratusan orang itu tiba di tepi Sungai Tambakberas, air sungai waktu itu sedang apsang karena di sebelah turun hujan lebat sehingga memenuhi sungai. Selagi ratusan orang ini sibuk membuat persiapan untuk menyeberang sungai yang airnya naik tinggi itu, tiba-tiba datang pasukan seribu orang prajurit Mojopahit yang dipimpin oleh Nambi. Patih Nambi yang merasa sakit hati dan marah oleh pemberontakan Ronggo Lawe yang ditujukan kepadanya itu, segera mengeraahkan bala tentaranya dan menyerbu. Para pengikut Ronggo Lawe melakukan perlawanan mati-matian. Mereka berdiri dari orang-orang gagah yang dipimpin oleh bekas perwira-perwira Mojopahit atau dahulu menjadi anak buah Ronggo Lawe ketika adipati ini masih menjadi senopati di Mojopahit, di antara mereka adalah Ki Tosan, Empu Siddhi, Kidang Glatik, dan Muringgang. Namun jumlah pasukan Mojopahit yang dipimpin oleh Nambi itu jauh lebih bear sehingga akhirnya, setelah melawan mati-matian sampai senja hari, akhirnya para pengikut Ronggo Lawe dapat dihancurkan dan selain banyak yang roboh tewas, selebihnya lari cerai-berai mencari keselamatan masing-masing.   Patih Nambi yang memperoleh kemenangan di tepi Sungai Tambakberas itu tidak puas dengan hasil kemenangannya. Pada senja hari itu, air sungai sudah surut, maka dia lalu menyeberangi Sungai Tambakberas dan menyerbu Tuban.   Kekalahan para pengikut Ronggo Lawe yang datang dari Mojopahit ini segera terdengar oleh Ronggo Lawe. Sang adipati menjadi marah sekali, segera mengumpulkan pasukan dan menyuruh Panewu Progodigdoyo dan para pembantunya yang lain untuk mengerahkan pasukan, menyambut musuh yang atang dari selatan. Ada pun sang adipati sendiri lalu memasuki istananya untuk minta diri kepada dua orang isterinya.   Begitu dia memasuki kamarnya, dia disambut oleh dua orang isterinya yang tercinta itu. Mertaraga kelihatan muram wajahnya dan kusut rambut serta pakaiannya, sedangkan Tirtawati yang mengandeng Kuda Anjampiani, putera sang adipati yang baru berusia delapan tahun, juga kelihatan berduka. Mereka telah mendengar akan usaha pemberontakan suami mereka dan kedua orang isteri ini merasa prihatin dan khawatir sekali. Begitu melihat suaminya, Mertaraga lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki suaminya sambil menangis. Melihat ini, Tirtawati juga menangis sedangkan Kuda Anjampiani atau yang juga disebut raden Turonggodewa, memandang kepada ibunya, ibu tirinya dan ayahnya dengan terheran-heran.   “Ah, kenapa kalian menangis? Mertaraga, adinda sayang, bangkitlah dan jangan seperti anak kecil.“ Ronggo Lawe menarik lengan isterinya dan menuntunnya duduk di tengah kamar.   “Kakangmas adipati, saya mendengar bahwa Tuban akan berperang melawan Mojopahit. Benarkah itu?“ tanya Tirtawati yang agak lebih tabah dibanding dengan madunya, Mertaraga.   “Benar demikian, adinda Tirtawati,“ jawab sang adipati dengan tenang.   “Ohh, kenapakah, kakangmas? Kenapa paduka hendak memberontak terhadap Mojopahit?” pertannyaan ini diajukan oleh Tirtowati dengan suara terheran-heran dan terkejut, karena sesungguhnya sukar baginya untuk percaya bahwa suaminya yang dia tahu adalah seorang pahlawan Mojopahit yang setia kepada kerajaan sampai ke tulang sumsumnya itu kini dapat memberontak terhadap Mojopahit!   Melihat wajah isterinya dan mendengar suara serta menatap sinar matanya, Adipati Ronggo Lawe maklum apa yang bergolak di dalam batin isterinya, maka dia merangkul isteri ke dua, ibu kuda Anjampiani itu dan menjawab tenang, “aku sama sekali tidak memberontak terhadap Mojopahit, isteriku sayang, melainkan sedang menentang kejaliman dan melawan penghinaan yang ditimpakan kepadaku.“ Dengan singkat Adipati Ronggo Lawe yang dialaminya kepada dua orang isterinya dan memandang suami mereka tercinta denagn muka pucat dan sinar mata penuh kegelisahan.   “Demikianlah, diajeng sekalian, bukan aku memberontak melainkan hendak menentang si keparat Nambi yang hendak menghinaku dengan menggunakan nama sri baginda dan menggunakan bala tentara Mojopahit.“   “Aduh, kakangmas adipati….“ Tirtawati menubruk suaminya sambil mengis.“ Bagaimana mungkin paduka akan melawan bala tentara Mojopahit yang besar dan kuat itu?“   “Kalah menang bukan soal yang amat penting dalam hal ini, adinda. Ini adalah soal kehormatan dan sekarang si Nambi telah menyerang Sungai tambakberas, telah memasuki wilayah Tuban, berarti telah melanggar kedaulatanku dan aku harus berangkat untuk menumpasnya!“   “Kakangmas….!“ Mertaraga menjerit dan menjatuhkan diri berlutut, merankul kedua kaki suaminya dan menangis tersedu-sedu. Melihat ini, Tirtawati juga ikut menangis, sedangkan Kuda Anjampiani berdiri serlongong di sudut kamar, bingung karena tidak tahu apa yang terjadi sehingga kedua orang ibunya itu menangis seperti itu.   Ronggo Lawe agak terheran melihat Mertaraga. Isterinya yang pertama ini adalah puteri dari Ki Ageng Palandongan, seorang yang tahu akan sifat-sifat kegagahan dan isterinya ini pun bukan seorang wanita lemah. Akan tetapi mengapa saat ini isterinya itu memperlihatkan sikap seorang wanita yang cengeng dan amat lemah?   Dengan langkah lebar sang adipati meninggalkan istananya, akan tetapi baru beberapa langkah, dia menoleh, dan berkali-kali dia menoleh, hatinya penuh keharuan karena dia harus meninggalkan orang-orang yang amat dikasihinya itu.   Sedangkan Tirtawati dan Mertaraga mengikutinya dengan pandang mata sayu, dengan air mata seperti untaian mutiara membasahi pipi, akan tetapi kedua orang wanita itu dengan tabah menahan isak mereka dan bibir mereka yanag masih panas oleh ciuman-ciuman dan cumbuan-cumbuan suami mereka itu kini tersenyum mengantar keberangkatan suami mereka seperti yang diminta oleh sang Adipati Ronggo Lawe.   Para pelayan yang tahu benar akan perasaan sang adipati dan dua orang isterinya itu, tidak dapat bertahan menyaksikan perpisahan ini dan mereka yang menangis tersedu-sedu, menyembunyikan muka di belakang selendang. Perpisahan yang amat mengharukan. Setelah tiba di pintu gerbang, sang adipati untuk penghabisan kali menengok, memandang seolah-olah hendak menguburkan bayangan dua orang isterinya dan puteranya itu ke dalam lubuk hatinya, kemudian dia dengan cepat membalikkan tubuhnya dan meloncat cepat membalikkan tubuhnya dan meloncat ke atas punggung Ki Mego Lamat, kuda kesayangannya yang berbulu putih agaknya kelabu seperti warna awan tipis, lalu membedal kudanya menuju ke arah barisannya yang telah bersiap di luar kota tuban. Dua orang isterinya tidak dapat melihat lagi bayangan suaminya, hanya mendengar derap kaki kuda Mego Lamat, makin lama makin lirih, makin jauh membawa terbang semangat mereka. Tubuh mereka manjadi lemas dan tiba-tiba mereka terkulai, ditubruk oleh para emban yang menjerit-jerit, kemudian mereka dipapah masuk ke dalam kamar, diiringi tangis Kuda Anjampiani.   (Bersambung ke Jilid 4)   Jilid 04   Baru saja Ronggo Lawe tiba di luar kota Tuban di mana pasukan-pasukannya telah siap dalam barisan yang rapi, dipimpin oleh Panewu Progodigdoyo dan para pembantunya yang lain, tiba-tiba seorang kakek menghampirinya. Melihat kakek ini, Adipati Ronggo Lawe cepat meloncat turun dari kudanya dan memberi salam, karena kakek ini bukan lain adalah Ki Ageng Palandongan, ayah dari isterinya yang pertama, Mertaraga. Setelah memberi salam balasan, Ki Ageng Palandongan dengan wajah yang keriputan itu membayangkan kecemasan hatinya, berkata, “Puteranda adipati, saya mendengar bahwa Tuban akan berperang dengan Mojopahit! Apakah hal ini sudah kaupikirkan baik-baik? Apakah tidak ada lain jalan untuk mendamaikan urusan antara Tuban dan Mojopahit?“   Ronggo Lawe menggeleng kepala. “Harap kanjeng rama tidak mencampuri urusan ini, karena urusan ini adalah urusan kehormatan antara saya dan Nambi. Nambi yang curang telah menghasut sang prabu, kini telah membawa pasukan untuk menggempur Tuban, biar bagaimana pun juga, harus saya tandingi dia!“   Melihat mantunya yang dia tahu amat keras hati, Ki Ageng Palandongan hanya menarik napas panjang. “Kehendak Hyang Widhi tak apat dicegah oleh kekuasaan manusia. Saya hanya membekali pangestu, sang adipati dan hendaknya kau selalu ingat bahwa segala tindakanmu adalah demi kebenaran, bukan terdorong oleh kebencian.“   “Terima kasih, kanjeng rama.“     Demikianlah, tanpa menghiraukan bujukan mertuanya, Ronggo Lawe lalu menggerakkan pasukannya dan membanjirlah pasukan Tuban itu ke selatan, melakukan perjalanan semalam suntuk.   Pada keesokan harinya, bertemulah pasukan Tuban dengan pasukan Mojopahit yang dipimpin oleh Patih Nambi sendiri. Begitu terjadi perang campuh, Ronggo Lawe membedal kudanya, berputar-putaran mencari musuh besarnya. Akhirnya dia melihat Patih Nambi mengamuk di sebelah timur. Nambi mengendarai seekor kuda yang berbulu ke kuningan, kuda yang bernama Brahma Cikur. Melihat lawannya, Ronggo Lawe menggereng seperti seekor harimau kelaparan, lalu membedal kudanya mengejar ke tempat itu. Setelah dekat dan berhadapan muka, Ronggo Lawe membentak keras,   “Si keparat Nambi! Macam engkau akan menjadi patih hamangkubumi di Mojopahit? Boleh kau menjadi patih kalau dapat melangkahi mayat Ronggo Lawe! Kalau tidak, maka engkau yang akan menggeletak di atas tanah, kepalamu akan kuinjak-ijak sampai lumat!“   “Babo-babo Ronggo Lawe manusia sombong, pemberontak hina dina. Majulah untuk menerima hukuman mati!“ Nambi juga membentak marah sambil mencabut kerisnya yang ber-luk tiga dan bernama kyai Bangodolong. Keris ini mengeluarkan sinar kehitaman dan merupakan keris pusaka yang ampuh.   “Bagus, majulah, keparat!“ Ronggo Lawe juga mencabut kerisnya, yaitu Kyai Kolondah, keris ber-luk lima yang mempunyai sinar kemerahan menggiriskan. Keris Kyai Kolonadah ini adalah keris pusaka pemberian gurunya, bahkan keris ciptaan atau buatan gurunya itu sendiri, Sang Empu Supamandrangi yang sakti mandraguna, pertapa di puncak Gunung Bromo yang sudah amat terkenal.   Kini dua ekor kuda pilihan itu mulai berlaga, dikendarai oleh dua orang senopati perang yang sama digdaya, sama gemblengan. Kuda Brahma Cikur dan kuda Mego Lamat meringkik dan menyepak-nyepak, menyirik dan berputar dalam lingkaran ketika kedua tuan mereka mulai bertanding. Keris pusaka dan kepalan melayang saling tikam saling hantam dan saling tangkis. Bunyi nyaring bertemunya dua pusaka disusul oleh berpijarnya bunga api yang menyilaukan mata dan setiap kali dua lengan mereka saling bertemu dengan dorongan tenaga sakti yang amat kuat, keduanya terdorong dan hampir roboh dari atas kuda.   Perang tanding yang amat seru di antara dua orang musuh yang saling membenci ini berlangsung di tengah-tengah perang campuh antara orang-orang Tuban dan orang-orang Mojopahit, yang dahulunya merupakan kawan-kawan seperjuangan yang berperang bahu-membahu menghadapi musuh mereka bersama. Akan tetapi, di antara para perwira Mojopahit, dan juga para prajuritnya, banyak yang diam-diam merasa jerih an juga segan terhadap Adipati Ronggo Lawe, maka mereka berperang setengah hati, apalagi karena jumlah barisan Tuban lebih banyak daripada mereka. Akhirnya, setelah berperang hampir setengah hari lamanya, setelah banyak korban berjatuhan, barisan Mojopahit terdesak mundur. Apalagi ketika Ronggo Lawe berhasil menikam leher kuda Brahma Cikur yang menjadi kesakitan, meloncat-loncat dalam sekarat kemudian terbanting mati, semangat para perwira Mojopahit mengendur. Untung bahwa Patih Nambi dapat cepat meloncat dan menyelamatkan diri dengan bersembunyi dalam pasukannya.     Dua orang wanita itu merangkul suami mereka an mereka mencurahkan kasih sayang dan berkasih-kasihan dengan sepenuh jiwa raga karena mereka berdua sedang tenggelam dalam keharuan yang mendalam. Tiada puas-puasnya agaknya Ronggo Lawe mencurahkan cinta kasihnya kepada mereka berdua, dan dua orang isterinya itu pun agaknya tidak pernah mau melepaskan suaminya tercinta dari dekapan mereka.   Setengah hari lamanya Ronggo Lawe dan kedua orang isterinya berada di dalam kamar mereka, saling mencurahkan cinta kasih mereka, lupa segala, lupa waktu, lupa diri dan tenggelam dalam kemesraan. Akhirnya suara canang menyadarkan Ronggo Lawe bahwa bala bantuan tentaranya yang dikumpulkan oleh para pembantunya sudah siap, tinggal menanti dia untuk diberangkatkan menyambut musuh.   Dengan menggandeng tangan kedua isterinya yang kusut pakaian dan rambutnya, pucat mukanya namun wajah dan sinar mata mereka menyorotkan kemesraan, Ronggo Lawe lalu menuju ke kamar mandi. Dengan bantuan dua orang isterinya, dia mandi keramas lalu mengenakan pakaian keprajuritan yang sederhana sekali, tubuh aatasnya hanya terhias pelindung pergelangan tangan, gelang perak di pangkal lengan, baju penutup dada, dan ikat pinggang emas melingkar di pinggang. Celana abu-abu mencapai bawah lutut, tertutup kain yang dilipat pendek di atas lutut, dengan ujung diwiru berjuntai ke depan. Kepalanya hanya terhias ikat kepala yang kecil saja, terbuat dari emas dan perak terukir, sehelai tali yang mengikat hiasan tanda pangkat sebagai adipati, merupakan permainan yang bermata mirah tergantung di leher. Kyai Kolonadah, keris luk lima yang biasa dipakai dalam perang, terselip di pinggangnya.     Dengan wajah bercahaya dan sikap yang gagah sekali, Ronggo Lawe memeluk dan mencium bibir isterinya yang kini telah tenang dan pasrah itu, Tirtawati dan Martaraga, bergantian, dibalas denagn penuh kemesraan oleh mereka, kemudian adipati ini memondong puteranya yang dibawa masuk.   Tiba-tiba Kuda Anjampiani menangis, membuat ayahanya dan kedua orang ibunya terkejut dan terharu. Diam-diam Ronggo Lawe makin yakin bahwa sesuatu pasti akan menimpa dirinya dan dia merasa bangga bahwa puteranya ini memiliki kepekaan halus.   “Hishh, anak yang gagah kenapa menangis?“ Ronggo Lawe berkata sambil mencium dahi puteranya.   “Rama jangan pergi meninggalkan saya,“ anak itu berkata.   “Rama akan pergi ke Mojopahit, jangan menangis nanti akan rama belikan kereta kencana dan kuda sembrani.“   Anak itu berhenti menangis dan memandang ayahnya denagn sepasang matanya yang bening dan tajam. “Kuda sembrani yang pandai terbang, rama? Rama naik kereta kencana dan diterbangkan oeh kuda sembrani?“ Ucapan anak-anak itu makin mengandung arti, maka Ronggo Lawe hanya mengangguk-angguk saja, menyerahkan anak itu kepada Tirtawati, kemudian dia berkata, “Selamat tinggal, aku berangkat!“   Sorak-sorai menggegap gempita menyambut kemenangan tentara Tuban yang terus dipimpin oleh Ronggo Lawe, melakukan pengejaran ke selatan. Sisa pasukan Mojopahit melarikan diri ke selatan. Ronggo Lawe yang merasa kecewa bahwa dia hanya dapat membunuh kuda tunggangan Nambi, berteriak keras memberi aba-aba untuk mengejar terus dan dia sendiri dengan kuda Mego Lamat melakukan pengejaran terdepan! Para perajurit Mojopahit yang berada di bagian terbelakang, tersusul dan mengamuklah Ronggo Lawe dengan kerisnya yang mengeluarkan sinar kemenangan. Sepak terjangnya menggiriskan dan sisa pasukan Mojopahit mempercepat larinya, membawa kekalahan besar dan Nambi berada bersama mereka, bahkan menggunakan kuda terbaik untuk mendahului lari ke Mojopahit untuk melaporkan kekalahannya.   Sisa pasukan Mojopahit melintas Sungai Tambakberas. Ketika pasukan-pasukan yang dipimpin oleh Ronggo Lawe tiba di tepi sungai itu dan hendak melanjutkan pengejarannya, dia ditahan oleh para pembantunya, termasuk Panewu Progodigdoyo yang merupakan pambantu utamanya.   “Jangan, kakang adipati, jangan mengejar ke seberang. Di seberang adalah daerah Mojopahit, jangan sampai kita terjebak di sana. Mojopahit belum mengerahkan semua kekuatan tentaranya, dan tak lama lagi si Nambi tentu akan mendatangkan bantuan yang lebih kuat. Sedangkan pasukan kita sudah lelah, pula harus disusun kembali karena sudah berkurang jumlahnya.“   Ronggo Lawe yang merasa kecewa belum dapat membunuh Nambi, mklum bahwa nasihat ini memang tepat, maka dia mengurungkan niatnya untuk melakuan pengejaran terus. Sebaliknya, Ronggo Lawe lalu mengumpulkan semua kekuatan dan sisa-sisa prajurit Tuban, kemudian memerintahkan para pembantunya untuk memperkuat pasukan dengan menerima pasukan-pasukan suka rela yang berdatangan dari seluruh Tuban, yaitu rakyat jelata yang setelah mendengar bahwa Tuban diserbu tentara Mojopahit lalu menawarkan diri untuk menjadi prajurit dan membantu sang adipati yang mereka hormati dan kagumi.   Dalam waktu dua hari saja, hampir selaksa orang dapat dikumpulkan dan secara kilat mereka ini digembleng olah keprajuritan. Di antara mereka terdapat pula orang-orang sakti yang baru turun dari pertapaan untuk mendarmabaktikan kepandaian mereka kepada Kadipaten Tuban.   Sementara itu, sang prabu di Mojopahit tadinya bergembira mendengar berita kemenangan bala tentara Mojopahit yang berhasil mencerai-beraikan dan menumpas sebagian besar para simpatisan Ronggo Lawe dari daerah Mojopahit yang hendak menyeberang ke Tuban. Akan tetapi pada hari berikutnya, beliau terkejut bukan main mendengar berita tentang Nambi.   Tak lama kemudian Nambi sendiri denagn pakaian kusut, muka pucat, napas terengah-engah, menjatuhkan diri berlutut di depannya dan dengan suara terputus-putus melaporkan kekalahan bala tentara yang dipimpinnya.   "Jumlah pasukan si pemberontak itu jauh lebih besar, gusti," demikian antara lain Patih Nambi melapor. "Pasukan-pasukan kita dihancurkan dan cerai-berai, sebagian melarikan diri mencari keselamatan menyusup ke dusun-dusun dan ke gunung-gunung, dikejar-kejar oelh pasukan Tuban yang kejam dan ganas. Kuda hamba tewas ditusuk si Ronggo Lawe yang curang. Tadinya dia sudah terdesak oleh hamba, akan tetapi dengan liciknya dia menyerang Brahma Cikur dan membunuhnya sehingga hamba terpelanting. Untung hamba masih dapat menyelamatkan diri dari di antara pasukan."   Bukan main marahnya hati sang prabu mendengar pelaporan ini. "Hemm... Kakang Ronggo Lawe benar-benar telah memberontak! Para senopati, siapkan bala tentara! Sekarang juga aku sendiri akan memimpin pasukan besar untuk menggempur Tuban dan menangkap kakang Ronggo Lawe!" Saking marahnya, sang prabu sampai turun dari kursi kencana dan bertolak pinggang, muknya merah, matanya berapi-api.   Lembu Sora dan Kebo Anabrang cepat menyembah dan menghibur hati sang prabu yang seang marah itu. "ampun, kanjeng gusti, harap pasuka bersabaran tidak melanjutkan kemarahan paduka, karena kemarahan dapat mengurangi kewaspadaan. Perbuatan Ronggo Lawe memang harus dihukum, akan tetapi tidak sekarang karena pasukan-pasukan kita masih lelah." Demikian Lembu Sora dengan suara tenang memperingatkan junjungannya.   "Apa yang dikatakan oleh paman Lembu Sora memang tepat, gusti sinuwun," kata pula Kebo Anabrang yang juga menjadi merah telinganya karena marah mendengar perlawanan Ronggo Lawe yang menghancurkan pasukan Mojopahit, "Kekuatan Mojopahit harus dipulihkan lebih dulu dan sebelum paduka turun tangan, sebaiknya diselidiki dulu sampai di mana kekuatan musuh. Si Ronggo Lawe bukanlah anak kemarin, melainkan seorang senopati yang sudah gemblengan, maka haruslah dihadapi denagn hati-hati pula, karena kalau hanya sembrono menurutkan kemarahan, jangan-jangan akan menggagalkan penyerbuan seperti yang telah dilakukan oleh Ki Patih Nambi." Dalam ucapan ini sedikit banyak Kebo Anabrang juga menegur Nambi yang tadinya begitu sombong akan tetapi ternyata mengalami kegagalan sehingga merusak kekuatan Mojopahit dan kekalahan itu merendahkan nama besar Mojopahit sendiri. Patih Nambi hanya mendengarkan dengan kepala tunduk.   Akhirnya sang prabu dapat terbujuk oleh dua orang senopati besar dan kemarahannya mereda. Lalu diperintahkannya beberapa senopati dan perwira Mojopahit untuk mengumpulkan kekuatan dan mempersiapkan selaksa orang prajurit yang pilihan dalam waktu tiga hari.   Setelah memperoleh berita dari penyelidikan mata-mata akan kekuatan pasukan Tuban, sang prabu sendiri memimpin selaksa orang pasukan prajurit ojopahit yang pilihan, kemudian dengan dikawal oleh para senopatinya, sang prabu menggerakkan barisan Mojopahit ke utara, menyeberangi sungai Tambakberas. Dari sebuah bukit kecil di seberang sungai, sang prabu memeriksa keadaan dan dari tempat tinggi itu dia melihat pasukan-pasukan Tuban yang teratur rapi bergerak dari utara dan dari jauh itu sang prabu melihat seorang penunggang kuda yang dengan gagah perkasa menjalankan kudanya di depan barisan. Seorang senopati yang amat gagah, yang dari jauh nampak cahaya bersinar di atas kepalanya, dan tahulah sang prabu bahwa penunggang kuda itu bukan lain adalah Ronggo Lawe sendiri. Trenyuhlah hati beliau, merasa nelangsa mengapa senopatinya yang paling setia itu, yang gagah perkasa dan yang sudah banyak jasanya, bahkan yang berjasa pula membantu dia menjadi raja, kini mengerahkan betapa sepasang matanya menjadi panas dan dua titik air mata mengancam untuk membasahi matanya. Maka beliau lalu menunduk, menarik napas panjang. Mengapa harus ada perang seperti ini? Mengapa kehidupan manusia selalu penuh dengan permusuhan?   Setelah hatinya tidak dicekam keharuan dan kedukaan lagi, sang prabu mengangkat kepala memandang. Ronggo Lawe yang menunggang kuda Nila Ambara, yang dari jauh kelihatan kehitam-hitaman, menghentikan bala tentaranya dan agknya telah siap untuk menghadapi serbuan pasukan Mojopahit. Maka teringatlah lagi sri baginda bahwa beliau sedang menghadapi barisan musuh! Dipanggilnya para senopatinya dan bersama mereka, sambil menyelidiki keadaan musuh, sang prabu menyusun siasat.   “Sedapat mungkin hindarkan perang campuh yang akan menjatuhkan banyak korban di kedua pihak,“ kata sang prabu. “Yang menjadi biang keladi perang ini adalah Lawe, maka cukuplah kalau dapat menawannya hidup atau mati. Kalau dia dapat ditundukkan, tentu perang dapat dihentikan.“   “Demikian, siasat lalu disusun. Lembu Sora sendiri, biarpun dia itu paman Ronggo Lawe, mendapat tugas untuk memimpin pengepungan. Ronggo Lawe akan dikepung dari tiga jurusan, yaitu Kebo Anabrang akan menyergap dari jurusan timur, Gagak Sarkoro akan bergerak dari barat, sedangkan Mayang Mekar yang mengambil jalan memutar akan muncul dari utara sebagai pasukan penyergap dari belakang. Lembu Sora sendiri akan langsung datang dari selatan, lagsung menghadapi keponakannya yang memberontak itu sambil memimpin pengepungan.   Tak lama kemudian terdengarlah bunyi canang, terompet dan keuntungan, disusul sorak-sorai yang seolah-olah meruntuhkan langit dari kedua fihak. Perang telah dimulai !   Siasat sri baginda yang dilaksanakan oleh Lembu Sora dan kawan-kawannya itu berhasil baik. Mereka telah dapat menceraikan pasukan inti yang dipimpin Ronggo Lawe sendiri dari pasukan lain dan yang pertama menyerbu adalah Kebo Anabrang, senopati gemblengan yang telah terkenal amat sakti itu. Senopati Kebo Anabrang terkenal sekali setelah dia behasil memimpin pasukan menyeberang ke tanah Melayu, bahkan telah berhasil memboyong puteri untuk sang prabu sehingga puteri itu kemudian menjadi isteri terkasih, yaitu Dyah Dara Petak yang kini disebut Sri Indreswari!   “Ronggo Lawe, lebih baik engkau menyerahkan diri agar dosamu tidak begitu besar terhdap sang prabu!“ Kebo Anabrang berteriak dengan suaranya yang tinggi besar dan bertubuh kokoh kekar itu amat menggiriskan. Setiap gerakan tangan dan kaki dari atas kuda tentu merobohkan seorang perajurit, bahkan sebelum bertemu dengan Ronggo Lawe, kaki kanan Kebo Anabrang ini menendang seorang perwira yang menunggang kuda sehingga kuda dan penunggangnya terlempar dan terbanting remuk!   Merah muka Ronggo Lawe, kumisnya yang seperti kumis Gatotkaca itu bergetar ketika dia memandang kepada Kebo Anabrang dari atas punggung Nila Ambara. “Babo-babo, Kebo Anabrang! Aku tidak melawan sang prabu, melainkan hendak membunuh si Nambi! Suruh dia keluar dan akan kuhirup darahnya! Kalau kau hendak membela di Nambi, berarti kau sudah bosan hidup!“   “Manusia sombong, majulah!“ Kebo Anabrang menantang dan mereka menggerakkan kendali kuda masing-masing. Kuda tunggangan mereka melonjak dan saling tubruk, terdengar suara nyaring berdencing ketika keris mereka saling bentur berkali-kali, mengakibatkan muncratnya bunga api. Bukan main hebatnya pertandingan anatara dua orang senopati gemblengan dari Mojopahit itu, dan sukarlah mengatalan siapa yang lebih gagah, biar pun tubuh Kebo Anabrang lebih besar daripada tbuh Ronggo Lawe. Kalau boleh dibandingkan dengan tokoh pewayangan, tubuh Kebo anabrang seperti tubuh Sang Aryo Werkudoro, sedangkan tubuh Ronggo Lawe seeprti tubuh Sang Aryo Gatotkaca. Akan tetapi tentu saja dua tokoh ayah dan anak itu tidak akan bertanding mengadu nyawa seperti yang dilakukan oleh dua orang senopati bekas kawan seperjuangan itu.   Ronggo Lawe adalah seorang ahli menunggang kuda dan tubuhnya lebih ringan daripada Kebo Anabrang, juga kudanya Nila Ambara adalah kuda pilihan, lebih gesit daripada kuda Mego Lamat. kudanya yang dipergunakan ketika melawan Nambi kemarin dulu. Karena tubuhnya lebih ringan, maka kuda Nila Ambara jauh lebih gesit gerakannya sehingag akhirnya keris di tangan Ronggo Lawe, yaitu keris pusaka berluk lima Kyai Kolonadah berhasil menggores moncong kuda yang ditunggangi Kebo Anabrang. Kuda itu meringik dan berdiri di atas kedua kaki, berloncatan sehingga turun.   “Keparat….!“ bentaknya dan dengan cekatan sekali seperti seekor kijang melompat, Kebo Anabrang yang sudah tidak berkuda lagi itu menubruk dengan tusukan kerisnya.   “Cringgg…!! “   Bunga api berpijar ketika keris di tangan Kebo Anabrang yang ber-luk tiga dan disebut Kyai Soka, bertemu dengan Kyai Kolonadah. Keduanya merasa bertapa tangan mereka tergetar hebat. Akan tetapi kemudian terpaksa Kebo Anabrang harus meloncat ke belakang dan menjatuhkan diri karena tanpa kuda, dia akan berada dalam keadaan berbahaya.   “Heh, Kebo Anabrang, pengecut kau kalau melarikan diri!!“ Ronggo Lawe menantang dan mengajukan kudanya untuk mengejar.   Dua perwira bawahan Kebo Anabrang yang melihat atasannaya dalam bahaya, cepat meloncat maju dan menyerang Ronggo Lawe dari kanan kiri dan menyerang Ronggo Lawe dari kanan kiri dengan tusukan tombak mereka. Secepat kilat, Ronggo Lawe menyarungkan kerisnya, kemudian dengan tubuh ditarik ke belakang, dia menggerakkan kedua tangan menangkap tombak yang meluncur dari kanan kiri itu, terus ditariknya dengan pengerahan tenaga dan kakinya meneprak kuda. Dua orang perwira itu memekik dan terguling roboh, kemudian disusul pekik mereka yang menyayat hati ketika kuda Nila Ambara yang mengangkat kaki depannya itu menurunkan kaki depan dengan keras, menginjak kepala dua orang perwira sehingga pecah-pecah dan mereka tewas seketika!   Bukan main marahnya hati Kebo Anabrang menyaksikan hal ini. “Heh, ronggo Lawe, kalau memang engkau jantan, turunlah dari kudamu dan mari kita mencari tempat sepi untuk mengadu tebalnya kulit kerasnya tulang secara ksatria. Tentu saja kalau kau berani!“   Ronggo Lawe adalah seorang senopati perang, akan tetapi juga seorang ksatria, seorang pendekar yang tentu saja pantang mundur, apalagi ditantang seperti itu oleh Kebo Anabrang.   “Babo-babo, keparat, siapa takut padamu?“ Ronggo Lawe membentak dan meloncat turun dari kudanya, kemudian mengejar turun dari kudanya, kemudian mengejar Kebo Anabrang yang sengaja lari mencari tempat yang agak lega. Akhirnya mereka tiba di Sungai Tambakberas yang pada waktu itu airnya agak surut sehingga nampaklah batu-batu besar, sebesar kerbau menjerum (mendekam dalam air).   (Bersambung ke Jilid 5)   Jilid 05   Kebo Anabrang adalah seorang yang ahli dalam air. Dia maklum betapa tanguhnya Ronggo Lawe, apalagi di atas kuda. Maka dia tadi memancing Ronggo Lawe untuk turun dari kuda dan kini dia sengaja memilih tempat di sungai itu. Bukan percuma saja Kebo Anabrang mengalami banyak hal ketika dia menyeberang ke tanah Melayu dan kini dia mempergunakan pengalamannya itu untuk mencari akal agar unggul dalam pertandingan menghadapi lawan yang amat sakti ini. Dengan tangkas dia lalu meloncat ke atas batu-batu itu, biar pun tubuhnya tinggi besar namun gerakannya tangkas seperti seekor kijang berloncatan. Dia berhenti di tengah-tengah sungai, di atas batu kali yang hitam, licin mengkilap dan besar, lalu mencabut kerisnya, keris Kyai Soka dan menantang-nantang, “Hayo ke sinilah kau, Ronggo Lawe, kalau memang kau jantan. Jangan hanya berani kepada Nambi saja. Inilah Kebo Anabrang, laki-laki gemblengan yang menjadi tandinganmu dan yang akan menamatkan riwayatmu di tengah-tengah Sungai Tambakberas!“   Tadinya Ronggo Lawe agak meragu dan ngeri karena sesungguhnya dia bukanlah seorang ahli bermain di air. Akan tetapi tantangan Kebo Anabrang memerahkan telinganya dan dia pun mencabut keris pusaka Kyai Kolonadah.   “Si keparat Kebo Anabrang! Ronggo Lawe adalah laki-laki sejati! Tunggulah kedatanganku! Adipati ini pun lalu meloncat ke atas batu-batu itu, dengan gesitnya berloncatan menghampiri Kebo Anabrang yang sudah siap.   “Terimalah ini!“ Ronggo Lawe membentak, tubuhnya meloncat dengan terkaman ganas, kerisnya menusuk, tangan kirinya menampar dengan Aji Gelap Sewu yang terkenal ampuh, karena tamparan dengan aji dapat menghancurkan batu kali!   “Bagus!“ Kebo Anabrang membentak dan cepat dia menangkis dengan kerisnya Kyai Soka.   “Cring….!“ Dua pusaka bertemu dan Kyai Soka cepat digerakkan oleh Kebo Anabrang untuk menangkis tamparan tangan kiri Ronggo Lawe.   “Plakkk!“ Tangan kiri Ronggo Lawe bertemu dengan keris Kyai Soka, akan tetapi lecet pun tidak, bahkan Kebo Anabrang merasa betapa lengan kanannya menjadi tergetar hebat oleh hawa panas yang timbul dari Aji Gelap Sewu!   “Wuuuutt….!“ Kaki kiri Kebo Anabrang menendang dengan sepakan tumitnya, keras sekali dan kalau mengenai lutut Ronggo Lawe tentu akan membikin adipati itu celaka, karena sekali lututnya patah tentu dia akan kalah. Namun dengan cekatan Ronggo Lawe meloncat ke atas batu yang lain sambil mengelak.   Mulailah mereka serang-menyerang dengan ganas, seru dan mati-matian. Keduanya sama kuat, sama cekatan, dan keris mereka pun sama ampuhnya Tusuk-menusuk, pukul-memukul, tendang-menedang mereka lakukan bergantian namun lawan tetap saja dapat menangkis, mengelak, bahkan kadang-kadang menerima pukulan dengan kekebalan kulit mereka!     Hebat bukan main pertandingan antara dua orang senopati gemblengan ini. Peluh sudah bercucuran dari seluruh dari seluruh tubuh mereka. Dan kini banyak prajurit kedua fihak yang berdekatan dengan tempat itu menghentikan perang mereka, dan mereka itu berdiri di kedua tepai sungai dan bersorak-sorak memberi semangat kepada jago masing-masing! Pertandingan sehebat itu terlampau menarik untuk dilewatkan begitu saja, sungguhpun mereka sendiri sedang berperang campuh. Tanpa dikomando lagi, perang di sekitar tempat itu berhenti, semua lebih suka menonton!   “Plak-plak-cringgg!“ Kembali mereka beradu lengan dan beradu keris, akan tetapi dengan kecepatan seekor burung kepinis, Ronggo Lawe meloncat dan tangan kirinya menampar ke arah kepala Kebo Anabrang.   “Wuuuuttt….dessss!!“ Biar pun Kebo Anabrang sudah mengelak dengan miringkan tubuh, tetap saja tamparan itu mengenai pundaknya. Dia sudah cepat mengerahkan aji kekebalannya, akan tetapi tetap saja pundaknya terasa panas dan setengah lumpuh. Dia meloncat ke sebuah batu lain dan memandang lawannya dengan sinar mata kagum bukan main!   Selama hidupnya sebagai seorang prajurit dan pendekar, belum pernah Kebo Anabrang menemui tandingan sehebat Ronggo Lawe ini. Dia adalah seorang pendekar yang gagah perkasa, yang amat menghargai kegagahan, dan biar pun sudah lama dia menjadi kawan seperjuangan Ronggo Lawe dan banyak melihat kegagahan kawan itu, baru sekarang dia membuktikannya sendiri dan dia menjadi kagum bukan main!   “Hemmmm….!“ Dia menggeram, pandang matanya bersinar-sinar, peluhnya menetes-netes, diusapnya dengan tangan kirinya yang besar. “Hebat engkau Ronggo Lawe!“   Ronggo Lawe yang berdiri di atas batu lain, juga mengusap peluhnya dengan tanagn kirinya dan memandang lawan dengan sinar mata berapi, penuh semangat. “Babo-babo, keluarkan semua kesaktianmu, Kebo Anabrang!“ tantangnya, kagum juga melihat betapa tamparannya dengan Aji Gelap Sewu yang mengenai pundak tadi tidak merobohkan lawannya ini.   “Engkau memang digdaya dan kalau saja engkau mau menakluk, menghentikan perang gila ini, aku…. , akulah yang akan mohon kepada sang prabu untuk pengampunan atas dirimu, kawan!“     Ucapan yang mengandung kemesraan dan perlindungan ini seperti minyak menyiram api. Sepasang mata Ronggo Lawe seperti mengeluarkan api. “Tutup mulutmu, Kebo Anabrang! Hanya ada dua pilihan bagiku, menang membunuh Nambi atau tewas di medan yuda!“   Kebo Anabrang menarik napas panjang. “Hemm, kau telah memilih mati, Ronggo Lawe. Baiklah, engkau akan mati di tanganku!“   Kembali kebo Anabrang memandang ragu, tangan kirinya menyendok air sungai dan membasahi leher dan dadanya, dilihat oleh Ronggo Lawe yang sudah siap menerjang lagi.   “Sambut serananku!!“ Ronggo Lawe membentak dan dia sudah menerjang lagi, ditangkis oleh keris Kebo Anabrang. Kembali dua orang senopati gemblengan ini bertanding, lebih hebat daripada tadi malah. Batu-batu sebesar karbau tergetar, air sungai muncrat-muncrat dan ikan-ikan berkelebekan, ada yang mati karena panasnya hawa dua keris pusaka yang kadang-kadang bergulat banting-membanting di air dangkal yang hanya sampai ke lutut.   Kebo Anabrang maklum bahwa sukarlah baginya untuk mengalahkan lawan ini, kalau tidak menggunakan akal. Maka mulailah dia berloncatan dari batu ke batu, dikejar oleh Ronggo Lawe dengan ganas, tidak tahu bahwa lawannya itu memancingnya ke bagian yang airnya dalam, lebih dari ukuran orang.   Ketika sudah mendapat posisi baik di atas batu kali licin yang berdiri di tengah air yang dalam, kebo Anabrang menantang lagi, Ronggo Lawe meloncat, kerisnya berkilauan mengeluarkan sinar kemerahan. Kebo Anabrang menyambut, keris Kyai Soka mengeluarkan sinar berkilauan dan bertemulah keris dan orangnya di udara.   “Cringgg…bresss….!!“ Keduanya terjatuh, bukan di atas batu itu, melainkan jatuh di air.   “Byuuuurrr….!!“ Air muncrat tinggi, mereka masih bergulat, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan gugup hati Ronggo Lawe ketika kakinya terus tenggelam tidak ada tempat berpijak sampai seluruh kepalanya tenggelam! Tentu saja dia gelagapan, akan tetapi dia harus mempertahankan diri karena diserang oleh Kebo Anabrang yang pandai bermain di air itu.   Beberapa kali Ronggo Lawe gelagapan dan menelan air. Hal ini tampak oleh Kebo Anabrang, maka cepat dia menangkap pergelangan tangan kanan lawan, lalu merangkulnya, memitingnya dan membawa lawan menyelam ke dalam air sampai lama!   Para prajurit Tuban yang berdiri di tepi sungai memandang dengan mata terbelalak, mengira bahwa keduanya telah mati maka dengan marah mereka lalu menyerbu musuh dan perang terjadi kembali dengan hebatnya! Mereka tidak tahu bahwa tak lama kemudian, tampak Kebo Anabrang tak bisa menggerakkan kerisnya, Kyai Soka tak dapat dia pergunakan karena kedua tangannya mendekap dan mencekik leher lawan, yang kiri memegang pergelangan tangan kanan lawan. Dia lalu mencekik lebih keras, menenggelamkan kembali kepala Ronggo Lawe dan membentur-benturkannya ke batu kali yang berdekatan. Air kali mulai merah oleh darah Ronggo Lawe.     Peristiwa yang mengerikan itu diisaksikan oleh sepasang mata. Sepasang mata dari Ki Lembu Sora yang menonton dari dekat. Dan dua pasang mata yang menonton agak jauh sambil bersembunyi di antara rumpun alang-alang di tepai sungai.   Melihat betapa keponakannya menderita siksaan seperti itu, tidak tahanlah hati Lembu Sora dan dia cepat berloncatan ke atas batu-batu kali, mendekati tempat pertandingan itu dengan keris di tangan.   “Cressss….!!“ Kerisnya menembus belikat Kebo Anabrang, sampai ke dada. Kebo Anabrang terbelalak, sempat menenggok dan memandang Lembu Sora dengan wajah penuh keheranan, kemudian terkulai dan tewas, tubuhnya semampir di atas batu kali, tangannya masih mencekik leher Ronggo Lawe yang ternyata juga telah tewas!   Melihat ini, Lembu Sora cepat menggunakan kepandaiannya untuk meloncat pergi meninggalkan tempat itu. Dilihat sepintas lalu, kelihatannya dua orang senopati gemblengan itu mati sampyuh, karena Ronggo Lawe yang mati itu masih memegang kerisnya.     Pada saat itu, dua pasang mata yang menonton pertandingan tadi terbelalak dan seorang di antara pemilik mata itu menjerit. Ternyata mereka adalah Sri Winarti dan adiknya, Sulastri. Ketika kakak beradik ini mendengar akan pertempuran antara pasukan Tuban yang dipimpin oleh Adipati Ronggo Lawe melawan pasukan Mojopahit, mereka terkejut dan menjadi ketakutan. Apalagi ketika dusun Gendangan, yang terlanda perang, ditinggalkan semua penduduknya yang lari mengungsi, sri Winarti dan adiknya, Sulastri, menjadi binggung dan akhirnya mereka mencari tempat persembunyian di dekat sungai, di dalam rumpun alang-alang yang amat dikenalnya itu.   Akan tetapi betapa kaget hati mereka katika mendapatkan kenyataan bahwa justruh tempat itu di jadikan medan yuda! Mereka terus saja besembunyi sambil menahan napas karena peperangan itu terjadi dekat sekali dengan tempat mereka bersembunyi. Bahkan dari tempat mereka bersembunyi itu, Sri Winarti dengan mata terbelalak ikut menonton pertandingan yang amat hebat dan mengerikan antara pria yang dicintainya, dijunjung dan dipuja-pujanya, yaitu Adipati Ronggo Lawe melawan Kebo Anabrang! Dapat dibayangkan betapa tegang dan gelisah rasa hati gadis ini yang beberapa kali hampir menjerit kalau saja dia tidak dirangkul adiknya dan didekap mulutnya. Akan tetapi, ketika melihat betapa pria yang dipuja-pujanya itu tewas mandi darah dan tergolek bersama lawannya di atas batu, lawan yang dilihatnya terbunuh seorang senopati tua yang telah lari, Sri Winarti tidak dapat menahan kehancuran hatinya. Dia menjerit, bangkit dan lari menghampiri, meninggalkan Sulastri yang masih bersembunyi dan memandang dengan mata terbelalak ketakutan.   “Gusti….Gusti adipati….Kakangmas pujaan hamba….!“ Sri Winarti berlari-lari, meloncat dari batu ke batu, kadang-kadang tergelincir dan bangun lagi, sampai akhirnya dia berenang menghampiri batu di mana menggeletak mayat Kebo Anabrang yang masih mengempit mayat ronggo Lawe.   Melihat orang yang dicintainya itu rebah dikempit leh lengan kuat Kebo Anabrang, matanya setengah terbuka dan bibirnya setengah tersenyum, Sri Winarti menjerit dan menubruk.   “Aduh…..kakangmas….Adipati Ronggo Lawe….!! “ Dia menangis menjerit-jerit dan mengguncang-guncang bahu Ronggo Lawe, kemudian dengan beringas dia melhat keris pusaka Kolonadah yang masih terpegang oleh tangan kanan mayat Ronggo Lawe. Diambilnya keris itu dan dengan mata terbelalak penuh kemarahan ditusuknya lambung Kebo Anabrang dengan penuh kebencian.   “Keparat! Berani engkau membunuh kekasihku, pujaanku….? Nih, mempuslah kau!“   Keris pusaka itu menusuk lambung Kebo Anabrang, akan tetapi tentu saja tidak terasa lagi oleh badan yang sudah tak bernyawa itu.   “Kakangmas adipati ….Ah, kakangmas ….hamba….hamba ikut….!“ Dengan beringas Sri Winarti lalu menggunakan keris Kolonadah, ditusukkan ke arah dadanya sendiri, menancap di ulu hatinya sampai ke gagangnya.   “Huuuukkk….kakangmas….!“ Dia menubruk, merangkul dan mencium muka Ronggo Lawe, lalu terkulai lemas menindih tubuh pris yang dicintanya itu. Darah menetes-netes dari dadanya, di antara buah dadanya yang membusung itu, membasahi dada Ronggo Lawe.   Sepasang mata kecil Sulastri terbelalak tak pernah berkedip menyaksikan semua peristiwa itu yang mengakibatkan kakaknya membunuh diri. Kemudian dia melihat dua orang laki-laki berloncatan menghampiri tempat itu. Usia mereka tiga puluh tahun lebih, berpakaian perwira Mojopahit, yang seorang bertubuh jangkung dengan mata agak menjuling, dan orang ke dua kurus kecil dengan bibir tebal dan matanya liar tajam. Mereka berloncatan dengan gerakan yang sigap gesit ke tempat itu, kemudian mereka saling bicara perlahan, namun cukup keras untuk dapat terdengar oleh Sulastri, anak yang masih bersembunyi di dalam alang-alang itu.   “Wah, kakang Reksosura! Kau liha? Senopati Kobo Anabrang tewas pula !“ kata yang kurus berbibir tebal dan mukanya bundar itu.   “Jelas, adi Darumuko! Keris pusaka Senopati Lembu Sora tadi menusuknya, lihat itu, sampai tembus ke dadanya. Lembi Sora berlaku khianat!“ jawab yang bertubuh jangkung.   “Sssshhhh….Mari kita laporkan kepada gusti Resi Mahapati….“ kata pula yang kurus kecil.   “Dan gadis ini?“ Si Jangkung memandang. “Hemm, tentu dia ini selir luaran dari Ronggo Lawe. Lihat, sampai mati pun dia masih mencium bibir sang adipati. Wahhh, aku jadi iri, adi Darumuko. Dia begini denok dan mulus ….lihat dadanya tuh ! “   “Hushhh, kakang, mari kita pergi!“ kata yang kecil kurus, lalu dia meloncat pergi.   Si Jangkung yang bernama Reksosuro itu meludah, lalu kakinya menendang ke arah pinggul mayat Sri Winarti sehingga mayat gadis itu terguling dan terjatuh ke air, terbawa oleh arus air sungai Tambakberas dengan keris Kolonadah masih menancap di ulu hatinya. Kemudian si jangkung meludah lagi dan berlompatan mengikuti temannya, lalu lenyap dari pandangan mata.   Tidak ada orang lain melihat peristiwa terakhir ini kecuali sepasang mata Sulastri. Sepasang mata yang menyinarkan kekerasan dan ketika ada dua tetes air mata meloncat ke luar, cepat diusap dengan tangannya dan bibirnya berbisik-bisik, “Reksosura…. Darumuko….Mahapati….!“ Ketika membisikkan nama-nama ini matanya menyinarkan api dendam.   Sementara itu, dengan suara menguntur Lembu Sora berteriak memberitahukan Lembu Sora tentang kematian Ronggo Lawe kepada mereka yang masih berperang dan memerintahkan agar perlawanan orang-orang Tuban dihentikan. Semua orang terkejut mendengar bahwa Adipati Ronggo Lawe gugur, perlawanan dihentikan dan semua orang mengerumuni tepi Sungai Tambakberas di mana masih mengeletak mayat Kebo Anabrang yang dikabarkan “mati sampyuh“ dengan Ronggo Lawe.   Sang Prabu sendiri berkenan mendatangi tempat itu dan melihat keadaan dua orang senopatinya yang dikasihinya itu, sang prabu memejamkan mata, lalu membuang muka dan memerintahkan untuk mengangkut jenazah dua orang senopati itu ke Mojopahit agar memperoleh pemakaman yang terhormat sebagai pahlawan-pahlawan Mojopahit. Kemudian sang prabu mendahului pulang ke Mojopahit, dikawal psukan pengawal istimewa.   ***   Selesailah pemberontakan Ronggo Lawe, dan selesai pula peperangan yang memakan waktu singkat dan segera dapat dipadamkan berkat kebijaksanaan Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana itu, yang menggunakan siasat mengepung dan menewaskan Ronggo Lawe untuk memadamkan pemberontakan. Semua anak buahnya menakluk, bahkan dalam kesempatan ini Panewu Progodigdoyo dapat mencari muka, melaporkan kepada atasan di Mojopahit bahwa dia telah bersusah payah mencegah kehendak mendiang Ronggo Lawe agar jangan memberontak. Karena memang Progodigdoyo pandai bermuka-muka dan apalagi diam-diam dia mengadakan hubungan dengan Resi Mahapati, oleh sang prabu dia diberi kepercayaan untuk sementara mengatur dan mengamankan Tuban sebagai pejabat adipati!   Sementara itu, setelah mendengar akan kematian Ronggo Lawe, ayah adipati itu, Aryo Adikoro atau Aryo Wirorojo, dengan hati penuh duka menyampaikan berita ini kepada kedua orang mantunya. Akan tetapi betapa heran hatinya melihat dua orang mantunya ini menyambutnya dengan rambut terurai dan pakaian serba putih seolah-olah mereka telah tahu akan kematian suami mereka! Dengan hati terharu, aryo Wirorojo mengajak dua orang mantunya dan cucunya, Kuda Anjampiani, juga besannya, ayah dari Mertaraga, untuk pergi ke Mojopahit, langsung menuju ke pura Mojopahit di mana disimpan jenazah Ronggo Lawe.   Dua orang isteri Ronggo Lawe berlari-larian memasuki kamar mati dan menubruk jenazah suaminya, menangis dengan sedih, kemudian, disaksikan oleh dua orang tua yang hanya bisa berlinang air mata, yaitu Aryo Wirorojo dan Ki Ageng Palandongan ayah Mertaraga, dua orang isteri yang amat mencintanya, yang setia dan sudah bersumpah sehidup semati dengan Ronggo Lawe, melakukan bela pati dengan jalan membunuh diri dengan keris yang ditusukkan ke arah jantung sendiri.   Kebiasaan yang amat menyedihkan dan mengharukan ini memang berlaku di jaman itu, kebiasaan yang merupakan tradisi dan isteri yang melaksanakan tradisi ini dipuji-puji sebagai isteri yang setia! Sungguh menyendihkan betapa isteri yang setia! Sungguh menyedihkan betapa manusia tunduk terhadap segala macam kebiasaan yang kolot dan totol. Oleh karena itu, tiada gunanya kiranya diceritakan peristiwa yang amat mengerikan, menyedihkan dan juga membayangkan kebodohan manusia yang semenjak jaman dahulu dampai sekarangpun secara membuta menyesuaikan dirinya dengan segala macam bentuk tradisi dan kebiasan yang berbau ketahyulan. Manusia memang selalu merupakan mahluk lemah, yang sudah kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri, menggantungkan hidupnya kepada kebiasaan dan pendapat umum tanpa memperdulikan apakah itu benar ataulah keliru. Kita merasa ngeri untuk membuka mata melihat kebodohan-kebodohan dihan yang telah menjadi kebiasaan kita, bahkan segan untuk melepaskan kebiasaan-kebiasaan yang bodoh itu. Betapa lemahnya kita dan kenyataan ini sungguh amat menyedihkan!   Setelah menghadiri upacara pembakaran jenazah Ronggo Lawe dan kedua isterinya yang melakukan bela pati, dengan hati berat Aryo Wirorojo bersama Ki Ageng Palandongan membawa Kuda Anjampiani yang masih kecil dan belum tahu apa-apa itu kembali ke Tuban.   Dari sang parbu sendiri sampai para senopati dan ponggawa kerajaan menyaksikan upacara penghormatan terhadap jenazah dua orang senopati yang sudah banyak jasanya terhadap Mojopahit itu, dan sang prabu sendiri berkenan menyatakan duka citanya, atas banyaknya korban yang tewas di dalam peperangan itu, terutama karena kematian dua orang senopati itu. Akan tetapi, tidak ada seorang pun yang mengetahui akan peristiwa yang terjadi di malam berikutnya setelah Ronggo Lawe tewas di medan yuda.   Malam itu amat sunyi di tempat bekas peperangan itu. Terutama di kedua tepi sungai Tambakberas amatlah sunyinya. Tidak ada mayat yang nampak karena telah diangkut oleh para prajurit kedua fihak, akan tetapi tempat itu masih berbau amis oleh darah yang banyak tertumpah, dan keadaan amat menyeraamkan. Tidak seorang pun manusia berani mendekati tempat yang dua hari yang lalu dijadikan pembantaian antara sesama manusia itu.   Akan tetapi menjelang tengah malam, terdengar suara anak kecil yang mengeluh dan merintih, menyebut-nyebut nama Sri Winarti! Kalau ada orang mendengar suara ini, tentu dia akan lari tunggang langgang, mengira bahwa ada roh gentayangan atau iblis berkeliaran di tempat yang menyeramkan itu.   Akan tetapi sesungguhnya tidak ada roh gentayangan atau iblis berkeliaran di Sungai Tambakberas itu. Yang ada hanyalah seorang anak perempuan kecil, yaitu Sulastri, adik dari Sri Winarti, gadis cantik yang membela pati di sungai itu ketika melihat pria yang dicintainya Ronggo Lawe, telah tewas di atas batu kali. Anak ini tidak berani muncul dan tetap bersembunyi di dalam rumpun alang-alang sampai semua prajurit pergi membawa mereka yang tewas dan terluka di dalam peperangan itu. Setelah semua orang pergi dan hal ini baru selesai sampai hampir tengah malam, dan keadaan amat sunyi, barulah dia berani ke luar dari rerumpun ilalang itu sambil memanggil-manggil nama kakaknya, yaitu Sri Winarti.   “Mbakyu Sri Winarti….! Mbakayu….kenapa kautinggalkan aku seorang diri….? “Dia berjalan perlahan menuju ke hilir di mana mayat gadis itu masih tersangkut di sebuah batu besar, terlentang dengan wajahnya yang cantik itu kelihatan putih sekali tertimpa sinar bulan, dan gagang sebatang keris yang menancap di ulu hatinya kelihatan!   Sulastri memang sudah tahu bahwa kakaknya telah meninggal dunia, bahkan dia telah melihat sendiri dari tempat persembunyiannya betapa kakaknya dengan marah memasuki lambung mayat lawan Ronggo Lawe, kemudian menggunakan keris itu untuk menusuk dadanya sendiri. Dia melihat betapa mayat kakaknya ditendang dan diludahi oleh orang tinggi bermata juling bernama Reksosuro! Kini dia menghampiri mayat kakaknya itu, sejenak memandang mayat yang disinari bulan purnama itu dan berkali-kali mengeluh, “Mbakyu Narti ….kau telah mati….dan aku bagaimana, mbakayu?“   Dengan susah payah anak itu lalu mengangkat setengah menyeret mayat kakaknya itu ke tepi sengai. Kemudian, setelah meletakkan mayat itu di tepi sungai dalam keadaan terlentang, mulailah anak itu menggali sebuah lubang di dalam hutan di tepi sungai itu.   Memang luar biasa sekali anak ini. Sejak kecil sudah ditinggalkan mati keluaraganya dan hanya hidup berdua dengan kakaknya. Kehidupan yang serba sukar dan keras membentuk wataknya menjadi keras, dan seakan-akan telah terkuras air matanya sehinggakini menghadapi kematian kakaknya, satu-satunya orang yang digantunginya, biarpun dia bersambat, mengeluh dan merintih, namun matanya tidak mengalirkan air mata! Kini dia menggali tanah, menggunakan golok dan tombak yang ditemukan berserakan di tempat itu sebagai bekas senjata perang yang ditinggalakan para prajurit dan tentu saja amat sukarlah bagi seorang anak kecil seperti dia untuk menggali sebuah lubang kuburan yang cukup besar hanya menggunakan golok dan tombak! Akan tetapi, anak ini tidak pernah mengeluh, terus bekerja sampai setengah malam suntuk dan setelah malam berganti pagi, barulah selesai dia menggali lubang yang cukup besar !   Dia lalu berlutut di depan mayat kakaknya, membersihkan tanah dari mukanya, memandang kakaknya sampai lama dengan pandang mata mesra. “Kau cantik, mbakayu, kau cantik manis sekali. Adipati Ronggo Lawe tentu senang melihatmu.“ Dia membungkuk dan mencium pipi kakaknya, kemudian dia memetik beberapa tangkai bunga mawar dan menancapkan tangkai itu di rambut kakaknya yang terurai, di atas kedua telinganya.   Lalu dia mengangkat lagi setengah menyeret mayat itu, dimasukkan ke dalam lubang. Untung ketika dia melepaskan mayat itu, mayat jatuh seperti di atur, terlentang di dalam lubang. Kemudian dia berlutut lagi di dekat lubang, memandangi wajah kakaknya dan mulutnya berbisik-bisik,   “Mbakayu narti ….engkau mati membela Adipati Ronggo Lawe, guruku. Guruku mati oleh Kebo Anabrang, akan tetapi musuhnya itu pun sudah tewas oleh Senopati Lembu Sora. Tidak ada lagi yang dibuat penasaran kecuali…. Kecuali tiga orang itu! Reksosuro dan Darumuko yang menghinamu, dan orang yang menjadi majikan mereka, Resi Mahapti. Kelak kalau aku sudah besar, aku akan mencari mereka, mbakayu dan akan kubalaskan penghinaan mereka atas mayatmu.“ Dia memegang kalungnya dan mempermainkan benda itu. Benda itu adalah sebuah Kundolo (cincin telinga) bermata mirah, pemberian Ronggo Lawe kepada Sulastri yang mengaku sebagai murid adipati itu.   “aku akan memperlajari kedigdayaan, aku harus sakti seperti sang adipati agar tidak ada orang berani menghinaku seperti mereka menghinamu, mbakayu.“   (Bersambung ke Jilid 6)   Jilid 06   Sampai lama anak itu berbisik-bisik mengajak kakaknya bercakap-cakap, kemudian dia mengaruk mayat di dalam lubang itu sampai tanah yang digalinya itu semua menimbun lubang, merupakan gundukan tanah yang cukup tinggi. Kemudian dia berdiri, memandang ke sekeliling untuk mengukir pemandangan tempat itu di dalam ingatannya agar dia tak akan melupakan tempat dia mengubur mayat kakaknya itu, kemudian dengan tubuh lemah, lelah dan lapar, sulastri meninggalkan tempat itu menuju ke dusunnya, yaitu dusun Gedangan.   Akan tetapi baru saja dia tiba di luar dusun itu, masih menyusuri Sungai Tambakberas, dari jauh dia melihat empat orang laki-laki yang agaknya sedang berselisih dan bicara keras. Ketika dia mengenal bahwa dua di antara mereka adalah Reksosuro dan Darumuko, jantungnya berdebar keras dan timbul keinginannya untuk mendekati tempat itu. Dua orang itu adalah musuh-musuhnya, orang-orang yang telah menghina mayat kakaknya, maka dia harus tahu apa yang mereka lakukan dan apa yang mereka bicarakan dengan dua orang lain yang kelihatannya marah-marah itu. Sulastri lalu menyusup-nyusup di antara semak-semak di sepanjang sungai, maju mendekat sampai dia dapat mengintai dan mendengar apa yang mereka bicarakan.     Kini jelas bahwa dua orang itu benar adalah dua orang yang menghina mayat kakaknya, dan mereka kini mengenakan pakaian perwira Mojopahit yang gagah dan mewah, dengan keris yang sarungnya terhias emas dan gagang kerisnya terhias beberapa buah mata intan gemerlapan. Namun keindahan pakaian mereka itu tidak mengurangi kebencian hati Sulastri terhdap dua orang itu, yang wajahnya telah terukir di dalam ingatannya, dua wajah yang baginya merupakan wajah yang seburuk-buruknya! Dia memperhatikan dua orang yang berhadapan dengan dua orang perwira Mojopahit itu. Mereka itu adalah dua orang laki-laki yang usianya sudah empat puluh tahunan, berpakaian biasa seperti petani-petani miskin, namun dari kulit mereka yang bersih dan sikap mereka mudah diduga bahwa petani-petani saja, bukan petani-petani tulen.   “Heh, keparat, tidak perlu kalian membohong lagi!“ bentak perwira kurus kecil bermuka bundar berbibir tebal yang sudah dikenal namanya oleh Sulastri, yang itu namanya Darumuko. “aku sudah tahu bahwa kalian adalah orang-orang kepercayaan mendiang Ronggo Lawe! Hanya katakan kepada kami di mana adanya bocah itu? Kalian memang sengaja di utus oleh mendiang atasanmu itu untuk melindunginya, bukan?“   “Tidak, tidak….Kami tidak tahu!“ jawab seorang di antara kedua orang itu.   “Keparat!“ Kini Reksosuro yang membentak dan menghampiri dengan sikap mengancam. “Kalian ini pengecut-pengecut Tuban masih hendak berlagak keras kepala?“   Berkata demikian, Reksosuro mengayun tangannya menempiling kepada seorang di antara mereka yang berkumis pendek.   “Wuuuttt….Plakk!“ Orang itu menangkis dengan gerakan yang cukup cepat dan tangkas.   “Aeh…aeh…pengecut-pengecut Tuban berani melawan perwira-perwira Mojopahit, ya?“ Reksosuro mendelik marah.   Orang ke dua yang matanya lebar, balas mendelik. “Kalian ini hanya berpakaian perwira-perwira Mojopahit akan tetapi kelakukan kalian tiada bedanya dengan penjahat-penjahat tak mengenal aturan!“ bentaknya marah dan mengepal tinjunya. “Kami memang orang-orang Tuban dan kami sama sekali bukanlah pengecut-pengecut! Kami tahu pula bahwa para perwira Mojopahit adalah orang-orang gagah, bukan seperti kalian manusia-manusia sombong yang banyak tingkah!“   “Eitttt…! Berani menghina lagi, ya?“ Darumuko berteriak. “Kakang Rekso, habisi saja mereka ini, tunggu apa lagi?“   Reksosuro dan Darumuko lalu menerjang maju, menghantam kepalan tangan mereka kepada si mata lebar dan si kumis pendek. Mereka itu memang benar adalah bekas-bekas orang kepercayaan Ronggo Lawe, tentu saja mereka pun bukan orang sembarangan dan dengan sigap mereka mengelak, menangkis dan balas menyerang.   Siapakah adanya dua orang kepercayaan Ronggo Lawe yang menyamar sebagai petani itu dan apakah maksud kedatangan mereka menyamar sebagai petani ke dusun Gendangan? Dan apa pula kehendak Reksosuro dan Dharumuka berada di tempat itu?   Dua orang kepercayaan Ronggo Lawe itu sebetulnya diutus oleh Aryo Wirorojo untuk memenuhi pesan terakhir Ronggo Lawe. Di samping meninggalkan pesan kepada ayahnya bahwa andaikata dia gugur di medan yuda agar ayahnya itu suka merawat dan mendidik Kuda Anjampiani, yaitu cucunya, juga Ronggo Lawe minta tolong kepada ayahnya agar ayahnya suka mencari dua orang gadis yatim piatu bernama Sri Winarti dan Sulastri yang tinggal di dusun Gendangan.     "Mereka itu sudah tidak mempunyai sanak keluarga, ayah,“ demikian pesan Ronggo Lawe, “Sri Winarti itu amat baik dan adiknya, Sulastri itu telah mengaku guru kepada saya. Oleh karena itu sudah sepatutnya kalau ayah manarik mereka ke Tuban dan ayah mengatur kehidupan mereka agar mereka tidak terlantar.   Demikian, dua orang itu lalu di utus oleh Aryo Wirorojo untuk mencari Sri Winarti dan Sulastri di dusun Gendangan, dan karena di dusun itu mereka mendengar bahwa sejak terjadi perang, dua orang anak perempuan itu tidak berada di Gendangan, maka mereka lalu mencari di sepanjang Sungai Tambakberas.   Ada pun Reksosuro dan Darumuko yang telah melihat perbuatan Lembu Sora membunuh Kebo Anabrang dan melaporkan hal itu kepada Resi Mahapati, menerima pujian dari sang resi dan menerima banyak hadiah karena hal itu merupakan berita yang amat dan amat baik bagi Sang Resi Mahapati yang mempunyai cita-cita besar. Dengan adanya berita itu, seorang di antara para senopati yang ditakuti dan berpengaruh, yaitu Lembu Sora, telah berada di dalam genggaman tangannya. Akan tetapi ketika dua orang pembantunya itu menceritakan tentang gadis yang membela pati terhadap Ronggo Lawe, resi itu menjadi marah.   “Betapa bodohnya kalian! Kenapa kalian tidak mengambil keris pusaka yang dipakai membunuh diri gadis itu? Itulah konon adalah pusaka Ronggo Lawe yang ampuh sekali, buatan Empu Supamandrangi. Hayo kalian cepat mencari mayat gadis itu dan mengambil kerisnya !“   Demikian, dua orang pembantu Resi Mahapati itu bergegas pergi ke sungai Tambakberas, akan tetapi mereka tidak melihat mayat gadis cantik itu di sungai dan tidak ada bekas-bekasnya. Mereka tidak tahu bahwa mayat itu telah dibawa ke tepi sungai dan dikubur oleh Sulastri, maka mereka lalu berangkat ke dusun Gendangan dan disitu atas penyelidikan mereka, mereka mengetahui bahwa gadis itu bernama Sri Winarti dan mempunyai seorang adik bernama Sulastri, bahwa mereka dahulu pernah ditolong oleh Ronggo Lawe! Iranglah hati mereka dan mereka lalu berusaha mencari Sulastri, namun tidak berhasil menemukan gadis cilik itu. Pada waktu itu, kepala dusun Gendangan yang menyambut dua orang perwira ini dengan penuh kehormatan dan keramahan, yang ingin menjilat para pembesar dari Mojopahit ini, diam-diam lalu melaporkan Ronggo Lawe yang juga mencari-cari dua orang wanita itu!   Reksosuro dan Darumuko cepat melakukan pengejaran dan mereka saling bertemu di luar dusun Gendangan, di tepi Sungai Tambakberas dan terjadilah pertengkaran itu. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa mereka jadikan bahan perebutan, si gadis cilik Sulastri, berada di dalam semak-semak mengintai dan menonton perkelahian mereka.   Sulastri yang menonton perkelahian itu, tentu saja diam-diam berfihak kepada dua orang Tuban itu. Melihat betapa dua orang Tuban itu pun pandai bersilat dan memiliki ketangkasan, hatinya menjadi gembira dan tanpa disadarinya lagi dia keluar dari dalam semak-semak, bahkan lalu berteriak-teriak, “Hantam anjing-anjing Mojopahit itu, paman! Jangan takut, culeg (tusuk) mata yang juling itu! Robek bibir yang tebal itu!“   Mendengar ini, empat orang itu terkejut dan untuk sesaat mereka berloncatan mundur dan memandang ke arah Sulastri. Melihat anak perempuan ini, seketika timbul dugaan didalam hati Reksosuro dan Darumuko. Darumuko yang bermata liar tajam itu cepat sekali bertanya, “Apakah engkau yang bernama Sulastri adik Sri Winarti?“     Dua orang pembantu Ronggo Lawe berkedip memberi isyarat agar Sulastri jangan mengaku, akan tetapi gadis cilik ini adalah seorang anak yang memiliki bakat kekerasan hati dan ketabahan luar biasa, maka sambil cemberut dia menjawab, “Ya, kalian ingat baik-baik yang kelak akan menghancurkan kepala kalian berdua!“   “Sulastri, larilah dari sini! Cepat….!“ Tiba-tiba orang yang berkumis pendek itu berseru dengan wajah penuh kekhawatiran. Dia dan temannya sudah melompat dan menghadang di depan Reksosuro dan Darumuko. Dua orang perwira Mojopahit ini terbelalak girang dan mereka menerjang seperti dua ekor harimau buas, kini dengan keris di tangan. Dua orang ponggawa Tuban itu mencoba untuk menghindar, akan tetapi karena tingkat kepandaian mereka memang kalah tinggi dan kini dua orang perwira Mojopahit itu menggunakan keris dan menyerang untuk membunuh, mereka terhuyung dan lengan mereka berdarah karena terpaksa mereka tadi menangkis.   “Ihhh….!“ Sulastri berteriak kaget, lalu anak ini mengambil batu dan menyambit-nyambitkan batu ke arah Reksosuro dan Darumuko! Akan tetapi tentu saja sambitan anak itu sama sekali tidak dihiraukan, karena selain banyak menyeleweng, juga kalau mengenai tubuh mereka yang sudah kebal terlatih tentu tidak akan terasa. Mereka kini menubruk lagi dan dalam beberapa gebrakan saja mereka roboh mandi darah, berkelonjotan dan tewas karena dada mereka tertembus keris lawan.   “Ha-ha-ha, tidak berapa ketangguhan orang Tuban!“ Reksosuro bersumbar dengan bangga dan sombongnya.   “Heh-heh, manis juga bocah ini, sayang masih metah!“ Darumuko yang bermata liar dan tajam itu menghampiri Sulastri. Anak itu berdiri tegak, matanya terbelalak memandang ke arah dua orang ponggawa Tuban yang telah tewas itu, kemudian dia memandang kepada dua orang itu dengan sinar mata penuh kebencian.   “Kalian manusia-manusia jahat seperti iblis!“ dia memaki.   “Ha-ha-ha, coba lebih tua empat tahun lagi saya….Hemm, tentu lebih mulus daripada kakaknya dahulu!“ Reksosuro juga berkelakar dan sekali meloncat dia sudah berdiri di belakang Sulastri. Akan tetapi gadis ini makin marah dan memandang kepada dua orang itu yang telah mengurungnya.   “Pergi! Pergi kalian! Aku benci kepada kalian!“ teriaknya marah.   “Ha-ha-ha, bocah ayu! Engkau tentu tahu di mana adanya mayat mbakayumu….“   “Dan keris itu….“ Darumuko menyambung.   “Ssssttt….!“ Reksosuro menegur temannya yang dianggapnya lancang bicara tentang keris.   Dan memang benarlah dia, temannya itu terlalu lancang mulut. Andaikata dia tidak menyebut-nyebut tentang keris, agaknya Sulastri yang jujur itu akan mengaku bahwa dia telah mengubur jenazah mbakayunya. Akan tetapi, begitu Darumuko menyebut keris itu teringatlah Sulsatri akan keris yang menancap di ulu hati mbakayunya. Keris pusaka milik Ronggo Lawe. Anak in memiliki kecerdikan luar biasa, maka mengertilah dia bahwa dua orang ini tentu mencari keris itu, maka dia lalu menegakkan kepalanya.   “Aku tidak tahu!!“     Akan tetapi Reksosuro dan Darumuko juga bukan orang-orang bodoh. Sama sekali tidak. Biar pun mereka itu kasar dan kejam, namun sebagai pembantu-pembantu yang dipercaya oleh Resi Mahapati yang bercita-cita besar, mereka selain memiliki ilmu silat yang kuat, juga memiliki kecerdikan. Melihat sikap sulastri ketika menjawab, begitu ketus dan keras, mereka menduga bahwa anak ini tentu tahu lebih banyak.   “Hemm, hayo katakan, di mana mayat mbakayumu?“ Reksosuro sudah mengancam dan melangkah maju mendekati.   “Tidak tahu!“   “Plakkk!“ Pipi Sulastri ditampar oleh Reksosuro sehingga anak itu terpelanting. Pipi yang halus itu menjadi bengkak kemerahan, rasa nyeri menggigit-gigit, kepalanya terasa penig, akan tetapi, Sulastri bangkit berdiri dan memandang dengan mata melotot kepada Reksosuro, sama sekali tidak menangis, tidak mengaduh, dan sedikit pun tidak takut.   Dua orang itu saling pandang dan merasa kaget dan heran juga. Selama hidup belum pernah mereka berhadapan dengan seorang anak kecil, perempuan lagi, yang sedemikian keras dan tabah sikapnya, sungguh amat luar biasa.   “Eh, manis, katakanlah baik-baik, di mana mayat mbakayumu. Nanti kami beri hadiah uang perak. Kalau tidak, engkau akan kami siksa sampai mati!“   “Persetan! Aku tidak tahu dan tidak takut!“   “Anak setan!“ Darumuko marah sekali dan kaki kirinya bergerak. “Desss….!!“ tendangannya mengenai pinggul anak itu, membuat tubuh anak itu terlempar sampai tiga tombak dan terbanting ke atas tanah, terguling-guling sampai jauh akhirnya terhenti karena menabrak batang pohon.   “Wah, jangan-jangan kau membunuhnya!“ Reksosuro menegur temananya dan cepat mereka berdua lari mengampiri anak itu.   Kembali mereka tertegun. Anak itu sama sekali tidak mati, bahkan pingsan pun tidak. Tubuhnya babak-bundas, barut-barut dan berdarah, akan tetapi sama sekali anak itu tidak mengeluh, bahkan kini bangkit susuk, memegangi kepalanya yang berdarah dengan tangan kiri kanannya yang lecet dan matanya mendelik dengan penuh kebencian kepada dua orang itu. Akan tetapi sama sekali tidak menangis, dan tidak takut!     Dua orang perwira Majapahit itu merasa serem. “Eh, kakang Reksosuro, manusia atau ibliskah anak ini?“   Reksosuro juga penasaran. “Manusia atau iblis, kita harus memaksakan membuka mulut!“ Dan dia sudah mencabut kerisnya sambil menghampiri Sulastri.   “Bocah setan, kau masih juga membandel? Apa kau tidak takut melihat keris pusakaku ini? Ini adalah Kyai Bandot, mengandung bisa ular, sekali kerat saja kulitmu akan melepuh dan bengkak-bengkak!“   Sulastri berjebi, bahkan meludah ke arah muka bermata juling yang didekatkan kepadanya. “Cuhhhh!! Crottt….. !“ Air ludah itu tepat mengenal tengah di antara matanya yang juling sehingga mata itu makin menjuling memandang air ludah yang menempel di atas hidung. Lalu dia membanting kaki. “Setan alas, kau minta disiksa!“ Reksosuro menubruk, kerisnya digerakkan untuk meyayat lengan anak itu dan untuk menyiksa dan memaksanya mengaku.   “Plak!“ Reksosuro terhuyung ke belakang memandang kepada seorang kakek yang pakaiannya serba hitam, juga ikat kepalanya hitam, mukanya tertutup brewok dan cambang bauk yang lebat, menyeramkan sekali apa lagi matanya besar dan ketika itu memandang penuh kemarahan. Kakek itu muncul dari balik batang pohon dan tadi menggunakan kakinya menendang sehingga Reksosuro terhuyung ke belakang dan sayatan kerisnya ke arah lengan Sulastri luput.   “Manusia-manusia tak bermalu, menggangu seorang kanan-kanan!“ Kakek itu membentak dengan suara yang dalam.   Reksosuro dan Darumuko mengenal kakek ini dan mereka saling pandang, akan tetapi mengingat bahwa kakek ini adalah angota keluarga Tuban yang telah baru saja dikalahkan, dan mengingat bahwa mereka adalah abdi-abdi terkasih dari Resi Mahapati, Reksosuro mengangkat dada dan berkata, “ah, kiranya paman Ki Ageng Palandongan yang datang!“   Ki Ageng Palandongan, kakek itu, adalah ayah dari mendiang Mertaraga, isteri pertama dari mendiang Ronggo Lawe. Dia seorang yang sederhana dan tidak suka pangkat, hidup seperti petani di pedusunan setengah pertapa, maka dia tidak mengenal dua orang ini.   “Andika adalah dua orang perwira Mojopahit yang diutus oleh sang prabu untuk menangkap anak ini!“ Darumuko yang cerdik itu mendahului temannya.   Ki ageng Palandongan mengerutkan alisnya yang tebal. “Mustahil kiranya kalau sang prabu mengutus kalian menangkap seorang anak kecil. Aku lihat tadi kalian hendak menganiaya dia dan pergilah andika berdua dari sini, jangan membuat ribut di sini.“   Reksosuro bertolak pinggang dan membetak, “Paman Ki Ageng Palandongan! Ucapan apakah ini? Kami melakukan tugas kali, dan paman berani menghalagi kami?“   “Persetan dengan kalian!“ kakek itu membentak marah.   “Kalau begitu paman hendak memberontak pula!“ Reksosuro membentak.   “Keparat bermulut lancang!“ Ki Ageng Palandongan marah, kakinya terayun dan untuk kedua kalinya Reksosuro terhuyung. Dia dan temannya cepat mencabut keris dan menyerang kakek itu. Akan tetapi, Ki Ageng Palandongan yang usianya sudah enam puluh tahun lebih itu adalah bekas jagoan yang berilmu tinggi, maka biar pun dua orang lawannya memegang keris dan dia sendiri bertangan kosong, akan tetapi dengan mudah dia menghindarkan diri dari semua serangan, kemudian secepat kilat dia membagi-bagi tamparan sehingga Reksosuro dan Darumuko gelayaran. Kakek itu menyusulkan dua kali tendangan dengan kakinya yang besar dan kuat seperti mengaduh-aduh, terlempar dan jatuh terguling.   “Tahan, paman Palandongan….!!“ Tiba-tiba terdengar suara orang dan muncullah Panewu Progodigdoyo!“ Eh, eh, saya lihat dua orang ini adalah pamong Mojopahit! Betulkah kalian ini….“   “Maaf sang panewu yang mulia, memang kami berdua adalah perwira-perwira Mojopahit yang mengemban tugas gusti sinuwun untuk menangkap anak perempuan ini. Akan tetapi paman Ki Ageng Palandongan menentang kami.“   Panewu Progodigdoyo yang kini untuk sementara menjabat kepala di Tuban itu, menoleh ke arah Sulastri, kemudian memandang Ki Ageng Palandongan dan bertanya dengan sikap hormat namun penuh teguran, “Benarkah, paman? benarkah paman Palandongan menentang utusan Sang Prabu Mojopahit?“   Karena kini bekas pembantu utama mantunya itu telah menjadi kepala, maka Ki Ageng Palandongan menyabarkan hatinya, lalu dia berdehem dan menjawab, suaranya dalam dan lantang, “Benar, akan tetapi sebetulnya paman tidak menentang siapa pun juga, nak panewu. Karena melihat mereka berdua ini bersikap kasar dan menganiayanya seorang bocah, maka paman turun tangan melarang mereka.“   “Ah, paman. Mengapa paman tidak bersabar? Baju saja Tuban diberi pengampunan oleh gusti sinuwun, bagaimana paman sekarang berani menentang dua orang utusan beliau? Bukankah hal itu akan mendatangkan kesan buruk sekali? Eh…., kisanak, saudara-saudara perwira yang gagah. Harap kalian maafkan atas kesalah pahaman ini, ya? Dan lupakan urusan ini, jangan terdengar oleh sang prabu.“   Reksosuro dan Darumuko yang sebetulnya sudah mengenal baik Progodigdoyo itu mengangguk dan Reksosuro berkata, "Tidak mengapalah. Kami akan kembali ke Mojopahit, membawa bocah ini!" Reksosuro menggerakkan tangannya dan sebelum Sulastri dapat lari, anak itu telah dipengang kedua lengannya dengan satu tangan. Sulastri meronta-ronta, menendang-nendang.   "Lepaskan! Monyet juling! Lepaskan aku! Dan dia hendak menggunakan giginya untuk mengigit tangan yang memegangi kedua lengannya, akan tetapi Reksosuro menutir lengan itu dan kini memegangi kedua lengan anak yang ditarik ke belakang tubuhnya sehingga anak kecil iti tidak mampu berkutik lagi.   "Nanti dulu…." Ki Ageng Palandongan berkata marah menyaksikan peristiwa ini. "Mau diapakan anak itu? Mustahil kalau gusti sinuwun mengutus kalian menangkap seorang bocah….."   "Paman Palandongan, bukanlah semua rakyat adalah kawula (hamba sahaya dari Mojopahit) Lebih baik kita sebagai pamong yang setia tidak mencampuri urusan ini dan menyerahkannya kepada kebijaksanaan gusti sinuwun. Eh, kisanak, kalian pergilah dan bawa anak itu, hanya kuminta agar kalian tidak berlaku kasar terhadap anak itu di sini!"   Ucapan Progodigdoyo ini membuat Ki Ageng Palandongan tak dapat membantah lagi, dan dua orang itupun mengerti akan apa yang dimaksudkan oleh mereka itu, maka Reksosuro lalu mengangkat dan memondong Sulastri, biar pun masih memegangi kedua lengannya, dan dengan sikap halus berkata, "Marilah, anak manis, jangan takut dan jangan melawan. Gusti sinuwun memanggil, manis." Maka pergilah mereka, diikuti oleh pandang mata kedua orang itu, Progodigdoyo tersenyum akan tetapi Ki Ageng Palandongan mendelik menahan kemarahan.   Reksosuro dan Darumuko melanjutkan perjalanan dan reksosuro masih terus memondong Sulastri sampai mereka menyeberangi Sungai Tambakberas. Setelah mereka tiba di daerah sendiri, yaitu daerah Mojopahit, Reksosuro melemparkan tubuh anak itu ke atas tanah.   "Bruukkkk!!" sulastri yang setengah dibanting itu menyeringai kesakitan, akan tetapi tidak mengaduh.   "Sialan! Hayo kau sekarang mengaku di mana kau sembunyikan mayat mbakayumu itu!" bentaknya sambil menuding telunjuknya ke arah muka Sulastri.   Sulastri kini tidak mau menjawab lagi, malah membuang muka dengan sikap amenghina sekali.   "Heh-heh, kakang Rekso, bagaimana kalau dia kutelanjangi dan kupermainkan dulu? Biar pun masih kecil setelah kutundukkan agaknya dia baru akan mau jinak! Ha-ha-ha!"   "Hah, kau rakus sekali, adi Darumuko! Masa anak sekecil ini, dia tentu akan mampus tak kuat menahan, dan kita akan mendapat marah sang resi!" tukas Reksosuro.   "Kalau begitu, biar kucambuki dia agar mengaku!" Darumuko lalu mematahkan sebatang ranting pohon kemlandingan di tepi jalan. Ranting kemlandingan adalah ranting yang ulet dan lemas Sambil terkekeh si bibir tebal ini merantasi daun-daun kemlandingan yang kecil-kecil itu sehingga berhamburan ke bawah.   “Ha-ha, bocah bandel. Apakah engkau masih juga tidak mau mengaku? Ataukah harus kupaksa dengan ini?” Dia menamang-amangkan cambuk ranting mlandingan itu. Akan tetapi Sulastri bukanlah seorang anak kecil biasa. Jangankan baru diancam ranting kemlandingan, biar diancam tombak atau keris sekali pun, dia tidak akan merasa gentar. Sudah terlalu banyak orang-orang yang dicintanya mati di depan matanya, maka kematian bukanlah apa-apa bagi anak ini, bahkan berarti dia menyusul orang-orang yang dicintanya. Juga dia sudah mengalami banyak hal-hal ngeri. Sudah melampaui batas puncak kengerian sehingga dia kini tidak mengenal kengerian lagi, bahkan tidak takut apa-apa lagi! Maka ancaman Darumuko itu malah membuatnya tersenyum mengejek.   “Anjing bibir tebal, engkau pantasnya memang memegang cambuk menggembala kerbau!” makinya.   Muka Darumuko menjadi merah padam matanya yang liar tajam itu melotot dan bibirnya yang tebal karena cemberut, cuping hidungnya kembang kempis seperti hidung kerbau mencium bahaya. “Bangsat, anak setan, kau pingin mampus, ya?”   (Bersambung ke Jilid 7)   Jilid 07   Dengan marah sekali mulailah dia menggerakkan ranting kemlandingan itu, diayun sekuatnya dan bertubi-tubi ranting kemlandingan itu menimpa tubuh anak kecil itu.   “Siuuuuuttt….. prat!! Siuuuuttt…. pratt-pratt-pratt!!”   Dihajar bertubi-tubi oleh cambukan ranting itu, Sulastri menyeringai dan bergulingan seperti seekor cacing terkena abu panas. Hampir saja dia mengeluh, maka cepat dia menggigit bibirnya kuat-kuat dan terus bergulingan, kedua tangannya meraba sana-sini di bagian tubuhnya yang terkena cambukan untuk mengusir rasa panas dan perih yang menggerogoti kulit-kulit tubuhnya. Akan tetapi sedikit pun dia tidak mengaduh, bahkan kelihatan darah dari kanan kiri mulutnya, yaitu darah dari bibir bawahnya yang robek tergigit ketika dia menahan sakit.   “Cepratt-cepratt-pratt-pratt….!” Darumuko terus mencambuki tanpa pilih tempat sehingga yang terkena cambuk adalah seluruh tubuh Sulastri dari kaki sampai kepala. Cambuk ranting kemlandingan yang ulet dan lemas itu mengigiti kulitnya, tidak sampai merobek kulit akan tetapi meninggalkan bekas merah kebiruan.   “Hayo mengaku kau, sundal kecil, hayo mengaku kau, keparat! Prat-prat-prat!”   Akan tetapi jangankan mengaku, mengeluh satu kali pun tidak dan anak itu hanya terus bergulingan dan menggeliat-geliat, makin lama makin lemah sampai akhirnya dia tidak berkutik lagi, rebah miring dan sama sekali tidak bergerak ketika cambuk ranting kemlandingan itu masih terus menimpa tubuhnya.   “Setop! Setop! Adi Darumuko, apa kau sudah gila? Apa kau hendak membunuhnya?” Reksosuro berseru dan menahan lengan temannya yang masih terus mencambuki.   “Keparat…! Sedikit pun dia tidak minta ampun, tidak mengeluh. Menantang dia, keparat! Biar kucambuk dia sampai mampus!” Darumuko terengah-engah dan keringatnya bercucuran.   “Hussh, bodoh! Sekarang kau boleh mencambuki sampai dia mampus, akan tetapi kelak kau yang akan dicambuki oleh sang resi sampao robek-robek semua kulitmu!”   Mendengar ini, Darumuko terkejut dan baru sadar. Dia memandang cambuk ranting itu, lalu membuangnya dan cepat dia menunduk dan berlutut. “Wah, apa dia mampus?”   Reksosuro juga berlutut, memeriksa Sulastri. “Tidak, dia masih bernapas, hanya pingsan saja.”   “Dia keras kepala, anak luar biasa sekali dia, seperti setan. Bagaimana baiknya sekarang, kakang Reksosuro?”     “Sebaiknya kita bawa saja dia pulang dan kita serahkan kepada sang resi. Beliau tentu mempunyai daya upaya untuk membuka mulut anak ini. Dan karena kau yang mencambukinya sampai dia tidak bisa berjalan dan pingsan, kau pula yang harus memondongnya sampai ke gedung sang resi, Adi Darumuko.”   “wah-wah sialan…!” Darumuko mengomel, akan tetapi karena merasa bersalah, terpaksa dia memondong anak itu, disampirkan di pundaknya dengan kaki di depan dan kepala di belakang, merangkul kedua paha anak itu dan berangkatlah dua orang ini melanjutkan perjalanan mereka ke Mojopahit.   Hari telah menjelang senja ketika mereka harus melewati sebuah hutan yang cukup lebat. “Wah, kakang Reksosuro, kita akan melewati hutan ini dan malam sudah hampir tiba.” Darumuko mengomel dan memandang khawatir juga.   “Uwaahh, masa kau takut? Malam ini terang bulan.”   “Tapi hutan ini terkenal banyak orang jahat dan setannya…”   “Huh, siapa berani merampok setelah baru saja terjadi perang itu? Kita kan perwira-perwira Mojopahit? Kalau ada perampok berani muncul, aku malah akan merampas semua miliknya, huh, aku Reksosuro adalah sahabat-sahabat setan!”   “Hushh! Bicaramu kok begitu?” Darumuko menegur, merasa serem.   “Ha-ha, mengapa tidak? Apakah percuma saja setiap Selasa dan malam Jumat biniku membakar kemenyan sekepal besarnya dan menghindangkan kembang setaman? Percayalah, setan-setan tidak akan mengganggu kita, malah akan melindungi. Mereka semua sudah jinak kepadaku.”   Biar pun ucapan Reksosuro itu sungguh-sungguh dan kelihatan meyakinkan, namun tetap saja meremang bulu tengkuk Darumuko ketika mereka memasuki hutan yang gelap itu. Si muka bulat bibir tebal ini memang seorang pemberani dan kejam, tidak pernah takut bertempur melawan siapa pun juga. Hanya dia mempunyai satu kelemahan yaitu amat takut terhadap setan yang belum pernah dilihatnya, takut dan ngeri sehingga setiap malam Jumat di rumahnya, kalau dia pada waktu malam terpaksa oleh kebutuhan badan harus ke kamar mandi untuk buang air kecil atau besar, dia selalu menggugah bininya untuk minta diantar! Andaikata ada lima orang maling mengganggu rumahnya, Darumuko tentu akan meloncat dan membawa tombaknya, siap menghadapi lima orang maling itu. Akan tetapi begitu mendengar tentang setan, atau diingatkan akan setan, dia menggigil dan cepat berkerudung selimut minta didekap bininya seperti anak kecil minta dilindungi!   Malam itu cuaca memang terang karena bulan purnama tidak terhalang mendung. Hawa udara dingin menyusup tulang, apa lagi di tengah-tengah hutan itu, karena banyaknya pohon-pohon yang lebat daunnya menambah dinginnya hawa, seolah-olah di sekeliling tempat itu, di kanan kiri depan belakang dan atas, terdapat air dingin yang mengurung.   “Ihhh, dinginnya…! Apa kita tidak berhenti dulu, kakang?” Darumuko menggigil dan suaranya gemetar, entah oleh dingin saja atau juga oleh hal lain, karena jelas mukanya membayangkan ketakutan dan kengerian.     “Nanti kita berhenti di dekat belik (sumber air) sana sambil minum,” jawab Reksosuro.   “Ihhhh… “ Terdengar suara dari mulut Darumuko, seperti orang kedinginan.   “Kau kenapa, adi?”   “Di… dingin…!”   “Sikapmu seperti orang takut! Hati-hati, anak itu agaknya sudah siuman.”   “Ti… tidak takut…. hanya dingin…. hhiiii!”   “Ada apa?”   “Ssssttt, kakang….” Darumuko memegang lengan temannya. Matanya terbelalak memandang ke depan. “Kau lihat tadi…?”   “Uhh, melihat apa?” Reksosuro membelalakkan mata, mencari-cari akan tetapi tidak melihat sesuatu yang aneh.   “Aku melihat bayangan orang…”   “Hemm, kalau bayangan orang saja mengapa takut? Orang pun kita tidak takut! Pula, siapa ada orang di malam-malam begini dan tempat seperti ini? Mungkin bayangan setan yang kau lihat.” Reksosuro berkelakar, akan tetapi kelakar ini malah membuat Darumuko makin menggigil seperti orang terkena penyakit demam.   “Huh, penakut. Hayo!” Reksosuro menarik tangan temannya dan melanjutkan perjalanan.   “Nguuuuukkk…!”   Darumuko melonjak kaget. “Ihhh…!”   “Hemm, itu hanya suara lutung.” Reksosuro mencela temannya yang penakut itu. Mereka berjalan terus, suasana sunyi sekali, membuat Darumuko merasa tengkuknya tebal.   “Huuuuukkkk-huk-hukkk!”   “Hiii…!!” Darumuko hampir saja melepaskan tubuh kecil yang dipondongnya saking kagetnya dan dia memegang lengan Reksosuro dengan jari-jari menggigil. “Apa… apa itu.. kakang?”   “Aah, penakut benar kau, adi. Itu hanya suara burung hantu! Kulu-kulu-hu-hu-huuukk!” Reksosuro menirukan suara burung hantu itu sambil tertawa.   Darumuko menjadi malu pada diri sendiri, akan tetapi dia membela diri. “Ah, tentu saja kau lebih tabah, kakang. Dahulu engkau sudah biasa berkeliaran di dalam hutan sebagai perampok.”   “Hushh! Jangan gali-gali riwayat lama, kawan. Kini aku perwira Mojopahit, tahu?”   “Maaf, kakang Reksosuro.”   Mereka berjalan lagi dan Darumuko memandang cemas ke depan. Dari jauh sudah nampak sebatang pohon beringin yang besar sekali sehingga keadaan di sekeliling pohon raksasa itu menyeramkan karena bawahnya gelap dan mereka agaknya akan lewat di bawah pohon beringin itu.   Reksosuro agaknya mengerti akan keseraman hati temannya. Temannya yang selalu ketakutan itu membuat hatinya menjadi tidak enak juga, maka dia berkata, “Adi Darumuko, jangan takut. Takut akan setan sesungguhnya hanyalah permainan pikiran sendiri yang membayangkan hal yang bukan-bukan.”   “Baik, kakang aku akan berusaha agar tidak takut.”     Mereka kini tiba di bawah pohon.   “Lepaskan aku…! Kalian manusia-manusia jahat dan keji! Lepaskan aku!” Tiba-tiba Sulastri yang kini sudah siuman betiul itu meronta lemah dalam pondongan Darumuko.   “Diam kau, bocah setan. Atau…. kucekik kau nanti!” Darumuko membentak.   “Heh-heh, diamlah, manis. Nanti kau akan diberi hadiah yang enak-enak oleh sang resi.” Reksosuro juga membujuk dengan suara mengejek.   Mereka kini tiba di bawah pohon beringin yang agak gelap, suram muram. Tiba-tiba tubuh Darumuko terhuyung roboh, Sulastri yang tadinya dipondong terlepas dari pondongannya.   “Aduhh… kakang…. tolong….. ssseee… ssseeetan….!” Darumuko merintih dan telunjuknya menuding kearah batang pohon beringin.   “Apa…? Heii… aduhhhh….!” Kini Reksosuro juga terhuyung ke depan dan terjelengup. Kedua tangannya dapat menahan tanah sehingga mukanya tidak sampai bertemu dengan tanah seperti halnya Darumuko. Akan tetapi dia kaget sekali karena tahu bahwa jatuhnya bukan sembarangan, melainkan dijegal orang! Cepat dia meloncat berdiri dan membalikkan tubuh ke arah batang pohon beringin yang amat besar itu.   “Tolong kakang…. ada setan…!” Kembali Darumuko merintih dan berusaha untuk bangkit akan tetapi dia mendekam kembali sambil menendang dengan tubuh gemetar ke arah bayangan hitam yang bersandar pohon beringin itu.   “Huh, adi, bangunlah! Setan apa? Dia seorang manusia yang sudah bosan hidup, berani mengganggu kita!” kata Reksosuro.   Mendengar ucapan ini, seketika timbul semangat Darumuko dan lenyaplah rasa takut dan ngerinya tadi. Sungguh tadi dia menyangka bahwa bayangan hitam yang bersandar pada batang pohon beringin itu adalah setan yang mengganggunya. Akan tetapi kini mendengar ucapan temannya, dia menjadi marah sekali.   “Apa? Manusia…?” Dia lalu meloncat berdiri dan mendekati temannya yang sudah melangkah maju.   Setelah rasa takutnya hilang, kini Darumuko dapat melihat bahwa memang bayangan hitam yang bersandar di batang pohon beringin itu adalah seorang manusia. Keadaanya tidaklah segelap ketika dia ketakutan tadi. Sinar bulan purnama masih menerangi tempat itu. Kini dia melihat jelas seorang kakek yang pakaiannya serba hitam duduk bersandar batang pohon sambil melenggut, kakinya yang panjang dilonjorkan di depan tubuhnya. Sulastri yang tadi terlepas dari pondongannya, kini sudah lari ke dekat orang tua yang tertidur itu, agaknya minta perlindungan kakek itu.   Sejenak dua orang perwira Mojopahit pembantu Resi Mahapati itu mengira bahwa lagi-lagi Ki Ageng Palandongan yang menghadang mereka, karena orang itu pun sudah tua dan di dalam cuaca yang suram muram itu pakaiannya seperti hitam. Akan tetapi setelah mereka memandang penuh perhatian, mereka terkejut, terheran dan marah bukan main. Orang itu hanyalah jembel! Seorang pengemis tua! Seorang jembel pengemis yang pakaiannya hanya merupakan gombal-gombalan saking kotornya sehingga kelihatan hitam, rambutnya gimbal panjang terurai dan tak pernah dicuci sehingga ruwet dan kotor, kumis dan jenggotnya menutupi bagian bawah mukanya. Pakaiannya yang kotor itu hanya merupakan sebuah baju yang tidak ada kancingnya lagi, terbuka memperlihatkan dadanya yang penuh rambut, dan sebuah celana komprang (besar) sampai ke lutut, kemudian di pinggangnya dilibat kain yang kumal. Dari tempat mereka berdiri pun, dalam jarak dua meter, sudah tercium bau apak, bau pakaian yang sering terkena keringat dan tak pernah dicuci. Seorang jembel!   “Sialan! Jembel busuk!” Darumuko yang tadi ketakutan setengah mati, menjadi marah dan mendongkol sekali bahwa yang membuatnya ketakutan sampai celananya basah sedikit karena tadi dalam takutnya tanpa disadarinya lagi dia “ngompol”, kini menjadi “berani” luar biasa dan ia menyepak paha orang tua itu!     “Jembel tua bangka busuk! Berani kau menjegal kakiku?” Kakinya menyepak. “Plak!” dan tubuh orang itu terguncang, akan tetapi tetap saja dia masih tidur.   “He, kere tua mau mampus! Bangunlah!” Reksosuro juga membentak, kakinya mencongkel sebuah batu sebesar kepalan tangan. Batu itu melayang kearah dahi kakek itu. “Tukkk!” batu mengenai dahi dan menggelinding ke bawah. Akan tetapi tetap saja kakek itu tidak bangun!   Melihat ini, Sulastri lalu mengguncang pundak orang tua itu dan berbisik di telinganya, “Kakek, bangunlah. Dua orang jahat ini akan mencelakakan engkau dan aku. Bangunlah, kek!”   Kakek jembel itu membuka mata sedikit, dikejap-kejapkan dan menggeliat, kedua tangannya direntangkan ke depan dan terdengar suara berkerotokan pada punggungnya seolah-olah semua tulang punggungnya patah-patah. Sulastri terkejut bukan main dan memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi kakek itu tidak apa-apa, lalu membuka matanya dan memandang kepada dua orang yang berdiri di depannya, lalu menoleh kearah Sulastri, mulutnya yang tertutup kumis itu bergerak-gerak yang dapat diduga bahwa dia tersenyum! Sejenak matanya memandangi tiga orang itu bergantian, kemudian terdengar ada suara keluar dari balik kumis brewok itu, “Ela-dhalah.. demi segala setan demit iblis bekasakan yang menjaga hutan ini! Dari mana datangnya dua ekor serigala dan seekor anak harimau ini?”   Jelas bahwa kakek jembel itu menganggap dua orang perwira Mojopahit itu dua ekor serigala, dan Sulastri disebutnya anak harimau. Itu merupakan hinaan yang amat hebat bagi Reksosuro dan Darumuko!   “Tua bangka bau busuk! Kami adalah dua orang perwira Mojopahit, tahu? Dan kau berani menganggap kamu serigala? Berapa rangkap sih nyawamu maka kau berani berlancang mulut seperti ini?” bentak Reksosuro.   “Gebuk mampus saja sudah, kakang!” kata Darumuko.   Kakek itu memandang kedua orang itu dan terkekeh dalam. “Heh-heh, aku melihat orang bukan dari pakaian atau pangkatnya, melainkan dari sifat-sifatnya. Lihat anak perempuan ini, biar pun masih kecil dan perempuan, dia mempunyai sifat seperti seekor harimau, calon harimau betina yang ganas dan tangkas! Dan kalian.. hemm… kalian seperti serigala, licik dan hanya berani kalau sudah yakin menang, sebetulnya di dalamnya penakut. Srigala hanya akan menyerang binatang lain yang lebih lemah, atau kalau menyerang yang kuat tentu dengan keroyokan. Nah, itulah sifat kalian.”   Tentu saja Reksosuro dan Darumuko menjadi marah bukan main. Jembel tua itu terang-terangan, tanpa tedeng aling-aling, telah menghina mereka! Seorang kere tua berani menghina mereka, dua orang perwira Mojopahit? Sungguh sialan!   “Dan engkau adalah calon bangkai yang sudah membusuk!” Darumuko memaki. “Hayo katakan, apa perlumu menghadang kami dan menjegal kaki kami?”   “Wah, wah, siapa yang menjegal siapa? Tidak ada jegal-jegalan disini seperti yang terjadi di Mojopahit! Di sini hanya ada aku yang tidak membutuhkan apa-apa, perlu apa menjegal orang?”   “Kakek hina! Jelas kau tadi menjegal kami!” Reksosuro juga membentak, agak hati-hati karena dia dapat menduga bahwa mendengar bicaranya, kakek jembel itu tentulah bukan sembarangan orang.     “Nah, nah fitnah-memfitnah sudah menjadi watak semua orang di Mojopahit! Jangan dibawa-bawa ke sini, kisanak! Tadi aku sedang tidur di sini, enak-enak mimpi bercengkerama dengan para iblis bekasakan yang berpesta pora di hutan ini, eh, tahu-tahu kalian menginjak-injak kakiku dan bilang bahwa aku menjegal kalian. Mojopahit sekarangkah ini?”   Mendengar ucapan yang makin tidak karuan itu, Darumuko berkata, “Kakang, dia tentu orang gila!”   Kakek itu cepat membantah, “Nah, sudah biasa orang gila memaki orang lain gila!”   “Apa?” Darmuko melotot. “Kau memaki aku gila?”   “Bukan aku yang memaki, orang muda, melainkan engkau sendiri!”   “Kakek, dia itu memang orang ceriwis, suka memaki orang, lihat bibirnya sampai menjadi tebal karena terlalu sering memaki orang!” Tiba-tiba Sulastri berkata, terbawa gembira oleh sikap kakek itu yang tabah dan seolah-olah menggoda dua orang itu.   “Ha-ha-ha-ha! Kau benar… ha-ha-ha! Bibirnya…. ahhh, sampai menggandul begitu panjang. Aduh lucunya…!” Kakek itu terbahak-bahak dan memegangi perutnya.   Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Darumuko. Selama hidupnya, belum pernah dia dihina orang seperti ini.   “Kere busuk, kuhancurkan isi perutmu!” Sambil membentak demikian, dia menerjang maju dan mengayun kaki kanannya, menendang dengan pengerahan tenaga sepenuhnya kearah perut kakek itu yang masih tertawa dan perutnya kelihatan karena bajunya terbuka. Perut yang agak gendut biar pun tubuhnya kurus itu tak terhindarkan lagi menerima tendangan kilat yang amat kuat.   “Bukkk!”   Sungguh aneh sekali. Sulastri yang melihat dengan mata terbelalak mengkhawatirkan keselamatan kakek itu melihat betapa wajah Darumuko berobah, sedangkan kakek itu tetap saja masih tertawa. Darumuko menyeringai, kemudian roboh terpelanting ke atas tanah dan menjerit-jerit, mengaduh-aduh memegangi perutnya. “Aughh… waduh perutku… aduhhh, mulas sekali… aih, tak kuat aku...” Dia menekan perutnya dengan kedua tangan, menggeliat-geliat seperti dalam sekarat, dan segera terdengar suara memberobot dan Darumuko cepat-cepat membuka tali kolor celananya dan melepaskan celana itu. Tercium bau yang amat tidak sedap dan begitu dia mengerti apa yang terjadi dengan orang yang dibencinya itu, Sulastri membuang muka dan mengomel, “Huh, manusia tak tahu malu!” Kiranya Darumuko yang diserang perut mulas dan sakit tak tertahankan itu, tanpa dapat dicegahnya lagi telah terberak-berak disitu!   Diam-diam Sulastri kagum sekali dan anak yang cerdas ini mengerti bahwa kakek jembel itu adalah ternyata adalah seorang manusia sakti. Dia duduk dekat kakek itu dan tadi dia melihat betapa ketika kakek itu ditendang perutnya, kakek itu tidak mengelak akan tetapi dia melihat tangan kiri kakek itu bergerak naik kearah perut orang yang menendangnya. Tendangan yang amat hebat itu mengenai perut si kakek, akan tetapi kakek itu tetap tertawa dan sebaliknya Darumuko yang kena “diraba” perutnya itu sampai terberak-berak!   Melihat hal kawannya ini, tentu saja Reksosuro menjadi malu dan marah sekali. Dia makin yakin bahwa kakek jembel ini tentu bukan orang smebarangan, maka dia lalu cepat mencabut kerisnya, keris pusaka yang dibangga-banggakan, yang dinamakan Kyai Bandot karena selalu dilumuri bisa ular Bandotan.   “Kere busuk, rasakan pusakaku Kyai Bandot ini!”   Reksosuro menerjang ke depan, menghunjamkan kerisnya yang panjang berluk sembilan itu kearah dada kakek yang telanjang.   Kakek itu tertawa geli. “Kyai Bandot? Ha-ha-ha… memang bandot tua tak tahu malu…!”     “Cuss…!” Keris itu tepat mengenai dadanya, akan tetapi Reksosuro memekik kesakitan, kerisnya terlepas dan dia terhuyung mundur memegangi tangan kanan dengan tangan kirinya. Tangan kanannya itu nyeri sekali dan sudah membengkak, agaknya salah urat, kiut-miut rasanya membuat Reksosuro menggigil dan peluhnya memenuhi mukanya, sebesar-besar jagung! Dia menusukkan kerisnya ke dada orang, dan irang itu tidak mengelak tidak menangkis, akan tetapi tangannya sendiri malah keseleo (salah urat) dan bengkak-bengkak!   “Ha-ha-ha, Kyai Bandot tua… ha-ha…!” Kakek jembel itu mengambil keris Kyai Bandot yang tadi terlepas dari pegangan pemiliknya. Dadanya tidak luka sedikit pun juga, dan kini dengan jari-jari tangannya yang kurus kecil, dia menekuk-nekuk keris itu seolah-olah keris itu terbuat daripada tembaga atau timah lemas saja! Pemiliknya yang masih mengaduh-aduh itu terbelalak melihat kerisnya yang terbuat daripada baja tulen itu ditekuk-tekuk seperti itu, kemudian dilemparkan ke atas tanah!   Sulastri tiba-tiba bangkit berdiri, mengambil keris yang sudah ditekuk-tekuk itu dan menghampiri dua orang yang masih merintih-rintih kesakitan. “Sekarang kalian mampus…” anak itu berkata dengan kemarahan yang ditahan-tahan.   “Heiii… pengecut….!” Kakek itu berseru tangannya bergerak ke depan dan Sulastri terjungkal! Anak itu bangkit lagi, meraih keris, akan tetapi untuk ke dua kalinya dia terjungkal dan kini dia memandang ke arah kakek itu.   “Kau mau apa? Mau jadi pengecut? Huh, aku yang mengalahkan mereka, bukan kau, tahu? Kalau kau yang mengalahkan mereka, boleh saja kau mau melakukan apa yang kau suka!”   Sulastri menjadi merah mukanya. Dia dapat mengerti dan dia lalu mengangguk. “Maaf, eyang!”   Sementara itu, Reksosuro mengerti bahwa dia berhadapan dengan orang yang sakti sekali. Cepat dia menyambar kerisnya dengan tangan kiri, kemudian dia berkata kepada temannya, “Adi Darumuko… cepat… lari…!” Dan dia mendahului sambil memegangi tangan kananya yang ketika dipakai lari dan bergerak, nyerinya bukan alang kepalang.   “Kakang… tungguuu…!” Darumuko cepat meloncat dan tergopoh-gopoh lari. “Kakooang.. tungguuuu...!”   Kakek itu melihat tahi kotoran yang ditinggalkan Darumuko, mengendus jijik, lalu menggunakan sehelai daun mengambil kotoran itu dengan tangan kirinya dan dia berteriak kepada Darumuko, “Heii… bibir tebal… ini milikmu ketinggalan!”   “Ehh? Milik apa…?” Otomatis Darumuko menengok ke arah kakek itu dan pada saat itu sebuah benda menyambar ke arah mukanya. Dia berusaha mengelak namun kurang cepat.   “Plokk..!!” Kotorannya sendiri mengenai muka, memasuki mulut dan hidungnya.   “Uaakkk…huekkk…kakooaanngg…hueekkk, tunggu…” Darumuko lari pontang-panting seperti dikejar setan, kadang-kadang muntah-muntah, mengejar kawannya, diikuti suara ketawa, kini terdengar dua suara ketawa, yaitu suara ketawa yang parau dan dalam dari kakek jembel dan suara ketawa nyaring tinggi dari Sulastri. Baru sekarang terdengar suara ketawa anak itu.   Tak lama kemudian, tiba-tiba suara ketawa kakek itu berhenti. Sulastri juga berhenti tertawa. Anak itu masih duduk di atas tanah, dan kakek itu masih duduk bersandar batang pohon beringin seperti tadi. Keduanya saling pandang sampai lama sekali, sinar mereka menembus kesuraman dan akhirnya kakek itu berkata, “Matamu seperti mata harimau!”   “Dan matamu seperti mata setan!”   “Uhh!” Kakek itu senang. “Benarkah?”   “Benar, eyang menyeramkan, tajam berpengaruh dan aneh!”   “Hemm, eh siapa namamu?”   “Sulastri.”   “Bagus! Nah, Sulastri, lekas kau angkat kaki dan pergi dari sini!”   Anak itu mengangkat muka, memandang kakek itu dan menggelengkan kepalanya, lalu menjawab, suaranya tegas, “Tidak, aku tidak mau pergi, eyang.”     “Heh, kenapa?”   “Karena aku mau turut eyang saja.”   “Aku bukan eyangmu.”   “Akan tetapi aku menganggapmu eyang guruku.”   “Wah, eyang guru? Kau mengangkat aku menjadi guru?”   Sulastri mengangguk.   “Gila! Aku orang miskin dan bodoh, kau mau belajar apa dari orang macam aku?”   “Belajar ilmu kesaktian, eyang.”   “Ilmu kesaktian? Ha-ha-ha, kau kira mudah?”   “Kesukaran apa pun akan kutempuh, dan semua perintah eyang akan kulakukan.”   Kakek itu memandang dengan alis berkerut. “Anak luar biasa kau ini. Siapa sih orang tuamu dan kenapa kau tadi dibawa mereka?”   “Aku sudah tidak mempunyai ayah bunda, sudah tidak mempunyai sanak keluarga. Aku seorang yatim piatu yang sebatangkara, eyang. Keluargaku menjadi korban orang-orang jahat itu. Untung ada eyang yang menolongku, dan aku ingin belajar kesaktian dari eyang agar kelak aku dapat membasmi orang-orang macam mereka tadi.”   (Bersambung ke Jilid 8)   Jilid 08   “Ha-ha-ha, mudah saja kaubicara. Sudah bangkitlah dan pergi!”   “Tidak, aku takkan mau pergi dan aku akan terus berlutut di sini sampai mati kalau eyang tidak mau menerimaku sebagai murid.”   “Keras kepala kau!”   “Eyang juga!”   “Celaka, bertemu anak begini kurang ajar mau minta menjadi murid! Hendak kulihat sampai kapan kau kuat berlutut terus di sini.“ Kakek itu lalu meraih sebuah bungkusan kain hitam dari balik batang pohon, kemudian dia pergi dari situ tanpa menoleh lagi.   Dapat dibayangkan betapa susah dan kecewannya hati Sulastri, akan tetapi anak ini maklum bahwa kalau kakek itu tidak mau membawanya, dia tentu akan jatuh ke tangan dua orang jahat tadi dan akan celaka. Maka dia sudah nekad tidak mau pergi dari situ, dan biar pun kakek itu sudah pergi, dia tetap berlutut di situ, hatinya seperti ditusuk-tusuk, akan tetapi dia tidak menangis. Udara malam makin dingin, dan tubuh sulastri yang tadinya mengalami siksaan masih sakit-sakit, perih dan panas rasanya seluruh tubuh, kepalanya masih pening, namun dia bertekad untuk berlutut di situ sampai mati. Kedua kakinya kesemutan, akan tetapi dia tetap tidak bergerak sampai akhirnya rasa kesemutan itu lenyap lagi. Dalam keadaan kelelahan, kelaparan dan kedinginan anak itu terus mendekam di situ sampai akhirnya, menjelang dia berada dalam keadaan setengah pingsan.!   Matahari pagi mulai mengusir embun dan hawa dingin. Sulastri masih berlutut di tempat semula, menghadap pohon berdingin seolah-olah dia sedang memuja pohon raksasa itu. Tubuhnya seperti beku, dan memang rasanya seperti hampir beku tubuhnya, begitu dingin dan kaku, dan lelah, dan lapar, dan pening. Dia sudah tiga perempat bagian pingsan ketika tiba-tiba terdegar orang tertawa di balik pohon itu. Kiranya kakek malam tadi tidak pernah pergi dari situ, hanya menyelinap ke balik pohon besar dan tidur di sebelah sana sehingga tidak kelihatan oleh Sulastri!   Dalam keadaan setengah pingsan itu, Sulastri mengangkat muka memandang. Kini cuaca sudah terang dan dia melihat kakek itu dengan hati terkejut. Kakek itu memang mirip setan! Tubuhnya kurus, tinggal tulang-tulang terbungkus kulit akan tetapi perutnya agak gendut, dan tulang-tulangnya besar. Rambutnya gimbal, ruwet dan kotor, panjang sampai kepinggang, dibelah tengah, matanya tajam bersinar-sinar dan bagian bawah mukanya tertutup brewok.     “Ha-ha-ha, kau ini bocah sungguh hebat. Kau lebih keras kepala daripada aku ketika aku masih sebesar engkau. Baiklah, aku kalah. Sulstri, kau boleh menjadi muridku…“   “Terma kasih, eyang guru…!!“ Sulastri berseru girang, suaranya terhenti karena lehernya tercekik keharuan.   “Akan tetapi tidak demikian mudah! Engkau harus selalu menurut perintahku!“   “Aku berjanji, eyang.“   “Nah, bangkitlah berdiri!“   Sukar sekali bagi Sulastri untuk bangkit berdiri. Otot-ototnya berbunyi dan dia berdiri dengan susah payah, beberapa kali terjatuh lagi karena otot-ototnya terasa kaku. Kakek itu hanya memandang saja acuh tak acuh, akan tetapi ketika untuk kesekian kalinya Sulastri jatuh lagi, dia menggerakkan tangannya dengan cepat, tahu-tahu Sulastri merasa ada tangan mengangkat di bawah kedua ketiaknya dan ada hawa yang amat hangat menjalar memasuki tubuhnya, mengusir semua kelakuan ototnya dan dia berdiri!   Kakek itu memaksa tubuh Sulastri dengan teliti, melihat kulit yang bilur-bilur bekas siksaan cambuk ranting kemlandingan. “Wah, kau telah mendapat latihan yang baik sekali!“   “Latihan?“ Sulastri bertanya tidak mengerti, meniru kakek itu memandangi tubuhnya yang penuh jalur-jalur merah menghitam.   “Pecut ranting kemlandingan, ya ?“   Barulah Sulastri mengerti dan dia mengangguk. “Si bibir tebal itulah yang mencambuki tubuhnya dengan pecut ranting kemlandingan, eyang.“   “Bagus!!“ Kau harus berterima kasih kepadanya!!“   Sulastri melirik ke arah kakek itu. Celaka, pikirnya, mendapatkan guru seperti ini! Memang benar sakti, akan tetapi di samping sakti juga agaknya miring otaknya! Akan tetapi seorang bocah yang memiliki kecerdasan luar biasa, maka dia tidak memperlihatkan rasa mendongkolnya, bahkan dia lalu menjawab lancar, “ Memang, eyang guru. Saya amat berterima kasih kepadanya dan kelak akan saya perlihatkan terima kasih itu dengan balasan yang sama berikut bunga-bunganya. Saya akan membalas kebaikan si bibir tebal itu!“   Kakek itu tertawa, kemudian melemparkan bantalan hitam itu ke dekat kaki Sulastri. “Kau lapar, ya?   Sulstri mengangguk.   “Nah, tunggu apa lagi? Kau anak perempuan tentu bisa masak, kan?“   “Bisa, eyang.“   “Bagus, lekas kau membuat api, masak air dan nasi. Semua perabot dan berasnya air terdapat di dalam bantalan itu. Lekas kau masak nasi, perutku sudah lapar, aku mau tidur dulu karena semalam engkau membuatku tidak bisa tidur. Awas, setelah aku bangun nanti, nasi dan wedang teh harus sudah tersedia!“     Setelah berkata demikian, kakek itu merebahkan tubuhnya di bawah pohon beringin itu dan sebentar kemudian dia sudah tidur mendengkur. Sulastri membuka buntalan itu dan ternyata di dalam buntalan kain hitam itu terdapat perabot masak lengkap. Juga terdapat beras, bumbu masak, garam, teh, minyak kelapa dan lain-lain! Sulastri yang melihat kakek itu sudah tidur mendengkur, lalu membawa kwali dan pergi mencari air. Untung bahwa tak jauh dari pohon itu terdapat sebuah belik yang airnya jernih. Dia memenuhi kwali dengan air, kemudian menggodok air setelah membuat api unggun di bawah pohon itu. Mudah saja baginya untuk membuat api karena di dalam buntalan itu terdapat batu api berikut alat pengoreknya dan banyak pula di tempat itu daun-daun kering dan ranting-ranting kering.   Sulastri adalah seorang anak yang sudah ditinggalkan orang tuanya dan hidup berdua dengan kakaknya, maka biar pun usianya belum genap sepuluh tahun, dia sudah biasa menggodok air dan menanak nasi. Dengan cekatan dia membuat air teh, kemudian menanak beras di dalam kwali. Hanya dia merasa binggung harus memasak apa? di dalam hutan itu tidak terdapat sayur-mayur dan di dalam buntalan itu tidak terdapat ikan asin atau bahan masakan lain, kecuali hanya garam dan bumbu-bumbu. Maka setelah dia menanak nasi, dia lalu mendekati kakek itu dan dengan suara lirih dia memanggil,“ Eyang…,eyang guru…,eyang…,bangunlah sebentar, eyang.“   Kakek itu menggulet dan menggerutu,“ Bocah bodoh. Nasi belum matang sudah membangunkan orang.“   “Yang, wedang teh sudah kubikin, nasi pun sudah hampr matang. Akan tetapi apa yang harus kumasak untuk teman nasi?“   “Heh, bodoh. Kau lihat lubang-lubang cacing di sebelah kiri pohon. Hayo kau cari cacing sebanyaknya. Cari yang besar-besar saja, yang kecil jangan!“ Lalu kakek itu tidur lagi mendengkur.   Sulastri bengong. Mau membangunkan lagi tidak berani, akan tetapi untuk apa dia harus mencari cacing? Dia lalu teringat. Ah, untuk apa kalau bukan untuk mancing ikan? Agaknya di dekat hutan itu ada sungainya atau telinganya, dan nanti kakek itu akan mancing ikan, maka suruh mencarikan cacing sebanyaknya. Akan tetapi kalau hanya untuk mancing saja mengapa banyak-banyak? Betapa pun juga, dia teringat bahwa kakek itu telah memesan bahwa dia mau menerimanya sebagai murid kalau semua perintahnya ditaati. Baik, dia akan mentaatinya. Sambil menanti liwetannya masak, dia akan mencari cacing sebanyaknya. Apa sih sukarnya mencari cacing?   Sulsatri lalu mencari cacing di sebelah kiri pohon. Biar pun dia seorang anak perempuan, akan tetapi karena dusun Gendangan di mana dia tinggal adalah dusun dekat kali dan dia biasa pula memancing ikan, maka dia pun tidak asing mancing ikan. Dia tidak merasa jijik ketika menggali dan mengumpulkan banyak sekali cacing-cacing besar yang panjangnya ada satu kilan (sejengkal) dan gemuk-gemuk, berkulit bersih hitam kemerahan. Cacing kalung yang besar-besar. Dia tahu bahwa untuk memancing ikan, sebaiknya kalau mendapatkan cacing ungker, yaitu sejenis cacing yang suka melingkar. Akan tetapi, di tempat itu yang ada hanya cacing kalung yang panjang dan gemuk kemerahan.   Akhirnya nasi sudah matang. Ketika dia membuka tutup wajah kwalinya, bau nasi masak yang sedap agaknya cukup untuk menggugah kakek itu yang segera mengulet dan menguap.   “Aahhhh…bau nasi sedap. Akan tetapi mana lauknya?“   “Lauk apa, eyang? Belum ada lauk apa-apa karena eyang keenakan tidur dan belum mancing ikan.“   Jawaban ini membuat kakek itu seketika meloncat bangun. “Memancing ikan? Siapa yang mau memancing ikan? Bodoh! Kau kusuruh mencari cacing tadi…mana?“   “Itu di sana, eyang, sudah dapat banyak. Tinggal membawa alat pancing dan pergi ke kali…“     Kakek itu membanting-banting kakinya, kelihatan gemas sekali. “Wah, celaka tiga belas, dapat murid begini tolol! hayo lekas bersihkan cacing-cacing itu dan siapkan wajan dan minyak kelapa“   Sulastri melongo. “Dicuci maksud eyang? Untuk memancing ikan mengapa cacing itu harus dicuci?“   “Wah-wah, benar-benar goblok! Lihat nih, begini kalau membersihkan lauk cacing!“   Mendengar kakek itu mengatakan “lauk cacing“ , Sulastri bengong dan beberapa kali menelan ludah menahan kemuakan yang naik dari perutnya. Lauk cacing? Apa maksudnya? Dia memandang kakek itu mengeluarkan beberapa ekor cacing gemuk.   “Wah, kau pandai juga. Cacing-cacing ini gemuk sekali…hemm, tentu lezat!“   Sulastri terbelalak memandang kakek itu menggunakan kuku-kuku jarinya untuk memotong sedikit bagian kepala dan ekor cacing-cacing itu, kemudian dari satu ujung dia memijit tubuh cacing itu, dipelurutnya sampai ke ujung yang lain dan keluarlah benda kehitam-hitaman seperti tanah dari dalam tubuh cacing itu.   “Nah, begini, pijit dan pelurutlah yang kuat akan tetapi jangan terlalu kuat agar tidak putus, keluarkan tanah dari dalamnya.“   sulstri mengangguk dan dengan perasaan jijik juga dia meniru perbuatan gurunya itu, memotong kepala dan ekor setiap cacing, memijit dan mengeluarkan isi tubuhnya yang seperti tanah dan ada sedikit darahnya. Cacing-cacing itu mati dan tinggal seperti kulit panjang yang sudah tidak ada isinya lagi.   “Sekarang sediakan bumbunya, bawang, garam dan merica yang agak banyak! “kakek itu memerintah. Sulastri menurut dan menyediakan apa yang diminta gurunya.   “Nah, sekarang goreng! Jangan sampai gosong, akan tetapi juga yang kering agar kemripik!“   Kembali Sulstri menelan ludah. Gurunya ini benar-benar seorang gila. Masa cacing digoreng dan dimakan?“ Tapi eyang…cacing bukan makanan…menjijikan…!   “Hush!“ Kakek itu mendelik dan matanya amat menakutkan, sebesar jengkol dan seperti mau meloncat keluar dari rongga mata, akan tetapi pandangnya tajam bukan main. “Siapa bilang menjijikkan? Bangkai tetap bangkai, biar bangkai sapi, bangkai ayam atau bangkai cacing! Yang enak kan bumbunya! Bodoh, kau kira tidak enak goreng cacing? Kau belum pernah memakannya?“   Sulastri menggeleng kepala.   “Bodoh, kau masih harus banyak belajar. Hayo goreng, aku akan mencari lauk lainnya lagi!“   terdengarlah bunyi srang-sreng-srang-sreng ketika Sulstri menggoreng cacing-cacing yang sudah diredam bumbu itu. Dia memandang jijik melihat cacing-cacing itu agak mekar ketika terkena minyak panas, akan tetapi sungguh aneh, cacing-cacing yang digoreng itu mengeluarkan bau yang gurih!   Akan tetapi dia hampir berteriak saking jijik dan ngerinya ketika kakek itu datang dan kedua tangannya menggengam banyak sekali binatang kelabang dan luwing! Sulastri agak takut melihat kelabang karena maklum bahwa binatang-binatang ini berbisa, dan sejak dulu dia memang jijik melihat luwing karena binatang ini memang menjijikan, kakinya banyak sekali dan selalu melingkar kalau disentuh!   “Itu… itu kelabang dan luwing juga di… dimakan eyang?“     “Wooohhh, ini paling enak, bodoh!“ kakek itu berkata, membunuhi binatang-binatang itu dengan meremukkan kepalanya sekali tekan dengan kukunya, kemudian dia menggunakan air panas merendam bangkai-bangkai kelabang dan luwing itu. Tak lama kemudian, dia menguliti bangkai binatang-binatang itu dan setelah terkena air panas, ternyata kulit kelabang dan luwing itu dapat dikupas dengan mudah dan tinggal hanyalah dagingnya yang putih kemerahan seperti daging udang.   “Nah, goreng juga ini!“ katanya kepada Sulastri. Anak itu menelan ludah menahan muak, lalu digorengnya daging kelabang dan luwing itu. Dan kembali dia terheran-heran ketika mencium bau yang gurih lagi, seperti bau udang digoreng!   “Wah, hayo makan, Sulastri. Mumpung masih panas-panas. Hemm, itu di dalam bungkusan daun jati, masih ada beberapa butir lombok rawit, bawa sini ! “   Kakek itu makan di layani oleh Sulastri. Akan tetapi anak itu hanya mengambil nasi saja, lalu mengambul sejumut garam untuk makan dengan garam saja.   “Eih, ini gorengannya, hayo dimakan!“   Sulastri menggeleng kepala.   “Ushhh, bodoh, hayo makan. Enak sekali ini!“ kakek tidak mendesak.   “Aku… aku tidak doyan…, eyang… biarlah aku makan dengan garam saja, dan itu…untuk eyang saja. “   “Mana bisa begitu? Kau yang sudah payah menggoreng, masa aku saja yang makan? Dan kau makan dengan garam saja, mana enak? Hayo cobalah, engkau belum pernah makan ini, kan? Lihat, betapa lezatnya!“ Kakek itu mengambil seekor cacing goreng dan memakannya. Terdengar suara keremus-keremus seperti orang makan goreng usus ayam dan kakek itu kelihan menikmati makanan ini.   “Bukan main! Gorenganmu ternyata amat sedap! Bumbunya pas, gorengannya juga sedang. Kalau aku yang menggoreng, selalu gosong dan terlalu asin! Ha-ha, kata orang kalau masak terlalu asin tandanya kepingin kawin. Ha-ha! Nah, ini daging kelabang, menguatkan badan dan membuat kita tahan racun. Enak sekali dan ini… daging luwing banyak gajihnya. Hemm, sedap!“ Kakek itu kini makan dengan daging kelabang dan daging luwing, memang kelihatan enak daging kedua binatang ini, seperti daging udang yang sudah dibuang kulitnya, putih kemerahan dan baunya gurih bukan main.   Sulastri tidak berani menolak, takut kalau-kalau gurunya marah dan tersingung. Dengan hati ngeri dia lalu mengambil seekor cacing goreng yang bengkak-bengkok itu, lalu dengan mata terpejam dia memasukkan ke mulutnya bersama nasi.   “Kriakkk..kriak…“ Dan Sulastri membuka lebar matanya. Ternyata enak! Gurih sekali, seperti…hampir seperti kulit ayam goreng. Gurih dan baunya pun sedap! terus saja dimakannya cacing itu dan mendengar gurunya tertawa, dia memandang gurunya ikut pula tertawa.   “Nah, enak, kan?“   “Enak, eyang. Tak kusangka seenak ini goreng cacing!“ Sulastri mengambil seekor lagi dan mulai makan nasi dengan goreng cacing.   “Ah, coba kau makan goreng kelabang dan terutama goreng luwing itu, cobalah dan kau akan lebih terheran-heran lagi!“     Dengan agak memaksa diri Sulastri mengambil sepotong kelabang goreng dan memakannya. Benar, saja! Tiada ubahnya udang goreng! Tanpa ragu-ragu lagi kini dia memakan sepotong luwing goreng dan mulutnya mengecap-ngecap. Bukan main! Seperti udang goreng tetapi lebih berminyak dan manis!   Maka lenyaplah rasa ragu dan muaknya dan anak itu makan dengan lahapnya dan durunya juga kelihatan girang, tertawa-tawa dan sebentar saja nasi dan semua gorengnya habis sama sekali!   Kakek itu mengelus perutnya yang agak gendut dan minum air teh panas. “Cruupp! Ahhh, air tehnya pun sedap kalau kau yang membuat. Waduh untung sekali aku mempunyai murid seperti engkau, Sulastri. Sekarang kita ngomong-omong, akan tetapi harus mencari kutu. Kepalaku gatal bukan main!“   Sulastri berlutut di belakang gurunya yang kembali merebahkan dirinya, dan mulailah anak itu mencari kutu rambut di kepala kakek itu. “Pantas saja kepalamu gatal-gatal, eyang. Habis kutunya banyak benar!“ Sebentar saja Sulastri sudah mendapatkan kutu rambut yang cukup besar.   “Ke sinikan!“ kata kakek itu dan setelah muridnya meletakkan kutu itu ke atas telapak tangannya, dia lalu menggunakan lidahnya menjilat dan terdengar suara “Tess!“ ketika kutu itu digigitnya!“   “Ihh, kau apakan kutu itu, eyang?“   “Aku balas gigit dia!“ kurang ajar, habis-habis kulit kepalaku digigitnya!“   Sulastri geli hatinya. Gurunya ini orang aneh sekali. Akan tetapi kalau sampai kutu rambut digigit dan ditelan seperti itu, dia tidak akan menirunya.   “Sekarang kau ceritakan riwayatmu, Sulastri.“   Anak itu lalu menceritakan riwayatnya dengan sejelasnya, bagaimana dia hidup berdua saja dengan kakaknya, kemudian betapa dia pernah ditolong oleh Adipati Ronggo Lawe kemudian betapa kakaknya membunuh diri membela pati karena cintanya kepada Ronggo Lawe. Betapa dia ditangkap oleh dua orang perwira Mojopahit itu karena dipaksa untuk mengaku di mana dia menyembunyikan mayat kakaknya.   “ Dan kau memang menyembunyikan mayatnya?“ tanya kakek itu.   “Sudah kukuburkan mayat mbakayuku, eyang.“   “Kenapa kau tidak memberi tahu mereka?“   “Mereka itu jahat. Aku khawatir mereka akan membongkar kuburan itu, maka aku tidak mau mengaku.“   “Hemm, kau anak luar biasa. “Kakek itu mengangguk dan tidak mau bertanya lebih lanjut lagi sehingga anak itu pun tidak mau bercerita tentang kundolo mirah yang tergantung di lehernya dan tetang keris pusaka yang sama-sama terkubur jenazah kakaknya.   “Dan siapakah nama eyang? Masa mempunyai guru tidak tahu namanya!“   “Aku? Ha-ha-ha, aku adalah Ki Jembros dan orang bahkan menyebutku Setan Jembros, ha-ha-ha!“   “Di manakah rumah eyang?“   “Rumahku? Rumahku di mana-mana, langit itu atapku, gunung-gunung itu dindingku, dan bumi ini lantaiku, ha-ha-ha ! Kau mau ikut aku terlantar dan berkeliaran tak tentu tujuan ? “   “Tentu saja bukankah aku murid eyang? Asal eyang jangan lupa mengajarkan kesaktian kepadaku!“   Demikianlah, anak kecil itu semenjak saat itu ikut bersama kakek aneh itu, hidup penuh dengan kesukaran dan kekurangan, hidup seperti jembel yang tidak pernah mengemis, tidur di sembarang tempat, makan seadanya, akan tetapi penuh dengan kebenasan yang aneh.   Sudah terlalu lama kita meninggalkan keluarga janda Galuhsari yang kita kenal di dalam permulaan cerita ini. Seperti telah dituturkan di bagian terdepan dan cerita ini, nyi Galuhsari, janda cantik isteri mendiang panglima Mojopahit Lembu Tirta, setelah mengalami penghinaan digagahi secara keji di depan anaknya oleh Panewu Progodigdoyo, mengalami nasib yang mengeraikan. Rumahnya terbakar dan dia terbakar hidup-hidup di dalam rumahnya di mana terjadi kemaksiatan yang dilakukan oleh Progodigdoyo itu.   Seperti kita ketahui, Lestari, perawan remaja yang cantik itu setelah hampir pingsan saking ngerinya menyaksikan ibunya diperkosa oleh Progodigdoyo, lalu diculik dan dilarikan oleh Panewu yang telah gila oleh nafsu berahi itu. Ada pun anak ke dua janda itu, Sutejo, sejak tadi sudah rebah pingsan karena pukulan Panewu Progodigdoyo.   Ketika rumah itu terbakar, yang terancam maut adalah dua orang, yaitu Sutejo yang masih pingsan dan ibunya, janda Galuhsari. Justru karena pingsan, Sulastri belum dimakan, tidak seperti ibunya yang berusaha mengejar Panewu Progodigdoyo, malah kesambar api, kejatuhan atap yang ambruk dan lebih dahulu dimakan api, terbakar hidup-hidup.   Namun, kiranya hanya tinggal menanti saatnya saja bagi kematian Sutejo karena diapun sudah terkurung api dalam keadaan pingsan. Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan anak itu, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang kakek berpakaian putih, dengan rambut, kumis dan jenggotnya juga sudah putih, tahu-tahu telah berada di dalam rumah tang terbakar itu.   Pada saat itu Sutejo siuman dari pingsannya. “Ibuuuu…!“ Dia berteriak dan bangkit dengan binggung. “Mbakayuuu…!“ Dia berteriak lagi ketika melihat api berkobar mengurung dirinya. Teringatlah dia akan segala peristiwa yang dialaminya, maka hatinya menjadi gelisah. Tiba-tiba dia melihat kakek berpakian putih itu dan dia berteriak, “Eyanggggg…tolonglah…tolonglah ibu dan mbakayu…“   Dengan satu gerakan saja kakek itu telah berada di dekatnya, dan memegang tangannya.“ Berpeganglah padaku, angger. Kita harus cepat keluar dari tempat ini ! “   (Bersambung ke Jilid 9)   Jilid 09   “Tidak, tidak…eyang, harap eyang suka menolong ibu dan mbakayuku…! Biar aku nanti saja, yang perlu adalah mereka…!“ Sutejo berteriak pula dan melepaskan tangannya.   Kakek itu tersenyum dan memandang dengan sinar matanya yang halus. “bu dan kakakmu tak dapat ditolong lagi, kulup dan aku datang sengaja untuk menyelamatkanmu. Marilah…!“ Kakek itu memegang tangan Sutejo dan anak ini tidak jadi membantah karena dia sudah terkejut dan ngeri ketika merasa betapa tubuhnya meluncur dengan amat cepatnya menerjang api! Dia hanya merasakan hawa panas menyambar, akan tetapi tahu-tahu dia telah berada di luar rumah, kemudian dengan cepat sekali tubuhnya terasa dibawa meluncur oleh kakek itu seperti terbang saja cepatnya meninggalkan rumahnya yang masih terbakar dan menyala-nyala dengan dahsyatnya.   “Eyang… lepaskan aku… aku ingin menolong ibu dan mbakayu..!“ Suteko berteriak-teriak dan meronta-ronta.   Mereka telah tiba di sebuah hutan. Rumah terbakar itu sudah tidak tampak lagi dan kakek itu terhenti, lalu mngelus kepala Sutejo. Elusan ini demikian mesra, demikian halus sehingga seolah mendatangkan kesejukan luar biasa ke dalam kepala Sutejo, membuat anak itu menjadi tenang dan tidak meronta lagi.   “kehendak Hyang Widhi Wisesa tak mungkin dirobah oleh siapa pun juga, angger. Ibumu telah tewas atas kehendak Hyang Widhi melalui kekuasaan Hyang agni (Dewa Api).“     “Ibuuuu…!!“ Sutejo menutupi mukanya, menjatuhkan dirinya berlutut dan menangis.   “Tidak perlu dan tidak ada gunanya lagi ditangisi, kulup. Ibumu sudah sempurna dan terbebas dari penderitaan.“   “Akan tetapi…bagaimana ibu bisa tewas dan… dan bagaimana pula rumah itu bisa terbakar, eyang…!“ Sutejo bertanya dengan hati penasaran.   Kakek itu menarik napas panjang. “Kelak akan tiba saatnya engkau mengetahui sendiri, angger, sekarang bukan waktunya engkau mengetahui hal itu.“   “Akan tetapi…mbakayu Lestari…di mana dia dia eyang? Apakah dia juga ter… bakar…?   Kakek itu menggeleng kepala “Hanya ibumu yang tewas, dan tentang kakakmu kelak engkau dapat mencarinya sendiri. Sekarang sebaiknya engkau ikut bersamaku ke tempat pertapaanku, angger. Hanya inilah jalan satu-satunya yang kulihat agar engkau dapat menyelamatkan diri dari pengejaran panewu Progodigdoyo.“   “Si keparat itu! Si jahanam itu! Tentu dia yang telah membakar rumah kami!“ tiba-tiba Sutejo bangkit berdiri dan mengepal tinjunya, matanya mengeluarkan sinar seolah-olah berapi-api. “Eyang aku akan kembali ke sana, aku akan mencari panewu keparat itu, aku…“ sutejo lalu mencabut keris yangterselip di pinggangnya, kemudian hendak lari pergi.   Kakek itu memegang lengannya dan berkata halus, “Angger, apakah dayamu terhadap seorang seperti panewu itu ? Engkau masih kecil dan dia adalah seorang panewu yang selain digdaya, juga mempunyai banyak anak buah, dia adalah kepercayaan Sang Adipati Ronggo Lawe. Apakah kau hendak mengantar nyawa dan menentangnya? Itu bukan perubahan gagah berani namanya, melainkan suatu kebodohan dan kesombongan belaka, berarti engkau akan membunuh diri.“   Ucapan yang halus ini menyadarkan anak yang baru berusia sepuluh tahun itu dan tiba-tiba Sutejo menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil menangis. Kakek itu membiarkan saja Sutejo menangis, hanya mengangguk-angguk dan beberapa kali menarik napas panjang.   “Eyang…kumohon kepada eyang…sukalah eyang membantunya untuk membalaskan kematian ibu, untuk membalas kepada Progodigdoyo!“   “Oho, bocah bagus…permintaanmu itu tidak masuk akal. Bagaimana mungkin aku dapat membunuh seorang manusia lain, biar pun manusia itu sejahat Progodigdoyo sekalipun? Tidak, angger, seorang seperti aku tidak mungkin mau membunuh…!“   Sutejo sudah sering kali mendengar dongeng ibunya tentang orang-orang sakti dan orang-orang yang hidupnya mengasingkan diri, bertapa dan tidak mau mencampuri urusan perang dan bunuh membunuh. Kata ibunya, mendiang ayahnya dahulupun seorang murid dari pertapa sakti seperti itu. Maka dia teringat akan cerita ibunya dan dia lalu menyembah.   “Kalau begitu, eyang, saya mohon sudilah eyang menerima saya sebagai murid eyang…“   “Ho-ho, bocah bagus, tanpa kau minta sekali pun engkau memang telah menjadi cucu muridku, angger.“   Sutejo terkejut dan cepat dia menengadah, memandang wajah yang sudah amat tua dan yang tersenyum ramah dan mata itu memandang mesra. “Kalau begitu…akahan eyang ini…eyang Penembahan Ciptaning seperti yang sering diceritakan oleh ibu…?“     Kakek itu mengangguk ramah. “benar, cucuku. Aku telah mendengar akan kemarian ayahmu…“   “Keparat Progodigdoyo…“   “Sttt…, tidak bijaksana menanam kebencian cucuku.“   “Akan tetapi dia manusia jahat, eyang! membunuh ayah dengan curang, kemudian dia menghina ibu dan…tentu dia pula yang menyebabkan kematian ibu, dan mbakayuku…“   “Seorang ksatria bertindak bukan untukm kepentingan diri pribadi, angger! Kalau engkau kelak menghadapi Progodigdoyo karena kebencianmu kepadanya disebabkan dendam pribadi, maka engkau berbeda banyak dari Progodigdoyo sendiri! Akan tetapi seorang kstaria akan menghadapi dan menentang bulu, dan tanpa membedakan apakah dia itu Pegodigdoyo ataukah keluargamu sendiri sekali pun. Yang jahat haruslah ditentang tau diingatkan, angger.“   Sutejo tidak berani mebantah. Dia maklum bahwa eyang gurunya ini adalah seorang yang guntur tapa, seorang yang memiliki kesaktian hebat disamping juga seorang yang berbudi dan tidak mau mencampuri urusan duniawi yang serba ruwet oleh tingkah laku manusia. Maka dia yang merasa bodoh tidak berani lancang membantah, melainkan dengan masih berlutut dia berkata, “Eyang, saya mohon petunjuk.“   Tanpa disadari oleh Sutejo, fajar telah menyingsing dan sinar matahari pagi kemerahan membakar langit di ufuk timur. Sang panembahan memandang ke angkasa disebelah timur dan dia sejenak takjub akan keindahan pemandangan itu. Langit yang terbakar merah itu menciptakan penglihatan yang sukar dituturkan dengan kata-kata, awan-awan yang beraneka warna, ada warna merah tang bermacam-macam, warna biru yang bermacam-macam bercampur warna kuning yang bermacam-macam pula, diselang-seling sinar keemasan, semua itu begitu indah, membuat setiap kelompok awan menciptaa bentuk-bentuk yang amat laur biasa, keindahan yang hening, keindahan yang baru, keindahan yang merepesap kedalam jiwa dan pada saat itu sang begawan sudah kehilangan dirinya, si aku yang menjadi sumebr segala macam kemaksiatan dan kesengsaraan serta permusuhan. Dia seolah-olah merasa menjadi satu dengan semua keindahan itu, dari keindahan sinar lembayung dan keemasan di angkasa, sampai keindahan ujung rumput yang terhias mutiara embun berkilauan tersenyum cantiknya.   Kemudian kembali dia menarik napas-napas kelegaan yang memasukkan hawa murni di dalam tubuhnya, dan dia menunduk, memandang kepala cucu muridnya sambil berkata lirih, “tengoklah ke angkasa timur, cucuku. Lihat, setiap pagi matahari muncul can mulai hidup baru. Engkaupun harus demikian, cucuku. Tinggalkan semua kenangan lalu, semua itu telah mati dan tiada gunanya mempertahankan yang mati. yang kemarin sudah mati. sekarang inilah hidup.“   Anak berusia sepuluh tahun itu tentu saja tidak dapat menangkap arti dari wejangan yang sederhana namun mengandung arti amat mendalam itu. Sang panembahan lalu berkata lagi, “Bangkitlah, mari kita duduk di atas batu itu, mengaso dulu karena keindahan seperti ini jarang kita temui angger, maka sudah selayaknya jika kita menikmatinya,“   Sutejo bangkit dan bersama kakek gurunya dia lalu duduk diatas sebongkah batu, berhadapan dengan kakek itu.   “Kesempatan ini akan kupergunakan untuk mendongeng kepadamu, angger, tentang Sang Prabu Yudistira, atau yang juag biasa dicebut dengan nama Samiaji, raja dari Ngamarta, dan yang sulung diantara lima saudara Pendawa Lima. “ Pertapa tua itu lalu mendongengkan tokoh pewayangan yang amat terkenal itu, didengkarkan oleh Sutejo dengan penuh perhatian. Beginilah dongeng yang mengandung arti amat baik itu.   Pada suatu hari Yudistira melihat empat orang adik-adiknya telah tewas di tepi sebuah sumber air, mati setelah minum air beracum itu. Tentu saja Yudistira berduka sekali, dan tiba-tiba di amendengar suara tanpa rupa, yaitu suara setan penjaga mata air atau sumber air itu.     “Heh, Yudistira, aku akan menghidupkan lagi seorang di antara saudara-saudaramu ini jika engkau dapat menjawab pertanyaan-pertanyaanku dengan tepat.“   Yudistira dengan tenang menjawab, “Ajukanlah pertanyaanmu, Yakso (sebutan untuk bangsa raksasa atau setan), aku akan mencoba untuk menjawabnya. “   “Apakah yang lebih berat daripada bumi? Apakah yang lebih tinggi daripada langit? Apakah yang lebih cepat daripada angin? Apakah yang lebih baik daripada binatang?“   “Ibu lebih berat daripada bumi. Ayah lebih tinggi daripada langit. Jiwa lebih cepat daripada angin. Pikiran lebih baik daripada binatang. “Jawab Yudistira tanpa berpikir lagi karena jawaban-jawabannya bukanlah berdasarkan hasil pemikiran, melainkan merupakan jawaban langsung karena melihat kenyataan.   “Siapakah teman terbaik dalam perjalanan? Siapakah teman terbaik di dalam rumah? Siapakah teman terbaik di waktu sakit? Siapakah teman terbaik di waktu mati?“   “Kafilah adalah teman terbaik dalam perjalanan. Isteri adalah teman terbaik di dalam rumah. Tabib adalah teman terbaik di waktu sakit, dan kedermawaan adalah teman terbaik di waktu mati.“   “Musuh apa yang paling sukar dikalahkan? Penyakit apa yang sukar disembuhkan? Orang apakah yang disebut baik? Orang apa pula yang disebut tidak baik?“   “Wahai, raja yang arif bijaksana! Apakah yang dinamakan buta? Apakah yang artinya sombong? Apakah yang dimaksudkan dengan terlambat? Dan apa pula penderitaan itu?“   “Yang sesungguhnya bisa adalah buta akhlak. Kecongkaan merasa diri pandai adalah yang dinamakan orang sombong. Tidak mengenal diri saat ini juga adalah suatu keterlambatan, dan kebodohan adalah penderitaan yang paling besar.“   “Apakah yang disebut ketetapan hati? Apakah keberanian itu? Apakah kedermawaan itu? Dan apakah sebenarnya yang dinamakan seorang Brahmana sejati?“   “Pelaksanaan kebenaran dalam hidup adalah ketetapan hati. Menyadari keburukan diri pribadi lahir batin adalah kedermawaan sesungguhnya. Dan pertanyaanmu yang terakhir itu memerlukan jawaban yang agak panjang, Yakso.“   “Duhai, sang raja yang budman, jawablah dan hamba akan mendengarkan!“ Suara yang tanpa rupa itu terdengar menggetar.   “Brahmana yang sejati bukan terletak dalam keturunan atau asal usulnya, bukan pula karena dia pandai membaca kitab-kitab Weda, bukan pula karena kepandaiannya, bukan pula karena nama besar dalam riwayatnya, bukan pula karena nama besar dalam riwayatnya. Brahmana sejati adalah yang mengutamakan hidup hidup dalam kebenaran, yaitu kebaiakan. Selama hidupnya belum bercacat, dan dia tidak akan bercacat pula. Orang yang tidak dapat melenyapkan hawa nafsu sendiri, biar pun dia mengaku seorang yang cerdik pandai, sesungguhnya dia hanyalah seorang gila dan sama sekali tidak patut disebut seorang Brahmana sejati. Dia tidak pantas disebut Brahmana biar pun dia hafal akan isi semua kitab Weda utama yang empat jumlahnya, hafal diluar kepala, apabila munafik dan bertindak durjana di dalam hidupnya, dan orang begini derajatnya tidak lebih tinggi daripada seorang sudra! Dia yang bersih lahir batinnya, batinnya selalu hening dan lahirnya selalu mengatasi nafsu-nafsunya, dialah Brahmana sejati, Yakso!“     Mendengar semua jawaban ini, sang Yakso menjadi kagum dan tunduk, maka diberilah kesempatan kepada Yudistra untuk memilih siapa di antara saudaranya yang harus dihidupkan kembali.   Saudara kandung Yudistra adalah Bima dan Arjuna. Sedangkan yang dua lagi, Nakula dan sadewa adalah saudara tiri, satu ayah lain ibu. Kalau menurutkan kepentingan di aku pribadi, sudah tentu dia akan memilih seorang di antara adik kandungnya. Akan tetapi Yudis tira adalah seorang manusia yang sudah tipis atau bersih dari cengkaraman keaku-annya. Dia lebih mementingkan keadilan daripada kesenangan pribadi, maka yang dipilihnya adalah seorang di antara dua orang adik tirinya!   Sang Yakso mengerti akan isi hati Yudistira, maka dia menjadi makin kagum dan tunduk, dan dihidupkan keempat adiknya yang telah mati keracunan itu!   “Demikianlah, Sutejo, cucuku. Kebijaksanaan selalu akan menghasilkan kembang dan buah yang baik.“ Sang panembahan mengakhiri ceritanya. “Oleh karena itu, di dalam kehidupanmu, jangan engkau dibuai oleh cita-cita, oleh harapan-harapan, leh tujuan-tujuan. Semua itu adalah kosong, hampa dan khayali belaka. Yang lebih penting adalah cara hidup, sepak terjangmu dalam hidup, pada saat ini, pada hari ini, pada setiap detik. Kalau caranya benar, maka akhirnya pun tentu benar! Sebaliknya, kalau engkau selalu mementingkan tujuan, banyak kemungkinan engkau akan tersesat mengambil jalan yang keliru, mengambil cara yang sesat, angger. Tujuan atau cita-cita dapat membutakan matamu sehingga engkau tidak melihat lagi bahwa cara yang kau tempuh adalah jahat dan sesat, matamu akan buta dan silau oleh cita-cita yang kelihatannya amat menarik dan indah.“   Sutejo mendengarkan dengan penuh perhatian, mencatat semua itu di dalam benaknya. Dia masih terlalu kecil untuk menangkap semua inti sari wajangan itu, namun nalurinya membisikkan dia sehingga membuka kesadarannya, menambah kewaspadaannya.   Tiba-tiba terdengar suara banyak orang dan lapat-lapat terdengar suara orang berkata, “Agaknya dia lari ke sini. Kawan-kawan hayo kita kejar dan cari sampai dapat, kalau tidak gusti panewu tentu akan marah.“   “Heran sekali, rumah itu terbakar habis, mengapa anak itu dapat menghilang? Jangan-jangan dia sudah menjadi abu!“   “Mana mungkin! Tulang-tulang ibunya yang hangus masih dapat dikenal, tak mungkin dia habis sama sekali. Tentu dia dapat melarikan diri, atau ada orang yang menolongnya!“   Mendengar ini, Sutejo terkejut dan cepat dia meloncat turun dari atas batu, kedua tangan dikepal. Dia sama sekali tidak takut, hanya mengkhawatirkan keselamatan…. Kakek gurunya!“ Eyang, harap eyang bersembunyi…, kalau ketahuan eyang menolong saya, tentu eyang akan celaka. Mereka itu orang-orangnya Panewu Progodigdoyo!“   Kakek itu tersenyum dan menggandeng tangan Sutejo. “Tenanglah, angger. Tenanglah dan mari kau ikut denganku pergi dari sini.“   Sutejo menurut dan sekarang barulah ia teringat bahwa kakek gurunya adalah seorang sakti! Kakek gurunya itu membawa berjalan menuju ke arah suara orang-orang itu! Jantung di dalam dada Sutejo tergetar dan berdebar keras saking tegangnya. Dia hanya mendengar eyangnya itu berkemak-kemik dan terengar suara bisikannya berulang kali, “Hong Iiaheng Awignam Astuna Masidam….!!“   Kini mereka berpapasan dengan sepasukan perajurit Tuban yang terdiri dari dua losin orang. Mereka itu mencari ke sana-sini, menengok ke kanan kiri, akan tetapi sungguh aneh, mereka itu membiarkan kakek itu dan Sutejo lewat di depan mereka seolah-olah mereka tidak melihat kakek itu, atau andai kata melihat juga, seolah-olah mereka itu menganggap sudah semestinya kakek dan bocah itu lewat di situ, tanpa mereka ganggu sedikit pun!     Tentu saja Sutejo menjadi terheran-heran dan makin kagum kepada kakek itu, karena dia mengerti bahwa eyangnya itu telah mempergunakan aji kesaktiannya sehingga para perajurit Tuban itu tidak dapat melihat dia dan eyangnya yang lewat begitu dekat dengan mereka!   Setelah jauh Sutejo bertanya, “Eyang, apakah artinya ucapan eyang tadi? Saya sudah hafal eyang! Hong Iiaheng Awignam Astuna Masidam!“   “Itu hanyalah mataram sebagai doa untuk mohon keselamatan, angger. Akan tetapi jangan mengira bahwa setiap orang akan dapat memanfaatkan mantera ini, karena mantram apa pun juga di dunia ini hanya berguna dan menjadi sakti bagi orang-orang yang telah menghayati kebenaran di dalam hidupnya. Kalau setiap saat, setiap kata-kata ucapan, setiap pikiran, dan setiap perbuatan selalu beelandaskan kebenaran, maka kesaktian telah berada di dalam dirinya angger.“   Demikianlah, mulai hari ini, Sutejo diajak oleh eyang gurunya, yaitu Panembahan Ciptaning, pergi ke lereng Gunung Kawi, selain untuk menghindarkan pengejaran Panewu Progodigdoyo, juga untuk mempelajari ilmu kesaktian dan hidup sebagai seorang petani di lereng pegunungan yang hawanya dingin sejuk dan udaranya bersih itu.   ***   Dara itu menangis sesenggukan dengan hati pilu di dalam kamar yang indah itu. Cuping hidungnya yang mancung dan sepasang matanya yang bening sampai menjadi merah karena banyak menangis. Dia menelungkup di atas pembaringan, tidak menghiraukan dan bujukan dua orang emban (pelayan) yang berlutut di depan pebaringan.   “Sudahlah, den roro… tiada gunanya lagi menangis… setiap hari berduka saja sampai tubuh paduka menjadi kurus….“ kata emban yang hidungnya pesek.   “Diamlah, gusti, diamlah, nanti hanya akan membikin marah gusti panewu saja. Beliau amat mencintai paduka…, lihat ini, hamba disuruh memberikan pakaian yang serba indah dan baru…“ kata emban ke dua yang mulutnya lebar.   “… dan ini hamba sudah menyediakan makanan dan buah-buahan untuk paduk,“ sela si hidung pesek.   Akan tetapi dara remaja itu menggeleng-geleng kepala, bahkan ketika pakaian baru itu ditumpuk di dekatnya, dia lalu mengibaskan tangan sehingga tumpukan pakaian itu berantakan ke atas lantai.   “Eihh-eihhm bagaimana ini? Sayang, den roro, pakaian mahal dan bagus…!“ Si hidung pesek mengambil pakaian itu.   Dara itu bengkit duduk. Mukanya pucat dan agak kurus, akan tetapi tidak menyembunyikan wajahnya yang cantik jelita. Bahkan tambutnya dan pakaiannya yang kusut itu membuat kecantikannya makin aseli dan menonjol. Hidungnya yang kecil mancung menjadi merah ujungnya, matanya yang bening dan bersinar tajam itu sampai agak membengkak karena terlalu banyak menangis, kulitnya putih kuning dan kedua lengannya padat dan mulus. Seorang perawan yang cantik. Dia ini bukan lain adalah Lestari, puteri janda Galuhsari yang dilarikan oleh Panewu Progosigdoyo dan dikeram di dalam sebuah kamar di gedungnya. Kamar itu dijaga ketat oleh sepasukan pengawalnya dan selain dara remaja itu tidak diperkenankan keluar dan seperti orang hukuman dikurung di dalam keputren itu, juga tidak ada seorang pun boleh memasuki tempat ini kecuali dua orang emban itu yang memang ditugaskan untuk membujuk perawan itu.     Namun Lestari tetap menolak cinta kasih Panewu Progodigdoyo yang amat dibencinya. Biar pun dia belum diganggu oleh panewu itu yang sibuk menghadapi perang dengan Mojopahit, dan biar pun dia dilayani dengan penuh keramahan oleh para emban, tetap saja lestrai merasa berduka dan setiap hari hanya menangis. Betapa hatinya akan hancur kalau dia mengingat ibunya dan adiknya? Mereka mati terbakar! Dan bukan itu saja! yang membuat dara ini kadang-kadang seperti ingin menjerit-jerit ketakutan adalah kalau di mengenangkan betapa sebelum kebakaran rumah ibunya, dia diharuskan melihat ibunya digagahi oleh panewu itu, digumuli dan diperkosa di atas pembaringan, di depan matanya! Betapa dia melihat ibunya bercucuran air mata, menggigit-gigit bibir menahan penghinaan itu demi untuk mempertahankan kehormatan puterinya! Teringat dan membayangkan ini semua, Lestari mengalami guncangan batin yang hebat dan ketika dia menutupi mulutnya untuk menahan mulutnya menjerit-jerit, dia menganguk, kemudian duduk termenung seperti orang kehilangan semangat!   Setelah perang terjadi dan Tuban dikalahkan oleh Mojopahit, seperti telah diceritakan di bagian depan, Panewu Progodigdoyo yang pandai bermuka-muka dan pandai menjilat-jilat itu melaporkan kepada para pembesar di Mojopahit betapa dialah orangnya yang selalu berusaha untuk mencengah pemberontakan Ronggo Lawe. Kemudian dia pulalah yang memerintahkan semua pasukan Tuban untuk tunduk dan takluk, agar tidak melanjutkan perlawanannya terhadap Mojopahit.   Dalam usahanya mencari muka dan menjilat ini, dia memperoleh bantuan banyak dari Sang Resi Mahapati! Mengapa demikian? Hal itu tidaklah aneh karena sesungguhnya Sang Resi Mahapati yang menjadi seorang pembesar di istana Mojopahit itu masih terhitung paman gurunya sendiri. Panewu Progodigdoyo adalah murid Empu Tanjungpetak, seorang empu yang digdaya di pertapaan atau pesanggrahan Tanjungpetak di pantai Laut Jawa, tak jauh dari Tuban. Ada pun Empu Tanjungpetak ini adalah kakak seperguruan dari Resi Mahapati!   Progodigdoyo juga maklum akan cita-cita sang resi di istana Mojopahit itu, maka di antara keponakan dan paman guru ini antara keponakan dan paman guru ini terjalinlah kerja sama yang baik, maka tidaklah mengherankan kalau Resi Mahapati membantu murid keponakannya ini sehingga di dalam penumpasan pemberontakan Ronggo Lawe, Progodigdoyo dianggap “berjasa“, bahkan dia lalu memperoleh kepercaaan untuk sementara menjabat “adipati“ di Tuban, menggantikan kedudukan Ronggo Lawe sementara Tuban kosong dari seorang pejabat.   Dapat dibayangkan betapa besar kepala bekas panewu ini! Dia masih bersikap hormat kepada keluarga Ronggo Lawe, apa lagi kepada aryo Wirorojo yang dia tahu merupakan seorang terhormat dan berpengaruh di lingkungan istana Mojopahit. Terhadap mereka ini dia masih bersiap hormat sebagai seorang bekas pembantu Ronggo Lawe yang “setia“.   Memang demikianlah sifat-sifat manusia yang terlalu tebal sifat akunya. Demi kepentingan pribadi yang selalu haus mengejar kesenangan, dia tidak malu-malu untuk melakukan apa saja! Demi mencapai cita-citanya, cara apa pun akan ditempuhnya. Dan seperti yang sudah menjadi anggapan umum yang biar pun hampa dan salah namun sejak dahulu sampai kini manjadi semacam pegangan mutlak adalah bahwa kesenangan ialah kedudukan, kemuliaan, kehormatan atau nama, dan harta benda! Demi untuk mencapai tiga macam “kesenangan“ ini, seringkali manusia menjadi lebih kejam dan lebih ganas daripada binatang! Apa pun akan dilakukannya, dan semua cara ini, betapa pun kejamnya, dianggapnya benar karena semua itu dilakukan untuk mencapai cita-citanya ! Pemujaan cita-cita itu lalu hanya mementingkan si cita-cita, tanpa menghiraukan lagi cara yang ditempuhnya, karena si cara itu hanya dianggap sebagai penyeberangan belaka. Padahal, bukan cita-citalah yang penting, melainkan cara itu sendiri! Cara inilah yang menentukan baik-buruknya, benar dan sesatnya. Cara ini pula yang menentukan akibat dan akhirnya. Di dalam benih yang ditanam itulah tercakup nilai buahnya kelak! Cara inilah yang penting, yang nyata yang harus kita perhatikan setiap saat agar tidak sampai menyeleweng!   (Bersambung ke Jilid 10)   Jilid 10   Namun demi si aku yang selalu mengejar kesenangan, manusia menjadi lupa, seperti halnya Progodigdoyo. Dia merasa bangga sekali dengan kedudukannya. Masih berdebar kalau dia teringat akan peristiwa yang terjadi sebelum pemberontakan pecah, yaitu peristiwa di dusun Kembangsari. Tanpa disengajanya dia telah membunuh Galuhsari, janda mendiang sahabat baiknya, Lembu Tirta, dan hatinya berdebar menjadi agak gelisah kalau dia mengigat bahwa mayat anak laki-laki Lembu Tirta tidak dapat ditemukan di dalam rumah terbakar itu, juga usaha pencarian oleh pasukannya tidak berhasil. Akan tetapi, debar jantungnya ini lenyap dan berganti dengan debar kegembiraan yang penuh dengan bangkitnya gairah nafsu berahinya kalau dia mengingat akan Lestari, perawan mungil cantik jelita yang telah berada di tangannya. Makin dipandang, makin mirip perawan itu dengan ibunya di waktu muda, dengan Galuhsari, yang telah dirindukannya semenjak masih gadis dahulu, akan tetapi dalam memperebutkan cinta kasih gadis Galuhsari itu, dia kalah oleh Lembu Tirta. Tidak mengapa, ibunya pun setelah janda terdapat olehnya, biar pun tidak memenuhi selera hatinya. Kini anaknya yang menjadi gantinya. Lebih muda, lebih cantik, dan masih perawan!   “Ha-ha-ha, Lestari, tidak begitu risau lagikah hatimu, manis?“   Panewu Progodigdoyo memasuki kamar itu dan agaknya lega hatinya melihat perawan itu tidak menangis lagi seperti sudah-sudah. Sudah tiga bulan lamanya dia mengeram dara itu, akan tetapi setiap hari dara itu hanya menangis saja, makan pun hanya setengah dipaksa oleh para emban karena takut dara itu akan mati kelaparan, dan mengganti pakaian dan mandi juga dilakukan dengan setengah paksa. Malam hari ini, gadis itu duduk termenung, tidak menangis lagi!   Melihat kedatangan Progodigdoyo, dua orang emban itu dengan kenesnya, sambil tersenyum-senyum dan saling lirik, meninggalkan kamar itu, membiarkan sang panewu yang kini menjadi pejabat adipati itu berdua saja dengan si perawan denok.   Progodigdoyo yang sudah berusia empat puluh tahun itu duduk di atas kursi yang ditariknya sehingga dia berhadapan dengan Lestari yang duduk bersimpuh di atas pembaringan. Sejenak dia menatap wajah yang menunduk itu dan dia tersenyum, terpesona karena perawan itu benar-benar mirip sekali dengan Galuhsari di waktu masih gadis! Betapa cantiknya! Sinom rambut yang berikal itu semrawut berjuntai di atas dahi yang yang melengkung dan halus. Alisnya seperti dilukis saja, melengkung hitam panjang kecil seperti bulan muda baru mlai tampak. Hidungnya kecil menggemaskan, cupingnya yang kemerahan bergerak-gerak menyentuh perasaan. Pipinya berkulit putih kuning halus kemerahan, segar dan mengar-mangar, dan mulutnya! Seperti setangkai mawar. Matanya dihias bulu mata yang panjang melengkung.   Pandang mata Progodigdoyo menurun, ke leher, ke dada yang tampak membusung kecil itu, ke pinggang yang ramping dan tanpa disadarinya tangan kanannya naik ke kumisnya yang panjang melintang, memutir-mutir kumisnya dengan keasyikan yang penuh gairah, membayangkan betapa akan nikmat dan senangnya kalau perawan ini mau menyerahkan diri kepadanya dengan suka rela. Matanya yang lebar ini bersinar-sinar dan hidungnya yang mbengol (besar tidak mancung) kembang-kempis, hidung yang bentuknya menjadi ciri laki-laki yang gila perempuan, dan mulutnya bergerak-gerak dengan senyum dikulum.     “Lestari, cah ayu… malam ini… hemm, kau tentu sudah insyaf dan mau melayani aku, bukan? Engkau akan kujadikan selir terkasih, atau…hemm, kalau kau menyenangkan hatiku, mungkin saja akan kucerai isteriku, atau kulorot dia menjadi selir tua dan engkau menjadi isteri adipati! Ha-ha-ha, engkau menjadi permaisuriku! Mau ya, manis?“ bujuknya, seperti seorang tua membujuk seorang anak-anak yang akan dihadiahi kembang gula. Dan memang sikap ini tidak dibuat-buat oleh Progodigdoyo karena memang Lestari itu seorang perawan kecil, masih setengah kanak-kanak maka otomatis sikapnya seperti kepada seorang kanak-kanak!   Sudah bosan dan muak Lestari mendengar ucapan ini yang merupakan bujukan yang selama berbulan-bulan ini hampir setiap malam didengarnya, baik keluar dari mulut wajah yang amat dibencinya ini atau keluar dari mulut para emban. Akan tetapi saat itu dia menoleh dan merasa amat lucu mendengar ucapan itu, yang selama ini dibencinya! Dia teringat akan masa lalu, di waktu pria ini masih menjadi sahabat ayahnya, bahkan seperti seorang adik kandung ayahnya sendiri. Pria ini selalu bersikap manis terhadap dia dan ibunya, dan Sutejo, bahkan sering kali di waktu di masih kecil suka memangkunya, memondongnya. Dan diapun suka kepada paman Progo ini! Teringat akan semua itu, Lestari menjadi binggung dan merasa lucu! Konflik jiwa berkecambuk di dalam batin perawan ini dan dia mulai berkata dengan kata-kata halus, jauh berbeda dengan hari-hari kemarin di mana dia selalu berteriak-teriak tidak sudi dan marah-marah. sambil menangis.   “Paman… paman Progo…“   Hampir terlonjak laki-laki itu saking girangnya. Ingin dia menubruk dan mendekap perawan itu dan menciuminya saking bungah hatinya, akan tetapi sebagai seorang laki-laki yang sudah banyak pengalamannya dengan wanita, entah sudah berapa puluh kali dia mendapatkan wanita-wanita muda, baik dan halus mau pun kasar, dengan suka rela mau pun dengan paksa, dia menahan kesabarannya dan berkata girang “Lestari, sayang, apakah yang kau hendaki manis?“   “Paman Progodigdoyo, bukankah paman adalah sahabat baik dari mendiang ayahku Lembu Tirta?“   Pertanyaan yang halus dan keluar dari bibir yang manis itu sungguh-sungguh tak pernah disangkanya, akan tetapi dengan wajah berseri Progodigdoyo menjawab halus, “Tentu saja, denok, tentu saja. Mendiang ayahmu adalah sahabat baikku, sahabat karib.“   “Kalau sahabat baik, kenapa enkau membunuh ayahku, paman?“   Mata Progodigdoyo terbelalak. Akan tetapi karena hal itu sudah diketahui pula oleh perawan ini, dia pikir menyangkal pun tidak ada gunanya. “Karena kami berebutan, manis, memperebutkan ibumu. Karena aku cinta ibumu dan kemudian ayahmu yang berhasil memperisteri ibumu.“   “Paman mencinta ibuku?“   “benar, benar , sayang. Aku cinta pada ibumu.“   “Kalau paman Progo mencinta ibu, mengapa paman melakukan… melakukan itu kepada ibu dahulu itu…?“ Dia membayangkan peristiwa pemerkosaan itu dan matanya terbelalak.   Wajah Progodigdoyo menjadi merah sekali. Dia menjadi binggung sehingga tidak melihat perobahan pada wajah Lestari. Akan tetapi dengan lancar dai menjawab pula,“ ahh, kau maksudkan aku menggauli ibumu? Karena aku cinta padanya, itulah! Karena aku cinta padanya, Lestari, seperti aku cinta padamu. Kau mirip sekali dengan ibumu di waktu muda, malah lebih manis, maka aku tergila-gila kepadamu, aku cinta padamu.“   “Kalau cinta bukan begitu, paman.”   “Habis bagaimana?“ Progodigdoyo menyerigai.   “Kalau paman mencinta ibu, tentu paman membiarkan ibu hidup berbahagia dengan ayah. Kalau paman mencintaku, tentu paman akan membebaskan aku.“   Progodigdoyo menjadi jengkel. Kira-kira anak ini bersikap tenang hanya untuk membantah pula!     “Lestari, jangan kau membikin aku kehilangan kesabaranku!“ Dia bangkit berdiri. “Aku cinta padamu, tahukah kau? Karena kau mirip ibumu, karena kau lebih manis dari ibumu. Kalau aku tidak cinta padamu, apa kau kira aku sabar menunggu-nunggu dan membujuk-bujuk sampai berbulan-bulan lamanya? Kalau aku tidak cinta padamu, tentu sudah sejak malam pertama itu kau kupaksa. Apa kau kira aku bisa memaksamu, he? Lihat ini!“ Progodigdoyo menggerakkan tangannya dan di lain saat dia sudah mendekap tubuh Lestari, kedua tangan Lestari ditekuk ke belakang tubuh sehingga dada dara itu membusung ke depan. Lalu dengan buasnya Progodigdoyo menciumi kedua pipi itu, hidung itu, dan mengecup bibirnya lama-lama serta mengggigitnya.   “Nah, kalau aku mau memaksamu, apa sukarnya? Tinggal merobek-robek pakaianmu!“ dia mendengus dan mendorong tubuh anak dara itu sehingga jatuh terlentang di atas pembaringan. Muka Lestari pucat sekali, matanya terbelalak lebar bibirnya berdarah karena digigit dengan gemasnya oleh laki-laki yang sudah kesetanan itu. Napas Progodigdoyo terengah-engah.   “Kalau kau tidak mau melayaniku, aku tunggu sampai besok, hemm… terpaksa aku akan memperkosamu, akan memaksamu dan akan membuat engkau menjadi barang permainanku! Akan tetapi kalau kau menyerahkan diri dengan suka rela, engkau akan menjadi isteriku yang terhormat. Mengertikah engkau?“ bentaknya.   Lestari memandang dengan mata terbelalak tanpa berkedip, kemudian dia bangkit duduk, lalu menudingkan telunjuk kanannya ke arah muka Progodigdoyo dan tiba-tiba perawan ini tertawa!   “Heh-heh-hi-hi-hi, kau…kau lucu…, paman Progo! Ha-ha, mukamu lucu seperti… seperti tikus werok… ha-ha! Kau cinta pada ibuku dan kau membunuhnya? Kau cinta padaku dan kau ingin melihat aku menderita, ingin mempermainkan tubuh ini? Heh-heh-hi-hi-hi, kau… kau gila, paman Progo! Aku sudah bersumpah bahwa sekali saja engkau menodai diriku, aku akan bunuh diri!“   Progodigdoyo memandang dengan mata terbelalak. Tahulah dia bahwa perawan itu mengalami tekanan batin, guncangan batin yang hebat sehingga ada bahayanya akan menjadi gila. Akan tetapi ucapan terakhir dari Lestari itu membuatnya marah.   “Kau mau membunuh diri? Huh, kau kira mudah? Para emban selalu menjaga dan aku mencegah kau membunuh diri!“   Perawan itu tertawa lagi dan suara ketawannya membuat Progodigdoyo bergidik. Kini Lestari turun dari pembaringan dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Progodigdoyo sambil menghampirinya. Progodigdoyo bergidik dan melangkah mundur.   “Kau kira aku tidak mampu? Hi-hi-hik, Progodigdoyo, dengan mengigit putus lidahku sendiri pun aku akan mati. Siapa bisa mencegah aku menggigit lidahku sendiri? Akan tetapi sebelum mati, aku akan lebih dulu membunuhmu, ha-ha-ha!“   Melihat keadaan perawan itu, lenyaplah nafsu berani Progodigdoyo yang tadi berkobar setelah dia mendekap tubuh yang gempal hangat dan mencium mulut yang manis itu. Kini dia menjadi ngeri dan khawatir. Celaka, pikirnya. Lestari telah mulai gila!   “Emban!“ Teriaknya dan dua orang emban yang tadinya mendengarkan di depan pintu sambil mesem-mesem mengharapkan untuk mendengarkan suara yang “mesra“ seperti telah mereka bayangkan, terkejut dan cepat-cepat mendorong daun pintu dan masuk! “Jaga dia baik-baik, layani baik-baik!“ katanya dan bergegeas Progodigdoyo meninggalkan kamar itu diiringi suara ketawa Lestari yang membuat kedua orang meban itu melongo.     Betapa banyaknya manusia menyalah gunakan dan mengotori kata “cinta“ yang sesungguhna amat indah dan suci itu! Hampir semua orang mempunyai pandangan Progodigdoyo, hanya saja bedanya, ada yang bersikap halus dan ada pula sebagian orang yang bersikap kasar seperti Progodigdoyo.   Cinta yang kita dengung-dengungkan selama ini, benarkah itu cinta namanya? Kalau kita berani bersumpah bahwa kita mencinta seseorang, selalu kita menginginkan agar orang yang kita cinta itu pun membalas cinta kita, bahkan lebih dari itu, kita menginginkan bahwa orang yang kita cinta itu menyenangkan kita, melayani kita, memenuhi hasrat kita dan juga kita menghendaki agar orang yang kita cinta itu jangan menoleh kepada orang lain! Kalau semua keinginan ini dilanggar satu saja, tidak dipenuhi satu saja, “cinta“ kita itu berubah menjadi kebencian yang penuh dengan cemburu dan kekecewaan! Apakah ini cinta? Ataukah ini hanya merupakan suatu cara untuk memenuhi keinginan hati kita, yaitu memenuhi kesenangan, baik kesenangan batin maupun lahir?   Di dalam urusan yang kita namakan “cinta“ itu, selalu kita arahkan atau maksudkan kepada hubungan Sex (kelamin)! Seolah-olah dalam persoalan cinta kasih antara pria dan wanita, hanya sex itulah isinya semata-mata! benarkah ini? Ada pula yang mengatakan bahwa cinta kasih adalah pengorbanan, atau kewajiban, dan lain-lain sebutan lagi. Ada pula yang menganggap bahwa tanpa cemburu, tidak ada cinta kasih! Banyaklah anggapan-anggapan kacau-kacau dikemukanan dan semua anggapan itu hanya mempunyai satu dasar, yaitu untuk membela kepentingan si aku yang mengejar kesenangan! Mengapa kita tidak berani membuka mata melihat segala kepalsuan kita sendiri? Mengapa? Tanpa adanya kesadaran akan kepalsuan kita sendiri, betapa mungkin kita akan dapat mengalami perobahan?   Jelaslah bahwa nafsu birahi thok bukanlah cinta kasih, juga bahwa cemburu, kekecewaan, kebencian, dendam, kesengsaraan, permusuhan, semua ini tidak terkandung dalam cinta kasih dan bkan cinta kasih! Untuk dapat mengalami cinta kasih, semua penghalang berupa camburu, kebencian, kepentingan pribadi atau pengejaran kesenangan diri pribadi, semua ini haruslah lenyap sama sekali!   Hubungan Sex (kelamin) bukanlah sesuatu yang jahat, bukanlah sesuatu yag kotor! Sama sekali bukan. Bahkan merupakan sesuatu yang amat indah, sesuatu yang amat wajar, sesuatu yang amat suci apabila dilandasi oleh cinta kasih! Akan tetapi, apabila hubungan sex dijadikan pujaan, maka sesuatu yang murni itu akan berobah menjadi sesuatu yang amat kotor! Seperti halnya Progodigdoyo! Dia menjadi hamba dari nafsu berahi, didorong oleh nafsu berahinya, yaitu untuk mengulang-ulang lagi kesenangan dan kenikmatan yang dialaminya dari nafsu berahi ini, maka mulailah dia mengejar-ngejar dan dalam pengejaran kesenengan inilah terjadi kemaksiatan, terjadi CARA-CARA yang sesat dan kotor!   Di dalam cinta kasih yang murni tidak ada tidak ada unsur pendorong untuk kepentingan si aku, bahkan sama sekali tidak ada lagi si aku, tidak ada lagi pengejaran kesenangan untuk aku. Bukan berarti bahwa kita menolak kesenangan atau kenikmatan. Sungguh sama sekali tidak demikian. Bahkan siapa yang tidak lagi mengejar-ngejar kesenangan, dia penuh dengan kesenangan. Siapa yang tidak mengejar-ngejar kenikmatan, dia sudah penuh dengan kenikmatan!   Setelah tiba kembali di dalam kamarnya sendiri, Progodigdoyo disambut oleh isterinya, seorang wanita yang cukup cantik akan tetapi bagi Progodigdoyo si hamba nafsu, perempuan ini kelihatan membosankan. Dari isteri ini dia memperoleh dua orang anak, seorang laki-laki berusia dua belas tahun dan seorang perempuan berusia sembilan tahun. Akan tetapi adanya dua orang keturunan ini tidak mempererat hubungan batin antara Progodigdoyo dengan isterinya itu.   Isterinya sudah mendengar bahwa suainya mengambil seorang selir baru, yang bernama Lestari, akan tetapi dia tidak tahu bahwa Lestari adalah puteri mendiang Lembu Tirta,tidak tahu pula bahwa suaminya telah memperkosa bahkan menyebaabkan kematian janda Lembu Tirta, yaitu Galuhsari. Disangkanya bahwa Lestari, perawan berusia lima belas tahun ini, adalah seorang perawan dusun yang cantik. Maka sebagai isteri seorang bangsawan, isteri ini pun tidak berani membantah, bahkan ketika melihat suaminya datang, dia menyongsong dengan pertanyaan lembut, “Sudah berhasilkah paduka mempersunting gadis itu, kakangmas? “     Berkerut alis Progodigdoyo, karena pertanyaan yang sejujurnya dan setulusnya ini diterimanya sebagai suatu ejekan!   “Diam, perempuan cerewet!“ bentaknya dan dia menghempaskan dirinya di atas kursi.   Isteri terkejut lalu cemburu. “Ditanya baik-baik malah marah,” gerutunya sambil pergi dari kamar menuju ke kamar anak-anaknya. Suaminnya akhir-akhir ini berobah sikapnya dan dalam keadaan seperti ini, ibu ini mencari hiburan pada anak-anaknya.   Di dalam hatinya Progodigdoyo malah girang melihat isterinya pergi meninggalkan seorang diri. Dia memutar otak, mencari akal. Dia memang tergila-gila kepada kecantikan Lestari yang mirip Galuhsari, akan tetapi setelah perawan itu memperlihatkan gejala penyakit gila, dan mengingat akan ancaman perawan itu, lenyaplah seleranya.   “Baik, aku tidak bisa menikmatinya untukku sendiri, akan tetapi aku harus dapat memanfaatkannya!“ akhirnya dia mengepal tinjunya karena dia teringat kepada paman gurunya, Resi Mahapati! Dia tahu bahwa paman gurunya itu, di samping ketamakan akan kedudukan dan kemuliaan, juga tak pernah melewatkan kesempatan untuk mendapatkan perawan-perawan muda dan cantik. Dan dengan kepandaiannya, tentu paman gurunya itu akan dapat “menjinakkan“ Lestari, pikirnya. Di samping dia dapat menyenangkan hati paman gurunya yang diharapkan untuk dapat menyokong dan mendukungnya agar dia dapat diangkat menjadi adipati di Tuban, menggantikan Ronggo Lawe, juga kalau dia teringat akan lenyaplah putera Lembu Tirta atau adik Lestari, di amenjadi agak khawatir, Oleh karena itu, kalau Lestari dia berikan kepada Mahapati untuk menjadi selirnya, kelak adik lestari kalau sampai menimbulkan keributan, tentu akan berhadapan dengan paman gurunya itu. Setelah memperoleh akal ini, lapanglah dada Progodigdoyo dan bergegas dia utusan seorang kepercayaan untuk menyampaikan undangan kepada Resi Mahapati ke Tuban dengan pesan Khusus bahwa dia mempunyai hidangan istimewa untuk paman gurunya itu.   Dua pekan kemudian, datanaglah Resi Mahapati berkunjung ke Tuban. Sebagai paman guru Progodigdoyo, tentu saja kunjungan ini tidak menimbulkan kedurigaan kepada aryo Wirorojo yang masih dalam keadaan berkabung sungguhpun puteranya, Ronggo Lawe, telah gugur hampir empat bulan lalu. Tidak ada pula yang menduga yang bukan-bukan di dalam istana Progodigdoyo, padahal malam itu terjadi hal yang akan membikin marah hati setiap orang yang masih percaya akan kebenaan dan kebajikan hidup.   Tepat seperti yang dibayangkan oleh Progodigdoyo, begitu melihat Lestari, Resi Mahapati menjadi tergila-gila dan dia merasa girang sekali atas “budi kecintaan“ murid keponakannya yang telah memberinya “hadiah hidangan“ sehebat itu! Lestari sendiri ketika dihadapkan dengan kakek bandot ini, merasa takut sekali, akan tetapi segera perawan ini menjatuhkan diri berlutut dan menyembah ketika dia terpengaruh oleh sihir ilmu hitam yang diterapkan oleh sang resi! Dan pada malan hari itu, Lestari dalam keadaan seperti orang hilang ingatan, menyerahkan segala-galanya kepada sang resi! Terjadilah malam yang penuh kemaksiatan dan kekejian di dalam kamar itu dan pada keesokan harinya, barulah Lestari menangis sejadi-jadinya. Namun semua telah terlambat.   Resi Mahapati merangkul dan menghiburnya. “Bocah ayu, mengapa menangis? Engkau akan menjadi selirku yang terkasih, engkau akan menjadi puteri terhormat dan hidup mulia di Mojopahit, engkau kelak akan mejadi selir terkasih dari orang yang berkedudukan paling tinggi di Mojopahit. Bergembiralah atas nasibmu yang baik karena engkau berkenan menggembirakan hati Resi Mahapati.“   Tentu saja hiburan ini tidak ada artinya bagi Lestari dan dia tentu sudah membunuh diri kalau saja Resi Mahapati tidak membuatnya tidak berdaya di bawah pengaruh sihir dan ilmu hitamnya sehingga Lestari menjadi seperti seekor domba yang menurut saja digiring ke pejagalan! Bahkan dia tidak membantah lagi ketika tiga hari kemudian dia dibiyong ke Mojopahit oleh sang resi sebagai selir barunya yang tercinta!     Demikianlah, mulailah kehidupan baru bagi Lestari dan peristiwa yang menghancurkan hatinya ini bahkan membuatnya menjadi matang! Setelah beberapa bulan kemudian, Resi Mahapati tidak perlu lagi menggnakan ilmu hitamnya karena kini Lestari bukan lagi Lestari beberapa bulan yang lalu! Wanita muda ini sekarang malah kelihatan girang, setiap hari bersolek dan kini dialah yang menyihir Resi Mahapati dengan segala kecantikannya dan kemudaannya! Lestari telah mengor__an seluruh perasaan hatinya, dan kini dia melihat terbukanya kesempatan baginya untuk membalas kepada semua orang yang telah menghancurkan keluarganya, melalui Mahapati! Oleh karena itu, lebih dulu dia harus menundukkan kakek ini dan biar pun dia tadinya hanya seorang perawan hijau dan bodoh, namun berkat anugerah alam yang dimilikinya berupa wajah cantik jelita dan tubuh muda, denok montok menggairahkan tidaklah terlalu sukar baginya untuk membuat Resi Mahapati yang sakti mandaraguna itu bertekuk lutut kepadanya.   ***     Memang banyak peristiwa mengerikan dan menyedihkan terjadi di dunia ini. Semua itu ditimbulkan oleh ulah tingkah manusia yang selalu menuruti hawa nafsu pementingan diri sendiri, pengejaran kesenangan yang sesungguhnya hampa. Dunia berputar terus dan peristiwa demi peristiwa terjadilah!   Aryo Wirorojo atau Aryo Adikoro, lebih terkenal dengan sebutan banyak Wide, bekas Bupati Sumenep yang telah banyak berjasa terhadap Kerajaan Mojopahit, semenjak jaman Sang Prabu Kertanegara dia telah menjadi pengawal terpercaya bahkan dianggap murid oleh Sang Prabu Kertanegara, sampai ketika Raden Wijaya memperjuangkan raja bergelar Kertarajasa Jayawardhana, di waktu mana Aryo Wirorojo juga memiliki jasa yang amat besar sekali. Karena jasa-jasanya yang amat besar itulah, maka di waktu Raden Wijaya menjadi raja, beliau pernah berjanji bahwa kelak dia akan memberikan sebagian dari bumi Mojopahit kepada Aryo Wirorojo.   Setelah puteranya gugur dalam peristiwa pemberontakan atau lebih tepat dalam peristiwa pertikaian puteranya dengan Patih Nambi, Aryo Wirorojo menjadi kendur semangatnya. Maka pada suatu hari, menghadaplah Aryo Adikoro atau Aryo Wirorojo ini ke hadapan Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana dan mengingatkan sang prabu akan janjinya itu.   Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana menerima peringatan ini dengan hati iklas. Semenjak gugurnya Ronggo Lawe, hati sang prabu, selalu merasa menyesal dan berduka. Apalagi kalau dia teringat akan jasa Aryo Wirorojo dan ronggo Lawe sendiri, dan mengingat pula betapa dalam peristiwa itu, biar pun puteranya sampai gugur, Aryo Wirorojo tidak pernah memperlihatkan sikap melawan Mojopahit atau membela puteranya. Bahkan Lembu Sora, senopati yang menjadi adik Aryo Wirorojo, juga membela Mojopahit dan menentang keponakannya sendiri. Kini, mendengar peringatan Aryo Wirorojo, sang prabu menerimanya dengan hati terbuka dan segera dikumpulkannya semua pembantu dan penasihatnya dan beliau segera mengumumkan pembagian bumi Mojopahit! Wilayah Kerajaan Mojopahit sebelah timur, terus ke selatan sampai ke Laut Kidul, diserahkan kepada Aryo Wirorojo atau Aryo Adikoro atau Banyak Wide!   Maka berangkatlah Aryo Wirorojo membawa semua keluarganya, termasuk cucunya, Kuda Anjampiani atau juga disebut Raden Turonggo, ke Lumajang yangdijadikan kota raja dan di mana dia berdiri sendiri sebagai seorang adipati atau seorang raja muda yang merdeka. Dia tidak lagi menjadi kawula Mojopahit dan tidak lagi diharuskan menghadap Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana! Betapa pun juga Aryo Wirorojo selalu bersikap baik dan hormat kepada Mojopahit sehingga selama dia menjadi Adipati Lumajang, tidak pernah terjadi keributan antara dia pribdi dan raja di Mojopahit.     Peristiwa pembagian tanah di Mojopahit ini merupakan penghindaran malapetaka karena andaikata Sang Prabu Mojopahit tidak bijaksana, mka bahaya peberontakan kiranya tak dapat dihindarkan lagi! Maka setelah aryo Wirorojo memboyong keluarganya ke Lumajang dan menjadi Adipati Lumajang, kelihatan keadaan Kerajaan Mojopahit menjadi tentram dan penuh damai, seolah-olah tidak pernah terjadi pemberontakan Tuban dan tidak akan terjadi sesuatu untuk selamanya.   Akan tetapi, ketentraman itu hanyalah kelihatannya saja. Tanpa ada yang mengetahuinya, awan gelap sedang berkumpul mengancam kecerahan udara di atas Kerajaan Mojopahit! Awan tebal ini muncul dari dalam gedung tempat kediaman Resi Mahapati! Sebagai seorang di antara kepala-kepala agama, yaitu agama pemuja Dewa Syiwa, seperti kepala-kepala agama cabang lain, Resi Mahapati telah mendapatkan kedudukan yang cukup tinggi. Akan tetapi cabang agama pemuja Dewa Syiwa ini bukan merupakan rolongan yang terbesar dan kuat, maka Resi Mahapati tidaklah puas dengan keduduka yang dipeolehnya. Diam-diam dia menanam cita-cita yang amat besar, yaitu untuk memperoleh kedudukan tertinggi di bawah kekuasaan sang prabu, mengatasi para ponggawa yang lain. Akan tetapi, dia melihat betapa kuatnya kedudukan para senopati di Mojopahit, dan betapa sulitnya mencapai cita-citanya kalau masih ada para tokoh Mojopahit yang setia dan tentu akan menghalangi semua cita-citanya itu.   Oleh karena itulah, maka di dalam peristiwa pemberontakan Ronggo Lawe, Resi Mahapati memegang peranan penting dan dia telah mempergunakan akalnya yang licik, tipu muslihat mengadu domba dengan cara yang curang, yaitu mempergunakan Maruto yang menjadi orang kepercayaannya. Seperti telah diceritakan di bagaian depan, Maruto ini membakar hati Ronggo Lawe, kemudian melaporkan kepada sang prau menyamar sebagai seorag perajurit penjaga tapal batas. Kemudian, karena tahu bahwa Maruto bukan seorang yang boleh dipercaya sepenuhnya, agar rahasiannya itu tidak ampai ada yang tahu, dengan kejamnya dia membunuh Maruto, pembantunya ini.   Sekarang, dengan mempergunakan kedudukannya dan terutama ilmu kepandaian yang tinggi, Resi Mahapati berhasil menghimpun banyak pembantu yang memiliki kepandaian tinggi. Mereka ini siap melakukan segala macam perintahnya dan Resi Mahapati dengan gerombolannya ini merupakan kekuatan rahasia yang bersembunyi di dalam kerajaan Mojopahit.   (Bersambung ke Jilid 11)   Jilid 11   Di antara para pembantunya, murid keponakannya sendiri, Progodigdoyo merupakan orang yang paling dipercayakannya. Juga dalam rangka pelaksanaan cita-citanya itulah Resi Mahapati berjuang dan akhirnya berhasil mendukung murid keponakannya itu sehingga dapat diangkat menjadi Bupati Tuban!   Pada suatu malam, tanpa diketahui oleh siapapun juga, di dalam sebuah hutan di tepi Sungai Tambakberas, didalam rumah besar yang tampaknya hanya rumah seorang petani biasa, terjadilah pertemuan-pertemuan yang kalau ketahuan orang lain tentu akan menimbulkan keheranan karena yang hadir di situ adalah orang-orang penting dari Mojopahit!   Di antara para pembantunya, murid keponakannya sendiri, Progodigdoyo merupakan orang yang paling dipercayanya. Juga dalam rangka pelaksanaan cita-citanya itulah Resi Mahapati berjuang dan akhirnya berhasil mendukung murid keponakannya itu sehingga dapat diangkat menjadi Bupati Tuban!   Pada suatu malam, tanpa diketahui oleh siapa pun juga, di dalam sebuah hutan di tepi Sungai Tambakberas, di dalam rumah besar yang tampaknya hanya rumah seorang petani biasa, terjadilah pertemuan-pertemuan yang kalau ketahuan orang lain tentu akan menimbulkan keheranan karena yang hadir di situ adalah orang-orang penting dari Mojopahit! Yang memimpin pertemuan itu adalah Resi Mahapati sendiri, dibantu oleh Bupati Tuban, Progodigdoyo dan tampaklah Senopati Mojopahit yang bernama Singosardulo yang juga sudah terjaring oleh pengaruh Resi Mahapati, lalu nampak pula bebrapa orang tumenggung yang juga sudah menjadi anak buah resi. Tidak ketinggalan Klabang Curing, tangan kanan Progodigdoyo hadir pula beserta beberapa orang yang kelihatan serem-serem dan jelas memiliki kepandaian yang tinggi.     “Tidak ada jalan lain, Si Sora harus dilenyapkan dari Mojopahit, kalau tidak, dia merupakan orang yang berbahaya.“   “Akan tetapi, kedudukannya amat kuat, paman Resi!“ Tumenggung Singosardulo membantah. “Dia merupakan seorang tokoh lama, seorang demang yang terkasih oleh sang prabu. Mana mungkin main-main dengan dia?“   “Ha-ha-ha!“ Resi Mahapati tertawa sambil mengelus jenggotnya yang masih hitam. “Engkau tidak tahu, Tumenggung Singosardulo. Nyawa dia berada di dalam genggaman tanganku! Betul tidak, Progodigdoyo?“   Bupati Tuban itu tertawa gembira dan mengangguk-angguk. “Kakang Tumenggung Singosardulo harap jangan ragu-ragu, percayalah kepada paman resi!“   “Akan tetapi…“ Singosardulo masih penasaran karena hatinya memang miris kalau harus ikut-ikut menggangu Lembu Sora yang selain berkedudukan tinggi, juga merupakan seorang tokoh yang disegani karena wataknya yang jujur dan keras, dan juga terutama sekali karena kedigdayaanya.   “Reksosuro! Darumuko!“   “Hamba siap, sang resi!“ dua orang itu sudah cepat maju dan memberi hormat dengan sikap gagah.   “Reksosuro, engkau berhadapan dengan orang-orang sendiri, sekarang ceritakanlah apa yang kalian saksikan di Sungai Tambakberas ketika terjadi pertandingan antara Ronggo Lawe dan Kebo Anabrang.“   Dengan bangga Reksosuro lalu bercerita. “Ketika itu, hanya hamba berdua tadi Darumuko saja yang masih memperhatikan mereka berdua tenggelam. Semua prajurit sudah bertempur kembali karena mengira mereka keduanya tewas dan tenggelam. Akan tetapi hamba berdua yang ketika itu aling bertaruh untuk kemenangan seorang di antara mereka, mengenal siapa adanya Senopati Kebo Anabrang yang terkenal ahli didalam air dan kabarnya kuat menyelam di dalam air sampai setengah jam lamanya. Benar saja, mereka muncul dan Adipati Rnggo Lawe berada dalam keadaan lemas karena kehabisan napas dan kepalanya dibentur-benturkan batu kali sampai pecah!“ Reksosuro menceritakan peristiwa itu dengan menggerak-gerakkan tagannya sehingga semua orang tertarik karena memang pertandingan antara dua orang senopati yang gagah perkasa itu selalu menjadi buah percakapan orang dengan kagum. “Kemudian hamba berdua terkejut dan cepat bersembunyiketika hamba melihat ada orang berloncatan di atas batu-batu kali sambil membawa sebatang keris terhunus. Orang itu dengan sigapnya meloncat ke belakang Senopati Kebo Anabrang. Kemudian menusukkan kerisnya ke belikat senopati itu sampai tembus dada. Hamba melihat sendiri, melihat betapa darah muncrat-muncrat dan Senopati Kebo Anabrang menoleh, terbelalak lalu terkulai di atas batu, lengannya masih memiting leher Ronggo Lawe yang juga sudah tewas! Mengerikan sekali!”   “Siapa orang itu? Siapa yang membunuh Kebo Anabrang dari belakang?“ Singosardulo membentak dengan penasaran dan terkejut bukan main.   “Bukan lain adalah Gusti Demang Lembu Suro….“   “Ahhhh…!!“ Singosardulu melompat dan kelihatan tidak percaya.   “Duduklah, Tumenggung singosardulo…“ Resi Mahapati menenangkannya dengan gerakan tangan. “ Sudah jelas, mengapa engkau tidak percaya? Dan sebabnya mudah sekali diduga. Lembu Sora menyaksikan betapa Ronggo Lawe dianiaya, disiksa oleh Kebo Anabrang, maka dia menjadi tidak tega, mata gelap karena amarahnya lalu membunuh Kebo Anabrang. Apakah anehnya itu?“   “sekarang aneh… dan hebat…“ Singo sardulo masih penasaran dan belum hilang kagetnya. Berita ini baru saja didengarnya dan memang mengejutkan.     “Sekarang sudah tiba waktunya membuka rahasia ini, “kata Resi Mahapati.“ Maka kita harus membagi-bagi tugas, Tumenggung singosardulo, andika merupakan seorang yang dekat dengan Lembu Sora. Untuk menghilangkan keraguanmu, maka sebaiknya ansika menemui Lembu Sora, mengajaknya bercakap-cakap kemudian coba kemukakan berita yang andika dengar tentang pembunuhan yang dilakukan atas diri Kebop Anabrang. Lihat saja bagaimana reaksinya! Kalau sudah yakin hatimu, nah, sebarkan berita itu secara berbisik-bisik di anatara para ponggawa kerajaan.“   Singosardulo mengangguk-angguk, merasa setuju karena dia tadinya khawatir kalau dia disuruh menyebarluaskan berita yang belum tentu benar itu. Kalau berita itu palsu dan dia menyebarkannya, berarti fitnah dan melakukan fitnah atas Demang Lembu Sora bukan main-main ! Akan tetapi kalau dia boleh menjajangi dulu, bertanya lagsung, dia percaya bahwa seorang gagah perkasa seperti Lembu Sora tidak akan mengingkari perbuatannya.   “Selain itu ada satu hal lagi uang amat penting, “kata Resi Mahapati kemudian.“ Pusaka Kolonadah milik Ronggo Lawe belum juga dapat ditemukan. Sungguh aneh sekali mengapa mayat Sri Winarti itu lenyap begitu saja. Ini gara-gara dua monyet ini yang tidak becus menangkap Reksosuro dan Darumuko.   “Maafkan hamba berdua, bagaimana hamba berdua dapat berdaya setelah bertemu dengan Setan jembros? “ bantah Darumuko dengan muka membayangkan kengerian.   “Setan… eh, maksudmu Ki Jembros?“ tanya seorang tumenggung lain yang sejak tadi hanya mendengarkan saja. Nama Ki Jembros sudah terkenal maka mendengar nama manusia yang sakti dan aneh seperti setan itu disebut-sebut, dia terkejut. Hanya Progodigdoyo yang sudah diceritakan oleh paman gurunya yang tidak merasa heran. Juga Tumenggung Singosardulo memandang dengan mata terbelalak.   “Benar, gusti tumenggung,“ kata Reksosuro yang suka sekali menceritakan hal-hal yang menarik. “Ki Jembros sendiri yang menolong bocah itu dan hamba berdua dibuat main-main, hampir dibunuh!“ Dia bergidik kemudian menceritakan pengalaman mereka.   Tumenggung singosardulo dan para pembantu Mahapati yang lain, yang belum mendengar tentang peristiwa itu, mendengarkan dengan mata terbelalak penuh kengerian.   “Akan tetapi kita tidak perlu takut menghadapi Ki Jembros, “kata Mahapati membesarkan hati para pembatunya.“ Apalagi karena ternyata dia hanya mempermainkan Reksosuro dan Darumuko, buktinya dia tidak membunuh mereka ini. Aku sendiri ingin sekali waktu bertemu dan melihat sampai di mana kesaktiannya, apalagi aku akan mengundang kakak seperguruanku, yaitu Empu Tanjungpetak yang bertapa di pantai Laut Jawa. Dengan adanya kakak seperguruanku itu, biar ada lima orang Ki Jembos, aku tidak takut! Pula, dalam pelaksanaan tugas-tugas kita yang berat, kita haraus memperoleh bantuan banyak orang pandai. Betapapun juga, Kolonadah harus dapat kumiliki. Menurut penyelidikanku, pusaka Kolonadah itu diciptakan oleh Empu Supamandrangi khusus untuk seorang raja! Siapa yang memiliki Kolonadah akan kuat menjadi raja!“   “Akan tetapi, paman Resi Mahapati. Kalau memang pusaka Kolonadah sebuah pusaka untuk seorang raja, mengapa Ronggo Lawe yang baru berpangkat adipati saja sudah tewas?“ bantah Tumenggung Singosardulo.     “Ha-ha, betapapun ampuh dan saktinya sebuah pusaka, namun yang menentukan adalah sepak terjang si manusia sendiri. Aku percaya, dengan Kolonadah di tangannya, tentu akhirnya Ronggo Lawe akan terus menaik kedudukannya, tidak hanya menjadi Adipati Tuban. Akan tetapi dia murka, dia hendak menentang sri baginda secara berterang, maka sebelum keampuhan pusaka itu mengangkatnya, dia telah tersandung oleh kelakukan sendiri. Pendeknya, aku percaya akan kesaktian Empu Supamandrangi dalam menciptakan keris pusaka itu dan aku takkan menghantikan usahaku mencari Kolonadah sampai dapat. Eh, Progodigdoyo! Karena lenyapnya Sri Winarti dan pusaka Kolonadah terjadi di Sungai Tambakberas yang menjadi daerahmu, maka aku menyerahkan tugas menemukan kembali Kolonadah ini kepadamu. Sebarlah orang-orangmu untuk menyelidiki dan mencari pusaka itu sampai dapat.“   “Baik, paman resi. Akan saya usahakan sampai berhasil.“ Jawab Progodigdoyo.   Setelah mengadakan percakapan semalam suntuk, membagi-bagi tugas, dan mengatur rencana “Perjuangan“ mereka, menjelang pagi Resi Mahapati kembali ke Mojopahit, diiringi oleh beberapa orang pengawalnya. Setelah tiba di gedungnya, dia membubarkan pengawal-pengawal itu dan langsung memasuki kamarnya.   Lestari yang berdandan rapi menyambutnya dengan senyum yang cerah, secerah matahari pagi itu. Biar pun wanita muda ini telah beberapa bulan menjadi selirnya yang tidak pernah terpisah lagi setiap hari, namun untuk ke sekian kalinya Resi Mahapati terpesona oleh kecantikan dan kemudaan wanita ini, oleh sinar mata yang agaknya penuh dengan cinta dan kemesraan terhadapnya itu. Langsung saja dirangkulnya Lestari dan dikecup pipinya.   “Aduh diajeng… sungguh makin cantik saja engkau!“   Lestari tersenyum manis dan dengan sikap manja melepaskan diri dari pelukan, lalu dengan lenggat-lenggut seperti anak manja dia menjauhkan diri dari Resi Mahapati yang duduk di atas pembaringan yang harum itu.   “Ke sinilah manis, cah ayu, cah denok… aku rindu padamu, Lestari. Aih, berpisah satu malam saja denganmu rasanya seperti berpisah satu tahun ! Kesinilah, Lestari, aku cinta padamu…“ Resi yang usianya sudah setengah abad itu ternyata masih pandai merayu. Tentu saja dia tidak mau menggunakan sihir sekarang, karena wanita yang ditundukkan dan menyerahkan diri kepadanya di bawah kekuatan sihirnya tidak wajar dan tidak memuaskan hatinya. Berbeda kalau wanita itu menyerahkan diri dengan suka rela, seperti yang dilakukan oleh Lestari selama ini. Penyerahan diri wanita muda belia ini secara suka rela tanpa pengaruh sihir lagi, membuat sang resi menjadi bangga, karena hal itu dianggapnya bahwa biar pun usianya sudah tua namun dia masih cukup “jantan“ untuk menundukkan wanita dan meraih cinta kasihnya.   Dengan lenggang-lenggok yang dapat mencabut sukma pria, Lestari enggan mendekat, malah cemberut dan melerok, akan tetapi sikap ini malah menambah kemanisan wajahnya dalam pandang mata Mahapati yang benar-benar di luar kesadarannya telah terpesona di bawah kekuatan “sihir“ kecantikan wajah, kemanjaan sikap, dan kepadatan tubuh muda itu.   “Ahh, siapa percaya rayuan pria? Di mulut menyatakan cinta, akan tetapi hatinya mengenangkan wanita lain yang semalam menemaninya tidur!“ kata Lestari manja, sikapnya seperti seorang wanita yang kecewa karena pria yang dicintanya tidak setia kepadanya.   “Wah-wah… bagaimana kau bisa bilang begitu, diajeng Lestari? Ah, bagaimana sih kau ini? Dicinta orang, dirindukan setengah mati, sampai semalam suntuk badanku kesemutan semua karena rindunya akan sentuhanmu, eh, kau malah menyangka yang bukan-bukan.“   “Ahhhh, kakangmas resi tidak perlu membohong kepadaku. Ke mana saja perginya seorang pria sampai meninggalkan kekasihnya semalam suntuk kalau tidak menemui wanita lain yang menjadi kekasih barunya? Paduka semalam bersenang-senang, tidur hangat dan nikmat, akan tetapi aku kedinginan dan kesepian, hanya bantal guling menyaksikan tangisku…“ Sepasang mata yang indah itu mulai menjadi merah, tanda bahwa air matanya sudah hampir keluar.     “Diajeng… Lestari kekasihku, pujaan hatiku, aku bersumpah tidak mempunyai kekasih lain kecuali engkau, manis. Aku bersumpah demi Hyang Bathara Syiwa, biar aku dikutuk kalau aku membohongimu.” Mahapati berkata dan dia sudah turun dari pembaringan, menghampiri Lestari dan merangkulnya dengan penuh kasih sayang.   “Ah, kakangmas, siapa yang tidak tau bahwa sumpah seorang pria di depan wanita adalah seperti halilintar tanpa hujan.“   “Eh, apa maksudmu, nimas?“   “Hanya keras suaranya, mengesankan, akan tetapi tidak ada ada buktinya. “   “Wah-wah apakah kau tidak percaya kepadaku? Marilah, nimas, jangan mengodaku, aku benar-benar sudah rindu setengah mati.“ Resi Mahapati menarik selirnya terkasih itu ke arah pembaringan.   Lestari tidak menolak, akan tetapi ketika dia sudah duduk di atas pembaringan dan sang resi hendak memeluknya, dia menggeser pinggulnya menjauhi lagi. Sikapnya seperti jinak-jinak merpati sehingga menambah gairah di hati sang resi yang seolah-olah mulai dibakar oleh nafsu berahinya.   “Lestari…“ suaranya gemetar penuh getaran nafsu.   Lestari menggoyang-goyang pundak dan kepala dengan manja. “Aku masih belum percaya, kakangmas resi. Kau tentu main gila dengan perempuan lain semalam, maka engkau tidak pulang!“   “Ah, sungguh sumpah tujuh turunan! Aku pergi untuk urusan yang amat penting, nimas, sama sekali tidak bertemu dengan seorang pun perempuan. “   “Mana aku bisa percaya? Paduka harus menceritakan dulu kepada saya tentang apa yang paduka lakukan semalam, baru saya percaya…“   Mahapati menarik napas panjang, merasa bahwa dia sama sekali tidak berdaya menghadapi selirnya ini. “ Baiklah, baiklah, sayang. Aku pergi ke Tuban…“   “Oh, ke Tuban? Kenapa saya tidak diajak, kakangmas resi?“   “Ah, ada urusan penting, urusan negara, mana bisa mengajak wanita?“ Lestari merajuk lagi, “Ceritakan kakangmas. Urusan apa yang demikian pentingnya itu. Ceritakan semua agar hati saya puas dan lega.“   “Tak usah kuceritakan sejelasnya. Aku bertemu dengan Progodigdoyo, dengan teman-teman lain untuk membicarakan urusan negara, urusan kaum pria. Kuceritakan engkau tidak akan mengerti.“   Lestari cemberut. “Pasti urusan perempuan! Kalau tidak mengapa paduka enggan menceritakan?“   Mahapati hendak mencium bibir yang cemberut penuh masu itu, akan tetapi Lestari sengaja membuang muka sehingga hanya pipinya saja yang kena dicium. “Eh, kau tidak suka dicium, Lestari?“   “Paduka tahu bahwa saya suka sekali, akan tetapi paduka menyimpan rahasia terhadap saya. Bukankah sudah sering kali saya katakan bahwa saya adalah milik paduka, bahwa saya menyerahkan jiwa raga saya kepada paduka? Kita dua badan satu hati, mengapa paduka menyimpan rahasia? Paduka hanya menyerahkan kepala akan tetapi masih memegangi ekornya, tidak sama sekali menaruh kepercayaan kepada saya.“   Mahapati kehabisan akal, lalu dirangkulnya wanita itu. “eh, ini rahasia, cah ayu. Rahasia, cah ayu. Rahasia besar!“     “Apakah kakangmas resi tidak percaya kepada saya? Saya yang sudah menyerahkan segala-galanya? Sungguh kejam…“ Dan kini Lestari membiarkan air matanya menetes-netes menuruni kedua pipinya.   “Eh-eh…, jangan menangis, sayang.“ Mahapati memeluk dengan penuh iba. “Baiklah kuceritakan. Akan tetapi… hemm, apa upahnya?“   Lestari menoleh, memandang, matanya masih basah akan tetapi mulutnya tersenyum dan dia lalu mengambung pipi yang ada cambangnya melintang itu. “Upahnya cium…“ bisiknya manja.   “Hanya itu?“   “Selanjutnya terserah, apa pun yang paduka minta akan saya penuhi…“ Ucapan ini disertai senyum dan kerling mata penuh janji.   “Ah, kekasihku, bagaimana aku dapat membohongimu? Kau begini cerdik…“ Mahapati lalu merangkul dan menarik tubuh kekasihnya itu untuk rebah di atas pembaringan. Sambil merangkul leher Lestari dan rebah miring saling berhadapan, dia berbisik, “Karena rahasia, kita harus hati-hati. Nah, dengarlah…“ Sambil bebisik-bisik, tanganya sibuk menggerayangi dan membelai tubuh kekasihnya, kadang-kadang menciumi mulut, hidung, mata dan pipi yang sedemikian dekatnya, dengan suara tersendat-sendat didesak nafsu birahi yang makin memuncak, Sang Resi Mahapati lalu menceritakan semua peristiwa dan semua rencana yang di bicarakan di dalam pertemuan semalam kepada Lestari! Tidak ada satu pun yang dirahasiakan terhadap wanita ini, karena dalam keadaan didesak nafsu yang menuntut pelepasan itu dia ingin cepat-cepat menyelesaikan ceritanya dan menuntut hadiahnya. Sampai lama mereka saling bisik-bisik dan terbukalah semua rahasia yang kalau terdengar orang lain amat berbahaya itu, semua dituturkan tanpa ragu-ragu lagi kepada Lestari yang mencatat hal-hal yang penting di dalam hatinya. Matahari telah naik tinggi ketika kamar itu menjadi sunyi untuk beberapa lamanya, kemudian terdengar suara mendengkur dari Resi Mahapati yang rebah pulas dalam keadaan lelah dan puas, dengan dahi masih berkeringat.   Perlahan-lahan Lestari turun dari pembaringan, menghapus keringatnya dari dahi dan leher dengan ujung tapih (kain), digosoknya muka dan lehernya kuat-kuat seperti orang hendak membersihkan kotoran, lalu mengerling ke arah Resi Mahapati yang tidur mendengkur itu dengan sinar mata penuh kebencian. Tentu resi itu akan terkejut sekali kalau dapat melihat sinar mata ini, yang bagaikan bumi dan langit bedanya dari pada sinar mata wanita itu ketika melayani cumbuannya.   Tak lama kemudian, setelah mandi dan bertukar pakaian, Lestari sudah duduk kembali di dalam kamar itu, wajahnya segar kemerahan, akan tetapi pandang matanya kepada tubuh yang masih rebah terlentang di atas pembaringan itu masih penuh kebencian dan kemukaan yang ditahan-tahan, lalu dia duduk di atas kursi, termenung. Kadang-kadang dia mengepal tinju, kadang-kadang mengerutkan alisnya yang berbentuk indah seperti dilukis, kadang-kadang dia tersenyum seorang diri, senyum yang membayangkan kemenangan.   “Bagus… “bisik hatinya.“ Ayahku, ibuku, adikku, mengalami penasaran, tewas oleh si jahanam Progodigdoyo perwira Mojopahit di Tuban, dan tidak ada seorang pun pejabat dan penguasa Mojopahit yang peduli! Sekaranglah tiba saatnya aku membalas dendam, aku tumpas habis semua penguasa Mojopahit, akan kudatangkan kemelut di Mojopahit sebagai balas dendam hancurnya keluargaku, melalui si tua bangka Mahapati! Setelah itu, akan kuhancurkan si Progodigdoyo, baru kemudian si Mahapati! Hidik, ya, begitulah, dan usahaku pasti berhasil baik! Ayah… Ibu… adik Sutejo… tenang-tenanglah kalian di alam baka… jangan mengira Lestari akan diam saja! Tidak percuma aku mengor__an tubuhku dan perasaanku, menerima perghinaan dan pemerkosaan dengan memaksa senyum di bibir! Kelak akulah yang akan tertawa dan kalian, menusia jahanam di Mojopahit, kalian yang akan menangis!“ Lalu terdengar isak tangis wanita muda itu. Akan tetapi hanya sebentar saja dia menangis karena begitu dia mendengar Sang Resi Mahapati menggeliat di atas pembaringan, dia lalu menghampiri dan mengambung pipi sang resi dengan hidungnya yang mancung, bibirnya tersenyum menyeringai dan mata yang basah itu berkilat-     Lembu Sora mengelus jenggotnya yang seperti jenggot Sang harya Werkudara itu, kemudian dia tenang kembali seperti memang telah menjadi sifatnya, lalu dengan suara halus, dia berkata, "Dimas tumenggung, coba kau ulangi kembali desas-desus yang kau dengar itu."   Dengan lebih hati-hati tumenggung itu menjawab. "Desas-desus terbawa angin yang saya dengar itu adalah bahwa kematian Kebo Anabrang bukanlah karena smpayuh (mati bersama) dengan Ronggo Lawe, melainkan ada yang membunuhnya, ada yang menusukkan kerisnya dari belakang pada saat Kebo Anabrang membentur-benturkan kepala Ronggo Lawe yang sudah kepayahan itu di tengah Sungai Tambakberas."   "Hemmm..., dan sudah jelas siapa yang membunuh Kebo Anabrang dengan tusukan keris itu?" kini lembu Sora menatap tajam sehingga sang tumenggung menunduk, tidak kuat menahan sinar mata tajam penuh selidik itu.   Singosardulo mengangguk. "Manurut bunyi desas-desus itu, andaikanlah kakangmas Lembu Sora yang membunuh Kebo Anabrang."   "hemmm..." Lembu Sora sama sekali tidak kelihatan kaget.   "Karena khawatir akan desas-desus berbahaya itu, maka saya lalu cepat-cepat menjumpai andika untuk bertanya, kakangmas demang. Kalau berita itu hanya fitnah belaka, maka andika harus bertindak untuk memberantasnya. Kalau sampai berita ini terdengar oleh sang prabu, tentu tidak akan baik jadinya!" Dia berhenti sebentar, lalu bertanya hati-hati, "Sungguh pun saya sendiri tidak percaya akan isi desas-desus itu, akan tetapi belum lega hati saya kalau tidak mendengar sendiri jawaban andika, kakangmas demang. Benarkah desas-desus itu bahwa andika membunuh Kebo Anabrang?" Kini singodardulo yang memandang penuh selidik karena untuk itulah sesungguhnya dia datang menghadap demang yang sakti ini.   "Sebelum aku menjawab, katalanlah apakah desas-desus itu menyatakan bahwa perbuatan Kebo Anabrang itu ada yang melihatnya?"   "Ada. Kabarnnya ada dua orang ponggawa yang ketika itu sedang berperang, yang melihat sendiri perbuatan itu. Kakangmas demang, jawablah bahwa berita itu bohong, bahwa andika tidak melakukan hal itu."   Lembu Sora menunduk dan menarik napas panjang, lalu berkata, "aku tahu bahwa kenyataan tidak mungkin ditutup-tutupi. Seorang ksatria harus berani mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ya benar, adimas tumenggung. Akulah yang membunuh kebo Abarang!"   "Ahh...!" Tumenggung Singosardulo benar-benar terkejut sekali mendengar pengakuan yang tidak disangka-sangka ini dan dia memandang dengan mata terbelalak. "akan tetapi mengapa...? Bukankah andika sendiri yang memimpin pasukan menghadapi barisan Tuban? Bukankah andika sendiri yang membela Mojopahit dan menentang Ronggo Lawe?"   (Bersambung ke Jilid 12)   Jilid 12   "Benar, dan aku pun agaknya tidak akan mencampuri pertandingan antara mereka. Buktinya, sampai Ronggo Lawe kalah pun aku tidak membantunya. Hanya saja, aku melihat kecurangan yang dilakukan Kebo Anabrang dalam pertandingan itu. Dia sengaja memancing Ronggo Lawe ke tengah sungai Tambakberas dan mengandalkan kepandaiannya di dalam air, dia menyeret Ronggo Lawe ke dalam air dan menanamkannya, kemudian menyiksanya. Hatiku tidak kuat menyaksikan itu, maka kubunuh dia. Andaikata pertempuaran itu terjadi sewajarnya, di darat seperti seorang gagah menghadapi lawannya, biar pun bagaimana aku tidak nanti akan mencampurinya."   Tumengung singosardulo masih belum hilang kagetnya. "Akan tetapi... desas-desus itu mulai terdengar ke mana-mana, bagaimana kalau terdengar oleh sang prabu...?"   Dengan tenang Lembu Sora menjawab, "Aku sudah berani berbuat, tentu berani pula menangung segala akibatnya, dimas tumenggung. Hal itu sudah terjadi, dan apa pun yang akan menjadi akibat, akan kuhadapi sendiri."     Tumenggung Singosardulo lalu berpamit dan tergopoh-gopoh dia menghubungi Resi Mahapati untuk menyampaikan berita penting tentang pengakuan Lembu Sora itu. Resi Mahapati tertawa girang. "Nah, kau tunggu apa lagi, Tumenggung Singosardulo? Sekarang engkau telah mendengar sendiri dari mulut Lembu Sora. Nah, sebarkanlah berita ini ke lingkungan istana. Ha-ha-ha, Lembu Sora nyawamu telah berada di tanganku, ha-ha!”   Akan tetapi, Tumenggung Singosardulo masih merasa segan terhadap Deman Lembu Sora, maka dia bertanya, "Paman resi, untuk memperoleh kedudukan tinggi saya kira semestinya kalau kita menyingkirkan Patih Nambi, akan tetapi mengapa kakangmas Demang Lembu Sora?"   Tiba-tiba Resi Mahapati menghentikan ketawanya dan memandang bengis ke arah tumenggung itu. "Singodardulo Engkau hanya tahu membantuku dan kelak akan kebagian kedudukan yang baik, mengapa banyak cerewet?"   Tumenggung itu terkejut. Dia memang takut kepada resi ini dan sudah berada di bawah pengaruhnya, maka cepat dia berkata, "Harap maafkan, paman resi..."   Resi Mahapati tersenyum, lalau berkata, suaranya berubah halus, "Kau percayakanlah saja kepadaku, Tumenggung Singosardulo. Bukan semata-mata aku memusuhi Lembu Sora tanpa sebab yang kuat. Sudah kuperhitungkan masak-masak. Kau tahu, andaikata kita berhasil menyingkirkan Patih Nambi, siapa yang menjadi calon terkuat untuk menggantikan kedudukan patih itu? Bukan lain si Lembu Sora itulah! Karena itu, dia harus disingkirkan lebih dulu karena kita mempunyai alasan kuat setelah dosanya itu berada di tangan kita. Untuk menyingkirkan nambi masih belum begitu mudah karena belum ada alasanya. Nah, sekarang berangkatlah dan sebarkan berita tentang pengakuan Lembu Sora membunuh Kebo Anabrang itu."   Setelah tumenggung itu pergi, Resi Mahapati kembali ke kamarnya di mana telah menunggu Lestari dan seperti biasa, kini resi itu menuturkan segala percakapannya dengan Tumenggung Singosardulo tanpa menyembunyikan sesuatu. Semenjak rayuan Lestari malam sekembalinya dari Tuban itu, Resi Mahapati mempercayai selirnya ini, bahkan dia mendapat kenyataan akan kecerdikan selirnya yang masih amat muda ini dalam mengatur siasat, maka dia tidak segan-segan untuk mendengarkan pendapat dan nasehat selirnya yang tercinta.   "Kakangmas resi," kata Lestari setelah dia mendengarkan penuturan tentang pengakuan Lembu Sora itu. "Saya mendengar bahwa Lembu Sora adalah seorang yang amat kuat kedudukannya, disayang oleh sang prabu dan mempunyai banyak pengikut. Oleh karena itu, paduka harus hati-hati, kakangmas dan sebaliknya jangan menentang secara berterang."     Resi Mahapati mendengarkan dengan kagum dan merangkul selirnya dengan hati bangga dan penuh kemesraan. "Kalau menurut pendapatmu bagaimana baiknya, Lestari?"   "Sebaiknya kalau paduka bekerja ditempat gelap dan hanya dengan cara mengadu domba saja maka siasat paduka akan berhasil. Bukankah mendiang Kebo Anabrang mempunyai putera yang sudah dewasa?"   "Benar, namanya Joko Taruno," jawab Mahapati.   "Nah, rahasia kematian Kebo Anabrang ini harus disampaikan kepada Joko Taruno itu agar bangkit dendamnya terhadap Lembu Sora."   "Akan tetapi, apakah yang dapat dilakukan oleh Joko Taruno itu agar bangkit dendamnya terhadap Lembu Sora."   "Setidaknya dia dapat menyalakan api permusuhan terhadap Lembu Sora, kakangmas resi. Dan sebaiknya kalau paduka membayangkan kepada sang prabu bahwa para ponggawa mereka tidak puas melihat betapa sang parbu bersikap baik terhadap Lembu Sora yang telah berkhianat dan membunuh Kebo Anabrang. Pendeknya, tentu paduka dapat mengor__an kemarahan di hati sang prabu terhadap Lembu Sora. Di lain pihak, paduka dapat mengusik hati Lembu Sora dengan mengatakan bahwa putera Kebo Anabrang dibantu oleh Nambi akan membalas dendam. Pendeknya, dengan cara mengaduk sana-sini, tentu menimbulkan kekeruhan suasana itu, kiranya akan mudah saja untuk menyingkirkan Lembu Sora atau membuat Lembu Sora memberontak terhadap Mojopahit."   "Hebat..., hebat...!" Resi Mahapati girang sekali dan mengelus rambut kepala yang hitam halus dan berbau harum itu. "ah, agaknya Hyang Bathara Syiwa telah memberkahi aku dengan munculnya seorang seperti engkau dalam hidupku, Lestari. Engkau cantik jelita, cerdik pandai... ah, betapa bahagia hatiku."   "Saya hanya ingin melihat paduka memperoleh kedudukan yang tertinggi dan saya akan ikut merasakan kemuliaan paduka, kakangmas resi."   Hati sang resi makin menjadi girang dan dia segera mempersiapkan segala sesuatunya untuk menjalankan siasat yang direncanakan bersama selirnya itu. Dikumpulkannya para pembantunya yang setia dan dikirim banyak mata-mata untuk menyelidiki gerak-gerik orang-orang yang menjadi sasarannya, terutama sekali gerak-gerik Patih Nambi, Joko Taruno dan Lembu Sora.   Resi Mahapati tidak bertindak tergesa-gesa. Jaring itu mulai dipasangnya dengan teliti dan rapat, karena dia ingin agar sekali bertindak akan memperoleh hasil yang sebaiknya. Dia maklum bahwa dia sedang mainkan suatu pekerjaan yang amat berbahaya dan kegagalan berarti bunuh diri, maka dia memperhitungkannya masak-masak dan tidak mau bertindak secara sembrono, menanti saat dan kesempatan yang sebaik mungkin.   Sementara itu, secara halus pula, tidak kentara dan tidak menyolok sehingga tidak ada yang tahu atau menduga bahwa sumbernya dari dia, Tumenggung Singosardulo mulai menyebarkan berita tentang rahasia kematian Kebo Anabrang yang sesungguhnya tewas di tangan Lembu Sora. Hebat sekali desas-desus ini, seperti api dikipas angin, melanda seluruh istana, bahkan seluruh penduduk kota raja dalam waktu beberapa bulan saja sudah membicarakannya dengan bisik-bisik dan dengan penuh ketegangan, kemudian berita itu menjalar ke luar kota raja. Akan tetapi, tidak ada yang berani membicarakan desas-     Lembu Sora sendiri yang tahu akan adanya desas-desus itu, hanya tenang dan dengan sikap gagah dan menanti akibat daripada perbuatannya itu. Bahkan untuk menjaga segala kemungkinan, tak lama kemudian, yaitu kurang lebih dua tahun setelah kematian Ronggo Lawe dan beberapa bulan setelah Aryo Wirorojo pindah ke Lumajang dan menjadi adipati di sana, Lembu Sora lalu mengungsikan keluarganya ke Lumajang sungguh pun dia sendiri masih tetap berada di Mojopahit dan setiap pertempuran selalu menghadiri di hadapan sang prabu dengan setia.   ***   "Paman empu dan paman resi, matahari mulai condong ke barat, kita harus mempercepat perjalanan kalau tidak kita akan kemalaman di hutan itu," kata Reksosuro yang jangkung bermata juling itu.   Mereka itu semua naik kuda. Reksosuro, pembantu resi Mahapati dan lima orang pengawal lain yang ke semuanya memiliki kepandaian tinggi. Enam orang ini mengiringkan dua orang kakek yang juga menunggang kuda dan melihat dua orang kakek itu menjalankan kuda perlahan-lahan sambil bercakap-cakap Reksosuro yang takut kemalaman di hutan itu membujuk mereka berdua agar mempercepat perjalanan.   Dua orang kakek itu adalah Empu Tanjungperak dan Resi Harimurti. Empu Tanjungperak adalah kakak seperguruan dari Resi Mahapati. Dia adalah seorang pertapa di pertapaan Tanjungperak yang terletak di Pantai Laut Jawa, di sebelah barat laut Tuban. Beberapa hari yang lalu, Reksosuro bersama lima orang kawannya datang menghadap kepada Empu Tanjungperak menyerahkan surat undangan Resi Mahapati untuk kakak seperguruannya ini. Kebetulan sekali pada waktu itu, di pertapaan Tanjungperak sedang kedatangan seorang tamu, yaitu Resi Harimurti, seorang sahabat baik Empu Tanjungpetak, bahkan sudah mengenal pula Resi Mahapati dengan baik. Oleh karena itu, Empu Tanjungpetak lalu mengajak Resi harimurti untuk bersama-sama pergi mengunjungi Resi Mahapati di Mojopahit.   Demikianlah, dua orang kakek yang terkenal memiliki kesaktian ini lalu diiringi oleh Resksosuro dan lima orang temannya, menuju ke Mojopahit dan pada sore hari itu mereka telah tiba di kaki Gunung Kendeng yang kaya akan hutan-hutan liar. Bagi Reksosuro dan kawan-kawannya, perjalanan itu terlalu lamban, akan tetapi agaknya dua orang kakek itu lebih suka melakukan perjalanan lamban sambil menikmati pemandangan alam yang indah di sepanjang perjalanan sambil bercakap-cakap.   "Reksosuro apa halangannya kalau kemalaman di dalam hutan?" Empu Tunjungpetak menjawab. "Melewatkan malam di hutan lebih menyenangkan. Kalian pergilah lebih dulu ke hutan itu, menanti kami di sana kalau perjalanan kami terlalu lambat bagi kalian."   "Baik, paman empu," jawab Reksosuro yang memang tidak sabar mengikuti perjalanan yang seenaknya dan perlahan-lahan itu. Dia memberi isyarat kepada teman-temannya dan menggeprak kudanya, maka membedalnya enam ekor kuda itu di depan, ke arah hutan yang nampak bergerombol dari situ. Sebentar saja mereka telah jauh meninggalkan dua orang kakek itu.   Setelah tiba dihutan, Reksosuro dan teman-temannya meloncat turun dari atas panggung kuda masing-masing membiarkan tunggangan-tunggangan mereka makan rumput dan mereka sendiri duduk beristirahat melepaskan lelah.     "Wah, sialan!" Reksosuro mengomel. "Mengikuti orang tua bangka itu sungguh menjemukan. Tidur di hutan, makan seadanya dan kita sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mengaso dan bersenang-senang. Celaka, sekarang kita harus bermalam di dusun kan kita bisa mencari anak perawan yang boleh disuruh memijati tubuh yang lelah."   "Yang ada di sini hanya lutung (monyet hitam)!" kawannya mengomel.   "Kalau kau telah boleh menangkap lutung betina, suruh memijati..." seorang teman menggoda.   "Memijati hidungmu!" Reksosuro memaki "Aku heran sekali mengapa Sang Resi Mahapati mengudang kakek-kakek seperti itu!"   "Eh, kakang Reksosuro, apa kau lupa bahwa Sang Resi Mahapati sendiri juga seorang kakek-kakek?"   "Ah, kalau beliau lain lagi," bantah si jangkung juling. "Biar pun usianya sudah lanjut, akan tetapi tenaga dan semangatnya melebihi orang muda. Lihat saja, kalau tidak begitu masa selirnya yang cantik itu menjadi begitu tunduk dan mencinta? Wah, beliau hebat sekali... ha-ha!" Dan mereka semua tertawa oleh kata-kata yang mengandung arti kecabulan itu.   "Siapa tahu kalau yang dua ini pun hebat!"   "Mestinya begitu karena paman Empu Tanjungpetak adalah kakak seperguruan Sang Resi Mahapati. Akan tetapi kelihatannya begitu loyo dan lemas, tidak seperti sang resi."   Mereka bercakap-cakap sambil melepaskan lelah dan menanti datangnya dua orang kakek yang tertinggal jauh sekali dan masih kelihatan jauh sekali dan masih belum kelihatan bayangannya itu. Tiba-tiba enam orang itu terkejut dan menoleh ke dalam hutan penuh perhatian, wajah mereka mendadak tidak lesu lagi, bahkan bersemangat. Mereka mendengar suara orang, suara wanita! Suara wanita yang merdu menembang! Tembang Asmaradana yang mengisahkan Prabu Ramawijaya menangis, meratap, mengeluh karena kehilangan Dewi Shinta.   Enam orang itu saling pandang dan mereka kagum sekali karena suara itu memang merdu dan terdengar amat janggal di dalam hutan yang lebat dan liar itu. Akan tetapi wajah mereka tegang dan gembira. Wanita yang dapat bertembang semerdu itu tentulah masih muda, dan sepantasnya cantik!   "Wah, dia tentu muda dan cantik...!" Reksosuro berkata mengutarakan suara hatinya yang menduga-duga.   "Belum tentu, kakang Reksosuro. Sudah sering sekali aku keliru, mendengar suara yang amat merdu akan tetapi orangnya jelek!" bantah temannya.   Akan tetapi tidak ada yang menanggapi karena semua mata kini memandang ke dalam hutan. Suara tambang itu telah berhenti karena telah habis, akan tetapi kini muncul seorang dara remaja yang membuat enam orang itu menahan napas. Dara remaja itu usianya kurang lebih empat belas tahun dan tubuh yang dibungkus pakaian sederhana itu seperti buah mangga yang sedang ranum, matang belum akan tetapi mentah pun tidak, sedang segar-segarnya untuk dimakan dengan sambal pedas! Kulitnya kuning langsat dan halus, akan tetapi di balik kulit tipis halus bersih itu mengandung kepadatan yang berisi, dengan urat-urat merah halus membayang di balik kulit. Kakinya yang telanjang kelihatan bersih, seolah-oleh tidak pernah menginjak tanah becek. Tangan kirinya memondong seikat kelapa muda dan pisang, sedangkan tangan kanannya membawa setangkai bunga mawar merah yang besar dan segar. Wajahnya bulat lebat dan panjang merupakan mahkota hidup yang indah menghias wajahnya. Sepasang matanya berkilat dan pandangnya tajam sekali, hidungnya kecil mancung dan mulutnya yang berbibir merah semringah itu selalu tersenyum. Pembawaan dara ini gembira dan jenaka, dapat dilihat dari senyum bibirnya dan sinar matanya, akan tetapi segala sesuatu di depannya, senyum sinis yang hanya dapat timbul dari seorang manusia yang telah banyak menderita kepahitan dan kekecewaan dalam hidupnya. Sukar mengatakan apakah dara remaja ini cantik dan manis, apakah ayu. Pendeknya semua itu ada padanya! Pada lehernya nampak seuntai kalung emas yang disambung dengan tali lawe sehingga tergantung panjang, dan hiasan kalung tersembunyi di antara buah dadanya yang mulai membusung tersembunyi di balik kain.     Enam orang yang memang selama dalam perjalanan diutus ke Tanjungpetak itu telah merasa kesepian dan kehilangan hiburan wanita yang ketika di kota raja hampir setiap malam mereka nikmati, tentu saja memandang ke arah dara remaja itu seperti pandang mata orang-orang kehausan melihat air sejuk jernih. Pandang mata mereka seolah-olah hendak menelan dara itu bulat-bulat!   "Amboii... cantiknya!"   "Ayu manis dan mulus...!"   "Denok montok menggairahkan!"   "Manis, mari ikut dengan aku dan aku akan menceraikan biniku!"   "Sayang, menembanglah lagi... suaramu merdu..."   Enam orang itu ribut memuji-muji, akan tetapi dara remaja itu seperti terpesona oleh Reksosuro dan sejak tadi dia terus memandang kepada si jangkung juling ini, bahkan kini dia melangkah perlahan menghampiri. Langkahnya ini membuat mereka menelan ludah karena begitu lemah gemulai lenggangnya sehingga menonjolkan lekuk lengkung tubuhnya yang ranum dan belum matang benar namun setiap seginya menjanjikan bentuk-bentuk yang tentu amat mempesonakan dalam beberapa tahun lagi.   Kini dara itu berdiri dekat Reksosuro, wajah laki-laki itu terus diamatinya penuh perhatian, penuh selidik dan tak pernah berkedip sejak tadi setengah terbuka mengulum senyum, bergerak ketika bicara dan nampaknya sekilas deretan giginya yang kecil putih teratur rapi. "Bukankah andika ini Reksosuro!" teriak seorang pengawal dengan kagum dan iri.   Reksosuro membusungkan dadanya yang kerempeng, mengurut kumisnya dengan bangga dan matanya yang juling itu sukar dikatakan melihat atau melirik ke mana karena mata ini selalu melirik ke arah yang tidak sedang dipandangnya. Kemudian dia berkata dengan suara digagah-gagahkan. "ah, bocah ayu kuning... kiranya engkau telah mengenal namaku? Ha-ha, wajahmu yang manis ini memang tidak asing bagiku, akan tetapi aku telah lupa lagi di mana aku pernah bertemu dengamu, perawan ayu!"   "ah, benarkah engkau telah lupa, Reksosuro? Dan mana kawanmu itu yang bernama Darumuko?"   "Eh, kau mengenal dia juga? Siapa kau dan mau apa kau mencari kami?" Reksosuro mengingat-ingat akan tetapi tetap saja dia lupa.   Dara itu tersenyum manis bukan main melebihi madumongso, lalu dia melangkah maju mendekat ke depan reksosuro sehingga pria ini menjadi makin tertarik. "Aku ingin memberi hadiah ciuman!" teriak seorang temanya.     "Dan jangan pelit, kakang Reksosuro, beri bagian sedikit-sedikit kepada kami!"   Reksosuro yang sudah kegirangan itu menggerakkan tangan menyuruh teman-temannya diam, lalu dia bertanya, "Cah ayu, hadiah apa yang hendak kau berikan kepadaku?"   Dara itu menggerakkan setangkai bunga mawar yang dipegang di tangan kanannya, lalu berkata, "Hadiah ini..."   "kembang...?   Tiba-tiba dara itu menggerakkan tangan kanannya yang memegang bunga mawar dan tangan yang berkulit halus mulus dan bentuknya kecil mungil dengan jari-jari tangan panjang meruncing itu menyambar dengan kecepatan kilat ke arah muka reksosuro.   "Prakkkk...! Aduhhhh!!" Tubuh reksosuro terpelanting dan dia terbanting roboh, mengaduh-aduh dan memegangi rahangnya yang ternyata telah pecah terkena sambaran tangan kecil itu. Tulang rahangnya patah dan bibirnya pecah-pecah berdarah!   "Itu untuk penghinaanmu kepadaku, jahanam. Dan kini nyawamu kucabut untuk membalaskan penghinaanmu atas jenazah mbakayuku!" Dara itu berkata.   Sekarang teringatlah Reksosuro dan matanya yang juling itu tebelalak dan makin menjuling. Inilah Sulastri, adik Winarti yang dulu ditangkapnya akan tetapi ditolong oleh Setan Jembros itu!   "Bocah setan...!" Dia memaki sambil memegangi rahangnya dan suaranya menjadi pelo. "Kawan-kawan... tangkap dia!" Reksosuro menahan rasa nyeri pada rahangnya dan dia sudah meloncat bangun. Lima orang pengawal yang menjadi anak buah Reksosuro terkejut bukan main melihat gadis cantik itu menampar muka Reksosuro sampai si juling itu terpelanting. Mereka merasa heran karena mereka maklum bahwa Reksosuro memiliki kepandaian tinggi dan memiliki kekebalan, kenapa sekarang ditampar seorang dara remaja seperti itu saja sampai terpelanting dan mulutnya berdarah? Mereka masih tidak tahu betapa Reksosuro menderita lebih hebat lagi karena tulang rahanya telah patah! Kini mendengar teriakan Reksosuro untuk menangkap dara yang cantik itu, tentu saja mereka menjadi girang dan seperti lima ekor kucing kelaparan melihat seekor tikus gemuk, mereka menubruk seperti berlomba untuk menangkap dan mendekap dara remaja menggairahkan itu.   Akan tetapi, dengan gerakan yang amat lincah, Sulastri bergerak cepat sekali dan semua tubrukan itu hanya mengenai tempat kosong, bahkan dua orang yang menubruk dari dua arah yang berlawanan saling tubruk sehingga mereka saling beradu, menimbulkan benjol sebesar telur ayam pada dahi mereka! Barulah mereka terkejut sekali dan cepat mereka membalikkan tubuh dan menubruk lagi dara yang tersenyum mengejek sambil bertolak pinggang itu. Kini Sulastri telah melemparkan kelapa dan pisang, juga kembang mawar merah ke atas tanah dan dia menanti mereka dengan kedua tangan di pinggang, sikapnya angkuh akan tetapi mulutnya tersenyum mengejek.   Ketika lima orang menubruk lagi, dia tidak mengelak seperti tadi, melainkan menggerakkan kaki tangannya secara teratur menurut ilmu silat yang tinggi dan gerakannya itu selain cepat juga mengandung tenaga dahsyat.   "Palak-plak-plak-desss!!" Lima orang itu terpelanting dan mereka cepat meloncat bangun dengan mata terbelalak. Mereka adalah jagoan-jagoan yang kuat, akan tetapi mereka hampir tidak melihat bagaimana mereka sampai terpelanting ketika tangan dan kaki dara itu menyambar-nyambar seperti halilintar mengamuk.   "Bunuh dia...! Dia adalah adik Sri Winarti itu yang dicari-cari oleh sang resi! Kalau bisa tangkap hidup-hidup, kalau tidak bisa bunuh...!!" Reksosuro berteriak akan tetapi matanya yang juling melihat ke kanan kiri karena dia merasa ngeri dan takut memikirkan Ki jembros. Jangan-jangan kakek itu berada di situ! Dengan keris Kyai Bandot di tangannya. Reksosuro lalu maju dan bersama-sama lima orang temannya yang kesemuanya sudah mencabut keris, dia mengurung Sulastri yang masih berdiri dengan sikap tenang.     Bibir yang manis dari dara remaja itu tersenyum. "Hemm, Reksosuro, kau pengecut besar! Tanpa mencarimu ke Mojopahit, sekarang engkau telah mengantar nyawa! Aku harus membunuhmu, mencongkel keluar matamu yang juling itu. Akan tetapi engkau mengandalkan pengeroyokan kawan-kawanmu. Heh, mundurlah kalian berlima, kalau tidak kalian juga akan mati konyol!"   Akan tetapi tentu saja lima orang pengawal jagoan itu tidak menjadi gentar. Mereka adalah jagoan-jagoan dan mereka berenam membawa keris, menghadapi seorang dara remaja tentu saja mereka tidak menjadi takut.   "Kakang Reksosuro, iblis betina cilik ini sungguh liar. Mari kita tangkap dia beramai-ramai menjinakkan dia. Kalau tidak kita jinakkan, dia tentu akan makin sombong dan bertingkah!" kata seorang di antara mereka yang bertubuh pendek dan berkepala besar.   Biar pun tulang rahang-rahangnya yang patah menimbulkan rasa nyeri bukan main, akan tetapi karena dia ingin menyerahkan dara ini hidup-hidup kepada resi Mahapati, Reksosuro berkata dengan suara pelo karena mulutnya terasa nyeri bukan main kalau bergerak untuk bicara, "Sulastri, lebih baik kau menyerah kami tangkap dan kami haturkan kepada sang resi. Melawan pun akan percuma dan dari pada kau mampus atau terluka..."   "Monyet juling! Engkau yang sudah berada di ambang pintu neraka masih berani mengancam aku?" Sulastri mengejek. Dara ini sungguh telah berobah banyak sekali. Empat tahun lebih dia menjadi murid Ki Jembros, hidup menentang banyak sekali kekerasan alam dan kesukaran, digembleng secara istimewa oleh Ki Jembros yang aneh dan kini, dalam usianya yang masih remaja, empat belas tahun, Sulastri telah mempelajari banyak sekali ilmu-ilmu yang aneh-aneh dan yang hebat-hebat, ilmu kedigdayaan dan gerakan-gerakan silat, juga bermacam ilmu kekebalan. Dara remaja yang pada dasarnya sejak kecil memiliki keberanian luar biasa ini, yang sejak kecil mengalami kesengsaraan dan rasa penasaran, kini berubah menjadi seekor singa betina muda yang berbahaya!   "Serbu...!" Reksosuro membentak kaku dan teman-temannya mulai bergerak, memperketat lingkaran yang mengurung diri Sulastri. Keris di tangan mereka menodong ke arah Sulastri penuh ancaman. Dara itu melirik ke atas tanah, melihat betapa tanah di kaki pengunungan itu mengandung pasir, maka dia tersenyum lalu cepat tubuhnya bergerak merendah. Gerakan yang tiba-tiba ini membuat enam orang pengurungnya waspada, akan tetapi mereka tidak melihat gadis itu menyerang mereka, maka mereka lalu melangkah maju mendekati Sulastri yang masih berlutut dengan tangan menyentuh tanah itu.   (Bersambung ke Jilid 13)   Jilid 13   "Aduhhh...!"   "Ahhh...!"   "Ihhh, mataku...!"   Dua orang di antara mereka yang kurang waspada terkena pasir matanya sehingga mereka menjadi bingung dan panik, untuk sementara mereka tidak dapat membuka mata dan hanya menggosok-gosok kedua matanya dengan tangan kiri. Empat yang lain sempat memejamkan mata akan tetapi pasir-pasir halus itu seperti jarum-jarum saja memasuki kulit muka sehingga mereka juga gelagapan. Dan pada saat itu, tubuh Sulastri sudah menyerang ke depan, kedua kakinya bergantian bergerak.   "Dess! Bukk! Ngekkk!!!" Kedua kaki yang kecil mungil itu bergerak menendangi mereka, membuat enam orang itu terlempar ke kanan kiri dan beberapa orang di antara mereka kehilangan keris mereka, ada pula dua orang yang tidak dapat bangun kembali, pingsan karena tanpa sengaja ujung kaki yang mungil itu telah menyepak bagian tubuh mereka yang berbahaya, yaitu di bawah pusar!   Reksosuro sendiri terlempar agak jauh karena ketika menendang orang yang dibencinya ini, Sulastri mengerahkan tenaganya. Reksosuro terbanting keras akan tetapi dia merupakan orang yang paling kuat di antara mereka, maka dia telah bangkit kembali, kepalanya agak pening dan rahangnya terasa makin nyeri. Ketika dia memandang, terkejutlah dia karena dara remaja yang luar biasa itu telah meloncat dan seperti seekor burung saja telah "melayang" dan tiba di depannya sambil tersenyum mengejek, senyum yang mengandung hawa maut!   Baru sekarang Reksosuro mengerti benar bahwa dara remaja ini adalah seorang manusia sakti. Akan tetapi dia tidak dapat lari lagi dan dia lalu menjadi nekad. Sambil mengeluarkan suara pekik dahsyat tanpa memperdulikan rasa nyeri di rahangnya, Reksosuro menerjang ke depan dengan keris Kyai bandot di tangannya, menusukkan keris berliuk sambilan itu ke arah perit Sulastri. Dara itu miringkan tubuhnya, menggunakan tangan kiri menangkis pergelangan tangan lawan dan berbareng dengan itu, lutut kanannya diangkat secara tiba-tiba sambil melangkahkan kaki kiri merapat sehingga lutut kanannya itu dari bawah menghantam pusar lawan.   "Ngekk!!" Tubuh Reksosuro terjengkang dan pada saat itu, sebuah tangan yang kecil mungil namun yang mengandung kekuatan dahsyat telah merenggut lepas keris Kyai Bandot dari tangannya.   "Reksosuro, sekarang engkau harus mampus!" suara merdu Sulastri terdengar seperti suara iblis bagi Reksosuro yang sudah roboh terlentang dan matanya terbelalak melihat dara itu perlahan-lahan melangkah maju dengan keris Kyai Bandot di tangan kanan, mulutnya tetap tersenyum mengerikan bagi Reksosuro.   "Tidak... tidak... jangan...!" Reksosuro berteriak-teriak penuh kengerian ketika dara itu melangkah maju makin dekat. Akan tetapi dari senyum dara itu, Reksosuro maklum bahwa tak mungkin dara itu mengampuninya maka dia lalu meloncat bangun dengan niat untuk melarikan diri.   "Desss!" Sebuah tendangan membuat dia roboh terjengkang lagi, bahkan tendangan yang mengenai dadanya itu membuat dadanya terasa sakit dan napasnya sesak. Kini dengan mata terbelalak dan muka pucat si juling ini memandang dara itu yang kembali melangkah menghampirinya dengan tenang.   "Wirrr...!!"   Benda kecil menyambar dengan kecepatan luar biasa ke arah Sulastri pada saat dia mendengar bunyi derap kaki kuda mendatangi. Cepat dia menggerakkan keris Kyai Bandot menangkis benda yang menyambarnya itu.   "Cringgg...!!" Sulastri terkejut bukan main. Benda itu ternyata hanya sebuah kerikil kecil sebesar kelungsu (biji asam) akan tetapi ketika mengenai keris yang dipegangnya dan dipergunakannya untuk menangkis, keris itu tergetar hebat dan tangannya menjadi kesemutan! Hal itu menjadi tanda bahwa kerikil itu disambitkan dengan tenaga sakti yang amat kuat dan bahwa penyambitnya adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.     "Paman empu... tolong...!" Terdengar Reksosuro berteriak dan sulastri cepat menoleh ke arah suara kaki kuda yang sudah tiba di tempat itu. Dia melihat dua orang kakek yang kelihatan lemah. Yang seorang adalah kakek tinggi dengan pipi kempot dan mulutnya tertutup segumpal tembakau susur kecil dan matanya sipit, rambutnya panjang putih semua, sikapnya halus namun membayangkan ketinggian hati. Kakek ke dua bertubuh tegap dan bersikap gagah, kumis dan jengotnya terpelihara rapi, tangan kirinya memegang sebuah kipas bambu yang bundar dan pinggangnya terselip sebatang pecut (cambuk) penggembala sapi yang amat panjang akan tetapi ujungnya dibelit-belitkan kepada gagangnya.   Tahulah sulastri bahwa dua orang kakek itu tentu orang-orang sakti dan sambitan kerikil tadi tentu dilakukan oleh seorang di antara mereka. Akan tetapi begitu bertemu, dia merasa tidak suka kepada kakek ini mempunyai mata lebar yang pandangannya gelit dan tajam penuh kecabulan!   Memang dugaan dara remaja yang biar pun masih amat muda namun sudah mengalami hal-hal yang hebat itu dan memiliki pandangan tajam, adalah benar. Kakek berambut putih yang sikapnya angkuh itu adalah Empu Tunjungpetak, seorang pertapa yang terlalu percaya akan kepandaiannya sendiri sebagai yang tak terkalahkan sehingga biar pun pada lahirnya dia kelihatan halus dan rendah hati, namun sesungguhnya hal itu hanya untuk menutupi batinnya yang angkuh dan tinggi hati.   Betapa banyaknya manusia di dunia ini yang seperti Empu Tunjungpetak ini. Memaksa diri untuk kelihatan sederhana dan rendah hati, bersikap halus dan sabar, akan tetapi sayang, semua itu hanya seperti kedok belaka karena di sebelah dalamnya, batinnya penuh dengan perasaan angkuh dan sombong, merasa pintar sendiri, merasa yang paling suci, paling bersih, paling pandai, paling sakti. Kita lupa bhawa kerendahan hati, atau kesederhanaan atau kebajikan, bukankah terletak di pakaian sederhana, bukan pula di sikap sederhana atau halus, bukan pula dalam tata hidup yang sederhana melainkan jauh mendalam di dalam batin kita msing-masing! Pakaian, sikap, tata hidup yang kesemuanya nampak di luar hidup yang kesemuanya nampak di luar itu hanya untuk pamer dan untuk dinilai orang lain belaka, dan semua itu tidak ada gunanya karena palsu! Yang penting adalah pengertian diri sendiri, karena kitalah yang mengerti dan mengenal diri kita sendiri, kepalsuan-kepalsuan dalam diri kita. Dan kita pula yang dapat merobah diri sendiri. Seorang pertapa di puncak gunung yang sunyi, yang hanya berpakaian sehelai cawat, yang tinggalnya di bawah pohon, yang kelihatannya saja seperti seorang yang paling sederhana, belum tentu memiliki batin sederhana dan semua kesederhanaan yang disengaja, yang dipergunakan hanya sebagai cara untuk mendapatkan sesuatu, bukanlah kesederhanaan namanya! Kesederhanaan adalah palsu dan dibuat-buat. Kalau batin sudah tidak mengejar apa pun juga, dialah namanya orang sederhana!   Kakek ke dua yang mengipas-ngipaskan kipas bambu di depan dadanya itu adalah Resi Harimurti. Kakek ini adalah seorang pertapa yang suka merantau, tidak suka tinggal di tempat tertentu, kepandaiannyajuga tinggi dan memiliki bermacam kesaktian dan aji-aji yang dahsyat. Akan tetapi, kakek ini memiliki suatu kelemahan, yaitu batinnya penuh dengan kecabulan. Setaip kali melihat wanita muda, terutama yang cantik, hatinya segera tergetar dan menggelora dan entah berapa banyaknya sudah wanita muda yang menjadi korban nafsu berani kakek ini. Maka, begitu melihat Sulastri yang memang cantik manis dan bagaikan setangkai bunga sedang mulai mekar, tentu saja jantung kakek ini sudah berdebar tidak karuan, seluruh syaraf di tubuhnya berdenyut-denyut, matanya berkilauan dan hanya karena di situ terdapat Empu Tunjungpetak, maka kakek cabul ini merasa sungkan dan dia menindih gelora nafsu berahinya dengan kipasan di depan dadanya, seolah-olah dengan kipasan itu dia dapat mendinginkan nafsunya yang terbakar.   Nafsu berahi mengusai orang tanpa pandang bulu, baik dia itu pria mau pun wanita, baik muda atau tua, nafsu berahi lahir dari kita sendiri, dari pikiran kita, dari ingatan atau kenangan kita. Maka kita melihat seorang wanita muda dan cantik dan kita tertarik, hal itu sudah wajar dan nafsu belum timbul di sini, kita memandang setangkai bunga mawar yang indah semerbak harum, atau memandang buah mangga yang sedang ranum menguning atau memandang apa saja yang memang indah dan sedap dipandang. Akan tetapi, begitu memandang, pikiran kita bekerja, ingatan kita mencampuri, pikiran mengenangkan pengalaman sex yang pernah dinikmati, pikiran membayangkan kesenangan-kesenangan yang dapat kita nikmati bersama wanita muda cantik yang kita pandang itu. Nah, mulai saat itu lahirlah nafsu berahi yang kita kobarkan sendiri dengan bayangan-bayangan pikiran itu. Dan mulailah kita mengejar kesenangan yang dibayangkan itu, melalui si wanita yang kita pandang! Demikianlah sesungguhnya proses dari kecabulan yang bukan lain merupakan satu di antara ulah pikiran kita, yaitu kita sendiri !     Resi Harimurti yang mula-mula dikuasai oleh pikirannya sendiri, yang mendorongnya ke arah kecabulan, lalu menjadi kecanduan dan menjadi hamba dari nafsu-nafsunya sendiri dan kalau sudah kecanduan seperti itu, kalau pemuasan nafsu telah menjadi suatu kebiasaan, maka manusia itu akan merasa sukar untuk membebaskan diri.   Sulastri bersikap tenang namun waspada karena dia maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang pandai. Dia berdiri dan memandang dengan penuh perhatian ketika dua orang kakek itu turun dari atas panggung kuda.   "Elaadalah...!" empu Tunjungpetak berseru kaget dan memandang ke sekeliling di mana enam orang pengawal itu berserakan dan mereka kini mencoba untuk bangkit sambil mengeluh kesakitan. "Sungguh sukar dipercaya! Reksosuro dan kawan-kawannya, enam orang laki-laki yang kuat, tidak kuasa menahan amukan seorang dara remaja? Hebat...! Eh, nini, siapakah kau dan kenapa engkau seorang dara remaja begini ganas mengamuk dan hampir membunuh ponggawa-ponggawa Mojopahit?"   Sulastri sejenak memandang kepada Empu Tunjungpetak, sepasang matanya yang jeli dan tajam itu menentang penuh selidik dan dia dapat melihat kelembutan sikap kakek ini. "Eyang, saya hanya mempunyai urusan dengan si Reksosuro seorang, akan tetapi mereka itu mengeroyok saya. Harap eyang tidak mencampuri urusan pribadi antara saya dengan Reksosuro si jahanam, dan saya tidak perduli apakah dia itu ponggawa Mojopahit, karena bagi saya dia adalah ponggawa neraka jahanam yang harus dilenyapkan!"   "Jagad Dewa Bathara...! Selama hidupku baru sekarang aku bertemu dengan seorang dara remaja seganas ini. Nini engkau hendak berbuat apakah terhadap Reksosuro?"   "Hendak saya congkel kedua matanya dan saya penggal lehernya!"jawab Sulastri dengan berani.   "Hemm, enak saja kau bicara, bocah lancang. Reksosuro adalah seorang ponggawa dan utusan dari Mojopahit. Apakah kau berani bicara selancang itu?"   "Tidak perduli. Siapa pun yang membela jahanam ini, terpaksa saya lawan!"   "Ha-ha-ho-ho! Kakang empu, serahkan saja bocah itu kepadaku, "kata Resi Harimurti sambil melangkah maju.   "Terserah kepadamu, adi resi. Akan tetapi dia masih kanak-kanak, jangan membunuhnya."   "Membunuh? Ha-ha-ha, eman-eman (sayang) kalau dibunuh, kakang. "Sambil tertawa-tawa Resi Harimurti melangkah maju menghampiri Sulastri yang berdiri tegak dan bersikap waspada.   Mereka berhadapan. Pandang mata Sulastri tajam menusuk penuh keberanian, sedangkan Resi Harimurti sambil menggerak-gerakkan kipasnya memandang seperti pandang mata seorang tengklak kerbau sedang meneliti dan menaksir seekor kerbau betina muda yang akan dibelinya. Dia menganggul-angguk puas sekali. "Nini, engkau sungguh denok dan jelita. Janganlah nekad seperti itu, mari kau ikut bersamaku dan kalau kau memang suka akan ketangkasan, kau bisa menjadi murid Resi Harimurti dan kau pasti akan menikmati kesenangan hebat, ha-ha-ha!"   "Resi menjemukan, kau pergilah dan jangan mencampuri urusan pribadiku dengan Reksosuro!" Sulastri membentak. "Ha-ha, kau seperti seekor kuda betina muda yang binal! Kalau begitu, engkau harus ditundukkan dan jinakkan, baru menyenangkan, ha-ha!"   Sulastri sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi mendengar ucapan-ucapan yang dianggapnya amat menghinanya itu. "Tua bangka busuk!" Dia memaki dan tubuhnya sudah bergerak cepat ke depan, tangan kirinya, menampar dari samping. Tamparan tangan kiri dara remaja ini bukanlah sembarangan karena dia telah menggunakan Aji Hasta Naga, yaitu semacam aji kesaktian yang mendatangkan tenaga mujijat di dalam telapak tangan kirinya yang halus itu sehingga dengan pukulan Aji Hasta Naga ini, dara remaja itu sanggup memukul hancur batu karang!     Sang Resi Harimurti terkejut juga menyaksikan hebatnya angin pukulan tangan kini ini. Dia mengenal pukulan ampuh dan sama sekali tidak menyangka bahwa dara yang usianya baru belasan tahun ini memiliki aji pukulan yang sedemikian hebatnya. Dia pun tidak berani sembrono menerima tamparan yang dahsyat itu, maka dia cepat mengangkat tangan kanan menangkis.   "Desss!!"   Tangan kiri yang mengandung hawa sakti itu bertemu dengan tangkisan tangan kanan Resi Harimurti yang juga mengarahkan aji kesaktiannya dan akibatnya tubuh kakek itu tergetar hebat akan tetapi dara remaja itu terhuyung mundur dua langkah!! Resi Harimurti terkejut bukan kepalang, karena jarang ada lawan yang dapat menggetarkan dia sembarangan rupa, apalagi hanya seorang dara remaja. Untuk menutupi rasa kagetnya, dia tertawa dan hatinya makin tertarik oleh dara ini. Selamanya entah berapa ratus atau ribu orang wanita muda sudah dia dapatkan, baik dengan suka rela mau pun secara paksa, namun belum pernah dia mendapatkan seorang dara yang hebat seperti ini! Timbullah keinginannya untuk mendapatkan dara ini, hanya dia merasa binggung karena di situ terdapat Empu Tunjungpetak dan tentu saja dia merasa malu dan segan untuk memperlihatkan kelemahan atau kebiasaan yang sudah mencandu dan memalukan juga bagi seorang kakek seperti dia itu.   "Ha-ha-ha, tamparanmu seperti Gudir (agar-agar) lunaknya, nini!"   Tentu saja Sulastri menjadi semakin marah dan kini dia meloncat lagi ke depan, tangan kirinya sekali lagi menampar dan untuk kedua kalinya ini dia mengerahkan seluruh tenaganya dalam Aji Hasta Naga itu.   Akan tetapi kakek itu pun cepat menggerakkan tangan kanannya, sekali ini bukan menangkis melainkan menangkap lengan kiri dara itu.   "Cap...!" Dengan tepat pergelangan tangan kiri Sulastri dapat ditangkap oleh tangan kanan Resi Harimurti. Dara itu menjadi kaget dan marah, dia meronta dan mengerahkan tenaga untuk menarik kembali tangan kirinya, namun sama sekali tangannya itu tidak mampu terlepas dari pengangan tangan sang resi, bahkan Resi Harimurti masih dapat menggunakan telunjuk tangan kanan itu untuk mencolek pipi Sulastri sambil mulutnya berbisik, "Kau memang manis sekali, cah ayu...!"   Tentu saja Sulastri menjadi makin marah. Tak disangkanya bahwa kakek ini oleh Reksosuro dalam hal kekurangajarannya. Dia baru teringat bahwa sejak tadi dia masih memegang keris pusaka Kyai Bandot milik Reksosuro yang tadi dirampasnya.   "Tua bangka keparat!" bentaknya dan tanpa berpikir panjang lagi, keris liuk sembilan itu ditusukkannya ke dada Resi Harimurti.   "Takkkk!" Keris itu mengenai dada, menembus jubah akan tetapi tidak dapat menembus kulit dada sang resi yang sakti itu, yang hanya tersenyum mengejek.   "Betina yang liar...!" Resi Harimurti berkata lirih kipasnya bergerak dan menyambar ke arah tangan Sulastri yang memegang keris.   "Prattt!!! Aughhh...!" Sulastri menahan jeritnya. Tangannya terasa sakit sekali dan keris rampasan itu terlepas dari pegangannya, jatuh ke atas tanah. Akan tetapi Sulastri adalah seorang anak yang amat cerdik dan dia memang memiliki bakat baik sekali dalam ilmu silat. Begitu melihat keris itu tidak mempan, tahulah dia bahwa resi ini memiliki kesaktian tinggi dan tubuhnya memiliki kekebalan, maka akan percuma saja kalau dia melakukan penyerangan biasa. Dia harus memilih bagian yang tidak dapat terlindung kekebalan dan secara otomatis, karena tangan kirinya masih dipegang. Dia menyerang dengan tangan kanannya. Jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya menyambar ke arah sepasang mata resi itu, dengan kecepatan kilat sehingga sang resi terkejut bukan main. Betapa pun saktinya, tentu saja matanya tidak bisa dibikin kebal dan dia tahu bahwa dara remaja ini bukan seorang bocah biasa, jari-jari tangan itu mengenai matanya, sungguh akan berbahaya sekali. Dan pada saat itu, kaki Sulastri juga bergerak cepat, menendang ke arah selakangan lawan di bawah pusar, tempat yang merupakan kelemahan bahkan tempat kematian bagi setiap orang pria!     "Ehhhh...!" Resi Harimurti makin kaget dan terpaksa untuk menyelamatkan dirinya dia melepaskan tangan kiri dara itu, menggunakan tangan kanan untuk menangkis tusukan ke arah matanya dan dia menggunakan kipasnya untuk menyambut tendangan kaki Sulastri. Akan tetapi dara ini memang cerdik. Di maklum bahwa kepandaiannya tidak akan mampu mengalahkan resi ini serangan-serangan tadi sesungguhnya hanya dia lakukan sebagai gertakan dengan maksud agar tangan kirinya yang tertangkap itu dilepaskan. Setelah kini tangannya terlepas, dan melihat kipas pusaka itu menyambar kaki , dia cepat menraik kembali kakinya, melempar tubuh ke belakang dengan kuat sehingga tubuhnya berjungkir balik tiga kali ke belakang dan kini dia sudah berdiri agak jauh dari Resi Harimurti yang sakti itu.   "Hemm...!" Suara geraman ini seperti auman singa dan menggetarkan hutan itu sehingga semua orang menjadi terkejut. Akan tetapi itu bukan auman singa karena segera disambung suara manusia yang terdengar bergema dan mengandung getaran dahsyat, "Siapa berani menggangu muridku? Lestari mundurlah...!"   "Eyangggg...!" Sulastri menjadi girang bukan main dan dia cepat mundur beberapa langkah menjuhi orang-orang itu, matanya tajam dan waspada memandang gerak-gerik mereka.   Empu Tunjungpetak dan Resi Harimurti saling pandang. Mereka mengerti bahwa guru dara remaja itu datang dan mereka terkejut dan kagum sekali karena suaranya sudah begitu dekat namun orangnya belum nampak! Dari ini saja, apalagi merasakan getaran suara itu, mereka berdua sebagai orang-orang sakti mengerti bahwa yang akan datang ini adalah seorang luar biasa yang berilmu tinggi, maka keduanya tanpa bicara, hanya dengan pandang mata saja, sudah bersepakat untuk bersikap hati-hati. Sementara itu Reksosuro yang tadi sudah merayap dan mengambil kerisnya, ketika mendengar suara itu, mukanya menjadi pucat sekali dan dia menyelinap ke belakang Empu Tunjungpetak seperti seorang anak kecil ketakutan yang bersembunyi di belakang orang dewasa untuk minta perlindungan. Dia mengenal suara itu, suara orang yang amat ditakuti, dan yang mendatangkan kengerian di dalam hatinya.   Betul saja, tidak lama kemudian muncullah seorang kakek raksasa yang amat menyeramkan dan yang amat dikenal oleh Reksosuro dan yang sering dijumpainya dalam mimpi sehingga membuat dia hampir mati ketakutan. Ki Jembros atau Setan Jembros! Kakek jembel yang usianya sudah enam puluh sembilan tahun, bertubuh tinggi besar, bajunya terbuka, dadanya berbulu dan mukanya separuh tertutup oleh cambang bauk yang lebat, sepasang matanya lebar mempunyai sinar yang tajam dan aneh, dan biar pun tubuh tinggi besar akan tetapi sesungguhnya dia kurus. Kakek ini telah tiba di situ, menoleh ke arah Sulastri dan pandang matanya melunak melihat dara itu tidak apa-apa, kemudian dia memandang kepada dua orang pendeta tua itu dengan sinar mata tajam penuh selidik, kemudian terdengar dia berkata, suaranya nyaring nadanya gembira seperti orang main-main, "Heh, kalian ini dua kakek tua bangka dan enam orang laki-laki pengecut, kenapa hanya berani menggangu seorang bocah perempuan? Kalau mau main-main, inilah lawanmu, pria sama pria dan tua sama tua!"   Menyaksikan sikap kakek ini, Reksosuro dan lima orang kawananya menjadi gentar, dan dua orang pendeta itu pun menjadi makin hati-hati. Empu Tunjungpetak melangkah maju dan memandang kakek itu dengan penuh perhatian dan dengan bibir tersenyum ramah, lalu pertapa pantai Laut Jawa itu bertanya. "Bukankah andika yang bernama Ki Jembros?"   Dengan matanya yang terbelalak lebar, Ki Jembros menatap wajah Empu Tunjungpetak, dan melihat pipi yang kempot itu menyembunyikan sekepal tembakau susur di sebelah kiri sehingga nampak menjendol di pipi. Ki Jembros tertawa. "Ha-ha-ha, aku pernah mendengar akan seorang pertapa di pantai Laut Jawa yang mencoba untuk menundukkan segala nafsunya akan tetapi masih kalah oleh segenggam tembakau susur. Andikakah orangnya?"   Wajah yang kurus dari empu Tunjung petak menjadi merah. Akan tetapi dia menahan kesabarannya karena pertapa ini memang sudah mendengar akan tokoh perantauan yang bernama Ki Jembros ini, yang kabarnya mempunyai watak ugal-ugalan dan aneh namun juga memiliki kesaktian yang hebat.     "Kisanak," katanya lembut. "Kami tidak tahu bahwa gadis ini adalah murid andika, dan kami tadi hanya mencegah dia membunuh para prajurit Mojopahit."   "Bohong, eyang!" Sulastri membantah dengan suaranya yang nyaring. "Eyang lihat siapa monyet juling itu!" Dia menuding ke arah Reksosuro yang menjadi makin ketakutan, mencoba untuk menyembunyikan diri di belakang tubuh empu Tunjungpetak dari pandang mata Ki Jembros. "Dia adalah seorang di antara dua orang keparat yang dahulu menghina saya. Saya tadi mengenalinya dan hendak membunuhnya, akan tetapi lima orang kawannya membelanya, maka terpaksa saya hajar mereka. Saya tidak akan membunuh yang lain-lain, hanya akan membunuh si lutung juling, akan tetapi lima orang kawannya membelanya, maka terpaksa saya hajar mereka. akan tetapi kakek setan itu menghalangi dan menyerang saya." Kini dia menudingkan telunjuknya ke arah Resi Harimurti.   Pandang mata Ki Jembros beralih ke arah Resi Harimurti yang sejak tadi hanya memandang dengan senyum mengejek. Dia pun sudah pernah mendengar nama Ki Jembros, akan tetapi dia memandang rendah, apalagi setelah kini bertemu dengan orangnya dan mendapat kenyataan bahwa orang yang namanya amat terkenal itu ternyata bukan lain hanyalah seorang jembel tua! Di lain pihak, Ki Jembros juga menyelidiki wajah Resi Harimurti dan kakek ini segera dapat meneropong watak sang resi melalui sinar mata yang terpancar dari sepasang mata pertapa kelana itu.   "Aha, aku tidak mengenal dia ini akan tetapi biar pun pakaianmu jubah pendeta seperti seorang resi, akan tetapi jelas bahwa dia ini seorang hamba nafsu berahi yang amat lemah!"   Diam-diam Resi Harimurti terkejut dan malu sekali mendengar ucapan yang memang tepat itu. Dia sendiri mengakui bahwa dia amat lemah terhadap cengkeraman nafsu berahi, maka ucapan Ki Jembros itu membuat dia malu dan akhirnya marah. Sepasang matanya mengeluarkan pancaran sinar panas.   "Ki Jembros tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, tata susila dan kebaikan untuk melayani nafsu-nafsu binatang yang mengeram di dalam tubuhmu? Ha-ha-ha, sungguh berani mati! Siapa sih andika ini?"   Empu Tunjungpetak yang menjawab, "Kisanak, harap jangan menghina sahabat kami. Dia Resi Harimurti..."   "Woooooohhhhh! Pantas... pantas....! Bukankah Harimurti yang dahulu pernah mengganggu isteri Empu Sangiran, membikin ribut di keputren istana Kediri, lalu mengganggu dan membunuh puteri ki lurah di Terung dan masih banyak lagi? Harimurti yang itukah?"   Harimurti menjadi terkejut bukan main. Peristiwa-peristiwa yang disebutkan oleh Ki Jembros itu memang benar, akan tetapi peristiwa-peristiwa itu merupakan rahasia-rahasia yang ditutup rapat, bahkan Empu Tunjungpetak tidak mengetahuinya, maka kini Empu Tunjungpetak memandang kepadanya dengan sinar mata heran. Harimurti menutupi rasa malunya dengan kemarahan.   "Keparat jembel tua! Jangan sembarangan membuka mulut! Andika melepas fitnah busuk. Apa sih yang andika kehendaki ?"   Ki Jembros tertawa. "Ha-ha-ha, masih ada rasa malu? Harimurti, antara muridku dan lutung juling itu ada urusan pribadi, maka kalau sekarang muridku hendak melakukan apa pun terhadap dia, andika atau siapa pun tidak boleh mencampuri."   (Bersambung ke Jilid 14)   Jilid 14   "Enak saja bicaramu! Reksosuro adalah prajurit dan utusan Mojopahit, sudah tentu aku akan membelanya." Harimurti yang sudah marah membentak dan menggerak-gerakkan kipasnya ke arah dada seolah-olah hendak mendinginkan hatinya yang panas.   "Kalau begitu, biar muridku bertanding dengan monyet juling itu, dan andika boleh maju, akulah tandinganmu, tua sama tua!" Ki Jembros tersenyum lebat nampak giginya berkilat di balik cembang bauknya yang lebat.   "Babo-babo, jembel tua busuk yang sombong! Andika agaknya sudah bosan hidup dan hendak merasakan tangan Resi Harimurti. Majulah!" Resi Harimurti menantang.   "Ha-ha-ha, bagus sekali! Sudah lama tidak ada yang menanyangku sehingga semua tulang dan ototku menjadi kaku. Eh, Empu Tunjungpetak, apakah andika juga hendak maju pula meijati tubuhku yang lelah?"   Wajah Empu Tunjungpetak menjadi merah sekali dan kakek ini lalu menoleh ke arah pohon jati besar di sebelah kanannya.   "Cuhh!! Cepp!!" Kakek itu menyemburkan tembakau susur dari mulutnya dan gumpalan tembakau basah itu menancap masuk ke dalam batang pohon jati! Dari peristiwa ini saja sudah dapat diukur betapa kuatnya tenaga sakti kakek ini yang membuat tembakau susur yang disemprotkan itu seperti peluru saja amblas ke dalam batang pohon jati yang kuat. Dia tidak menjawab ejekan Ki Jembros, hanya berkata kepada Resi Harimurti, "Waspadalah, adi resi, dan jangan pandang ringan lawanmu."   Resi Harimurti mengangguk, lalu menudingkan kipasnya ke arah muka Ki Jembros sambil membentak, "Ki Jembros kalau andika sudah siap, majulah!"   "Sudah sejak lahir aku telah siap, dan kau lah yang maju karena kau yang menantang, bukan aku," Ki Jembros menjawab sambil tertawa, sikapnya seenaknya saja seolah-olah dia sedang bersendau gurau dengan sahabat, bukan sedang berhadapan dengan seorang lawan yang berbahaya.   "Keluarkan senjatamu!" kembali Resi Harimurti membentak.   "Heh-heh, Resi Harimurti! Ketika andika lahir di dunia, alam telah memberi andika sepasang tangan, sepasang kaki, mata telinga dan segala sesuatu serba lengkap dan sempurna dan semua itulah senjatamu. Akan tetapi sekarang andika yang kurang menghargai semua itu malah mengandalkan senjata buatan manusia. Ha-ha, aku sih dari dulu mengandalkan anggota tubuhku."   "Babo-babo, keparat tua bangka, sumbarmu seperti mampu memindahkan Gunung Semeru saja. Engkau yang sengaja hendak membunuh diri, Ki jembros, dan jangan salahkan aku nanti karena aku memperingatkanmu untuk menggunakan senjata. Nah, sambutlah ini!"   Gerakan Resi Harimurti memang cepat bukan main. Sulastri melihat ini dan merasa khawatir mengapa gurunya semikian sembrono, menghadapi lawan yang tangguh dengan seenaknya saja tanpa menggunakan senjata. Dengan terkejut dara ini melihat betapa sekali bergerak, Resi Hawrimurti telah mengebutkan kipasnya yang mendatangkan angin dahsyat, kipas menyambar ke arah muka Ki Jembros, disusul dengan totokan gagang kipas ke arah tenggorokan sedangkan tangan kiri Resi Harimurti, dalam detik berikutnya telah mencengkeram ke arah pusar lawan harimau yang dahsyat!   "Plak-duk-dukk!" Tiga kali Ki Jembros seenaknya menggerakkan kedua tangannya, akan tetapi ternyata gerakannya itu sudah cukup untuk dapat menangkis semua serangan lawan dengan tepat bahkan tangkisan terakhir membuat tubuh Resi Harimurti condong ke belakang oleh dorongan tenaga yang amat kuat.   Resi harimurti terkejut dan menjadi penasaran, apalagi ketika melihat Ki Jembros masih berdiri seenaknya sambil tersenyum di balik cambang bauknya. Akan tetapi sebetulnya di balik sikapnya yang seenaknya itu, Ki Jembros juga waspada karena petemuan tenaga tadi saja sudah membuka matanya bahwa Resi Harimurti benar-benar bukanlah lawan yang boleh dipandang ringan begitu saja.     Resi Harimurti mengeluarkan gerenangan seperti beruang marah, kemudian kembali dia menerjang maju, lebih cepat dan lebih kuat dari pada tadi, menggunakan kipas bambunya, tangan kirinya dan juga kakinya yang bertubi-tubi mengirim serangan. Terdengar suara bak-buk-dak-duk ketika Ki Jembros menangkis dan balas menampar atau memukul, akan tetapi serangan balasan ini pun dapat dihalau oleh Resi Harimurto dengan tangkisan-tangkisan dan elakan-elakan tubuhnya yang ternyata gesit sekali itu. Tejadilah pertandingan yang seru dan seimbang.   Sulastri menonton dengan penuh perhatian. Selama dia berkelana mengikuti gurunya, baru sekali inilah dia melihat gurunya bertanding melawan musuh yang kuat dan dia merasa kagum. Resi Harimurti memang gesit sekali, gerakannya seperti burung kepinis saja, menyambar-nyambar dan sukar diikuti pandang mata. Namun gurunya amat tenang, terlalu tenang malah, berdiri di tengah dan menghadapi serangan lawan yang menyambar-nyambar dari sekeliling itu dengan seenaknya. Dia melihat gurunya mempergunakan Aji Pukulan Hasta Naga dengan tangan kiri setiap kali membalas serangan dan diam-diam dia bangga karena ternyata bahwa Resi harimurti gentar menghadapi tamparan Hasta Naga itu dan setiap kali menangkis tentu tubuhnya tergetar, maka resi itu lebih banyak mengandalkan kecepatan gerankannya untuk mengelak.   Tiba-tiba terdengar Ki Jembros berseru, "Resi cabul, engkau menjemukan!" dan dengan gerakan cepat sekali, dia mengubah caranya membalas serangan, bukan memukul ke arah tubuh lawan, melainkan tangan kirinya dengan jari terbuka dan penuh dengan Aji Pukulan Hasta naga menampar ke arah kipas bambu lawan.   "Krakkk!!" Kipas itu hancur berkeping-keping dan tubuh Resi Harimurti masih terhuyung saking hebatnya pukulan itu. Akan tetapi sambil terhuyung sang resi diam-diam memegang gagang pecutnya dan tiba-tiba nampak sinar putih berkelebat dibarengi ledakan keras dan pecut itu telah menyambar ke arah Ki Jembros.   "Tarrrr...!!" Ki Jembros miringkan tubuh sehingga mukanya terhindar dari pecutan cambuk, akan tetapi cambuk yang panjang itu masih mengenai punggungnya dan membuat bajunya robek.   "Ehhh...!" Ki Jembros meraba punggungnya. Bajunya robek dan kulit punggungnya terasa panas. Pecut itu benar-benar amat dahsyat, pikirnya.   "Tar-tar-tarrr...!!" Kembali pecut panjang itu meledak-ledak di udara dan bertubi-tubi melecut ke arah tubuh Ki Jembros, mengarah bagian-bagian yang berbahaya dan ujung pecut itu seperti patuk garuda saja atau seperti moncong ular yang mematuk-matuk. Ki Jembros menangkis dengan tangan, mengelak, namun karena kakek ini tidak menggunakan kecepatan untuk mengelak atau senjata untuk melindungi tubuh, maka kembali panggung dan lambungnya terkena sambaran ujung cambuk dan bajunya robek-robek.   "Ehhhh??" Ki Jembros kelihatan terkejut dan matanya terbelalak, sinar matanya mengeluarkan cahaya yang menandakan timbul kemarahannya dan yang hanya diketahui oleh Sulastri. Dara remaja ini tahu bahwa eyang gurunya mulai marah. Akan tetapi, hal ini tidak diketahui oleh Resi Harimurti yang tertawa-tawa mengejek dan terus menggerakan cambuknya, melecut-lecut dan terdengar cambuk itu meledak-ledak menyambar ke arah tubuh lawan.     Tiba-tiba tangan kiri Ki Jembros dapat menangkap ujung cambuk, lalu tangannya digerakkan berputar sehingga cambuk itu membelit-belit lengannya. Suara ledakan terhenti dan Resi Harimurti menari-narik cambuknya. Cambuk itu menegang, terjadi tarik-menarik dan tiba-tiba mulut Ki Jembros dan... tubuh Resi Harimurti terangkat ke atas dan terlempar seperti seekor ikan besar kena pancing, lalu terbanting ke atas tanah mengebulkan debu. Akan tetapi, tubuh Resi Harimurti terlindung kekebalannya dan biar pun dia terkejut bukan main karena tubuhnya terangkat melayang oleh tarikan lawan yang dahsyat dan tak tertahankan, namun dia dapat meloncat lagi bangkit berdiri dan kini, dengan kedua kaki terpentang dan dengan pengerahan tenaga sekuatnya sehingga kedua kakinya seperti berakar pada bumi, dia mempertahankan cambuknya dengan memegang gagang pecut erat-erat.   "Ha-ha-ha!" Ki Jembros tertawa dan kembali kakek tinggi besar ini mengerahkan tenaganya menarik. Resi Harimurti mempertahankan sekuat tenaga. Pecut itu makin menegang dan tiba-tiba terdengar suara keras dan tubuh resi Harimurti terjengkang! Pecut itu telah putus di tengah-tengahnya, tidak kuat menahan tarikan dua tenaga dahsyat itu.   "Ho-ho, resi cabul, terimalah hadiahku ini!" Ki Jembros melangkah lebar ke arah Resi Harimurti yang sudah meloncat bangun lagi, dan kakek tinggi besar ini sudah melakukan pukulan dengan tangan kirinya yang didorong ke depan dengan telapak tangan terbuka. Hanya pukulan dahsyat menyambar ganas ke arah Resi harimurti. Melihat ini, Resi Harimurti juga cepat mendorongkan tangan kanannya menyambut serangan dahsyat itu, karena dia maklum bahwa mengelak pun tidak ada gunanya, bahkan membayangkan karena lawannya menggunakan pukulan sakti.   "Plakkk!" Dua tangan sakti yang dahsyat melalui telapak tangan masing-masing bertemu di udara dan seolah-olah tempat itu tergetar hebat. Seperti tadi ketika saling memperebutkan pecut, mereka berdua kini juga mengadu tenaga, hanya bedanya kini mereka saling mendorong. Sungguh hebat dan menegangkan karena siapa yang kalah dalam adu tenaga sakti ini tentu terancam bahaya maut! Dan kedua kaki Resi harimurti yang mempertahankan diri itu mulai kelihatan gemetar, tanda bahwa dia mulai terdesak hebat, sedangkan Ki Jembros masih tertawa-tawa agaknya hanya mengerahkan tenaga seenaknya saja.   Melihat kawannya terancam bahaya maut, Empu Tanjungpetak lalu meloncat kedepan, menghampiri Ki jembros dan berseru, "Jangan terlalu mendesak orang, Ki Jembros! tegurnya halus sambil menggerakkan tangannya untuk menyentuh pundak kakek raksasa itu. Sebetulnya maksud Empu Tanjungpetak hanya untuk melerai dan mencegah Ki jembros membunuh Resi Harimurti yang sudah terdesak. Akan tetapi melihat ini, Ki Jembros menyangka bahwa Empu Tunjungpetak hendak menyerangnya, maka dia membentak keras,   "Enyahlah, empu Tunjungpetak!" dan tangan kanannya menyambar ke arah Empu Tunjungpetak.   "Ehhh...!" Empu Tunjungpetak tentu saja terkejut sekali dan cepat dia pun mendorongkan tangannya menyambut.   "Plakk!" Dua telapak tangan yang mengandung tenaga dahsyat bertemu dan melekat.     Kini terjadilah adu tenaga yang menegangkan sekali. Ki Jembros berada di tengah-tengah, tangan kirinya saling dorong dengan tangan kanan Resi harimurti, sedangkan tangan kanannya saling menempel dengan tangan kanan Empu Tunjungpetak, juga saling dorong dengan pengerahan tenaga sakti.   Beberapa detik lamanya, tiga orang itu tidak bergerak seperti telah berobah menjadi arca. Tiba-tiba terdengar Ki Jembros mengeluarkan teriakan melengking nyaring yang menyeramkan, seperti bukan suara manusia lagi, dan semua orang yang mendengar lengkingan ini terguncang jantungnya dan mengigil kakinya. Ki Jembros mengerahkan tenaganya dan nampak tubuh Resi harimurti terlempar dan roboh ke atas tanah sambil muntahkan darah segar, sedangkan tubuh Empu Tunjungpetak terdorong ke belakang sampai jauh, wajah kakek ini pucat dan tubuhnya gemetar. Ki Jembros sendiri masih berdiri di tempatnya, matanya terbelalak dan tubuhnya bergoyang-goyang.   "Eyang...!" Sulstri menghampiri gurunya, maklum akan keadaan gurunya yang tidak sewajarnya.   "Lastri... mari kita pergi...! Suara gurunya terdengar aneh dan parau, lalu Ki Jembros memegang tangan muridnya dan membawanya pergi dari tempat itu dengan langkah lebar namun agak terhuyung sehingga Sulastri cepat mengerahkan tenaga dan memegang tangan gurunya kuat-kuat agar tubuh gurunya tidak sampai jatuh.   Empu Tunjukpetak sendiri sudah cepat menghampiri kawannya dan berlutut di dekatnya, memijit tengkuk dan punggung lalu menempelkan telapak tangannya di dada temannya yang terluka parah di sebelah dalam itu. Reksosuro sudah tidak kelihatan mata hidungnya karena tadi diam-diam dia sudah lari bersembunyi saking takutnya melihat Ki jembros. Ada pun lima orang temannya tentu saja tidak berani mencegah Ki jembros dan dara yang sakti itu pergi dari tempat itu.   Akhirnya Resi Harimurti siuman dari pingsannya dan mengeluh. Empu Tunjungpetak berkata lirih, "Untung andika dapat tertolong, adi resi... ahhh, sungguh bukan nama kosong belaka Ki Jembros yang dikabarkan amat sakti..."   Resi Harimurti mengepal tinjunya. "Aku masih penasaran... kelak aku akan membalas kekalahan ini!"   Empu Tunjungpetak menarik napas panjang, di dalam hatinya maklum bahwa akan sukarlah terlaksanannya dendam kawannya itu kalau hanya dilakukan seorang diri saja. Tingkat kesaktian Ki Jembros jauh lebih tinggi daripada seorang di antara mereka. Bahkan dikeroyok dua pun kakek jembel itu masih unggul dan untung saja tadi Ki jembros menyudahi urusan itu dan pergi. Sungguh aneh dan sukar diselami isi hati Ki Jembros.   "Sudahlah mari kita melanjutkan perjalanan saja. Tidak baik bermalam di tempat ini, "kata Empu Tunjukpetak dan tak lama kemudian muncullah Reksosuro dari tempat persembunyiannya setelah dia yakin benar Ki Jembros dan muridnya telah pergi. Rombongan itu lalu melanjutkan perjalanan berkuda perlahan-lahan.     Sementara itu, Ki jembros dan Sulastri berjalan terus memasuki hutan. Malam tiba dan cuaca gelap sekali. Akhirnya, di tengah hutan. Ki Jembros berhenti dan mengeluh pendek, lalu berkata, "Kita berhenti di sini... buatlah api unggun..." dia lalu merebahkan diri di atas rumput.   Sulastri cepat membuat api unggun dan api yang bernyala tinggi mengusir hawa dingin dan cahayanya menembus kegelapan malam. Tiba-tiba terdengar suara muntah. Sulastri cepat mendekati kakek itu dan ternyata Ki Jembros muntahkan darah segar!   "Eyang...!"   Ki Jembros sudah bangkit duduk, menggerakkan tangan agar muridnya tidak menjadi panik. "mereka berdua... terlalu kuat..." katanya lirih lalu dia duduk bersila dan memejamkan mata.   Sulastri maklum bahwa gurunya menderita luka dalam tubuhnya dan kini gurunya itu sedang mengumpulkan lukanya, maka dia pun diam saja, hanya merasa gelisah dan cepat dia memasak air dengan alat-alat masak yang tak pernah ketinggalan berada dalam buntalan mereka. Dalam keadaan seperti itu, gurunya membutuhkan air panas.   Ternyata bahwa kekuatan empu Tunjungpetak dan Resi harimurti digabung menjadi satu tadi terlalu kuat bagi Ki Jembros, apalagi dia telah tua sekali, usianya hampir tujuh puluh tahun. Biar pun dia dapat menolong diri sendiri dan dapat terhindar dari bahaya maut, namun tubuhnya menjadi lemah dan karena lukanya di sebelah dalam tubuhnya, kakek ini untuk sementara tidak berani mengerahkan tenaga karena hal ini akan membahayakan nyawannya.   Tiga hari kemudian, setelah terhindar dari bahaya maut, kakek itu menghentikan samadhinya dan berkata, "Sulastri, hanya karena mengingat akan keselamatanmu, maka setelah terluka aku mengajakmu pergi karena aku tidak mampu lagi melindungimu. Ahh... pihak yang menjadi lawanmu mempunyai banyak orang sakti, Lastri..."   Sulastri mengepal tinjunya yang kecil. "Akan tetapi saya tidak takut, eyang! Pada suatu hari, saya harus dapat membunuh Reksosuro, Darumuko dan berhadapan dengan majikan mereka yang bernama Resi Mahapati!"   Ki Jembros menarik napas panjang, akan tetapi dia tidak kehilangan kegembiraannya, dan tersenyum memandang muridnya. "Engkau memang hebat dan patut menjadi muridku! Ah, engkau tidak tahu siapa Resi Mahapati! Dia selain sakti, juga mempunyai kedudukan tinggi mempunyai banyak pasukan dan pembantu-pembantu yang sakti. Seorang dara muda seperti engkau ini, bisa berbuat apakah terhadap dia?"   "Saya tidak takut! Kalau perlu saya pun akan mengumpulkan banyak kawan untuk menyerbu tempat tinggalnya!"   "Wah, kalau begitu sama saja engkau akan memberontak terhadap Mojopahit."   "Tidak, eyang! Akan tetapi kalau mau dianggap demikian pun terserah. Saya hanya hendak membalas dendam terhadap memberontak Mojopahit masa bodoh! Guruku, mendiang Adipati Ronggo Lawe juga diperlakukan tidak adil oleh Mojopahit, terutama sekali Mahapati!"   Ki Jembros tertawa bergelak, kembali kegembiraan seolah-olah dia tidak berada dalam keadaan sakit parah. "Ha-ha-ha, tentu saja anggapanmu demikian dan mengapa sebabnya engkau tidak suka kepada mereka? Karena kau merasa dirugikan, kau mengandung dendam. Coba kau diuntungkan, tentu akan lain lagi anggapanmu. Ha-ha, baik buruknya seseorang, baik perorangan mau pun kelompok, selalu ditentukan oleh untung rugi yang dirasakan. Akan tetapi sudahlah, engkau pun hanya seorang bocah yang masih mentah dan belum mengerti. Sekarang, demi keselamatanmu karena untuk beberapa bulan lamanya aku tidak mungkin dapat melindungimu, kita harus pergi ke Gunung Bromo."   "Ke Gunung Bromo? Di mana itu, eyang dan untuk apa pergi kesana?"     "Ada seorang sahabatku di Gunung Bromo, letaknya jauh di timur. Sahabatku itu adalah seorang yang hidup dengan damai, tidak pernah mencampuri urusan dunia. Namanya Empu Supamandrangi dan karena engkau menganggap dirimu murid Ronggo Lawe, maka empu itu berarti masih eyang gurumu sendiri karena dia adalah guru Ronggo Lawe."   Wajah Sulastri berseri. "Kalau begitu, beliau tentu suka mengajarkan ilmu-ilmu kesaktian kepada saya dan suka membantu saya."   Ki Jembros tersenyum. "Entahlah, kelak kau tanya kepadanya sendiri. Yang penting kalau kau berada disana, engkau akan terlindung dan aman, sedangkan aku sendiri akan mengaso, selain untuk mengembalikan kesehatan juga aku sudah bosan merantau."   Demikianlah guru dan murid itu melanjutkan perjalanan ke selatan dan pada suatu hari tibalah mereka di kaki Pegunungan Pandan. Karena hari telah menjelang senja maka Ki Jembros mengajak muridnya untuk berhenti dan melewatkan malam di kaki gunung, di luar sebuah hutan. Kakek itu mengeluh dan sebelum bersamadhi, dia berkata, "Aahhh, sudah lama sekali aku tidak makan enak. Heran, beberapa hari ini aku ingin sekali makan ketan kelapa. Aih, sampai termimpi-mimpi olehku... akan tetapi di tempat seperti ini mana mungkin mendapatkan ketan kelapa...? Dasar mulut tua yang selalu rakus dan perut yang tak mengenal kenyang, ha-ha!" Biar pun kata-katanya mengandung keluhan, namun kakek itu masih tertawa-tawa gembira.   Mendengar ini, hari Sulastri merasa terenyah sekali. Dia mulai mengenal watak gurunya ini dan bersemilah kasih sayang dan ibanya terhadap kakek itu yang juga amat kasih kepadanya. Kini, mendengar keluhan gurunya, dia merasa kasihan sekali. Dara itu tahu bahwa gurunya itu tidak mempunyai kesenangan lain lagi kecuai makan enak dan biasanya, apa pun yang dikehendaki tentu akan tercapai berkat kepandaiannya yang tinggi. Untuk memenuhi selera dan gairah mulutnya, kalau perlu gurunya itu tidak segan-segan untuk memasuki dapur istana dan mencuri makanan-makanan yang diinginkannya! Sering kali dalam perantauannya yang empat tahun lebih lamanya itu, dia diajak oleh gurunya untuk mencuri makanan-makanan lezat di dalam gedung-gedung dan istana-istana bangsawan tinggi, masuk ke dalam dapur dan menyikat makanan-makanan yang mahal-mahal. Bahkan pernah di rumah seorang panewu, gurunya yang kekenyangan itu sampai tertidur di dalam dapur dan pada keesokan harinya mereka konangan (ketahuan) dan dikejar-kejar! Akan tetapi tentu saja berkat ilmu kesaktian gurunya, mereka dapat menyelamatkan diri dan terhindar dari pengejaran para penjaga. Dan pernah pula gurunya mengajak dia mengunjungi pesta pernikahan tanpa diundang untuk menikmati hidangan dalam pesta itu! Pendeknya, sudah banyak hal-hal yang lucu dan berbahaya dia alami bersama gurunya itu dan kini, dalam keadaan sakit, keinginan makan ketan kelapa saja tidak tercapai!   "Eyang saya mau pergi dulu," tiba-tiba dara itu berkata.   Gurunya memandangnya dan sepasang mata yang lebar itu berseri. "Mau kemana, Sulastri?" Dia bertanya, pura-pura tidak tahu.   "Mau ada keperluan sedikit, eyang. Harap eyang beristirahat sedikit dulu di sini, eyang. Saya pergi takkan lama."   Kakek itu mengangguk-angguk, akan tetapi ketika tubuh yang ramping itu sudah menyelinap lenyap di balik pohon-pohon, dia berteriak, "Heii, Sulastri jangan lupa..., gula kelapanya!"   Terdengar suara dara itu tertawa, "Hik-hik, jangan khawatir, eyang!" akan tetapi bayangan Sulastri sudah tidak nampak lagi.     Pesan gurunya itu menambah semangat Sulastri. Gurunya tahu bahwa kepergiannya adalah untuk mencarikan ketan yang amat diinginkan gurunya itu. Hal ini menandakan bahwa Ki Jembros sudah mengenal detil isi hati dan gerak-geriknya, pikir Sulastri. Kasihan eyang guru, aku harus mendapatkan apa yang diinginkannya itu, kalau perlu aku akan mencuri beras ketan dan memasaknya sendiri!   Karena tidak mengenal daerah Pegunungan Pandan, Sulastri lalu memanjat sebatang pohon randu alas yang tinggi untuk mencari di mana adanya dusun yang terdekat. Dari puncak pohon randu alas, dia memandang ke empat penjuru. Ternyata yang nampak ada kelap-kelip api penerangan amat jauhnya, dan yang terdekat adalah api penerangan yang berada di dalam hutan di lereng bukit itu! Setelah meneliti dan mengira-ngira di mana letaknya tempat yang ada api penerangan itu, Sulastri turun dan mulailah dia mendaki bukit menuju ke arah tempat yang tadi dilihatnya dari atas puncak pohon randu alas.   Ternyata tempat itu tidak begitu jauh dan kini dia sudah memasuki sebuah hutan kecil yang sunyi. Untung malam itu bulan bersinar terang, hampir penuh, maka tidaklah begitu sukar untuk dara perkasa ini memasuki hutan dan melewati jalan setapak menuju ke lereng bukit.   Ada beberapa buah bangunan di hutan itu, di tengah hutan. Hati dara itu kecewa karena agaknya bangunan-bangunan itu hanya merupakan bangunan darurat saja dan tidak menyerupai sebuah dusun. Jangan-jangan tidak ada orangnya, pikirnya. Akan tetapi tidak mungkin, karena ada lampu-lampu penerangan dinyalakan penghuni sebuah dusun, mana mungkin menyimpan beras ketan? Betapa pun juga, dia harus memeriksa dan mencari lebih dulu.   Sulastri berindap-indap mendekati kelompok rumah-rumah itu dengan hati-hati, menyelinap di antara pohon-pohon dan bayangan-bayangan gelap. Dia merasa agak heran mengapa keadaannya begitu sunyi, padahal ada lebih dari sepuluh buah rumah di situ, rumah-rumah besar pula. Di tengah kelompok rumah itu terdapat bangunan terbesar yang agaknya terkurung oleh bangunan-bangunan lain, seolah-olah bangunan di tengah itu merupakan pintunya. Akan tetapi Sulastri tidak memperhatikan hal itu, juga dia tidak memperhatikan betapa rumah-rumah yang mengelilingi bangunan besar di tengah itu menghadap ke delapan penjuru, seperti penjaga-penjaga yang menjaga keamanan rumah besar itu! Sulastri malah menyelinap dan menghampiri rumah besar karena dia mengambil keputusan untuk mencuri saja beras ketan yang dikehendaki gurunya. Kalau dia melihat ada orang-orang di luar rumah itu, tentu dia tidak akan merasa segan untuk minta beberapa genggam beras ketan untuk gurunya. Akan tetapi karena dia mengambil keputusan untuk mencuri saja dan sama-sama mencuri, lebih baik mencuri dari rumah yang terbesar itu.   Seperti seorang kucing, tanpa mengeluarkan suara Sulastri meloncat dari satu tempat gelap ke lain tempat gelap, menyelinap diantara bangunan-bangunan di sekitar bangunan besar itu dan akhirnya tibalah dia di tempat terbuka, di lapangan rumput yang menjadi dasar antara rumah-rumah lain dengan rumah besar itu. Karena di bagian ini tidak ada pohon-pohonnya, maka untuk menyeberang dari rumah biasa ke rumah besar itu harus melalui lapangan rumput yang diterangi sinar bulan. Berindap-indap Sulastri melangkah dan menoleh ke kanan kiri. Setelah dilihatnya bahwa benar-benar keadaan di situ sunyi tidak ada orang, dia lalu berloncat dan berlari sampai ke tengah lapangan rumput. Tiba-tiba terdengar suara orang. Sulastri terkejut, berhenti dan memandang ke sekelilingnya. Tampak olehnya banyak orang bermunculan dari balik pohon-pohon dan rumah-rumah itu, dan lapangan rumput itu telah dikepung orang yang lebih dari tiga puluh banyaknya. Sulastri terkejut bukan main dan sikapnya seperti seekor harimau terkepung. Dia berdiri dengan kedua kaki terpentang, tubuhnya agak merendah karena kedua lututnya ditekuk dan dia membalik-balikkan tubuhnya dengan gerak cepat ke depan belakang dan kanan kiri, siap untuk menghadapi segala kemungkinan! Sedikit pun dia tidak menjadi gentar atau takut, hanya merasa menyesal bahwa dia kurang hati-hati sehingga tidak tahu bahwa dia terjebak dan terkurung, bahwa kedatangannya telah diketahui orang sehingga sebelum dia berhasil mencuri beras ketan, dia telah terkepung!   (Bersambung ke Jilid 15)   Jilid 15   Diam-diam Sulastri harus mengakui bahwa gerakan orang-orang itu amat luar biasa. Rapi sekali cara mereka bersembunyi tadi sehingga kini telah mengepungnya, dan dia melihat bahwa pakaian mereka ringkas dan seragam, juga senjata di tangan mereka sama, yaitu tombak-tombak cagak yang bergagang panjang, bahkan cara mereka memegang tombak cagak itu pun sama, tanda bahwa mereka itu terlatih baik.   "Tangkap mata-mata musuh!" terdengar suara seorang laki-laki membentak dan Sulastri cepat menoleh ke kiri, lalu membalikkan tubuhnya menghadapi lima orang laki-laki tinggi besar yang melihat pakaian dan senjatanya tentu merupakan pimpinan mereka. Lima orang ini berpakaian kembar dan mereka semua memegang sebatang parang atau golok yang mengkilap saking tajamnya. Bentakan itu keluar dari mulut seorang di antara mereka.   "Tahan!" Sulastri mengangkat tangan kanan ke atas ketika beberapa orang bergerak hendak menangkapnya. Mendengar bentakan ini, seorang di antara lima pemimpin itu memberi isyarat dan beberapa orang itu mundur lagi.   "Mata-mata, kau hendak bicara apa?" bentak seorang di antara mereka yang berkumis tebal, sekepal sebelah, mukanya hitam dan matanya melotot besar. Agaknya dialah pemimpin pertama di antara lima orang itu.   "Aku bukan mata-mata," jawab Sulastri dengan suara yang tabah dan nyaring. Terdengar suara tertawa menyambut di sana-sini tertawa yang menyatakan tidak percaya.   "Hemm, melihat bahwa engkau hanya seorang bocah perempuan yang masih remaja, memang tidaklah pantas kalau engkau menjadi mata-mata. Akan tetapi melihat keberanianmu memasuki tempat ini, dan gerakanmu yang cekatan tanda bahwa engkau bukan anak perempuan sembarangan, dan engkau berindap-indap memasuki daerah ini dengan sembunyi-sembunyi, apa lagi engkau kalau bukan mata-mata Mojopahit?"   "Kalian keliru. Aku bukan mata-mata Mojopahit!" jawab Sulastri, suaranya tegas meyakinkan.   "Sungguh luar biasa. Engkau bersikap tabah sekali, pasti engkau bukan seorang bocah dusun biasa! Eh, nini kalau engkau bukan mata-mata, habis mau apa engkau berkeliaran di sini dan bersikap seperti maling?"   "terus terang saja, aku memang tadinya berniat untuk mencuri."   terdengar seruan-seruan kaget. "mencuri?" Si kumis tebal bertanya.   "Ya, karena kulihat tidak ada seorang pun yang bisa kumintai, maka aku terpaksa hendak memasuki dapur terbesar ini untuk mencuri."   "Memasuki dapur? Eh, bocah aneh, kau mau mencuri apa di dapur?"   " Mencuri beras ketan. Satu beruk (takaran batok kelapa) pun cukuplah."   Tiga puluh lebih orang laki-laki yang bersikap gagah dan kuat itu tertawa, akan tetapi mereka memandang penuh keheranan dan bahkan di antara mereka ada yang menyangka agaknya perawan cilik yang cantik manis ini tidak beres otaknya!   "mencuri ketan? jangan main-main, nini. Engkau tentu mata-mata yang dikirim oleh Mojopahit atau oleh Progodigdoyo di Tuban. Hayo mengaku sajalah!" bentak pemimpin ke dua.     "Siapa main-main? Aku membutuhkan ketan dan karena tidak ada yang kumintai, maka aku hendak mencuri. Apa anehnya itu? Aku bukan mata-mata, baik mata-mata Mojopahit mau pun mata-mata Tuban dan kalian jangan menuduh aku sembarangan saja!" Sulastri mulai menjadi marah karena berkali-kali dituduh mata-mata.   "Nini, apa pun adanya engkau, sikapmu mencurigakan sekali maka menyerahlah. Engkau harus ditangkap dan kami periksa sebelum ada keputusan," kata si kumis tebal.   Tentu saja Sulastri enggan untuk ditangkap. Dia mengepal kedua tinjunya dan berkata marah, "Sudah kukatakan bahwa aku membutuhkan sedikit beras ketan. Kalau kalian mau memberiku, aku akan menghaturkan terima kasih. Akan tetapi kalau kalian begitu pelit untuk memberi, sudahlah. Aku tidak bersalah apa-apa, siapa sudi ditangkap? Hayo coba siapa yang berani menangkap aku?" Dia menantang.   Terdengar pula suara ketawa di sana-sini. Mereka mulai merasa gembira menghadapi dara remaja yang kini kelihatan benar kecantikannya setelah ada beberapa orang yang menyalakan obor. Sikap dara ini yang begitu lincah, begitu berani bahkan berani menantang mereka ketika hendak ditangkap, benar-benar menggembirakan hati mereka. Bahkan lima orang pemimpin itu sendiri tersenyum dan saling pandang, diam-diam mereka menilai dan menduga bahwa bocah ini tentulah bukan bocah sembarangan sehingga makin yakinlah hati mereka bahwa anak perempuan ini tentulah seorang mata-mata dari Mojopahit, sungguh pun mereka belum pernah mendengar ada seorang prajurit wanita yang begini muda dan begini lincah. Timbullah keinginan mereka untuk mencoba kepandaian anak perempuan ini.   "Gendro, kau tangkaplah bocah bengal ini!" si kumis tebal memerintah seorang anak buahnya yang berusia empat puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan nampak kuat sekali.   Gendro melangkah maju, mengurut kumisnya dan jelas bahwa dia merasa sungkan sekali. "Wah... wah... ini... seperti saya melawan anak sendiri. Wah, nini kenapa kau tidak menyerah saja? Percayalah, pimpinan kami adalah orang-orang gagah kalau memang kau tidak bersalah tentu akan dibebaskan kembali. Perlu apa engkau melawan kami? Hah, sungguh tidak enak bagiku..."   Begitu melihat sikap orang ini, hati Sulastri sudah melunak. Orang ini jelas adalah seorang laki-laki yang gagah dan jujur, biar pun sikapnya kasar. Maka dia pun menjawab, "Paman, aku tidak merasa bersalah, kalau mau ditangkap tentu saja aku melawan. Siapa pun yang hendak menangkap aku, tentu saja akan kulawan. Terserah kepada kalian mau percaya atau tidak omonganku."   Laki-laki yang bernama Gendro itu meragu, akan tetapi dengan lantang si kumis tebal yang ingin menguji anak perempuan yang luar biasa itu membentak, "Gendro, tangkap dia!"   Gendro menggerakkan kedua pundaknya seperti orang binggung. Dia tidak mempunyai pilihan lain, maka dengan gemas dia lalu menancapkan tombaknya di atas tanah. Tombak itu menancap sampai setengahnya, tanda betapa kuatnya lengan yang kekar itu. Kemudian, dia pun melepaskan goloknya dan menyerahkan kepada seorang teman. Kemudian dia melangkah maju dan berkata, "Nini, kalau ada kepandaian, bersiaplah karena aku akan menangkapnya!"     Melihat Gendro meninggalkan dua senjatanya, Sulastri merasa makin suka kepadanya orang tinggi besar ini. "Aku sudah siap, dan berhati-hatilah engkau menangkapku, paman. Jangan kira kau akan dapat menangkapku dengan mudah."   Orang-orang tertawa, menganggap kata-kata anak perempuan itu terlalu tinggi sehingga menjadi lucu kedengarannya. Gendro lalu melangkah maju dengan mengembangkan kedua lengannya yang panjang, seperti hendak menangkap seekor ayam saja layaknya, dan dia ingin melihat bagimana sikap Sulastri. Akan tetapi, anak perempuan itu berdiri tegak, tak bergerak sedikit pun, hanya pandang matanya saja yang bergerak-gerak penuh ketelitian, dan kedua tangannya tergantung di pinggir tubuh dengan lepas. Sikap seorang pendekar yang tenang!   "Awas...!" Gendro membentak dan tiba-tiba dia menubruk dengan langkah lebar ke depan karena dia memperhitungkan bahwa gadis cilik itu tentu akan mengelak ke belakang maka dia sudah mendahului melangkah lebar ke depan dan ditambah dengan panjangnya kedua lengannya, maka elakan itu tentu akan sia-sia belaka.   "wuuuttt...!!" Gendro menubruk angin dan dia terkejut bukan main karena anak perempuan itu tiba-tiba saja lenyap dari depannya! Dia terbelalak ke depan, menengok ke kanan kiri dan di sana-sini terdengar seruan heran! Juga lima orang pimpinan itu terkejut bukan main melihat betapa dengan gerakan seperti terbang saja dara remaja itu tadi telah menloncat ke atas melalui kedua lengan lawan dan bahkan melewati kepala Gendro dan tiba di belakang si tinggi besar itu, agaknya tanpa diketahui oleh Gendro yang kebingungan. Lima orang itu maklum bahwa kalau dikehendakinya, tentu perempuan luar biasa itu dapat saja memukul roboh Gendro dari belakang selagi si tinggi besar itu kebingungan!   "Paman engkau mencari apa di situ? Aku berada di sini!"   Gendro cepat membalikkan tubuhnya dan matanya terbelalak lebar ketika dia melihat bahwa dara remaja itu ternyata telah berada di belakangnya tanpa dia ketahui! Dia merasa heran sekali, akan tetapi suara ketawa kawan-kawannya membuat telinganya menjadi merah dan dia merasa penasaran sekali. Dia terkenal sebagai jagoan di antara kawan-kawannya, akan tetapi sekarang dia dipermainkan oleh seorang bocah, dan bocah itu perempuan pula! Gendro adalah seorang kasar yang hanya mengenal ilmu berkelahi yang kasar mengandalkan tenaga, maka dia belum sadar seperti lima orang pemimpinnya itu bahwa dia menghadapi seorang anak perempuan yang luar biasa!   "Hemm, kau berani mencoba menyakiti aku?" Sulastri berkata dan kedua tangannya bergerak, yang kanan mendahului cengkraman ke arah kepala dan menangkis, sedangkan yang kiri menampar ke arah lengan yang besar itu dengan Aji Hasta Naga yang hanya dikerahkan sedikit saja.   "Plakk... auuughhh... aduuuhhhh...!" Raksasa itu mengaduh-aduh sambil memegangi lengan kanannya yang kena tampar tadi, karena rasanya nyeri bukan main, myeri dan panas sampai menusuk tulang sumsumnya.     Masih ada sebagian anak buah yang tertawa, mengira bahwa jagoan mereka itu hanya pura-pura kesakitan, karena mana mungkin lengan sebesar dan sekuat itu menjadi kesakitan kena ditampar tangan yang kecil mungil itu? Akan tetapi, si kumis tebal dan empat orang temannya sudah mengerti bahwa dara remaja itu benar-benar sakti. Mereka terkejut sekali dan makin tebal keyakinan hati mereka bahwa dara remaja itu pastilah seorang mata-mata Mojopahit yang sengaja diutus untuk menyelidiki keadaan mereka. Maka si kumis tebal memberi isyarat dengan pandang mata kepada empat orang temannya yang mengerti akan isyarat ini dan serentak mereka maju mengepung Sulastri! Para anak buah mereka ini baru mengerti bahwa Gendro tidak berpura-pura, maka mereka memandang dengan hati tegang dan terheran-heran melihat lima orang pemimpin mereka mengepung dara remaja itu. Sungguh merupakan penglihatan yang aneh dan ganjil sekali bahwa lima orang pimpinan mereka yang berkepandaian hebat itu harus mengepung seorang anak perempuan!   "Nini, kau menyerahlah untuk kami harapkan kepada pemimpin kami." si kumis tebal yang betapa pun juga merasa malu kalau harus menggunakan kekerasan terhadap dara remaja itu, berkata membujuk.   "Bocah sombong!" Si kumis tebal membentak dan bersama empat orang temannya dia maju menubruk untuk menangkap anak perempuan itu.   Namun Sulastri mengelak ke sana-sini dengan amat cepatnya, kemudian dia membagi-bagi tamparan dengan Aji Hasta Naga. Terdengar mereka mengaduh-aduh dan tiga orang di antara mereka yang terkena tamparan ini terpelanting. Mereka sama sekali tidak bersiaga menghadapi tamparan yang sakti dan ampuh itu dan tadi terlalu memandang rendah maka sampai menjadi korban tamparan tanpa melindungi diri dengan kekebalan.   Kini terkejutlah semua orang! Dalam segebrakan saja dara itu mampu membuat tiga di antara lima pimpinan itu terpelanting. Bukan main! Tiga orang itu hanya sebentar mengeluh dan cepat meloncat dengan muka merah. Kini lima orang itu mengurung dengan mata mulai menyinarkan kemarahan.   "Mundur semua...!" tiba-tiba terdengar bentakan menggeledek dan lima orang itu cepat mundur dengan muka merah dan sikap malu.   Sulastri mengangkat mukanya memandang dan ternyata dari dalam bangunan besar itu muncul dua orang laki-laki setengah tua yang bersikap gagah perkasa dan berwibawa. Semua anak buah yang mengepung tempat itu mundur dan tidak ada yang berani bersuara ketika dua orang itu maju menghampiri tempat itu. Yang seorang berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi kurus, alisnya tebal dan matanya tajam sikapnya tenang. Seorang lagi lebih muda beberapa tahun, bertubuh sedang dan berwajah tampan wajahnya berseri dan membayangkan sifat gembira.   "Apa yang terjadi di sini? Apa artinya keributan ini dan apakah anak perempuan ini?" Si alis tebal bertanya, suaranya menggeledek dan agaknya dia marah dan menyangka bahwa anak buahnya mengganggu anak perempuan yang dia lihat amat cantik itu. Pandang matanya seperti kilat menyambar-nyambar ke wajah lima orang pembantunya.   Si kumis tebal cepat memberi hormat dan menjawab, "Harap paduka maafkan. Kami menemukan anak ini dalam keadaan mencurigakan, seperti mata-mata hendak menyelidiki keadaan kita. Ketika kami bertanya, dia memberi jawaban tak masuk akal, katanya hendak mencuri beras ketan. Kami yakin dia adalah mata-mata musuh dan ternyata dia memiliki kepandaian tinggi, hampir mengalahkan kami berlima yang hendak menangkapnya."     Dua orang pemimpin itu terkejut dan kini mereka memandang kepada Sulastri dengan penuh selidik. Orang ke dua yang berwajah gembira itu tersenyum dan melangkah maju. "ah, sungguh aneh kalau bocah sebesar ini, wanita lagi, memiliki kepandaian yang luar biasa, dan kalau memang demikian, patut dicurigai, kakangmas Juru Demang. Biarlah aku mengujinya."   Si alis tebal yang disebut Juru Demang itu mengangguk setuju. "Tapi jangan kau deritakan dia, dimas, aku melihat dia bukan bocah sembarangan."   Orang itu mengangguk lalu melangkah menghadapi sulastri. "Nini, apakah benar kau hendak mencuri beras ketan kemudian ketika hendak ditangkap kau merobohkan beberapa orang kami?"   Sulastri merasa sudah kepalang tanggung karena sejak tadi memang dia sudah melawan. Dia mengangguk lalu berkata lantang, "aku belum mencuri ketan, baru akan, belum terjadi, akan tetapi orang-orangmu hendak memaksa aku menyerah untuk ditangkap. Tentu saja aku tidak mau siapa pun yang hendak menangkapku, pasti akan kulawan!"   "Hemm, nini. Kalau engkau datang dari Mojopahit atau Tuban, tentu engkau mengenal kami. Andaikata belum pernah melihat orangnya, tentu engkau sudah mendengar namaku. Aku adalah Raden Gajah Biru. Nah, apakkah kau tetap hendak melawan dan tidak mau menyerah?"   Sulastri yang teringat akan gurunya dan merasa mendongkol sekali, mencari ketan untuk gurunya belum dapat malah kini dihadang dan diganggu orang banyak, lalu menjawab marah, "sudahlah, aku belum melakukan pencurian apa-apa, mengapa kalian begini cerewet dan tidak membiarkan aku pergi? Aku tidak mengenal segala macam Gajah Biru, Gajah Hitam atau Gajah Putih!"   Semua anak buah yang kini berdatangan dan makin banyak mengurung tempat itu, menahan senyum. Bocah itu tabah, lincah, liar dan juga lucu! Bahkan Juru Demang sendiri tersenyum, akan tetapi segera mengeraskan hati dan berkata, "Hemm... bocah ini kurang ajar sekali!"   Akan tetapi Gajah Biru, yang berwajah gembira itu, tertawa. "Ha-ha-ha, kau hebat! Selama hidupku, baru sekali inilah nama hadiah dari sang prabu dijadikan permainan dan ejekan orang! Jelas bahwa engkau belum pernah mendengar nama Gajah Biru dan Juru demang. Eh, nini, siapakah namamu dan dari mana kau datang?"   Sulastri membanting kaki kanannya, itulah tandanya kalau dia sedang menghadapi sekali hatinya dan habis kesabarannya. "Sudahlah... sudahlah...! Kau mau apa sih? mau tangkap aku? Silahkan kalau kau berani!"   Gajah Biru adalah seorang bekas perwira Mojopahit yang memiliki kepandaian tinggi, maka dia makin gembira menyaksikan dara remaja ini. Dia mengenal seorang yang memiliki keberanian besar, seorang yang patutnya berdarah ksatria, seorang yang berwatak pendekar. Dia tidak marah melihat kekasaran dara itu karena maklum bahwa dara itu merasa terganggu dan marah, maka dia berkata, "Memang aku hendak menangkapmu. Jaga dirimu baik-baik!" Dia menerjang maju, hendak menangkap lengan kanan dan pundak kiri dara itu.     "Wuuttt.... Plak-plak-plak-plakkk..."   "Eh...!" Gajah Biru melangkah mundur dan terbelalak. Ketika hendak ditangkap, dara remaja itu mengelak dan balas menampar, gerakannya cepat dan mempunyai dasar gerakan silat yang hebat, dan luar biasa lagi, ketika dia menangkis sampai empat kali, dia merasakan betapa ampuh dan dahsyatnya tamparan-tamparan dara itu! Andaikata tamparan itu dilakukan oleh seorang yang lebih matang latihannya, tentu dia sendiri pun akan kewalahan menghadapinya! Akan tetapi, Gajah Biru adalah seorang perwira sakti, maka tentu saja dia mampu menangkis semua tamparan itu dan bahkan Sulastri merasa betapa tangannya panas ketika ditangkis.   Hal ini bukan membuat dara itu menjadi takut, bahkan dia makin marah. "Bagus!" Kiranya engkau seorang yang sakti! Akan tetapi kesaktianmu hanya kau remehkan untuk menganggu seorang perempuan! "Setelah membentak demikian, Sulastri kini menyerang dengan sungguh-sungguh, mengeluarkan semua gerak silat yang dipelajarinya dari Ki Jembros, gerakannya cepat sekali dan setiap pukulan dia lakukan dengan pengerahan tenaga sakti.   "ah, hebat... ahhh...!" Gajah Biru yang hendak menguji dara itu makin kagum dan cepat dia mengelak ke sana-sini dan menangkis karena dia memperoleh kenyataan bahwa biar pun dara itu masih remaja, masih muda sekali, namun benar-benar telah memiliki kepandaian yang dahsyat. Pantas saja kalau lima orang pembantunya tidak dapat mangatasi dara ini!   Saking marahnya dan saking cepat dan kuatnya gerakan tubuh Sulastri, kalung yang menjadi mainannya dan tadinya terselip di antara dada di balik kain, kini terkulai keluar dan tergantung di depan, berkilauan ketika bergoyang-goyang oleh gerakan tubuhnya. Tampaklah mainan kalung itu yang bukan lain adalah Kundolo Mirah, yaitu cincin telinga yang matanya mirah (batu merah) yang dulu dia terima dari Adipati Ronggo Lawe.   "Heii, tahan dulu...!" Tubuh Gajah Biru mencelat ke belakang, gerakannya cepat sekali membuat Sulastri terkejut. Gajah Biru terbelalak memandang Kundolo Mirah yang tergantung di depan dada dara remaja itu, lalu dia menuding benda itu sambil bertanya, "Bukankah itu Kundolo Mirah...?"   Sulastri menegakkan kepalanya. "Kalau benar kau mau apa? Benda ini milikku sendiri, bukan hasil curian!"   Dengan mata masih terbelalak dan kini suaranya agak gemetar Gajah Biru bertanya, "Nini... apa hubunganmu dengan mendiang kakangmas Ronggo Lawe...?"   Kini Sulastri yang memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Orang ini memiliki kepandaian hebat dan menyebut gurunya "kakangmas".   "Sebelum aku menjawab, ingin aku tahu lebih dulu siapakah engkau yang menyebut kakangmas kepada Adipati Ronggo Lawe?"   "Kakangmas Ronggo Lawe adalah kakak seperguruanku!"   "Ahhh...?" Sulastri melongo dan memandang laki-laki di depannya itu dengan heran dan juga kagum. "Dan beliau... beliau adalah guruku..."   "Apa...??" Gajah Biru berseru kaget lalu membentak karena dia tidak percaya, "Nini, jangan kau sembarangan bicara! Aku tahu bahwa engkau adalah murid orang pandai, akan tetapi tidak mungkin engkau murid kakangmas Ronggo Lawe yang sudah meninggal dunia empat tahun yang lalu!"     Sulastri menarik napas panjang dan tangan kanannya memegang Kundolo Mirah yang tergantung di lehernya. "Memang aku belum pernah menerima pelajaran dari beliau, akan tetapi ketika aku masih kecil, aku pernah ditolong olehnya dan ketika aku minta dijadikan murid, dia menyerahkan Kundolo Mirah ini dan aku selalu menganggapnya sebagai guruku..." Suara dara itu berobah menjadi gemetar karena dia terharu kalau teringat kepada gurunya dan mbakyunya.   Gajah Biru menghampirinya. "Maaf, nini. Kalau begitu aku percaya. Orang seperti engkau ini tidak mungkin berbohong. Sekarang ceritakanlah, siapa gurumu dan mengapa kau sampai tiba di tempat ini?"   "Nanti dulu. Guruku, eyang Jembros menanti aku di sana..."   "Ki Jembros...??" Gajah Biru dan Juru Demang terkejut bukan main mendengar ini. "Jadi engkau murid Ki Jembros?" tanya Juru Demang.   "Aku murid Adipati ronggo Lawe, akan tetapi menerima pelajaran dari eyang guru Ki Jembros. Eyang mengutus aku mencuri beras ketan, maka aku datang ke tempat ini, karena tempat ini yang terdekat. Tidak tahunya, tempat ini bukan dusun..."   "Kalau hanya beras ketan saja, jangan khawatir, kami dapat memberimu berapa banyak pun. Mari kami antar aku menghadap beliau nini," kata Gajah Biru.   "Jangan, nanti eyang marah. Biar aku kembali ke sana membawa beras ketan, dan akan kuceritakan bahwa di sini terdapat adik seperguruan Adipati Ronggo Lawe. Eyang sedang menderita luka dalam yang cukup parah."   "Akan tetapi, kami ingin bertemu beliau dan kami ingin bicara panjang lebar denganmu, nini... Siapakah namamu, nini...?"   "Namaku Sulastri."   "Sebaiknya kami mengantarmu ke..."   "Jangan paman. Jangan, karena eyang mempunyai watak yang luar biasa anehnya. Kalau paman sekalian datang ke sana, aku tidak tanggung kalau eyang marah dan membunuh paman sekalian."   "Ha-ha-ha-ha! Wah, wah, kau memperkenalkan aku sebagai seorang iblis, Sulastri! Akan lebih terkenal lagi julukan Setan Jembros, ha-ha-ha!"   "Eyang...!" Sulastri membalikkan tubuhnya dengan girang ternyata kakek tua ini telah jongkok dan nongkrong di atas wuwungan rumah besar itu! Kiranya sejak tadi dia telah menonton segala yang terjadi di bawah tanpa ada yang mengetahuinya.   "eh, bocah bengal. Kau disuruh mencari ketan kenapa malah cekcok dengan banyak orang di situ?"   "eyang... harap suka turun, biar saya jelaskan."   "Dan ikut dengan kau cekcok dengan orang banyak? Huh, tidak sudi aku!"   Semua orang tadi terkejut bukan main melihat seorang kakek yang begitu menyeramkan nongkrong di atas wuwungan. Akan tetapi Juru demang dan Gajah Biru, sebagai dia orang sakti yang banyak mengenal orang pandai, sudah cepat memberi hormat dengan sembah ke arah kakek itu dan berkatalah Juru Demang, "Mohon maaf sebanyaknya bahwa karena kami tidak mengetahui akan kunjungan paduka, maka kami tidak sempat menyambut, paman."   (Bersambung ke Jilid 16)   Jilid 16   "Ha-ha-ha, selayaknya aku datang tanpa disambut dan pergi tanpa diantar..."   "Eyang saya sudah mendapatkan beras ketan. Mereka ini mempunyai beras ketan. Mari saya buatkan ketan kelapa dan gula!"   Ki Jembros tertawa dan tubuhnya melayang turun. Juru Demang dan Gajah Biru segera maju dan memberi hormat dengan sembah.   "Ah, tidak usah menyembah. Aku adalah orang biasa saja, Juru Demang dan Gajah Biru. Kalian adalah senopati-senopati Mojopahit, mengapa kalian berada di sini, seperti orang-orang bersembunyi bersama pasukan kalian?"   Juru Demang menarik napas panjang. "Paman, ceritanya panjang. Marilah, kami mempersilakan paman untuk beristirahat di dalam, biar murid paman membuatkan ketan dan kita bicara dengan enak."   Sekali ini Ki Jembros tidak menolak. Hal ini adalah karena dia sudah mulai tertarik akan keadaan di Mojopahit setelah dia bertemu dan bertanding melawan dua orang kakek sakti beberapa hari yang lalu. Dua orang bekas senopati Mojopahit itu bersama lima orang pembantunya lalu mengiringkan Ki Jembros dan Sulastri memasuki bangunan besar. Lampu-lampu besar dinyalakan dan Sulastri lalu berpamit pergi ke dapur untuk memasak ketan, bukan hanya beberapa genggam, melainkan banyak juga untuk hidangan mereka semua. Tentu saja beberapa orang anak buah yang biasa bertugas di dapur membantunya dan mereka ini tiada habisnya mengagumi dara itu dan bercakap-cakap dengan ramah sambil sibuk memasak ketan, memarut kelapa dan lain-lain.   Setelah menghadapi ketan kelapa dan gula kelapa yang ditemani oleh minuman kopi, mereka mengelilingi meja. Kini Sulastri berkesempatan mendengarkan penuturan dua orang bekas senopati Mojopahit itu, semenjak pemberontakan Ronggo Lawe sampai sekarang.   "Kami tidak tahan menghadapi desas-desus yang ditiupkan oleh orang-orang yang tentu memusuhi kakangmas Lembu Sora," kata Juru Demang menutupi ceritanya. "Desas-desus itu berbahaya sekali, apalagi karena kakangmas Lembu sora tidak pernah membantahnya bahwa dialah yang membunuh Kebo Anabrang, ditusuknya dari belakang. Padahal semua orang tahu bahwa Kebo Anabrang mati sampyuh dengan dimas Ronggo Lawe."   "Hemm, itu semua fitnah belaka, fitnah yang dilepas oleh mereka yang tidak suka kepada kakangmas Lembu Sora. Oleh karena itu, melihat kakangmas Lembu Sora dengan tenang saja menghadapi desas-desus fitnah itu, kami lebih dulu melarikan diri untuk mengadakan persiapan dan sewaktu-waktu kakangmas Lembu Sora digempur, tentu kami akan turun tangan membelanya," Gajah Biru menyambung.   "Bagaimana andaikata berita desas-desus itu bukan fitnah melainkan kenyataan yang sebenarnya?" Sulastri ikut bicara.   Gajah Biru memandang dara ini dengan mata terbelalak, lalu dia yang menjawab, "Fitnah atau bukan, jelas bahwa penyebar desas-desus menghendaki agar kakangmas Lembu Sora tertimpa bencana. Dan bagi kami, baik kakangmas Lembu sora membunuh Kebo Anabrang atau tidak, kami tetap akan membelanya."   "Mengapa begitu?" kembali Sulastri bertanya.   "Karena kami sudah percaya sepenuhnya akan kemuliaan budi kakangmas Lembu Sora, akan kesetiaannya kepada sang prabu. Andaikata benar dia menikam mati Kebo Anabrang, hal itu tentulah dilakukan karena suatu sebab yang kuat. Bukan watak kakangmas Lembu Sora yang kami kenal sebagai seorang satria utama untuk berlaku curang." ucapan Gajah Biru ini dikeluarkan dengan penuh keyakinan.     "Ha-ha-ha..., ribut-ribut-ribut! Perang-perang-perang! Semua pihak tentu mempunyai pendirian dan alasan-alasan sendiri-sendiri dan ada saja yang mereka kemukakan untuk membela kebenaran masing-masing. Akan tetapi aku sudah mendengar bahwa Lembu sora adalah seorang laki-laki sejati." Ki Jembros terdengar ikut pula bicara sambil minum kopinya setelah kenyang makan ketan dan gula kelapa.   "Desas-desus itu bukan fitnah!"   Ucapan tenang yang keluar dari mulut Sulastri itu bagaikan halilintar dan dua orang Senopati Mojopahit itu, juga lima orang pembantunya, bangkit serentak, memandang wajah Sulastri penuh selidik sampai beberapa saat lamanya suasana menjadi sunyi sekali. Namun Sulastri tetap duduk tenang, lalu minum air teh dari cangkirnya.   "Nini Sulastri, apa artinya ucapanmu itu?" Juru Demang menuntut, suaranya agak gemetar karena berita yang disampaikan oleh dara itu benar-benar mengejutkan hatinya. Bagaimana setia pun mereka terhadap sahabat mereka Lembu sora, namun tadinya tidak seorang pun di antara mereka percaya bahwa Lembu Sora sudi melakukan kecurigaan seperti itu, membunuh Kebo Anabrang dari belakang.   "Heh-heh-heh, kalian duduklah dan dengarkan baik-baik. Muridku ini selama hidupnya tidak akan pernah mau membohong, dan apa yang diceritakan tentu benar. Aku menjamin hal itu!" Ki Jembros juga berkata ketika melihat semua orang bersikap tegang seperti itu   Juru Demang sadar dan dia lalu duduk diikuti oleh semua temannya. "Nini, ceritakanlah semua apa yang kau ketahui," katanya kemudian.   "Paman-paman sekalian, kiranya hanya aku dan dua orang lain yang menyaksikan peristiwa itu, juga mbakayuku yang telah meninggal dunia, "dara remaja itu memulai." Aku dan mbakayu bersembunyi di dalam alang-alang di tepi Sungai Tambakberas ketika terjadi pertandingan antara guruku. Adipati Ronggo Lawe melawan Kebo Anabrang. Pertandingan yang dahsyat! Bertapa hebatnya mendiang guruku itu! Akan tetapi, lawannya licik dan memancing guruku untuk bertanding di atas batu-batu di bagian sungai yang dalam. Mereka bertanding dan lawan guruku menyeret guruku masuk ke dalam air yang dalam. Lawannya ternyata ahli bermain di air, maka guruku kewalahan kehabisan napas dan dalam keadaan setengah pingsan dia disiksa dan kepalanya dibentur-benturkan ke batu kali sampai tewas. Lalu muncul Senopati Lembu Sora tidak membunuhnya di waktu itu, tentu sekarang aku akan mencari Kebo Anabrang untuk membalas dendam kematian Adipati Ronggo Lawe. "   Semua orang mendengarkan dengan sunyi dan dengan muka pucat. Malapetaka tergantung di atas kepala Lembu Sora kalau begitu!   "Nini, lajutkan ceritamu. Lalu bagaimana selanjutnya?" suara Juru Demang memecah kesunyian setelah Sulastri menghentikan ceritanya.   "Senopati Lembu Sora lalu meloncat pergi dan mbakayuku yang melihat Adipati Ronggo Lawe tewas, lalu keluar dari tempat persembunyian kami, lari menghampiri dan menangisi jenazah adipati itu, kemudian mbakayu berbela pati, membunuh diri. Tak lama kemudian muncullah dua orang jahanam keparat itu. Akan kubunuh mereka karena mereka menghina jenazah mbakayuku! Dan dua orang itu agaknya tentu tahu pula akan peristiwa pembunuhan atas diri Kebo Anabrang oleh Senopati Lembu Sora."     "Brakkk!" Gajah Biru menggebrak meja di depannya. "Tidak salah lagi, pasti dua orang itu yang telah menyebar desas-desus ini!"   "Nini Sulastri, siapakah dua orang yang kau ceritakan itu?" Juru Demang bertanya.   "Mereka itu bernama Reksosuro dan Darumuko."   Tujuh orang pimpinan pasukan yang melarikan diri dari Mojopahit itu saling pandang, akan tetapi tidak ada yang mengenal nama-nama ini.   "Siapakah mereka itu? Kami belum pernah mengenal nama mereka..." kata Juru Demang.   "Mereka adalah orang-orangnya Resi Mahapati. Karena itu, kelak aku harus membunuh dua orang itu dan Resi Mahapati."   "Ahhh...!" Juru Demang dan Gajah Biru terkejut bukan main mendengar disebutnya Resi Mahapati. Resi Mahapati itu mereka anggap sebagai seorang yang amat baik dan setia kawan, juga setia kepada sang prabu. Maka keduanya termenung sejenak, kemudian berkatalah Juru Demang kepada Gajah Biru. "Adimas Gajah Biru, tak dapat dielakkan lagi, kakangmas Lembu Sora pasti terancam bahaya maut. Oleh karena itu, dimas jangan berayal lagi, temulilah kakangmas Lembu Sora dan bujuklah agar dia suka cepat melarikan diri ke sini sebelum bahaya menimpa dirinya. Berangkatlah sekarang juga, dimas Gajah Biru dan karena tugas ini amat penting maka harus engkau sendiri yang melaksanakannya."   "Baiklah, kakangmas Juru Demang. Saya berangkat sekarang. "Gajah Biru lalu berpamit dari semua orang dan pergilah dia malam itu juga menuju ke Mojopahit.   Sementara itu, Ki Jembros yang sejak tadi hanya mendengarkan saja, tiba-tiba berkata dengan suaranya yang nyaring kepada muridnya, "Lastri, besok engkau harus melanjutkan perjalanan sendiri ke puncak Gunung Bromo, menghadap kakang Empu Supamandrangi."   Sulastri terbelalak memandang kakek itu. "Dan eyang sendiri...?"   Ki Jembros menggeleng kepala... "aku tinggal di sini, beristirahat dan berobat..."   "Kalau begitu aku pun tidak mau pergi, eyang. Aku akan merawat eyang, memasakkan ketan untuk eyang."   Tiba-tiba Ki Jembros bangkit berdiri, matanya melotot lebar. "Eh, jadi engkau mulai tidak taat lagi kepadaku, ya?"   Sulastri terkejut dan takut, cepat dia menyebah. "Tidak, tidak... eyang, saya tidak berani membantah..."   "Nah, itu baru muridku yang baik. Kau harus pergi ke sana, menghadap kakang empu, kau ceritakan semua tentang dirimu, dan tentang Ronggo Lawe, juga katakan bahwa engkau adalah murid Ki Jembros. Selanjutnya terserah petunjuk kakang Empu Supamandrangi dan kau harus taat kepada eyang gurumu itu."   "Tapi... tapi..., eyang... kapan saya dapat berjumpa dengan eyang lagi?"   "Ha-ha-ha! Kalau aku masih hidup, apa sih sukarnya bertemu dengan aku? Hidup hanya berisi pertemuan dan perpisahan, apa anehnya? Kau besok harus berangkat, sendiri?"   "Besok eyang...?" Sulastri nampak bingung. "Akan tetapi saya belum mengenal jalan..."   Huh! Pantaskah muridku merasa takut hanya untuk melakukan perjalanan ke Gunung Bromo saja? Jangan membikin malu aku, Lastri. Kalau kau pergi ke timur, setelah memasuki daerah Kadipaten Lumajang, kau bertanya kepada siapa pun tentu tidak ada yang tidak tahu di mana letaknya Pengunungan Bromo."   "Baik, eyang..." kata Sulastri dengan sikap masih agak ragu-ragu karena memang selama ini dia tidak pernah melakukan perjalanan seorang diri.     Melihat keraguan dara remaja itu, agaknya Juru Demang merasa kasihan. Senopati ini sudah mengenal watak-watak aneh dari orang-orang sakti seperti Ki jembros, akan tertapi dia pun tahu betapa jauh dan sukarnya perjalanan dari situ ke Gunung Bromo, apalagi kalau ditempuh oleh seorang dara remaja seperti Sulastri itu. Selain amat jauh dan amat berbahaya, terutama bagi seorang wanita, muda dan cantik pula. Oleh karena itu, maka terdorong oleh rasa kasihan di dalam hatinya, Juru Demang berkata tenang, "Harap paduka maafkan kelancangan saya. Paman. Bukan maksud saya untuk mencampuri urusan paman dan nini Sulastri, akan tetapi mengingat akan jauh dan sukar serta berbahayanya perjalanan dari sini ke Gunung Bromo, akan lebih amanlah kiranya kalau nini Sulastri menyamar sebagai seorang pria."   "menyamar pria? Aku...? Akan tetapi aku seorang wanita!" Sulastri membantah.   "Ha-ha-ha, bagus! Itulah akal bulus yang cerdik sekali. Dan kau akan menjadi seorang pemuda yang amat tampan kalau menyamar sebagai pria, Lastri, ha-ha-ha!" Memang Ki Jembros ini orangnya gembira dan dia suka akan hal yang aneh-aneh dan lucu-lucu. Maka mendengar usul itu hatinya menjadi gembira dan dia sudah dapat membayangkan betapa lucunya kalau muridnya itu menyamar sebagai seorang pemuda.   "Akan tetapi..." Sulastri masih mencoba untuk membantah. Bagi dara yang biasanya bersikap wajar ini amat anehlah membayangkan bahwa dia harus berpura-pura menjadi seorang pria.   "Begini, nini,” Juru Demang menjelaskan dengan sabar. "Amatlah berbahaya bagi seorang wanita muda untuk melakukan perjalanan sejauh itu, apalagi melalui tempat-tempat yang asing bagimu, melalui pegunungan dan hutan-hutan di mana terdapat banyak gerombolan perampok. Lebih-lebih lagi di waktu suasana kacau seperti sekarang ini..."   "Aku tidak takut!" Sulastri memotong cepat, matanya bersinar penuh rasa penasaran. Mengapa dia hendak ditakut-takuti?   "Tentu saja tidak takut, nini. Rasa takut merupakan pantangan besar bagi seorang gagah. Akan tetapi di samping keberanian, seorang gagah harus selalu waspada dan berhati-hati. Keberanian bukanlah berarti kenekatan, melainkan tidak takut menghadapi bahaya demi membela kebenaran. Namun, tanpa kecerdasan kita akan mudah tertimpa malapetaka dan mengandalkan keberanian saja belumlah cukup untuk menghindarkan malapetaka."   "Ha-ha, bagus, bagus! "Ki Jembros bertepuk tangan memuji.   "Maafkan saya paman. Bukan maksud saya untuk lancang memberi petuah kepada murid paman..."   "Lanjutkan, lanjutkan! Muridku ini memang keras batok kepalanya, dan baik kalau bisa menembus batok kepalanya yang keras itu agar dia mengerti, ha-ha!"   "Nini Sulastri, dengan gerakanmu yang tangkas, tidak akan ada orang dapat meyangka bahwa kau seorang wanita. Dan dengan dandanan pria, engkau akan dengan mudah, tanpa banyak gangguan, dapat melakukan perjalanan sampai ke Gunung Bromo dengan selamat. Sebaliknya, kalau engkau pergi dalam keadaan seperti itu saja, engkau akan menghadapi banyak sekali gangguan dan akan sia-sialah perjalananmu dan harapan paman jembros yang mengutus nini pergi ke Gunung Bromo."     Sulastri mulai dapat menerima nasihat itu, akan tetapi alisnya masih berkerut tanda bahwa hatinya masih penasaran dan belum puas benar. "Akan tetapi dengan menyamar sebagai pria, bukankah itu berarti bahwa aku takut paman?"   "Takut atau tidak adalah urusan hati kita sendiri, dan takut atau tidak hanyalah kita sendiri yang mengetahuinya dengan jelas, bukan? Kalau kita sudah yakin bahwa tidak ada rasa takut di dalam hati kita, perduli apa dengan sangkaan orang lain? Yang penting, engkau yakin bahwa engkau menyamar bukan karena takut, melainkan untuk berhati-hati agar perjalananmu dapat lancar tanpa banyak rintangan di jalan."   "Akan tetapi, aku tidak biasa..."   "Jangan khawatir, nini. Sebagai seorang dara perkasa yang sejak kecil sudah digembleng berolah yuda, gerakan-gerakaanmu begitu gesit sehingga dengan sendirinya engkau sudah seperti seorang pria, maka penyamaranmu itu hanya mengenai pakaian belaka. Untuk keperluan penyamaranmu, ahli-ahli kami akan dapat mendadanimu dan kemudian melatihmu bagaimana harus bersikap sebagai seorang pria, nini."   "Ha-ha-ha, kau sungguh beruntung, Lastri! Kau akan memperoleh pengalaman hebat, bayangkan saja, menjadi pria, melakukan perjalanan seorang diri, bisa mempermainkan orang yang menyangkamu betul-betul pria. Wah, kalau ada wanita yang jatuh cinta padamu, he-he, dan hal itu bukan mustahil karena engkau tentu akan menjadi perjaka yang ganteng ha-ha, tentu lucu sekali! Ah, kau beruntung. Kalau saja aku berkesempatan menyamar sebagai seorang wanita tua, ha-ha-ha, betapa seneng dan lucunya, akan kupamerkan banyak orang, ha-ha-ha!"   Sikap dan ucapan gurunya ini membuat Sulastri juga tertawa-tawa. Memang lucu membayangkan gurunya yang tinggi besar itu bergelung dan berpakaian seperti seorang nenek tinggi besar! Timbul kegembiraannya dan malam itu juga Sulastri dilatih seorang ahli menyamar dalam pasukan Juru Demung untuk menyamar sebagai seorang pria, gurunya sendiri menjadi pangling! Dia telah merobah menjadi seorang perjaka yang tampan dan gagah, yang suaranya renyah dan sikapnya jenaka.   Pada keesokan harinya, setelah menyambah dan mohon doa restu Ki Jembros, berangkatlah Sulastri seorang diri meninggalkan hutan itu menuju ke timur. Dia menolak ketika diberi kuda karena dia tidak biasa menunggang kuda, akan tetapi dia tidak menolak ketika Juru Demung memberi bekal uang kepadanya. Juga buntalan gurunya berisi segala macam perabot dapur dibawanya dan dipanggulnya.   Ki Jembros berdiri tegak mengikuti bayangan muridnya sampai lenyap di tikungan. Kakek ini merasa seolah-olah semangatnya terbawa oleh murid yang amat dicintainya itu. Dia menghela napas panjang dan berkata kepada Juru Demung yang berdiri di sampingnya,   "Kalau saja dia lebih tua lima tahun, tentu dia akan kutahan di sini untuk membantu Lembu Sora. Sekarang terpaksa aku sendiri yang akan membantu dan biarlah muridku itu selamat di Bromo, Lapang hatiku sudah karena dia pasti aman di sana."   Juru Demung terkejut dan girang sekali mendengar ucapan ini. "Jadi paman berkenan membantu kami...?" tanyanya penuh harap, khawatir kalau-kalau dia tadi salah dengar.   "Hemm, kalau tidak akan membantu apakah kau kira aku senang ditinggal muridku? Biarkan aku mengobati lukaku dan memulihkan tenaga, dan kelak akulah yang akan menghadapi Empu Tunjungpetak dan Resi Harimurti, karena kurasa keduanya itu ke Mojopahit untuk urusan ini, untuk menghadapi Lembu Sora."   "Apa maksud paduka, paman?"   Ki Jembros lalu menceritakan tentang pertemuan dan pertempuran melawan Empu Tunjungpetak dan Resi Harimurti yang diundang ke Mojopahit oleh Reksosuro. Juru Demung menjadi khawatir sekali, karena dia sudah mendengar akan kesaktian dua orang pendeta itu. Akan tetapi, mendapatkan bantuan seperti kakek jembel ini benar-benar membesarkan hatinya dan dia mulai mengadakan persiapan setelah mengatur dan menyediakan sebuah tempat peristirahatan untuk Ki Jembros yang akan memulihkan tenaga dan mengobati lukanya.     Sebetulnya apakah yang telah terjadi di Kota Raja Mojopahit? Banyak sekali! Dalam waktu beberapa tahun akhir-akhir ini semenjak pemberontakan Ronggo Lawe, telah terjadi banyak hal yang mendatangkan kekeruhan di atas Kerajaan Mojopahit. Pertama-tama dimulai dengan desas-desus tentang kematian Kebo Anabrang dalam pertandingan melawan Ronggo Lawe, yang didesas-desuskan bahwa Lembu Sora yang membunuh Kebo Anabrang dan membantu Ronggo Lawe secara diam-diam dalam pertandingan itu.   Dedas-desus ini mendatangkan kegemparan di seluruh Mojopahit dan otomatis terjadi perpecahan antara yang pro dan yang kontra Demung Lembu Sora, kekasih sang prabu itu. Sesungguhnyalah, Lembu Sora merupakan abdi terkasih dari sang prabu, karena semenjak mudanya Lembu Sora merupakan seorang di antara para senopati yang saling setia. Kesetiaan Lembu Sora sudah berulang kali teruji dan kepercayaan sang prabu kepada senopati ini adalah mutlak. Oleh karena itu, tentu saja desas-desus itu menimbulkan kegemparan besar.   "Hendaknya paduka ingat akan semua jasa Lembu Sora, kakanda prabu," demikian antara lain Permaisuri dyah Tribuana berkata dengan halus ketika melihat kemurungan wajah suaminya dan maklum apa yang menyebabkan sang prabu kelihatan duka. Sang permaisuri juga sudah mendengar akan desas-desus itu, maka dia merasa khawatir dan cepat dia membela Lembu Sora dan membujuk sang prabu. "Betapa Lembu Sora telah berkali-kali membela paduka dan membela Mojopahit dengan taruhan nyawa. Bukankah Lembu Sora sendiri yang memimpin pasukan menghancurkan pemberontakan Tuban? Dia menentang keponakannya sendiri, si Ronggo Lawe yang memberontak. Hal ini sudah jelas membuktikan kesetiaannya dan harap paduka tidak menjatuhkan hukuman kepada Lembu Sora."   "Itulah yang menyusahkan hatiku, adinda Tribuana," kata sang prabu sambil menarik napas panjang. "Kalau orang lain yang melakukan perbuatan itu, tentu dengan mudah saja kuhukum dia. Akan tetapi kakang Demung Lembu Sora? Heran sekali aku, sungguh tidak mengerti mengapa kakang Lembu Sora yang terkenal gagah perkasa dan sudah kukenal baik sebagai seorang jantan, dapat melakukan hal yang begitu rendah, membunuh orang secara pengecut dan keji."   "Akan tetapi, berita ini hanya desas-desus, hanya pergunjingan belaka, belum ada buktinya, kakanda."   "Kalau tidak benar, mengapa kakang Lembu Sora dia, saja? Kalau hanya fitnah kosong tentu kakang Lembu Sora sudah mengamuk dan mencari penyebar fitnah. Aku sudah mengenal benar wataknya," bantah sang prabu.   "Benar atau tidak, hamba kira kakang Lembu Sora mempunyai alas dan yang kuat mengapa dia melakukan itu, kakanda. Dan benar atau tidak beraita itu, tegakah paduka menghukum orang yang pernah melakukan kesetiaan seperti yang dia buktikan itu kepada paduka? Lupakan paduka betapa dahulu, ketika kita berdua masih sengsara melakukan perjalanan yang amat sukar, Lembu Sora telah menyediakan tubuhnya di sawah yang berlumpur itu untuk menjadi tempat duduk kita... ah, kakanda, terlalu banyak kalau disebutkan jasa-jasa dan pengorbanan yang dilakukan oleh kakang Lembu Sora. Apakah semua itu akan kita lupakan saja?"     Sang prabu termenung. Tentu saja dia tidak melupakan semua kebaikan Lembu Sora. Terutama sekali ketika dia membawa Puteri Dyah Tribuana mengungsi ke Madura, yaitu ketika Kerajaan Singosari telah jatuh. Betapa dia dan sang puteri melakukan perjalanan yang amat sengsara dan Lembu Sora selalu mengawalnya dengan penuh kesetiaan, bahkan ketika mereka kehabisan tenaga dan mengaso di ladang yang becek, Lembu Sora terlentang di atas tanah becek dan mempersilakan sang prabu dan dyah Tribuana untuk menduduki perut dan dadanya!   "Tentu saja aku tidak melupakannya, adinda. Akan tetapi, mengapa dia melakukan kecurangan serendah itu, membnuh Kebo Anabrang dari belakang?"   Sang prabu terkejut. Kebo Anabrang adalah seorang di antara para senopati yang setia pula. Mengapa permaisurinya mengeluarkan ucapan seperti itu? Seolah-olah membenci Kebo Anabrang? Ketika mereka bertemu pandang, Dyah Tribuana menundukkan mukanya dan mengertilah sang prabu. Teringatlah beliau mengapa permaisurinya membenci Kebo Anabrang dan Sri Baginda menarik napas panjang. Tidak mengherankan. Kebo Anabrang adalah senopati yang mengepalai pasukan ke negeri Malayu, bahkan senopati itulah yang ketika pulang membawa Puteri Malayu yang kini menjadi selirnya yang terkasih, yaitu Dara Petak yang telah diberi nama Sri Indreswari, ibu dari pangeran Kolo Gemet. Karena inilah maka permaisurinya itu membenci Kebo Anabrang. Hal ini membuat sang prabu termenung dan makin ruwetlah pikirannya.   (Bersambung ke Jilid 17)   Jilid 17   Demikian berhari-hari Sang Prabu Kertarajasa Jayawarana berwajah murung. Desas-desus makin santer dan hanya karena teringat akan jasa dan kesetiaan Lembu Sora saja maka Sri agenda menahan sabar dan tidak mau bertindak, bahkan di dalam persidangan tidak pernah menyinggung persoalan ini. Juga para ponggawa yang maklum akan kesetiaan Lembu Sora, maklum pula bahwa senopati ini menjadi ponggawa terkasih oleh Sri Baginda, tidak berani menyinggung-nyinggung persoalan desas-desus yang menghebohkan itu.   Betapa pun juga, sang prabu mengerti bahwa berita tentang dibunuhnya Kebo Anabrang oleh Lembu Sora itu telah menggoncangkan persatuan para pembantunya, bahkan mempunyai sifat memecah belah karena di antara para menteri dan hulubalangnya banyak yang memihak Kebo Anabrang dan ada pula yang memihak Lembu Sora. Yang lebih merisaukan hati sang prabu adalah pengaruh-pengaruh dari para isterinya sendiri. Empat orang isterinya, kesemuanya puteri-puteri mendiang Sang Prabu Kertanegara, dipimpin oleh Dyah Tribuana yang menjadi permaisuri, dan didorong oleh Dyah Gayatri atau Rajapatni yang merupakan selir terkasih, di satu pihak mereka ini membela Lembu Sora, adalah Dara Petak selalu membujuk sang prabu agar dijatuhkan hukuman atas diri Lembu Sora untuk membalas kematian Kebo Anabrang yang oleh Puteri Dara Petak dianggap sebagai seorang senopati yang paling besar jasanya. Tentu saja demikian, karena dia merasa bahwa keberangkatan ke Jawa Dwipa dibawa oleh Senopati Kebo Anabrang sehingga dia memperoleh kedudukan mulia di Mojopahit!   Resi Mahapati yang seolah-olah merupakan seorang penangkap ikan yang sengaja menumbulkan suasana keruh itu, tentu saja tak pernah melepaskan penyelidikan dan pengamatannya terhadap lubuk yang telah dikeruhkan untuk ditangkap ikan-ikannya! Maka resi yang cerdik dan penuh ambisi ini melihat kesempatan baik selagi sang Prabu Kertarajasa bingung dan murung. Kesempatan itu tidak dia sia-siakan begitu saja dan pada suatu senja dia mohon menhadap sang parbu di luar persidangan biasa.   Karena Resi Mahapati merupakan seorang pendeta yang dipercaya dan sudah seringkali memberi nasihat-nasihat yang berguna bagi sang prabu, maka sang prabu berkenan menerimanya, apa lagi karena pada saat itu sang prabu sedang murung dan berduka, maka kedatangan Resi Mahapati dianggap kebetulan sekali.     Setelah melewati segala upacara penghormatan yang telah menjadi tradisi di waktu menghadap raja, Resi Mahapati yang cerdik itu langsung saja berkata, "Harap paduka sudi mengampunkan hamba yang dating menghadap tanpa dipanggil. Hamba melihat betapa paduka berada dalam keadaan bimbang dan berduka, dan telah dua kali paduka tidak mengadakan persidangan seperti biasa. Karena hamba khawatir akan keadaaan paduka, maka senja ini hamba bertindak lancang menghadap paduka untuk melihat kalau-kalau hamba dapat meringankan beban paduka."   Sang Prabu menarik napas panjang. Betapa banyaknya ponggawanya yang amat setia kepadanya, akan tetapi justru karena kesetiaan mereka itulah kini dia menghadapi keadaan yang sulit! Lembu Sora adalah seorang senopati yang setia, demikian pula Kebo Anabrang. Kini, urusan yang timbul di antara dua orang ponggawa setia ini telah membuat dia menjadi pusing! Andaikata seorang di antara kedua orang ponggawa itu ada yang tidak setia, betapa mudahnya mengambil keputusan!   "Kang Resi Mahapati, perlukah kiranya aku jelaskan lagi kepadamu? Kurasa kakang resi yang arif bijaksana telah mengerti apa yang menyebabkan risaunya hatiku dan binggungnya pikiranku, kakang resi," kata sang prabu.   Resi Mahapati mengangguk-angguk, "Sesungguhnyalah bahwa hanba telah mengetahuinya, akan tetapi hamba tidak berani lancang dan mengaku pandai. Apakah kedukaan paduka ada hubungannya dengan desas-desus yang santer bertiup di seluruh kerajaan sekarang ini?"   Sang parbu mengangguk-angguk. "Benar kakang resi. Hal itulah yang membingungkan pikiranku karena aku selalu merasa ragu-ragu tindakan apakah yang harus kuambil. Akan tetapi yang lebih daripada itu, benarkah kakang Lembu Sora melakukan perbuatan yang hina dan keji itu?"   Dengan hati-hati Resi Mahapati menjawab, "Menurut pendapat hamba memang demikianlah adanya karena andaikata tidak demikian, pasti dimas Demung Lembu Sora akan menjadi marah sekali. Pula, kabarnya malah dimas Lembu Sora telah mengakui akan kebenaran berita itu, sinuwun."   Sang prabu memukul telapak tangan kirinya sendiri. "Sungguh aneh! Kakang Lembu Sora telah kukenal benar sebagai seorang satria utama yang gagah perkasa. Bagaimana mungkin dia melakukan perbuatan keji dan rendah itu?"   "Menurut pendapat hamba, hal itu tidaklah terlalu aneh, sinuwun. Betapa pun juga, Ronggo Lawe adalah keponakannya, maka anehlah kalau seorang paman membantu keponakannya melihat keponakannya itu terbunuh oleh Kebo Anabrang?"   "Akan tetapi kakang Lembu Sora adalah seorang yang amat setia kepadaku!"   "Hal itu tidak dapat disangkal pula, gusti. Akan tetapi ketika membunuh Kebo Anabrang, dimas Lembu Sora bukan bermaksud, memberontak atau berkhianat kepada paduka, melainkan karena perasaan pribadi melihat keponakannya terbunuh."   Sang prabu mengangguk-anggul, menyetujui. "Kalau kupikir-pikir, memang wawasanmu itu agaknya tepat, kakang resi. Akan tetapi, lalu aku harus bertindak bagaimana?"     "Memang hamba akui amat sulit bagi paduka untuk mengambil tindakan. Akan tetapi hendaknya paduka ketahui bahwa banyak para ponggawa, menteri dan senopati merasa tidak puas dan penasaran karena melihat perbuatan keji dan curang dari dimas Lembu Sora itu tidak mendapatkan pengadilan dan hukuman. Timbul anggapan mereka bahwa paduka seolah-olah membenarkan tindakan Lembu Sora membunuh Kebo Anabrang secara keji demikian itu. Hal ini amatlah tidak baik sinuwun."   "Habis, bagaimana baiknya, kakang resi?" Sang prabu makin tertekan hatinya.   "Yang terpenting dan terutama di antara segalanya adalah nama, kehormatan, dan kedaulatan paduka agar seluruh rakyat di Mojopahit tunduk dan menjunjung tinggi paduka sebagai seorang maha raja yang arif bijaksana dan adil! Oleh karena itu, dalam hal ini seyogianya kalau paduka mengesampingkan perasaan pribadi dan bertindak seadil-adilnya terhadap Lembu Sora yang jelas telah melakukan dosa besar itu. Sayangnya bahwa dimas Lembu Sora sendiri bersikap lengah, seolah-olah tidak menghargai paduka dan tidak terang-terangan saja menceritakan kepada paduka dan mohon kemurahan paduka."   Wajah sang prabu mulai merah. Terbakarlah hatinya dan timbul penasaran dan tidak senangnya kepada Lembu Sora.   "Hamba merasa heran sekali bahwa beberapa ponggawa yang masih membenarkan perbuatan Lembu Sora itu, bahkan dua orang di antaranya, yaitu Juru Demung dan Gajah Biru telah lolos dan tidak diketahui ke mana perginya, membawa pasukan yang berada di bawah asuhan mereka. Hal ini berbahaya, sinuwun. Kalau Gajah Biru berkhianat, masih tidak mengherankan karena dia adalah saudara seperguruan Ronggo Lawe, akan tetapi Juru Demung..."   "Juru Demung adalah tangan kanan kakang Lembu Sora!" Sang prabu berkata marah. "Kalau begitu biarlah sekarang juga kubebaskan Lembu Sora dan kaki tangannya itu dari tugas, kupecat mereka dengan tidak hormat!" Sang prabu sudah mulai marah sekali.   Di sinilah nampak kecerdikan Resi Mahapati. Setelah dia berhasil membakar hati sang prabu, cepat dia merobah sikap agar perbuatannya mengeruhkan suasana itu tidak nampak bekasnya, dan agar peranannya yang amat besar dan penting itu tersembunyi demi keamanan dirinya sendiri.   "Ampun, sinuwun. Harap paduka suka bersabar dan tidak menuruti kemarahan hati. Kalau paduka mengambil tindakan yang amat tiba-tiba ini, hamba khawatir akan terjadi pemberontakan dan melihat betapa banyak sekali kawan-kawan Lembu Sora, maka tentu akan terjadi malapetaka melanda Mojopahit. Harap paduka tidak terburu nafsu dan mencari kesempatan yangbaik untuk menyingkirkan Lembu sora dan kawan-kawannya tanpa menimbulkan huru-hara dan yang akan merugikan kerajaan paduka sendiri."   Sang prabu menarik napas panjang dan memandang kepada pendeta tua itu dengan sinar mata bersyukur. "Terima kasih, kakang Resi bahwa engkau telah mengingatkan aku. Memang pendapatmu benar, aku tidak akan gegabah dan terburu nafsu. Akan kupikirkan jalan terbaik untuk urusan ini."     Setelah merasa berhasil meracuni hari Sri Baginda sehingga timbul rasa penasaran dan tidak senang di hati Sri Baginda terhadap Lembu Sora, Resi Mahapati lalu mohon diri. Hatinya girang bukan main karena dia kini merasa yakin Sri Baginda tentu tidak akan ragu-ragu lagi mengambil tindakan. Akan tetapi masih banyak yang harus dia kerjakan untuk terlaksananya rencana siasatnya yang semalam telah dia atur dan rundingkan dengan selirnya terkasih yaitu Lestari! Betapa hebatnya, besar dan tingginya cita-cita Lestari, kekasihnya itu! Kalau dia sendiri hanya mengincar kedudukan patih kekasihnya itu malah mengincar kedudukan raja untuk dia dan permaisuri untuk kekasihnya itu! Bukan main! Akan tetapi, siapa tahu? Siapa tahu kalau-kalau Sang Hyang Bathara Syiwa akan memberkahinya sedemikian rupa sehingga cita-cita selirnya itu akan terlaksana!   Dengan hati yang besar Resi Mahapati lalu mengunjungi gedung Kebo Anabrang! Langsung dia menjumpai Kebo Taruno atau Juko Taruno, putera dari mendiang Senopati Kebo Anabrang. Joko Taruno ini sudah dewasa, usianya sudah dua puluh tahun lebih dan seperti juga mendiang ayahnya, pemuda ini bertubuh tinggi besar, pemberani dan semenjak kecil sudah digembleng dengan ilmu-ilmu kedigdayaan.   Ketika Resi Mahapati mengunjungi rumah Kebo Anabrang, dia disambut oleh Joko Taruno dan dipersilakan duduk di rungan tamu dengan hormat. Kemudian dengan lagsung Resi Mahapati bertanya apakah pemuda itu dan keluarganya sudah mendengar desas-desus tentang kematian ayah pemuda itu hampir lima tahun yang lalu?   Wajah pemuda yang tinggi besar itu menjadi merah, dan jelas bahwa dia menahan kemarahannya mendengar pertanyaan tentang ayahnya itu. "Kami sekeluarga justru sedang risau mendengar berita itu, paman resi."   "Apakah andika menaruh dendam atas kematian ayah andika itu?"   "Tentu saja! Kalau ayah tewas dalam perang, kami merasa bangga dan menganggap bahwa hal itu sudah sewajarnya bagi seorang satria yang menjadi senopati seperti mendiang ayah. Akan tetapi, kalau kematiannya seperti itu dibunuh secara curang seperti dikabarkan dalam desas-desus itu, apalagi dilakukan oleh kawan sendiri, hal itu sungguh menyakitkan hati dan bagaimana pun juga, harus kami balas! Mungkin kami bukanlah lawan dari Demung Lembu Sora, akan tetapi kami dapat menuntut keadilan kepada sang prabu!"   Resi Mahapati mengangkat tangannya dan menarik muka sungguh-sungguh untuk menutupi rasa girang di hatinya. "Jangan khawatir dan jangan bertindak semborono, orang muda. Percayalah kepada Sang Hyang Syiwa yang maha adil, yang menjadi korban kejahatan! Ketahuilah bahwa aku sendiri baru saja bertemu dengan sri baginda di istana, dan sri baginda sendiri sudah mendengar akan berita itu. Sri baginda masih berduka atas kematian ayah andika dan Sri baginda sedang mencari kesempatan untuk membalas kematian ayah andika itu dan membasmi Lembu Sora. Karena itu, harap andika bersabar dan jangan melakukan tindakan sendiri karena hal itu akan mengeruhkan suasana dari sang prabu. Tunggu sajalah kalau saatnya tiba, tentu andika akan berkesempatan membalas dendam dan jangan khawatir, aku sendiri pun tidak senang melihat perbuatan keji dari Lembu Sora dan akulah yang akan membantumu, angger, karena ayahmu dahulu adalah sahabat baikku."     Tentu saja hati penuda itu menjadi girang dan terharu sekali, maka dia lalu menyembah dan menghaturkan terima kasihnya kepada pendeta istana yang baik hati itu. Setelah menghibur sambil menaburkan racun dendam di dalam hati pemuda itu, Resi Mahapati lalu pulang ke gedungnya, disambut peluk cium oleh Lestari, selirnya yang sudah dirindukannya itu. Di dalam pelukan waniat muda itu, Resi Mahapati seperti biasa menceritakan segala yang telah dilakukannya selama ini dan betapa jaring-jaring yang dipasangnya untuk menangkap ikan berupa Lembu Sora makin diperketat dan hanya tinggal menanti saatnya saja! Dan hati Lestari menjadi girang dan puas. Ayahnya adalah seorang senopati atau perwira Mojopahit. Akan tetapi ayahnya tewas karena kecurangan Progodigdoyo, kemudian ibunya dan adiknya tewas pula oleh Progodigdoyo, dan dia sendiri sampai rela mengor__an tubuh dan perasaan menjadi benda permainan dan pemuas hawa nafsu Resi Mahapati. Dan semua itu, malapetaka yang menimpa keluarganya itu sama sekali tidak mendapat perlindungan dari Mojopahit, di mana ayahnya dahulu menghambakan diri. Maka kini semua bangsawan Mojopahit harus dibasmi! Caranya adalah mengadu domba di antara mereka, melalui suaminya yang cerdik itu, sampai habis! barulah tidak akan sia-sia semua pengorbanannya. Hanya inilah yang menjadi isi hati Lestari dan yang makin diperkuatnya dengan tindakan setiap harinya, yaitu dengan menyihir Resi Mahapati menggunakan kecantikan wajahnya, keranuman dan kehangatan tubuhnya, dan kehalusan rayuanya!   Resi Mahapati memang amat cerdik. Dia tidak hanya berhenti di situ saja untuk menyudutkan Lembu Sora. Dengan amat halus dia bahkan mencari kesempatan untuk menemui Lembu Sora sendiri! Dan apa yang dikatakannya ketika dia bertemu dengan Lembu sora?   "Dimas Demung Lembu Sora, hendaknya andika berhati-hati..." katanya dengan suara mengandung kegelisahan. "Keselamatan andika terancam hebat...!”   Lembu Sora menerima berita ini dengan sikap tenang saja. Dia sudah malu akan adanya desas-desus tentang dirinya dan sebagai seorang satria, dia siap sedia menanggung semua akibat daripada tindakannya lima tahun yang lalu.   "Jika kakang resi mempunyai sesuatu yang hendak disampaikan kepada saya, silakan. Saya tidak gentar menghadapi ancaman bahaya apapun." Memang pada hakekatnya Lembu Sora kurang suka kepada pendeta pemuja Bathara syiwa ini, yang dianggapnya seorang yang terlalu halus, sembunyi-sembunyi dan dia pun mendengar akan watak pendeta ini yang gila perempuan. Akan tetapi, sebagai teman sejak lama menghambakan diri kepada Mojopahit, dia tetap menghormatinya.   "Ketahuilah, Dimas Demung. Saya telah bertemu dengan keluarga Kebo Anabrang, dan Joko Taruno yang termakan hatinya oleh desas-desus tentang kematian ayahnya, bersumpah untuk membalas dendam kematian ayahnya kepada andika!"   "Hemm, hal seperti ini sudah sewajarnya dan saya tidak akan gentar menghadapinya, kakang Resi Mahapati." Jawaban yang tenang ini membuat Resi Mahapati sejenak kehilangan keseimbangannya dan tidak tahu harus berkata apa lagi. Akan tetapi memang dia seorang yang cerdik dan banyak akal bulusnya banyak buslihatnya. Dia teringat akan pesan dan nasihat selirnya yang tercinta bahwa untuk dapat menguasai kedudukan Mojopahit harus dibikin lemah dulu dan untuk membikin lemah kerajaan, para senopati harus diadu domba lebih dulu. Teringat akan nasihat ini, dia lalu berkata dengan suara yang halus namun penuh pembelaan.     Joko Taruno memang masih kanak-kanak, adimas Demung, dan dia sih boleh tidak usah dipikirkan. Akan tetapi mengingat akan permusuhan dan kebencian antara mendiang Ronggo Lawe dengan Patih Nambi, maka sudah pasti Joko Teruno akan minta bantuan Patih Nambi untuk menghadapi andika. Karena itu, maka hendaknya andika berhati-hati dan waspada."   Lembu Sora tersenyum tenang. "Kakang Resi Mahapati, di Mojopahit ini, yang saya pandang dan saya hormati, yang saya junjung tinggi hanyalah Sri Baginda. Yang lain-lain saya tidak perduli dan kalau mereka hendak mengukur luasnya dada si Lembu Sora, boleh maju, saya tidak menjadi gentar!"   Diam-diam Resi Mahapati maklum bahwa ucapan ini bukan hanya kesombongan kosong belaka dan tanpa adanya campur tangan dari sang prabu sendiri, kiranya tidaklah akan mudah untuk menjatuhkan senopati gemblengan ini.   "Benar sekali sikapmu ini, dimas Demung! andaikata benar bahwa andika dahulu membunuh Kebo Anabrang, tentu ada alasannya dan karena itu tidak perlu takut terhadap mereka. Tentang Sri Baginda, saya percaya bahwa Sri Baginda akan mengingat jasa-jasa andika dan tidak membesar-besarkan urusan ini. Dan jangan lupa, kalau sampai terjadi sesuatu, Resi Mahapati tentu akan berdiri di pihak andika, dimas Demung Lembu Sora memperjuangkan di depan Sang baginda agar andika tidak sampai mengalami malapetaka."!"   "Terima kasih, kakang resi. Akan tetapi saya tidak ingin membawa orang lain dalam urusan pribadi saya."   Biar pun di dalam hatinya dia tidak ingin sama sekali menerima kebaikan dan bantuan resi itu, namun tentu saja Lembu sora tidak mungkin menolak iktikat baik orang, maka terpaksa dia menghaturkan terima kasihnya ketika Resi Mahapati itu bermohon diri.   Untuk menemui orang-orang penting yang bersangkutan dalam politik adu dombanya, Resi Mahapati tidak mempercayakan kepada orang lain, melainkan dikerjakannya sendiri. Demikian pula, dia sendirilah yang menemui Patih Nambi dan di depan patih yang sebetulnya amat dibenci dan diirikan kedudukannya ini yang diincer untuk direbut pangkatnya, dia bicara secara berbeda sama sekali. Kepada Patih Nambi, Resi Mahapati mengatakan bahwa sang prabu marah sekali kepada Lembu Sora yang telah membunuh Kebo Anabrang secara curang, akan tetapi sang prabu yang menganggap bahwa Lembu Sora merupakan senopati yang paling berjasa dan paling setia kepada sang prabu, maka tidak akan dihukum, melainkan akan dibebaskan dari tugasnya dan sebagai gantinya, sang prabu akan mengangkat Joko Taruno, putera Kebo Anabrang. Juga diceritakan bahwa joko Taruno hendak membalas dendam kematian ayahnya, namun maksud itu dicegahnya karena kalau hal itu dicegahnya karena kalau hal itu dilaksanakan di luar kehendak sang prabu, maka tentu akan terjadi perang saudara.   "Tidak ada lain jalan," Resi Mahapati membakar hati Patih Nambi. "Hanya andika saja yang dapat membereskan si Lembu Sora itu, karena dipilihnya andika sebagai patih oleh sang prabu, dan bukan Lembu Sora, membuktikan bahwa sang prabu lebih sayang kepada andika dari pada kepada Lembu Sora. Kalau andika yang menghadap sri baginda untuk menjalankan tugas menangkap dan menghukum itu, tentu sang prabu tidak akan keberatan."   Terpikat Patih Nambi oleh cerita Resi Mahapati yang memang pandai bicara itu. Segera dia menghubungi Joko Taruno, kemudian mempersiapkan orang-orangnya, yaitu mereka yang berfihak kepada Dara Petak dan Pangeran Kolo Gemet, kemudian Patih Nambi pergi menghadapi sang prabu.     Dengan tegas Patih Nambi mengemukakan bahwa semua menteri dan senopati mengambil keputusan untuk mohon perkenan sri baginda untuk menghukum Lembu Sora yang telah membunuh Kebo Anabrang secara keji dan curang.   "Demi keselamatan Negara dan agar tidak sampai terjadi pemberontakan karena rasa penasaran di dalam hati para senopati, maka demi keadilan pula, hamba mohon agar paduka mengijinkan hamba pergi menangkap dan menjatuhkan hukuman mati kepada Lembu Sora. "   "Patih Nambi," sang prabu berkata dengan suara berduka. "Apakah engkau lupa betapa besar jasanya Lembu Sora kepada kerajaan? Bagaimana hati kami dapat tega membiarkan dia terhukum mati?"   Nambi menyembah dengan khidmat. "Hamba mengerti, sinuwun. Haba sendiri amat kagum dan suka kepada kakang Demung Lembu Sora yang hamba anggap sebagai guru hamba sendiri. Akan tetapi, hamba mengajukan permohonan ini sama sekali bukan karena perasaan pribadi hamba. Hamba tetap sayang dan menghormat kepada kakang Lembu Sora. Akan tetapi hamba lebih mementingkan keselamatan Negara, karena kalau hanya menuruti perasaan pribadi dan membiarkan kakang Lembu Sora tidak terhukum, hal ini akan mengurangi kewibawaan paduka dan tentu akan timbul anggapan bahwa paduka kurang adil. Hal itu berbahaya sekali, gusti."   Sang Prabu Kertarajasa maklum akan kebijaksanaan Patih Nambi, maka dia pun percaya sepenuhnya bahwa apa yang terucapkan oleh mulut patihnya itu adalah suara yang murni dari hati Patih Nambi. Maka makin sedihlah hatinya dan akhirnya sang prabu berkata, "Telah kupikirkan masak-masak dan telah kuputuskan Patih Nambi. Memang Lembu Sora telah berdosa dan untuk itu dia harus ditangkap kakang Lembu Sora, akan tetapi jangan dihukum mati. Dia harus dihukum buang, yaitu dibuang ke Tulembang. Nah, inilah keputusan kami, disaksikan oleh para menteri!"   Mendengar putusan sang prabu itu, Patih Nambi lalu mengadakan persiapan dan dan merundingkannya dengan para ponggawa dan senopati lainnya, karena tugas mengangkap Lembu Sora bukanlah merupakan tugas yang remeh!   Sementara itu, Resi Mahapati yang mendengarkan keputusan sang prabu ini, merasa kecewa. Kalau hanya dihukum buang saja, Lembu Sora kelak masih merupakan bahaya besar dan perintang dari cita-citanya. Juga Lestari tidak puas dan membujuk sang resi untuk mencari akal agar Lembu Sora dapat membinasakan.   Sang Resi Mahapati lalu cepat-cepat mengutus seorang kepercayaannya untuk pergi menghadap Senopati Lembu Sora dengan diam-diam. Pesuruh atau utusan itu disuruh mengabarkan kepada Lembu Sora bahwa Patih Nambi bersama Joko Taruno sedang mempersiapkan pasukan untuk menangkap Lembu Sora sebagai seorang penghkianat, dan hal ini disetujui oleh sang prabu! Dan Resi Mahapati berpesan agar Lembu Sora melarikan sesuatu. Dialah yang akan memperjuangkan ke hadapan sang prabu agar Lembu sora diampuni.   Mendengar berita ini, Lembu Sora menjadi berduka sekali. Dia tidak takut menghadapi ancaman Nambi dan Joko Taruno, akan tetapi merasa berduka mengapa sang prabu telah memberi ijin kepada dua orang itu untuk bertindak sendiri. Mengapa tidak sang prabu saja yang memanggilnya? Kalau demikian halnya, dia tentu akan menghadap dan menyerah tanpa perlawanan apa pun. Akan tetapi diserbu oleh Nambi dan Joko Taruno. Dia tidak mungkin mau menyerah. Mendengar nasihat Resi Mahapati, Lembu Sora merasa setuju karena kalau dia melawan penangkapan itu, berarti dia memberontak dan hal ini dia sama sekali tidak menghendakinya. Memberontak terhadap Mojopahit? Dalam mimpi pun tak pernah terpikirkan hal ini olehnya! Karena dia memang telah mengungsikan keluarganya semenjak ada desas-desus, dan kini setelah mendengar nasihat Resi Mahapati dan dia didatangi pula Gajah Biru yang menjadi sahabat baik dan pembantunya yang setia, akhirnya Lembu Sora lolos dari Mojopahit dan pergi bersembunyi di dalam hutan di tempat persembunyian Juru Demung, Gajah biru dan teman-teman lain serta pasukan mereka.   (Bersambung ke Jilid 18)   Jilid 18   Kedatangan dua orang pertapa itu, Empu Tunjungpetak dan Resi Harimurti, yang dijemput oleh Reksosuro dan teman-temannya, amat menggirangkan hati Resi Mahapati. Hatinya makin besar karena bantuan dua orang sakti ini amat dibutuhkannya. Dia maklum bahwa Lembu Sora adalah seorang yang memiliki kepandaian hebat dan kiranya kalau hanya mengandalkan Nambi saja, akan sukar untuk membinasakan satria yang gagah perkasa itu. Kalau dia sendiri yang turun tangan, dia yakin akan mampu mengalahkan Lembu Sora, akan tetapi hal ini sama sekali tidak dikehendakinya. Belum waktunya untuk dia turun tangan sendiri, karena masih banyak rintangan-rintangan yang harus dilenyapkan dengan diam-diam sehingga dia akan selalu bertangan bersih dan leluasa bergerak sampai dia mendekati tujuan terakhir.   Malam itu dia menjamu kakak seperguruannya, Empu Tunjungpetak dengan hidangan-hidangan lezat, pakaian-pakaian indah dan benda-benda yang berharga mahal, sedangkan untuk Resi Harimurti, dia yang sudah tahu akan kesukaan resi perantauan ini segera menyuguhkan dua orang wanita muda yang cantik-cantik, diambil dari deretan selir-selirnya sendiri, untuk menemani, melayani dan menghibur Resi harimurti yang menerima suguhan ini dengan girang sekali.   Setelah perjamuan selesai, Resi Mahapati mengajak dua orang sekutu atau pembantunya itu berunding dan mereka berdua siap untuk membantu melenyapkan Lembu Sora kalau saatnya sudah tiba. Kemudian Resi Harimurti yang sudah merasa gatal-gatal tubuhnya itu mengundurkan diri untuk berpesta sendiri dengan dua orang wanita muda yang bertugas melayaninya, sedangkan Resi Mahapati dengan kakak seperguruannya bercakap-cakap membicarakan cita-cita mereka. Ternyata kakek tua Empu Tunjungpetak itu pun tidak terbebas daripada pengejaran kemuliaan dan dia berjanji akan membantu Resi Mahapati asalkan kelak dia pun memperoleh kedudukan yang tinggi!     Sementara itu, Patih Nambi dan para pembantunya menjadi ribut ketika mendengar berita bahwa Sora telah lolos dari gedungnya dan tidak ada yang tahu ke mana perginya. Mulailah di menyebar orang-orang dan mata-mata untuk mencari tempat persembunyian senopati yang lolos itu.   Kembali Resi Mahapati memperoleh kesempatan untuk menonjolkan diri. Di dalam persidangan, ketika Patih Nambi melaporkan akan lolosnya Lembu Sora dan sri baginda menjadi marah, Resi Mahapati dengan berani berkata, "Hamba mohon agar gusti sinuwun suka bersabar. Sebaiknya urusan mengenai adimas Demung Lembu Sora ini dipertimbangkan dengan kesabaran, mengingat akan jasa-jasanya."   "Bagimana dapat sabar kalau jelas bahwa dia melarikan diri?" Tiba-tiba Patih Nambi membantah pendapat Resi Mahapati itu. "Sikapnya itu saja sudah menunjukkan bahwa dia hendak memberontak!"   Resi Mahapati tersenyum sabar lalu menyembah kepada sang prabu yang hanya mendengarkan dengan bingung dan prihatin. Raja ini memang benar-benar prihatin akan peristiwa yang menimpa Kerajaan Mojopahit. Luka yang menggores perasaan sang prabu akibat tewasnya Ronggo Lawe dan Kebo Anabrang masih belum sembuh benar, kini ditambahinya lagi dengan urusan Lembu Sora yang lebih menyakitkan hatinya.   "Ampun, kanjeng sinuwun. Hamba tidak dapat menerima pendapat dimas Patih Nambi bahwa kepergian dimas Lembu Sora tanp pamit merupakan pemerontakan. Keputusan paduka belum disampaikan kepdanya, maka bagaimana dia bisa dianggap memberontak? Mungkin dia hanya merasa tidak enak dan untuk sementara menjauhkan diri."   "Kakang Resi Mahapati, apakah andika hendak melindungi Lembu Sora dan berpihak kepada pemberontak?" Patih Nambi kembali menyerangnya.   Resi mahapati tersenyum cerdik. "Maaf, dimas patih, akan tetapi agaknya andika lupa bahwa kita sedang menghadap gusti sinuwun dan tidaklah patut untuk berbantahan di hadapan gusti sinuwun tanpa perkenan beliau."   Wajah Patih Nambi menjadi merah sekali dan cepat-cepat dia menyembah kepada sri baginda. "Harap ampunkan hamba, gusti..."   Sang Prabu menarik napas panjang. "Sudahlah, perlu apa bertengakar seperti anak kecil atau wanita cerewet? Paman Brahmonorojo, sebagai sesepuh Mojopahit, saya mengharapkan pandangan dan nasihat andika, paman pendeta."   Kakek yang usianya sudah tujuh puluh lima tahun itu, yang rambutnya sudah putih dan sikapnya sabar sekali, segera merangkap kedua tangan di depan dada. "Awan hitam tebal tergantung di atas kerajaan paduka, gusti sinuwun. Kalau tidak pandai-pandai paduka menghadapinya, kemelut dapat mengegerkan Mojopahit. Hamba setuju dengan pendapat adi Resi Mahapati agar diadakan perundingan dan permusyawaratan mengenai anakmas Demung Lembu Sora. Jalan perundingan selalu lebih baik daripada jalan senjata."   Sang prabu mengangguk-angguk setuju. "Akan tetapi kakang Lembu Sora telah lolos, tidak tahu ke mana perginya. Bagaimana kami dapat mengadakan perundingan dengan dia?"     Brahmana yang bijaksana dan berhati lembut itu lalu berkata lagi, Hyang Widhi Wasa selalu akan berpihak kepada yang penuh welas asih, gusti sinuwun. Sang Hyang Brahma yang maha kuasa tentu akan melindungi dan memberkahi tindak bijaksana, adil namun penuh dengan welas asih. Sebaiknya, kalau menurut pendapat hamba, paduka menulis sebuah surat kepada anakmas Lembu sora, surat peringatan yang halus dan bijaksana. Kemudian biarlah seorang utusan mengantarkan surat itu kepada anak mas Lembu Sora. Kalau dicari dan diselidiki oleh seorang utusan saja, tentu akan mudah ditemukan dan anakmas Lembu Sora tidak akan menaruh curiga, berbeda dengan kalau yang mencari itu merupakan pasukan."   Sri Baginda merasa girang sekali. Segera diperintahkan seorang ahli sastera menyusun surat untuk Lembu Sora. Surat itu cepat dibuat dan selesai, lalu diperiksakan oleh Sang Prabu yang mengangguk-angguk setuju. Bunyi surat peringatan halus itu adalah bahwa menurut undang-undang Kutaramanawa yang merupakan hukum di Mojopahit, kesalahan yang dilakukan oleh Lembu Sora seharusnya dihukum mati. Namun mengingat akan jasa-jasanya, sang prabu berwenang mengampuninya dan membaskan dengan hukuman mati itu dan sebagai gantinya, Lembu Sora dipindahkan ke Tulembang.   Patih Nambi lalu memilih seorang kepercayaannya yang bernama Rahino untuk membawa surat itu dan mencari Lembu Sora, menyerahkan surat dan minta balasannya. Pada hari itu juga, berangkatlah Rahino membawa surat sri baginda, menunggang kuda dan mulai menyelidiki jejak Lambu Sora. Persidangan dibubarkan. Persidangan dibubarkan karena sri baginda merasa lemas lahir batinnya setelah menghadapi peristiwa-peristiwa yang menyedihkan dan menegangkan itu.   Usul-usul yang diajukan oleh Panembahan bahan Brahmonorojo memang tepat sekali, biar pun usul-usulnya yang diterima oleh sang prabu itu tidak memuaskan, bahkan mendatangkan rasa penasaran di dalam hati orang, yaitu Nambi dan Mahapati. Menurut Nambi, Lembu Sora sudah jelas memberontak dan jalan satu-satunya untuk mengamankan Negara hanyalah menumpas dan membinasakannya untuk contoh para ponggawa lain. Sedangkan Mahapati tidak puas karena pelaksanaan seperti yang diusulkan oleh Panembahan Brahmonorojo itu sama sekali menyimpang daripada rencana dan siasatnya semula. Akan tetapi dia tidak berani menentang, hanya diam-diam dia memutar otak mencari akal dan ketika dia pulang dari persidangan, cepat-cepat dia berunding dengan selirnya dan juga dengan dua orang pembantunya yang amat dipercayanya, yaitu Resi Harimurti dan Empu Tunjungpetak.   Seperti yang telah diperhitungkan oleh Panembahan Brahmonorojo dalam usul-usulnya, benar saja amat mudah bagi Rahino untuk mencari jejak Lembu Sora. Semua orang yang bersimpati kepada Lembu Sora tentu akan membungkam dan merahasiakan di mana adanya senopati yang lolos dari Mojopahit itu. Akan tetapi ketika mereka ini mendengar bahwa Rahino adalah utusan sang prabu untuk menyerahkan surat dari sri baginda sendiri untuk Lembu Sora, mereka cepat membantu Rahino dan mengantarkan utusan ini ke Pegunungan Pandan di mana Lembu Sora bersembunyi!   Rahindo akhirnya tiba di tengah hutan yang menjadi tempat persembunyian Lembu Sora, Juru Demung, Gajah Biru dan para pasukan pengikut mereka. Karena Rahino diantar oleh orang-orang yang telah mereka kenal, maka Rahino diterima dengan baik dan segera dihadapkan dengan Lembu Sora.     Rahino cepat menyembah dengan hormat, gentar hatinya berhadapan dengan senopati yang amat gagah, tinggi besar dan berwibawa seperti Sang Aryo Seno itu, akan tetapi yang rambutnya kusut dan wajahnya muram pada saat itu.   "Benarkah andika ini utusan gusti sinuwun?" Lembu Sora bertanya dan pandang matanya tajam penuh selidik.   "Benar sekali, gusti demung. Hamba diutus menyerahkan surat dari gusti sinuwun kepada gusti demung."   "Berikanlah kepadaku!" lembu Sora berkata penuh gairah. Selama bersembunyi ini, hatinya berduka bukan main. Kalau ada hal yang paling disusahkan di dunia ini adalah bersikap sebagai pemberontak Mojopahit! Dan sikapnya ini memang tiada bedanya dengan pemberontak. Itulah yang menyusahkan hatinya!   Juru Demung, Gajah Biru dan kawan-kawan mereka memandang dengan penuh perhatian ketika Lembu Sora membuka surat dari sang prabu itu dengan kedua tangan gemetar kemudian membawa surat itu sambil berdiri saja. Sukar mengira-ngira bunyi surat dari wajah yang tenang dan sama sekali tidak berobah tenang dan sama sekali tidak berobah itu, akan tetapi perlahan-lahan kedua mata itu menajdi basah dan dua butir air mata yang besar menetes turun. Hanya dua bitir itu saja, namun sudah cukup bagi para satria yang menyaksikannya, karena melihat seorang satria seperti Lembu Sora menangis sama sukarnya dengan melihat hujan turun di musim kemarau. Dua butir air mata itu cukup banyak untuk membuktikan betapa perasaan satria itu amat terharu dan tertusuk oleh bunyi surat dari junjungan yang dicinta dan dihormatinya itu.   Lembu Sora mengepal surat itu, mencium dan menekan pada dadanya, kemudian terdengar suaranya yang lantang, "Aku telah berdosa besar! Juru Demung Gajah Biru dan kawan-kawan sekalian, kalian telah berdosa, kita berdosa kepada Gusti Sinuwun!" Suaranya lantang terdengar penuh penyesalan.   "Kakang Lembu Sora, apakah yang kakang maksudkan?" Juru Demung bertanya heran.   "Bagaimana isi surat dari sang prabu, kakang Lembu Sora?" Gajah Biru juga bertanya, penasaran melihat sikap Lembu Sora selunak itu.   Lembu Sora menoleh kepada utusan dari Mojopahit dan berkata, "Kisanak, kau tunggulah di luar, aku hendak menulis balasan untuk gusti sinuwun."   Rahino memberi hormat lalu mundur, ke luar menunggu di ruangan depan. Setelah utusan itu keluar, Lembu Sora lalu berkata kepada dua orang pembantunya itu, didengarkan pula oleh banyak orang, "Gusti sinuwun mengingatkan aku bahwa untuk segala perbuatan telah diatur undang-undangnya di dalam Kutaramanawa, dan menurut undang-undang Mojopahit, jelas bahwa aku harus dijatuhi hukuman mati. Akan tetapi gusti sinuwun mengampunkan kesalahanku dan tidak menjatuhkan hukuman mati, melainkan memindahkan aku ke Tulembang."   "Itu berarti dibuang!" seru juru Demung.   "Diasingkan!" sambung Gajah Biru.     Lembu Sora menarik napas panjang. "Dibuang, diasingkan atau apa pun juga, namun jelaslah bahwa gusti sinuwun memperlihatkan rasa sayangnya kepadaku, dan isi surat ini sekaligus menyadarkan aku bahwa kita telah salah besar! Kita terlalu mementingkan urusan pribadi sehingga lupa akan kepentingan yang lebih besar, yaitu ketenteraman Mojopahit! Kita terlalu mementingkan diri sendiri sehingga untuk mempertahankan kepentingan diri pribadi, kita lupa bahwa kalau dilanjutkan, akan terjadi perang dan hal ini akan mengakibatkan kerusakan hebat di Mojopahit, dan akan menimbulkan kesengsaraan besar kepada rakyat jelata. Kita salah, adi Demung dan adi Gajah Biru."   Sunyi senyap menyambut ucapan Lembu Sora yang lantang itu. Mereka semua adalah satria-satria yang berjiwa pahlawan, yang mencinta Mojopahit melebihi nyawa sendiri, yang sudah banyak berjuang demi kejayaan Mojopahit dan kini mereka berdiri sebagai lawan yang berhadapan dengan Mojopahit. Tentu saja hal itu amat menyedihkan hati mereka dan kini Lembu Sora yang mereka pandang sebagai pelopor dan pimpinan, mengingatkan mereka akan hal itu! Otomatis semangat perlawanan mereka terhadap Mojopahit menjadi kendur dan semua orang menundukkan kepala, tidak dapat membantah kebenaran ucapan Lembu Sora bahwa sebetulnya yang membuat hati mereka memberontak terhadap Mojopahit adalah karena urusan pribadi, sama sekali bukan karena kelaliman sang prabu terhadap mereka! Yang terjadi adalah pertikaian antara teman atau bekas teman seperjuangan, maka kalau sekarang karena urusan pribadi itu mereka menentang sang prabu, sungguh merupakan hal yang amat rendah bagi seorang satria!   "Kakang Lembu Sora, lalu bagaimana baiknya dan apa yang hendak kakang lakukan sekarang?" akhirnya Juru Demung mengajukan pertanyaan yang memecah kesunyian ini, dan semua orang seolah-olah menahan napas hendak mendengarkan jawaban pimpinan itu yang akan merupakan keputusan bagi mereka semua agaknya.   Agaknya lama Lembu Sora tidak menjawab, seolah-olah sukarlah jawaban itu keluar dari mulutnya. Kemudian terdengar dia berkata lambat-lambat, "Apa yang akan kulakukan ini sama sekali tidak merupakan keharusan untuk andika sekalian. Kalau andika sekalian mengikuti aku, hal itu amatlah baik, tanda bahwa kalian masih memiliki kesetiaan terhadap Mojopahit sebagaimana layaknya satria-satria utama. Akan tetapi kalau tidak pun aku tidak akan memaksa kalian. Aku harus menulis surat jawaban kepada gusti sinuwun dan selain aku akan mohon ampun atas disa-dosaku, juga aku akan menyatakan cinta kasih dan baktiku terhadap sang prabu dan Mojopahit, dan aku bersedia untuk menyerahkan jiwa ragaku kepada gusti sinuwun. Terserah kepada beliau, apa pun yang akan dilakukan kepadaku, hukuman apa pun yang akan dijatukan kepadaku akan kuterima sebagai tanda baktiku terhadap Negara. Pendeknya aku menyerah tanpa syarat."   Kembali keadaan di dalam rumah besar itu menjadi sunyi sekali. Muka-muka menjadi pucat dan pandang-pandang mata kehilangan semangatnya. Ada yang saling pandang di antara kawan-kawan terdekat, namun tidak ada yang dapat mengeluarkan suara karena mereka semua terhimpit di antara dua hal. Pertama, kebenaran yang diucapkan oleh lembu Sora sebagai seorang satria dan Senopati Kerajaan Mojopahit yang setia, kedua, rasa penasaran dihati mereka untuk menentang sebagai pembelaan diri. Namun akhirnya, kesunyian itu dipecahkan oleh suara Gajah Biru yang nyaring, "Aku siap mengikuti jejak kakang lembu Sora!"   "Aku juga sehidup semati dengan kakang Lembu Sora!" sambung Juru Demung.     Dan ramailah suara-suara mereka menyatakan setuju dan hendak ikut Lembu Sora untuk menghadap sang prabu dan menyerahkan jiwa raga mereka ke tangan junjungan mereka itu. Akan tetapi, ada juga beberapa perwira yang tidak setuju, terutama sekali para anggota pasukan yang tidak rela untuk mati atau menerima hukuman begitu saja. Mereka ini tidak menjawab dan diam-diam mereka lalu mengundurkan diri dari persidangan itu. Lembu Sora maklum akan hal ini akan tetapi dia tidak menentang mereka dan bahkan tidak mengatakan sesuatu.   Ditulisnyalah sepucuk surat untuk sang prabu oleh Lembu Sora, yang isinya menyatakan bahwa tiga hari lagi mereka akan menghadap ke Mojopahit untuk menyerahkan jiwa raganya kepada sang prabu di Mojopahit. Rahino lalu dipanggil dan kepada utusan ini diserahkanlah surat jawaban Lembu Sora itu. Setelah berpamit, berangkatlah Rahino membalapkan kudanya meninggalkan Pegunungan Pandan untuk kembali ke kota raja. Biar pun senja telah larut, namun sebagai seorang utusan yang menempuh kegelapan malam agar secepatnya dapat tiba di mojopahit. Dia orang perwira pasukan Lembu Sora mengawalnya dan tiga orang ini membalakan kuda mereka. Untung bahwa malam itu tidak begitu gelap, karena selain bulan muncul sepotong, juga langit bersih dan bintang-bintang menambah cahaya bulan yang redup.   Akan tetapi, baru saja mereka meninggalkan daerah Pegunungan Pandan, di tengah perjalanan mereka bertemu dengan serombongan orang yang ternyata adalah rombongan pengawal yang mengawal Resi Mahapati! tentu saja pertemuan ini bukan kebetulan belaka karena memang sang resi telah sejak tadi menghadang di tempat itu dan hanya pura-pura bertemu secara kebetulan.   "Eh, Rahino, apakah surat gusti sinuwun telah diterima dengan selamat oleh Lembu Sora?" Mahapati yang pura-pura hendak menyelidiki keadaan Lembu Sora itu bertanya.   Sebetulnya utusan ini tidak senang karena terganggu perjalanannya, akan tetapi karena dia mengenal sang resi sebagai seorang yang berpengaruh di istana, maka dia menjawab juga.   "Sudah sang resi."   "Hemm, bagaimana penerimaan Lembu Sora? Apakah dia handak membangkang dan memberontak?"   "Hamba tidak tahu pasti, sang resi. Akan tetapi kelihatannya tidak sedemikian, bahkan menurut cerita para anak buahnya, Gusti Demung Lembu Sora tiga hari lagi akan menghadap gusti sinuwun dan sekarang hamba telah membawa surat balasannya untuk gusti sinuwun."   Hati Resi mahapati menjadi kecewa. "begitukah? Coba aku hendak melihat bunyi surat pemberontak itu, Rahino."   Rahino terkejut sekali, juga terheran-heran dan khawatir. Hampir dia tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Sebuah surat untuk sang prabu tentu saja tidak boleh dilihat oleh siapa pun juga. Yang lancang melihatnya tanpa ijin sang prabu berarti melakukan dosa yang dapat dihukum mati! Dan seorang yang berkedudukan tinggi seperti Resi Mahapati, kepala dari golongan pemuja besar juga di istana, berarti seorang yang berpangkat tinggi, tentu sudah tahu akan peraturan ini.     "Ah, hal itu tidak mungkin hamba lakukan, sang resi."   Resi Mahapati mengulurkan tangan kanannya dan berkata dengan suara bernada mengancam, "Serahkan surat itu dan jangan banyak cakap, Rahino!"   "Tidak, tidak banyak akan hamba serahkan!" Rahino menjawab keras dan dua orang pengawalnya pun sudah bangkit dan maju menghampiri.   "Bunuh mereka!" Sang Resi Mahapati memerintah dan dua belas orang pengawalnya serentak maju menyerang rahino dan dua orang pengawalnya. Dapat dibayangkan betapa heran dan kaget rasa hati utusan ini. Dia dan dua belas orang temannya berusaha membela diri, namun dua belas orang pengawal Resi Mahapati itu adalah jagoan-jagoan pilihan, maka dalam waktu singkat saja Rahino dan dua orang itu tewas di ujung banyak keris dan Rahino membawa rasa kaget dan herannya ke alam kematian yang penuh rahasia! Andaikata dua belas orang pengawal itu kurang kuat, masih ada Resi Mahapati sendiri yang sakti dan tentu dengan mudah merobohkan Rahino dan dua orang temannya, maka melawan pun tidak ada gunanya bagi utusan itu.   Sambil tersenyum lebar, Resi Mahapati mencari surat itu dan akhirnya menemukan surat balasan Lembu Sora itu di dalam saku baju dalam Rahino. Dibukanya surat itu dengan hati-hati agar jangan sampai rusak sampulnya, lalu dibacanya di bawah penerangan obor yang dinyalakan oleh anak buahnya. Membaca surat Lembu Sora yang menyatakan setianya terhadap Mojopahit dan yang menyerahkan jiwa raganya kepada sang prabu, Mahapati tersenyum dan menggeleng-geleng kepala.   "Tidak akan begitu jadinya, Lembu Sora. Tidak akan semudah itu kau lolos dari kematian!"   Dia lalu memerintahkan anak buahnya untuk melemparkan tiga mayat itu ke dalam jurang di kaki Pegunungan Pandan, kemudian pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia dan para pengawalnya mendaki pengunungan itu menuju ke dalam hutan yang menjadi tempat persembunyian Lembu Sora!   Para penjaga terheran-heran dan menaruh curiga melihat munculnya sang resi dan dua belas orang pengawalnya di luar hutan. Mereka segera bersiap-siap menghadang, dan ada pula yang melapor kepada Lembu Sora. Ketika Lembu Sora mendengar bahwa Resi Mahapati datang dan menyatakan hendak bertemu dan bicara dengannya, bekas senopati ini lalu keluar menyambut dan mempersilakan sang resi masuk ke dalam rumah untuk bicara. Juru Demung, Gajah Biru dan beberapa orang teman mereka menemani Lembu Sora menyambut tamu yang tak terduga-duga datangnya dan yang menimbulkan keraguan dan kecurigaan itu.   "Ahh, untung bahwa akhirnya saya dapat berhadapan dengan dimas Lembu Sora!" Resi Mahapati berkata dengan sikap lega.   "Setelah andika tiba dengan selamat di tempat persembunyian saya ini, kakang Resi Mahapati, sungguh amat mengherakan hati saya mengapa andika datang ke sini dan bagaimana pula andika datang ke sini dan bagaimana pula andika tahu bahwa saya berada di sini, kemudian berita apa yang anda bahwa?"   (Bersambung ke Jilid 19)   Jilid 19   Mahapati menarik napas panjang. "Inilah beratnya mempunyai seorang sahabat yang selalu kukagumi!" Dia memandang kepada semua orang, lalu menyambung, "Dimas Lembu Sora, terus terang saja, saya dengan sudah payah menyelidiki tempat persembunyian andika dan akhirnya dapat juga tiba di sini setelah melakukan perjalanan semalam suntuk, hanya karena saya mengkhawatirkan keselamatan andika yang terancam bahaya maut!"   Semua orang terkejut mendengar ini, akan tetapi Lembu Sora masih tenang dan bahkan menatap wajah resi itu dengan tajam penuh selidik. "Apa sebabnya andika berpendapat demikian?"   "Dimas Lembu Sora, sayalah orangnya yang membujuk-bujuk gusti sinuwun, mengampuni dosa-dosa andika, sungguh pun usaha saya itu ditentang mati-matian oleh Patih Nambi yang menghendaki kematian andika."   "Hemmm, terima kasih kalau benar demikian, kakang resi. Lalu bagaimana?"   "Dalam persidangan itu, gusti sinuwun telah menyetujui untuk mengampunimu dan hanya memindahkan andika ke Tulembang. Apakah andika telah menerima surat keputusan gusti sinuwun yang dibawa oleh seorang utusan itu?"   "Utusan Rahino?" Lembu Sora menjawab. "Sudah, kakang resi, dan Rahino telah pula membawa balasan saya dan kembali ke Mojopahit malam tadi."   "Ahhh..., dan bagaimana pendapat andika? Kalau boleh saya mengetahui, bagaimana andika menjawab keputusan gusti sinuwun itu?"   Lembu Sora mengerutkan alisnya, berat rasa hatinya untuk menjawab. Resi ini terlalu ingin tahu urusan orang, pikirnya, satu sifat yang amat tidak baik! Agaknya Mahapati mengerti akan keraguan ini, maka dengan lagak yang meyakinkan dan cerdik sekali dia berkata, "Dimas Lembu Sora, percayalah bahwa keinginan tahu dan kecerewetanku ini dengan kebaikan andika sendiri. Kalau tidak keliru perhitunganku atas watak satria andika, seperti telah kubayangkan ketika saya memperjuangkan pengampunan andika di depan gusti sinuwun, andika tentu siap sedia menyerah kepada junjungan kita itu, bukan?"   Lembu Sora mengangguk. Memang tidaklah sukar bagi semua senopati dan ponggawa di Mojopahit untuk menduga apa yang akan dilakukannya karena mereka semua telah mengenal dia sebagai seorang senopati yang amat setia lahir batin terhadap Mojopahit.   "Memang benar demikian, kakang resi. Saya menjawab kepada gusti sinuwun bahwa tiga hari lagi saya dan kawan-kawan akan menyerahka diri ke Mojopahit, menyerah tanpa syarat dan akan mentaati segala perintah dan hukuman yang dijatuhkan oleh kanjeng sinuwun."     Nah, itulah celakanya!" tiba-tiba Resi Mahapati berseru. "Sudah kuduga demikian dan si licik Nambi pun sudah menduganya demikian, maka perangkap telah dipasangnya untuk mencelakakan andika!"   Semua orang terkejut sekali mendengar ini, dan Lembu Sora dengan tatapan mata penuh selidik dan ragu bertanya, "Harap andika jelaskan, kakang resi. Perangkap apa yang andika maksudkan itu?"   "Begini, dimas Lembu Sora. Seperti telah saya katakan tadi, dengan susah payah saya membujuk gusti sinuwun agar mengampuni andika, akan tetapi Patih Nimbi berkeras menentangnya sampai akhirnya dia pun tunduk atas keputusan gusti sinuwun. Akan tetapi, para sahabatku mencium rahasia yang direncakan oleh Patih Nambi, bahwa jika andika muncul untuk menyerahkan diri, begitu tiba di depan istana, di alun-alun andika akan dikeroyok dan dibunuh oleh anak buah Patih Nambi."   "Ah, si keparat!" Gajah Biru sudah sudah membentak dan mengepal tinju, matanya meyala-nyala. "Akan kubunuh si keparat Nambi!" Tentu saja Gajah Biru marah sekali karena memang satria ini membenci Nambi, mendendam atas kematian kakak seperguruannya, yaitu Ronggo Lawe yang juga memberontak karena Nambi.   "Sabarlah, dimas. Jangan terburu nafsu, karena belum ada bukti dan kenyataan bahwa Nambi akan melakukan hal yang rendah itu." Ucapan Lembu Sora ini selain menyabarkan Gajah Biru, juga sekaligus terang-terangan menyatakan belum percaya kepada keterangan Resi mahapati.   Tentu saja sang resi yang cerdik itu maklum akan hal ini, dan dia memang sudah mempersiapkan jawaban dan siasat untuk menghadapi segala kemungkinan. "Sudah sepantasnya kalau andika tidak percaya kepada keterangan saya, dimas Lembu Sora, dan memang demikianlah hendaknya, seorang satria harus selalu berhati-hati dalam segala tindakan dan tidak mendengarkan keterangan satu pihak saja. Dan saya pun bersusah payah memberi tahu andika tanpa pamrih untuk diri sendiri, hanya ingin melihat andika selamat dari marabahaya. Ada pun kemudian andika percaya atau tidak, terserah kepada andika, akan tetapi saya telah memenuhi kewajiban sebagai seorang manusia dan sahabat yang hendak menyelamatkan andika."     "Maaf, kakang resi. Bukan semata-mata saya tidak percaya. Akan tetapi kiranya mustahil kalau di Nambi berani berbuat seperti itu. Dan mengapa andika tidak melaporkan saja kepada gusti sinuwun, melainkan datang dan mengabarkan hal itu kepadaku?"   "Ahh, mengapa adimas masih bertanya lagi? Ki patih Nambi adalah seorang patih hamengkubumi yang berpengaruh dan berkuasa, sedangkan saya ini apakah? Saya hanya seorang kepala golongan agama yang kecil saja kedudukan saya. Karena Patih Nambi hanya baru merencanakan, tanpa bukti, mana saya berani melapor kepada gusti sinuwun? Akan tetapi sudah sepatutnya kalau andika curiga atau kurang percaya kepada saya, oleh karena itu sebaiknya andika berhati-hati dan untuk membuktikan kebenaran pemberitahuan saya ini, dapat andika atur kalau andika nanti menghadap ke Mojopahit. Sebaiknya jangan andika datang bersama-sama dengan adi Juru Demung, Gajah Biru dan yang lain-lain. Andika saja seorang diri dan yang lain-lain mengiringkan jauh di belakang sambil melihat gelagat. Kalau tidak terjadi sesuatu, sudahlah, dan anggap saja bahwa saya hanya seorang tua cerewet yang tak dapat dipercaya! Akan tetapi kalau pada saat andika tiba di depan istana lalu muncul Nambi dan para anak buahnya hendak menangkap atau membunuh andika, nah baru teman-teman andika turun tangan membela diri dan membasmi Nambi yang curang dan khianat itu."   Lembu Sora mengerutkan alisnya dan termenung. Setelah Mahapati bicara demikian mau tidak mau dia harus percaya juga dan mulailah dia bercuriga kepada Patih Nambi.   "Bagus! Memang sebaiknya diatur seperti itu, kakang Lembu Sora!" Juru Demung berkata. "Kalau tidak terjadi apa-apa kita menyerah tanpa syarat. Akan tetapi kalau benar Nambi bertindak curang, kita basmi dia dan sekutunya, kemudian baru kita menyerah kepada gusti sinuwun!"   "Tepat sekali! Aku setuju!" Gajah Biru juga berseru dan yang lain-lain juga menyatakan setuju dengan sikap dan pendapat itu.   "Dan percayalah, saya selalu akan membantu andika, adimas Lembu Sora. Dalam keributan itu tentu saja saya tidak dapat mencampuri, akan tetapi sayalah yang kelak akan membela andika di depan gusti sinuwun setelah andika berhasil membasmi di penghianat Nambi. Sekarang, saya mohon diri, karena tidak baik kalau sampai diketahui kaki tangan Nambi bahwa saya datang berkunjung di sini."   Maka pergilah Resi Mahapati setelah menerima ucapan terima kasih dari Lembu Sora dan kawan-kawannya, yang kini menganggap sang resi itu benar-benar seorang yang baik hati dan membela mereka! Setelah sang resi dan para pengawalnya pergi, mereka lalu mengaakan perundingan.   "Bagaimana pun juga, biar keterangan-keterangan dari Resi Mahapati agaknya boleh dipercaya, akan tetapi kita harus berhati-hati dan jangan sembrono turun tangan kalau tidak ada buktinya lebih dulu. Aku akan berjalan di depan dan kalian agak menjauh di belakang sambil melihat keadaan, jangan sembarangan turun tangan kalau aku belum memberi tanda, sungguh pun Nambi dan kaki tangannya telah muncul. Harap perhatikan ini, demi ketentraman Mojopahit."   "Ha-ha-ha. Memang benar sekali! Jangan terlalu percaya kepda manusia macam Resi Mahapati!" tiba-tiba terdengar suara tertawa dan kata-kata yang diucapkan dengan nyaring itu.     Lembu Sora terkejut sekali, akan tetapi Juru Demung dan Gajah Biru cepat bangkit dan memandang kearah pintu dengan wajah berseri. Mereka mengenal suara Ki Jembros!   "Kakang Lembu Sora, itulah Ki Jembros seperti yang kami ceritakan kepadamu. Agaknya dia telah keluar dari pertapaannya!" bisik Gajah Biru.   "heh-heh-heh, benar juga ucapanmu itu, Raden Gajah Biru! Akan tetapi aku tidak bertapa di gubuk ini, melainkan mengobati luka-lukaku. Untung telah sembuh karena aku harus melindungi kalian di Mojopahit nanti!"   Kiranya setelah dahulu bersama muridnya, Sulastri, tiba di tempat persembunyian gajah Biru dan Juru Demung dalam keadaan luka di sebelah dalam tubuhnya akibat adu tenaga melawan Empu Tunjukpetak dan Resi Harimurti. Ki Jembros menyuruh muridnya menyamar sebagai pria dan melanjutan perjalanan seorang diri ke Gunung Bromo untuk mencari eyang gurunya, yaitu Empu Supamandrangi. Sedangkan Ki jembros sendiri lalu membangun sebuah gubuk di hutan itu, dibantu oleh anak buah Juru Demung, kemudian dia memasuki gubug di hutan itu, dibantu oleh anak buah Juru Demung, kemudian dia memasuki gubuk dan berpesan agar siapa pun juga tidak boleh membuka pintu gubuk, bahkan mendekati pun tidak boleh! Tentu saja semua orang yang mengenal kesaktian dan keanehan kakek itu, mentaati dan sampai dua bulan lebih gubuk itu tidak diganggu, bahkan tidak ada yang berani mendekati. Kini, tahu-tahu suara kakek itu terdengar dengan lantang di waktu mereka mengadakan perundingan yang amat penting itu.   Lembu Sora terkejut dan kagum bukan main. Kakek itu telah bicara dengan suara demikian jelasnya, padahal orangnya tidak kelihatan, dan dapat mendengar suara Gajah Biru tadi. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa kakek yang bernama Ki Jembros itu benar-benar seorang yang sakti mandraguna! Maka dia pun cepat berkata dengan hormat, "Kalau memang paduka berkenan membantu kami, saya persilakan paduka untuk menghadiri perundingan kami."   Terdengar suara nyaring dan angin menyambar dahsyat dari arah pintu, kemudian tahu-tahu ada bayangan berkelebat dan kakek itu telah duduk di atas sebuah bangku di antara mereka yang sedang berunding! Kini keadaannya menjadi aneh jembel lagi. Selama melakukan perjalanan dengan muridnya, Sulastri yang menyayang gurunya itu masih menjaganya, mencucikan pakaiannya dan seringkali membujuk gurunya untuk mandi. Akan tetapi, selama dua bulan lebih dia berdiam di dalam gubug itu, maka kini begitu muncul, pakaiannya sudah lapuk-lapuk, rambutnya awut-awutan dan kusut, badannya penuh debu dan tanah, kelihatan kotor tiada bedanya dengan seorang jembel.   Akan tetapi Lembu Sora tidak pernah menilai manusia dari pakaian atau keadaan lahiriahnya. Dia mengenal manusia sakti, maka cepat dia memberi hormat dan berkata. "Saya Lembu Sora yang bodoh menghaturkan sembah dan hormat kepada paman penembahan yang mulia."   "Ha-ha-ha-ha! Nama besar Senopati Ki Demung Lembu Sora telah terkenal di seluruh jagad, sedangkan Ki Jembros seorang jembel tua, harap andika jangan terlalu mengangkat tinggi padaku, aku takut kalau jatuh, ha-ha! Makin tinggi kita duduk, makin ngerilah kalau sampai jatuh!"     Mereka melanjutkan perundingan dan makin besarlah hati mereka karena Ki Jembros yang ingin sekali bertemu kembali dengan Empu Tunjukpetak dan Resi Harimurti di samping hendak melindungi Lembu Sora, menyatakan hendak ikut menemani mereka dan akan membantu kalau-kalau benar terjadi seperti yang dikatakan oleh Resi Mahapati tadi, yaitu bahwa Patih Nambi telah memasang perangkap dan akan mencelakakan Lembu Sora dan kawan-kawannya.   ***   Kita tinggalkan dulu Lembu Sora dan kawan-kawannya yang mengadakan perundingan untuk menghadapi perangkap yang mungkin dipasang oleh Patih Nambi pada saat mereka menghadap ke Mojopahit esok lusa, dan kita mengikuti perjalanan Resi mahapati yang penuh dengan tipu daya dan muslihat licik itu.   Setelah meninggalkan Pegunungan Pandan dan tiba kembali di Mojopahit lagsung saja Resi mahapati mohon menghadap sang prabu. Dan begitu dia menghadap sri baginda, Sang Resi Mahapati menghaturkan sembah, lalu berkata, "Mohon ampun bahwa hamba datang menghadap membawa berita yang amat buruk dan berbahaya, gusti sinuwun. Ternyata bahwa dugaan hamba meleset jauh dan Lembu Sora benar-benar hendak berkhianat terhadap Mojpahit!"   Berubah wajah sang mata mendengar ini dan cepat dia berkata, "Kakang Resi Mahapati, cepat ceritakan apa yang telah terjadi!"   "Seperginya utusan Rahino membawa surat paduka untuk Lembu Sora, hati hamba merasa tidak enak, maka diam-diam hamba membawa pengawal untuk membayangi perjalanan Rahino yang menuju ke Pegunungan Pandan di mana Lembu Sora, Juru Demung dan Gajah Biru beserta teman-teman mereka bersembunyi. Hamba membayangi dari jauh dan hamba melihat betapa kemudian utusan paduka itu dibunuh oleh Lembu Sora dan kaki tangannya."   "Ah, si keparat! Berani membunuh utusan raja?" sang prabu membentak marah.   "Mereka melemparkan mayat Rahino dan dua orang yang menjadi petunjuk jalan dan dua orang yang menjadi petunjuk jalan ke tempat persembunyian itu. Melihat itu, hamba menjadi marah sekali dan pada keesokan harinya, hamba berkunjung ke tempat Lembu Sora."   "Hemm, berani sekali andika, kakang resi."   "Di antara hamba dan adimas Lembu Sora tidak ada permusuhan apa-apa, dan pula, hamba merasa perlu untuk menegurnya. Hamba lalu berjumpa dengan Lembu Sora dan terang-terangan hamba menegurnya, dengan berpura-pura memihaknya, dengan berpura-pura memihaknya dan baik kepadanya. Lalu hamba minta agar dia mengambil keputusan mengenai surat paduka. Ternyata Lembu Sora mengandung maksud yang amat licik. Dia menulis surat balasan untuk paduka dan inilah suratnya, diberikannya kepada hamba."     Sang prabu membaca surat dari Lembu Sora itu, surat yang tadinya dibawa oleh Rahino, surat yang meyatakan cinta dan baktinya kepada raja dan kepada Negara, surat yang menyatakan bahwa Lembu Sora mentaati semua perintah sang prabu dan bahwa pada hari esok akan menghadap dan meyerah tanpa syarat bersama kawan-kawannya. Membaca surat ini, sang prabu membelalakkan matanya memandang kepada Resi Mahapati dengan marah.   "Kakang Resi Mahapati!" Sang prabu membentak. "Apakah andika tahu akan isi surat ini?"   Mahapati menggeleng dan menyembah. "Mana berani hamba melihat surat yang dihaturkan kepada paduka."   "Hemmm, isi surat sama sekali berlainan dengan pelaporanmu, Mahapati. Menurut suratnya, Lembu Sora telah mengakui kedosaannya dan besok pagi akan datang menghadap bersama kawan-kawannya, menyerahkan diri tanpa syarat dan tunduk akan semua keputusan kami."   "Memang demikianlah yang dikatakan kepada hamba, gusti sinuwun. Dan itulah muslihatnya. Dia pura-pura tunduk, akan tetapi sesungguhnya dia besok datang bersama kawan-kawannya yang bersenjata lengkap dan selagi paduka tidak menyangka, dia dan kawan-kawannya akan mengamuk dan menyerbu!"   "Ah, tidak mungkin!" Sang prabu membentak, lalu memanggil pengawal. "Suruh semua senopati dan ponggawa menghadap! Suruh mereka datang sekarang juga untuk hadir dalam persidangan kilat!"   Para senopati, dipimpin oleh Patih Nambi yang terkejut mendengar perintah ini dari para pengawal, tergesa-gesa dan serentak datangmenghadap sri baginda dan mereka melihat bahwa Resi Mahapati sudah berada di situ, menghadap dengan muka tunduk, sedangkan sang prabu kelihatan marah sekali, mukanya merah dan sinar matanya berapi-api.   "Kakang resi, sekarang kau ceritakan lagi pelaporanmu kepada kami tadi, agar didengarkan oleh semua menteri dan senopati," sang prabu bekata dengan suara keren.   Dengan tenang Resi Mahapati mengulang kembali ceritanya tadi, tentang kunjungannya kepada Lembu Sora di Pegunungan Pandan. Setelah selesai bercerita, semua menteri menjadi terkejut sekali.   "Nah, menurut pelaporan kakang Resi Lembu Sora hendak berkhianat. Akan tetapi coba andika sekalian dengarkan bunyi suratnya ini. Kakang Resi Mahapati, andika kuberi wewenang untuk membaca surat dari kakang Lembu Sora ini dengan suara keras agar semua orang mendengarnya,"   Dengan sikap masih tenang Resi Mahapati menerima surat yang dilemparkan oleh sri baginda yang marah itu, kemudian membaca isi surat itu dengan lantang dan tenang. Semua orang mendengarkan isi surat yang penuh dengan kesetiaan dan kebaktian, dan mereka semua menjadi makin terheran-heran.   Setelah selesai membaca surat itu dan menghaturkan kembali kepada sang prabu, sri baginda berkata lagi, "Nah, kakang resi. Sekarang kemukakan pendapat dan pandanganmu tadi agar dipertimbangkan oleh semua orang."     Resi Mahapati menelan ludah, lalu berkata, "seperti telah hamba bunuh, hamba lalu berpura-pura mengunjungi Lembu Sora sebagai sahabat yang berpihak kepadanya. Karena itu, Lembu Sora mempercaya hamba dan membuka rahasianya bahwa dia membalas surat gusti sinuwun seperti itu hanya merupakan siasat belaka, agar kita semua menjadi lengah. Akan tetapi, besok pagi dia akan datang bukan sebagai orang yang menyerahkan diri tanpa syarat, melainkan hendak mengadakan penyerbuan dengan tiba-tiba ke istana!"   Terkejutlah semua orang dan sebagian besar di antara mereka, seperti juga sang prabu sendiri, merasa tidak percaya.   "bagaimana pendapat andika, paman Brahmonorojo?" sang parabu bertanya kepada sesepuh itu.   Pendeta tua ini menggeleng-geleng kepalanya. "Agaknya sukar dipercaya bahwa seorang seperti anakmas Lembu Sora itu akan melakukan penghianatan seperti itu."   Para menteri dan senopati lain banyak pula yang menyatakan tidak percaya. Hanay Patih Nambi saja yang meragu dan berkata, "Hendaknya paduka berhati-hati, gusti sinuwun. Seorang yang telah berani lolos tanpa pamit dari Mojopahit, yang telah berani membunuh seorang teman seperjuangan secara keji dan curang, hamba kita tidak segan-segan pula melakukan kekejian dan pengkhianatan yang lain. Bukan semata-mata kakang Lembu Sora, hanya sebaiknya kalau kita bersikap hati-hati."   "Itulah ucapan yang amat tepat, gusti sinuwun. Memang sangat boleh jadi hamba salah duga, akan tetapi hamba bukan hanya menyangka atau menduga, melainkan hamba mendengar sendiri dari Lembu Sora yang hendak menggunakan muslihat itu. Maka, sebaiknya kalau diatur begini saja, diam-diam diadakan baris pendam di depan istana, dan kalau besok Lembu Sora muncul, dia harus ditangkap dan dihadapkan ke persidangan. Kalau dia tidak melawan, demikian pula kawan-kawannya, berarti bahwa memang hamba yang salah duga atau salah dengar, akan tetapi kalau dia dan kawan-kawannya melakukan perlawanan, jelaslah bahwa memang dia telah bersiap-siap untuk memberontak dan menyerbu istana."   Usul ini diterima baik oleh sang prabu, juag semua menteri membenarkan, karena tiada gunanya berbantahan tentang setia atau tidaknya Lembu Sora. Yang terpenting adalah membuktikannya besok. Kalau memang Lembu Sora tidak ada niat memberontak, tentu ditangkap pun dia tidak akan melawan. Kalau dia melawan, berarti memang dia berniat memberontak.   "Dan sebaiknya, kalau boleh hamba mengusulkan, agar penilaian terhadap diri Lembu Sora dapat seadil-adilnya, maka tugas penangkapan ini sebaiknya ditangani sendiri oleh Patih Nambi, "kata pula Mahapati setelah melihat betapa usulnya diterima dan dia mulai memperolah kepercayaan kembali. Memang orang ini amat cerdik dan selalu memilih saatnya yang tepat untuk melaksanakan siasatnya yang licin.   Tentu saja sang prabu dan semua menteri setuju pula dengan usul ini, bahkan Patih Nambi menerima dengan girang sekali dan pandang matanya kearah Mahapati mengandung terima kasih. Tidak ada tugas yang lebih menggirangkan hatinya daripada menangkap Lembu Sora yang dibencinya itu.     Setelah persidangan bubar dan Patih Nambi mempersiapkan pasukan yang pilihan, Mahapati menghampirinya dan berkata, "Tugas andika berat sekali, dimas patih. Selain Lembu Sora sendiri seorang yang amat digdaya, juga saya melihat banyak orang gagah di sarangnya. Maka, kebetulan sekali saya sedang menerima kedatangan tamu-tamu yang sakti, yaitu kakang Empu Tunjungpetak dan kakang Harimurti. Dengan adanya dua orang sakti ini yang membantu, kiranya andika akan dapat melaksanakan tugas itu dengan sebaiknya. Mereka telah saya minta bantuannya dan mereka akan suka membantu dengan senang hati."   Tentu saja penawaran ini diterima amat girang oleh Patih Nambi karena dia pun maklum akan kesaktian Lembu Sora dan kawan-kawannya. "Mereka berdua adalah sebagai wakil saya, dimas patih. Tentu saja andika maklum sendiri bahwa saya pribadi tidak mungkin dapat ikut turun tangan, karena tentu saja saya merasa malu berhadapan dengan Lembu Sora."   Patih Nambi mengangguk-angguk maklum. "Saya mengerti, kakang resi, dan banyak terima kasih atas bantuan dan kebaikan anda."   Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Patih Nambi telah mempersiapkan baris pendam di alun-alun depan istana, sedangkan dia sendiri ditemani oleh dua orang kakek sakti, Empu Tunjungpetak dan Resi Harimurti, menanti di pendapa istana dengan hati tegang. Sedangkan tak jauh dari situ, di atas menara di pinggir pendapa, duduklah Resi Mahapati bersama Lestari, selirnya yang tercinta itu. Selir ini merengek dan membujuk agar dia diberi kesempatan menyaksikan pembasmian para pemberontak itu, dan resi Mahapati yang telah terbius oleh rayuan selirnya, akhirnya memperoleh ijin dari Patih Nambi untuk menonton dari atas menara penjagaan itu! Karena pada hari itu semua abdi dalam dan ponggawa dilarang keluar masuk istana, maka Mahapati dan selirnya dapat naik ke menara tanpa banyak menimbulkan perhatian, dan dua orang itu mengintai dari balik jendela dengan hati berdebar tegang. Mahapati berdebar karena ingin sekali melihat perintang utama kearah tangga kemuliaan yang dikejar-kejarnya itu lenyap, seangkan Lestari yang seperti gila oleh dendam sekeluarganya itu ingin menyaksikan betapa orang-orang yang dibencinya, yaitu semua pembesar Mojopahit yang dianggapnya semua jahat dan kejam terhadap keluarganya itu, saling bunuh di depan kakinya!   Matahari mendaki angkasa makin tinggi dan sinarnya amat cerah menerangi bumi. Namun di sedikit bagian bumi itu, di Mojopahit, terutama sekali di istana, ketegangan makin memuncak dan kecerahan sinar matahari tidak dapat mengusir ketegangan yang mengerikan itu, sedikit pun tidak ada tanda-tanda dari alam bahwa hari itu akan terjadi hal yan hebat dan mengerikan di Mojopahit!   Tak lama kemudian muncullah Lembu Sora! Mula-mula hnaya terdengar dengan kaki kuda, di kejauhan. Mahapati dan Lestari yang mengintai dari atas menara dapat melihat bahwa Lembu Sora naik kuda dan berjalan di depan, sedangkan agak jauh di belakangnya nampak Juru Demung, Gajah Biru dan lain-lain orang yang jumlahnya ada seratus orang! Mahapati menggosok-gosok kedua tangannya. Siasatnya berhasil baik sekali, semua menurut rencana! Kini hati keduapfihak sudah ada kecurigaan besar. Lembu Sora tentu menduga bahwa munculnya Patih Nambi akan membunuh dia seanak buahnya, sebaliknya Patih Nambi tentu menduga bahwa Lembu Sora dan anak buahnya itu akan memberontak! Siasatnya memang hebat dan diam-diam Mahapati memuji diri sendiri sambil menonton dari balik jendela, tangannya merangkul pinggang ramping Lestari yang juga mengintai ke bawah dengan jantung berdebar tegang.   Lembu Sora menjalankan kudanya perlahan memasuki alun-alun yang kelihatan sunyi, teman-temannya mengiringkan agak jauh di belakangnya. Melihat kesunyian alun-alun, mulailah hati Lembu Sora curiga akan kebenaran laporan Mahapati. Kalau memang Patih Nambi benar-benar hendak menjebaknya, tentu dia dan kawan-kawanya sudah diserang sejak tadi. Akan tetapi, di alun-alun sunyi saja! Dia melompat turun dari kudanya, mencancang kudanya di bawah beringin kurung jalan kaki menuju ke halaman istana. Demikian pula teman-temannya yang terus membayangi Lembu Sora dengan sikap waspada. Di depan rombongan itu berjalan seorang kakek tinggi besar yang tidak dikenal oleh Mahapati. Dia menduga-duga siapa gerangan kakek bercambang bauk yang berpakaian sederhana seperti petani itu.   (Bersambung ke Jilid 20)   Jilid 20   Akan tetapi, Patih Nambi terkejut dan dia lalu bangkit berdiri, diam-diam dia mengangkat tangan memberi isyarat kepada pasukan-pasukan yang melakukan baris pendam, kemudian dia melangkah turun dari pendapa istana untuk menyambut kedatangan Lembu Sora.   Ketika Lembu Sora melihat munculnya Ki Patih Nambi bersama dua orang kakek pendeta dari penapa istana, terkejutlah dia, lalu cepat dia maju menghampiri dengan sikap wasapada.   Patih Nambi lalu berkata, suaranya dingin dan kaku, "Lembu Sora, berlututlah engkau untuk kutangkap dan kuhaturkan ke depan gusti sinuwun tawanan!"   Sebelum Lembu Sora menjawab, terdegar suara gaduh dan bermunculanlah banyak sekali pasukan dari kanan kiri dan ternyata kini alun-alun itu telah dikurung oleh sedikitnya seribu orang prajurit! melihat ini bukan main marahnya hati Lembu Sora, apalagi ketika dia melihat Patih Nambi tertawa bergelak dengan sikap mengejek, lalu mendengar Nambi berkata, "Ha-ha-ha, Lembu Sora, hendak kulihat sebetulnya orang macam apa adanya engkau!"   Ucapan Patih Nambi ini diterima keliru oleh Lembu Sora yang sudah kemasukan racun pelaporan Resi Mahapati bahwa dia akan dihadang dan dibunuh oleh Patih Nambi. Melihat Nambi muncul dengan seribu orang pasukan, dia kini tidak ragu lagi akan cerita Mahapati itu. Maka dia alu membentak marah, "Si keparat Nambi, kalau bukan engkau, tentu aku yang akan membanjiri alun-alun Mojopahit dengan darah!"     Tentu saja Nambi yang sudah kemasukan racun pelaporan Resi Mahapati bahwa Lembu Sora hanya berpura-pura saja menyerah akan tetapi sebenarnya hendak memberontak, penghianat hina, memang engkau layak mempus!"   Lembu Sora mengeluarkan pekik melengking dahsyat dan inilah tanda bagi Juru Demung, Gajah Biru dan para anak buahnya bahwa mereka benar-benar terjebak dan terpaksa harus membela diri agar jangan mati konyol. Maka bergeraklah semua pengikut Lembu Sora, mencabut parang atau keris masing-masing menghadapi seribu orang pasukan Mojopahit itu!   Terjadilah perang tanding yang amat dahsyat di alun-alun depan istana! Lembu Sora mengamuk dan Nambi terpaksa harus mundur dan berlindung di belakang dua orang kakek yang sudah melangkah maju untuk menahan amukan Lembu Sora yang selama waktu pendek saja sudah merobohkan belasan orang perjurit yang hendak menawan atau membunuhnya. Amukannya seperti seekor gajah marah sehingga para perajurit Mojopahit menjadi gentar.   "Plak-plakkkk!!" Tubuh Lembu Sora terdorong ke belakang ketika dua kali tangan kirinya bertemu dengan tangkisan seorang kakek yang tiba-tiba maju dan mencegah dia merobohkan lebih banyak perajurit lagi. Lembu Sora terkejut karena tenaga yang keluar dari tangan kakek itu hebat bukan main. Dia memandang dan membentak marah, "Andika ini berpakaian pendeta akan tetapi bukan ponggawa Mojopahit! Siapakah andika?"   "Lembu Sora, mengapa engkau tidak berlutut dan menyerah saja? Engkau tidak akan kuat menandingi Empu Tunjungpetak."   "Bagus kau pendeta keparat kaki tangan Nambi!" Lembu Sora menerjang dengan keris di tangan, menusuk kearah dada kakek itu.   "Dukk!!!" kerisnya terpental dan ternyata kakek itu memiliki kekebalan yang luar biasa!   "Hemm, Lembu Sora, kau takkan menang melawan aku!"   Akan tetapi Lembu Sora yang sudah marah itu menubruk maju, mengerahkan aji kesaktiannya pada kepalan tangan kanannya dan menghantam.   "Dessss...!!" Kini kakek itu mundur dua langkah.   "Jagad Dewa Bhatara, kau hebat juga, Lembu Sora!" kata Empu Tunjungpetak dan ketika senopati itu menyerang lagi, dia menangkis dan balas menampar.   "Plakkk!!" Tamparan itu tidak begitu keras, akan tetapi begitu terkena tamparan itu pada pundaknya, tubuh Lembu Sora terpelanting dan sejenak dia tidak mampu bangun karena kepalanya terasa pening. Saat itu dipergunakan oleh empat orang prajurit untuk menyerangnya dengan tombak di tangan.   "Desss-desss-plak-plakkk! Ha-ha-ha-ha!" Empat orang itu terlempar dan reebanting ke atas tanah, tidak mampu bangkit kembali dan di situ telah berdiri Ki Jembros! Kakek ini tadi mengamuk pula sambil terkekeh-kekeh. Sepak terjangnya seperti seorang bocah yang bermain perang-perangan, tertawa-tawa, akan tetapi siapa pun yang kena cium ujung tangan atau kakinya tentu akan terlempar jauh. Biar pun dia mengamuk dan main-main, Ki Jembros tidak pernah lengah dan selalu memperhatikan Lembu Sora maka begitu Empu Tunjung petak muncul, cepat dia menghampiri dan untung dia tidak terlambat karena nyaris Lembu Sora tewas di ujung tombak empat orang prajurit itu.     "Setan jembros keparat...!" Empu Tunjungpetak berseru kaget dan marah.   "Ha-ha-ha-ha, bertemu lagi di sini. Tunjungpetak, engkau memang lawanku. Hayo, tua sama tua, jangan mencari bocah yang lemah saja!" Ki Jembros berkata dan dia langsung menerjang sambil tertawa-tawa.   Empu Tunjungpetak cepat menangkis dan terjadilah pertandingan yang aneh di antara dua orang kakek ini. Dikatakan aneh karena cara mereka berkelahi itu berbeda dengan para prajurit yang sedang mengeroyok dan menggempur anak buah Lembu Sora itu. Para prajurit itu bertanding dengan senjata mau pun tangan, akan tetapi jelas mereka itu menyerang atau menangkis dengan pengerahan tenaga dan kelihatan seru dan ramai. Berbeda dengan mereka, dua orang kakek ini bertempur seperti orang main-main saja. Bahkan jarang kedua lengan mereka saling bertemu, sudah terpental sebelum saling sentuh dan gerakan mereka itu lambat-lambat, seolah-olah yang memukul memanti sampai lawan bersiap-siap dan menangkis menanti sampai lawan memukul! Akan tetapi itu hanya kelihatannya saja. Sebetulnya di antara kedua orang kakek ini menyambar-nyambar hawa maut yang amat dahsyat. Buktinya, ketika ada dua orang prajurit tanpa disengaja mendekati tempat pertempuran itu, tiba-tiba mereka memekik dan roboh terus tewas. Mereka utuh kena sambaran hawa pukulan sakti yang biar pun tidak mengakibatkan dua orang perajurit itu menderita luka-luka di sebelah dalam tubuh dan mereka tewas seketika!   Biar pun Empu Tunjungpetak telah mengeluarkan seluruh kesaktiannya namun tetap saja dia terdesak mundur. Mereka itu saling pukul, akan tetapi setiap pukulan Ki jembros membuat Empu Tunjungpetak mundur tiga langkah sedangkan balasan pukulannya hanya membuat Ki Jembros mundur selangkah sambil tertawa-tawa! jelas dia kalah kuat dan kalah ampuh pukulannya, kalah kebal tubuhnya dan kalau dilanjutkan, Empu Tunjungpetak tentu akan mengalami kekalahan. Melihat ini, Resi Harimurti yang tadinya membiarkan Empu Tunjungpetak menghadapi Ki Jembros sedangkan dia sendiri hanya menonton, meloncat ke depan dan membentak,   "Jembel tau bangka busuk, sekarang tiba saatnya aku membalas dendam!"   "Ha-ha-ha, resi cabul, kau masih hidup? Bagus, majulah biar kukirim kau ke neraka jahanam di mana memang lebih pantas menjadi tempat tinggalmu."   "Keparat sombong!" Resi harimurti maju dan kedua tangannya sudah mengeluarkan senjatanya, yaitu kipas bambu dan pecut panjang. Dua buah senjata ini adalah senjata-senjata baru karena yang lama telah rusak ketika dia bertanding melawan Ki jembros beberapa bulan yang lalu. Dengan bantuan Resi Mahapati, dia dapat membuat senjata-senjata ini dari bahan yang baik. Melihat temannya mengeluarkan senjata, Empu Tunjungpetak diam saja, akan tetapi dia sendiri hanya menghadapi lawan dengan kedua tangan kosong.   "Ha-haha, pertapa cabul, kalau benar berani, majulah!" kata Ki Jembros sambil menangkis pukulan dari samping yang dilakukan oleh Empu Tunjungpetak. Sebetulnya Empu Tunjungpetak, sebagai seorang ahli pula dalam pembuatan keris, tentu saja mempunyai sebatang keris pusaka ampun, akan tetapi melihat lawan juga bertangan kosong, maka dia segan mengeluarkan senjata, apalagi setelah melihat Resi Harimurti membantunya.     "Tar-tar-tarrr...! Wuuuuutttt... plak-plakkk!" Serangan pecut dan kipas itu ditangkis oleh Ki Jembros sambil tertawa-tawa dan tangkisan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sakti itu membuat Resi Harimurti terdorong ke belakang.   Akan tetapi, Empu Tunjungpetak sudah menerjang lagi dengan dahsyatnya dan kini, menghadapi dua orang lawan yang sama sekali bukan orang-orang lemah melainkan pertapa-pertapa yang sakti, Ki Jembros terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya dan terjadilah pertandingan yang amat hebat dan seru, pertandingan yang menyebabkan debu berterbangan dan tercipta pusaran angin karena hawa sakti mereka yang terkandung dalam tiap gerakan sehingga tidak ada perajurit biasa-biasa berani mendekat.   Hebat bukan main perang kecil yang terjadi di alun-alun depan keraton itu. Keduanya bertempur dengan mati-matian, karena pihak Lembu Sora menganggap bahwa mereka dikhianati dan hendak dibasmi oleh Patih Nambi, sedangkan pihak Patih Nambi menganggap bahwa Lembu Sora dan kawan-kawannya hendak memberontak dan hendak membunuh sang prabu. Maka kedua pihak melawan mati-matian, sungguh pun keadaan mereka tidak seimbang sama sekali karena pihak Lembu Sora hanya ada seratus orang lebih sedikit, sedangkan pihak kerajaan yang dipimpin seribu orang pasukan!   Yang merasa gembira adalah Mahapati dan selirnya, Lestari. Wanita muda ini dengan senyum manis dan sinar mata berkilat-kilat seperti mata harimau melihat darah, menonton pertandingan itu dan dia mengepal-gepal tangannya yang kecil, dan dari dalam lehernya yang panjang dan indah bentuknya itu terdengar geram-geram kecil seperti orang merintih kenikmatan, seperti orang yang terpuaskan nafsu berahinya.   "Ibu... ibu... Tejo... lihatlah... hemmm... lihatlah... tidakkah puas hati kalian...?"   "Eh, kau bicara apa, manis?" Mahapati merangkulnya dan memandangnya dengan heran.   Lestari menggeserkan hidungnya dipipi yang mulai kisut itu, memberi ciuman hangat. "Paduka hebat! Lihat betapa Lembu Sora dan kawan-kawannya terbasmi! Hati saya girang sekali!"   "eh, giranglah hatimu? kenapa girang melihat pertempuran mengerikan di bawah itu?"   "Mengerikan? Mereka itu merintis jalan yang paling baik untuk paduka, bukan?"   Mahapati menarik kepala selirnya dan mencium mulutnya dengan penuh dan mesra.   "Untuk kita, manis, untuk kita berdua!"   Dia lalu memandang ke bawah lagi, lupa akan pertanyaannya ketika dia tadi seperti mendengar selirnya menyebut-nyebut "ibu", dan memang pertempuran di bawah itu sungguh hebat. Ki jembros yang dikeroyok oleh dua orang kawannya itu, oleh Empu Tunjungpetak yang merupakan kakak seperguruannya dan memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi dari padanya, dan oleh Resi Harimurti yang juga tinggi tingkat kepandaiannya, akan tetapi tetap saja Ki Jembros memperhatikan keunggulan dan sama sekali tidak terdesak!     Akan tetapi selain Ki Jembros, semua pembantu Lembu Sora termasuk dia sendiri, mulai terdesak hebat. Lembu Sora sudah menderita luka-luka karena dialah yang terkurung dan diserang oleh banyak perajurit yang membantu Patih Nambi, dan Joko Taruno yang kemudian muncul dan ikut mengeroyok untuk membalas kematian ayahnya, Tumenggung Pamandana dan beberapa orang perwira lagi. Namun, tidak pernah senopati yang gagah perkasa ini mengeluh biar pun tubuhnya sudah mulai penuh belepotan darah dan entah sudah berapa banyak perajurit yang roboh oleh keris di tangan kanan kirinya. Dia mengamuk sambil menggereng dan menantang-nantang, bahkan luka-lukanya membuat dia makin beringas, sepak terjangnya makin menggiriskan, seolah-olah darahnya sendiri itu menjadi penambah semangatnya!   Juru Demung juga mengamuk dan dia dihadapi oleh senopati Pranarojo yang sakti dan yang juga dibantu oleh banyak perajurit sehingga Juru Demung yang kelihatan letih itu mulai terdesak hebat. Demikian pula Raden Gajah Biru yang dihadapi oleh Tumenggung Singosardulo dan belasan orang perajurit, sudah terdesak dan menderita luka-luka, sungguh pun dia masih terus bertahan sekuatnya.   Yang sudah kelihatan payah adalah para perajurit pengikut Lembu Sora. Mereka itu adalah perajurit-perajurit pilihan dan kalau hanya dikeroyok oleh dua orang perajurit yang dibawa Patih Nambi, agaknya belum tentu mereka kalah. Akan tetapi, perbandingan mereka adalah satu lawan sepuluh! maka biar pun berhasil menjatuhkan lawan masing-masing sedikitnya dua orang, akhirnya mereka sendiri roboh seorang demi seorang sampi akhirnya habis sama sekali! Mereka menggeletak di sana-sini di antara mayat-mayat berserakan dari pihak lawan yang roboh oleh amukan mereka.   "Kakangmas resi..."   "Emmm...?" Resi Mahapati menjawab manja!   "Mereka itu memperlihatkan kegagahannya di sana, mengapa paduka diam saja? Padahal sudah sering kali paduka memamerkan kejantanan paduka kepada saya. Apakah kejantanan paduka itu hanya kalau berada di pembaringan dalam kamar saja?"   "Ihh? Ha-ha-ha, kau belum tahu akan sepak terjang suamimu, cah ayu? Kau lihat Resi Mahapati oleh ejekan kekasihnya itu, maka dipasanglah sebatang anak panah pada gendewanya yang memang telah disediakan dan dipersiapkan kalau-kalau teman-teman di bawah membutuhkan bantuan, maka sejak tadi dia diam saja tidak mau menggunakan gendewa dan anak panahnya. Akan tetapi ejekan kekasihnya membakar hatinya.   "Lihat panahku pertama. Aku akan membunuh Juru Demung dari sini dengan sekali jemparing!" katanya dengan penuh gaya sambil mementang gendewanya dan mengincar kearah mereka yang sedang bertempur di bawah.     "Mana bisa kena tepat? Dia sedang dikepung dan dikeroyok. Jangan-jangan malah mengenai orang lain!"   "Pasti kena dan kalau tepat mengenai dadanya, apa upahnya, sayang?"   "Upahnya?" Lestari tersenyum manis, mencibirkan bibir bawahnya yang merah.   "Upahnya cium satu kali!"   Resi Mahapati tertawa, kemudian melanjutkan penarikan tali gendewanya. "Nah, lihatlah dia roboh, Tari...!" Tali gendewa dilepas, terdengar suara menjepret dan nampak sinar kilat meluncur dan menyambar ke bawah. Sang Resi ini memang terkenal sebagai seorang ahli panah yang amat hebat. Biar pun dalam hal ilmu pukulan dia masih kalah jauh dibandingkan dengan kakak seperguruannya, yaitu Empu Tunjungpetak, akan tetapi dalam hal ilmu sihir panah, dia jauh lebih unggul.   Juru Demung memang sudah payah. Seperti juga hanya keadaan Lembu Sora, dia telah menerima banyak tusukan dan bacokan sehingga tubuhnya telah luka-luka. Bahkan lebih parah daripada Lembu Sora. Akan tetapi dia masih terus mengamuk dan tidak akan menyerah sebelum roboh. Tiba-tiba, sinar kilat anak panah dari atas itu menyambar dan tepat mengenai dada Juru Demung!   "Wirrr...cepp.. aahhhh!" Juru Demung mendekap anak panah yang menancap di dadanya, memandang terbelalak ke atas dan melihat Resi Mahapati berada di menara, dia mengeluarkan suara yang tak dapat dimengerti artinya, lalu roboh terjengkang dan tewas seketika.   Di atas menara, Lestari sudah merangkul Resi Mahapati dan ditarik ke dalam agar tidak nampak dari luar, kemudian dengan penuh kegirangan dan kemesraan dia mencium pipi kakek yang merasa amat bangga itu.   "Eehhh, kenapa cium di pipi? Janjinya cium yang mesra, bukan sekedar ambung saja."   Lestari tersenyum manja dan berkata, "Upahnya haruslah sesuai dengan jasanya, kakangmas resi! yang paduka panah hanya seorang yang tidak begitu berharga, maka upahnya pun cukup berharga ditukar dengan ambung pipi kiri. Dan nyawa orang yang mengamuk di bawah itu, siapa namanya tadi, yang kakangmas katakan sebagai adik seperguruan Ronggo Lawe..."   "Raden Gajah Biru?"   "Ya, nah kalau nyawa dia saya mau menukar dengan ambung di pipi kanan."   "Ha-ha, engkau memang lucu. Nah, lihat betapa panahku akan menghabiskan nyawa Raden Gajah Biru!"   Kembali gendewanya dipentang, anak panah dibidikkan dan setelah gendewa menjepret dan anak panah meluncur ke bawah seperti kilat menyambar, di bawah sana, di antara mereka yang sedang bertanding, terdengar teriakan keras dan robohlah Raden Gajah Biru karena lehernya tertembus anak panah!     Tentu saja Lestari menjadi kagum sekali dan dengan kemesraan yang membuar si resi makin bangga hatinya, dia mencium pipi kanan sang resi dengan satu kali kecupan. Watak sang resi, di samping kekejaman dan kecurangannya sebagai akibat dari pengejaran cita-citanya yang setinggi langit, juga dia suka sekali dipuji. Apalagi kalau yang memujinya itu seorang seperti selirnya yang dicintainya itu. Dan seperti watak semua orang yang suka sekali menerima pujian, makin dipuji makin hebatlah dia berusaha untuk memperoleh pujian selajutnya!   "Tari kekasihku, kalau sekarang aku menggunakan anak panahku untuk merobohkan Lembu Sora sendiri, apa upahnya darimu, manis?"   "Dia? benarkah paduka dapat merobohkan dia yang begitu perkasa itu dari sini dengan anak panah?" Tanya Lestari girang.   "Tentu saja. Akan tetapi, aku minta upahnya cium di mulut."   "Baiklah, kakangmas resi!"   Sekali ini Resi Mahapati agak lama membidikkan anak panahnya, dan lebih kuat pula dia menarik tali gendewanya karena dia pun maklum bahwa merobohkan Lembu Sora dengan anak panah tidaklah semudah dua orang tadi. Kalau saja Lembu Sora belum terluka seperti itu, agaknya malah tidak mungkin dapat mengharapkan panahnya akan mengenai tubuh senopati yang perkasa itu, apalagi melukainya. Akan tetapi, pada saat itu Lembu Sora juga sudah payah sekali, gerakannya sudah mulai mengendur karena banyaknya darah yang keluar dari tubuhnya dan terutama sekali karena dia melihat bahwa dua orang pembantunya yang setia telah roboh sehingga kini hanya tinggal dia sendiri dan Ki Jembros saja yang masih mengamuk dan dikeroyok!   "Prattt...singgg...!!!" Anak panah yang terlepas dari gendewa di tangan Mahapati kini tak nampak bayangannya, seperti kilat menyambar saja, dan karena Mahapati maklum akan kedigdayaan Lembu Sora, maka yang diarah adalah pusar senopati itu. Memang tidak mudah memanah pusar dari atas, akan tetapi yang diarahnya itu merupakan tempat berbahaya, karena dari tempat dia berdiri, letak pusar sasarannya tertutup oleh ulu hati.   Pada saat itu Lembu Sora memang sedang sibuk membela diri dan juga mengirim serangan-serangan balasan yan masih berbahaya. Sebagai seorang yang sakti, dia dapat melihat berkelebatannya sinar dari atas dan mendengar suara mendesingnya anak panah, dan biar pun dia sama sekali tidak sempat lagi mengelak karena dia masih dapat mendoyongkan tubuh atasnya ke belakang dan sinar itu menyambar ke bawah dan mengenai paha kaki kananya.   "Cappp...!"   Tubuh Lembu Sora terhuyung dan dia menengadah. Tampak olehnya Mahapati di atas menara memegang gendewa. Seperti sinar kilat memasuki kepalanya, Lembu Sora kini dapat melihat apa yang kemungkinan besar telah terjadi dan dilakukan oleh Resi mahapati, teringatlah dia akan semua perbuatan dan kata-kata resi itu dari sejak awal terjadinya desas-desus atau berita tentang kematian Kebo Anabrang olehnya, sampai kepada berita-berita selajutnya yang dibawa resi itu dan kunjungan resi itu ke Pegunungan Pandan. Terbukalah matanya dan kini dia mengerti bahwa Resi Mahapati berdiri di balik ini semua, juga pengepungan dan penyerbuan terhadap dia seteman di alun-alun ini tentu akibat siasat sang resi itu!   "Mahapati penghianat...!" Dia berteriak lantang. "manusia macam engkau kelak akan mati cineleng-celeng (dicincang)!" akan tetapi Lembu Sora tidak dapat melanjutkan kutukannya karena tubuhnya telah dihujani senjata sehingga dia roboh dan tewas. Joko taruno, atau Kebo Taruno putera Kebo Anabrang, cepat meloncat ke depan, menggunakan parangnya yang dicabetkan ke leher musuh besarnya itu, memenggal kepala Lembu Sora sebagai pelaksanaan pembalasan dendamnya.     Para perajurit Mojopahit bersorak-sorak menghabisakan sisa anak buah Lembu Sora dan akhirnya hanya tinggal Ki jembros seoarang yang masih terus melawan pengeroyokan dua orang pendeta itu. Senopati Pranarojo yang mencoba untuk membantu dua orang pendeta itu, baru segebrakan saja sudah terlempar sampai bergulingan diserempet hawa pukulan dari tangan Ki Jembros. Melihat ini, tidak ada lagi yang berani mencoba-coba untuk terjun ke gelanggang pertempuran yang amat dahsyat itu. Setelah mendekap dan mencium mulut Lestari sebagai upahnya merobohkan Lembu Sora, kini Lestari berbisik manja, "Kakangmas, lihat kakek mengerikan itu yang masih terus mengamuk."   Mahapati menjenguk ke bawah dan tertawa. "Ha-ha, memang kakek itu hebat sekali dan sekarang aku dapat menduga siapa adanya orang itu, seperti yang diceritakan oleh Reksosuro dan Darumuko. Biar aku membantu kakang Empu Tunjungpetak dan kakang Resi Harimurti. Kalau tidak aku yang turun tangan, agaknya sukar merobohkan kakek gila itu," katanya dengan nada suara sombong.   "Kalau benar paduka dapat merobohkan dia..."   "Ha-ha, upahnya...?"   "Upahnya malam nanti..., hi-hik...!" Lestari terkekeh genit dan manja.   Mahapati kembali merangkul dan menciumnya. "Engkau selalu menyenangkan hatiku. Lihatlah baik-baik betapa suamimu akan merobohkan kakek gila di bawah itu. Kau tunggulah saja di sini!" Setelah berkata demikian, Resi Mahapati lalu lari menuruni tangga menara dan berloncatan menghampiri tempat terjadinya pertandingan dahsyat itu yang dikurung oleh para perajurit dari tempat yang agak jauh karena mereka tidak berani mendekat sama sekali.   Sambil mengeluarkan pekik melengking yang bukan hanya ditujukan untuk menggetarkan Ki Jembros, akan tetapi terutama sekali agar tedengar dari jendela menara, Resi Mahapati terjun ke gelanggang pertarungan itu membantu Empu Tunjung Petak dan Resi Harimurti. Dua orang pertapa ini merasa lega dengan masuknya Resi Mahapati karena mereka berdua sudah merasa kewalahan menghadapi Ki Jembros yang benar-benar amat sakti itu, sungguh pun Ki Jembros sendiri juga tidak begitu mudah saja untuk dapat merobohkan mereka berdua yang menggabungkan kekuatan untuk menghadapinya itu. Kini, masuknya Resi Mahapati yang masih segar tenaganya membuat Ki Jembros terkejut dan terdesak. Akan tetapi, kakek ini tidak menjadi gentar malah tertawa bergelak.   "Ha-ha-ha, inilah kiranya yang bernama Resi Mahapati, si pengecut laknat itu! Pantas saja muridku amat membencimu, biar pun belum pernah melihatmu. Kiranya memang wajahmu membayangkan seorang manusia berwatak rendah!"   (Bersambung ke Jilid 21)   Jilid 21   "Kakek gila mampuslah engkau!" Resi Mahapati membentak marah dan dia sudah menerjang ke depan sambil mengerahkan aji kesaktiannya dan juga dia mengerahkan kekuatan batinnya untuk menundukkan Ki Jembros.   Ki Jembros menangkis, akan tetapi diam-diam dia terkejut ketika merasa betapa jantungnya tergetar dan berdebar keras, kepalanya menjadi agak pening. Itulah akibat kekuatan sihir yang mulai dipergunakan oleh Resi Mahapati melalui pandang matanya! Kalau saja bukan Ki Jembros yang diserang kekuatan ilmu sihirnya ini, tentu sudah celaka karena kekuatan sihir ini dapat melumpuhkan lawan.   Betapa pun juga, serangan sihir itu merupakah hal yang amat mengacaukan Ki Jembros karena dia harus membagi perhatiannya, melawan serangan luar dan juga dalam! Hal ini mengacaukan gerakannya, apalagi tiga orang pengeroyoknya itu menghujankan serangan dan setiap pukulan mereka merupakan pukulan-pukulan maut yang amat kuat.     "Plakkkk!" Sebuah tamparan dari tangan kiri Empu Tunjung Petak menyelinat di antara banyak serangan yang dapat ditangkis Ki Jembros, dan tamparan yang satu ini sukar dielakkannya lagi sehingga mengenai pundaknya. Bukan main hebatnya tamparan Empu Tunjungpetak ini karena tamparan tangan kirinya mengandung aji kesaktian Wisa Dahana yang panasnya melebihi api. Dengan aji kesaktian ini, kabarnya tangan kiri Empu Tunjungpetak itu mampu membuat keris pusaka tanpa menggunakan api!   Ki Jembros mengeluarkan teriakan seperti seekor singa meraung dan tubuhnya terhuyung, akan tetapi segera dia meloncat dan kaki tangannya bergerak seperti badai mengamuk sehingga tiga orang pengeroyoknya terpaksa tidak berani mendekat dan mengelak.   Pertarungan dilanjutkan dan biar pun Ki Jembros merasa betapa pundaknya amat nyeri dan panas, namun amukannya masih hebat sekali dan setiap kali tiga orang pengeroyoknya itu beradu lengan dengannya, mereka tentu mencelat atau terdorong mundur sampai beberapa langkah. Akan tetapi, begitu mereka bertiga mendesak dan menyerang dengan berbareng dari tiga jurusan, ditambah dengan serangan sihir yang tetap memancar dari pandang mata Resi Mahapati, Ki Jembros menjadi bingung dan kembali terkena pukulan dari seorang di antara mereka. Dan pukulan dari orang-orang tua ini bukanlah pukulan biasa, melainkan pukulan yang mengandung kekuatan dahsyat dari aji kesaktian mereka, yang bagi lawan lain yang tidak memiliki kekebalan seperti Ki Jembros tentu dapat mematikan.   "Ki Jembros, berlututlah engkau...!" Tiba-tiba terdengar teriakan terdengar dari bentakan mulit Resi Mahapati dan secara aneh, Ki Jembros merasa kedua lututnya lemas dan hampir saja dia menjatuhkan diri berlutut.   "Gila...!" bentaknya dan, "Wuuuuttt...!" Lengan kirinya yang panjang menyambar kearah Mahapati, akan tetapi resi ini dengan tangkas sudah mengelak dengan loncatan ke belakang sedangkan Empu Tunjungpetak dan Resi Harimurti sudah menubruk dari belakang sehingga Ki Jembros terpaksa membalik dan tidak mendesak Resi Mahapati.   "Plak-plak... desss....!" Ketika Ki Jembros menangkisi serangan-serangan Resi Harimurti yang menggunakan kipas bambunya dan Empu Tunjungpetak yang menggunakan tangannya yang ampuh, Resi Mahapati menggunakan kesempatan ini untuk menghantam dari belakang dan tepat mengenai punggung Ki Jembros.   Kembali Ki Jembros terhuyung dan dari dalam dadanya keluar gerengan melalui kerongkongannya. Dia membalik dan terus mengamuk. Kalau saja hantaman-hantamannya itu mengenai Resi Mahapati, tentu akan tamatlah riwayatnya. Akan tetapi Mahapati adalah seorang yang cerdik dan dia sudah cepat-cepat menghindar dengan loncatan ke belakang, memberi kesempatan kepada dua orang temannya untuk menerjang selagi Ki Jembros mengejarnya.   Demikianlah, keadaan Ki Jembros tiada bedanya dengan seekor harimau buas yang amat kuat dan berbahaya dikurung oleh orang-orang yang cerdik dan curang, yang menyerang selagi harimau itu membelakanginya dan lari kalau harimau itu membalik dan mengejarnya untuk memberi kesempatan kepada pengurung di belakang harimau untuk menyerang. Beberapa kali Ki Jembros menerima hantaman dari belakang, baik hantaman tangan Resi Mahapati atau Empu Tunjungpetak yang ampuh, juga hantaman kipas bambu atau lecutan pecut panjang di tangan Resi Harimurti.     Karena dia sendiri tidak pernah berhasil membalas pukulan-pukulan itu dan tiga orang pengeroyoknya selalu dapat menghindarkan setiap serangan balasan, marahlah Ki Jembros. Kakek yang biasanya gembira dan tertawa-tawa itu, kini menggereng-gereng seperti harimau terluka. Dia maklum bahwa dia telah dikepung pasukan Mojopahit dan bagaimana pun juga, dia tidak dapat meloloskan diri. Lembu Sora dan kawan-kawannya yang dibantunya telah tewas semua dan dia harus berani mengadu nyawa dengan tiga orang lawan tangguh ini, karena kalau dilanjutkan bertanding seperti ini, dia akhirnya akan kehabisan tenaga dan kalah.   Terdengar teriakannya yang menggetarkan bumi dan banyak perajurit Mojopahit yang roboh pingsan, ada yang menjadi lumpuh seketika kedua kaki mereka dan ada pula yang menggigil ketika mendengar teriakan ini. Lalu Ki Jembros menubruk maju, kedua tangannya menyambar ke arah Empu Tunjungpetak yang baru saja kembali berhasil menampar dadanya. Seperti tadi, Empu Tunjungpetak meloncat ke belakang untuk memberi kesempatan kepada dua kawannya agar menyerang dari belakang. Dan memang, Resi Harimurti dan Resi Mahapati segera menyerang dari belakang dengan hebatnya, dan pecut panjang Resi Harimurti lebih dulu dapat mengenai punggung dan tengkuk Ki Jembros dengan lecutannya.   "Tarrr... plakkk, brettt...!" baju di punggung itu robek seperti dikerat pisau, punggung dan tengkuknya terkena lecutan, rasanya panas seperti disengat kalajengking. Akan tetapi, sekali ini Ki Jembros tidak memperdulikan serangan dari belakangnya, menubruk ke arah Empu Tunjungpetak.   "Plakk! Desssss....!" Empu Tunjungpetak cepat menangkis serangan lawan dan pada saat itu, pukulan kipas bambu di tangan Resi Harimurti telah mengenai lambung kiri dan hantaman tangan Resi Mahapati mengenai punggung dengan hebat sehingga tubuh Ki Jembros terdorong ke depan. Hal ini mencelakakan Empu Tunjungpetak, karena kecepatan gerak tubuh Ki Jembros menjadi makin hebat tersurung oleh serangan dari belakang itu dan tiba-tiba tubuhnya telah berhasil menubruk tubuh Empu Tunjungpetak dan kedua tangannya telah berhasil mencekik leher Empu Tunjungpetak!   Empu Tunjungpetak cepat menggunakan kedua tangan untuk berusaha melepaskan cekikan, namun terdengar Ki Jembros tertawa tergelak-gelak dan cekikannya tidak pernah mengendur. Resi Mahapati yang melihat kakak seperguruannya terancam bahaya, cepat melakukan pemukulan-pemukulan hebat dari belakang, demikian pula Resi Harimurti, akan tetapi Ki Jembros tidak mempedulikan serangan dan pukulan-pukulan mereka berdua itu, dan melihat betapa Empu Tunjungpetak yang telah dicekiknya itu masih juga belum menyerahkan nyawanya, Ki Jembros tertawa bergelak lalu dia menggerakkan kepalanya, dihantamkan ke depan mengenai kepala Empu Tunjungpetak.   "Prakkkk!" Pecahlah kepala Empu Tunjungpetak dan pada saat itu, Resi Mahapati dan Resi Harimurti juga mengerahkan seluruh tenaga mereka menghantam kearah tengkuk dan punggung Ki Jembros.   "Dessss! Dessss...!"     Ki Jembros melepaskan tubuh Empu Tunjungpetak yang sudah tak bernyawa lagi, dan dia muntahkan darah segar, cepat membalik dengan kedua lengan menyambar. Akan tetapi kedua orang lawannya itu telah mencelat mundur dan memandang dengan muka pucat, mata terbelalak penuh rasa kaget dan jerih melihat betapa Empu Tunjungpetak telah tewas dan juga betapa Ki Jembros yang telah menerima pukulan-pukulan maut bertubi-tubi itu masih dapat melawan dengan demikian hebatnya. Muka yang penuh cambang bauk itu berlepotan dara yang menyembur dari mulutnya dan matanya terbelalak, mulutnya terbuka dan masih mengeluarkan suara tertawa! Tiba-tiba Ki Jembros menubruk, mengembangkan kedua lengannya. Resi Mahapati dan Resi Harimurti cepat mengelak ke belakang, akan tetapi ternyata Ki Jembros hanya menubruk tanah dengan kedua tangan yang dikembangkan dan sama sekali tidak bergerak lagi.   Ketika dengan hati-hati dua orang resi itu memeriksa tubuh kakek raksasa itu, ternyata Ki Jembros telah mati pula. Para perajurit bersorak gembira melihat orang terakhir yang mengerikan dari pihak musuh itu tewas, akan tetapi diam-diam Resi Mahapati dan Resi Harimurti harus mengakui bahwa selama hidup, baru sekarang ini menghadapi lawan yang demikian saktinya.   Yang paling berduka mendengar berita kematian Lembu Sora adalah sang prabu sendiri. Semenjak kematian Ronggo Lawe, sang prabu sudah merasa amat berduka, apalagi kini ditambah dengan kematian Lembu Sora, seorang yang paling dipercaya, paling disayang selama ini, sejak sebelum dia menjadi raja sampai sekarang!   Kalau dia teringat betapa Lembu Sora di waktu masih sengsara dahulu, melakukan perjalanan penuh derita bersama Dyah Tribuana, melindunginya dan membelanya dengan taruhan nyawa, bahkan pernah menyediakan tubuhnya untuk dijadikan tempat duduk oleh sang prabu dan isterinya karena tempat itu kotor dan becek, teringat akan semua pembelaannya di dalam perang, maka hati sang prabu seperti disayat-sayat rasanya mendengar kematian Lembu Sora sebagai seorang pemberontak! Sang prabu adalah seorang manusia yang bijaksana, yang tidak akan berduka menghadapi kematian siapa pun, akan tetapi yang mendukakan hatinya adalah melihat Lembu Sora mati sebagai seorang pemberontak. Apalagi ketika para isterinya, putri-putri mendiang Raja Kertanegara, menyatakan penyesalan mereka atas peristiwa yang mengakibatkan kematian Lembu Sora, sang prabu menjadi makin berduka. Akan tetapi, rasa girang yang diperlihatkan oleh isterinya yang paling disayangnya, yaitu Sri Indreswari atau Dara Petak dari Malayu, yang merasa puas mendengar kematian Lembu Sora yang dianggapnya berdosa karena membunuh Kebo Anabrang senopati yang disayang oleh isteri dari Malayu ini, membuat hati sang prabu yang berduka itu menjadi hancur dan bingung. Dan akhirnya, sang prabu jatuh sakit dan semenjak itu, kesehatannya mundur sekali, wajahnya sering sekali murung dan sang prabu banyak termenung dengan wajah muram.   Sementara itu, peristiwa yang terjadi berturut-turut semenjak pemberontakan Ronggo Lawe yang baru lima tahun kemudian disusul pemberontakan Lembu Sora, juga menyedihkan hati seorang senopati tua di Kerajaan Mojopahit. Senopati itu adalah Aryo Pranarojo, yang juga merupakan seorang di antara deretan senopati yang setia dan sudah bertahun-tahun mengabdi kepada Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana semenjak sang prabu masih belum menjadi raja dan bernama Raden Wijaya dulu. Aryo Pranarojo ini bukan lain adalah ayah dari Ki Patih Nambi!     Sebagai seorang yang bijaksana, Aryo Pranarojo berduka karena melihat kenyataan bahwa terjadinya huru-hara, terjadinya pemberontakan-pemberontakan itu, yang mengakibatkan gugurnya banyak senopati gemblengan dan pilihan, semata-mata adalah karena pengangkatan puteranya, Raden Nambi sebagai patih. Dan ayah ini pun melihat betapa puteranya mempertahankan kedudukannya itu dengan mati-matian.   Melihat betapa kedudukan yang dipertahankan puteranya itu telah mengakibatkan gugurnya begitu banyak senopati dan perajurit, hati Aryo Pranarojo seperti diremas-remas rasanya. Begitu banyak sahabat-sahabatnya yang gugur, Ronggo Lawe, Kebo Anabrang, Lembu Sora, Juru Demung, Raden Gajah Biru, bahkan juga pertapa-pertapa sakti seperti Empu Tunjungpetak dan Ki Jembros, belum lagi ratusan bahkan ribuan perajurit, telah tewas. Dan setelah tewasnya Lembu Sora, dia melihat betapa sang prabu menjadi berduka dan kesehatannya mundur, maka makin sedihlah hatinya. Maka dia teringat kepada sahabatnya yang terbaik sejak muda, yaitu Aryo Wirorojo, ayah Ronggo Lawe yang kini menjadi adipati di Lumajang. Sahabatnya itu, biar pun telah kehilangan puteranya, namun tidak mau mencampuri urusan perebutan kekuasaan, bahkan kini mengundurkan diri ke Lumajang setelah menerima bagian tanah dan sama sekali tidak mau campur tangan dalam urusan Mojopahit. Betapa bahagianya sahabatnya itu yang tidak mau mengikatkan dirinya. Teringat akan sahabatnya, dia pun lalu mengundurkan diri dan membawa keluarganya berangkat ke Lumajang, meninggalkan puteranya, Ki Patih Nambi yang masih haus akan kekuasaan dan mempertahankan kedudukannya melebihi nyawanya sendiri. Dan kepergian Aryo Pranarojo ini makin mendatangkan rasa kesepian di hari sang prabu, namun mengingat bahwa senopati ini sudah tua dan berhak untuk menghabiskan waktu hidupnya dengan tentram, sang prabu tidak tega untuk mencegahnya.   ***     Waktu berjalan terus, tidak memperdulikan segala peristiwa yang terjadi di dunia. Dan waktu akan menelan segalanya yang terbentang di hadapannya! Waktu akan menghapus segala noda dan luka dari hati manusia. Tidak ada kesukaan atau kedukaan yang dapat menahan, semuanya digulung oleh waktu!   Akan tetapi, sebelum sang waktu menggulung dan menghapusnya, kita selalu menyimpan segala peristiwa itu sebagai kenangan, baik yang menyenangkan mau pun yang tidak menyenangkan. Dan penyimpanan sebagai ingatan atau kenangan inilah yang menimbulkan derita dalam hidup! Peristiwa yang menyenangkan badan atau batin, kita simpan sebagai pengalaman yang nikmat dan menyenangkan dan hal ini membuat kita selalu teringat dan selalu mengejar terulangnya kembali peristiwa itu. Dalam pengejaran inilah terjadi banyak sekali hal-hal yang menimbulkan derita hidup, karena pengejaran ini melahirkan kekerasan, yaitu kita ingin menyingkirkan segala penghalang tercapainya yang kita kejar-kejar sehingga dengan sendirinya perbuatan ini menimbulkan pertentangan dan permusuhan. Juga, kalau pengejaran kita tidak berhasil, maka timbullah kecewa dan duka. Sebaliknya, kalau pengejaran kita itu tercapai, kita akan menjadi bosan atau tidak lagi menghargai yang kita kejar-kejar itu karena kita haus akan pengalaman-pengalaman lain yang LEBIH menyenangkan. Sebaliknya, peristiwa yang tidak menyenangkan disimpannya sebagai pengalaman yang tidak enak sehingga kita ingin selalu menjauhi dan menentangnya. Di samping ini, peristiwa yang tidak menyenangkan menimbulkan amarah dan dendam sehingga membuat kita ingin sekali membalas kepada penyebab dari ketidaksenangan itu!   Demikianlah, peristiwa yang disimpan dalam kenangan, baik yang menyenangkan mau pun yang tidak, menimbulkan serangkaian hal yang dapat menyeret kita ke lembah derita dan duka, sebelum sang waktu menggulung dan menghapusnya.   Betapa akan lain keadaannya apabila kita dapat MENGAKHIRI segala peristiwa kita, baik yang menyenangkan maupun yang tidak, mengakhirinya pada saat itu pula dan tidak menyimpannya sebagai kenangan! Mengakhiri segala peristiwa berarti lenyapnya keinginan untuk mengulang, dan lenyapnya sakit hati dan dendam. Batin menjadi kosong dan hening, siap untuk menghadapi segala macam peristiwa yang terjadi saat ini tanpa dikotori oleh peristiwa masa lalu dan tanpa memusingkan perisitwa yang akan atau mungkin terjadi.   Akan tetapi sayang, kita sudah terbiasa untuk mengenangkan kembali, terbiasa untuk mengunyah kembali segala peristiwa. Kalau kita berduka, kita sudah biasa untuk meremas-remas batin kita, mengenangkan semua yang mendukakan itu kembali sehingga timbullah penyesalan, sakit hati dan lain-lain. Sebaliknya kalau kita merasakan suatu kesenangan kita menyimpannya dalam kesenangan sehingga timbul pengejaran terhadap kesenangan-kesenangan itu yang tiada hentinya. Jadi sebelum sang waktu menggulung semua itu, sebelum sang waktu menggulung kita ke detik terakhir dari hidup kita, kita selalu dipermainkan oleh pikiran kita sendiri, diombang-ambingkan dalam kehidupan seolah-olah kita hidup dalam alam kenangan dan khayal dan tidak pernah hidup dalam alam kini atau saat ini!   Empat tahun telah lewat tanpa terasa, dan memang empat tahun bukan apa-apa bagi sang waktu yang tak dapat diukur lagi berapa tuanya. Sejuta tahun, sepuluh juta tahun, seratus juta? Mungkin lebih! Dan dunia berputar terus. Manusia lahir dan mati, dan hidup selalu penuh derita, penuh permusuhan, dengan hanya sedikit sekali suka cita dibandingkan dengan banyaknya duka.   Gunung Bromo merupakan sebuah di antara gunung-gunung yang besar dan tinggi di Jawa Dwipa dan merupakan sebuah gunung berapi yang mempunyai kawah besar yang selalu mengepulkan uap dan dianggap pula sebagai sebuah gunung yang keramat. Sesuai dengan namanya, gunung itu dianggap sebagai tempat yang dikuasai oleh sang Bathara Bromo, Dewa Api.     Seperti keadaan gunung-gunung berapi, di lereng-lereng Gunung Bromo bayak terdapat batu-batu besar dan daerah-daerah tandus yang pernah dilalui oleh lahar, akan tetapi daerah-daerah lain di sekitarnya amat subur sehingga penuh dengan hutan-hutan yang lebat. Juga pegunungan ini mempunyai banyak puncak-puncak yang indah pemandangan alamnya.   Puncak kecil itu merupakan daerah terpencil, jauh dari dusun yang kebanyakan terdapat di lereng agak bawah, dimana tanahnya paling subur. Hanya ada sebuah gubuk di puncak itu, gubuk kecil berkamar dua terbuat dari bilik bambu sederhana dan atap daun ilalang. Akan tetapi, biar pun amat sederhana dan tentu disebut miskin, harus diakui bahwa gubuk itu bersih dan terpelihara baik-baik, bahkan pelataran di sekitar gubuk itu pun bersih dari daun-daun kering, tanda bahwa setiap hari tempat itu tentu disapu orang. Juga disebelah belakang gubuk terdapat sebuah taman kecil penuh dengan bunga-bunga indah yang memang amat subur hidupnya di tanah pegunungan. Di sebelah dan taman itu terdapat kebun sayur yang cukup luas.   Pagi itu, seorang pemuda yang usianya kurang lebih delapan belas tahun, melenggang seenaknya keluar dari dalam kebun, tangan kanan membawa seikat sayur segar dan dengan wajah yang amat tampan dan cerah dia memasuki taman, lalu dengan tangan kirinya memetik setangkai kembang mawar merah dan mencium kembang itu lalu menancapkan tangkainya diantara rambutnya yang hitam. Kemudian dia melenggang lagi menuju ke gubuk. Ketika dia tiba di depan gubuk menuju ke pintu karena gubuk itu hanya mempunyai satu pintu depan saja, tiba-tiba wajahnya berubah dan heran melihat seorang kakek yang tua renta, pakaiannya hanya kain kuning yang dibelit-belitkan di tubuhnya yang kurus kering, rambutnya panjang, demikian pula jenggot dan kumisnya, semuanya telah putih. Kakek itu duduk diatas dipan bambu yang berada di depan gubuk, duduk bersila dengan tenangnya.   "Ah, eyang guru telah berada di luar sepagi ini?" kata pemuda itu dengan suaranya yang halus namun penuh dengan gairah hidup, penuh dengan kegembiraan seperti biasa suara seorang muda yang belum dikotori batinnya oleh segala macam persoalan hidup. Cepat dia menghampiri kakek itu, menaruh sayur di atas dipan lalu berlutut dan mencium tangan kakek itu penuh khidmat.   Wajah kakek yang lembut dan penuh ketenangan dan kesabaran itu tersenyum ketika dia memandang kembang mawat merah di atas kepala pemuda itu. Lalu dia berkata dengan halus, "Cucuku, Sulastri, engkau memang bocah yang aneh!"     Pemuda itu kini duduk di atas dipan setelah tangannya ditarik oleh kakek itu, dan sambil menatap wajah kakek yang lembut itu dia berkata matanya yang bening lebar terbelalak, alisnya terangkat dan dia menjawab lincah, "Saya...? Aneh...? Eyang, apakah hidung saya dua, ataukah mata saya hanya sebuah maka eyang bilang saya aneh?"   Senyum di mulut ompong itu melebar. Harus diakuinya bahwa semenjak cucu muridnya ini tinggal di dalam gubug itu, kecerahan dan kegembiraan selalu mengelilinginya dan dia yang sudah tua dan sudah biasa menyepi itu tidak dapat tidak terseret ke dalam arus kegembiraan cucu muridnya itu.   Siapakah kakek yang tua renta itu? Dan siapa pula "pemuda" yang dipanggil dengan nama wanita itu? Pembaca tentu masih ingat akan nama Sulastri, dara yang empat tahun lalu masih merupakan dara remaja yang lincah jenaka dan bengal, murid Ki Jembros, bocah perempuan yang datang dari dusun Gedangan itu. Memang "pemuda" ini adalah Sulastri dan kakek itu adalah seorang pertapa yang sudah puluhan tahun bertapa di puncak itu, puncak Pegunungan Bromo dan dia adalah Empu Supamandrangi yang sakti mandraguna dan yang sudah tidak mencampuri lagi urusan duniawi. Dahulu, puluhan tahun yang lalu sebelum dia menjadi pertapa, dia terkenal sebagai seorang ahli pembuat keris yang ampuh-ampuh, di antaranya adalah keris pusaka Kolonadah milik Ronggo Lawe. Kakek ini adalah guru dari Ronggo Lawe, dan karena semenjak kecil Sulastri telah "mengaku murid" dari Ronggo Lawe, maka dia menyebut eyang guru kepada kakek yang kini menjadi gurunya itu.   Seperti telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini, tadinya Sulastri, empat tahun yang lalu, masih ikut merantau dan berkeliaran tak tentu tempat tinggalnya bersama gurunya yang aneh, yaitu Ki Jembros. Ketika Ki Jembros bertemu dengan Empu Tunjungpetak dan Resi Harimurti, kemudian bertanding di keroyok dua, Ki Jembros terluka dan kebetulan mereka lalu bertemu dengan Juru Demung dan Raden Gajah Biru di Pegunungan Pandan, di mana Ki Jembros akhirnya lalu beristirahat untuk menyembuhkan luka-lukanya di sebelah dalam tubuhnya. Dan karena dia tidak ingin muridnya yang tersayang itu terlibat dalam keributan yang agaknya akan terjadi antara kawan-kawan Lembu Sora dan Mojopahit, maka dia menyuruh muridnya itu untuk pergi sendiri ke Pegunungan Bromo dan mencari kakek gurunya, yaitu Empu Supamandrangi di puncak Pegunungan Bromo.   Tentu saja perjalanan seorang diri itu merupakan perjalanan yang amat sukar dan berbahaya bagi seorang gadis yang ketika itu baru berusia empat belas tahun seperti Sulastri. Namun berkat ketekunan dan keberaniannya, dengan susah payah, setelah menempuh banyak sekali kesengsaraan, akhirnya dapat juga Sulastri menemukan Gubug itu dia menyembah di depan kaki sang pertapa. Setelah mendengar akan penuturan Sulastri, kakek itu menerimanya tinggal di situ dan menjadi muridnya. Demikianlah, ketika pada pagi hari itu Sulastri melihat gurunya pagi-pagi telah berada di depan gubug, dia telah menjadi murid Empu Supamandrangi selama empat tahun dan kini dia bukan lagi Sulastri yang dulu, melainkan telah menjadi seorang dara perkasa yang dewasa, namun masih lincah dan kenes, jenaka dan manja seperti dahulu, bahkan kini dia mengenakan pakaian pria dan menjadi seorang "pemuda" yang amat tampan, bahkan "terlalu" tampan!     "Kenapa eyang diam saja? Jawablah, eyang, kenapa saya dianggap aneh?" Sulastri mendesak kakek itu ketika pertanyaannya tidak dijawab.   Kakek itu menarik napas panjang. "Sulastri, engkau adalah seorang anak perempuan yang cantik dan jenaka, seorang wanita tulen, akan tetapi engkau selalu memakai pakaian pria. Aku tidak hendak melarang kesukaan orang, hanya bukankah hal itu merupakan suatu keanehan?"   "Eyang, saya telah bersumpah kepada diri sendiri sebelum tercapai atau terlaksana idaman hati saya, maka saya akan terus mengenakan pakaian pria!"   "Hemmm... begitukah? Dan apakah idaman hatimu itu?"   "Pertama, membunuh Reksosuro dan Darumuko! Ke dua..."   "Sulastri, sungguh sedih hatiku mendengar ini. Amat tidak baik idaman hatimu, cucuku. Tak baik hidup menanggung dendam dan permusuhan. Apalagi membunuh orang."   "Habis untuk apa saya bersusah payah sejak kecil mempelajari ilmu kalau saya tidak boleh membunuh mereka yang telah melakukan perbuatan jahat terhadap saya, maksud saya terhadap mendiang kakek saya?"   "Mempelajari segala macam ilmu boleh dan baik saja, akan tetapi kalau dengan tujuan yang buruk, ilmu itu pun menjadi sesuatu yang buruk, merupakan kutukan. Yang paling penting adalah membela kebenaran, cucuku, dan pada siapa pun kebenaran itu berada, haruslah dibela. Sebaliknya, yang salah haruslah ditentang, biar pun yang salah adalah dirimu sendiri." Kakek itu kembali menghela napas panjang karena dia maklum betapa sia-sianya memberi nasihat, seperti sia-sianya semua nasihat di dunia ini, karena yang paling penting adalah kesadaran diri sendiri. Tanpa adanya kesadaran dan pengertian sendiri itu, sesmua nasihat dan wehangan hanya akan merupakan angin lalu berlaka, terasa semilirnya lalu lenyap tanpa bekas, atau lebih celaka lagi, wejangan itu hanya akan menjadi semacam hiasan untuk membanggakan diri, atau disalah gunakan sebagai "bukti" kebersihan dan kebaikan dirinya.   "Kalau engkau akan terus memakai pakaian pria, hal itu terserah kepadamu, akan tetapi janganlah berbuat kepalang tanggung, cucuku, karena kalau demikian, engkau hanya akan menjadi buah tertawaan orang lain saja."   "Maksud eyang...?"   Kakek itu memandang kearah bunga mawar merah di rambut Sulastri. "Kembang mawar di rambutmu itu."   Sulastri meraba kembang itu dan tersenyum. "Apa salahnya, eyang? Apakah seorang pria tidak boleh menghias rambutnya dengan kembang?"   "Tidak ada yang melarang dan tidak ada yang menganjurkan, hanya biasanya, wanita sajalah yang menghias rambutnya dengan kembang seperti itu. Maka, kalau memang engkau hendak menyamar sebagai pria, hal itu memang baik sekali dan menjauhkan kesulitan dalam perjalananmu, akan tetapi enkau harus pula menyembunyikan kesukaanmu bersolek seperti kebiasaan seorang wanita."   (Bersambung ke Jilid 22)   Jilid 22   "Perjalanan? Apakah saya harus melakukan perjalanan, eyang?"   Kakek itu mengangguk. "Karena itulah pagi-pagi aku menunggumu di sini, Sulastri. Hari ini juga engkau harus turun dari puncak dan melakukan perjalanan jauh."   "Ahhh...!" Berita ini terlalu mengejutkan buat Sulastri. Sudah selama setahun akhir-akhir ini dia selalu merengek minta ijin untuk turun gunung, akan tetapi kakek itu selalu melarangnya dan memerintahkannya untuk memperdalam ilmunya yang dikatakan masih belum cukup untuk bekal turun gunung. Maka kini, ucapan kakek itu mengejutkan, sekaligus menggirangkan hatinya.   "Terima kasih, eyang...!" Dia cepat menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek Empu Supamandrangi.   "Aihh, bocah ini..." Sang Empu mengomel geli. "Sikapmu seperti orang yang mau pergi ke pesta atau mau pesiar saja, padahal perjalananmu akan menempuh banyak macam bahaya. Engkau harus dapat merubah sikapmu yang seperti kanak-kanak, Lastri, karena hidup bukanlah main-main belaka. Apalagi hidup seorang seperti engkau yang diracuni oleh latar belakang penuh dendam. Mulai sekarang keputusan dalam langkah hidupmu sepenuhnya berada di tanganmu, dan kau boleh melakukan apa pun juga menurut keputusan dirimu sendiri, dan hal itu amat berbahaya. Aku hanya mempunyai suatu pesan yang kuharap engkau dapat memenuhinya."   "Pesan apakah itu, eyang? Saya berjanji akan melaksanakannya dan memenuhinya dengan sepenuh hati saya!"   Kembali kakek itu tersenyum. "Cucuku, lain kali jangan engkau begitu mudah menjatuhkan janji dan sumpah. Yang penting dalam hidup ini bukan segala macam janji melainkan kenyataan dalam perbuatan. Pesanku adalah agar engkau suka mengambil kembali keris pusaka Kolonadah dan kemudian menyerahkan kepada Pangeran Kolo Gemet, putera sang prabu di Mojopahit."   "Eh, kenapa harus diserahkan kepada Pangeran Kolo Gemet, eyang?" Sulastri bertanya, heran dan juga kecewa karena tadinya dia ingin memiliki sendiri keris pusaka itu.   "Tidak perlu kau mengetahui terlalu banyak akan rahasia ini, cucuku, hanya ketahuilah bahwa keris itu dahulu kubuat dengan susah payah dan kubuat khusus untuk seorang raja. Sayang bahwa keris itu memiliki wibaya yang demikian kuat sehingga muridku Ronggo Lawe-pun terdorong memperebutkan kekuasaan dan karenanya dia menemui kematian. Hanya demikian saja yang dapat kujelaskan, maka Kolonadah itu supaya kau serahkan kepada Pangeran Kolo Gemet."   Sulastri menyembah dan berkata, "Baik, eyang, akan saya taati perintah eyang. Akan tetapi..."   "Hemm, apalagi? Mengapa ada bayangan keraguan di wajahmu?"     "Eyang sudah sangat tua, selama empat tahun ini ada saya di sini untuk membantu dan melayani eyang, memelihara tanaman, mencuci dan masak. Kalau saya pergi dan eyang hidup sendiri..."   "Ha-ha-ha, memang kehadiranmu di sini hanya membuat aku menjadi malas dan keenakan saja, cucuku. Kau kira siapakah yang melayani aku selama engkau belum tiba di sini? Kalau aku ingin dilayani orang, ingin hidup mulia secara lahiriah, apa kau kira aku bertapa dan berada di sini selama puluhan tahun? Ha-ha-ha, dengan membikin dan menjual keris saja aku dapat hidup kaya dan mempunyai banyak pelayan di kota. Jangan khawatir, cucuku, seekor semut saja dapat merawat dan memelihara diri sendiri, masa aku kalah oleh semut?"   Mendapat jawaban demikian, Sulastri tersenyum dan legalah hatinya. Dia lalu berkemas, mengumpulkan pakaiannya yang tidak berapa banyak, semua pakaian pria yang sederhana namun cukup rapat menutupi tubuhnya sehingga tidak akan ada yang tahu bahwa dia seorang wanita. Kemudian, dengan sebuah buntalan pakaian di pundaknya, dia berlutut lagi di depan kakek yang masih duduk bersila di atas dipan bambu di depan gubug.   "Apakah saya boleh berangkat sekarang, eyang?"   "Berangkatlah, cucuku, dan berhati-hatilah," kata si kakek sambil tersenyum melihat bahwa kembang mawar merah tadi sudah tidak lagi menghias rambut kepala Sulastri. "Dan engkau pun tentu saja tidak dapat mempergunakan nama Sulastri di dalam perjalanan. Mana mungkin ada seorang pemuda tampan seperti ini bernama Sulastri!"   Sulastri tersenyum lagi. Kejenakaan eyangnya itu membuat hatinya ringan dan tidak terasa terlalu berat meninggalkan tempat di mana dia telah tinggal selama empat tahun, terutama meninggalkan kakek renta yang selama ini menggemblengnya dan dilayaninya itu.   "Mohon eyang sudi memberi nama samaran kepada saya."   "Kenapa tidak kau cari sendiri? Apakah kau sudah memilih sebuah nama yang baik?"   "Saya sudah memilih sebuah nama, eyang, nama yang sederhana dan mudah, yaitu Joko Bromatmojo."   "Heh-heh, cukup bagus. Bromatmojo berarti Bromo-atmojo (anak Bromo), anak Gunung Bromo. Nama yang baik sekali."   Setelah berpamit lagi dari kakek itu dan mendapatkan doa restunya, berangkatlah Sulastri turun dari puncak itu, diikuti pandang mata kakek Empu Supamandrangi dengan sinar mata sayu. Setelah bayangan dara itu lenyap, kakek itu menarik napas tiga kali dan berkata lirih, "Betapa kuatnya ikatan yang timbul dari pementingan diri!" Dia lalu memejamkan matanya dan diam sampai lama sekali.     Memang demikianlah. Biar pun seorang pertapa seperti Empu Supamandrangi yang sudah melepaskan keduniawian, begitu bertemu dengan sesuatu yang menyenangkan dirinya, sesuatu yang dinikmatinya, terjadi ikatan dan terasa nyeri di dalam hati kalau ikatan itu dipatahkan. Hidupnya tadinya tenang dan tenteram, seperti air yang tiada gelombang. Akan tetapi muncullah Sulastri yang membawa kecerahan di dalam hidupnya yang menyenangkan hatinya, melayaninya dan berbakti kepadanya sehingga timbul rasa sayang di dalam hatinya. Perasaan sayang yang timbul karena dia disenangkan! Perasaan ini menonjolkan sifat pementingan diri pribadi dan menciptakan suatu ikatan di dalam batinnya karena dia ingin agar kesenangan itu dilanjutkan dan jangan sampai diambil dari dia! Karena itulah maka perpisahan merupakan sesuatu yang amat berat bagi orang yang terikat batinnya.   Jadi terang bahwa ikatan menimbulkan duka, yaitu apabila kita diharuskan berpisah dari yang terikat kepada kita, dan ikatan timbul dari keinginan melanjutkan kesenangan. Hal ini sudah jelas. Bukan berarti bahwa kita harus menolak atau menentang kesenangan, sama sekali tidak, melainkan kita tidak mengejarnya. Dan kita baru bisa mengejar kesenangan kalau kita tidak menyimpan pengalaman yang menyenangkan di dalam ingatan atau kesenangan!   ***   Pada suatu pagi tibalah Sulastri di sebuah hutan yang lebat. Baru saja malam tadi dia bermalam di sebuah dusun, di rumah seorang petani tua bersama isterinya dan dari mereka ini dia mendengar bahwa hutan di sebelah barat dusun ini terkenal gawat. Apalagi karena di situ akhir-akhir ini, selama beberapa bulan ini, berkeliaran seorang gila yang sudah membunuh beberapa orang.   "Anehnya, yang dibunuhnya selalu adalah orang muda yang tampan. Oleh karena itu, raden, kami harap andika jangan melalui hutan di barat itu," kata tuan rumah dengan khawatir melihat betapa "pemuda" yang menjadi tamunya begitu tampan dan halus, kelihatan begitu lemah.   Sulastri berjanji akan mengambil jalan lain agar tidak mengkhawatirkan keluarga yang demikian baiknya, akan tetapi tentu saja penuturan itu malah membuat hatinya tertarik sekali dan andaikata dia tidak sedang melakukan perjalanan ke barat sekalipun, agaknya kalau mendengar cerita itu dia akan sengaja memasuki hutan itu untuk menyelidiki! Ada orang gila berkeliaran membunuhi orang, sungguh amat berbahaya kalau didiamkannya saja. Mendengar ada orang gila tukang bunuh, sama halnya bagi dara perkasa ini seperti melihat sebuah lubang tersembunyi di tengah jalan. Hatinya tidak akan tenang sebelum dia menutup lubang itu agar jangan ada orang lain yang terperosok dan celaka. Maka sekarang pun dia merasa tidak enak sebelum dia memasuki hutan itu dan menaklukkan orang gila yang berbahaya itu!   Sejak kecilnya Sulastri memang memiliki ketabahan luar biasa. Keberanian hatinya ini digembleng pula oleh pengalaman-pengalaman pahit dan kemudian ditambah oleh gemblengan Ki Jembros sehingga dia hampir saja menjadi seorang yang liar dan ganas! Untung baginya bahwa menjelang dewasa, dia terdidik oleh Empu Supamandrangi sehingga kesadarannya terbuka dan dia tidak lagi liar sungguh pun tidak dapat melenyapkan wataknya yang jenaka, aneh, dan Bengal suka menggoda orang!     Dengan hati agak ngeri juga, kengerian orang menghadapi orang gila, ngeri bercampur jijik, Sulastri memasuki bagian yang paling lebat di hutan itu. Pohon-pohon besar yang usianya mungkin sudah ratusan tahun seperti raksasa-raksasa menyeramkan dan semak-semak belukar kadang-kadang demikian tebal menghalang jalan sehingga Sulastri harus mengambil jalan memutar. Tentu saja dia sama sekali asing dengan daerah ini, dan dia pun sudah lupa lagi jalan mana yang diambilnya empat tahun lalu ketika dia datang dari barat menuju ke Pegunungan Bromo. Satu-satunya pegangan baginya agar tidak tersesat hanyalah matahari yang dia tahu timbul dari timur dan kalau pagi hari itu dia menuju kearah depan dengan matahari di belakangnya, kemudian kalau sore atau lewat tengah hari dia mengambil arah dengan matahari di depannya, maka dia tidak akan tersesat!   "Hua-ha-ha-hah!"   Sulastri melonjak saking terperanjatnya. Dia baru enak-enak melamun tiba-tiba saja ada suara ketawa sekeras itu, suara ketawa yang menyeramkan sekali dan orangnya yang tertawa itu tidak nampak! Siapa orangnya tidak akan kaget dan merasa serem? Sulastri menghentikan langkahnya, terasa betapa jantungnya membuat suara seperti sebuah gendang dipukul sekuatnya. "Duk-duk-duk-duk..." berdenyut-denyut sampai terasa ke ubun-ubun kepalanya! Dia menarik napas panjang untuk menenangkan jantungnya dan matanya menendang ke sekeliling dengan waspada. Kewaspadaan ini yang membuat dia cepat memutar tubuh ke kanan ketika ada gerakan dari semak-semak belukar di sebelah kanannya.   "Wuuuuutttt.... blukkkk!" Batu sebesar gentong itu terbaring ke atas tanah di dekat kakinya ketika Sulastri cepat mengelak, kemudian memandang dengan penuh perhatian ketika dari balik semak-semak belukar itu muncul seorang laki-laki yang bentuk tubuhnya sedang saja, namun wajahnya bengis dan pakaiannya biar pun ada bekasnya sebagai pakaian yang mahal dan pantas, namun karena tidak terawat kini menjadi compang-camping. Matanya bukan seperti orang gila, pikir Sulastri. Tentu ini dia yang disebut orang gila berbahaya itu, buktinya tiada hujan tiada angin tanpa sebab apa-apa orang itu hampir saja membunuhnya dengan lontaran batu yang demikian besarnya. Kalau mengenai orang yang tidak pandai mengelak, tentu akan pecah kepalanya atau remuk badannya. Akan tetapi di samping ini, ada bukti lain yang menarik hatinya, ialah bahwa orang ini bukan orang sembarangan. Orang yang dapat melontarkan batu seberat itu dengan tenaga lontaran yang demikian kuat, tentu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi.   "Hei, apa artinya ini?" Sulastri bertanya kepada laki-laki yang kini sudah menghampirinya, laki-laki yang usianya kurang lebih lima puluh tahun.   "Ha-ha-ha, sekali ini tidak salah lagi. Engkaulah si manusia busuk!" Laki-laki itu makin beringas matanya dan memang Sulastri melihat sinar mata yang lain daripada mata orang biasa, mengandung dendam kebencian dan kemarahan yang sudah mendekati kegilaan. Orang itu sudah menubruk maju, serangannya cepat dan kuat, akan tetapi membabi buta seperti yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang tidak lagi memperdulikan pembelaan dirinya, hanya ingin menyerang dan membunuh!   "Wirr-wirr... plak-plakk!" Orang itu terhuyung miring ketika Sulastri mengelak kemudian menangkis dengan lengan kirinya dua kali sambil mengerahkan sebagian tenaganya.   "Ha-ha-ha!" Orang itu malah tertawa dan menyerang lagi.     "Eh, kisanak, nanti dulu!" Sulastri mengelak sambil berseru. "Mengapa engkau menyerangku? Kita belum saling mengenal dan aku tidak pernah melakukan suatu kesalahan kepadamu. Kalau ada urusan, mari kita bicarakan dulu sebelum kau menyerangku!"   "Wuuutt-wir-wirr...!" Pukulan-pukulan yang keras menyambar-nyambar namun semua dapat dielakkan oleh Sulastri dengan mudah.   "Ha-ha-ha, jelas sekarang! Siapa lagi kalau bukan kau? Kau pandai bicara, suaramu merdu dan halus, dengan itu engkau telah merayu Katmi! Engkau juga pandai berkelahi, tenagamu kuat, dengan itu engkau telah membunuhnya. Bagus.... engkaulah orangnya, kini tidak salah lagi!" Kakek itu berkata sambil tertawa-tawa dan terus menyerang tak pernah berhenti.   "Bukan! Jangan menuduh yang tidak-tidak. Mari kita bicara!" Sulastri membentak sambil mengelak lagi. Akan tetapi kini laki-laki itu tidak menjawab, hanya mengeluarkan suara menggereng dan tiba-tiba dia telah mencabut sebuah parang yang tajam mengkilap dan dengan senjata ini, dia menyerang dengan ganas.   Sulastri cepat mengelak. "Hemm... orang sinting! Kau nekat dan hendak berkelahi? Baiklah, nah, terimalah ini!"   "Plakk...!!" Sebuah tamparan yang dilakukan dari samping mengenai pundak kiri orang itu yang terpelanting dan berputar sampai beberapa langkah. Namun orang itu hanya meringis dan sama sekali tidak gentar walau pun tamparan pertama ini saja sudah membuktikan bahwa dia tidak akan menang menghadapi lawan yang masih muda namun sakti ini.   "Ha-ha, mampus kau...!" Dia menerjang dan menubruk seperti seekor srigala dan parangnya membacok kearah kepala Sulastri, tangan kirinya masih mencengkeram kearah perut!   "Sialan! Kau memang sinting!" Sulastri berseru kesal dan tubuhnya miring untuk menghindarkan cengkeraman ke perutnya, kemudian dia mengangkat tangan kiri menangkis ke atas dan tangan kanannya memukul dengan penambahan sedikit tenaga ke arah dada lawan dengan menggunakan punggung tangan.   "Dukk! Plakk...!"   Orang itu mengeluh, parangnya terlepas dari pegangan karena ketika tertangkis tadi, dia merasa lengannya seperti lumpuh dan tidak mampu lagi mempertahankan parangnya, sedangkan pukulan ke dadanya membuat dadanya terasa seperti pecah dan matanya berkunang, tubuhnya terjengkang dan dia roboh bergulingan.     Akan tetapi orang itu sungguh sudah nekat. Dengan mata beringas, dia meloncat bangun lagi dan dengan teriakan seperti binatang buas dia menubruk, menggunakan kedua tangannya mencengkeram ke arah Sulastri.   "Dess...!" Kaki Sulastri yang kecil menendang dan orang itu kembali terpelanting, memegangi perutnya yang kena tending tadi sambil meringis kesakitan. Akan tetapi, kembali dia maju menyerang.   "Orang gila, kau masih nekat?" Sulastri berseru ganas dan kembali tangannya menampar, kini mengarah tengkuk.   "Plakk...! Aughhh...!" Orang itu terpelanting dan roboh, mengeluh panjang dan ketika dia bangkit dan duduk, dia menggoyang-goyang kepala untuk mengusir kepeningan kepalanya, akan tetapi tetap saja pandang matanya berkunang dan dunia seperti berpusing di sekelilingnya.   "Heh... kau bunuhlah aku... hemmm, kau bunuhlah biar aku menyusul Katmi anakku..." katanya terengah-engah.   "Kisanak, engkau salah sangka," Sulastri berkata dengan tenang dan kasihan karena dia maklum bahwa orang ini adalah orang yang agaknya dibikin gila oleh dendam sakit hati yang hebat. "Aku tidak merayu anakmu, tidak pula membunuhnya, akan tetapi kalau kau mau menceritakan kepadaku apa yang terjadi dengan anakmu, barangkali saja aku akan dapat membantumu menangkap pembunuhnya."   Laki-laki itu kini mengangkat muka, menatap wajah Sulastri, kembali menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu mengerutkan alisnya dan bicara kepada diri sendiri, "Yang seorang tampan dan muda, dengan kumis kecil dan tahi lalat di pipi kirinya, dan dua orang lagi yang muda dan juga berkumis, yang seorang tinggi besar dan seorang lagi pesolek dan matanya agak sipit. Hemm... yang dua sudah mampus, akan tetapi kau biar pun muda dan tampan... kau tidak berkumis..."   "Aku memang ... eh, belum berkumis!" kata Sulastri, meraba bibir atasnya.   "Dan tidak ada tahi lalat padamu..."   "Memang ada, akan tetapi bukan di pipi kiri," jawab pula Sulastri.   Laki-laki itu berusaha bangkit berdiri, akan tetapi terhuyung karena kepalanya masih pening, maka dia menjatuhkan diri lagi, duduk di atas tanah. Sulastri juga duduk di atas batu yang tadi disambitkannya kepadanya.   "Di mana...?" Laki-laki yang seperti orang bingung itu otomatis bertanya.   Sulastri merasa betapa mukanya menjadi panas, dia tidak tahu bahwa kedua pipinya menjadi merah. Dia tersenyum, "Bukan urusanmu!" Kemudian dia berkata lagi sambil memandang muka orang, "Apakah engkau yang disohorkan sebagai orang gila pembunuh yang berkeliaran di hutan ini?"     Laki-laki itu mengeluh. "Kau sudah mendengar akan itu dan masih berani memasuki hutan ini?"   "Kenapa aku takut? Dan nyatanya, orang gila pembunuh yang dikabarkan berbahaya itu, hanyalah seorang laki-laki tua yang bingung dan lemah."   Pria itu mengangguk-angguk dan menarik napas panjang berulang-ulang. "Sungguh aneh, dia juga amat pandai, dan engkau... agaknya engkau lebih hebat. Mengapa aku bertemu dengan banyak orang muda yang sakti? Akan tetapi jelas dia berkumis dan bertahi lalat, dan engkau tidak berkumis, tidak bertahi lalat, mukamu halus dan engkau lebih tampan daripada dia."   Sulastri membungkuk dan tersenyum. "Terima kasih atas pujianmu, akan tetapi siapakah si dia itu? Kalau kau mau menceritakan, aku berjanji akan membantumu dan kalau aku bertemu dengan dia, si tahi lalat di pipi kiri itu, tentu akan kupaksa dia datang kepadamu."   "Dia... dia... tak tahu aku namanya, akan tetapi Katmi, anakku.. telah mati..." dan tiba-tiba kakek itu menangis. Agaknya baru sekarang dia dapat menangis. Tangisnya mengguguk seperti anak kecil dan air matanya bercucuran di antara celah-celah jari tangannya. Sulastri memandang dan merasa kasihan, akan tetapi dia mendiamkannya saja, tidak mengganggu karena dia maklum bahwa tangis itu akan dapat meringankan beban yang menekan batin kakek itu.   Setelah tangis mengguguk itu agak mereda, dia berkata halus, "Nah, sekarang ceritakanlah, paman. Ketahuilah bahwa aku sengaja memasuki hutan ini untuk mencarimu setelah aku mendengar tentang paman dari seorang keluarga petani di luar hutan ini. Kalau paman mengandung hati penasaran, sebaiknya diceritakan kepada orang lain yang dapat membantumu, dengan demikian akan meringankan beban penderitaan batin paman."   "Engkau aneh... engkau masih muda dan sakti, juga bijaksana... orang muda, siapakah engkau?"   "Aku Bromatmojo, paman," jawab Sulastri.   "Aihh, jadi andika seorang pemuda sakti mandraguna yang baru turun dari Gunung Bromo?"   Sulastri mengangguk "Aku hanya orang biasa saja, paman, hanya aku akan suka menolong kepada siapa yang patut ditolong."   Kakek itu kelihatan lega dan harapannya kembali lagi, pandang matanya tidak beringas lagi, melainkan sayu diliputi kedukaan. "Dengarlah ceritaku, orang muda yang perkasa dan apakah andika akan menganggap aku seorang yang patut ditolong atau tidak, terserah kepada andika."   Laki-laki itu mulai menuturkan riwayatnya. Dia bernama Kaloka, seorang penduduk dusun Turen. Kaloka adalah seorang pemburu yang terkenal dan keadaannya cukup mampu dan disegani karena selain dia termasuk orang berkecupukan, juga dia suka menolong orang, baik dengan kekayaan mau pun dengan tenaganya karena dia termasuk seorang yang memiliki kedigdayaan. Akan tetapi, isterinya telah meninggal sejak anak tunggalnya berusia lima tahun. Dia tidak mau menikah lagi dan seluruh rasa cinta kasihnya dicurahkan kepada anak tunggalnya, yaitu puterinya yang bernama Katmi. Gadis ini telah berusia tujuh belas tahun ketika malapetaka hebat itu terjadi.     Sebagai seorang pemburu yang berani memasuki daerah-daerah berbahaya untuk mencari buruan yang paling berharga, Kaloka sering kali meninggalkan rumahnya untuk beberapa hari lamanya, kadang-kadang bahkan sampai setengah bulan. Tentu saja Katmi tinggal seorang diri di rumah, hanya ditemani oleh seorang pelayan wanita tua yang telah mengasuhnya sejak dia masih kecil.   Pada suatu hari, ketika sedang pulang dari perburuan, Kaloka berjumpa dengan seorang penduduk Turen yang menceritakan kepadanya bahwa kalau dia pergi berburu, kadang-kadang ada seorang pemuda tampan sedang mengunjungi rumahnya. "Sikapnya mencurigakan dan dia bukan penduduk Turen, kakang Kaloka," kata tetangga itu. "Kami khawatir kalau-kalau puterimu sampai terkena bujuk rayunya karena pemuda itu tampan dan bicaranya manis, namun sikapnya mencurigakan."   Mendengar berita ini, Kaloka langsung menemui anaknya dan menanyakan siapa pemuda yang suka mengunjungi di waktu dia tidak ada di rumah itu. Wajah anaknya menjadi merah dan dengan gugup puterinya itu menjawab bahwa dia tidak mengenal nama pemuda itu. "Dia adalah seorang tamu dari luar dusun yang katanya telah mendengar akan nama ayah dan hanya singgah sebentar, ayah," kata Katmi sambil menundukkan mukanya.   Mula-mula, mendengar alasan puterinya ini, Kaloka tidak mau mengusut lebih jauh. Dia terlalu sayang kepada puterinya dan terlalu percaya. Akan tetapi, Katmi terkenal sebagai kembang dusun Turen dan tentu saja semua pemuda di Turen tergila-gila kepadanya dan mengharapkan untuk dapat memetik bunga ini, yang cantik jelita dan anak orang kaya pula! Memang Katmi cantik, dan dalam usia tujuh belas tahun seperti setangkai bunga sedang mulai mekar. Wajahnya bulat dan manis, bentuk tubuhnya montok padat, agak gemuk tetapi tidak terlalu gemuk, melainkan kegemukan yang mendatangkan gairah karena sesuai dengan bentuk mukanya yang bulat. Kulitnya halus dan agak gelap, akan tetapi bukan hitam, hanya kecoklatan dan yang biasa disebut hitam manis. Karena banyak pemuda yang menaruh hati kepadanya itulah yang membuat peristiwa itu tidak habis sampai disitu saja. Makin banyak Kaloka mendengar laporan-laporan tentang pemuda tampan yang mengunjungi puterinya di waktu dia tidak berada di rumah, terutama pelaporan yang datangnya dari pemuda-pemuda se-dusun itu.   "Aku tidak akan merintangi kesenangan hati anakku," Kaloka mengeluh pada Sulastri yang mendengarkannya dengan tenang. "Akan tetapi cara pemuda itu menggauli anakku sungguh tidak wajar. Kalau memang dia suka, mengapa dia tidak datang saja menemuiku dan melamar? Mengapa dia mengunjungi anakku di waktu aku tidak berada di rumah?"   Dengan hati mulai digoda rasa curiga, pada suatu malam Kaloka pulang dengan tiba-tiba karena memang dia tidak melanjutkan perjalanannya berburu. Dan dengan kedua matanya sendiri, dia melihat betapa seorang pemuda sedang mengadakan pertemuan dengan puterinya itu di dalam taman di belakang rumah, dan pemuda itu merangkul leher puterinya dengan mesra sambil berbisik-bisik! Dapat dibayangkan betapa marahnya ayah itu dan dengan bentakan keras dia meloncat ke dalam taman, dengan maksud menangkap dan menghajar pemuda yang dianggapnya menganggu puterinya itu.   (Bersambung ke Jilid 23)   Jilid 23   Akan tetapi betapa kagetnya ketika pemuda itu dapat mengelak dengan mudah, dan ketika Kaloka yang marah itu memukulnya, dia dapat pula menangkis dan terjadilah perkelahian di dalam taman! Setelah pukul-memukul beberapa lamanya, akhirnya pemuda yang cekatan itu dapat memukul Kaloka, membuat Kaloka terpelanting jatuh dan si pemuda menggunakan kesempatan ini untuk meloncat dan menghilang di dalam gelap.   Katmi menubruk ayahnya dan menangis. Ayahnya marah sekali, akan tetapi karena sayang sekali kepada puterinya, Kaloka menahan kemarahannya, Kaloka bertanya siapa adanya pemuda yang berkumis dan bertahi lalat di pipi kirinya itu.   "Aku tidak tahu namanya, ayah..."   "Hemmm..." Kaloka mengertak gigi saking mengkalnya. "Kau belum mengenal namanya akan tetapi kau membiarkan saja dia merayu dan merangkulmu?"   "Ampunkan aku, ayah. Dia... dia pandai sekali bicara.... dia bercerita macam-macam dan dia amat manis budi..."   "Bodoh! Engkau harus dapat menghargai kehormatan dan namamu, masa begitu mudah menyerahkan diri karena bujuk rayu seorang yang sama sekali tidak kau kenal siapa namanya dan di mana tempat tinggalnya? Kau bodoh, Katmi. Kalau dia berani muncul lagi sewaktu aku tidak ada, jangan kau terima dia sebagai tamu, katakan bahwa kalau memang dia mencintaimu, agar orangtuanya datang melamar!"   "Baik, ayah..." jawab gadis itu sambil berlinang air mata.   Sampai sebulan kemudian, pemuda itu tidak pernah muncul kembali. Beberapa kali Kaloka pura-pura pergi berburu, akan tetapi sesungguhnya dia tidak berburu melainkan kembali lagi melakukan pengintaian. Akan tetapi, pemuda itu tidak muncul lagi dan tidak terjadi sesuatu yang mencurigakan. Hatinya menjadi lega dan dia menganggap bahwa tentu pemuda itu sudah tobat dan tidak berani muncul, hal yang menggirangkan hatinya karena dia amat khawatir. Pemuda itu tampan, pandai merayu, dan di samping itu juga memiliki kepandaian berkelahi yang hebat sehingga dia, yang terkenal jagoan dapat dirobohkannya dengan begitu mudahnya.   "Karena dia tidak muncul lagi selama satu bulan lebih, maka hatiku menjadi tenang dan aku mulai pergi berburu lagi. Akan tetapi, begitu aku pergi berburu benar-benar, terjadilah malapetaka itu..." Dan Kaloka menghentikan ceritanya sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan seolah-olah dia merasa ngeri untuk membayangkan kembali apa yang dilihatnya beberapa bulan yang lalu.   "Apa yang terjadi, paman Kaloka?" tanya Sulastri yang mulai tertarik oleh cerita orang tua itu.     "Ketika aku kembali dari berburu, aku disambut dengan tangis oleh pelayan kami yang menceritakan bahwa semalam Katmi telah minggat!" Kaloka melanjutkan ceritanya. Tentu saja dia menjadi marah bukan main dan sebagai seorang pemburu ulung, dia dapat pula mencari jejak puterinya itu dan akhirnya, pada keesokan harinya pagi-pagi sekali, dia mendapatkan puterinya berada di dalam sebuah hutan tak jauh dari dusun Turen.   "Akan tetapi dia... dia...." Kaloka kembali menghentikan ceritanya.   "Sudah mati...?" tanya Sulastri yang merasa kasihan dan juga ngeri.   Kaloka menggeleng kepalanya dan mengusap air mata yang menetes turun. "Belum, ketika aku menemukan dia, dia belum mati.. dia menggeletak hampir mati dalam keadaan mengerikan dan menyedihkan. Aku melihat darah... dan dia sama sekali telanjang, pakaiannya cabik-cabik di kanan kiri tempat itu... dia sempat bercerita kepadaku bahwa dia diajak pergi oleh pemuda berkumis bertahi lalat itu, akan tetapi... sampai di tempat itu, dia diperkosa dan dipermainkan, dihina oleh pemuda itu yang mentertawakannya dan mengatakan bahwa hal itu dilakukan untuk menebus penyeranganku malam itu di taman. Anakku sampai menjadi pingsan dan ketika dia siuman, dia melihat seorang pemuda tinggi besar dan seorang lagi pemuda pesolek bermata sipit dan mereka... jahanam-jahaman itu... mereka juga memperkosa anakku..."   "Keparat..!!" Sulastri membentak sehingga kakek itu terkejut sekali karena suara pemuda itu meninggi dan nyaring seperti pekik dahsyat. Jantungnya sampai terguncang mendengar pekik yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sakti itu.   "Dan anakmu lalu mati...?"   Kakek itu mengangguk, menelan ludah dan mengejap-ngejapkan mata. "Dia mati setelah menceritakan semua itu. Aku lalu bersumpah untuk membalas dendam, kucari-cari mereka bertiga itu, terutama si pemuda berkumis dan bertahi lalat. Yang dua dapat kutemukan, si pemuda tinggi besar dan pemuda pesolek bermata juling, karena mereka itu adalah pemuda-pemuda dusun Turen sendiri. Agaknya ketika mereka yang ikut pula mencari Katmi, melihat anakku telanjang di hutan, mereka berdua lalu menggunakan kesempatan itu untuk melakukan perbuatan mereka yang terkutuk. Aku telah berhasil membawa mereka ke hutan ini, mereka mengaku dan kubunuh mereka. Penduduk dusun yang mendengar ini mencariku, akan tetapi aku dapat memukul mundur mereka, lalu aku masuk keluar hutan untuk mencari pemuda berkumis dan bertahi lalat dan akhirnya aku berkeliaran di hutan ini.   Sulastri mengangguk-angguk. "Untung paman bertemu dengan aku, kalau tidak, bukankah paman akan membunuh seorang pemuda yang sama sekali tidak berdosa?"   "Engkau begini muda dan tampan, dan semenjak peristiwa itu, aku merasa benci kepada semua pemuda, terutama yang tampan."   "Aku bisa mengerti, paman. Akan tetapi tentu paman menyadari bahwa hak itu amat keliru. Sebaiknya kalau paman menenangkan hati dan pikiran, kemudian baru perlahan-lahan mencari pemuda berkumis dan bertahi lalat itu. Dan aku pun berjanji bahwa kalau aku bertemu dengan seorang pemuda seperti itu, akan kutangkap dia dan kubawa dia kepada paman."     "Terima kasih, raden. Andika sungguh baik dan sekarang aku telah sadar akan dendam yang membuat aku seperti gila. Memang aku harus menenangkan hati dan pikiran dan sebaiknya hal itu kulakukan di sini agar aku selalu dapat teringat kepadamu dan dapat mengenangkan kembali kesalahanku. Aku akan bertapa di sini, dan setelah tenang, baru aku akan keluar dari hutan ini."   "Terserah kepadamu, paman. Nah, aku pergi sekarang dan jangan sebut aku raden karena aku hanya seorang biasa saja, aku Joko Bromatmojo." Setelah berkata demikian Sulastri bangkit dan menggunakan aji kesaktiannya, sekali dia melompat lenyaplah dia di antara pohon-pohon. Melihat ini, Kaloka terkejut bukan main, terbelalak dan bengong sampai lama, kemudia tiba-tiba dia menjatuhkan diri berlutut di tempat Sulastri tadi berdiri!   ***   Iring-iringan pengantin itu cukup megah dan meriah. Pengantin pria naik kuda besar dan melihat pakaiannya, tentu dia seorang yang memiliki kedudukan dan jelas seorang yang kaya. Pakaiannya indah dihias benang emas gemerlapan, dari jauh kelihatan gagah perkasa sehingga Sulastri yang melihat dari jauh merasa kagum. Pengantin prianya gagah, pikirnya. Di depan berjalan pasukan yang membawa tombak, disusul pasukan memegang parang, kemudian barulah joli pengantin puteri yang dipikul oleh enam orang. Pengantin pria menjalankan kudanya kadang-kadang di dekat joli, kadang-kadang di depan. Di belakang nampak pula rombongan keluarga, yang wanita naik joli, yang pria naik kuda, dan paling belakang kembali pasukan yang memegang tombak.   Akan tetapi, setelah Sulastri yang menahan langkahnya untuk menonton iring-iringan pengantin itu melihat sang pengantin pria dari dekat, dia kecewa dan keliru. Hanya dari jauh saja dia kelihatan gagah karena pakaiannya gemerlapan dan kudanya tinggi besar, akan tetapi setelah dekat, ternyata pengantin pria itu adalah seorang laki-laki yang sudah hampir kakek-kakek, usianya tentu ada lima puluh tahun! Memang gagah dan berwibawa duduk tegak diatas punggung kuda dengan dada terangkat, akan tetapi tetap saja merupakan kejanggalan melihat seorang pengantin pria yang usianya sudah setengah abad!   Tadinya Sulastri sudah akan melanjutkan perjalanannya kembali, akan tetapi alisnya berkerut ketika dia melihat sebuah joli dekat joli pengantin tersingkap dan seraut wajah wanita yang cantik, usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun, memandang kepadanya dan tersenyum manis penuh daya pikat dan matanya pun mengerling tajam! Dan pada saat itu, dia pun mendengar suara isak tangis keluar dari joli pengantin puteri yang tertutup rapat! Kalau saja dia hanya mendengar isak tangis biasa, dia pun tidak akan merasa aneh karena bukankah sudah lumrah kalau seorang pengantin puteri menangis? Bahkan sudah merupakan semacam "keharusan" karena kalau tidak menangis, kata umum, seolah-olah si pengantin puteri kegirangan menjadi pengantin dan tentu saja hal ini amat memalukan bagi seorang perawan! Akan tetapi, kalau telinga orang-orang lain tidak dapat menangkapnya, telinga Sulastri lain lagi. Telinga dara perkasa ini sudah terlatih sedemikian rupa sehingga dia dapat menangkap lapat-lapat suara seorang wanita mengeluh di antara isak tangis itu, "Ayah, ibu... tidak kasihankah kalian kepadaku...? Cabutlah saja nyawaku... dan bawa aku beserta kalian...!"     Sulastri menjadi tertarik sekali. Tidak ada seorang pengantin puteri di mana pun juga, melakukan tangis "pengantin" seperti itu! Itu adalah tangis seorang wanita yang merasa berduka sekali, yang menderita dan jelas merupakan kawin paksaan yang keji. Tadinya dia masih tidak akan terlalu memperhatikan karena merasa bahwa hal itu bukan urusannya, akan tetapi karena tadi dia melihat wanita cantik yang tersenyum genit kepadanya, timbul perasaan penasaran dan kasihan kepada pengantin puteri yang belum dilihat wajahnya itu. Karena rasa penasaran, maka kedua kakinya membuat gerakan membalik dan Sulastri membayangi rombongan pengantin itu yang menuju ke timur, kemudian membelok ke utara, ke sebuah sungai yang melintang menghalang jalan. Akan tetapi agaknya rombongan pengantin itu, terutama pengantin prianya, adalah seorang yang berpengaruh dan kaya raya, maka disitu memang sudah tersedia beberapa buah perahu yang siap menyeberangkan mereka, bahkan perahu-perahu itu pun di hias warna-warni.   Rombongan itu berhenti dan pengantin pria meloncat turun dari atas punggung kudanya, menghampiri joli pengantin puteri yang sudah diturunkan. Tirai joli disingkap dan seorang gadis yang cukup manis berpakaian pengantin turun dari joli, akan tetapi ketika pengantin pria mengulurkan tangan untuk membantunya, pengantin puteri menarik tangannya dan tiba-tiba saja sambil menjerit pengantin puteri itu lari ke arah sungai!   "Heee...!" Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebuh yang bertubuh kurus tinggi menubruk dan menangkap lengan pengantin wanita yang hendak melarikan diri itu.   Pengantin itu meronta-ronta dan menjerit-jerit, "Paman.... paman, lepaskan aku... biarkan aku pergi... biarkan aku mati...!"   Kini wanita cantik yang tadi tersenyum kepada Sulastri, melangkah maju dan mengangkat tangannya. "Plak-plak-plak-plak!!" Pipi pengantin puteri itu telah ditamparnya berkali-kali!   "Diam kau, bocah tak tahu malu! Engkau membikin malu paman dan bibimu!"   "Sudahlah, bibi. Sudahlah...!" pengantin pria yang jauh lebih tua itu melerai dan menyebut bibi kepada wanita cantik itu.   Pada saat itu Sulastri sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi. "Jangan paksa orang yang tidak mau kawin!" bentaknya dan dia meloncat ke dekat pengantin wanita itu, sebuah tangannya mendorong ke arah si pengantin pria yang hendak merangkul calon isterinya.   "Heiiitt!" Pengantin pria itu menangkis, akan tetapi tetap saja tubuhnya terjengkang dan terdengar suara berdebuk ketika pinggulnya terbanting ke atas tanah sampai mengepulkan debu.   "Tangkap perampas pengantin!"   "Bunuh!"   "Serbu...!"   Keadaan menjadi geger ketika para pengawal yang memegang tombak dan parang itu maju mengepung Sulastri. Akan tetapi Sulastri yang sudah marah itu cepat menggerakkan tubuhnya ke kanan kiri, amat cekatan dan sigap dan kemana pun dia bergerak, kaki tangannya menyambar dan robohlah seorang pengeroyok. Dalam waktu singkat saja sudah ada lima orang pengeroyok jungkir balik dan mengaduh-aduh!     Sementara itu, di dalam keributan ini, pengantin puteri berhasil melarikan diri dan terjun ke sungai! Padahal sungai di bagian itu merupakan kedung yang amat dalam, maka paniklah pengantin pria yang berteriak-teriak minta tolong karena dia sendiri tidak mampu berenang. Akan tetapi, para pengawalnya juga sibuk mengepung Sulastri sehingga mereka tidak mendengar teriakan ini. Hanya pengantin pria, paman dan bibi pengantin puteri itu yang berteriak-teriak dan lari ke sana-sini di tepi sungai seperti induk ayam melihat anak ayam terjatuh ke air. Karena tadinya para tukang perahu juga sudah berloncatan ke darat untuk membantu para pengawal membekuk pemuda yang dianggapnya hendak merampas pengantin, maka mereka pun tidak tahu bahwa pengantin puteri terjun ke dalam Kedung (bagian air sungai yang dalam).   Pada saat itu, nampak seorang pemuda yang bertubuh tinggi tegap, berlari cepat seperti terbang dan tanpa ragu-ragu lagi pemuda itu melompat ke dalam air. Caranya melompat dan terjun ke air membuktikan bahwa dia memang mahir bermain dalam air, dengan lompatan lurus dan kepalanya didahului oleh kedua lengan yang disatukan dan dilonjorkan ke depan. Juga ketika tubuhnya menimpa air, tidak terdengar suara seperti sebatang pisau yang runcing menusuk agar-agar saja.   "Cluuuuppp..!" Tubuhnya sudah lenyap di telan air ketika pemuda itu terjun dan langsung menyelam. Akan tetapi tidak lama kemudian, dia telah timbul kembali, merangkul pengantin puteri yang sudah lemas dan pingsan, lalu berenang dengan cepatnya ke pinggir sungai, terus merayap naik sambil memondong tubuh pengantin puteri itu. Kini para tukang perahu yang sudah diberi tahu dan sudah berlarian ke pinggir sungai, membantunya naik dan gadis itu direbahkan di atas rumput, ditangisi oleh paman dan bibinya.   "Raden... tolong... dia orang jahat hendak merampas keponakanku!"   "Apa? Di siang hari ada orang berani merampas pengantin?" Pemuda itu mengerutkan alisnya yang hitam tebal dan dia lalu bangkit dan memandang ke arah pertempuran itu. Terkejut juga dia melihat pemuda tampan itu mengamuk dengan amat hebatnya dan biar pun dikeroyok oleh belasan orang perajurit, namun dengan enaknya pemuda itu menggerakkan kaki tangan dan para perajurit menjadi mawut, tombak-tombak dan parang-parang beterbangan disusul robohnya tubuh para perajurit itu.   Melihat ini, pemuda tinggi tegap itu menjadi marah. Dia lalu meloncat ke gelanggang pertempuran dan begitu pemuda tampan itu kembali merobohkan dua orang perajurit sehingga yang lain menjadi ragu-ragu dan mundur, pemuda tinggi tegap yang pakaiannya basah kuyup itu menerjang sambil membentak keras. Bagaikan seekor harimau menubruk, dia telah menyerang Sulastri dari depan dengan pukulan tangan kiri ke arah dada sedangkan tangan kanan menyambar ke arah leher.   "Ihhh...!" Sulastri berteriak kaget ketika merasa ada angin dahsyat menyambar dari pukulan itu, apalagi melihat bahwa pukulan itu menuju ke arah dadanya! Cepat dia mengerahkan tenaga saktinya pula dan kedua tangannya memapaki dua tangan lawan yang memukulnya itu.   "Dukkk! Desss...!" Keduanya terlempar dan terhuyung ke belakang!   "Ahhh...!" Pemuda tinggi tegap itu terkejut setengah mati. Dia tadi telah mengerahkan tenaga saktinya dan dia maklum bahwa jarang ada orang sanggup menahan pukulan-pukulannya ini, akan tetapi bocah tampan kurus itu tidak hanya dapat menangkisnya, malah tangkisan itu mengandung tenaga sakti yang tidak kalah kuatnya sampai dia terhuyung dan hampir terjengkang jatuh!     Adapun Sulastri juga terkejut karena dia memperoleh kenyataan bahwa pemuda tinggi tegap yang tampan dan gagah itu ternyata kuat bukan main! Dan ketika mereka beradu lengan tadi, air yang membasahi pakaian pemuda itu memercik ke muka dan pakaiannya, maka dia menjadi mendongkol bukan main. Sambil mengusap mukanya yang basah oleh percikan air, dia mengomel. "Orang gila! Kalau mau berkelahi, kenapa tidak berganti pakaian dulu?"   Pemuda tinggi tegap itu tercengang mendengar bentakan ini. Pemuda tampan dan sakti itu sungguh seperti anak kecil saja! Yang diributkan malah basahnya pakaiannya! Akan tetapi dia masih marah mendengar bahwa pemuda tampan yang wajahnya sama sekali tidak mencerminkan kejahatan ini hendak merampas pengantin, jadi dibalik ketampanannya ini bersembunyi kecabulan! Maka dengan marah dia membentak, "Memang biasanya orang gila memaki orang lain gila!"   Sulasti melotot. "Kau bilang aku gila? Kau yang gila! Kau gila, gila, gila!!" Dia menudingkan telunjuknya ke arah muka pemuda tinggi tegap itu.   "Huh, siapa lagi kalau bukan orang gila yang hendak merampas pengantin wanita di waktu siang hari dan di jalan raya?"   Sulastri menjadi makin marah dan dia melangkah maju dengan dua tangan dikepal. "Siapa yang merampas pengantin? Siapa?"   "Siapa lagi kalau bukan engkau pemuda cabul?"   "Keparat! Ngawur bicaramu, ya? Kurobek bibirmu nanti! Aku tidak merampas pengantin, tidak merampas siapa-siapa. Mulutmu layak ditampar!" Sulastri menerjang dan benar-benar tangannya bergerak dengan cepatnya menampari ke arah mulut dan pipi pemuda itu. Pemuda itu cepat menangkis dan mengelak sambil mundur. Beberapa orang perajurit maju meyerbu, akan tetapi kini mereka yang menjadi sasaran kedua tangan Sulastri yang mengamuk dan tamparan gadis ini amat hebat, membuat mereka yang kena tampar roboh dengan pipi bengkak-bengkak dan gigi copot-copot!   "Heee-heeittt, tahan dulu...!" Pemuda tinggi tegap itu melompat ke depan dan menangkisi tamparan-ramparan Sulastri yang menyambutnya dengan serangan. "Kalau kau memang tidak merampas pengantin, kenapa kau mengamuk di sini sehingga pengantin wanita sampai terjun ke dalam kedung...?"     "Ehh..?" Sulastri terkejut dan menghentikan serangan-serangan yang selalu dapat ditangkis tadi. "Dan dia mati...?"   Pemuda itu cemberut. "Kalau tidak aku cepat-cepat menyelam dan menyelamatkannya, tentu dia sudah mati karena gara-garamu!"   Kini Sulastri memandang pemuda tinggi tegap itu dengan penuh perhatian. Pemuda yang tampan gagah, dan kumisnya tipis membuat wajah itu makin menarik. "Jadi kau kira bahwa dia melompat ke sungai karena gara-garaku?"   "Tentu saja! Kalau tidak, karena apalagi?" pemuda itu balas bertanya.   "Dan kau anggota rombongan ini?"     "Bukan, aku baru datang karena tertarik oleh ribut-ribut yang terjadi di sini, kemudian aku melihat pengantin wanita meloncat ke sungai. Kuselamatkan dia dan..."   "Kalau begitu engkau orang tolol ngawur! Orang yang memiliki kesaktian namun bodoh dan goblok!"   "Eh, mulutmu jahat sekali, penuh dengan makian!"   "Habis engkau memang tolol sih! Kau menuduh orang dengan ngawur saja tanpa penyelidikan dulu. Kau tahu mengapa aku menyerang mereka dan mengapa pengantin wanita itu hendak membunuh diri? Dia dipaksa kawin!"   "Ehhh..?"   "Jangan percaya omongannya! Dia seorang perampok, seorang penjahat yang hendak merampas isteriku!" Pengantin pria yang tadi roboh terjengkang berteriak sambil menuding ke arah Sulastri.   Sulastri tersenyum mengejek. "Dan kau pemuda sakti tolol tentu percaya omongan kakek yang doyan daun muda ini, bukan? Lihat baik-baik mempelai wanita itu dan taksir berapa umurnya. Seorang dara cantik yang pantasnya kawin dengan aku atau engkau..."   "Ihhh...! Ceriwis benar kau!" Pemuda tinggi tegap itu membentak dan mukanya berobah merah.   Sulastri tersenyum mengejek lagi. "Akan tetapi dara itu dikawinkan dengan seorang kakek sombong. Maka kalau dia tadi hendak membunuh diri, aku tidak menyalahkan dia. Kalau aku menjadi dia... hemm, memang lebih senang mati daripada kawin dengan kakek seperti ini!"   "Kurang ajar kau, monyet!" Kakek itu menjadi marah. "Hayo keroyok, tangkap dia!"   Akan tetapi Sulastri yang dimaki monyet itu sudah menjadi marah. Ketika ada enam orang perajurit maju, dia menerjang sehingga mereka itu terjengkang ke kanan kiri, kemudian tangannya menampar. "Plak...! Aduhhh...!" Kakek itu menjerit dan mulutnya berdarah. Sulastri hendak memukul lagi akan tetapi dia dicegah oleh pemuda tinggi tegap.   "Sudah, sudahlah.... tak perlu membunuh orang!"   "Hemm, lihat siapa yang seperti monyet! Engkau yang menjadi monyet ompong!" Sulastri mengejek dan pengantin pria itu meludahkan darah dan beberapa buah giginya yang patah oleh tamparan tadi.   "Sesungguhnya, apakah yang terjadi dan bagaimana kau bisa mengatakan bahwa gadis itu dikawinkan dengan paksa?" Pemuda tinggi tegap itu menjadi bingung dan kini dia menghadapi Sulastri pemuda yang kelihatan masih remaja dan kurus akan tetapi yang memiliki kepandaian hebat dan juga amat galak itu.   "Tentu saja aku tahu! Tidak seperti engkau yang ngawur!" Sulastri menjawab galak. "Aku bersuara dengan mereka di jalan dan aku mendengar pengantin puteri di dalam tandu menangis dan bersambat ke pada ayah bundanya minta mati. Tentu saja mendengar ini aku menjadi curiga dan mengikuti rombongan ini. Setelah tiba di sungai ini, tiba-tiba pengantin puteri turun dan melarikan diri, akan tetapi ditangkap oleh orang yang disebutnya paman itu, dan ditampari oleh dia..." dia menuding ke arah wanita cantik yang masih berjongkok di dekat tubuh pengantin wanita yang agaknya sudah siuman. "Nah, tentu saja aku marah dan membela si pengantin puteri, sampai kau datang dan menyerang aku secara membabi buta!"   Pemuda tinggi tegap itu kini membalik dan memandang ke arah pengantin pria yang masih mengusapi mulutnya yang berdarah dengan sehelai saputangan. "Benarkah begitu?"   "Bohong! Dia bohong...! Tidak ada kawin paksaan...!"   Pemuda tinggi tegap itu menjadi bingung. "Hemm, siapakah yang harus kupercaya...?"   (Bersambung ke Jilid 24)   Jilid 24   Sulastri tersenyum mengejek. "Kalau bodoh mengaku saja bodoh, jangan pura-pura mau menjadi orang pintar mengadili urusan orang lain. Kalau kau bingung, mengapa tidak tanya saja kepada yang berkepentingan langsung, yaitu si pengantin puteri?"   Wajah pemuda itu berseri. "Ah, kau benar!" Dan dia menoleh ke arah wanita yang ditolongnya ke luar dari kedung tadi. Akan tetapi pada saat itu, pengantin puteri tadi agaknya sudah mendengarkan semua percakapan itu dan kini dia bangkit, meronta lepas ketika dipeluk bibinya dan dipegangi pamannya, lalu dia lari menghampiri tempat itu dan menjatuhkan diri berlutut di depan Sulastri!   "Raden, tolonglah saya... tolonglah saya agar jangan saya dipaksa menikah dengan bapak lurah Jati..." Wanita itu menangis dan merangkul kedua kaki Sulastri.   Sulastri tersenyum, mengerling ke arah pemuda tinggi tegap tadi dan mengejek, "Nah, katakan apakah aku seorang perampok pengantin wanita?"   Kini pemuda tinggi tegap itu mengerutkan alisnya yang hitam tebal dan membalik kepada bapak lurah Jati, pengantin pria tadi sambil membentak, "Ternyata benar bahwa gadis ini dipaksa kawin. Hemm, lekas kalian minggat sebelum kuhajar kalian sampai babak belur!"   "Tapi... tapi... mas kawinnya..." Pengantin pria itu berkata.   "Desss...!" Pemuda tinggi tegap itu menendang sampai pengantin pria terlempar dan jatuh bergulingan. "Inilah mas kawinnya!"   Pengantin pria berteriak kesakitan lalu melarikan diri bersama para pengiringnya, jerih karena kini pemuda tinggi yang tadinya berpihak kepada mereka itu telah berubah sikap memusuhi mereka. Menghadapi pemuda kecil tampan itu sudah payah, apalagi ditambah pemuda tinggi tegap itu.   Kini tinggal pengantin puteri dan paman serta bibinya yang juga sudah menjatuhkan diri berlutut. Sulastri memandang kepada dua orang itu dengan alis berkerut, apalagi ketika melihat betapa bibi cantik itu kini mengucurkan air mata dan si paman kelihatan pucat ketakutan.   "Berdirilah kau..., nimas...!" kata Sulastri sambil memegang kedua pundak pengantin puteri yang manis itu. Pengantin itu bangkit berdiri dan merasa betapa kedua tangan "pemuda" tampan yang menolongnya itu masih berada di kedua pundaknya dengan sentuhan halus, dia menundukkan mukanya yang berubah merah.   "Eh, kalian berdua siapakah?" tegurnya kepada suami isteri itu.   "Kami... kami adalah... paman dan bibinya..." jawab si suami gugup. Akan tetapi tiba-tiba bibi pengantin puteri yang cantik itu bangkit berdiri dan berkata dengan hormat, setelah menghapus air matanya, "Harap paduka maafkan, raden. Ini suami saya, Parjito, dan saya adalah bibi dari nini Warsini yang sudah yatim piatu. Semenjak kecil Warsini kami pelihara seperti anak sendiri."     "Hem, seperti anak sendiri? Kenapa kalian memaksanya menikah dengan bandot tua itu?" Sulastri membentak.   "Maaf..." dan wanita itu kembali mengucurkan air mata. "Kami yang terpaksa, raden... sehingga kami terpaksa mempunyai banyak hutang kepada bapak lurah dari dusun Jati. Kemudian, bapak lurah jatuh cinta kepada keponakan kami ini dan... karena terpaksa, kami membujuk Warsini untuk menjadi isterinya..."   "Isteri yang ke lima raden!" Warsini berkata.   "Ternyata kalian berdua adalah orang-orang mata duitan yang hendak mengor__an keponakan sendiri untuk mendapatkan uang! Betapa kejinya!" Pemuda tinggi tegap itu berkata dengan nada suara marah pula.   "Kami terpaksa... ah, sekarang pun kami menjadi bingung. Apa yang harus kami lakukan, raden? Paduka berdua yang memiliki kesaktian boleh jadi tidak takut kepada lurah Jati, akan tetapi kami... ah, mungkin saat ini dengan adanya paduka berdua, kami terlindung akan tetapi setelah paduka berdua meninggalkan kami..." wanita cantik isteri Parjito itu berkata lagi.   Sulastri yang tadi merasa gemas kepada wanita ini karena melihat wanita ini menampari pipi Warsini, sehingga kini menjadi bingung karena dia dapat melihat kebenaran dalam kata-katanya.   "Habis, apa yang harus kami lakukan?" terdengar Parjito bertanya bingung. "Pak lurah Jati sudah pasti tidak akan tinggal diam saja dan kami serumah akan celaka..."   Kini pemuda tinggi tegap itu berkata, "Di mana rumah kalian?"   "Kami dari dusun Kriten, raden."   "Mari kami antar kalian pulang, dan kita cari jalan bagaimana baiknya nanti."   "Oh, terima kasih, raden. Paduka berdua sungguh baik sekali." Sang bibi berkata dengan nada suara gembira dan penuh harapan.   Tadinya Sulastri tidak ingin mencampuri urusan itu lagi, akan tetapi melihat pemuda tinggi tegap itu begitu baik hendak mengantarkan mereka, tiba-tiba timbul rasa curiga dan rasa penasaran di dalam hatinya. Dia curiga karena siapa tahu apa isi hati pemuda ini, dan pula, dia yang tadi menolong si gadis pengantin, akan tetapi agaknya pemuda itu yang akan melanjutkan dan menerima jasa dan pujiannya. Oleh karena itu, tanpa membantah dia pun ikut pergi mengantar gadis pengantin bersama paman dan bibinya itu ke luar dari hutan. Hari telah gelap ketika mereka tiba di dusun Kriten sehingga tidak sampai menarik perhatian banyak penduduk yang tentu akan menjadi heran dan ribut melihat sang pengantin puteri kembali lagi tanpa pengantin prianya.   Setelah tiba di rumah Parjito, wanita cantik isteri Parjito yang bernama Gianti itu agaknya telah menemukan kembali ketenangannya dan dia melayani dua orang pemuda itu dengan penuh keramahan. Bersama keponakannya yang pendiam itu dia segera memasak air, menanak nasi dan mempersiapkan hidangan dan minuman kepada mereka sedangkan Parjito sendiri lalu menemani dua orang pemuda itu bercakap-cakap di serambi depan.     Setelah menerima hidangan dan makan bersama, mereka lalu bercakap-cakap membicarakan persoalan mereka yang terancam oleh ki lurah Jati. Dari sikap dan percakapan dengan mereka itu, Sulastri makin tidak suka kepada suami isteri ini yang agaknya merupakan orang-orang malas yang hanya pandai menghamburkan uang, maka tidaklah heran kalau mereka sampai mempunyai banyak hutang kepada ki lurah Jati yang sebenarnya menghendaki keponakan mereka. Dan agaknya, paman dan bibi ini sengaja hendak mempergunakan Warsini sebagai sumber penghasilan!   "Pak lurah Jati pasti datang dan memaksa kami menyerahkan Warsini," demikian kata Parjito dengan sikap khawatir. "Dan mungkin peristiwa siang tadi akan mengakibatkan dia marah kepada kami."   "Apakah kalian tidak mempunyai keluarga di dusun lain ke mana kalian dapat mengungsi?" tanya pemuda tinggi tegap. Mereka menggeleng menyatakan tidak punya.   "Kalau lurah itu hendak memaksa, apakah kalian tidak melapor kepada pejabat yang lebih tinggi kedudukannya?"   Pemuda tinggi tegap itu menoleh kepadanya dan berkata, "Agaknya andika tidak tahu, kawan, bahwa melaporkan seorang pejabat kepada pejabat yang lebih tinggi sama artinya dengan minta bantuan seekor harimau untuk mengusir seekor srigala."   Semua orang menjadi bingung karena tidak tahu bagaimana memecahkan persoalan itu, dan Warsini yang sejak tadi mendengarkan saja sambil menundukkan mukanya, tiba-tiba berkata sambil memandang kepada Sulastri, "Raden, jalan satu-satunya hanyalah bahwa saya harus minggat dari dusun ini. Kalau paduka sudi menolong saya, setelah paduka membela saya di hutan itu, saya... saya akan menghambakan diri kepada paduka... harap paduka membawa saya ke mana pun, menjadi hamba atau apa saja juga saya rela... raden..."   Pemuda tinggi tegap itu mengerutkan alis dan memandang kepada Sulastri, lalu kepada gadis pengantin itu, akan tetapi dia diam saja. Sedangkan Sulastri yang mendengarkan penyerahan ini menjadi merah mukanya.   "Warsini jangan begitu! Kalau kau pergi bersama raden ini... lalu... bagaimana dengan kami...?" Bibinya, Gianti yang sejak tadi bersikap manis sekali, terlalu manis kepada Sulastri, berkata khawatir. "Pak lurah telah mengancam, kalau hutang-hutangku tidak dilunasi... dan ditambah lagi mas kawin itu..."   "Bibi yang menerima uangnya, dan bibi pula yang menerima mas kawinnya... saya tidak tahu menahu tentang itu!" jawab Warsini.   "Eh, eh... kau bocah tak mengenal budi! Dan sejak kecil siapa yang memeliharamu sampai sebesar ini? Siapa yang memberi makan setiap hari, memberi pakaian kepadamu? Dan kami harus mengurus agar engkau mendapatkan suami yang baik dan mencukupi, masih kurang bagaimanakah kami?" Gianti berkata dengan marah, dan suaminya cepat menyabarkannya dan memegang lengan isterinya, akan tetapi si isteri merenggutkan lengannya dan suami itu agaknya pun tidak berani banyak cakap lagi. Sikap suami itu jelas membayangkan bahwa dia kalah pengaruh, bahkan takut kepada isterinya yang cantik.     "Sudahlah, tidak perlu ribut-ribut!" Sulastri berkata.   Gianti kini berkata kepada Sulastri, "Raden, paduka melihat betapa sulitnya keadaan saya. Saya telah melakukan segala sesuatu demi kebaikan keponakan suami saya ini, akan tetapi sekarang hanya kesulitan saja yang saya peroleh darinya..." Dan dia menangis sesenggukan.   "Sudah, aku mempunyai jalan yang baik. Besok, keponakanmu akan kubawa dan kuserahkan kepada seorang yang tentu akan mengganggapnya sebagai anak sendiri dan akan sanggup menghadapi ancaman yang akan muncul. Dia adalah seorang sahabatku yang sudah setengah tua dan kehilangan anak perempuannya."   "Terima kasih, raden...!" Warsini berseru dengan girang sekali.   "Kau mau ikut bersamaku dan kuberikan kepada seorang sahabatku untuk menjadi anaknya?" tanya Sulastri.   Gadis itu mengangkat mukanya dan memandangnya, memandang dengan sinar mata yang luar biasa, yang membuat hati Sulastri merasa tidak enak karena pandang mata itu demikian mesra dan penuh penyerahan! "Saya akan menurut saja apa pun yang akan paduka lakukan terhadap diri saya." Ucapan ini sudah mengandung makna yang luas dan kerut alis pemuda tinggi tegap itu makin mendalam.   "Akan tetapi bagaimana dengan kami kalau Warsini pergi?" Kini Parjito berkata gelisah. "Pak lurah Jati tentu akan..."   "Ada dia ini yang akan melindungi kalian!" kata Sulastri sambil menudingkan telunjuknya ke arah pemuda tinggi tegap itu.   "Hemm, tak mungkin aku tinggal di sini terlalu lama. Banyak pula urusanku sendiri. Hal itu tidak perlu diributkan. Kalau pak lurah datang, katakan saja bahwa keponakan kalian telah dilarikan oleh dia itu." Dia pun menudingkan telunjuknya ke arah Sulastri.   Sulastri mengangguk-angguk. "Hemm, kiranya tidak begitu bodoh. Memang itu merupakan alasan yang baik sekali. Kalian katakan saja bahwa keponakan kalian kularikan, tentu mereka akan mengejarku, kalau berani!"   Setelah mengambil keputusan bulat, akhirnya mereka setuju untuk bermalam di rumah itu semalam. Parjito memberikan kamar tamu yang sederhana untuk dua orang pemuda itu, akan tetapi Sulastri tegas-tegas menolak. "Aku tidak bisa tidur berdua, tidak biasa! Kalau tidak ada kamar lain, biarlah aku tidur di luar, di lantai saja!"   "Ah, mana bisa begitu raden?" Warsini cepat berseru. "Biarlah paduka memakai kamar saya, dan saya tidur di lantai."   Kini Gianti yang cepat berkata kepada suaminya, "Kenapa kau tidak tidur saja di rumah tetangga malam ini? Aku bisa tidur bersama Warsini, dan kamar kita biar dipakai oleh Raden ini."   Sang suami mengangguk-angguk. "Baiklah. Nah, selamat tidur, raden berdua," kata Parjito yang segera ke luar dari rumahnya itu.     Pemuda tinggi tegap itu mendapatkan kamar tamu sedangkan Sulastri kebagian kamar suami isteri itu, sedangkan Gianti memasuki kamar keponakannya bersama Warsini. Lampu-lampu dipadamkan dan mereka pun merebahkan diri di atas pembaringan di kamar masing-masing. Sulastri tidak dapat tidur. Peristiwa tadi siang membayang di dalam pikirannya dan dia membayangkan betapa akan gembiranya bapak Kaloka kalau dia datang bersama Warsini. Tidak ada jalan lain, sebaiknya Warsini diserahkan kepada Kaloka yang kehilangan anak perempunnya itu. Dengan mempunyai seorang ayah seperti Kaloka, tentu keselamatan Warsini terjamin, dan Kaloka juga akan terobati dari luka di hatinya kerena kehilangan puterinya. Dia teringat pula kepada pemuda tinggi tegap yang tidur di kamar sebelah. Seorang pemuda yang tampan dan ganteng, juga gagah perkasa. Ingin dia menguji kepandaiannya!   Terdengar bunyi kentongan ronda malam yang menandakan bahwa waktu tengah malam telah tiba. Mendadak Sulastri mendengar suara berkeresekan di arah pintu kamarnya. Sinar lampu satu-satunya yang masih dipasang di ruangan tengah, menembus celah-celah bilik dan membuat kamarnya remang-remang, namun dia masih dapat melihat ketika daun pintu terbuka perlahan dari luar. Jantungnya berdebar dan semua urat syaraf di tubuhnya menegang. Tentu maling, pikirnya. Atau seorang penjahat. Kaki tangan lurah Jati? Dia pura-pura tidur, akan tetapi matanya memandang penuh perhatian.   Daun pintu terbuka perlahan-lahan dan sesosok bayangan memasuki kamar itu, bayangan seorang wanita yang bertubuh ramping! Sulastri makin terheran-heran. Kini wanita itu yang hanya bentuk tubuhnya yang ramping, berjalan perlahan menghampiri pembaringannya. Rambut wanita itu terurai lepas. Tercium olehnya bau wangi bunga dan teringatlah dia akan bau yang sama dari Gianti, bibi Warsini. Dia cepat bangkit duduk.   "Mau apa kau...?" tanyanya heran.   "Ssttt... raden..." Suara Gianti terengah-engah dan lalu dia duduk di tepi pembaringan, tangannya meraba-raba dan memegang tangan Sulastri. "Raden... saya tidak dapat membalas budi kebaikanmu kecuali... dengan tubuhku ini..." Dan dia lalu merangkul leher Sulastri dan seperti seekor harimau betina kelaparan dia menciumi muka Sulastri.   "Eh...! Sulastri gelagapan akan tetapi cepat tangannya mendorong dan tubuh wanita itu terdorong ke belakang. "Jangan..., aku tidak bisa... tidak mau... eh, kau ini seorang wanita yang sudah bersuami mengapa..."   "Raden... terimalah saya..., sejak saya melihat raden di tepi jalan itu, ingatkah paduka? Ketika saya menyingkap tirai joli... melihat paduka di tepi jalan, hati saya telah terpikat dan saya tergila-gila... raden, kasihanilah saya yang jatuh cinta kepada paduka..."     Kini Sulastri melompat turun dari pembaringan. Hatinya geli akan tetapi juga marah. Betapa tidak geli hatinya melihat betapa ada seorang wanita yang jatuh cinta dan tergila-gila kepadanya? Hampir saja dia tertawa. Ditahannya geli hatinya dan dia cepat berkata lirih agar jangan sampai membangunkan semua orang, "Bibi, pergilah. Aku tidak sudi, dan kau ingatlah kepada suamimu. Pergi!!"   Wanita itu terisak dan dengan perlahan lalu meninggalkan kamar itu, keluar dengan langkah tersaruk-saruk. Sulastri cepat menutupkan kembali daun pintunya. Akan tetapi peristiwa itu membuat dia makin tidak dapat tidur lagi. Dia masih merasa geli, serem dan juga marah kalau teringat kelakuan Gianti yang dianggapnya tak tahu malu itu. Dan karena tidak dapat tidur inilah maka lewat tengah malam menjelang pagi dia mendengar suara-suara yang tidak wajar di sebelah luar. Dia menjadi curiga dan cepat dia membuka daun jendela kamar itu dan dengan gerakan ringan sekali dia meloncat keluar jendela ke dalam kebun di belakang rumah, cepat menyelinap ke bawah ketika melihat betapa beberapa bayangan orang di sekitar tempat itu. Dengan pandang matanya yang awas Sulastri mendapatkan kenyataan yang mengejutkan bahwa rumah itu telah dikurung oleh banyak orang!   Ketika dia mendengar suara tertawa yang diikuti suara wanita yang dikenalnya, yaitu wanita yang malam tadi menyelinap ke dalam kamarnya, dia cepat merunduk, menyelinap diantara semak-semak dan pohon-pohon, mendekati arah datangnya suara itu. Kiranya suara itu datang dari sebuah gubuk kecil di sudut kebun dan di antara remang-remang cahaya bintang-bintang di langit dia melihat lurah Jati duduk di dalam gubuk dan di atas pangkuan lurah ini duduk Gianti yang merangkul leher pak Lurah itu!   "Kenapa susah-susah mengejar Warsini?" terdengar Gianti berkata manja. "Bagaimana kalau diganti saja oleh saya, kakangmas?"   "Ha-ha-ha, engkau bibiku akan tetapi menyebut aku kakangmas!" terdengar suara lurah Jati. "Engkau memang telah menjadi milikku, mengapa harus engkau menggantikan bocah itu? Jangan khawatir, cah ayu, kalau keponakanmu itu telah menjadi milikku, engkau pun akan kutarik ke dalam kelurahan. Kau tahu aku sayang padamu." Terdengar suara cumbuan dan Sulastri cepat menyelinap mundur, mendekam sambil mendengarkan saja, hatinya panas dan marah bukan main melihat bahwa sesungguhnya Gianti yang tak tahu malu itu adalah kekasih lurah itu sendiri!   "Apakah kakangmas yakin akan berhasil? Mereka itu adalah pemuda-pemuda yang berilmu tinggi."   "Ha-ha-ha, jangan khawatir. Lima puluh orang kaki tanganku mengepung tempat ini, dan dikepalai dua orang kepala pengawalku. Kalau ada mereka siang tadi, tentu dua orang bocah itu telah dapat ditangkap atau dibunuh. Di mana mereka berdua sekarang?"   "Hik-hik, di dalam kamar, tidur pulas agaknya. Suamiku sudah kusuruh keluar dan bermalam di rumah tetangga. Warsini pun tidur sendiri di kamarnya."     "Ha-ha, kau memang manis! Mari..."   "Ihh, masa di gubuk ini? Nanti ketahuan orang, kakangmas..."   "Hushh, siapa berani melihat kita? Dan masih ada waktu... anak buahku akan bergerak kalau hari sudah agak terang. Mari, manis, kau berjasa besar..." terdengar suara ketawa genit dan Sulastri sudah cepat meninggalkan gubuk itu dengan muka terasa panas. Dia cepat memasuki lagi kamarnya, lalu membuka daun pintu setelah membereskan semua pakaiannya, menghampiri pintu kamar pemuda tinggi tegap. Akan tetapi baru saja tangannya hendak mengetuk pintu, tiba-tiba daun pintu terbuka dan pemuda tinggi tegap itu telah berdiri di ambang pintu, kelihatan segar dan sama sekali tidak ada tanda-tandanya bahwa pemuda itu habis tidur!   "Eh... ?" Sulastri terkejut.   "Ssttt... aku sudah tahu bahwa kita dikurung oleh anak buah lurah jahanam itu," kata si pemuda.   Pemuda itu agaknya tidak mendengar ejekan Sulastri. "Aku menduga bahwa paman dan bibi Warsini bukan orang baik-baik, dan mereka itu menjadi kaki tangan lurah Jati. Kita harus dapat melarikan Warsini dari rumah ini."   "Kaki tangan lurah Jati? Huh, perempuan jahanam itu adalah kekasih sang lurah bejat! Dan Parjito adalah suami lemah yang tunduk di bawah kaki isterinya."   "Ehh? Bagaimana kau tahu...? Sudahlah, yang penting adalah menyelamatkan Warsini!"   "Hemm, kau begitu bersemangat untuk membela Warsini. Kenapa?"   "Kenapa? Tentu saja karena aku kasihan padanya."   Sulastri tersenyum mengejek. "Dia wanita lemah, bagaimana bisa diajak lari? Lebih baik dipondong dan dibawa lari, seorang di antara kita yang melindungi."   "Dipondong? Hemm...Ya, begitu kiranya lebih baik. Dilarikan dengan cepat dan seorang di antara kita melindungi dan membuka jalan darah di antara kepungan musuh."   Sulastri timbul sifat bengalnya dan dia hendak menggoda, atau mungkin juga hendak mencoba pemuda tinggi tegap itu. "Nah, kau bangunkan dia dan kau pondong dia. Aku yang akan melindungimu melarikan gadis cantik itu."   "Heh? Aku? Memondong dia? Tidak... eh, maksudku kau saja... " jawabnya gagap dan di bawah sinar lampu, Sulastri melihat bahwa muka pemuda itu menjadi merah sekali.   "Mengapa?" dia bertanya geli melihat pemuda yang pemalu ini.   "Tidak baik... kalau aku yang memondong."   "Apa bedanya? Kita sama-sama pria, kau atau aku yang memondong sama saja. Pula, bukankah kau yang menyelamatkannya dari kedung dan tentu kau pernah memondongnya?"   "Justru itulah... aku... aku masih merasa ngeri kalau mengingat hal itu."   "Ngeri memondong tubuh gadis itu? Eh, kau aneh...!"   "Sudahlah, kau cerewet benar! Seperti perempuan saja!"   Seketika Sulastri membungkam mulutnya, kemudian berkata singkat, "Baik, aku memondongnya, kau melindungi aku melarikan dia."   Diketuknya pintu kamar Warsini dan karena gadis itu yang telah beberapa malam tidak dapat tidur kini kelegaan hati membuatnya pulas dan tidak mendengar ketukan pintu, Sulatri tanpa ragu-ragu mendorong daun pintu dan memasuki kamar itu. Melihat ini, pemuda tinggi tegap itu mengerutkan alisnya. Tidak enak hatinya melihat "pemuda" yang terlalu tampan, cerewet dan tentu pandai merayu dan memikat hati gadis-gadis cantik itu begitu saja memasuki kamar seorang gadis yang masih tidur pulas. Akan tetapi tidak lama kemudian, Sulastri telah keluar dari kamar itu, menggandeng tangan Warsini yang kelihatan pucat ketakutan.   "Tak usah takut, ada kami yang akan melindungimu," kata si pemuda tinggi tegap, pura-pura tidak melihat betapa gadis itu digandeng oleh si pemuda ceriwis!   "Warsini rumah ini telah dikepung oleh lima puluh orang anak buah ki lurah Jati, maka kita harus melarikan diri dari sini sekarang juga," kata Sulastri.   "Ah, bagaimana..., raden? Tentu mereka akan mencelakakan paduka..." Warsini memandang Sulastri dengan matanya yang terbelalak.   "Eh, kau malah mengkhawatirkan aku? Kaulah yang harus dilindungi, manis! Dan agar kita dapat berhasil, engkau akan kupondong dan kularikan dari sini, sedangkan dia itu yang akan melindungi kita." Sulastri sengaja bersikap manis kepada Warsini ketika dia melihat betapa pemuda tinggi besar itu mengerutkan alis sejak dia menggandeng keluar gadis itu dari dalam kamar tadi.   "Dipondong...?" Wajah yang pucat itu menjadi berubah merah. "Terserah kepadamu, raden... dan saya hanya menurut saja..."   (Bersambung ke Jilid 25)   Jilid 25   Sulastri lalu memondong gadis itu dengan lengan kirinya dan Warsini menjaga dengan keseimbangan tubuh, terpaksa merangkul pundak Sulastri. Mereka kelihatan begitu mesra dan kembali pemuda tinggi tegap itu memandang dengan alis berkerut.   "Eh, kau sudah siap?" Sulastri menoleh dan bertanya, hatinya makin geli melihat pemuda itu kelihatan tidak senang. Pemuda itu mengangguk tanpa mengeluarkan suara.   "Kita mengambil jalan belakang, melalui kebun," kata Sulastri. "Mari!" Dia lalu berjalan cepat ke belakang, membuka pintu belakang, dan dengan dibayangi oleh pemuda tinggi tegap itu, dia meloncat ke dalam kebun sambil memondong tubuh Warsini yang bukan merupakan beban berat baginya itu.   Akan tetapi baru saja beberapa langkah mereka memasuki kebun itu, terdengar bentakan-bentakan nyaring dan enam orang anak buah lurah Jati sudah melompat keluar sambil menggerakkan senjata parang mereka. Melihat ini, Warsini menjadi ketakutan dan dia menyembunyikan mukanya di leher Sulastri. Sulastri sendiri meloncat maju dan dengan lengan kiri memondong tubuh Warsini, tangan kanannya memukul disusul kaki kirinya dan robohlah dua orang musuh yang menerjang dari depan. Pemuda tinggi tegap itu pun dengan amat mudahnya telah merobohkan empat orang yang lain. Mereka berlari terus ke belakang, menuju ke gubug di ujung kebun karena memang Sulastri ingin sekali bertemu dengan Gianti dan lurah Jati sebelum dia melarikan gadis yang dipondongnya itu.     Seketika Sulastri membungkam mulutnya, kemudian berkata singkat, "Baik, aku memondongnya, kau melindungi aku melarikan dia."   Diketuknya pintu kamar Warsini dan karena gadis itu yang telah beberapa malam tidak dapat tidur kini kelegaan hati membuatnya pulas dan tidak mendengar ketukan pintu, Sulatri tanpa ragu-ragu mendorong daun pintu dan memasuki kamar itu. Melihat ini, pemuda tinggi tegap itu mengerutkan alisnya. Tidak enak hatinya melihat "pemuda" yang terlalu tampan, cerewet dan tentu pandai merayu dan memikat hati gadis-gadis cantik itu begitu saja memasuki kamar seorang gadis yang masih tidur pulas. Akan tetapi tidak lama kemudian, Sulastri telah keluar dari kamar itu, menggandeng tangan Warsini yang kelihatan pucat ketakutan.   "Tak usah takut, ada kami yang akan melindungimu," kata si pemuda tinggi tegap, pura-pura tidak melihat betapa gadis itu digandeng oleh si pemuda ceriwis!   "Warsini rumah ini telah dikepung oleh lima puluh orang anak buah ki lurah Jati, maka kita harus melarikan diri dari sini sekarang juga," kata Sulastri.   "Ah, bagaimana..., raden? Tentu mereka akan mencelakakan paduka..." Warsini memandang Sulastri dengan matanya yang terbelalak.   "Eh, kau malah mengkhawatirkan aku? Kaulah yang harus dilindungi, manis! Dan agar kita dapat berhasil, engkau akan kupondong dan kularikan dari sini, sedangkan dia itu yang akan melindungi kita." Sulastri sengaja bersikap manis kepada Warsini ketika dia melihat betapa pemuda tinggi besar itu mengerutkan alis sejak dia menggandeng keluar gadis itu dari dalam kamar tadi. "Dipondong...?" Wajah yang pucat itu menjadi berubah merah. "Terserah kepadamu, raden... dan saya hanya menurut saja..."   Sulastri lalu memondong gadis itu dengan lengan kirinya dan Warsini menjaga dengan keseimbangan tubuh, terpaksa merangkul pundak Sulastri. Mereka kelihatan begitu mesra dan kembali pemuda tinggi tegap itu memandang dengan alis berkerut.   "Eh, kau sudah siap?" Sulastri menoleh dan bertanya, hatinya makin geli melihat pemuda itu kelihatan tidak senang. Pemuda itu mengangguk tanpa mengeluarkan suara.   "Kita mengambil jalan belakang, melalui kebun," kata Sulastri. "Mari!" Dia lalu berjalan cepat ke belakang, membuka pintu belakang, dan dengan dibayangi oleh pemuda tinggi tegap itu, dia meloncat ke dalam kebun sambil memondong tubuh Warsini yang bukan merupakan beban berat baginya itu.   Akan tetapi baru saja beberapa langkah mereka memasuki kebun itu, terdengar bentakan-bentakan nyaring dan enam orang anak buah lurah Jati sudah melompat keluar sambil menggerakkan senjata parang mereka. Melihat ini, Warsini menjadi ketakutan dan dia menyembunyikan mukanya di leher Sulastri. Sulastri sendiri meloncat maju dan dengan lengan kiri memondong tubuh Warsini, tangan kanannya memukul disusul kaki kirinya dan robohlah dua orang musuh yang menerjang dari depan. Pemuda tinggi tegap itu pun dengan amat mudahnya telah merobohkan empat orang yang lain. Mereka berlari terus ke belakang, menuju ke gubug di ujung kebun karena memang Sulastri ingin sekali bertemu dengan Gianti dan lurah Jati sebelum dia melarikan gadis yang dipondongnya itu.     Akan tetapi makin banyak kini anak buah lurah Jati berdatangan karena teriakan-teriakan memberi tahu mereka bahwa dua orang pemuda itu melarikan diri melalui kebun belakang. Mereka dikurung dan mulailah mereka berdua mengamuk. Biar pun Sulastri hanya dapat menggunakan kedua kaki dan satu tangan kanannya, namun sepak terjangnya hebat dan menggiriskan karena setiap kali tangan kanannya bergerak tentu ada seorang pengeroyok yang terpelanting roboh. Juga pemuda tinggi tegap itu mengamuk seperti seekor banteng terluka.   Tiba-tiba terdengar bentakan keras dan muncul dua orang laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa dan berkumis sekepal sebelah. Dua orang laki-laki inilah jagoan dari Jati yang menjadi kaki tangan lurah, dan mereka memang merupakan orang-orang kuat yang kini menerjang maju dengan golok mereka.   "Kawan, cepat lari biar aku menahan mereka!" teriak pemuda tinggi tegap kepada Sulastri ketika dia melihat munculnya dua orang yang dari gerakannya jelas tidak dapat disamakan dengan para pengawal lainnya itu. Pemuda tinggi tegap itu telah merampas sebatang tombak dan kini dengan tombak rampasan itu dia menahan amukan dua orang raksasa itu sehingga terjadilah pertandingan yang hebat.   Sulastri maklum bahwa biar pun dia sendiri dapat menjaga diri, namun tubuh di dalam pondongannya itu terancam bahaya maut. Kalau dilanjutkan pertarungan keroyokan, mungkin saja ada senjata yang salah alamat dan mengenai tubuh Warsini, maka dia segera meloncat sambil mendorong roboh seorang penghalang di depannya, terus dia lari ke arah gubug. Pada saat itu lurah Jati dan Gianti sedang bermain cinta dan biar pun mereka mendengar suara ribut-ribut di kebun, namun karena asyik dan kepalang mereka tidak muncul ke luar. Maka dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika tiba-tiba gubug itu roboh oleh dorongan tangan Sulastri!   Sungguh lucu sekali melihat dua orang itu merangkak ke luar dan mengaduh-aduh. Melihat Gianti merangkak ke luar dengan pakaian setengah telanjang, timbul rasa muak dan marah di hati Sulastri. Dia menyambar sebatang ranting dan dengan pengerahan tenaga saktinya dia menyambitkan ranting itu ke arah muka Gianti yang baru saja hendak bangkit.   "Prat... auhhh...!! Gianti menjerit mengerikan karena ranting itu telah menghantam mukanya, meremukkan hidungnya dan membelah bibirnya! Dia roboh mandi darah dan pingsan.   "Huh, kau tidak akan dapat melacur dengan kecantikanmu lagi!" Sulastri berbisik dan dia terus melarikan diri, tidak sempat menghajar ki lurah Jati karena para pengawal sudah datang berbondong-bondong mengejarnya.     Sementara itu, ketika pemuda tinggi tegap melihat bagaimana "pemuda" perkasa yang melarikan Warsini itu merobohkan gubuk dan melihat lurah Jati merangkak setengah telanjang sambil mengaduh-aduh, timbullah satu pikiran yang baik sekali. Dua orang jagoan itu memang cukup tangguh dan biar pun dia yakin akan dapat mengalahkan mereka, namun jumlah pengeroyok terlalu banyak dan juga dia harus membiarkan kawannya itu berhasil lari tanpa dikejar musuh. Setelah menangkis dua batang golok sambil mengerahkan tenaga sehingga dua orang jagoan itu terhuyung ke belakang, pemuda itu meloncat dan berlari cepat menghampiri lurah Jati. Sebelum lurah itu dapat menghindar, dia sudah cepat menjambak rambut lurah itu yang terurai ketika gubuk tadi roboh. Dijambaknya rambut itu dan diputar ke belakang, lalu tombak rampasannya itu ditodongkan ke leher sang lurah sambil membentak, "Berhenti semua! Jangan mengejar, kalau tidak tombak ini akan menembus leher lurah kalian!"   Suara pemuda itu mengandung getaran hebat dan terdengar oleh semua orang. Ki lurah sendiri menjadi takut setengah mati. Kedua tangannya diangkat naik ke arah rambutnya yang seperti akan jebol rasanya sehingga kini karena tidak ada lagi tangan yang menahannya, celananya merosot ke bawah dan telanjanglah kini pengantin pria yang gagal ini!   "Aduhhh... aduh... ampun... !"   "Suruh mundur semua anak buahmu. Kalau tidak, akan kusembelih kau!" Pemuda itu menghardik dan seluruh tubuh yang telanjang bulat itu menggigil ketakutan.   "Mundurrr... semua mundur... aduh, jangan maju...!"   Dua orang tinggi besar yang melihat lurah mereka ditangkap dan diancam, otomatis menghentikan gerakan kaki mereka dan mundur sehingga semua anak buahnya juga tidak ada yang berani berkutik.   "Kalau kalian berani mengejarku, kubunuh lurah jahanam ini!" Pemuda itu berseru dan kini dia mengempit tubuh ki lurah yang telanjang itu dan membawanya lari dari situ. Para anak buah lurah Jati tidak ada yang berani berkutik, saling pandang dengan bingung sampai bayangan pemuda itu lenyap.   "Hayo kejar...!" Dua orang tinggi besar itu sadar bahwa lurah mereka diculik, maka mereka cepat mengejar ke arah larinya pemuda itu, yaitu ke timur. Akan tetapi hampir saja mereka jatuh tunggang-langgang karena kaki mereka hampir menginjak tubuh lurah mereka yang ternyata ditinggalkan di tengah jalan dalam keadaan telanjang dan lurah itu menggigil ketakutan dan kedinginan.   Anak buahnya masih mencari ke sana ke mari, akan tetapi tidak dapat menemukan jejak dua orang pemuda yang telah melarikan Warsini itu. Ki lurah mencak-mencak dan marah-marah, mengerahkan semua pembantunya untuk mencari Warsini sedangkan dia sendiri kembali ke dusun Jati setelah mengenakan kembali pakaiannya, dengan bersungut-sungut dan marah sekali, apalagi dilihatnya bahwa wajah Gianti yang tadinya cantik itu kini menjadi mengerikan, hidungnya remuk dan bibirnya sumbing!     Siapakah pemuda tinggi tegap berkumis tipis yang perkasa itu? Pemuda berusia kurang lebih sembilan belas tahun yang sepak terjangnya gagah perkasa itu? Dia ini adalah bukan lain adalah Sutejo! Sepeti telah diceritakan di dalam jilid pertama dari cerita ini, Sutejo pada sembilan tahun yang lalu hampir saja mati terbakar di dalam rumah ibunya yang menjadi lautan api. Ibunya tewas dan kakaknya, Lestari, dibawa oleh Penewu Progodigdoyo sedangkan Sutejo sendiri menggeletak pingsan di dalam rumah yang sedang terbakar itu. Akan tetapi memang dia belum tiba saatnya harus mati terbakar, pada saat yang amat berbahaya itu muncullah seorang kakek tua renta yang berkelebat memasuki rumah yang terbakar itu, menentang api seolah-olah api itu bukan apa-apa baginya dan kakek itu berhasil menyelamatkan Sutejo dan dibawa lari dari dusun Kembangsri.     Kakek itu bukan lain adalah Panembahan Ciptaning, seorang pertapa yang sakti mandraguna, bijaksana dan hidup seperti dewa di lereng gunung Kawi. Panembahan Ciptaning ini dahulu adalah guru dari Raden Lembu Tirta, ayah dari Sutejo.   Setelah siuman dari pingsannya dan mendapatkan dirinya berada di pondok sederhana di lereng gunung Kawi, Sutejo terheran-heran. Ketika dia mendengar jelas bahwa kakek tua renta di depannya itu adalah Panembahan Ciptaning, eyang gurunya sendiri dia menangis dan menceritakan semua yang terjadi, semua malapetaka yang menimpa keluarganya. Sang Panembahan hanya menarik napas panjang mendengar penuturan itu dan kakek ini lalu mendidik Sutejo sebagai cucu muridnya. Selama sembilan tahun lamanya Sutejo digembleng segala macam ilmu di lereng gunung Kawi dan akhirnya dia diperkenankan turun gunung untuk mencari mbakayunya, yaitu Lestari yang dia tahu dibawa lari oleh Panewu Progodigdoyo.   "Angger, Sutejo. Ingatlah selalu semua pesan dan nasehatku. Semua ilmu yang kau pelajari dariku bukan sekali-kali dimaksudkan untuk kau pakai mencelakakan atau membunuh orang begitu saja, bukan sekali-kali untuk urusan balas dendam. Kalau ilmu-ilmu itu kau pergunakan untuk melampiaskan balas dendam dan kebencian, maka ilmu-ilmu itu menjadi ilmu hitam, kulup! Aku tahu, Progodigdoyo telah melakukan perbuatan yang tidak patut dan jahat terhadap keluargamu, akan tetapi kalau engkau mencari dia dengan hati penuh dendam dan benci, lalu kau membunuhnya untuk melampiaskan kebencian dan dendammu, maka engkau tidaklah lebih baik daripada si Progodigdoyo sendiri! Bertindaklah melihat keadaan pada saat itu juga, tanpa didasari kebencian dan dendam. Aku menurunkan ilmu-ilmu kepandaian agar engkau dapat menyumbangkan tenagamu untuk kemanusiaan, angger. Ketahuilah bahwa kemelut sedang terjadi di Mojopahit, dan apabila negara sedang dilanda kemelut, hanya orang-orang muda seperti engkaulah yang dapat mendatangkan penerangan dan menghalau semua malapetaka, angger."   Demikianlah antara lain wejangan dari Sang Panembahan Ciptaning. Dengan bekal wejangan dan ilmu kesaktian dari pertapa ini, Sutejo turun gunung dan secara kebetulan sekali pada hari itu dia bertemu dengan Sulastri atau Bromatmojo yang sedang mengamuk terhadap rombongan pengantin itu.   Sutejo mengerutkan alisnya ketika dia tidak melihat ke mana larinya pemuda tampan yang memondong Warsini. Dia menggunakan ilmunya berlari cepat, lalu dia meloncat naik ke atas pohon waringin yang tinggi. Dari tempat tinggi ini dia dapat melihat berkelebatnya bayangan pemuda itu ke arah timur, maka cepat dia turun dan mengejar lagi ke timur. Hatinya merasa tidak senang. Pemuda tampan itu memang memiliki kepandaian yang cukup hebat, akan tetapi sikapnya mencurigakan sekali. Pemuda itu terlalu ceriwis dan jangan-jangan pemuda itu mengandung niat yang kurang senonoh terhadap Warsini! Sudah beberapa kali dia melihat pemuda itu bersikap terlalu mesra terhadap Warsini, hal yang amat tidak patut dilakukan seorang pria kepada seorang wanita yang bukan apa-apanya. Dan dia dapat menduga bahwa agaknya Warsini, bekas pengantin wanita itu, juga jatuh hati kepada pemuda itu! Tidak mengherankan. Memang pemuda itu tampan sekali, ganteng dan juga pandai merayu, dengan sinar matanya yang seperti bintang itu, dengan senyumnya yang benar-benar amat manis menarik hati.   Dia mengejar terus dan kini sudah dapat menyusul pemuda itu tidak lari lagi, kini bahkan memondong tubuh Warsini sambil berjalan kaki memasuki sebuah hutan! Hati Sutejo menjadi makin tidak senang. Kenapa gadis itu dibawa masuk ke dalam hutan? Apa yang terkandung dalam hati pemuda tampan yang amat ceriwis itu? Kalau ternyata benar seperti yang dicurigainya bahwa pemuda tampan itu setelah menolong Warsini lalu hendak merayu dan menodai gadis itu, dia akan turun tangan menghajarnya!     Sutejo membayangi mereka di dalam hutan, sama sekali tidak tahu bahwa tadi "pemuda" tampan itu telah melihat berkelebatnya bayangannya. Dan dia pun tidak tahu bahwa melihat pemuda tinggi tegap itu membayanginya secara tidak wajar, timbul pula kecurigaan di dalam hati Sulastri! Mengapa pemuda tinggi tegap itu tidak secara langsung saja menemui dan membayangi seperti itu?   "Warsini, kurasa sekarang telah aman, kau dapat berjalan sendiri," katanya sambil menurunkan pondongannya.   Warsini lalu berlutut dan menyembah. "Raden, sungguh besar sekali budi paduka yang telah menyelamatkan saya, entah bagaimana saya harus membalas budi yang demikian besarnya."   Sulastri menghela napas panjang. "Sudah saja tak usah dibalas," jawabnya. Matanya melirik ke sana-sini mencari-cari karena dia tahu bahwa pemuda tinggi tegap pasti sedang mengintai mereka!   "Tapi... tapi saya... tidak mempunyai sanak kadang... maka harap kau suka menerima saya, raden. Saya akan ikut bersamamu ke mana juga..."   "Bangkitlah, dan mari ikut bersamaku," kata Sulastri singkat karena dia sudah melihat bayangan pemuda tinggi tegap itu di balik sebatang pohon di depan... Alisnya berkerut dan dia menjadi makin curiga. Jangan-jangan pemuda tinggi tegap dan tampan itu...   "Ahhh...!" Sulastri tiba-tiba berseru kaget.   "Ada apa, raden?" Warsini bertanya karena gadis ini pun kaget ketika dia berdiri melihat wajah pemuda itu berubah.   "Tidak apa-apa, mari kita pergi," kata Sulastri dan karena ketegangan hatinya, sejenak dia lupa bahwa dia adalah seorang "pemuda" dan tanpa ragu-ragu lagi dia menggandeng tangan Warsini. Gadis itu terkejut, mukanya menjadi merah sekali, akan tetapi mata yang indah itu bersinar girang dan bibirnya tersenyum. Mereka lalu melangkah maju dengan bergandengan tangan! Sulastri masih memandang ke depan, alisnya berkerut dalam karena kini dia teringat akan cerita kakek Kaloka. Pemuda tampan berkumis! Jangan-jangan pemuda tinggi tegap itu yang dimaksudkan! Dan kini pemuda itu membayanginya, bahkan menghadang di depan seolah-olah ada niat tersembunyi terhadap dia, ah, tentu saja terhadap Warsini!   Mengingat akan ini, dia membayangkan mendiang Katmi, puteri Kaloka yang diperkosa sampai mati dan otomatis Sulastri merangkul pundak Warsini dengan sikap melindungi. Melihat ini, Warsini menjadi makin merah mukanya, nafasnya terengah dan dia menggigit bibirnya sendiri. Di balik batang pohon, Sutejo memandang dengan mata bersinar penuh kemarahan karena dia menduga bahwa sudah pasti pemuda tampan itu mempunyai niat yang tidak senonoh terhadap diri Warsini. Kiranya pemuda itu menolong bukan berdasarkan prikemanusiaan, melainkan berdasarkan niatnya yang tidak senonoh terhadap gadis cantik itu. Keparat!   Sutejo meloncat dan tahu-tahu berdiri di depan Warsini dan Sulastri dengan kedua tangan bertolak pinggang, mukanya merah dan matanya memancarkan kemarahan sehingga mata itu seperti berkilat.     Melihat sikap ini, Sulastri makin curiga dan dia mendorong Warsini ke belakangnya, kemudian melangkah maju, mengangkat dada, teringat bahwa hal itu akan membuat buah dadanya menonjol maka dia menarik lagi dadanya ke dalam.. "Eh, mau apa kau menghadang kami? Kenapa kau membayangi kami dan kini menghadang seperti seorang perampok?" Sulastri menghardik.   "Dan kenapa kau membawa gadis itu ke dalam hutan?" Sutejo balas bertanya, suaranya penuh tuduhan dan kemarahan.   Sulastri kini memperhatikan kumis itu. "Mau kubawa ke mana pun, apa perdulimu? Kau mau apa?"   "Mau mencegahmu membawa pergi gadis itu dan..."   "Apa?" Sulastri membentak dan kini yakinlah dia bahwa pemuda tinggi tegap itu ternyata hendak merampas Warsini, tepat seperti yang diduganya. "Jadi kau hendak merampas Warsini dari tanganku?"   Sutejo juga merasa yakin bahwa pemuda tampan ini benar-benar hendak menguasai Warsini, maka dia pun menjadi marah. "Benar!" Berikan gadis itu padaku!" Tentu saja maksudnya agar pemuda tampan itu membebaskan Warsini.   Ucapan ini membuat Sulastri makin marah. "Ahh, sungguh kebetulan. Dicari-cari setengah mati belum tentu dapat berjumpa, kiranya engkau datang sendiri seperti ular pencari penggebuk. Kiranya engkau orang itu, ya?" Sulastri mengangguk-angguk dan tersenyum mengejek.   Tentu saja Sutejo menjadi terheran-heran. "Apa maksudmu?" tanyanya karena dia sungguh tidak mengerti apa yang dimaksudkan dengan ucapan itu.   "Kiranya engkau bedebah itu dan selagi arwah Katmi masih penasaran dan berkeliaran, engkau sudah mencari korban baru lagi, ya?"   Sutejo makin bengong dan ia memandang Sulastri penuh perhatian. Gilakah pemuda ini? Mungkin! Pemuda yang luar biasa tampan, galak dan ceriwis ini mungkin saja gila!   "Apakah engkau gila?" tanyanya.   Tentu saja pertanyaan ini sama saja dengan mencubit hidungnya, membuat Sulastri marah bukan main.   "Jangan pura-pura. Engkau tampan, dan engkau berkumis!"   Sutejo meraba kumisnya, kumis tipis yang baru tumbuh belum lama ini. "Memang aku berkumis, mengapa?" tanyanya, agak tersinggung juga karena kumisnya dianggapnya indah dan pantas.   "Tapi tidak ada tahi lalat... hemm, tentu kau sudah buang tahi lalat itu atau kau tutupi dengan bedak..."     Sutejo memandang penuh perhatian, lalu menggeleng-geleng kepalanya. "Sayang, engkau benar-benar telah gila. Dan engkau gila karena watakmu yang tidak senonoh."   "Eh, orang gila memaki gila, orang cabul memaki orang lain tidak senonoh."   "Tentu saja engkau tidak senonoh. Engkau membawa gadis itu ke dalam hutan dan merayunya, dengan maksud apa lagi kalau bukan maksud cabul dan tidak senonoh?" Sutejo mengepal tinjunya. "Sejak tadi aku membayangimu. Setelah berhasil melepaskan diri dari kepungan, engkau sengaja melarikan gadis ini ke hutan. Mengapa ke hutan? Karena engkau hendak menghindar dari aku, karena engkau ingin berdua saja dengan gadis ini, untuk merayunya. Akan tetapi jangan kira engkau akan mudah saja melakukan perbuatanmu yang terkutuk itu selama di dunia ini masih ada Sutejo!"   "Siapa itu Sutejo!"   "Aku!"   Tiba-tiba Sulastri tertawa dan cepat dia menutupi mulutnya. Ucapan pemuda tinggi tegap itu telah membuka matanya bahwa dia salah duga, bahwa tidak mungkin pemuda ini yang memperkosa Katmi dan tahulah dia sekarang mengapa pemuda yang bernama Sutejo ini tadi membayanginya dan bersikap demikian mencurigakan. Kiranya justru pemuda itu yang mencurigai dia, mengira dia hendak melakukan kekurangajaran terhadap Warsini! Mana mungkin seorang dara seperti dia melakukan perbuatan terkutuk terhadap seorang gadis lain seperti Warsini?   "Jadi namamu Sutejo?"   "Ya, dan kenapa kau tertawa seperti setan?"   "Apa kau tidak tanya namaku?"   "Hemm, siapa namamu?"   "Namaku Bromatmojo!"   "Bocah dari Bromo! Hemm, namamu aneh, seperi orangnya. Akan tetapi kenapa kau tertawa?"   "Karena geli mendengar bahwa kau menduga aku hendak berbuat yang bukan-bukan terhadap dia ini." Sulastri menuding ke arah Warsini yang berdiri menundukkan muka di belakangnya.   "Tentu saja aku menduga demikian! Kau bilang bahwa kau hendak menyerahkan dia kepada seorang sahabatmu untuk menjadi anaknya, akan tetapi kenapa kau membawanya ke dalam hutan?"   (Bersambung ke Jilid 26)   Jilid 26   "Aku membawanya ke hutan, atau ke lautan atau ke mana pun juga apa sih hubungannya dengan kau? Mengapa kau perduli amat?"   Karena aku tidak ingin melihat engkau melakukan perbuatan terkutuk..."   "Apa perdulimu aku melakukan perbuatan apa pun?"   "Maksudku, aku tidak ingin melihat gadis ini menjadi korban kebiadabanmu."   Tiba-tiba Warsini melangkah maju dan berkata kepada Sutejo, "Raden, harap paduka jangan salah sangka. Saya merasa yakin bahwa raden ini... Raden Bromo..."   "Eh, jangan disingkat begitu, Bromo kan nama dewa atau nama bukit!" Sulastri menegur dan Sutejo menutupi mulutnya menahan tawa. "Namaku Bromatmojo!"   "Ah, maaf, Raden Bromatmojo bukanlah orang yang begitu rendah wataknya, dan saya... saya sudah percaya sepenuhnya... dan saya pun rela dibawa ke mana pun juga."   Sulastri memandang Sutejo dengan sikap seperti anak kecil yang menang. "Nah, katakan lagi apakah aku seorang yang hendak melakukan perbuatan terkutuk? Kau ini memang kurang ajar sekali. Baru bertemu pertama kali saja sudah menuduh aku perampok pengantin, sekarang menuduh hendak melakukan perbuatan biadab. Hem, kalau saja kau mempunyai tahi lalat di pipi kirimu, tentu sekarang juga sudah kuhancurkan kepalamu!"   Sutejo mengerutkan alisnya. "Mendengar omonganmu, siapa pun tentu akan menduga bahwa engkau sinting. Dan biar pun gadis ini sudah terpengaruh oleh rayuanmu, akan tetapi tentu saja aku curiga karena kalau kau hendak memberikan dia kepada seorang sahabatmu untuk diambil anak, mengapa ke dalam hutan?"   "Tentu saja, tolol! Orang itu memang tinggalnya di tengah hutan! Wah, goblok benar engkau!" Sulastri berseru penuh kemengkalan hati.   "Di dalam hutan?"   "Ya, dan sudah dekat tempatnya. Hayo kau ikut kalau tidak percaya!" Sulastri memang ingin mempertemukan Sutejo dengan Kaloka, kalau-kalau memang benar pemuda ini yang dulu memperkosa Katmi.   Berangkatlah mereka ke dalam hutan dan ketika tiba di tengah hutan, Sulastri mengajak mereka menghampiri sebuah pondok kayu di tengah hutan.   "Paman Kaloka...!" Dari jauh dia memanggil.   Seorang laki-laki muncul dari pondok itu dan Sulastri memperoleh kenyataan dengan hati girang bahwa Kaloka kini berbeda dengan ketika dia temui pertama kali. Kini pakaiannya tidak awut-awutan seperti dulu lagi, bahkan wajahnya bersih dan kelihatan sebagai seorang setengah tua yang baik-baik.   "Oh, Raden Bromatmojo...!" katanya dan dengan cepat dia menghampiri mereka, memandang kepada Warsini dan kepada Sutejo dengan penuh perhatian dan dengan sinar mata terheran-heran.   Sulastri memperhatikan sikap Kaloka dan hatinya kecewa. Agaknya orang tua itu tidak mengenal Sutejo!     "Paman, apakah engkau tidak mengenal pemuda ini?" tanyanya.   Kaloka memandang kepada Sutejo penuh perhatian, lalu menggeleng kepala. "Belum pernah saya bertemu dengannya."   "Dia berkumis..., ingat paman?"   Kaloka menggeleng kepala . "Memang dia berkumis, akan tetapi kumisnya tidak setebal si tahi lalat itu dan wajahnya pun berbeda, juga raden ini lebih tinggi..."   "Wah, sayang," Sulastri berkata dan memandang gemas kepada Sutejo yang tersenyum mengejek.   "Apa yang kalian bicarakan aku tidak mengerti, akan tetapi sekali ini engkau patut mendapatkan hidung panjang, Bromo, karena sembarangan menuduh orang!" kata Sutejo yang sengaja menyebut Bromo untuk mengejek.   Sulastri hendak mengamuk, akan tetapi karena dia memang merasa salah sangka, dia hanya melotot dan dia lalu berkata kepada Kaloka, "Paman, aku datang untuk menyerahkan gadis ini kepada paman sebagai pengganti Katmi." Dia lalu menceritakan riwayat Warsini dan akhirnya berkata, "Paman telah kehilangan Katmi, dan Warsini tidak mempunyai sanak kadang lagi, maka paman mendapatkan seorang pengganti sebagai puteri paman, sedangkan Warsini pun kini ada seorang ayah yang dapat melindunginya dan tidak akan memaksanya kawin dengan seorang tua bangka. Bagaimana pendapat kalian, paman Kaloka dan kau, Warsini?"   Kaloka memandang kepada Warsini dan ketika mendengar riwayat gadis itu, tadi pun dia telah merasa kasihan dan suka. "Kalau... kalau dia sudi menjadi anakku... tentu saja akan kulindungi dia dengan taruhan nyawaku dan akan kujadikan dia anakku yang berbahagia."   "Dan kau, Warsini?"   Warsini mengangkat muka memandang Sulastri dan matanya menjadi basah. Kemudian dia menunduk dan berkata lirih, "Telah saya katakan bahwa saya menurut segala kehendak paduka, raden."   "Bagus kalau begitu. Paman Kaloka, setelah engkau memperoleh seorang anak sebagai pengganti Katmi, apakah engkau akan membiarkan anakmu hidup di tengah hutan seperti ini?" tanya Sulastri memancing, sedangkan kini Sutejo memandang Sulastri dengan sinar mata lain, lenyaplah semua keraguannya dan kini dia memandang dengan sinar mata kagum. Biar pun galak, suka memaki, dan sikapnya ceriwis, ternyata pemuda tampan ini benar-benar seorang pendekar yang gagah dan berbudi!   "Ah, tentu saja tidak, raden! Tentu saja saya tidak ingin melihat anak saya hidup seperti ini, seperti binatang buas di hutan. Saya akan kembali ke dusun saya di Turen di mana saya masih mempunyai rumah dan mempunyai harta. Saya akan hidup biasa lagi dan hidup berbahagia dengan anak saya nini Warsini!"     "Nah, lega hatiku, paman Kaloka. Sekarang aku minta diri, aku harus melanjutkan perjalananku."   "Selamat jalan, raden dan semoga para dewata melindungi paduka. Paduka telah menyadarkan saya, dan bukan itu saja, paduka telah menghidupkan lagi saya dengan mencarikan seorang pengganti Katmi bagi saya. Terima kasih, raden, terima kasih..." Dan Kaloka menggunakan punggung kepalan tangannya untuk mengusap dua tetes air mata dari pipinya.   "Warsini, aku pergi. Yang baik-baik kau berbakti kepada ayahmu. Dia seorang yang baik, dan boleh diandalkan."   Warsini hanya menangis dan menutupi mukanya dengan kedua tangan, sesenggukan. Sulastri menoleh kepada Sutejo, tersenyum mengejek dan tanpa berkata apa-apa dia meninggalkan tempat itu.   Sejenak Sutejo termangu-mangu, merasa serba salah, kemudian dia pun mengangguk kepada Kaloka dan kepada Warsini yang masih menangis, dan dia pun melangkah pergi.   "Raden Bromatmojo...!"   Warsini berlari-lari menghampiri Sulastri yang sudah agak jauh. Sulastri berhenti dan membalikkan tubuhnya, sedangkan Sutejo juga berhenti agak jauh memandang tanpa mengeluarkan kata-kata.   "Raden...!" Sulastri terkejut ketika melihat Warsini menubruk kedua kakinya dan menangis sesenggukan sambil merangkul kedua kakinya. "Raden...paduka meninggalkan saya dan... dan... entah kapan dapat bertemu kembali..."   Sulastri melirik ke arah Sutejo yang menonton dengan sikap tertarik sekali. Sulastri lalu membungkuk, memegang kedua pundak Warsini dan menariknya berdiri. Dengan sikap mesra dia menyingkap rambut yang mawut itu dari wajah yang basah air mata, lalu tersenyum dan berkata lembut, "Warsini, ada waktunya bertemu tentu ada waktunya berpisah. Jangan kau berduka, karena aku yakin benar dengan kebaikan hati paman Kaloka. Engkau boleh melegakan hatimu karena engkau memperoleh seorang ayah yang baik sekali. Dan aku berjanji bahwa aku tidak akan melupakan engkau, cah ayu, dan kelak, tentu aku akan singgah di rumahmu."   "Be... benarkah... paduka tidak akan melupakan saya?"   "Ahhh..." Sulastri kembali melirik ke arah Sutejo yang menonton dengan alisnya yang tebal itu berkerut. "Bagaimana bisa melupakan seorang gadis manis seperti engkau, Warsini? Nah, selamat berpisah, cah ayu." Sulastri lalu mendekatkan mukanya dan sambil melirik ke arah Sutejo, dia mengambung pipi kiri Warsini dengan hidungnya dengan mesra.     Warsini masih berdiri dengan mata terbelalak, mukanya merah sekali dan tangannya mengusap-usap pipi kirinya ketika Sulastri sudah berkelebat dan berjalan cepat meninggalkan tempat itu, diikuti oleh Sutejo. Tiba-tiba dia merasa pundaknya disentuh tangan dari belakang dan terdengar suara Kaloka, "Anakku, memang Raden Bromatmojo seorang yang gagah perkasa dan patut kau puja dalam hatimu. Akan tetapi, aku melihat dia itu masih muda sekali sehingga agaknya hatinya belum dapat tersentuh oleh rasa kasih seorang wanita, anakku."   "Tenanglah, anakku, tenangkan hatimu. Hidup memang selalu penuh kekecewaan bagi orang yang banyak mengharap. Jangan engkau mengharapkan sesuatu yang kiranya tidak akan terjangkau olehmu, anakku. Mari, kita pergi ke Turen dan di sana engkau akan hidup sebagai anakku yang tersayang, dan sebagai anakku tidak ada seorang pun yang akan memaksamu melakukan sesuatu di luar kehendakmu."   Kaloka lalu mengajak anak angkatnya itu pergi meninggalkan hutan, menuju ke Turen untuk memulai hidup baru, di mana Warsini hidup sebagai seorang gadis yang terlindung oleh seorang ayah yang benar-benar mencintainya dan ingin melihat dia hidup bahagia.     Sampai lama mereka berjalan cepat tanpa mengeluarkan suara. Sulastri maklum bahwa pemuda itu berjalan di belakangnya, akan tetapi dia mengambil sikap pura-pura tidak tahu sampai mereka tiba di luar hutan, karena dianggapnya bahwa mereka hanya akan bersama-sama ke luar dari hutan itu. Akan tetapi setelah keluar dari hutan itu dan dia membelok ke barat, pemuda itu pun masih terus mengikuti di belakangnya.   Sulastri berhenti dan menengok, bertolak pinggang. "Eh, Tejo! Mau apa kau mengikuti aku terus?" Dia melihat betapa wajah pemuda tinggi tegap yang gagah itu merah dan sinar matanya berkilat.   "Bromo aku mengikutimu untuk mengatakan penasaran yang terpendam di hatiku.   "Hemm, penasaran terhadap siapa?"   "Terhadap andika, Bromo!"   "Eh, eh, kalau begitu coba katakan! Penasaran apakah itu?"   "Bromo, ingin sekali aku mengatakan bahwa engkau adalah seorang pemuda yang ceriwis, tak tahu malu, mata keranjang dan kurang ajar! Nah, puas sudah hatiku!"   Wajah yang halus tampan itu menjadi merah, sepasang mata yang bening tajam itu bersinar-sinar. "Dan engkau seorang pemuda yang gila dan tolol! Kenapa tiada hujan tiada angin kau memaki-maki orang? Kalau memang kau berani, majulah dan jangan banyak mulut memaki orang!"   "Eh, eh, kau menantang? Kau kira aku tidak berani melawan seorang pemuda ringkih, kecil kurus macam engkau?" Sutejo makin marah karena memang hatinya sudah gemas sekali melihat sikap Bromatmojo itu, apalagi ketika dia tadi melihat keadaan Warsini yang begitu mengenaskan hati, ditinggal pergi oleh pemuda tampan itu setelah menaklukkan hatinya. Dia melangkah maju dengan kedua tangan dikepal.   "Sombongnya!" Kau belum mengenal kedigdayaan anak gunung Bromo, ya?"   "Bromo bocah kementus! Kalau aku tidak bisa mengalahkan engkau, jangan panggil lagi aku Sutejo!"   "Heeeeiiiittt...!!" Sulastri sudah memekik dengan suara melengking, lalu dia secepat kilat sudah menerjang ke depan, melancarkan pukulan kepalan tangan kiri ke arah lambung Sutejo sedangkan tangan kanannya menampar ke arah kepala.   "Aiiiihhhh...!!" Sutejo juga melengking dan menggerakkan kaki tangannya, menangkis dua pukulan itu dengan kedua tangan.     "Dukk! Plaakk!!" Dua pasang lengan bertemu dan keduanya terdorong ke belakang saking kuatnya tenaga lawan. Diam-diam Sulastri terkejut. Dia tadi telah mengerahkan tenaganya untuk menguji pemuda ini dan ternyata tangkisan pemuda itu membuat dia terdorong ke belakang. Diam-diam dia merasa kagum sekali. Di lain pihak, Sutejo kagum dan kaget. Biar pun dia telah mempergunakan tiga perempat tenaganya untuk menangkis, tetap saja dia terdorong mundur, tanda bahwa tenaga pemuda ceriwis ini hampir mengimbangi tenaganya sendiri.   Sulastri yang terkejut dan kagum itu juga merasa penasaran dan marah. Dia lalu memekik lagi dan kini dia melancarkan serangan bertubi-tubi yang dilakukan dengan gerak cepat! Tubuhnya berkelebat seperti seekor burung srikatan menyambari capung, cepat bukan main dan setiap pukulannya mengandung tenaga dasyat. Namun Sutejo juga sudah mempercepat gerakannya dan setiap kali menangkis atau mengelak, dia tentu membalas dengan satu serangan sehingga terjadilah pukul-memukul, tangkis-menangkis dan tendang-menendang antara dua orang muda yang sama tangkas dan sama kuatnya itu.   Setelah puluhan jurus lewat dan dia belum juga mampu menyentuh tubuh lawan, Sulastri menjadi gemas bukan main.   "Hiaaatttt...!!" Dia melengking panjang dan kini gerakannya berubah, kedua tangannya melakukan serangan yang amat hebat sehingga dari kedua tangan itu datang angin menyambar-nyambar dahsyat. Kiranya dalam keadaan penasaran dan marah, dia telah mengeluarkan ilmu pukulan yang dipelajarinya dari Ki Jembros dan yang oleh Empu Supamandrangi dianggap sebagai ilmu yang keji dan terlalu dahsyat. Akan tetapi diam-diam di puncak Gunung Bromo itu, Sulastri malah memperdalam ilmu pukulan ini, yang dinamakan Hasto Bairowo (Tangan Dahsyat).   "Ehhh!!" Sutejo terkejut bukan main karena tahu bahwa sekali ini lawannya benar-benar mengeluarkan ilmu yang amat hebat dan dua buah tangan yang jari-jari tangannya terbuka itu, jari-jari yang kecil dan kelihatan lemah, merupakan tangan-tangan maut yang amat berbahaya. Maka dia pun lalu menggetarkan kedua lengannya, mengerahkan aji kesaktiannya, yaitu Ilmu Kolocokro yang dahsyat pula dan ketika dia menggerakkan kedua tangan yang telah mengandung Ilmu Kolocokro ini, nampak uap putih mengepul dari kedua telapak tangannya.   Hebat bukan main pertempuran itu kali ini. Dua pasang tangan yang sama-sama mengandung getaran tenaga mujijat itu jika bertemu menggetarkan pohon-pohon di sekeliling mereka dan keduanya tentu terhuyung ke belakang. Sulastri yang merasa betapa ada hawa panas memasuki tubuhnya melalui lengannya yang bertemu dengan lengan lawan, merasa terkejut bukan main. Beberapa kali dia merasa lengannya panas dan setengah lumpuh ketika dia terhuyung ke belakang. Maklumlah dia bahwa sesungguhnya pemuda ini benar-benar amat digdaya. Akan tetapi dia masih belum mau menerima kalah. Ketika mendapat kesempatan, tangan kirinya menampar dengan pengerahan tenaga sakti Hasto Nogo. Memang hebat bukan main tamparan tangan dengan tenaga mujijat ini. Terdengar suara keras ketika Sutejo menangkis dan sekali ini pemuda tinggi tegap inilah yang terhuyung sampai beberapa langkah. Dia memandang dengan mata terbelalak dan Sulastri tersenyum puas karena sedikitnya dia telah mampu membalas dan mengejutkan pemuda itu.   Pada saat itu terdengar suara berisik dan muncullah banyak sekali orang mengurung tempat itu. Mereka adalah orang-orang yang membawa senjata dan dikepalai oleh dua orang laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi besar. Orang-orangnya pak lurah Jati!   "Nah, inilah mereka!"   "Tangkap!"   "Bunuh!"     Sulastri dan Sutejo saling pandang dan dalam pertemuan pandang mata sebentar itu, terhapuslah semua kemarahan di antara mereka dan terjalin persetujuan tanpa kata untuk menghadapi bahaya ini bersama-sama. Seperti mendapat komando, dua orang muda itu lalu menerjang ke kanan dan ke kiri dan mengamuklah mereka dikeroyok oleh puluhan orang. Kalau tadi mereka saling serang dalam pertandingan, kini mereka agaknya berlomba untuk menang banyak dalam merobohkan para pengeroyok! Segera terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan senjata-senjata golok, pedang, tombak dan penggada beterbangan jatuh disusul tubuh pemiliknya. Dua orang setengah tua itu kini sudah menerjang Sulastri dan Sutejo dan ternyata mereka ini bukan orang-orang sembarangan, pandai pula dalam ilmu berkelahi sehingga dua orang muda itu kini bertemu tanding. Akan tetapi, dua orang setengah tua itu segera terdesak hebat dan andaikata mereka tidak dibantu oleh banyak orang, tentu mereka sudah roboh oleh dua orang muda yang sakti itu.   Hampir semua pengeroyok telah mengalami jatuh bangun dan setelah kakek pertama remuk tulang pundaknya kena hantaman tangan Sutejo sedangkan kakek ke dua hancur daun telinga kanannya kena disambar pukulan Hasto Nogo dari tangan Sulastri, akhirnya dua orang kakek itu terpaksa melarikan diri diikuti oleh anak buah mereka yang menyeret kawan-kawan yang terluka dan tidak mampu jalan sendiri. Sulastri dan Sutejo hanya berdiri bertolak pinggang mengikuti mereka dengan pandang mata sambil tersenyum dan tidak mengejar.   Setelah para pengeroyok itu pergi semua dan suara mereka tidak terdengar lagi, barulah mereka kini membalikkan tubuh dan saling berhadapan lagi. Akan tetapi segala nafsu saling serang sudah lenyap dari pandang mata mereka.   "Kita lanjutkan pertandingan kita?" Sulastri menantang akan tetapi suaranya meragu karena dalam perkelahian keroyokan tadi, beberapa kali Sutejo melindunginya dengan merobohkan orang-orang yang menyerangnya dari belakang, sungguh pun dia sama sekali tidak membutuhkan perlindungan ini. Juga tadi dia melihat pemuda itu terhuyung karena kakinya keserimpet akar pohon, telah meloncat dan merobohkan dua orang lawan yang menubruk pemuda itu. Mereka telah bertanding melawan pengeroyokan musuh bersama, saling bantu, tentu saja Sulastri merasa tidak enak kalau kini mereka harus saling gempur sendiri!   Sutejo saling menggeleng kepala. "Bromo, aku telah bersikap kasar kepadamu. Ternyata engkau seorang pemuda yang gagah perkasa yang patut menjadi sahabatku. Kalau kau masih penasaran, kau boleh pukul aku dan aku tidak akan membalas."   "Akulah yang salah! Engkau seorang pemuda perkasa yang baik, Sutejo, hanya engkau bodoh."   Sutejo menundukkan mukanya. "Aku tentu lebih tua daripada engkau, akan tetapi agaknya engkau memang lebih pintar daripada aku, lebih pintar dalam segala-galanya!"   Sulastri tersenyum. "Ah, engkau terlalu memuji. Dalam hal kesaktian, kalau dilanjutkan pertandingan kita, akhirnya aku pasti akan kalah."   "Sudahlah, kita belum ada yang kalah atau menang. Yang pasti, kita telah berhasil memukul mundur kaki tangan lurah Jati dan kita telah bantu-membantu, jadi kita bukanlah musuh karena tidak ada hal yang membuat kita saling bermusuhan."   "Kalau begitu kita menjadi sahabat?"   "Kalau kau suka... "     "Tentu saja! Siapa tidak suka bersahabat dengan seorang pemuda gagah perkasa seperti engkau, Tejo? Akan tetapi agar tidak ganjalan di antara kita sebagai sahabat, aku masih ingin tahu mengapa tadi engkau memaki aku sebagai pemuda ceriwis, tak tahu malu, mata keranjang dan kurang ajar?"   "Ah, kau maafkan kata-kataku tadi, Bromo."   "Memang sudah kumaafkan, hanya aku akan terus merasa penasaran kalau belum kau jelaskan mengapa kau mengatakan seperti itu. Siapa tahu, aku betul-betul seperti yang kau katakan itu! Nah, secara hati terbuka, jelaskanlah, Tejo, aku tidak akan marah."   Sutejo menarik napas panjang. Dia kagum kepada Bromatmojo karena dari cara pemuda tampan tadi bertempur melawan peneroyokan musuh, dia memperoleh kenyataan bahwa memang pemuda tampan ini amat hebat sepak terjangnya, dan juga seperti dia pula, pemuda tampan ini tidak mau membunuh lawan. Kalau dikehendaki dengan tamparan-tamparannya yang ampuh dan sakti, tentu dengan mudah Bromatmojo akan dapat membunuh banyak orang dalam pertempuran tadi. Hal ini saja sudah menimbulkan rasa suka di dalam hatinya dan dia maklum bahwa pemuda ini pun seorang pendekar yang bukan orang jahat haus darah. Akan tetapi, harus diakui pula bahwa pemuda ini terlalu tampan, terlalu ceriwis, dan terlalu cerewet!   "Baiklah, aku pun tidak ingin menyembunyikan semua perasaan hatiku kepada seorang sahabat. Nah, dengarlah dan jangan marah seperti telah kau janjikan tadi. Aku mengganggap engkau ceriwis karena sikapmu kepada Warsini terlalu mesra dan terlalu berani, aku mengatakan engkau tak tahu malu karena engkau telah membelai dan merayunya di depan orang lain, aku menganggap engkau mata keranjang karena engkau pandai memikat hati Warsini dan engkau kurang ajar karena engkau telah memperlihatkan cintamu akan tetapi engkau lalu meninggalkannya begitu saja sehingga hatinya menjadi tersiksa. Nah, aku telah minta maaf, akan tetapi itulah isi hatiku tadi."   Sulastri tersenyum. "Hemm, mengapa baru kau nyatakan tadi?"   "Karena aku makin tidak tahan ketika melihat engkau menciumnya."   Sulastri tertawa. "Aaahh, kalau begitu itu berarti bahwa engkau iri dan cemburu, Tejo!"   Sutejo mengangkat mukanya tiba-tiba dan pipinya menjadi merah. "Tidak mungkin! Aku sama sekali tidak iri atau cemburu!"   "Tejo, apakah engkau tidak ingin pula mencium pipinya yang halus?"   "Tidak sudi!!"   "Kalau begitu, benar makianku tadi bahwa engkau adalah seorang pemuda yang gila dan tolol!"   "Mengapa? Mengapa karena aku tidak sudi mencium pipi gadis kau maki gila dan tolol?"   (Bersambung ke Jilid 27)   Jilid 27   "Tejo! Karena sudah sepatutnya gadis cantik dicium pria muda yang tampan seperti engkau!"   "Huhh!"   "Wanita adalah seperti kembang..."   "Hemm..."   "Cantik indah dan harum, tentu haus akan pujian seorang pria tampan dan akan merasa senang dan bangga sekali kalau dipuji dan dicium..."   "Bohong!"Wanita macam apa itu! Mau saja dicium oleh sembarang laki-laki?"   "Bukan sembarang laki-laki, melainkan pria yang disuka dan dipujanya tentu! Apakah engkau tidak suka mencium bunga yang cantik dan harum, Tejo?"   "Sudahlah! Aku tidak suka bicara tentang cium-mencium!"   "Akan tetapi pipinya halus sekali, keringatnya sedap dan kulitnya hangat..."   "Kau kurang ajar memang!"   "Aku menciumnya tadi dan kau melihat sendiri betapa dia tidak mengelak, tidak marah, dan aku tidak memaksanya."   "Memang dia telah tergila-gila kepadamu karena kepandaianmu merayu. Akan tetapi engkau lalu meninggalkannya begitu saja, bukankah kau kejam sekali? Betapa akan hancur hatinya."   "Andaikata engkau yang menjadi aku..."   "Tidak mungkin. Aku bukan perayu wanita!"   "Benarkah engkau belum pernah mencium wanita, Tejo?"   "Hushh! Ceriwis kau! Tentu saja belum."   "Dan dalam mimpi pun belum?"   Sutejo menggeleng kepalanya.   "Benar-benar belum pernah mimpi mencium wanita?" Sulastri mendesak.   Sutejo termenung. Tentu saja sebagai seorang pemuda yang usianya sudah sembilan belas tahun, dia pernah membayangkan seorang puteri yang cantik dan menarik hatinya. Akan tetapi dengan nekat dia menggeleng.   "Jadi engkau belum pernah mencinta wanita?"   "Belum. Sudahlah, kau cerewet benar sih?"   Hening sejenak dan Sulastri agak cemberut. Sutejo pun diam ketika melihat temannya cemberut, agak menyesal mengapa dia memakinya cerewet. Sebagai seorang sahabat baru agaknya Bromatmojo ini ingin sekali mengetahui segala hal tentang dirinya. Hal itu lumrah, mengapa dia marah-marah dan memakinya cerewet?   "Bromo maafkan aku..."   "Kenapa minta maaf? Untuk apa?"   "Karena aku mengatakan engkau cerewet. Sesungguhnya, kalau bicara tentang hal lain aku akan suka sekali. Akan tetapi tentang wanita..., hemm, aku... aku belum ada waktu untuk memperhatikan wanita."   "Kenapa belum ada waktu?"   "Karena... hemm, agaknya aku tidak suka kepada wanita!"     Wah-wah sombongnya manusia ini!"Sutejo terheran-heran melihat Bromatmojo seperti orang yang marah. "Jadi engkau ini seorang pemuda yang alim, ya? Seorang pertapa yang tahan uji, yang suci dan alim."   "Bukan pertapa tapi... ah, sudahlah, mungkin juga alim!"   "Hemm..., pemuda Sutejo yang gagah perkasa, yang tampan dan ganteng, dia membenci wanita."Sulastri kini duduk di atas akar pohon dan Sutejo juga duduk di atas sebuah batu tak jauh dari situ.   "Aku tidak bilang membenci,"bantahnya sambil menoleh.   "Tidak ada bedanya. Kau bilang tidak suka, itu berarti benci. Tejo, aku yakin sekali bahwa engkau..."   "Ya? Teruskan!"   "Kelak kalau bertemu dengan seorang gadis yang berkenan di hatimu, engkau akan bertekuk lutut menyembahnya, mengharapkan cinta kasihnya..."   "Tak mungkin!"   "Dan wanita itu akan melihat ketololanmu, kesombonganmu, dan dia akan mencemoohkanmu."   "Biar saja! Aku tidak butuh dengan dia."   "Aku sendiri pun muak melihat sikapmu."   "Ehhh?"Sutejo membalik dan mendekati. "Kenapa sih engkau ini?"   Dengan muka merah dan mulut cemberut, Sulastri menjawab tanpa menoleh, "Habis, engkau begitu sombong, seolah-olah engkau seorang pria yang paling hebat, yang suci murni, yang tidak membutuhkan wanita, yang memandang rendah wanita. Hati siapa tidak akan menjadi muak melihatmu?"     Sutejo tertawa dan memegang pundak Sulastri, akan tetapi tentu saja dara ini tidak membiarkan pundaknya dipegang dan dia cepat mengelak dan menangkis lalu meloncat berdiri.   "Eh, eh, engkau marah benar, Bromo? Sudahlah, aku minta maaf. Aku lupa betapa engkau amat mengagungkan wanita. Engkau seorang pembela wanita agaknya. Nah, biarlah aku minta maaf kepadamu."   "Tidak, sebelum engkau menarik kembali omonganmu."   "Omongan yang mana? Tadi begitu banyak."   "Bahwa engkau membenci wanita dan tidak butuh wanita."   "Hemm, baiklah. Memang ucapanku tadi mungkin terlanjur. Aku tidak membenci wanita, dan siapa tahu... mungkin saja kelak aku membutuhkan wanita... eh, tapi aku sungguh tidak mau kalau dikatakan bahwa aku mata keranjang seperti..."Sutejo menahan kata-katanya karena tidak ingin dia membikin marah lagi hati kawannya yang agaknya selain ceriwis juga mudah naik darah ini.   "Seperti aku?"Sulastri tertawa dan hati Sutejo menjadi lega. "Biarlah, biar aku mata keranjang dan kau pertapa alim. Eh, Tejo, sebenarnya engkau dari manakah? Dan hendak ke mana?"   Melihat perubahan yang demikian cepatnya, Sutejo terheran. Baru saja marah-marah sekarang telah memperlihatkan sikap manis sekali, sikap manis dan ramah penuh rasa persahabatan. Dia pun duduk di atas akar berhadapan dengan sahabat barunya akan tetapi yang dirasakannya seperti telah dikenalnya bertahun-tahun. Betapa tidak? Dengan sahabat yang baru dijumpainya kemarin ini dia telah berkelahi, saling serang mati-matian, kemudian saling membela ketika dikeroyok, dan sudah cekcok sampai ribut pula! Betapa anehnya! Maka timbul kepercayaan yang luar biasa di dalam hatinya terhadap sahabat ini dan Sutejo pun menceritakan semua riwayatnya. Betapa sembilan tahun yang lalu ibunya diperkosa di depan matanya oleh Progodigdoyo, kemudian rumah terbakar dan kakak perempuannya, Lestari, entah bagaimana nasibnya.   "Si jahanam busuk! Manusia iblis macam itu harus kuhancurkan kepalanya!"Sulastri sudah meloncat berdiri dan mengepalkan tinjunya, mengamang-amangkan tinju kanannya di atas seolah-olah pada saat itu Progodigdoyo sudah berdiri di depannya!   Sutejo kembali terbelalak keheranan melihat sikap Bromatmojo itu dan diam-diam ada rasa terima kasih yang besar di dalam hatinya terhadap pemuda yang kelihatannya masih remaja ini.     Memang dia seorang manusia yang jahat sekali, Bromo. Sebelum itu, ayahku juga tewas karena kecurangannya, padahal ayah adalah teman seperjuangannya. Dia membunuh ayah dengan tusukan dari belakang dan semua itu dilakukannya untuk merebut ibuku."   Sulastri menghampiri Sutejo dan menaruh tangan kanannya di atas pundak pemuda itu. "Jangan khawatir, Tejo. Aku akan membantumu sampai engkau berhasil membalas jahanam keparat itu. Sungguh engkau seorang yang amat malang..."   Sutejo memegang tangan yang berada di atas pundaknya itu dan sejenak mereka berada dalam keadaan demikian. Kemudiaan Sulastri menarik tangannya dan mundur, duduk kembali ke atas akar pohon di depan pemuda itu. "Lalu bagaimana, Tejo? Engkau pingsan di dalam rumahmu yang terbakar..."   "Agaknya Yang Maha Kuasa masih melindungiku, Bromo. Aku sempat diselamatkan oleh kakek guruku sendiri, guru dari mendiang ayahku, yaitu eyang guru Panembahan Ciptaning yang bertapa di lereng gunung Kawi. Aku lalu menjadi murid eyang sampai sekarang, dan baru saja aku diperkenankan turun gunung dan bertemu denganmu di tepi sungai itu."   "Ah, kasihan sekali nasibmu, Tejo. Entah bagaimana dengan nasib mbakayumu itu."   "Aku akan mencarinya, Bromo. Mudah-mudahan dia masih hidup."   "Jangan khawatir, aku akan membantumu, Tejo. Di mana sih dusun tempat tinggalmu itu?"   "Dusun Kembangsri dekat Tuban."   "Ah, kalau begitu kita masih satu daerah! Aku berasal dari dusun Gedangan dekat sungai Tambakberas, juga daerah Tuban!"   "Hemm, dan sekarang orang tuamu masih tinggal di sana, Bromo?"   "Orang tuaku?"Sulastri menunduk. "Di dunia ini hanya mempunyai tiga orang, yaitu ayah ibu, dan mbakayuku. Akan tetapi ketiganya itu sudah meninggal semua."   "Ahhh! Maaf... ah, Bromo, engkau kasihan kepadaku, akan tetapi kau sendiri..., betapa sama nasib kita. Engkau sebatang kara, dan aku pun juga!"   "Tidak sama benar, Tejo. Engkau mempunyai penasaran besar, ayahmu, ibumu, dan mbakayumu juga mungkin dibunuh orang. Akan tetapi aku tidak mempunyai musuh tertentu, kecuali dua orang yang telah menghina jenazah mbakayuku, dan majikan mereka."Sulastri yang juga merasa akrab sekali dengan Sutejo, telah menaruh kepercayaan besar, lalu menceritakan riwayatnya, betapa mbakayunya bela pati atas kematian Adipati Ronggo Lawe yang dicintanya, kemudian betapa dia ditolong oleh Ki Jembros yang kemudian menjadi gurunya selama lima tahun.   "Ki Jembros? Pantas engkau amat digdaya, kiranya engkau murid Ki Jembros. Eyang guruku, Panembahan Ciptaning, pernah menyebut nama Ki Jembros sebagai orang yang gagah perkasa yang sakti. Di mana beliau sekarang?"     "Entahlah, dahulu kami berpisah di Pegunungan Pandan, guruku menyuruh aku pergi ke tempat pertapaan eyang guru Supamandrangi di puncak gunung Bromo sedangkan dia sendiri tinggal bersama paman Juru Demung, Gajah Biru dan lain-lain paman yang melarikan diri dari Mojopahit."   "Jadi akhirnya engkau berguru kepada Empu Supamandrangi?" tanya Sutejo.   "Ya, empat tahun lamanya dan sekarang aku diperbolehkan turun gunung untuk mencari Kolonadah."   "Kolonadah?"   "Ya, keris kepunyaan mendiang Adiapati Ronggo Lawe, ciptaan eyang guru Supamandrangi. Menurut eyang, keris itu diciptakan untuk seorang raja, maka harus kuambil pusaka itu dan harus kuserahkan kepada Pangeran Kolo Gemet putera sang prabu di Mojopahit."   Sutejo mengangguk-angguk. "Hemm, tugasmu berat, Bromo. Apakah kau tahu di mana adanya keris pusaka Kolonadah itu?"   "Tentu saja! Akulah yang menyimpannya, akulah yang menguburnya."   "Menguburnya?" Sutejo bertanya kaget.   "Belum kuceritakan tadi. Mbakayuku berbela pati atas gugurnya Adipati Ronggo Lawe dan mbakayuku melakukan suduk seliro (membunuh diri dengan keris) menggunakan keris pusaka Kolonadah milik adipati itu. Ketika aku mengubur jenazah mbakayuku, keris itu masih menancap di dadanya."   "Ahhh...!" Sutejo memandang dengan mata terbelalak. "Kalau begitu, tentu bisa saja diambil oleh orang lain."   Sulastri menggeleng kepala sambil tersenyum dan Sutejo yang sedang menatap wajahnya itu diam-diam mengakui bahwa pemuda ini benar-benar luar biasa tampannya, senyumnya benar-benar amat memikat. Dia saja yang sama-sama pria merasa tertarik sekali, apalagi wanita! Benar-benar wajah seorang pemuda yang amat "berbahaya"bagi seorang gadis.   "Tidak ada yang melihat ketika aku mengubur jenazah mbakayuku Sri Winarti. Tempatnya pun tersembunyi dan hanya aku seorang yang bisa mencari makamnya yang tidak ada tanda-tandanya sama sekali."   "Sembilan tahun yang lalu engkau tentu masih amat kecil..."   "Ketika itu aku berusia sembilan tahun."   "Dan kau sudah dapat melakukan itu. Hebat! Dan juga mbakayumu itu seorang wanita yang hebat. Tentu dia adalah isteri dari Adipati Ronggo Lawe, bukan?"   Sulastri menggeleng kepalanya. "Bukan."   "Kalau begitu selirnya?"   "Juga bukan."   "Eh, kalau begitu, mengapa mbakayumu berbela pati atas gugurnya adipati itu?" Sutejo bertanya, terheran-heran.     Mbakayu dan aku pernah ditolong oleh Adipati Ronggo Lawe ketika kami diganggu perampok, dan karena pertolongan itu, mbakayu diam-diam jatuh cinta kepada sang adipati. Maka, melihat orang yang dicintanya itu gugur dalam peperangan itu, mbakayuku demikian berduka sehingga dia lari menghampiri dan membunuh diri di dekat jenazah Adipati Ronggo Lawe di tengah Sungai Tambakberas. Dengan susah payah aku menyelamatkan jenazah mbakayuku dan kumakamkan di tempat tersembunyi."   Sutejo menarik napas panjang. "Betapa sama nasib kita. Engkau kehilangan orang tua dan satu-satunya kakakmu, demikian pula aku. Dan kita bertemu secara kebetulan sekali. Sembilan tahun yang lalu engkau berusia sembilan tahun, berarti kini usiamu delapan belas tahun, dan usiaku sembilan belas tahun. Aku lebih tua setahun. Eh adi Bromatmojo, bagaimana kalau kita saling bantu seperti kakak dan adik? Kita pun sudah saling bantu sejak bertemu pertama kali dan saling menceritakan riwayat seolah-olah tidak ada lagi rahasia di antara kita."   Hati Sulastri merasa terharu sekali. Semenjak bertemu untuk pertama kali, dia sudah merasa kagum dan suka sekali kepada pemuda ini, pemuda yang tampan dan gagah perkasa, pemuda yang pemalu, pemuda yang canggung namun amat cekatan apabila menghadapi lawan. Hampir dia melinangkan air mata ketika mendengar pemuda itu menyebutnya adi dan mengakuinya sebagai adiknya. Akan tetapi cepat ditekannya perasaan hatinya dan dia menjawab sambil tersenyum, "Terima kasih, kakang Tejo. Engkau memang seorang yang baik sekali. Akan tetapi, engkau mempunyai tugas mencari mbakayumu dan mencari musuh besarmu, sedangkan aku mempnyai tugas mencari keris pusaka Kolonadah lebih dulu, baru akan kucari dua orang keparat yang pernah menghina jenazah mbakayuku."   "Tidak mengapa, adi Bromo. Bukankah perjalanan ke dusunku di Kembangsri harus melewati tempat kau mengubur mbakayumu itu? Biarlah aku akan menemanimu mencari keris pusaka sampai dapat, baru aku akan pergi ke Kembangsri."   Berseri wajah Sulastri. Tentu saja jauh lebih senang melakukan perjalanan dengan pemuda perkasa ini daripada sendirian saja, akan tetapi ada beberapa hal yang amat membingungkan hatinya, maka dia cepat berkata, "Akan tetapi, kakang Tejo. Aku khawatir kalau kita melakukan perjalanan bersama, aku hanya akan menjengkelkan hatimu saja."     "Ah, mengapa begitu? Tentu saja tidak!" jawab Sutejo cepat-cepat.   "Karena aku mempunyai watak yang aneh. Aku kadang-kadang ingin menyendiri dan tidak mau ditemani orang, biar pun orangnya sebaik engkau, kakang. Terutama sekali aku tidak pernah tidur sekamar dengan orang lain, kalau ada temanku, aku tidak bisa tidur. Hal ini mungkin karena sudah kebiasaanku sejak kecil, yaitu tidur sendirian."   Sutejo tertawa. Memang dia melihat sifat-sifat aneh pada pemuda tampan ini, terutama sekali wataknya yang sukar untuk diukur, kadang-kadang gembira, kadang-kadang galak, kadang-kadang baik sekali! "Tenangkan hatimu, adi Bromo. Aku pun bukan orang yang suka mengganggu teman, apalagi engkau yang seperti adikku sendiri. Aku tidak akan mengganggu tidurmu."   Sulastri tersenyum dan menatap wajah yang tampan gagah itu dengan hati gembira. "Terima kasih, kakang Tejo." Maka berangkatlah mereka melanjutkan perjalanan menuju ke barat lalu membelok ke utara karena mereka ingin langsung pergi ke Sungai Tambakberas yang menjadi tapal batas antara Mojopahit dan Tuban.   Malam itu terang bulan. Bulan purnama, bulat penuh dengan sinarnya yang keemasan mendatangkan suasana yang redup dan sejuk, dan hanya kadang-kadang saja bulan bersembunyi di balik segumpal awan tipis yang lewat seperti kucing-kucing berbulu tebal yang ingin membelai dan dibelai sejenak lalu pergi lagi.   Tepi Sungai Tambakberas itu rungkut, penuh dengan semak belukar yang tidak pernah dibersihkan oleh manusia. Tempat itu merupakan sebuah hutan kecil yang lebat dan jarang didatangi manusia. Suasana yang amat sunyi, ditimpa cahaya bulan, membuat tempat itu kelihatan serem dan angker. Demikian sunyinya tempat itu sehingga bunyi kelapak ikan yang melompat dari bawah permukaan air, untuk mencaplok sesuatu yang hanyut oleh air yang tenang itu, atau agaknya ikan-ikan yang bergembira hendak bercanda dengan cahaya bulan di atas air, sampai dapat terdengar dari dalam hutan kecil itu.   "Tidak salahkah engkau, adi Bromo? Benar di sini tempatnya?"tanya Sutejo yang sejak tadi berjongkok di dalam hutan itu bersama Sulastri, meneliti tempat di mana Sulastri sembilan tahun yang lalu telah mengubur jenazah Sri Winarti.   "Tidak, kakang. Di sinilah tempatnya. Aku ingat benar. Lihat pohon-pohon raksasa itulah yang menjadi tanda bagiku, dan ini... nah, ini lagi..." Sulastri mengambil tombak-tombak patah yang terpendam di situ. "Dengan tombak dan golok patah inilah dahulu aku menggali lubang untuk mengubur jenazah mbakayuku Narti..."Suara Sulastri terhenti oleh keharuan yang mencekik leher.     "Kalau begitu, mari kita gali, adi Bromo," kata Sutejo yang sudah menyiapkan cangkul untuk keperluan itu. Memang mereka bersepakat untuk mencari keris pusaka itu di malam hari karena menurut Sutejo, bukan tidak mungkin kalau ada fihak lain yang juga menginginkan pusaka itu dan kalau mereka menggali di siang hari, banyak bahayanya akan ketahuan orang lain sehingga akan terdapat banyak gangguan dan halangan.   Tanpa kata-kata lagi, kedua orang muda itu lalu menggali lubang dengan cangkul. Karena keduanya adalah orang-orang yang memiliki kepandaian dan tenaga sakti, pula mereka kini menggunakan cangkul, tentu saja pekerjaan itu dilakukan dengan mudah dan cepat sekali, jauh bedanya dengan sembilan tahun yang lalu ketika Sulastri yang berusia sembilan tahun menggali lubang dengan susah payah, menggunakan tombak dan golok sampai semalam suntuk baru selesai!   "Hati-hati, kakang, pelan-pelan saja jangan sampai cangkulmu mengenai mbakayu Narti," kata Sulastri setelah galian mereka cukup dalam dan dia tahu bahwa sedikit lagi sampai pada jenazah mbakayunya yang sekarang entah telah bagaimana macamnya. Jantungnya berdebar keras, keharuannya mencekik lehernya dan membuat matanya terasa panas akan tetapi dia menahan tangisnya.   "Baik, adi Bromo..." Sutejo juga tergetar suaranya ketika dia mendengar perubahan pada suara kawannya itu yang jelas amat terharu dan berduka.   Akhirnya mereka hanya menggunakan tangan untuk mencokel-cokel tanah karena sudah nampak tulang-tulang putih dan tak lama kemudian, ketika semua tanah yang menutupi sudah diangkat dan sinar bulan sepenuhnya menimpa lubang galian itu, kelihatan dengan jelas sebuah kerangka manusia yang lengkap, dengan sebatang keris menancap di antara tulang-tulang iga depan!   "Mbakayu Narti...!" Sulastri tidak dapat menahan lagi kesedihan hatinya dan dia menutupi mukanya, menahan tangisnya sampai sesenggukan. Kalau saja dia tidak ingat bahwa dia adalah seorang yang menyamar sebagai pria, tentu dia sudah menjerit-jerit. Maka ditahannya jeritnya dia mingseg-mingseg dan sesenggukan, air matanya bercucuran ketika dia memandang ke arah kerangka itu, jari-jari tangannya menutup hidung dan mulutnya.   (Bersambung ke Jilid 28)   Jilid 28   Sutejo menepuk bahu kawannya. "Sudahlah, adi Bromo. Tidak ada gunanya lagi meremas hati sendiri. Lebih baik kita sempurnakan sisa-sisa jasmani mbakayumu dan kau ambillah pusaka itu."   Sulastri mengangguk-angguk tidak berani mengeluarkan suara karena sukarlah bagi hati yang seperti ditusuk-tusuk rasanya itu untuk bicara. Akan tetapi pada saat itu, mereka berdua terkejut sekali oleh suara gaduh di sekeliling mereka.   "Aha, ini mereka!"   "Tangkap!"   "Serbu... !!"   Sulastri dan Sutejo terkejut bukan main. Kiranya tempat itu telah dikepung oleh belasan orang yang tinggi besar dan kelihatan kuat-kuat, dan di tangan mereka nampak senjata-senjata tajam berkilauan tertimpa cahaya bulan. Dua orang muda itu maklum bahwa orang-orang itu tentu memang telah menanti sejak tadi dan tentu ada hubungannya keris pusaka Kolonadah, maka Sulastri yang sedang dilanda kesedihan melihat jasmani mbakayunya telah berubah menjadi kerangka yang mengerikan itu, kini meloncat dan mengeluarkan suara melengking nyaring, begitu meloncat dia telah menerjang dua orang di depannya yang memegang tombak.   Dua orang itu cepat menggerakkan tombaknya, seperti dua orang pemburu menghadapi tubrukan seekor harimau mengamuk. Akan tetapi Sulasrti bukanlah seekor harimau bodoh yang hanya mengandalkan kekuatan dan kebuasannya saja. Melihat dua batang tombak itu menyambut dan menusuknya, cepat tubuhnya merendah, merunduk dan ketika dua tangannya menyambar dari bawah dengan kekuatan aji kesaktian Hasto Bairowo, terdengar suara "Krakk-krakk!" dan dua batang tombak itu pun patah-patah.   Dua orang itu terkejut bukan main, akan tetapi Sulastri tidak memberi kesempatan lebih lanjut kepada mereka itu kaget-kagetan, karena dia sudah melangkah maju dan dua kali tangannya melayang.   "Plak! Plak!" Dua orang itu mengeluh, tubuh mereka terjungkal dan mereka roboh pingsan tak dapat bergerak lagi!   Sementara itu, Sutejo sudah dikepung dan mengamuk. Maka di dalam hutan belukar itu, di bawah penerangan yang kadang-kadang gelap oleh halangan awan dari bulan purnama, terjadilah pertempuran yang hiruk-pikuk karena dua orang muda itu dikeroyok oleh belasan orang yang rata-rata memiliki kepandaian yang tidak rendah. Kalau dua orang pertama tadi dengan amat mudah dirobohkan oleh Sulastri, adalah karena mereka berdua terlalu memandang rendah kepada pemuda tampan yang bertubuh kecil itu.   Betapa pun juga, mereka tidak kuat menahan amukan Sulastri dan Sutejo dan dalam waktu yang tidak berapa lama, enam orang di antara mereka telah roboh oleh tamparan-tamparan Sulastri dan Sutejo. Tiba-tiba Sulastri mendengar Sutejo berseru, "Adi Bromo, awas ada yang menyerbu lubang kuburan...!"   Sulastri cepat menengok dan dia melihat berkelebatnya bayangan hitam yang mukanya memakai topeng hitam dan kepalanya yang juga tertutup kedok itu dihias sebuah burung emas!   "Keparat...!" Sulastri meninggalkan para pengeroyoknya dan langsung dia menerjang bayangan yang sudah membungkuk di dekat lubang kuburan jenazah mbakayunya itu. Bayangan itu meloncat dan memandang Sulastri dengan sepasang mata berkilat di bawah kedoknya, kemudian menangkis.   "Dukkk!!" Akibatnya, Sulastri terdorong dua langkah akan tetapi orang itu mengeluarkan jerit tertahan dan meloncat ke belakang.   Sementara itu para pengeroyok sudah menerjang lagi sehingga terpaksa Sulastri harus membela diri dan kembali dia dikepung dan dikeroyok seperti halnya Sutejo dan karena pada saat itu bulan tertutup awan yang agak tebal, maka cuaca menjadi gelap dan dia tidak melihat lagi orang berkedok hitam tadi.   Sulastri menjadi marah sekali, sepak terjangnya makin hebat dan sungguh pun dia masih selalu menjaga agar jangan sampai membunuh orang, namun tamparannya kini lebih berat daripada tadi sehingga roboh pula dua orang pengeroyok. Sutejo juga sudah merobohkan beberapa orang. Hal ini membuat sisa para pengeroyok mereka menjadi jerih dan mereka lalu melarikan diri sambil menyeret teman-teman mereka yang pingsan terkena tamparan dua orang muda perkasa itu.     Dalam kemarahannya, Sulastri hendak mengejar, akan tetapi Sutejo bekata, "Tidak perlu mengejar mereka, adi Bromo. Yang penting kita melihat apakah...ah, celaka, lihatlah, adi!"   Sulastri datang berlari ke dekat lubang dan mukanya menjadi pucat ketika melihat bahwa keris pusaka yang tadinya menancap di antara tulang-tulang iga kerangka mbakyunya itu kini telah lenyap!   "Keparat! Tentu si topeng hitam tadi...!" seru Sulastri. "Aku harus mengejar dan mencarinya!" Dia sudah melompat, akan tetapi Sutejo memanggilnya.   "Adi Bromo, kembalilah!" Sulastri kembali dan memandang heran.   "Adi, kita tidak tahu ke mana dia lari. Akan tetapi, kita telah tahu bahwa yang mencuri pusaka adalah seorang yang memakai kedok hitam."   "Dan seorang wanita."   "Eh, bagaimana kau tahu, adi?"   "Ketika menangkis pukulanku tadi, dia terkejut dan menjerit."   "Lebih baik lagi kalau begitu. Biarlah kita nanti menyelidiki dan mencarinya perlahan-lahan. Kalau sekarang kita berdua pergi, bagaimana dengan jenazah mbakayumu ini? Apakah ditinggal begini saja dan ada kemungkinan akan diganggu orang jahat? Bukankah lebih baik kita menyempurnakan sisa-sisa jenazah mbakayumu ini seperti yang kita rencanakan semula, kemudian baru kita mencari pencuri pusaka itu?"   Sulastri memandang ke arah kerangka mbakayunya, kemudian kepada pemuda itu dan menarik napas panjang. "Engkau benar, kakang Tejo. Hampir saja aku menyia-nyiakan jenazah mbakayu Narti. Ke mana pun terbangnya pencuri itu, kita tentu akan dapat menangkapnya."   Mereka lalu mengumpulkan kayu dan daun kering sampai banyak sekali dan ditumpuknya tinggi di pinggir sungai, kemudian dengan hati-hati mereka mengumpulkan dan mengangkuti tulang-tulang Sri Winarti dan meletakkannya di atas tumpukan kayu kering dan daun. Setelah mereka mengheningkan cipta dan melakukan sembahyang dan berdoa, maka dibakarnyalah tumpukan kayu kering itu. Api berkobar tinggi. Nyala api dan asap menyelelimuti tulang-tulang itu. Sulastri berdiri dengan kedua lengan bersedakap, memandang nyala api yang menjilat-jilat, kemudian memandang asap yang membubung tinggi, membayangkan betapa arwah mbakayunya dengan ringan melayang naik menuju ke bulan purnama yang sudah condong ke barat.   Pada keesokan harinya, dua orang muda itu meninggalkan tepi pantai Sungai Tambakberas setelah mereka melarung abu jenazah ke sungai itu, dan mulailah mereka melakukan perjalanan untuk mencari jejak si pencuri pusaka Kolonadah.     Sebagai seorang yang sejak kecilnya tinggal di daerah itu, Sulastri tentu saja mengenal daerah itu dan dia mengajak temannya pergi ke dusun Gedangan, di mana dia dan kakaknya dahulu tinggal, karena kalau menyelidiki pencuri itu, agaknya paling tepat kalau dia menyelidiki dari Gedangan. Siapa pun adanya pencuri itu, agaknya dia tahu akan rahasia Kolonadah, dan kalau orang tahu akan rahasia pusaka itu, tentu telah tahu pula akan riwayat Sri Winarti dan tahu pula tempat tinggal mbakayunya.   "Kakang sudah sembilan tahun aku meninggalkan Gedangan, dan karena kita sedang menyelidiki pencuri, sebaiknya kalau aku tidak memperkenalkan diri kepada penduduk Gedangan keadaan diriku. Mereka pun tentu telah lupa kepadaku, apalagi karena namaku telah kuubah..." Tiba-tiba Sulastri menghentikan kata-katanya karena dia terkejut mendengar mulutnya sendiri membuka rahasianya itu. Akan tetapi sudah terlanjur dan hatinya lega ketika Sutejo berkata, "Aku sudah menduga bahwa tidak mungkin namamu Bromatmojo, adi. Engkau bukan asal dari gunung Bromo, maka tentu nama itu hanyalah nama samaran. Sedangkan namamu sendiri, kalau kau tidak suka memberi tahu kepadaku, aku pun..."   "Ah, tentu saja kepadamu aku tidak perlu menyimpan rahasia!"kata Sulastri yang merasa lega dan gembira bahwa keterlanjuran mulutnya tadi tidak dan belum berlarut-larut. "Namaku yang sebenarnya adalah Sulastomo, akan tetapi sebaiknya kalau kakang Tejo tidak mengingat nama itu agar jangan salah panggil dan tetap menyebutku Bromo saja!"   "Sulastomo... nama yang bagus. Akan tetapi aku akan tetap menyebutmu adi Bromo, jangan kau khawatir."   Maka berangkatlah dua orang ini memasuki dusun Gedangan. Jantung Sulastri berdebar keras. Ternyata dalam waktu sembilan tahun lamanya, sedangkan dia sendiri yang dahulu adalah seorang anak perempuan yang baru berusia sembilan tahun kini telah berubah menjadi seorang gadis dewasa berusia delapan belas tahun, bahkan telah berubah menjadi seorang "pemuda" adalah dusun itu masih sama saja seperti sembilan tahun yang lalu! Rumah-rumahnya masih sama, hanya lebih butut lagi, tegalan dan kebun-kebun masih sama pula, penuh dengan tanaman jagung dan kacang, dan jalan dusun itu penuh kerikil dan di bagian kiri jalan becek seperti juga sembilan tahun yang lalu!   Mereka berjalan-jalan di dalam dusun itu, mencari-cari kalau-kalau ada orang yang mencurigakan, dan Sulastri mengharapkan akan terjadi sesuatu yang akan dapat membawa mereka menuju kepada jejak si pencuri, atau setidaknya jejak orang-orang yang semalam menyerang dia dan Sutejo, karena tentu saja ada hubungan antara orang berkedok dan belasan orang yang menyerang itu. Akan tetapi, tidak terjadi sesuatu. Sulastri mengenal wajah beberapa orang kakek dan nenek yang memandang kepada dia dan Sutejo dengan sikap kagum dan juga hormat. Tentu mereka itu menyangka bahwa dia dan Sutejo adalah dua orang muda bangsawan! Kembali Sulastri merasa terharu dan membayangkan betapa akan gembiranya kalau tidak ada urusan apa-apa menyangkut dirinya dan dia kembali ke dusun itu sebagai Sulastri dan menjumpai para tetangga-tetangga lama itu!     Sulastri mengajak Sutejo lewat di depan rumah gedung lurah Gedangan. Ada kenang-kenangan pahit terhadap lurah ini di dalam hatinya. Lurah Gedangan itu dahulu pernah membujuk-bujuk Sri Winarti untuk menjadi selirnya, dan hanya karena campur tangan Adipati Ronggo Lawe diserahkan ke dalam perlindungannya.   Akan tetapi baru saja mereka tiba di depan gedung itu, nampak banyak orang berlari ke luar dari halaman kelurahan dan berteriak-teriak menghadang dan mengurung mereka berdua!"   "Nah ini mereka!"   "Benar, ini mereka semalam!"   "Tangkap saja mereka!"   "Bunuh...!"   "Minggir semua!" Bentakan terakhir ini terdengar berpengaruh sekali dan semua orang yang ribut-ribut itu membuka jalan. Sulastri dan Sutejo mengenal beberapa orang di antara mereka yang semalam mengeroyok mereka di dalam hutan. Giranglah hati Sulastri dan dia bersama Sutejo dengan sikap tenang menanti siapa yang akan muncul, orang yang mengeluarkan bentakan terakhir tadi.   Ketika ada tiga orang laki-laki muncul, Sulastri segera mengenal lurah Gedangan yang kini sudah tua dan keriput mukanya. Di sampingnya berjalan dua orang laki-laki, yang seorang sudah tua berusia enam puluh tahun dan yang ke dua bertubuh tinggi agak kurus, usianya tentu sudah empat puluh tahun lebih. Sulastri memandang kepada dua orang ini penuh perhatian. Orang yang tua, yang berjenggot panjang dan yang lengannya memakai gelang akar bahar, tidak dikenalnya. Akan tetapi orang tinggi kurus yang sama sekali tidak dikenalnya itu kini memandang kepada Sutejo dengan penuh perhatian, seolah-olah dia hendak meneliti apakah dia belum mengenal pemuda itu. Sebaliknya, Sutejo memandang laki-laki kurus itu dan dia segera mengenalnya. Laki-laki tinggi kurus itu bukan lain adalah si Klabang Curing, pembantu Panewu Progodigdoyo yang dulu pernah hendak membunuhnya! Ketika Progodigdoyo melakukan perbuatan terkutuk di rumah ibunya, dia disuruh bunuh oleh panewu itu, dibawa oleh Klabang Curing ini ke hutan untuk dibunuhnya, akan tetapi dia mampu melarikan diri setelah melukai Klabang Curing dengan keris pusaka ayahnya, yaitu keris Nogopusoro yang kini terselip di ikat pinggangnya!   "Hemm, kalian ini semua mau apakah?" Sulastri bertanya sambil menentang pandang mata lurah Gedangan dengan sinar mata mengejek dan memandang rendah.   "Kisanak," lurah itu berkata, suaranya mengandung suara bujukan yang amat dibenci oleh Sulastri karena dia pun mendengar sendiri ketika dahulu lurah ini sering kali membujuk-bujuk mbakayunya untuk dijadikan selirnya. "Kalian berhadapan dengan lurah Gedangan!" Dia berhenti sebentar akan tetapi ketika melihat betapa dua orang pemuda itu agaknya tidak terkesan oleh kedudukannya, dia cepat melanjutkan, "Kami mengemban perintah kanjeng gusti bupati di Tuban..."   Tentu saja hati Sulastri tertarik sekali karena dia ingin tahu siapa gerangan yang kini menjadi bupati di Tuban, yang kini agaknya menggantikan kedudukan mendiang Adipati Ronggo Lawe. Maka dia cepat bertanya, "Ki lurah, siapakah sang bupati di Tuban?"   Semua orang kelihatan terkejut dan heran, saling pandang karena pertanyaan itu sungguh aneh. Orang dari manakah pemuda-pemuda ini maka tidak tahu siapa Bupati Tuban padahal mereka berdua berada di daerah Tuban?     "Heh-heh, andika sungguh lucu, orang muda. Siapa lagi kalau bukan Kanjeng Gusti Bupati Progodigdoyo?"   "Ahhh...!!"Seruan ini keluar dari mulut Sutejo yang tentu saja merasa terkejut dan juga marah. Orang jahat itu kini malah diangkat menjadi bupati?   Seruan dan perubahan wajah Sutejo itu dianggap oleh lurah Gedangan sebagai tanda kaget dan jerih, maka dia mengurut kumisnya dan berkata, "Nah, karena itu, orang-orang muda yang bagus lebih baik kalian berdua cepat minta maaf dan kalian serahkan pusaka itu kepada kami."   "Pusaka? Apa maksudmu?" Sulastri bertanya heran karena dia menyangka bahwa orang-orang ini yang semalam menyerang dia dan Sutejo tentu bersekongkol dengan pencuri berkedok itu, akan tetapi mengapa kini malah menuntut pennyerahan pusaka?   "Hemmm, tidak perlu berpura-pura lagi!" Seorang di antara orang-orang tinggi besar yang semalam ikut mengeroyok membentak. "Semalam kalian membongkar kuburan dan mengambil pusaka Kolonadah..."   Kini yakinlah Sulastri bahwa pencuri berkedok itu agaknya merupakan pihak ke tiga, dan timbul kemarahannya kepada lurah Gedangan. "Ki lurah, dengan hak apakah andika minta agar kami menyerahkan Kolonadah?"   Ki lurah mengurut kumisnya. "Orang muda, sikapmu sungguh lancang. Tentu saja atas perintah Kanjeng Gusti Bupati Progodigdoyo."   Tiba-tiba kini Klabang Curing melangkah ke depan. Dengan mengangkat dadanya si tinggi kurus ini membentak, pandang matanya angkuh sekali, "Ki lurah, kenapa banyak melayani mereka? He, kalian orang-orang muda. Tidak perlu banyak cakap, lekas berlutut menyerah dan serahkan Kolonadah!"   Sutejo mendahului Sulastri dan dia sudah melangkah ke depan, "Klabang Curing, lihat baik-baik, apakah kau sudah kepadaku?"   Klabang Curing terkejut dan memandang dengan alis berkerut, mata terbelalak marah. Sejak tadi dia merasa seperti pernah melihat pemuda tinggi tegap yang tampan ini, akan tetapi dia sudah lupa lagi kapan dan di mana. Kini, melihat pemuda itu menyebutkan namanya dan mengajukan pertanyaan seperti itu, dia memandang dengan penuh perhatian dan penyelidikan, mengingat-ingat.   "Eh, siapakah andika? Aku merasa pernah mengenalmu, akan tetapi lupa lagi..."katanya.   "Lupakah engkau kepada anak kecil yang sembilan tahun yang lalu hendak kau bunuh? Kalau masih lupa, raba lambungmu yang pernah merasakan gigitan pusakaku Nogopusoro ini!" Dia menepuk keris di pinggangnya.     Makin terbelalak mata Klabang Curing. Tentu saja dia teringat dan seketika matanya menjadi merah, giginya berkerot dan kedua tanganya dikepal. "Babo-babo...! Kiranya engkau bocah setan itu! Engkau putera Lembu Tirta, hemm siapa namamu?"   "Sutejo!"   "Benar, namamu Sutejo! Bagus, engkau dicari-cari oleh Gusti Bupati Progodigdoyo, dan aku pun sudah lama mencarimu untuk membalas tusukan kerismu. Dulu aku gagal membunuhmu, akan tetapi sekaranglah saatnya!" Klabang Curing sudah membentak keras dan lengannya yang panjang sudah menyambar ke arah Sutejo, cepat dan kuat karena Klabang Curing termasuk jagoan di Tuban. Dahulu pun, kalau orang lain yang tertusuk keris pusaka Nogopusoro, tentu telah tewas. Akan tetapi, ketika dulu ditusuk keris lambungnya oleh Sutejo dalam keadaan tidak menyangka sama sekali, Klabang Curing telah dapat mengerahkan kekebalannya sehingga keris itu hanya menusuk ujungnya saja dan karena daya keampuhan pusaka itu maka dia roboh pingsan, akan tetapi tidak sampai tewas.   Melihat Klabang Curing sudah menyerang, kakek berjenggot panjang yang memakai gelang akar bahar itu pun menerjang maju dengan kedua tangan membuat gerakan mencengkeram seperti cakar garuda, menyerang Sulastri. Orang-orang tadi yang sudah mengurung, kini pun membantu dua orang itu maju mengeroyok.   "Haaaaiiiittt...!" Sutejo cepat mengeluarkan bentakan keras ketika melihat Klabang Curing maju menyerangnya dan diikuti pula oleh belasan orang. Dengan cepat sekali dia mengelak dari serangan Klabang Curing dan serbuan orang-orang itu, tubuhnya berkelebat ke kanan kiri dan kakinya menendang roboh dua orang pengeroyok, tangannya menangkis tombak dengan kuat sekali sehingga tombak itu membalik dan merobohkan orang ke tiga.   Sulastri yang melihat serangan kakek berjenggot panjang itu, maklum bahwa kakek ini ternyata kuat sekali. Gerakannya cepat, aneh mengandung tenaga sakti yang cukup berbahaya. Apalagi di samping kakek itu, masih ada belasan orang lain mengepungnya dan menggerakkan bermacam senjata untuk mengeroyoknya.     "Hyaaaahhhh!" Dia mengeluarkan suara melengking panjang, membuat para pengeroyoknya tergetar dan dengan gerakan tiba-tiba dara perkasa ini meloncat ke atas untuk menghindarkan semua serangan, kemudian dari atas kedua kakinya bergerak menendang dan mengenai kepala dua orang pengeroyok yang menjerit dan roboh tak berkutik lagi, sedangkan kakek yang memakai akar bahar lengannya itu pun cepat menghindar ketika Sulastri melakukan tendangan lagi sebelum tubuhnya meluncur turun... Tendangan itu luput dan kakek itu cepat menggerakkan tangannya untuk menangkap kaki Sulastri.   "Ihh...!" Sulastri berseru kaget, tubuhnya membuat gerakan jungkar balik dan dia sudah membalikkan tubuhnya, lalu tangannya bergerak menangkis lengan kakek itu.   "Dukkk...!"   "Ahh...!" Kini kakek itu berseru kaget karena tangkisan "pemuda" tampan itu membuat tubuhnya tergetar dan terasa panas, sedangkan Sulastri sudah meloncat turun lagi ke atas tanah. Para pengeroyok menerjangnya lagi seperti sekumpulan semut mengeroyok seekor jangkerik.   "Setan kalian, pengecut-pengecut tukang keroyok!" Sulastri mengomel dan dia mengamuk, kaki tangannya bergerak dan terpelantinglah empat orang pengeroyok. Melihat kehebatan pemuda tampan ini, para pengeroyok menjadi gentar. Semalam pun mereka itu, sebagian dari mereka sudah merasakan kesaktian pemuda ini, maka kini mereka merasa gentar juga.   Akan tetapi, kakek yang memakai akar bahar telah maju lagi ketika para pembantunya mundur. Dia mengangkat tangan ke atas menahan gerakan Sulastri sambil berseru, "Nanti dulu, orang muda! Siapakah namamu? Aku tidak ingin bertanding dengan orang yang tidak mempunyai nama sehingga kalau dia tewas aku tidak tahu siapa yang tewas di tanganku!"   "Kakek sombong!" Sulastri tersenyum mengejek. "Engkaulah yang akan mampus dalam pertandingan ini, maka sepatutnya kalau engkau yang memperkenalkan diri terlebih dahulu!"   "Orang muda, engkau terlalu besar kepala. Ketahuilah bahwa aku adalah Gagaksona, seorang perwira Mojopahit yang terkenal!"   "Mungkin, akan tetapi aku tidak mengenalmu, Gagaksona. Dan kalau kau ingin mengetahui siapa calon pembunuhmu, aku adalah Bromatmojo!"     Lagak dan kata-kata Sulastri memanaskan telinga Gagaksona. Dia adalah seorang tokoh di Mojopahit yang terkenal digdaya dan dia telah dipercaya sebagai seorang di antara pembantu-pembantu Resi Mahapati yang terkenal sakti itu, dan dia bahkan diserahi tugas untuk mengepalai sepasukan perajurit untuk mencari pusaka Kolonadah di daerah Tuban, bekerja sama dengan Bupati Tuban yang juga menjadi kaki tangan Resi Mahapati. Ketika dia mendengar berita bahwa anak buahnya melihat dua orang muda menggali tanah di dekat sungai Tambakberas, kemudian melihat kerangka manusia di mana terdapat sebatang keris pusaka yang disangka tentu keris pusaka Kolonadah, dan betapa anak buahnya itu tidak mampu mengalahkan dua orang muda itu, maka Gagaksona langsung pergi ke tempat itu bersama Klabang Curing orang kepercayaan Bupati Progodigdoyo. Akan tetapi dua orang muda itu telah pergi dan mereka lalu menghubungi kelurahan Gedangan dan kebetulan sekali mereka melihat dua orang muda itu berada di dusun Gedangan!   Mendengar nama Sulastri yang tidak terkenal, yang menggunakan nama sebuah gunung, Gagaksona dapat menduga bahwa tentu pemuda ini seorang yang baru turun dari gunung, murid seorang pertapa yang sakti, maka dia lalu mencabut senjata yang berkilauan saking tajamnya, sebatang kelewang yang lebar dan tipis... "Keluarkan senjatamu, Bromatmojo!" teriaknya sambil menggerakkan kelewangnya sehingga terdengar suara bersuitan tajam mengerikan.   Akan tetapi Sulastri tersenyum mengejek. "Senjata? Melawan seorang seperti engkau dengan golok penyembelih kerbaumu itu tidak perlu menggunakan senjata, cukup dengan tangan dan kakiku saja..."   "Heeeettt...!!" Gagaksona sudah menerjang dengan marah sekali karena kata-kata Sulastri benar-benar amat merendahkan. Kelewang atau golok di tangannya itu bergerak cepat, membentuk lingkaran sinar yang bergulung-gulung menyelimuti diri lawannya.   Sulastri hanya sikapnya saja sengaja bersombong diri untuk memancing kemarahan lawan, akan tetapi sebenarnya dia amat waspada karena maklum bahwa lawannya ini bukan orang sembarangan bahkan jauh lebih sakti daripada orang tinggi kurus yang bersama anak buahnya kini mengeroyok Sutejo. Maka begitu golok berkelebat, dia juga cepat mengerahkan aji kesaktiannya, tubuhnya menjadi ringan dan cepat gerakannya berkat aji kesaktian Turonggo Bayu, dan dia pun mengisi kedua tangan dengan Aji Hasto Bairowo. Dengan gesit dan trengginas dia mengelak dari setiap sambaran golok dan membalasnya dengan pukulan Hasto Bairowo atau tendangan kaki yang amat cepat. Melihat pukulan yang sampai mengeluarkan suara mencicit itu terkejutlah Gagaksona karena dia pun mengenal pukulan sakti yang tidak kalah berbahayanya dengan segala macam senjata tajam. Maka, dia pun tidak melarang ketika anak buahnya sudah maju pula membantunya dan mengeroyok pemuda tampan bertubuh ramping itu.   (Bersambung ke Jilid 29)   Jilid 29   Pertandingan itu lebih hebat daripada malam tadi di tepi sungai Tambakberas, karena di situ terdapat Klabang Curing dan Gagaksona yang memiliki kepandaian tinggi, pula, jumlah para pengeroyok bertambah dengan perajurit-perajurit yang kuat dari Mojopahit yang datang bersama dua orang itu. Akan tetapi, sebetulnya kalau dua orang muda itu menghendaki, dengan mudah saja mereka berdua akan dapat merobohkan dan menewaskan semua pengeroyok itu. Akan tetapi baik Sulastri mau pun Sutejo sudah menerima gemblengan dari guru masing-masing yang bijaksana, maka merupakan pantanganlah bagi mereka untuk sembarangan saja membunuh orang. Mereka memang merobohkan banyak pengeroyok, akan tetapi tanpa membunuh mereka, paling hebat mereka hanya menderita patah tulang saja.     Sutejo telah berhasil merobohkan Klabang Curing, mematahkan keris lawan ini dan juga mematahkan tulang lengannya. Kemudian dengan gerakan cepat, Sutejo melompat dan sekali sambar saja dia telah dapat membekuk batang leher ki lurah Gedangan. Dengan mengempit tubuh ki lurah yang berteriak-teriak minta tolong itu, Sutejo meloncat ke dekat tempat Sulastri bertempur, dengan kakinya merobohkan dua orang dan tangan kanannya menghantam ke arah Gagaksono yang sudah terdesak hebat oleh Sulastri. Gagaksona terkejut, berusaha mengelak akan tetapi karena pada saat itu Sulastri mendesaknya, dia terlambat dan pundaknya kena ditampar oleh Sutejo. Dia berteriak dan terpelanting.   "Adi Bromo, mari kita pergi, kita boleh mencari keterangan dari lurah ini!"kata Sutejo sambil melompat jauh.   Sulastri juga sudah yakin bahwa bukan orang-orang ini yang mencuri keris pusaka Kolonadah dan mereka ini jelas tidak ada hubungannya dengan pencuri keris yang berkedok hitam, maka setelah merobohkan empat orang pengeroyok lainnya dengan tendangan-tendangan kakinya, dia pun melompat dan lari mengejar Sutejo.   Dua orang muda itu membawa Ki Lurah Gedangan ke Sungai Tambakberas dan Sutejo menjambak rambut kepala lurah itu, membenam-benamkan kepalanya di air sampai ki lurah mengap-mengap dan matanya terbelalak penuh ketakutan.   "Hayo kau jawab semua pertanyaan kami dengan benar, kalau tidak, kubenamkan kepalamu sampai putus napasmu!" Sutejo menghardik.   Ki Lurah itu mengeluh, menangis dan mengangguk-angguk ketakutan. "Pertama, benarkah bahwa semua pengeroyokan itu adalah atas kehendak Bupati Tuban?"   Ki Lurah mengangguk-angguk, "Benar... benar, Raden... kami hanya melakukan perintah... pasukan dari Mojopahit yang dipimpin oleh Gagaksona dan pasukan dari Tuban yang dipimpin oleh Klabang Curing, memang bertugas mencari keris pusaka Kolonadah, menaruh penyelidik di mana-mana. Ketika mendengar bahwa andika berdua menggali tanah di dekat Sungai Tambakberas, mereka lalu berusaha untuk merampas keris pusaka Kolonadah... saya... saya tidak turut-turut..."   Sutejo dan Sulastri saling pandang dan makin yakinlah hati mereka bahwa jelas keris itu tidak berada di tangan para perajurit itu.   "Pertanyaanku yang ke dua, siapakah wanita yang memakai pakaian dan kedok hitam?"   Mendengar ini, mata Pak Lurah terbelalak dan dia memandang kepada Sutejo dengan heran.   "Wanita berkedok hitam...?" Dia kelihatan ketakutan dan hal ini merangsang hati Sutejo untuk mengetahui lebih banyak.   "Ya, wanita berpakaian hitam, berkedok hitam..."   "Dan di kepalanya ada hiasan seekor burung emas!" sambung Sulastri.   Wajah Pak Lurah itu makin kaget dan dengan suara berbisik dia berkata gagap, "Ehh... Sriti... Sriti Kencana..."     Sutejo mengguncang leher baju Pak Lurah dan menghardik, "Siapa itu Sriti Kencana? Hayo ceritakan yang jelas!"   "Baik... baik... Pak Lurah mengap-mengap, takut kalau kepalanya dibenamkan lagi dan setelah Sutejo melepaskan cengkeramannya pada leher bajunya, dia melonggarkan leher bajunya, menelan ludah beberapa kali, lalu berkata, "Sriti Kencana adalah sekelompok orang-orang penuh rahasia yang selama satu tahun lebih ini mulai muncul di seluruh daerah Tuban. Mereka itu kabarnya terdiri dari wanita-wanita berpakaian hitam, berkedok hitam dan di kepalanya ada hiasan seekor burung sriti dari emas, karena saya sendiri belum pernah melihatnya. Semua orang takut kepada mereka karena mereka sudah membunuh banyak orang, di antaranya banyak pula pejabat-pejabat yang tidak melakukan tugasnya dengan baik. Dan yang mereka bunuh itu juga adalah kaum penjahat yang suka mengacau di daerah Tuban. Oleh karena itu, maka Gusti Bupati seolah-olah melindungi atau membiarkan saja mereka itu bergerak di seluruh daerah Tuban. Dan kami... para pejabat... merasa takut kepada mereka, karena kabarnya mereka terdiri dari orang-orang sakti..."   Kembali Sutejo dan Sulastri bertukar pandang.   "Di mana sarang mereka? Hayo katakan, di mana sarang Sriti Kencana?" Sulastri membentak tidak sabar lagi.   Ki Lurah memandang bodoh. "Saya... saya tidak tahu, Raden. Siapakah yang bisa mengetahui di mana sarang mereka? Saya rasa tidak ada yang mengetahuinya..."   "Bodoh! Engkau seorang lurah, masa tidak tahu?" Sulastri menghardik lagi.   "Saya rasa...eh, karena Kanjeng Gusti Bupati di Tuban seolah-olah melindungi.., saya rasa kalau andika berdua menyelidik dan mencari di Tuban, tentu akan dapat menemukan mereka. Apalagi kabarnya putera-puteri kanjeng gusti bupati adalah murid-murid orang sakti, akan tetapi saya tidak tahu benar... harap ampunkan saya..."   Sutejo dan Sulastri saling mengangguk dan Sutejo berkata lagi, "Pertanyaanku yang terakhir dan ke tiga, engkau sebagai lurah bawahan Bupati Tuban tentu telah mendengar akan keadaan dan sepak terjang Bupati Progodigdoyo itu. Ceritakan apa yang terjadi dengan keluarga Lembu Tirta di dusun Kembangsri sembilan tahun yang lalu."     "Keluarga Lembu Tirta di Kembangsri...? Ah, andika maksudkan janda Kembangsri yang cantik itu dan anak-anaknya...? Ya, saya ingat... rumah mereka terbakar dan kabarnya, janda yang cantik itu tewas terbakar akan tetapi anak-anknya lenyap..."   "Anak gadisnya diculik oleh Progodigdoyo! Apa yang terjadi dengan gadis itu?" Sutejo mendesak, jantungnya berdebar tegang.   Akan tetapi Ki Lurah menggeleng kepalanya. "Sungguh mati, saya tidak tahu, Raden. Memang saya mendengar tentang peristiwa itu, yang terjadi sebelum Sang Adipati Ronggo Lawe memberontak terhadap Kerajaan Mojopahit, akan tetapi apa yang terjadi selanjutnya, saya tidak tahu dan juga tidak berani menyelidiki. Siapa yang berani mati hendak menyelidiki urusan pribadi Kanjeng Gusti Bupati Progodigdoyo?"   Sutejo memandang Sulastri dan berkata, "Adi Bromo, apa yang akan kita lakukan kepada lurah ini?"Dia berkedip. "Kita bunuh saja?"   "Hemm, lemparkan ke kedung agar dimakan buaya, Kakang," kata Bromatmojo.   Mendengar ucapan dua orang pemuda itu, pak lurah itu lalu menyembah-nyembah dan menangis minta diampuni.   "Baik, kami tidak akan membunuhmu. Akan tetapi engkau harus bersumpah untuk menjadi seorang lurah yang baik, jangan sewenang-wenang terhadap rakyat. Mengerti?" Sutejo membentak.   "Dan jangan memaksa wanita untuk menjadi selirmu!" bentak pula Bromatmojo.   "Baik... baik... saya bersumpah... memang selama ini pun saya telah menjadi seorang lurah yang tidak berani melakukan penyelewengan, apalagi ada nama Sriti Kencana yang selalu akan turun tangan membunuh mereka yang menyeleweng. Saya bersumpah, Raden."   Kembali lurah itu menyembah-nyembah, dan ketika ia mengangkat mukanya, dia terbelalak dan bulu tengkuknya meremang karena dua orang muda itu telah lenyap dari depannya! Dengan seluruh tubuh gemetar dan kedua kaki seperti lumpuh rasanya, lurah dusun Gedangan itu menyeret tubuhnya kembali ke dusun di mana dia disambut oleh orang-orangnya dan keluarganya dengan girang karena mereka mengira bahwa lurah itu tentu akan dibunuh oleh dua orang muda yang sakti itu.     Beberapa hari kemudian, pagi-pagi dua orang pemuda itu telah tiba di luar kota Kabupaten Tuban yang sudah tampak dinding temboknya dari jauh. Mereka berjalan perlahan di sepanjang jalan raya itu, melewati sebuah warung di tepi jalan yang agaknya sepagi itu sudah buka.   "Kisanak berdua, silahkan mampir!" Tiba-tiba terdengar suara merdu seorang wanita dari warung itu.   "Kami menjual teh dan kopi panas, dawegan (kelapa muda), ketan dan jagung rebus, semua masih hangat!" menyusul suara ke dua yang tidak kalah merdunya.   Sutejo dan Bromatmojo menoleh ke arah warung dan mereka melihat ada empat orang wanita muda yang cantik-cantik dan manis-manis di dalam warung itu. Belum ada tamu lain dan empat orang wanita itu memandang ke arah mereka dengan senyum manis dan pandang mata memikat.   "Kita sarapan (makan pagi) dulu, Kakang Tejo."   "Tidak, kita terus saja!" jawab Sutejo sambil mengerutkan alisnya.   "Tapi sejak tadi malam saya belum makan, perut saya lapar sekali, Kakang."   "Kita makan di tempat lain saja."   "Eh, apa bedanya? Dan aku suka sekali makan jagung rebus!"   "Tapi... perempuan-perempuan itu..."   "Mengapa? Mereka cantik-cantik dan manis-manis malah! Hayo, Kakang Tejo!"   "Hemm, perempuan warungan!" Tejo yang ditarik tangannya oleh Bromatmojo mengomel.   "Ha, apa bedanya? Mereka juga manusia, dan... hemm, cantik manis yang berbaju hijau itu.   "Huh, kau mata keranjang!"   Bromatmojo masih tertawa-tawa ketika menarik tangan Sutejo memasuki warung disambut oleh empat orang wanita yang memang benar masih muda-muda dan cantik manis. Usia mereka antara dua puluh sampai tiga puluh tahun, dan yang berbaju hijau, yang usianya termuda, memang paling manis di antara mereka, kulitnya putih mulus, matanya bening dan mulutnya yang berbibir merah dan indah bentuknya itu selalu tersenyum penuh daya pikat.   "Silahkan duduk, Kisanak...!" kata yang berbaju ungu.   "Aihh, mbakayu, apakah engkau tidak melihat bahwa mereka adalah bangsawan muda? Harap maafkan, Raden!" Si baju hijau berkata merdu.   "Heh-heh, tidak apa, disebut kisanak atau raden bagi kami sama saja. Betul tidak, Kakang Tejo?"   Yang ditanya diam saja, merengut dan duduk dengan muka merah, sama sekali tidak berani menentang empat wajah wanita yang tersenyum manis dan mengelilingi mereka dengan sikap amat ramah itu. Terlalu ramah malah, pikirnya. Tentu wanita-wanita ini bukan wanita baik-baik! Dia mendongkol sekali mengapa Bromatmojo bersikap demikian bebasnya, seolah-olah pemuda tampan ini sudah biasa bergaul dengan segala macam wanita begituan!     Lekas hidangkan jagung rebus hangat!" Dengan sikap gembira sekali Bromatmojo berkata, "Engkau hendak makan apa, Kakang? Jagung rebus atau ketan? Dan minumnya?"   "Apa saja pun boleh," jawab Sutejo sambil memandang kepada dua tangannya yang berada di atas meja di depannya.   Bromatmojo memandang wanita baju hijau yang paling dekat dengannya. "Aku minta jagung rebus dan sahabatku ini memesan apa saja pun boleh."   Empat orang wanita itu tertawa cekikikan dan wajah Sutejo menjadi makin merah. Dia melirik ke arah Bromatmojo dengan marah sehingga empat orang wanita itu makin terkekeh geli, sedangkan Bromatmojo juga tertawa.   "Pendeknya, hidangkan seadanya di sini, manis, biar sahabatku memilihnya nanti. Dia pemalu sih, maklumlah dia masih perjaka thing-thing (tulen)!"   "Hik-hik!’ Empat orang itu terkekeh genit dan si baju hijau yang kelihatan memandang kepada Bromatmojo dengan sinar mata kagum dan bersinar-sinar itu bertanya, suaranya halus merdu dan jelas kemanja-manjaan, "Lalu minuman apakah yang harus saya hidangkan untuk paduka, Raden?"   Bromatmojo memandang dan tersenyum. "Kau sungguh cantik manis, Nimas. Aku minta minuman air dawegan saja."   Kini Sutejo yang sejak tadi diam saja dan membiarkan dirinya dijadikan godaan sahabatnya, melihat kesempatan untuk membalas. "Sepagi ini minum air dawegan, sungguh orang aneh sekali kau!"   Akan tetapi dengan tangkasnya Bromatmojo menangkis. "Eeh, apa kau tidak tahu, Kakang Tejo? Air dawegan di pagi hari menambah kekuatan dan kejantanan. Betul tidak, manis?" Dia menoleh pada empat orang wanita itu dan mereka pun terkekeh, membuat Sutejo menjadi makin malu dan tidak berani lagi bicara.   "Kau mau minum apa, Kakang?"   "Apa saja pun..."   "Nah, sediakan minuman apa saja pun boleh!" kata Bromatmojo memancing gelak ketawa empat orang wanita itu.     Makanan dan minuman dihidangkan dan tanpa setahu Sutejo, ketika minum air dawegan, Bromatmojo melempar sebutir benda kecil seperti kacang ke mulutnya dan menelannya bersama air kelapa itu. Mereka lalu makan minum dilayani oleh empat orang wanita itu yang selain ramah juga genit dan manja. Sutejo makan dan minum dengan sikap sungkan dan gugup, berbeda dengan Bromatmojo yang kelihatan gembira sekali, makan jagung sampai habis tiga buah dan makan ketan sebungkus.   Sutejo dengan diam tanpa banyak cakap makan ketan hitam dan minum segelas air teh. Tak lama kemdian, Sutejo mengerutkan alisnya dan berkata, "Adi Bromo... aku merasa pening dan mengantuk...   "Kalau andika lelah, Raden, mari silahkan tidur di dalam. Kami mempunyai sebuah kamar untuk andika mengaso..." kata Si Baju Ungu kepada Sutejo.   Tentu saja Sutejo menggelengkan kepalanya dengan keras.   "Kakang, kalau kau pening, dan mengantuk, apa salahnya kau mengaso sebentar? Biar aku menanti di sini."   "Tidak, aku... ahhh..." Sutejo kelihatan terkejut karena rasa kantuk dan pening itu makin menghebat menyerang kepalanya.   "Mari, mari Raden... kata wanita baju ungu dan dia sudah menghampiri Sutejo hendak memegang lengan pemuda itu. Sutejo terkejut, tidak mau membiarkan dirinya dipegang, maka dalam keadaan pening dia mendorong. Akan tetapi dengan sedikit gerakan saja wanita baju ungu itu dapat mengelak. Hal ini kelihatan jelas oleh Bromatmojo yang juga sudah bangkit berdiri.   "Mari aku yang mengantarmu, Kakang," katanya sambil menggandeng tangan Sutejo. "Di mana kamarnya, Nimas yang manis? Tolong kau antarkan..." katanya kepada gadis baju hijau tadi.   "Mari, Raden. Ke sini..." kata Si Baju Hijau dengan manis dan dia mendahului jalan dengan langkah yang membuat buah pinggulnya menari-nari!   Bromatmojo melihat Sutejo terhuyung. "Aihh...!" Dia berseru kaget dan dia pun terhuyung.   "Hik-hik, mari kubantu, Raden!" Si Baju Hijau cepat membalik dan memegang lengannya agar pemuda tampan ini tidak sampai jatuh. Yang berbaju ungu juga sudah memegang lengan kiri Sutejo dan kini pemuda itu tidak menolak karena dia seperti orang tidur saja, berjalan terhuyung dan membiarkan dirinya dipapah sambil memejamkan matanya. Bromatmojo juga sama keadaannya dengan Sutejo. Ketika mereka dipapah sampai ke dalam kamar di mana terdapat sebuah pembaringan kayu yang lebar, kedua orang muda itu didorong ke atas pembaringan dan sebentar saja mereka tak bergerak lagi, rebah miring dan tidak ingat apa-apa lagi.     Empat orang gadis cantik itu memasuki kamar sambil terkekeh girang. "Bagus! Mereka dengan mudah dapat kita tundukkan!" kata Si Baju Hijau dengan suara garang dan tegas, jauh bedanya dengan tadi ketika merayu Bromatmojo. "Mbakayu Ambar dan Tarmi, kalian pergilah melapor kepada Den Bagus dan Den Roro, katakan bahwa mereka telah ditangkap dan kita menanti keputusan mereka."   "Baik, Ayu," kata Si Baju Merah dan baju biru. Mereka cepat meninggalkan tempat itu, pergi ke belakang dan tak lama kemudian terdengar bunyi derap kaki kuda yang dibalapkan.   "Cempaka, kau pergi cepat menutup warung itu agar jangan sampai ada tamu mengganggu."   "Baik, Ayu," dan gadis baju ungu segera pergi ke depan, menutupkan warung, kemudian kembali lagi ke dalam kamar. Dia tertawa ketika melihat wanita baju hijau itu menggunakan tangan membelai pipi dan dagu Bromatmojo.   "Ah, kau agaknya tergila-gila kepada yang satu itu, Ayu."   Ayu atau Si Baju Hijau itu, menarik napas panjang. "Siapa yang tidak tergila-gila kepada pemuda sehebat ini? Cempaka, agaknya akan bahagia hidupku kalau aku akan dapat menjadi isteri pemuda ini... heemmmm..."   "Tapi dia adalah tawanan kita, Ayu. Kita harus menanti keputusan Den Roro atau Den Bagus..."   "Tentu saja. Akan tetapi mudah-mudahan mereka ini, atau setidaknya pemuda ini, jangan sampai dibunuh. Sayang..."   "Engkau tahu, kita mana bisa tidak mentaati perintah mereka? Ayu, kita harus cepat mengenakan pakaian kita sebelum Den Roro atau Den Bagus datang. Dan dua orang ini harus cepat dibelenggu. Mereka ini tentu memiliki kepandaian tinggi, berbahaya kalau tidak diringkus ketika mereka nanti sadar kembali."   "Engkau benar, Cempaka."   Dua orang gadis itu lalu menanggalkan baju dan kain, lalu mengenakan pakaian serba hitam, bahkan muka dan kepala mereka tertutup kain hitam dan di kepala mereka terdapat hiasan seekor burung emas! Setelah kini mengenakan pakaian aneh itu, gerakan mereka terlihat tangkas sekali ketika mereka mengambil dua helai tali untuk membelenggu kaki tangan Sutejo dan Bromatmojo. Dengan cekatan, gadis baju ungu yang kini telah menjadi seorang berpakaian hitam dan bertopeng hitam pula, membelenggu kedua kaki dan tangan Sutejo dan tentu saja pemuda yang sedang tidur atau pingsan itu tidak bergerak sama sekali. Sedangkan baju gadis hijau yang tadi bersikap mesra terhadap Bromatmojo, menghampiri "pemuda" tampan itu sambil membawa sehelai tali besar.   Pada saat itu, Bromatmojo meloncat turun dan menggunakan lengan kirinya merangkul dan memuntir leher gadis baju hijau.   "Cempaka... tolong...!" Gadis bernama Ayu yang kini juga sudah menjadi seorang berpakaian dan bertopeng hitam itu menjerit.   Cempaka melepaskan Sutejo yang telah terbelenggu, lalu dengan tangkasnya dia menerjang ke arah Bromatmojo untuk menolong kawannya. Akan tetapi kaki Bromatmojo menendang.     "Bukk... ahhh...!" Cempaka terpental dan terbanting roboh. Akan tetapi dia sudah meloncat lagi dan kini tangan kanannya memegang sebatang pisau mengkilap yang amat runcing. Bromatmojo berdiri dengan tenang, lengan kirinya masih mengempit leher Ayu sambil memegang pergelangan tangan kanan gadis itu yang tadi dipuntirnya ke belakang sehingga Ayu tidak mampu berkutik. Dengan sinar mata tajam Bromatmojo memandang ke arah Cempaka yang telah memegang pisau belati itu.   "Haiiiiittt!" Cempaka menerjang dan pisau belati di tangannya menghunjam ke arah Bromatmojo, namun dengan tenang "pemuda" ini menggerakkan tangan kanannya, menampar ke arah pergelangan lengan dan kakinya juga meluncur lagi ke depan.   "Plakk! Dukk...!!" Untuk kedua kalinya tubuh Cempaka terlempar dan pisaunya terlepas dari pegangan karena lengannya terasa lumpuh terkena tamparan tangan Bromatmojo tadi. Dia terkejut bukan main, nanar sejenak, lalu merangkak bangun, memandang penuh keraguan, lari keluar dari pintu belakang dan tak lama kemudian terdengar pula derap kaki kuda meninggalkan tempat itu.   "Nah, semua temanmu telah pergi, tinggal engkau sendiri. Sekarang, kau beri obat penawar kepada sahabatku itu!" kata Bromatmojo sambil melepaskan wanita itu.   "Heiiiiittt!" Tiba-tiba wanita yang berpakaian hitam dan bertopeng hitam itu menyerangnya. Gerakannya gesit sekali, jauh lebih gesit daripada gerakan wanita yang menyerang dengan pisau tadi. Pantas saja wanita termuda ini menjadi pemimpin antara empat orang tadi, kiranya dia memang memiliki kelebihan, bukan saja paling muda dan paling cantik, akan tetapi melihat gerakannya juga memiliki kepandaian paling tinggi.   Akan tetapi tentu saja dia bukanlah lawan Bromatmojo yang dapat menangkis dengan cepat dan sekaligus menampar dengan tangan kirinya, mengenai pundak wanita itu.   "Plakk!" Aduhhh...!" Wanita itu menjerit, akan tetapi begitu terhuyung dia sudah meloncat lagi, gerakannya seperti burung sriti yang amat lincah, menerjang dengan kedua tangan mengirim pukulan keras.   (Bersambung ke Jilid 30)   Jilid 30   "Plak! Plak! Bresss...!" Untuk kedua kalinya, wanita itu dapat digagalkan serangannya dengan tangkisan oleh Bromatmojo yang kemudian mendorong sehingga wanita itu terlempar dan terbanting ke atas lantai.   "Ah...!" Wanita itu mengeluarkan seruan kaget bukan main, agaknya tidak mengira bahwa pemuda tampan itu demikian hebat ilmunya, maka dia lalu meloncat ke belakang dan hendak melarikan diri.   "Perlahan dulu! Hendak lari ke mana kau?" Bromatmojo juga meloncat dan loncatannya jauh lebih gesit sehingga dia dapat merangkul pinggang wanita itu dari belakang dan mereka terguling bersama! Dengan mudah saja Bromatmojo memegang dan menelikung kedua tangan wanita itu ke belakang tubuh sehingga biar pun dia meronta-ronta namun sia-sia saja.   "Kau kenapa? Aku hanya minta kau menyembuhkan sahabatku!" kata Bromatmojo.   Sejenak wanita itu tidak bergerak, lalu menarik napas panjang dan berkata, suaranya rendah menunjukkan bahwa dia tidak berdaya dan merasa kalah. "Engkau hebat sekali, Raden. Melawan pun tidak ada gunanya bagiku, dan pula, sahabatmu itu tanpa diobati pun nanti akan sadar sendiri."   "Aku menghendaki agar dia dapat sadar sekarang!" kata Bromatmojo.   "Baiklah, aku mempunyai obatnya."   Bromatmojo melepaskan pegangannya. Wanita itu membalik dan memandang kepadannya melalui dua lubang di topeng itu, matanya yang bening itu bersinar-sinar penuh kekaguman, kemudian kembali dia menarik napas panjang dan mengeluarkan sebungkus obat bubuk dari dalam saku baju hitam itu, menghampiri Sutejo dan menaburkan sedikit obat bubuk pada lubang hidung Sutejo, dipandang dan dijaga oleh Bromatmojo.   Tiba-tiba Sutejo berbangkis dua kali dan dia terbangun memandang heran, lalu meloncat bangun. "Ada apa, Adi Bromo...?"   "Hemm, wanita-wanita itu ternyata adalah anggota-anggota Sriti Kencana, Kakang. Dan hampir saja kita kena dibius."   Sutejo teringat akan semua yang dialaminya, maka melihat wanita bertopeng itu berdiri di situ, dia cepat meloncat dan biar pun wanita itu berusaha mengelak, tetap saja Sutejo telah menangkap pergelangan tangannya dan tangan kiri pemuda itu merenggut topeng dari muka itu.   "Bretttt...!" Dan nampaklah wajah cantik manis dari wanita termuda yang tadi memakai baju hijau! Sepasang mata yang bening itu memandang Sutejo dengan terbelalak, terkejut dan juga gentar.     Hayo katakan!" Sutejo berkata, suaranya mengandung kemarahan besar. "Siapa pemimpin kalian dan siapa pula yang mencuri keris pusaka Kolonadah, dan di mana keris itu sekarang? Hayo cepat kau mengaku!"   Tiba-tiba terjadi perubahan wajah yang cantik manis itu. Kalau tadinya dia kelihatan gentar, tiba-tiba sinar matanya penuh tantangan. "Kami para anggota Sriti Kencana bukanlah kaum pengkhianat dan pengecut. Kami tidak takut mati dan kalau kau hendak membunuhku, kau bunuhlah!"   Mendengar tantangan ini Sutejo makin marah. "Kau penjahat wanita sombong! Orang seperti engkau masih bicara tentang kegagahan, bukan pengkhianat dan bukan pengecut? Huh, kalian anggota-anggota Sriti Kencana adalah sekumpulan maling betina, menggunakan rayuan palsu untuk menjatuhkan kami. Hayo mengaku tidak?" Sutejo memperkeras cekalannya pada pergelangan tangan itu dan gadis itu menyeringai. Bukan main nyerinya rasa lengannya, seperti akan hancur dalam cengkeraman tangan pemuda tinggi tegap itu. Maklumlah dia bahwa pemuda ini sakti bukan main dan dia bukanlah lawannya, akan tetapi tetap saja dia tidak mau menyerah.   "Tidak perlu banyak cakap. Bunuhlah! Aku tidak takut mati!" Sepasang mata yang bening itu bersinar-sinar penuh tantangan.   "Bagus! Aku tidak akan membunuhmu, akan tetapi aku bisa memotong hidungmu dan merobek pipi dan bibirmu!" Sutejo melepaskan gadis itu, secepat kilat dia menyambar pisau belati milik Cempaka yang tadi menyerang Bromatmojo. Ketika merasa dirinya dilepaskan gadis bernama Ayu itu cepat menyambar burung sriti emas di kepalanya, lalu menyambitkan burung emas itu ke arah Sutejo. Kiranya hiasan kepala itu pun dapat dipergunakan sebagai senjata rahasia yang ampuh karena ketika menyambar ke arah Sutejo, burung emas itu mengeluarkan suara mengaung dan cepat sekali luncurannya, dengan patuk siap menusuk sasaran! Akan tetapi, tentu saja serangan seperti itu bukan apa-apa lagi bagi Sutejo. Dia miringkan tubuh dan ketika tangan kirinya menyambar, dia telah menangkap burung emas itu yang dia lemparkan ke arah Bromatmojo.   Ayu hendak meloncat dan lari, terkejut menyaksikan betapa sambitannya dihindarkan dengan demikian mudahnya. Akan tetapi tahu-tahu dia melihat bayangan berkelebat dan ketika dia mengangkat mukanya, ternyata pemuda tinggi tegap itu telah berdiri di depannya, menghadang jalan keluar melalui pintu belakang. Karena nekat, Ayu lalu menubruk dan mengirim serangan, akan tetapi dengan tangkisan dan tamparan, kembali lengannya dapat dipegang dan ditelikung ke belakang, dan kini pisau tajam itu ditempelkan di lehernya!   "Bunuhlah! Bunuhlah aku!" dia menantang.   Sutejo menggeleng dan tersenyum mengejek. "Tidak, karena aku tahu bahwa engkau tidak takut mati. Akan tetapi ingin kulihat apakah engkau tidak takut kalau hidungmu kupotong, pipi dan bibirmu kurobek dengan pisau ini!"   Wajah itu pucat sekali, matanya terbelalak ketika pisau itu kini menempel di hidungnya yang kecil mancung. Air mata menetes-netes turun dari kedua matanya.   "Nah, kau masih tidak mau mengaku dan menjawab pertanyaanku tadi?" Sutejo mengancam.   Ayu menggeleng kepala sehingga Sutejo harus menarik kembali pisaunya agar jangan sampai mengiris hidung yang bentuknya indah itu.   "Kalau begitu, aku akan benar-benar akan membuntungi hidungmu!"   Pisau itu ditekan dan Ayu memejamkan matanya. Air matanya turun seperti hujan menetes-netes melalui kanan kiri hidungnya.   "Tahan Kakang Tejo! Jangan siksa dia!" Tiba-tiba Bromatmojo berkata setelah tadi dia berkedip dan bermain mata dengan Sutejo.   "Huh, kenapa kau membela penjahat wanita ini, Adi Bromo? Sudah patut kalau dia kehilangan hidungnya, pipi dan bibirnya robek-robek agar dia tidak dapat menggunakan kecantikannya untuk menjebak orang lain!" kata Sutejo dan dia mendorong tubuh Ayu sehingga gadis itu terlempar ke atas pembaringan.   Ayu membuka matanya, meraba hidungnya dan dia menangis sesenggukan ketika mendapat kenyataan bahwa hidungnya masih ada, pipi dan bibirnya belum terobek. Akan tetapi dia takut setengah mati.   Bromatmojo sudah mendekatinya dan merangkulnya. "Ahh, sungguh keterlaluan sekali Kakang Tejo sahabatku itu..." katanya berbisik mesra. "Masa orang cantik manisnya hendak dirusak mukanya. Terlalu sekali, terlalu! Pipi yang begini halus, hidung mancung dan bibir begini indah..." Bromatmojo mengambung pipi dan hidung itu, kemudian dia mengecup bibir itu.   Ayu tersedak dan membuka matanya yang tadi dipejamkan, memandang wajah Bromatmojo yang begitu dekat. Dia kaget bukan main ketika tadi pipi dan hidungnya diambung, bibirnya dicium. Melihat betapa sepasang mata pemuda tampan itu memandangnya demikian mesra, dia tidak dapat menahan keharuan hatinya. Dia menubruk, merangkul dan menangis di atas pundak Bromatmojo. "Ahhhh..., Raden... saya... bukan penjahat wanita..." Dia terisak-isak.   Bomatmojo mengelus-elus rambut yang panjang hitam dan harum itu. "Hemm, tentu saja bukan, Nimas. Engkau seorang gadis yang amat manis dan gagah perkasa..." kata Bromatmojo sambil memandang kepada Sutejo dari pundak Ayu, mengedipkan mata dan tersenyum. Akan tetapi Sutejo memandang marah, mulutnya cemberut lalu membalikkan tubuhnya dengan gerakan cepat untuk menunjukkan kemarahannya dan kemuakannya melihat rayuan maut yang dimainkan oleh Bromatmojo kepada Ayu itu. Dengan marah Sutejo mengepal tinju, duduk di atas bangku di dalam kamar itu dengan punggung menghadap pembaringan di mana Bromatmojo sedang merayu Ayu.   "Nimas, siapakah namamu?"   Ayu terisak-isak, menahan tangisnya kemudian terdengar suaranya lirih, "Nama saya Ayu Kunti, Raden..."   "Nama yang bagus, dan tepat. Memang kau ayu sekali, Nimas. Akan tetapi orang yang cantik manis dan masih muda seperti engkau ini, kenapa menjadi anggota Sriti Kencana, bahkan rela mati untuk perkumpulan itu? Aku Bromatmojo dan aku percaya bahwa engkau bukan orang jahat. Akan tetapi engkau pun harus mengerti bahwa kami juga bukan orang jahat."   "Akan tetapi sahabatmu itu..., dia begitu kejam..." kata Ayu Kunti.   "Dia? Ah, dia sedang marah karena ingat bahwa dia telah kalian bius sampai pingsan! Ha-ha, akan tetapi dia adalah seorang yang amat baik, sama sekali tidak kejam," kata Bromatmojo.   "Dan andika sendiri, Raden? Kenapa tidak pingsan terbius...? Padahal andika juga minum dan makan ketan..."   "Aku? Tak mungkin kau dapat membius aku, Ayu. Aku adalah racun! Aku telah minum obat penawar sebelumnya."   "Bagus! Dan kau membiarkan aku terbius, ya? Sahabat macam engkau, Adi Bromo!" Sutejo membalik dan memandang marah.   "Maaf, Kakang. Tidak waktu untuk memberimu obat penawar itu. Akan tetapi mari kita dengarkan penuturan Ayu Kunti. Sebagai seorang wanita perkasa dan orang baik-baik kuyakin dia suka menceritakan tentang Sriti Kencana. Bukankah begitu, Nimas Ayu?"   Ayu Kunti menarik napas panjang. Menghadapi pemuda yang begini tampan, begini halus, begini mesra, sedangkan ciumannya tadi saja sudah bisa membikin dia semaput, dia menjadi "mati kutu", tak mungkin dia mampu menolak permintaannya.   "Baiklah, akan kuceritakan, Raden..."   "Hushh, jangan menyebutku raden. Kakangmas kan lebih akrab?"   Wajah dara itu menjadi merah. Bukan main pemuda ini! Begitu menyenangkan, begitu pandai mengelus hatinya. Ingin dia merangkul dan mencium pemuda ini kalau saja di situ tidak ada Sutejo yang masih keruh wajahnya dan marah pandang matanya.   "Terima kasih, Kakangmas!" Bromatmojo tersenyum ketika melihat sinar mata Sutejo seolah-olah hendak membakarnya! Maka dia sengaja hendak mempermainkan sahabatnya itu dan juga untuk menundukkan hati Ayu Kunti yang dia dapat menduga seorang gadis yang penuh keberanian dan kesetiaan terhadap perkumpulan Sriti Kencana, akan tetapi juga seorang gadis yang "panas" dan tentu mau melakukan apa saja kalau sudah jatuh hati. Apalagi dia mendengar pula pernyataan Ayu Kunti ketika dia pura-pura pingsan tadi, bahwa Ayu Kunti akan hidup bahagia kalau bisa menjadi isterinya! Hal ini berarti bahwa Ayu Kunti telah tergia-gila kepadanya, maka dia sengaja merayu dengan mesra gadis ini untuk memancing keterangan darinya.   "Nah, Nimas Ayu Kunti yang cantik manis! Engkau tentu maklum bahwa sesungguhnya antara kami berdua dan Sriti Kencana tidak terdapat permusuhan apa pun, dan mungkin hanya karena keris pusaka Kolonadah itu sajalah maka kami dimusuhi oleh Sriti Kencana. Oleh karena itu, setelah kita menjadi sahabat, kau ceritakanlah sejelasnya tentang rahasia ini semua."   Saya percaya sepenuhnya kepadamu, Kakangmas Bromatmojo. Dengarlah, saya akan menceritakan semua karena sesungguhnya tidak ada rahasia yang memalukan dalam perkumpulan kami. Perkumpulan kami dikenal sebagai Sriti Kencana karena hiasan kepala yang merupakan senjata rahasia kami berupa burung sriti emas itu. Perkumpulan kami didirikan kurang lebih dua tahun yang lalu dan kami para anggota Sriti Kencana terdiri dari dua puluh wanita yang kesemuanya memiliki kepandaian pencak silat yang kemudian ditambah dengan bimbingan dua orang pimpinan kami. Kami dipimpin oleh dua orang yang hanya kami kenal sebagai seorang pria dan seorang wanita yang keduanya masih muda remaja."   "Siapakah mereka?"   "Kami tidak tahu, Kakangmas. Tidak ada seorang pun di antara kami yang pernah melihat wajah mereka berdua dan karena kami tahu dari suara dan tingkah laku mereka bahwa mereka itu keduanya masih amat muda sungguh pun ilmu kepandaian mereka hebat sekali dan mereka itu sakti mandraguna, maka kami semua anggota hanya menyebut mereka Raden Bagus dan Raden Roro saja."   "Hemm, sungguh menarik," kata Sutejo yang kini ikut pula bicara, kemarahannya agak mereda karena dia tertarik mendengarkan penuturan Ayu Kunti. "Apa saja yang dilakukan oleh Sriti Kencana?"   Ayu Kunti melirik ke arah Sutejo, akan tetapi Bromatmojo mengelus lengannya dengan mesra sehingga dara itu yang belum pernah dibelai oleh seorang pria, belum pernah disentuh tangan pria, apalagi begitu mesranya, merasa betapa seluruh bulu di tubuhnya meremang dan jantungnya berdebar tidak karuan.   "Kami melakukan semua pekerjaan yang diperintahkan oleh dua orang pimpinan kami itu, dan selalu pekerjaan itu merupakan pekerjaan menentang kejahatan. Terutama sekali kami harus menghajar, kalau perlu membunuh, para pejabat yang berlaku sewenang-wenang terhadap rakyatnya dan banyak lagi yang kami lakukan, akan tetapi semua itu adalah demi rakyat yang tertindas."   "Hemm, sungguh hebat dan aneh!" Bromatmojo berseru. "Dan kalian menjadi anggota-anggota yang demikian setia dari perkumpulan aneh seperti itu? Sungguh luar biasa sekali kalau tidak ada latar belakangnya!"   "Begini, Kakangmas. Kami sebetulnya adalah penduduk di sekitar Tuban. Ada pula yang telah bersuami, dan saya sendiri adalah anak dari seorang yogo (penabuh gamelan) yang bekerja di Kabupaten Tuban, ibu saya seorang pesinden yang terkenal. Kami, wanita-wanita yang usianya antara delapan belas sampai tiga puluh tahun, yang memiliki ilmu silat, diterima menjadi anggota Sriti Kencana oleh Raden Bagus dan Raden Roro, setelah disumpah untuk setia dan memang kami semua mempunyai tekad yang sama, yaitu memberantas kejahatan dan membela rakyat yang tertindas. Dan untuk ini, kami menerima upah yang cukup besar dari pimpinan kami. Tentu saja kami memegang rahasia kami, bahkan ayah ibu saya pun tidak tahu bahwa saya menjadi anggota Sriti Kencana yang ditakuti orang-orang jahat itu, juga para isteri itu tidak ada yang berani membuka rahasia kepada suami mereka."   Akan tetapi engkau telah membuka rahasia kepadaku, Nimas," Bromatmojo sengaja berkata sambil merangkul.   "Karena... karena saya telah tertawan... dan paduka... eh, biarlah, saya siap untuk menerima hukuman dari pimpinan kami."   "Hukuman? Apa hukumannya?"   "Apalagi kalau bukan hukuman mati? Akan tetapi saya rela mati untuk paduka..." Ayu Kunti balas merangkul, tidak memperdulikan lagi kepada Sutejo. Melihat pemuda itu kembali menjadi merah mukanya dan sinar matanya tak senang, Bromatmojo cepat melepaskan rangkulannya.   "Tidak, Nimas. Aku akan bertemu dengan pimpinanmu dan aku akan mintakan ampun untukmu. Sekarang ceritakan tentang keris pusaka Kolonadah. Ketika kami berdua diserbu oleh para perajurit Tuban itu, ada seorang anggota Sriti Kencana yang mencuri atau mengambil keris itu, bukan? Siapa dia?"   "Dia adalah Den Roro sendiri, Kakangmas!"   "Ah...!" Bromatmojo berseru, teringat betapa kuatnya tenaga pimpinan Sriti Kencana itu ketika mereka saling beradu tangan.   "Kami telah lama menerima perintah untuk menyelidiki dan membayangi gerak-gerik para perajurit Tuban yang dipimpin oleh Klabang Curing dan para perajurit dari Mojopahit yang dipimpin oleh Gagaksona. Ketika malam itu mereka mengurung andika berdua yang sedang menggali di tepi Sungai Tambakberas di dalam hutan itu, kami cepat mengirim laporan kepada Den Roro yang kebetulan berada di dekat tempat itu. Den Roro lalu turun tangan sendiri, mengambil keris pusaka itu setelah melihat andika berdua dan para perajurit itu memperebutkan keris pusaka Kolonadah yang memang sudah lama dihebohkan orang dan dicari-cari itu. Kemudian Den Roro memerintahkan kepada kami berempat untuk membayangi andika dan menangkap andika berdua karena pimpinan kami menganggap andika berdua adalah pencuri-pencuri yang telah berhasil menemukan tempat keris pusaka itu tersembunyi. Kami diperintahkan menangkap, bukan membunuh karena menurut Den Roro, biar pun andika berdua adalah pencuri-pencuri, akan tetapi telah berjasa menemukan keris pusaka itu."   "Hemm, keparat! Dia yang menjadi kepala maling yang mencuri keris itu dan dia menuduh kami pencuri-pencuri!" Sutejo membentak marah.   "Tenanglah, Kakang. Kita hanya disangka saja, karena Den Roro itu belum mengenal siapa kita. Betapa pun juga, dia adalah kepala dari sekelompok wanita-wanita perkasa..."   "Huh! Kau selalu lemah kalau berhadapan dengan wanita!" Sutejo berkata dengan nada suara kesal dan muak.   Bromatmojo tersenyum dan bertanya kepada Ayu Kunti, "Nimas, sekarang di mana adanya Den Roro itu dan apakah keris itu dibawanya?"   "Benar, Kakangmas."   "Sebenarnya, siapakah dia dan di mana dia tinggal?"   "Sudah saya katakan, kami semua tidak ada yang pernah melihat wajahnya, dan karena cara bicaranya seperti priyayi agung, maka kami menyebutnya Den Roro dan Den Bagus. Tentu saja kami tidak tahu di mana mereka tinggal?"   "Dan di mana biasanya kalian berkumpul dan mengadakan pertemuan?"   "Ah, rahasia besar..., Kakangmas."   Bromatmojo mengerutkan alisnya dan memandang tajam, mengambil sikap seperti orang kecewa dan berduka. "Ahhh... jadi engkau masih belum percaya benar kepadaku, Nimas?"   Ayu Kunti cepat memegang lengan "pemuda" itu. "Tidak, tidak sama sekali, Kakangmas. Aku sudah menceritakan semuanya, bahkan saya rela untuk mati demi andika, tentu saja saya sudah percaya sepenuhnya. Cuma saya... andika berdua demikian sakti, dan saya tidak ingin melihat andika berdua menghancurkan perkumpulan kami."   "Ihh, bocah ayu yang bodoh!" Bromatmojo mencubit dagu meruncing halus itu. "Siapa yang akan menghancurkan perkumpulanmu yang gagah itu? Kami hanya ingin ke sana untuk bertemu dan bicara dengan pimpinanmu."   "Akan tetapi, kalau saya yang mengantar andika berdua ke sana, hal itu merupakan dosa dan pelanggaran sumpah yang amat besar, Kakangmas. Pula, kedua orang teman saya tadi, bahkan juga mbakayu Cempaka, tentu kini telah memberi pelaporan tentang andika berdua dan sebentar lagi Den Roro tentu akan berada di sini."   Tiba-tiba terdengar suara suitan nyaring melengking dari luar rumah itu dan wajah Ayu Kunti seketika menjadi pucat sekali, tangannya yang tadi memegang lengan Bromatmojo menggigil.   "Omonganmu benar, Ayu!" terdengar suara halus merdu namun cukup nyaring. "Ajak mereka menemui kami ke tepi sungai di kaki pegunungan kapur di barat!"   Sutejo sudah melompat dan lari keluar dari warung itu, memandang ke kanan kiri, akan tetapi tidak melihat ada orang, kecuali beberapa orang petani yang agaknya mulai pergi ke sawah ladang mereka memanggul cangkul dan beberapa orang wanita menggendong dan yang laki-laki memikul, agaknya mereka yang dari dusun-dusun hendak berdagang ke kota Tuban. Tidak kelihatan ada orang berpakaian hitam, apalagi bertopeng hitam. Maka dia cepat berlari kembali ke dalam.   "Mari, Kakang Tejo. Nimas Ayu Kunti akan mengantarkan kita bertemu dengan mereka. Tadi adalah Den Roro pemimpin mereka yang mengundang kita," kata Bromatmojo yang sudah berdiri dan menggandeng tangan Ayu Kunti.   Sutejo mengerutkan alisnya. "Adi Bromo, aku tidak suka akan semua ini. Kita tentu akan terjebak lagi. Aku paling tidak percaya kepada wanita-wanita, mereka itu curang dan licik."   "Kakang Tejo, jangan bicara begitu bodoh!" Bromatmojo membentak, marah sehingga mengejutkan Sutejo. "Kalau Kakang merasa takut, tinggallah saja di sini dan biar aku sendirian menghadapi mereka!"   Sutejo membelalakkan mata. "Eh, eh... bagaimana kau bisa berkata demikian, Adi Bromo? Tentu saja aku tidak takut dan akan membantumu sampai berhasil. Akan tetapi, aku hanya khawatir mereka ini akan berlaku curang seperti tadi..."   Ayu Kunti segera maju membela Bromatmojo, "Raden sebetulnya kami sama sekali tidak dan bukan orang-orang yang bersikap curang dan pengecut, apalagi pimpinan kami! Kalau kami tadi menggunakan obat bius untuk menangkap andika berdua hanyalah karena kami merasa tidak akan menang menggunakan kekerasan, sedangkan perintah pimpinan kami adalah bahwa kami harus menawan andika berdua."   "Maaf, Kakang Tejo. Bukan maksudku menyatakan engkau penakut, akan tetapi untuk mendapatkan keris pusaka itu, kita harus berani menghadapi bahaya apa pun juga."   Sutejo menarik napas panjang. "Baiklah, sebetulnya aku tidak akan takut menghadapi musuh yang bagaimana pun juga, asal jangan perempuan-perempuan yang..."   "Sudahlah!" Bromatmojo memotong dengan nada suara tak sabar. "Mari kita berangkat!"   Mereka bertiga lalu pergi meninggalkan warung itu. Di sepanjang perjalanan Bromatmojo menggandeng tangan Ayu Kunti dan mereka kelihatan bersikap mesra dan saling mencinta. Hal ini membuat hati Sutejo menjadi semakin panas dan tidak senang. Dia tidak dapat menduga, karena pikirannya penuh dengan kemarahan, bahwa Bromatmojo melakukan hal itu untuk mencegah kalau-kalau anggota Sriti Kencana itu menggunakan akal untuk melarikan diri. Dengan adanya Ayu Kunti di tangannya, setidaknya dia dapat mencegah kecurangan dilakukan oleh pihak musuh.   (Bersambung ke Jilid 31)   Jilid 31   Tempat yang dimaksudkan itu ternyata tidak begitu jauh. Terletak di sebelah barat kota Tuban di mana terdapat pegunugan kapur yang memanjang dari barat ke timur dan di kaki sebuah di antara gunung-gunung kapur itu memang terdapat sebatang sungai kecil yang airnya sedikit sekali, hampir kering. Akan tetapi kaki gunung kapur ini masih cukup mempunyai tanah sehingga berbeda dengan gunungnya sendiri yang gundul dan keputih-putihan, di tempat ini masih ditumbuhi pohon-pohon dan rumput yang tidak begitu rimbun dan segar keadaannya. Tempat itu sunyi sekali karena kaum tani juga enggan untuk mengolah tanah yang dangkal dan bercampur kapur itu yang hasilnya tidak dapat banyak diharapkan.Sutejo mengerutkan alisnya. "Adi Bromo, aku tidak suka akan semua ini. Kita tentu akan terjebak lagi. Aku paling tidak percaya kepada wanita-wanita, mereka itu curang dan licik."   "Kakang Tejo, jangan bicara begitu bodoh!" Bromatmojo membentak, marah sehingga mengejutkan Sutejo. "Kalau Kakang merasa takut, tinggallah saja di sini dan biar aku sendirian menghadapi mereka!"   Sutejo membelalakkan mata. "Eh, eh... bagaimana kau bisa berkata demikian, Adi Bromo? Tentu saja aku tidak takut dan akan membantumu sampai berhasil. Akan tetapi, aku hanya khawatir mereka ini akan berlaku curang seperti tadi..."   Ayu Kunti segera maju membela Bromatmojo, "Raden sebetulnya kami sama sekali tidak dan bukan orang-orang yang bersikap curang dan pengecut, apalagi pimpinan kami! Kalau kami tadi menggunakan obat bius untuk menangkap andika berdua hanyalah karena kami merasa tidak akan menang menggunakan kekerasan, sedangkan perintah pimpinan kami adalah bahwa kami harus menawan andika berdua."   "Maaf, Kakang Tejo. Bukan maksudku menyatakan engkau penakut, akan tetapi untuk mendapatkan keris pusaka itu, kita harus berani menghadapi bahaya apa pun juga."   Sutejo menarik napas panjang. "Baiklah, sebetulnya aku tidak akan takut menghadapi musuh yang bagaimana pun juga, asal jangan perempuan-perempuan yang..."   "Sudahlah!" Bromatmojo memotong dengan nada suara tak sabar. "Mari kita berangkat!"   Mereka bertiga lalu pergi meninggalkan warung itu. Di sepanjang perjalanan Bromatmojo menggandeng tangan Ayu Kunti dan mereka kelihatan bersikap mesra dan saling mencinta. Hal ini membuat hati Sutejo menjadi semakin panas dan tidak senang. Dia tidak dapat menduga, karena pikirannya penuh dengan kemarahan, bahwa Bromatmojo melakukan hal itu untuk mencegah kalau-kalau anggota Sriti Kencana itu menggunakan akal untuk melarikan diri. Dengan adanya Ayu Kunti di tangannya, setidaknya dia dapat mencegah kecurangan dilakukan oleh pihak musuh.   Tempat yang dimaksudkan itu ternyata tidak begitu jauh. Terletak di sebelah barat kota Tuban di mana terdapat pegunugan kapur yang memanjang dari barat ke timur dan di kaki sebuah di antara gunung-gunung kapur itu memang terdapat sebatang sungai kecil yang airnya sedikit sekali, hampir kering. Akan tetapi kaki gunung kapur ini masih cukup mempunyai tanah sehingga berbeda dengan gunungnya sendiri yang gundul dan keputih-putihan, di tempat ini masih ditumbuhi pohon-pohon dan rumput yang tidak begitu rimbun dan segar keadaannya. Tempat itu sunyi sekali karena kaum tani juga enggan untuk mengolah tanah yang dangkal dan bercampur kapur itu yang hasilnya tidak dapat banyak diharapkan.Sutejo mengerutkan alisnya. "Adi Bromo, aku tidak suka akan semua ini. Kita tentu akan terjebak lagi. Aku paling tidak percaya kepada wanita-wanita, mereka itu curang dan licik."   "Kakang Tejo, jangan bicara begitu bodoh!" Bromatmojo membentak, marah sehingga mengejutkan Sutejo. "Kalau Kakang merasa takut, tinggallah saja di sini dan biar aku sendirian menghadapi mereka!"   Sutejo membelalakkan mata. "Eh, eh... bagaimana kau bisa berkata demikian, Adi Bromo? Tentu saja aku tidak takut dan akan membantumu sampai berhasil. Akan tetapi, aku hanya khawatir mereka ini akan berlaku curang seperti tadi..."   Ayu Kunti segera maju membela Bromatmojo, "Raden sebetulnya kami sama sekali tidak dan bukan orang-orang yang bersikap curang dan pengecut, apalagi pimpinan kami! Kalau kami tadi menggunakan obat bius untuk menangkap andika berdua hanyalah karena kami merasa tidak akan menang menggunakan kekerasan, sedangkan perintah pimpinan kami adalah bahwa kami harus menawan andika berdua."   "Maaf, Kakang Tejo. Bukan maksudku menyatakan engkau penakut, akan tetapi untuk mendapatkan keris pusaka itu, kita harus berani menghadapi bahaya apa pun juga."   Sutejo menarik napas panjang. "Baiklah, sebetulnya aku tidak akan takut menghadapi musuh yang bagaimana pun juga, asal jangan perempuan-perempuan yang..."   "Sudahlah!" Bromatmojo memotong dengan nada suara tak sabar. "Mari kita berangkat!"   Mereka bertiga lalu pergi meninggalkan warung itu. Di sepanjang perjalanan Bromatmojo menggandeng tangan Ayu Kunti dan mereka kelihatan bersikap mesra dan saling mencinta. Hal ini membuat hati Sutejo menjadi semakin panas dan tidak senang. Dia tidak dapat menduga, karena pikirannya penuh dengan kemarahan, bahwa Bromatmojo melakukan hal itu untuk mencegah kalau-kalau anggota Sriti Kencana itu menggunakan akal untuk melarikan diri. Dengan adanya Ayu Kunti di tangannya, setidaknya dia dapat mencegah kecurangan dilakukan oleh pihak musuh.   Tempat yang dimaksudkan itu ternyata tidak begitu jauh. Terletak di sebelah barat kota Tuban di mana terdapat pegunugan kapur yang memanjang dari barat ke timur dan di kaki sebuah di antara gunung-gunung kapur itu memang terdapat sebatang sungai kecil yang airnya sedikit sekali, hampir kering. Akan tetapi kaki gunung kapur ini masih cukup mempunyai tanah sehingga berbeda dengan gunungnya sendiri yang gundul dan keputih-putihan, di tempat ini masih ditumbuhi pohon-pohon dan rumput yang tidak begitu rimbun dan segar keadaannya. Tempat itu sunyi sekali karena kaum tani juga enggan untuk mengolah tanah yang dangkal dan bercampur kapur itu yang hasilnya tidak dapat banyak diharapkan.Sutejo mengerutkan alisnya. "Adi Bromo, aku tidak suka akan semua ini. Kita tentu akan terjebak lagi. Aku paling tidak percaya kepada wanita-wanita, mereka itu curang dan licik."   "Kakang Tejo, jangan bicara begitu bodoh!" Bromatmojo membentak, marah sehingga mengejutkan Sutejo. "Kalau Kakang merasa takut, tinggallah saja di sini dan biar aku sendirian menghadapi mereka!"   Sutejo membelalakkan mata. "Eh, eh... bagaimana kau bisa berkata demikian, Adi Bromo? Tentu saja aku tidak takut dan akan membantumu sampai berhasil. Akan tetapi, aku hanya khawatir mereka ini akan berlaku curang seperti tadi..."   Ayu Kunti segera maju membela Bromatmojo, "Raden sebetulnya kami sama sekali tidak dan bukan orang-orang yang bersikap curang dan pengecut, apalagi pimpinan kami! Kalau kami tadi menggunakan obat bius untuk menangkap andika berdua hanyalah karena kami merasa tidak akan menang menggunakan kekerasan, sedangkan perintah pimpinan kami adalah bahwa kami harus menawan andika berdua."   "Maaf, Kakang Tejo. Bukan maksudku menyatakan engkau penakut, akan tetapi untuk mendapatkan keris pusaka itu, kita harus berani menghadapi bahaya apa pun juga."   Sutejo menarik napas panjang. "Baiklah, sebetulnya aku tidak akan takut menghadapi musuh yang bagaimana pun juga, asal jangan perempuan-perempuan yang..."   "Sudahlah!" Bromatmojo memotong dengan nada suara tak sabar. "Mari kita berangkat!"   Mereka bertiga lalu pergi meninggalkan warung itu. Di sepanjang perjalanan Bromatmojo menggandeng tangan Ayu Kunti dan mereka kelihatan bersikap mesra dan saling mencinta. Hal ini membuat hati Sutejo menjadi semakin panas dan tidak senang. Dia tidak dapat menduga, karena pikirannya penuh dengan kemarahan, bahwa Bromatmojo melakukan hal itu untuk mencegah kalau-kalau anggota Sriti Kencana itu menggunakan akal untuk melarikan diri. Dengan adanya Ayu Kunti di tangannya, setidaknya dia dapat mencegah kecurangan dilakukan oleh pihak musuh.   Tempat yang dimaksudkan itu ternyata tidak begitu jauh. Terletak di sebelah barat kota Tuban di mana terdapat pegunugan kapur yang memanjang dari barat ke timur dan di kaki sebuah di antara gunung-gunung kapur itu memang terdapat sebatang sungai kecil yang airnya sedikit sekali, hampir kering. Akan tetapi kaki gunung kapur ini masih cukup mempunyai tanah sehingga berbeda dengan gunungnya sendiri yang gundul dan keputih-putihan, di tempat ini masih ditumbuhi pohon-pohon dan rumput yang tidak begitu rimbun dan segar keadaannya. Tempat itu sunyi sekali karena kaum tani juga enggan untuk mengolah tanah yang dangkal dan bercampur kapur itu yang hasilnya tidak dapat banyak diharapkan.Sutejo mengerutkan alisnya. "Adi Bromo, aku tidak suka akan semua ini. Kita tentu akan terjebak lagi. Aku paling tidak percaya kepada wanita-wanita, mereka itu curang dan licik."   "Kakang Tejo, jangan bicara begitu bodoh!" Bromatmojo membentak, marah sehingga mengejutkan Sutejo. "Kalau Kakang merasa takut, tinggallah saja di sini dan biar aku sendirian menghadapi mereka!"   Sutejo membelalakkan mata. "Eh, eh... bagaimana kau bisa berkata demikian, Adi Bromo? Tentu saja aku tidak takut dan akan membantumu sampai berhasil. Akan tetapi, aku hanya khawatir mereka ini akan berlaku curang seperti tadi..."   Ayu Kunti segera maju membela Bromatmojo, "Raden sebetulnya kami sama sekali tidak dan bukan orang-orang yang bersikap curang dan pengecut, apalagi pimpinan kami! Kalau kami tadi menggunakan obat bius untuk menangkap andika berdua hanyalah karena kami merasa tidak akan menang menggunakan kekerasan, sedangkan perintah pimpinan kami adalah bahwa kami harus menawan andika berdua."   "Maaf, Kakang Tejo. Bukan maksudku menyatakan engkau penakut, akan tetapi untuk mendapatkan keris pusaka itu, kita harus berani menghadapi bahaya apa pun juga."   Sutejo menarik napas panjang. "Baiklah, sebetulnya aku tidak akan takut menghadapi musuh yang bagaimana pun juga, asal jangan perempuan-perempuan yang..."   "Sudahlah!" Bromatmojo memotong dengan nada suara tak sabar. "Mari kita berangkat!"   Mereka bertiga lalu pergi meninggalkan warung itu. Di sepanjang perjalanan Bromatmojo menggandeng tangan Ayu Kunti dan mereka kelihatan bersikap mesra dan saling mencinta. Hal ini membuat hati Sutejo menjadi semakin panas dan tidak senang. Dia tidak dapat menduga, karena pikirannya penuh dengan kemarahan, bahwa Bromatmojo melakukan hal itu untuk mencegah kalau-kalau anggota Sriti Kencana itu menggunakan akal untuk melarikan diri. Dengan adanya Ayu Kunti di tangannya, setidaknya dia dapat mencegah kecurangan dilakukan oleh pihak musuh.   Tempat yang dimaksudkan itu ternyata tidak begitu jauh. Terletak di sebelah barat kota Tuban di mana terdapat pegunugan kapur yang memanjang dari barat ke timur dan di kaki sebuah di antara gunung-gunung kapur itu memang terdapat sebatang sungai kecil yang airnya sedikit sekali, hampir kering. Akan tetapi kaki gunung kapur ini masih cukup mempunyai tanah sehingga berbeda dengan gunungnya sendiri yang gundul dan keputih-putihan, di tempat ini masih ditumbuhi pohon-pohon dan rumput yang tidak begitu rimbun dan segar keadaannya. Tempat itu sunyi sekali karena kaum tani juga enggan untuk mengolah tanah yang dangkal dan bercampur kapur itu yang hasilnya tidak dapat banyak diharapkan.   "Kakang Tejo, jangan bicara begitu bodoh!" Bromatmojo membentak, marah sehingga mengejutkan Sutejo. "Kalau Kakang merasa takut, tinggallah saja di sini dan biar aku sendirian menghadapi mereka!"   Sutejo membelalakkan mata. "Eh, eh... bagaimana kau bisa berkata demikian, Adi Bromo? Tentu saja aku tidak takut dan akan membantumu sampai berhasil. Akan tetapi, aku hanya khawatir mereka ini akan berlaku curang seperti tadi..."   Ayu Kunti segera maju membela Bromatmojo, "Raden sebetulnya kami sama sekali tidak dan bukan orang-orang yang bersikap curang dan pengecut, apalagi pimpinan kami! Kalau kami tadi menggunakan obat bius untuk menangkap andika berdua hanyalah karena kami merasa tidak akan menang menggunakan kekerasan, sedangkan perintah pimpinan kami adalah bahwa kami harus menawan andika berdua."   "Maaf, Kakang Tejo. Bukan maksudku menyatakan engkau penakut, akan tetapi untuk mendapatkan keris pusaka itu, kita harus berani menghadapi bahaya apa pun juga."   Sutejo menarik napas panjang. "Baiklah, sebetulnya aku tidak akan takut menghadapi musuh yang bagaimana pun juga, asal jangan perempuan-perempuan yang..."   "Sudahlah!" Bromatmojo memotong dengan nada suara tak sabar. "Mari kita berangkat!"   Mereka bertiga lalu pergi meninggalkan warung itu. Di sepanjang perjalanan Bromatmojo menggandeng tangan Ayu Kunti dan mereka kelihatan bersikap mesra dan saling mencinta. Hal ini membuat hati Sutejo menjadi semakin panas dan tidak senang. Dia tidak dapat menduga, karena pikirannya penuh dengan kemarahan, bahwa Bromatmojo melakukan hal itu untuk mencegah kalau-kalau anggota Sriti Kencana itu menggunakan akal untuk melarikan diri. Dengan adanya Ayu Kunti di tangannya, setidaknya dia dapat mencegah kecurangan dilakukan oleh pihak musuh.   Tempat yang dimaksudkan itu ternyata tidak begitu jauh. Terletak di sebelah barat kota Tuban di mana terdapat pegunugan kapur yang memanjang dari barat ke timur dan di kaki sebuah di antara gunung-gunung kapur itu memang terdapat sebatang sungai kecil yang airnya sedikit sekali, hampir kering. Akan tetapi kaki gunung kapur ini masih cukup mempunyai tanah sehingga berbeda dengan gunungnya sendiri yang gundul dan keputih-putihan, di tempat ini masih ditumbuhi pohon-pohon dan rumput yang tidak begitu rimbun dan segar keadaannya. Tempat itu sunyi sekali karena kaum tani juga enggan untuk mengolah tanah yang dangkal dan bercampur kapur itu yang hasilnya tidak dapat banyak diharapkan.     Ketika tiga orang itu tiba di situ, Bromatmojo makin erat menggandeng tangan Ayu Kunti dan gadis ini memandang kepadanya dengan sinar mata mesra di balik topeng yang sudah dipakainya lagi itu, dan terdengar dia berbisik, "Terima kasih Kakangmas, dengan andika di samping saya, saya tidak takut apa-apa lagi..."   Bromatmojo hanya tersenyum dan memandang ke depan penuh kewaspadaan, seperti juga dilakukan oleh Sutejo. Tiba-tiba, ketika mereka telah tiba di tepi sungai kecil itu, nampak bermunculan dari balik-balik batang pohon dan batu, banyak sekali orang-orang yang berpakaian serba hitam dan bertopeng hitam, semua memakai hiasan kepala seekor burung sriti emas yang berkilauan tertimpa sinar matahari yang sudah mulai condong ke barat. Bromatmojo melepaskan tangan Ayu Kunti karena setelah dia berhadapan dengan mereka dan tidak mengkhawatirkan jebakan lagi, dia tidak memerlukan Ayu Kunti. Sutejo berdiri tegak dan memandang ke sekeliling dengan sinar matanya yang tajam.   Sejenak mereka semua diam dan dua puluh satu orang bertopeng itu, termasuk Ayu Kunti, telah mengurung dua orang muda ini. Bromatmojo menghitung dan tahu bahwa jumlah mereka itu kurang satu. Karena pakaian mereka sama semua, dia tidak dapat menduga yang mana di antara mereka itu yang menjadi pemimpin, maka dia hanya menanti. Juga Sutejo hanya mencari-cari dengan pandang matanya, namun dia tidak dapat menduga pula yang mana pemimpinnya.   Akan tetapi, tiba-tiba dengan suaranya Sang Pemimpin memperkenalkan dirinya sendiri dengan kata-kata yang berwibawa namun merdu terhadap Ayu Kunti, "Ayu! Bagaimana sikap mereka terhadap dirimu?"   Ayu Kunti kelihatan terkejut, menghadapi kepalanya yang bertubuh ramping kecil itu dan berkata, "Den Roro, mereka adalah pemuda-pemuda yang gagah dan sakti mandraguna, juga mereka tidak melakukan sesuatu yang buruk terhadap saya." Diam-diam Sutejo harus mengakui bahwa hanya berkat rayuan maut Bromatmojo saja maka Ayu Kunti tidak melaporkan kepada pemimpinnya betapa gadis itu tadi dia ancam akan dipotong hidungnya dan dirobek pipi dan bibirnya, sungguh pun hal itu hanya dipergunakannya untuk menakuti-nakutinya saja.   "Hemm, sudah kusangka demikian. Eh, Kisanak berdua. Kami melihat bahwa kalian berdua adalah pemuda-pemuda yang perkasa dan gagah...!"   "Tidak seperti kalian yang menggunakan kecurangan untuk mencelakakan kami!" Sutejo memotong dengan suara tegas.   Orang yang bertopeng yang disebut Den Roro itu, yang tubuhnya ramping kecil, menoleh kepadanya dan memandang tajam sejenak. "Maaf, Kisanak. Anak buah kami hanya menjalankan tugas untuk mencoba menangkap kalian, akan tetapi ternyata gagal. Kalau boleh kami mengetahui, siapakah kalian?"   "Namaku Bromatmojo dan sahabatku ini bernama Sutejo."   "Sungguh mengherankan, orang-orang muda yang gagah perkasa seperti kalian ini mengapa melakukan perbuatan yang demikian tak terpuji, membongkar kuburan orang dan hendak mencuri sebatang keris pusaka?"     "Eh, eh, perlahan dulu engkau menuduh orang!" Bromatmojo berseru marah. "Keris pusaka Kolonadah itu banyak diperebutkan banyak orang, dan kami yang mengetahui tempatnya mengambil keris itu dengan baik. Akan tetapi andika malah mencurinya selagi kami menghadapi serbuan perajurit-perajurit itu, dan sekarang andika menuduh kami mencuri! Sungguh tidak pantas!"   "Memang aku telah mengambil keris itu. Inilah dia!" Den Roro yang berkedok itu mengeluarkan keris pusaka Kolonadah yang dibungkusnya dengan kain kuning. "Akan tetapi aku tidak mencuri, aku hanya mengambilnya lebih dulu untuk menentukan siapa yang berhak karena tadinya aku menyangka bahwa andika berdua adalah pencuri-pencuri yang tidak berhak, demikian pula para perajurit itu. Tahukah kalian milik siapa keris pusaka Kolonadah ini?"   Bromatmojo menjawab cepat, "Milik mendiang Adipati Ronggo Lawe di Tuban!"   "Hemm, ternyata andika tahu benar. Lalu bagaimana andika tahu bahwa keris itu berada bersama kerangka itu di sana, padahal orang seluruh Tuban dan Mojopahit mencari-carinya tanpa hasil?"   "Den Roro atau siapa pun juga namamu, orang bertopeng! Kalau andika merahasiakan keadaan andika, bahkan wajah pun dirahasiakan, maka kami pun mempunyai rahasia kami sendiri. Bagaimana kami mengetahui tentang di mana adanya Kolonadah merupakan rahasia kami yang tidak akan kami ceritakan kepada siapa pun."   Sepasang mata di balik topeng itu bersinar-sinar, agaknya dia kagum akan tetapi juga penasaran melihat sikap Bromatmojo, pemuda yang amat tampan dan berani itu. "Akan tetapi setidaknya tentu andika dapat mengatakan apakah andika berdua berhak atas pusaka ini?"   "Tentu saja!"   "Atas hak yang bagaimana?"   "Tahukah andika, wahai gadis bertopeng, siapa pencipta Kolonadah?"   Gadis bertopeng itu menggeleng kepala. "Aku... aku tidak tahu."   "Penciptanya adalah guru mendiang Adipati Ronggo Lawe. Tahukah andika siapa beliau?"   Kembali wanita itu menggeleng kepala.   "Guru mendiang Adipati Ronggo Lawe adalah Empu Supamadrangi di puncak Bromo, dan beliau adalah guruku pula! Nah, beliau yang mengutus aku untuk mengambil pusaka itu, akan tetapi ternyata ketika kami dikeroyok orang, engkau telah mencurinya!"   Sepasang mata itu berkilat-kilat. "Kami bukan pencuri!" bentaknya, nyaring akan tetapi merdu suaranya itu.   "Kalau bukan pencuri, mengapa tidak kau kembalikan kepadaku?" Bromatmojo berkata dengan suara lantang. "Kini kau malah mengumpulkan semua anak buahmu, dan agaknya hendak mengeroyok kami berdua, bukankah hal itu menunjukkan bahwa engkau bukan hanya pencuri melainkan juga perampok?"   "Hemm, Bromatmojo, lancang sekali ucapanmu! Sudah kukatakan bahwa aku tidak mencuri, hanya karena tidak ingin pusaka ini terjatuh ke tangan orang jahat, maka aku mengambilnya ketika terjadi pertempuran itu, karena aku belum tahu siapa adanya andika berdua. Akan tetapi sekarang, setelah kami mengetahui bahwa engkau adalah utusan pencipta keris ini, semestinya memang harus kukembalikan kalau saja engkau tidak begitu lancang mulut."     "Hemm, bocah ayu..."   "Ceriwis! Bagaimana kau bisa mengatakan ayu kalau kau belum melihat wajahku?"   "Orang yang suaranya seperti andika, dengan bentuk tubuh seperti andika, tidak bisa tidak tentu ayu seperti bidadari dari Kahyangan. Kalau benar aku lancang mulut, lalu kau mau apa?" Bromatmojo menantang.   "Adi Bromo! Jangan begitu...!" Sutejo mencela karena menganggap sikap sahabatnya itu keterlaluan.   Akan tetapi Den Roro yang memakai topeng itu sudah menjadi marah. Bromatmojo, kalau begitu, engkau harus bisa mengalahkan aku lebih dulu sebelum engkau berhak memiliki keris pusaka Kolonadah!" Setelah berkata demikian, dia menyerahkan keris yang dibungkus kain kuning itu kepada seorang anak buahnya dan ia melangkah maju, memasang kuda-kuda menghadapi Bromatmojo.   "Hemm, boleh saja, manis. Bersiaplah engkau!" kata Bromatmojo dan dia segera menggerakkan kaki tangannya menerjang ke depan dengan hebat, melakukan tamparan-tamparan dari kanan kiri.   "Plak-plak-plak!" kepala perkumpulan yang memakai nama samaran Sriti Kencana itu mengelak mundur sambil menangkis dengan tangannya pula, kemudian balas menyerang dengan kecepatan luar biasa. Tubuhnya seperti terbang saja menyerang dengan kedua tangannya membentuk sayap-sayap burung yang menampar dari kanan kiri sambil meloncat tinggi.   "Hemm, engkau memang patut menjadi burung sriti!" kata Bromatmojo sambil cepat mengelak karena dia melihat betapa gerakan lawannya memang amat cepat dan tangkas. Sebetulnya, biar pun Sriti Kencana memiliki kelebihan dalam ilmu meringankan tubuhnya, namun dalam hal pukulan dan aji kesaktian, Bromatmojo masih lebih menang, karena memang memiliki dasar yang lebih matang. Akan tetapi Bromatmojo kini telah yakin bahwa Sriti Kencana memang bukan sekumpulan orang-orang jahat dan sekarang buktinya, kepalanya tidak mengerahkan anak buah yang sebanyak itu untuk mengeroyok. Semua wanita bertopeng itu hanya mengurung tempat itu dan menjadi penonton, dengan kedua lengan bersilang di dada, sama sekali tidak ada tanda-tanda mereka hendak mengeroyok. Agak lega juga hati Sutejo melihat betapa sahabatnya itu tidak melakukan pukulan yang sungguh-sungguh, melainkan mendesak lawan dengan tamparan-tamparannya yang mengandung hawa pukulan ampuh dan kuat sekali.   Seru dan hebat pertandingan itu, berlangsung lama juga. Akan tetapi lama kelamaan Sriti Kencana kelihatan lemah gerakannya dan setiap kali lengannya beradu dengan lengan Bromatmojo, dia mengeluh dan terhuyung. Akhirnya, tamparan Bromatmojo mengenai pundak kirinya dan dia terhuyung lalu jatuh terduduk. Napasnya terengah-engah dan dengan lengan bajunya dia menghapus peluhnya. Dengan anggukan kepala dia memberi isyarat kepada anak buahnya yang membawa keris.   (Bersambung ke Jilid 32)   Jilid 32   "Berikan pusaka itu kepadanya!"   Anak buahnya itu cepat menghampiri Bromatmojo yang berdiri dengan bertolak pinggang, menyerahkan keris yang diterima dengan bangga oleh Bromatmojo. Dibukanya kain kuning itu dan setelah melihat bahwa keris itu memang benar pusaka Kolonadah yang mengeluarkan hawa panas menyeramkan sehingga cepat-cepat dia membungkusnya kembali dengan kain kuning, dia memandang ke arah Sriti Kencana yang telah bangkit berdiri.   "Terima kasih, Sriti Kencana ataukah... Den Roro?"   Wanita bertopeng itu hanya berkata, "Engkau telah menang, tidak ada perlunya lagi mengejek. Engkau memang gagah dan sakti, akan tetapi sikapmu menyakitkan hati." Dengan isak tertahan, Sriti Kencana membalikkan tubuhnya dan cepat pergi diikuti oleh dua puluh orang anak buahnya.   Setelah mereka pergi, Sutejo berkata mengomel, "Engkau benar-benar terlalu sekali, Adi Bromo. Sikapmu memang benar menyakitkan hati seperti kata-katanya tadi."   "Eh, eh..., sejak kapan engkau membela musuh, Kakang Tejo? Apakah engkau akan lebih senang kalau aku tadi kalah dan pusaka ini tetap dibawa olehnya?"   "Engkau tahu bahwa bukan begitu maksudku. Akan tetapi, jelas bahwa dia seorang gadis yang hebat, gagah perkasa dan pemberani, menentang kejahatan dan membentuk kelompok wanita-wanita yang begitu hebat berani menentang kejahatan. Dan engkau... engkau bersikap begitu memandang rendah, padahal dia bukan pencuri, bahkan dia menyerahkan keris itu dengan baik-baik."   "Hemm..., kalau menurut pendapatmu, bagaimana sebaiknya menghadapi mereka?"   "Sikapmu sudah jelas, mengapa pakai tanya-tanya segala?"   "Sikapku bagaimana maksudmu?"   "Tadi engkau merayu Ayu Kunti, dan kini engkau menghina pemimpinnya. Aku tahu mengapa engkau melakukan hal itu."   "Memang kau pandai, Kakang tejo, kau tahu segala. Nah, katakan, apa yang kau ketahui sehingga aku melakukan hal itu?"   "Karena kau telah melihat bahwa Ayu Kunti cantik, maka kau merayunya sehingga dia jatuh hati. Sebaliknya, pemimpinnya itu belum kau lihat wajahnya, dan karena kau takut kalau-kalau dia tidak cantik, maka kau tega menyakitkan hatinya dengan sikapmu yang merendahkan dan sombong."   "Sombong? Aku...? Sombong?"   "Ya, kau sombong sekali menghadapi seorang wanita yang begitu gagah dan baik budi. Engkau terlalu mengandalkan kepandaian hanya untuk menghina wanita, padahal dia sudah berjasa terhadapmu."     "Eh, Kakang Tejo. Kau menuduhku sembarangan dan kau bilang dia berjasa? Jasa yang mana?"   "Kalau bukan dia yang mengambil keris pusaka itu dan menyimpannya, dalam keributan ketika kita dikeroyok itu, bukankah ada bahaya pusaka itu lenyap diambil orang lain?"   Bromatmojo mengangguk-angguk, lalu memandang tajam. "Agaknya pembelaanmu terhadap wanita itu ada benarnya juga, Kakang Tejo. Akan tetapi mengapa sekarang kau tiba-tiba saja membela dia secara mati-matian? Kakang, engkau belum melihat wajahnya bagaimana, namun engkau sudah membelanya..."   "Aku tidak seperti engkau yang gila wanita cantik!" Tejo berkata marah.   "Eh, eh, kau memandang rendah wanita cantik?"   "Aku tidak memandang kecantikannya, melainkan budi pekertinya. Wanita cantik biasanya berhati curang dan karena mengandalkan kecantikannya maka dia memandang rendah kaum pria dan suka mempermainkannya. Wanita cantik seperti ular berbisa..."   "Eh, eh! Mengapa kau ini? Tiada hujan tiada angin memaki-maki wanita cantik? Kakang Tejo, kalau engkau kelak memilih kekasih..."   "Aku bukan tukang merayu wanita seperti engkau, aku tidak akan memilih kekasih!"   "Hemm, kalau engkau kelak berpacaran..."   "Aku muak dengan itu!"   Bromatmojo memandang dengan mata terbelalak. "Muak? Muak dengan pacaran, berkasih-kasihan? Ah, Kakang Tejo, apakah engkau sudah gila?"   "Hemm, berani kau bilang begitu? Mengapa kau mengatakan aku sudah gila?"   "Karena, Kakang, manusia dijelmakan berkelamin dua jenis, untuk saling tertarik, saling mencinta, berpacaran, menikah sebagai suami isteri, mempunyai keturunan..."   "Tapi tidak untuk saling menggoda, saling merayu palsu seperti engkau! Pemuda macam apa engkau ini, setiap melihat wanita cantik lalu menjadi hijau matanya, merayu setiap wanita cantik dengan kata-kata dan sikap halus, mengandalkan ketampanan. Adi Bromo, engkau harus sadar dari penyelewenganmu dan kembali ke jalan benar!" kata Sutejo dengan sikap sungguh-sungguh.   Bromatmojo bersedekap dan memandang pemuda itu dengan mata bersinar-sinar. "Ehem, sahabatku yang mulia, yang alim, yang agaknya akan menjadi pertapa muda yang tahan uji, seorang pria utama yang memandang rendah kaum wanita, yang membutakan mata terhadap keindahan dan kecantikan, ceritakanlah kepadaku, wejanglah aku agar aku dapat kembali ke jalan benar!"   Sutejo tidak memperdulikan kata-kata dan sikap yang mengejek ini, lalu dia duduk di atas batu besar dan dengan bersungut-sungut tanpa memandang wajah Bromatmojo dia berkata, "Aku tahu bahwa engkau seorang pemuda yang baik dan memiliki kesaktian, murid seorang pertapa yang sakti, Adi Bromo. Akan tetapi engkau masih amat muda, masih seperti kanak-kanak sehingga engkau tidak tahu bahayanya seorang wanita, apalagi wanita cantik. Apakah engkau tidak pernah mendengar dongeng-dongeng tentang riwayat jaman dahulu? Betapa banyaknya ksatria-ksatria runtuh kegagahannya, raja-raja berkuasa runtuh kekuasaannya, pendeta-pendeta runtuh kealimannya, bahkan dewata sekali pun runtuh kesuciannya hanya karena kecantikan wanita! Oleh karena itu aku prihatin sekali melihat sifatmu yang suka sekali merayu wanita. Adikku, percayalah kepadaku, jangan engkau menuruti nafsu, karena kalau engkau melanjutkan kesesatan itu, aku khawatir kelak engkau pun akan jatuh oleh wanita. Wanita adalah pusat keindahan dan keburukan, wanita adalah sumber kemanisan dan kepahitan, wanita adalah tempat kebaikan dan kejahatan, sumber kecintaan dan kebencian, pencipta kebahagiaan dan kesengsaraan!"     Sepasang mata Bromatmojo makin bersinar-sinar. Lalu mulutnya berjebi dan dia merubah kedudukan kedua lengannya, kini dia bertolak pinggang.   "Kakang Tejo, agaknya engkau tentu sudah mempunyai banyak pengalaman dengan wanita, tentu sudah sering sekali jatuh cinta kepada wanita sehingga..."   "Tidak, tidak sama sekali!" Sutejo menggoyang-goyangkan tangannya. "Aku tidak akan mudah begitu saja jatuh cinta kepada wanita!"   Kedua tangan di pinggang itu bergerak dan kini kembali bersedakap di depan dada, dan Bromatmojo menengadah, memandangi awan yang bergumpal-gumpal seperti sekumpulan domba putih dan berarak perlahan-lahan hendak pulang ke kandang nan jauh di puncak bukit. Mulutnya berkemak-kemik dan terdengar dia bicara perlahan, "Wahai para dewi dan bidadari di kahyangan, dengarkanlah pemuda tinggi hati ini! Dia selama hidupnya belum pernah mencinta wanita, belum pernah berhubungan dengan wanita, namun pengetahuannya tentang wanita demikian luas, demikian mendalam, agaknya dia telah mempelajari dan menyelidiki tentang mahluk yang dinamakan wanita itu..."   Sutejo tidak memperdulikan sikap Bromatmojo yang dianggapnya mengejek. Dia membantah, "Wanita adalah seperti tulisan daun lontar yang terbuka, mudah dibaca dan dimengerti..."   "Huh...!"   "Wanita adalah seperti bunga mawar, harum akan tetapi penuh dengan duri..."   "Wahai awan di angkasa, tidakkah kalian mau berhenti sejenak mendengarkan wejangan sang bijaksana ini? Sang arif bijaksana yang tak pernah dan tak mau jatuh cinta namun pandai bicara tentang cinta...?" Bromatmojo tetap mengejek.   "Cinta adalah semacam penyakit!"   "Waduhh!"   "Laki-laki yang jatuh cinta adalah lemah dan bodoh sudah sepatutnya laki-laki macam itu menjadi permainan wanita sampai bertekuk lutut, menjadi kesed kaki wanita, diinjak-injak, akhirnya merana dan kelak hanya menjadi umpan api neraka..."   "Uwahhh...!!" Bromatmojo tak dapat menahan kemarahan hatinya lagi. Kini dia menghadapi Sutejo yang duduk di atas batu, telunjuk kanannya menuding sampai hampir menyentuh dahi Sutejo. "Dan kau... manusia sombong dan tinggi hati, aku berani mempertaruhkan nyawaku bahwa kelak, laki-laki macam engkau ini, kalau sudah jatuh cinta kepada seorang wanita, kelak engkau akan menyembah-nyembahnya, menciumi ujung kakinya, memujanya dan wanita itu akan menghinamu, akan memaksamu menelan kembali semua kata-katamu tadi, dan aku akan bersorak melihatmu, karena aku muak melihatmu!" Bromatmojo lalu membalikkan tubuhnya dan lari meninggalkan Sutejo.     Tak dapat ditahan lagi kedua matanya menjadi panas dan air mata mengalir di sepanjang kedua pipinya. Bromatmojo cepat menghapus air matanya dan terus lari secepatnya meninggalkan Sutejo yang menimbulkan kemarahan besar di dalam hatinya itu. Pemuda sombong! Pemuda besar kepala! Pemuda gila! Demikian hatinya memaki-maki. Akan tetapi..., dia merasa bingung dan heran sekali mengapa kakinya menjadi berat dan hatinya seolah-olah tertinggal bersama pemuda itu di sana!   Bromatmojo akhirnya dapat menenangkan hatinya dan tidak ada tanda air mata lagi di kedua pipinya, hanya matanya agak merah sedikit. Wajahnya muram ketika dia tiba di luar kota Tuban karena perasaannya sungguh tidak nyaman, seolah-olah kehidupan menjadi berbeda sekali setelah dia meninggalkan Sutejo. Dunia seperti sunyi, warna-warna menjadi pucat dan suara-suara menjadi sumbang!   "Adi Bromo...!"   Bromatmojo hampir berteriak dan bersorak saking girangnya mendengar suara ini. Akan tetapi dia menahan gelora hatinya dan memasang muka merenggut dan membalikkan tubuh seenaknya seolah-olah suara itu hanya mengganggu ketenangannya! Hari telah lewat senja dan malam hampir tiba, namun dia mengenal baik bayangan laki-laki yang melangkah lebar menghampirinya itu. Sejenak mereka berdiri berhadapan, Bromatmojo merengut dan Sutejo tersenyum.   "Kenapa engkau mengikuti aku?" tanya Bromatmojo setelah menekan hatinya sehingga suaranya tidak begitu gemetar.   "Karena banyak hal, Adi Bromo. Pertama, karena memang aku hendak ke Tuban. Ke dua, karena tidak tahan aku melihat engkau pergi meninggalkan aku dalam keadaan marah setelah kita menjadi sahabat baik. Ke tiga, karena aku merasa penasaran."   "Hemm, engkau malah yang merasa penasaran?" Bromatmojo bertanya dengan mata terbelalak heran. Siapa yang tidak merasa heran? Kata-kata dan sikap Sutejo membuat dia penasaran setengah mampus, eh, kini pemuda itu datang menyatakan merasa penasaran!   "Setelah engkau pergi, aku merasa penasaran sekali mengingat mengapa engkau, seorang laki-laki, seorang pemuda seperti aku pula, begitu mati-matian membela wanita dan marah-marah karena aku mencela wanita. Nah, itulah yang ingin kuketahui sebabnya, Adi Bromo."   Berdebar rasa jantung Bromatmojo. Celaka, hampir saja dia membuka rahasia pribadinya oleh sikapnya itu! Dia hampir lupa bahwa dia adalah seorang "pria", dan memang tidak semestinya kalau dia mati-matian membela wanita. Akan tetapi, dia adalah seorang yang cerdik dan sambil tersenyum mengejek dia menjawab, "Mengapa sikapku itu membuat engkau penasaran, Kakang Tejo? Kau merasa dirimu sebagai pria terlalu tinggi dan agungkah? Engkau lupa agaknya, bahwa tanpa adanya wanita di dunia ini, seorang Sutejo tidak akan dapat lahir di dunia! Engkau lupa bahwa ibu-ibu kita adalah wanita, saudara-saudara perempuan kita adalah wanita, bibi-bibi kita adalah wanita. Apakah engkau pun hendak mengutuk mereka, termasuk ibumu sendiri?"   "Ah..., ah...! Tidak begitu sama sekali! Aku tidak mengutuk wanita, dan tidak semua wanita jahat. Sriti Kencana itu seorang wanita yang hebat. Aku hanya ingin menasihatimu agar engkau jangan terlalu banyak main cinta dengan wanita, Adi Bromo, dan..."     "Sudahlah, Kakang Tejo. Agaknya memang tidak ada kecocokan dalam urusan wanita ini antara engkau dan aku. Sekarang, setelah aku menjelaskan mengapa aku membela ibu-ibu kita, tentu engkau tidak penasaran lagi. Nah, selamat tinggal!"   Bromatmojo sudah melangkah dan berjalan cepat memasuki pintu gerbang Kadipaten Tuban. Akan tetapi Sutejo cepat mengejarnya.   "Eh, Adi Bromo. Benar-benarkah engkau marah sekali kepadaku? Apakah engkau tidak suka memaafkan aku?"   Sambil melangkah terus Bromatmojo hanya mendengus. "Hemmm...!"   "Kita adalah sahabat-sahabat kontan, sahabat-sahabat karib yang sudah mengalami suka duka bersama. Maukah engkau... eh, bolehkah aku menemanimu, Adi Bromo? Tujuan kita juga sama..."   "Asalkan engkau tidak lagi menghina kaum ibu..."   "Tidak, sungguh mati tidak!"   Maka masuklah dua orang muda itu ke kota Tuban di waktu orang-orang telah mulai menyalakan lampu penerangan. Karena dua orang muda itu sudah sejak kecil meninggalkan dunia ramai dan hidup sebagai pertapa di pegunungan, dan baru sekarang mereka melihat kota sebesar kota Tuban yang ramai, keduanya melihat-lihat dengan hati kagum.   Setelah mereka makan di dalam warung, menikmati nasi dan goreng udang yang banyak dijual di kota pelabuhan itu, Bromatmojo lalu mengajak Sutejo untuk mencari tukang menjual warangka (sarung keris).   "Tidak enak membawa pusaka dibungkus begini, kakang. Kita harus membeli sebuah warangka untuk Kolonadah."   Mereka segera mendatangi pedagang warangka dan keris, lalu memilih sebuah warangka yang cukup indah ukirannya karena Bromatmojo menghendaki agar keris pusaka itu memperoleh warangka yang indah.   "Aku ingin segera menyelidiki si keparat Progodigdoyo, Adi Bromo."   "Memang semestinya demikian, aku pun ingin mendengar apa jadinya dengan mbakayumu, akan tetapi kita akan menyelidiki sebuah gedung kadipaten di mana terdapat banyak penjaganya, Kakang. Oleh karena itu, sebaiknya kalau kita mencari rumah penginapan lebih dulu sehingga kalau sampai terjadi apa-apa, kita dapat dengan mudah menyembunyikan diri."     Sutejo mengangguk tanda setuju dan pergilah mereka mencari sebuah rumah penginapan kecil di ujung kota. Mereka menyewa dua buah kamar karena seperti biasa, Bromatmojo ingin tidur menyendiri. Akan tetapi baru saja mereka memasuki kamar masing-masing, Bromatmojo sudah mengetuk pintu kamar Sutejo dan ketika pemuda ini membuka pintunya, Bromatmojo berkata dengan muka tegang. "Kakang Tejo, terjadi suatu hal yang luar biasa. Mari kau lihat di kamarku!"   Sutejo cepat mengikuti Bromatmojo memasuki kamarnya dan di situ Bromatmojo memperlihatkan warangka Kolonadah yang telah menjadi pecah berantakan sehingga keris pusaka itu kelihatan, mencorong mengeluarkan sinar yang panas!   "Eh, apa yang terjadi?" Sutejo bertanya heran.   "Aku sendiri tidak tahu. Begitu memasuki kamar, aku mengeluarkan pusaka ini dan meletakkannya di atas meja. Tiba-tiba terdengar suara membeletak dan kulihat warangka itu telah pecah berantakan."   Sutejo memeriksa warangka itu dan menggelengkan kepalanya. "Warangka itu terbuat dari kayu yang tua dan kuat, sungguh aneh sekali bagaimana bisa pecah seperti ini. Akan tetapi bukankah engkau tadi membeli dua buah warangka?"   "Benar, yang sebuah adalah warangka kayu galih asem yang amat indah ukirannya dan kubeli karena aku suka akan ukirannya."   "Nah, kalau begitu pakai saja itu," kata Sutejo.   Bromatmojo lalu mengeluarkan warangka ke dua yang tadi dimasukkan bungkusan pakaiannya, dan mencabut Kolonadah dari warangka yang sudah pecah-pecah itu dan dimasukkan keris pusaka itu ke dalam warangka galih asem. Akan tetapi, begitu dia meletakkan keris itu di atas meja, terdengar suara membeletak dan ketika mereka memandang, ternyata warangka galih asem yang terukir indah itu pun pecah berantakan!   "Luar biasa...!!" kata Sutejo sambil memandang Kolonadah di atas meja dengan mata terbelalak.   Bromatmojo mengambil keris itu, mengeluarkannya dari warangka yang pecah, lalu membungkusnya dengan kain kuning. Sebagai murid seorang empu yang sakti, ahli pembuat keris pusaka, Bromatmojo mengerti apa yang telah terjadi. "Kakang Tejo, Kolonadah adalah pusaka sakti, maka tentu saja tidak mau bertempat tinggal di warangka biasa saja. Warangka biasa itu tentu saja tidak kuat menahan hawa sakti yang keluar dari pusaka ini. Sebaiknya sekarang kita mencari seorang empu yang sakti di kota ini dan minta dibuatkan sebuah warangka yang cocok."   "Baiklah, Adi Bromo. Sungguh hebat sekali pusaka itu..." kata Sutejo yang masih belum hilang kagum dan kagetnya akan keampuhan pusaka peninggalan Adipati Ronggo Lawe itu.   Setelah mencari keterangan kepada pelayan rumah penginapan, mereka mendengar bahwa di ujung barat kota Tuban terdapat seorang empu tua yang berilmu tinggi. Menurut keterangan itu, empu ini dahulu menjadi empu di Mojopahit dan kini telah mengundurkan diri, kembali kepada tempat asalnya, yaitu di Tuban dan di Tuban hanya melayani pesanan-pesanan yang penting saja, dengan bantuan dua orang cantriknya.     Kedua orang muda itu lalu berangkat malam itu juga, menuju ke rumah Empu Singkir, demikian nama empu terkenal dan sudah tua itu. Ketika mereka tiba di depan rumah sederhana itu mereka sudah mendengar berdentingnya baja digembleng, suaranya perlahan namun melenting nyaring tanda bahwa yang digemleng adalah baja murni yang baik.   Seorang cantrik menerima kedatangan mereka dan ketika Bromatmojo menyatakan bahwa dia datang untuk mohon pertolongan Empu Singkir untuk memilihkan atau membuatkan sebuah warangka untuk keris pusakanya, cantrik itu lalu mempersilakan mereka menanti di ruangan depan dan melaporkan kepada Empu Singkir yang sedang bekerja.   Suara baja digembleng itu terhenti dan tak lama kemudian muncullah seorang kakek yang sudah tua sekali, sedikitnya delapan puluh tahun usianya, kurus kering dan berpakaian sederhana dan jalannya sudah terbongkok-bongkok. Sutejo dan Bromatmojo cepat bangun berdiri dan memberi hormat kepada kakek ini.   "Siapakah andika berdua, Raden?" tanya kakek itu dengan suara yang sudah gemetar.   "Saya bernama Bromatmojo dan sahabatku ini bernama Sutejo, Eyang."   "Uh-hu-huh... andika berdua adalah orang-orang muda yang gemblengan, dapat saya lihat dari sikap dan pandang mata kalian. Akan tetapi, menurut laporan cantrik, andika datang untuk dibuatkan warangka? Sungguh aneh sekali, biasanya orang datang untuk memesan, curigo (keris), bukan warangka! Warangka hanyalah wadah dan merupakan hiasan belaka, angger, dan yang terpenting adalah isinya, yaitu kerisnya. Mengapa andika hanya memesan warangkanya saja?"   Sebagai murid Empu Supamandrangi yang sakti, Bromatmojo cepat dapat menangkap arti kata-kata yang tidak begitu dimengerti oleh Sutejo itu, dan menjawablah pemuda Bromo itu, "Maaf, Eyang. Sungguh pun apa yang Eyang katakan itu benar, akan tetapi warangka tidaklah kalah pentingnya dengan curigo, karena tanpa warangka, curigo tidaklah lengkap, bahkan tidak berwujud dan tidak kelihatan. Karena itu, betapa pun baiknya curigo, tanpa mempunyai warangka yang indah dan kuat, berarti tidak sempurna. Tentu saja sebaliknya pun demikian, betapa pun indah dan kuatnya warangka, tanpa curigo, juga tidak ada artinya dan hanya merupakan kemewahan yang sia-sia. Bukankah demikian, Eyang?"   "Hu-hu-huh... wawasanmu memang tajam dan tepat, Angger. Dan karena andika bernama Bromatmojo, agaknya datang dari Bromo dan..."   "Terus terang saja, saya adalah murid dari eyang guru Empu Supamandrangi."   Sepasang mata tua itu memandang terbelalak, kemudian dia membungkuk penuh hormat. "Jagad Dewa Bathara..., sungguh mata tua ini sudah lamur... maafkan saya, Raden. Kiranya saya berhadapan dengan murid seorang yang sakti mandraguna... ahh, sungguh merupakan kehormatan besar bagi saya kalau andika sudi minta bantuan seorang bodoh seperti saya. Andika tadi katanya memesan warangka. Untuk apakah, Raden Bromatmojo?"   Untuk sebuah pusaka, Eyang. Pusakaku itu demikian ampuhnya sehingga sudah dua buah warangka pecah berantakan olehnya."   "Bolehkah saya melihat pusaka yang ampuh itu, Raden?"   "Silakan, Eyang." Bromatmojo mengeluarkan bungkusan kain kuning dan menyerahkannya kepada Empu Singkir. Dengan jari-jari tangannya yang lentik panjang dan halus, tangan seorang seniman, Empu Singkir membuka bungkusan itu dan memeriksa gagang keris pusaka Kolonadah. Matanya terbelalak lebar.   "Kolonadah...?" Dia berteriak, keras sekali teriakannya dan Bromatmojo cepat merampas kembali keris pusakanya karena tiba-tiba dia mendengar suara gaduh dari balik pintu ruangan.   (Bersambung ke Jilid 33)   Jilid 33   Empu Singkir yang tua renta itu kini tiba-tiba meloncat ke belakang dan dari balik pintu muncullah seorang kakek tinggi besar yang mukanya brewok penuh cambang bauk, sikapnya gagah bukan main dan biar pun usianya tentu sudah tujuh puluh tahunan, namun dia masih kelihatan gagah perkasa menyeramkan, dengan pakaiannya serba hitam dan ikat kepala yang hitam pula.   "Dia... dia membawa Kolonadah!" teriak pula Empu Singkir sambil menudingkan telunjuknya kepada Bromatmojo. Mendengar ini, kakek berpakaian hitam itu menerjang ke depan dan berkata kepada Bromatmojo.   "Serahkan Kolonadah kepadaku!" bentakan ini dibarengi dengan uluran tangan hendak merampas keris pusaka yang sudah dipegang oleh Bromatmojo, namun pemuda ini dengan mudah mengelak dan membungkus keris pusaka itu, menyelipkan di pinggangnya kemudian dia menghadapi serangan kakek tinggi besar yang ternyata memiliki gerakan cepat dan pukulan ampuh yang mendatangkan angin besar itu.   Ketika Sutejo hendak membantu sahabatnya, Empu Singkir bersama dua orang cantriknya sudah menyerang dan mengeroyoknya sehingga terjadilah pertempuran hebat di dalam ruangan depan yang cukup luas itu. Sutejo tidak tega untuk sembarangan melukai empu tua dan dua orang cantriknya itu, maka dia hanya bersikap mempertahankan diri, mengelak dan menangkis. Akan tetapi tidak demikian dengan Bromatmojo. Melihat kakek raksasa itu bertekad untuk merampas Kolonadah, maka dia menyangka buruk dan dia mengerahkan tenaga pada setiap tangkisannya dan beberapa kali kakek raksasa itu terhuyung dan berseru kaget. Ketika melihat bahwa pemuda tampan itu ternyata sakti dan kuat sekali, kakek itu melolos ikat kepalanya yang hitam dan dengan seruan menggeledek dia menggerakkan ikat kepala itu melecut. Angin menyambar dan Bromatmojo terkejut bukan main karena merasa betapa ikat kepala itu menyambar dengan kekuatan dahsyat. Namun, tentu saja dia tidak takut, bahkan mengangkat tangan kirinya menangkis.   "Plakk! Brettt...!" Ikat kepala itu tertangkis tangan Bromatmojo, membalik, akan tetapi ujungnya tadi masih menyambar melalui tangan Bromatmojo dan mengenai leher baju orang muda itu sehingga leher bajunya terkoyak dan nampaklah kalung yang selalu dipakainya. Karena tidak tertutup leher baju, kalung itu terjuntai keluar.     "Eh... Kundolo Mirah...??" Kakek berpakaian hitam itu berteriak sambil melompat mundur. "Tahan dulu...! Hentikan pertempuran...!!"   Bromatmojo memandang tajam dan Empu Singkir bersama dua orang cantriknya yang kewalahan menghadapi Sutejo, kini juga mundur. Napas empu itu empas-empis seperti ikan berada di darat.   "Memang ini Kundolo Mirah. Habis mengapa?" tanya Bromatmojo sambil memandang kakek raksasa itu dengan sikap menantang. "Dan memang keris ini pusaka Kolonadah. Apakah kalian masih hendak merampasnya?"   Kakek raksasa itu memandang dengan mata terbelalak. "Engkau... engkau siapakah...? Dari mana engkau memperoleh Kolonadah dan Kundolo Mirah?"   Bromatmojo memandang tajam dan kini dia teringat bahwa dia pernah bertemu dengan kakek ini. Dia mengingat-ingat dan tiba-tiba teringatlah dia ketika sembilan tahun yang lalu dia hendak disiksa oleh Reksosuro dan Darumuko, dia ditolong oleh seorang kakek berpakaian hitam, kakek raksasa yang bernama Ki Ageng Palandongan! Inilah dia kakek itu! Akan tetapi, Bromatmojo segera teringat bahwa dia tidak mungkin mengaku kepada kakek ini, bahwa dia adalah anak perempuan sembilan tahun yang lalu itu, maka dia lalu berkata, "Harap andika ketahui bahwa saya Bromatmojo adalah murid eyang guru Empu Supamandrangi, dan bahwa atas perintah Empu Supamandrangi maka saya mengambil keris pusaka Kolonadah ini."   "Ehh..., tapi... tapi Kundolo Mirah itu...?"   "Ini?" Bromatmojo memegang mainan kalungnya dan memasukkannya kembali ke balik bajunya. "Kundolo Mirah ini adalah hadiah yang saya terima dari...eyang guru.." Dia terpaksa membohong.   "Serupa benar dengan milik mantuku, mendiang Adipati Ronggo Lawe!" kata Ki Ageng Palandongan.   "Tentu saja," kata Bromatmojo cerdik. "Bukankah mendiang Adipati Ronggo Lawe adalah murid dari eyang guru Empu Supamandrangi?"   Sementara itu, mendengar ucapan kakek raksasa itu, Sutejo menjadi terkejut. "Jadi paduka adalah ayah mertua mendiang Adipati Ronggo Lawe?"   "Benar. Aku bernama Ki Ageng Palandongan, dan aku sering kali datang ke Tuban untuk menyelidiki hilangnya Kolonadah, pusaka milik mendiang Adipati Ronggo Lawe. Memang pusaka itu adalah ciptaan gurunya, yaitu Paman Empu Supamandrangi dan setelah kini Paman Empu sendiri mengutus muridnya dan telah berhasil mendapatkan kembali pusaka itu, hatiku merasa lega. Harap andika berdua suka memaafkan kelancangan seorang tua. Ketika aku mendengar teriakan sahabatku, Empu Singkir bahwa ada orang datang membawa Kolonadah, tentu saja aku menjadi terkejut dan menyangka buruk kepada andika berdua."   "Tidak mengapalah, Paman Ki Ageng Palandongan. Sudah biasa di antara orang-orang gagah bahwa setelah bertanding baru saling berkenalan. Dan memang agaknya sudah ditakdirkan bahwa antara kita akan terjadi pertemuan dan perkenalan. Sahabatku ini bernama Sutejo."     "Bukan main, sungguh andika memiliki kesaktian yang hebat, Raden Sutejo. Aku dengan bantuan dua orang cantrikku sama sekali tidak berdaya menghadapi kedigdayaanmu." Empu Singkir memuji sambil memandang kepada Sutejo dengan sinar mata kagum.   "Tentu saja, Eyang Empu, sahabatku ini adalah murid dari Panembahan Ciptaning di lereng Gunung Kawi," kata Bromatmojo yang merasa bangga akan kesaktian sahabatnya.   "Ahhh...!" seru Empu Singkir.   "Ohhh...!!" Ki Ageng Palandongan juga berseru kaget karena tentu saja dia mengenal nama Panembahan Ciptaning yang sakti mandraguna itu. "Kiranya andika berdua adalah murid orang-orang sakti dan tentu kedatangan andika berdua di Tuban mempunyai maksud tujuan yang penting."   Bromatmojo melirik ke arah Sutejo yang mengerutkan alis, lalu berkata, "Pertama-tama, kami merasa pusing karena sukar sekali mencarikan warangka untuk keris pusaka Kolonadah, maka kami sengaja datang minta bantuan Eyang Empu Singkir."   Empu yang tua itu tersenyum. "Tidaklah mudah mencarikan warangka yang tepat bagi sebuah keris pusaka seampuh Kolonadah. Saya tahu akan sifat keris pusaka seperti ini, yang mengandung hawa panas sekali. Pusaka ini harus sebuah warangka yang dingin, yang dibuat oleh tangan seorang perawan dan untuk membuat warangka yang baik, tentu saja gadis itu haruslah mempunyai kesaktian."   Mendengar ini, Bromatmojo menjadi bingung. Tentu saja dia sendiri memenuhi syarat untuk membuatkan warangka itu, akan tetapi hal ini akan berarti membuka rahasianya. Maka dia lalu berkata, "Kalau begitu, saya menyerahkan pembuatan warangka itu kepada Eyang. Dan urusan ke dua dari kami yang amat penting adalah urusan sahabatku, Kakang Sutejo ini."   Sutejo yang memang ingin menyelidiki keadaan mbakayunya, tidak menghendaki urusannya itu diceritakan oleh Bromatmojo kepada orang-orang lain, maka dia lalu berkata, "Saya mempunyai urusan pribadi dengan Progodigdoyo dan malam ini juga saya harus menyelidiki tempat tinggalnya."   Mendengar ini, baik Empu Singkir maupun Ki Ageng Palandongan memandang tajam penuh selidik, dan kening kakek raksasa berpakaian hitam itu berkerut khawatir. "Raden, amatlah berbahaya untuk menyelidiki keadaan kabupaten. Selain sang Bupati memiliki kepandaian tinggi, juga pembantu-pembantunya adalah orang-orang sakti. Harap saja andika berdua bersikap hati-hati sekali kalau hendak melakukan penyelidikan."   "Saya tahu orang macam apa adanya Progodigdoyo, Paman. Adi Bromo, aku ingin pergi sekarang juga," katanya kemudian kepada Bromatmojo.   "Tunggu sebentar Kakang Tejo," kata Bromatmojo yang kemudian menyerahkan keris pusaka Kolonadah yang terbungkus kain kuning itu kepada Empu Singkir sambil berkata, "Eyang Empu, saya titipkan pusaka ini agar Eyang buatkan warangkanya. Tidak enak membawa-bawa pusaka ampuh ini tanpa warangka."   "Baiklah, Raden. Akan saya usahakan mencarikan orang yang akan membantu kita membuatkan warangka itu," jawab Sang Empu sambil menerima bungkusan kuning itu dengan kedua tangan gemetar. Pusaka ampuh ini selama bertahun-tahun menimbulkan keributan karena banyak sekali orang ingin memperebutkannya, dan kini secara tidak terduga sama sekali, pusaka itu berada di tangannya.     Setelah menyerahkan pusaka dan berpamit dari Empu Singkir dan Ki Ageng Palandongan, dua orang muda itu meninggalkan rumah kecil itu dan menyelinap di dalam kegelapan malam hendak menyelidiki istana Kabupaten Tuban. Malam itu gelap karena langit tertutup mendung, dan kalau ada yang kebetulan melihatnya, tentu orang itu akan menjadi ketakutan dan menyangka setan berkeliaran ketika dua orang muda ini mempergunakan aji kesaktian mereka untuk bergerak cepat sekali melalui jalan yang sunyi menuju ke bangunan-bangunan rumah besar berkelompok di sebelah dalam lingkungan tembok kabupaten yang tebal dan tinggi.   "Adi Bromo kenapa engkau begitu sembrono meninnggalkan Kolonadah kepada mereka? Kita baru saja mengenal mereka dan tidak tahu apakah mereka dapat dipercaya..."   "Jangan khawatir, Kakang Tejo," jawab Bromatmojo yang kini mengerti mengapa tadi sahabatnya itu kelihatan tidak senang melihat dia menyerahkan keris pusaka kepada empu itu. "Aku percaya penuh kepada Ki Ageng Palandongan."   "Akan tetapi, baru saja kita mengenalnya, dan hanya karena pengakuannya saja kita tahu bahwa dia adalah mertua dari mendiang Adipati Ronggo Lawe."   Bromatmojo menggeleng kepala. "Percayalah, Kakang Tejo. Dia benar Ki Ageng Palandongan yang gagah perkasa dan kita boleh percaya sepenuhnya kepada orang tua itu. Dahulu aku pernah bertemu dengan dia, hanya dia yang lupa kepadaku."   "Ah, begitukah?" Hati Sutejo menjadi lega karena memang tadi dia tidak senang melihat keris pusaka itu diberikan kepada Empu Singkir, hal yang dianggapnya amat sembrono. Kini mereka tidak bercakap-cakap lagi dan melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Kabupaten Tuban.   "Maling...! Maling...!!"   "Kepung...! Tangkap...!"   Bromatmojo dan Sutejo terkejut bukan main. Mereka sudah bergerak dengan hati-hati sekali, berhasil melompati pagar tembok dan melalui tempat penjagaan para pengawal tanpa ada yang melihatnya. Mereka telah meloncat ke atas atap dan bergerak perlahan, hati-hati tidak menimbulkan suara ketika mereka mulai menyelidiki keadaan rumah-rumah gedung di kabupaten itu. Akan tetapi, ketika mereka melompat turun ke bagian samping rumah-rumah besar itu, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan itu dan dari mana-mana bermunculan pengawal-pengawal yang mengepung dan menerjang mereka!   Dari kepungan itu muncul empat orang pengawal yang bertubuh tinggi besar dan langsung mereka itu menerjang kepada Bromatmojo dan Sutejo. Ketika dua orang muda ini mengelak dan menangkis dua orang penyerang masing-masing, mereka terkejut karena ternyata empat orang itu memiliki tenaga yang cukup kuat dan gerakan yang tangkas. Benarlah cerita Ki Ageng Palandongan bahwa Kabupaten Tuban memiliki orang-orang pandai. Akan tetapi tentu saja Bromatmojo dan Sutejo tidak merasa takut. Mereka berdua mengeluarkan aji kesaktian mereka dan begitu mereka balas menyerang, biar pun empat orang itu sudah berusaha menghindar, tetap saja mereka berempat terlempar ke kanan kiri!   "Serbu! Keroyok!"     Lebih dari dua puluh orang pengawal kini maju menyerbu dan makin lama makin banyak juga berdatangan perajurit-perajurit yang menjaga di luar. Sutejo dan Bromatmojo merobohkan beberapa orang dan selagi mereka hendak mencari jalan keluar, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan ada angin pukulan itu dilakukan oleh seorang kakek yang berpakaian pendeta. Pendeta itu usianya sudah enam puluh lima tahun lebih, akan tetapi kelihatan masih gagah, dengan kumis dan jenggot terpelihara baik-baik, dengan pandang matanya yang amat tajam dan ketika tangannya yang terbuka itu menghantam, ada angin pukulan dahsyat sekali dan terasa panas oleh Bromatmojo!   "Heiiitt...!" Bromatmojo membentak dan menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.   "Desss...!" Bromatmojo terpental ke belakang dan kakek pendeta itu berseru kaget karena sama sekali tidak disangkanya bahwa seorang di antara "maling-maling" itu memiliki tenaga sedemikian kuatnya sehingga bukan saja mampu menangkis pukulannya, juga dia merasa betapa lengannya tergetar!   Sementara itu, ketika Sutejo melihat betapa Bromatmojo terpental, dia terkejut. Kiranya ada pendeta yang begini sakti di tempat ini, pikirnya dan dia pun lalu berteriak nyaring, tubuhnya mencelat ke arah pendeta itu sambil menampar untuk mencegah pendeta itu mendesak Bromatmojo.   Pendeta itu bukan lain adalah Resi Harimurti, sahabat dari mendiang Empu Tunjungpetak. Seperti kita ketahui, Resi Harimurti menjadi pembantu dari Resi Mahapati dan karena ini maka dia menjadi sahabat dari Bupati Progodigdoyo pula dan keduanya merupakan rekan-rekan yang dipengaruhi oleh Resi Mahapati. Sering sekali Resi Harimurti berkunjung ke Tuban dan menjadi tamu kehormatan, bahkan untuk memikat hati pendeta cabul yang memiliki kesaktian hebat ini, Progodigdoyo biasa memberi "hidangan" berupa wanita-wanita cantik kepada Resi Harimurti sehingga resi ini menganggap Tuban sebagai tempat pelesir dan bersenang-senang.   Ketika Resi Harimurti merasa ada hawa pukulan menyambar dan melihat "maling" ke dua menyerangnya dengan gerakan yang demikian tangkasnya, dia pun menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.   "Desss...!!"   "Ehhh...??!" Resi Harimurti kini makin terkejut karena hampir saja dia terjengkang ketika bertemu tangan dengan pemuda itu, yang ternyata jauh lebih kuat daripada pemuda pertama sehingga dalam pertemuan tenaga itu dia sampai terhuyung dan hampir terjengkang!   Marahlah Resi Harimurti dan begitu tangannya bergerak, dia telah mengeluarkan kipas bambu dan pecutnya.   "Tar-tar-tarrrr...!" Pecut itu meledak-ledak di udara, akan tetapi Sutejo yang tahu bahwa keadaan di situ amat berbahaya bagi dia dan sahabatnya, sudah menarik tangan Bromatmojo dan diajaknya ke atas wuwungan!   "Kita harus pergi, Adi Bromo!" bisik Sutejo.   "He, maling-maling hina! Kalian mau lari ke mana?" Resi Harimurti membentak sambil melompat pula ke atas wuwungan, mengejar.Lebih dari dua puluh orang pengawal kini maju menyerbu dan makin lama makin banyak juga berdatangan perajurit-perajurit yang menjaga di luar. Sutejo dan Bromatmojo merobohkan beberapa orang dan selagi mereka hendak mencari jalan keluar, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan ada angin pukulan itu dilakukan oleh seorang kakek yang berpakaian pendeta. Pendeta itu usianya sudah enam puluh lima tahun lebih, akan tetapi kelihatan masih gagah, dengan kumis dan jenggot terpelihara baik-baik, dengan pandang matanya yang amat tajam dan ketika tangannya yang terbuka itu menghantam, ada angin pukulan dahsyat sekali dan terasa panas oleh Bromatmojo!   "Heiiitt...!" Bromatmojo membentak dan menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.   "Desss...!" Bromatmojo terpental ke belakang dan kakek pendeta itu berseru kaget karena sama sekali tidak disangkanya bahwa seorang di antara "maling-maling" itu memiliki tenaga sedemikian kuatnya sehingga bukan saja mampu menangkis pukulannya, juga dia merasa betapa lengannya tergetar!   Sementara itu, ketika Sutejo melihat betapa Bromatmojo terpental, dia terkejut. Kiranya ada pendeta yang begini sakti di tempat ini, pikirnya dan dia pun lalu berteriak nyaring, tubuhnya mencelat ke arah pendeta itu sambil menampar untuk mencegah pendeta itu mendesak Bromatmojo.   Pendeta itu bukan lain adalah Resi Harimurti, sahabat dari mendiang Empu Tunjungpetak. Seperti kita ketahui, Resi Harimurti menjadi pembantu dari Resi Mahapati dan karena ini maka dia menjadi sahabat dari Bupati Progodigdoyo pula dan keduanya merupakan rekan-rekan yang dipengaruhi oleh Resi Mahapati. Sering sekali Resi Harimurti berkunjung ke Tuban dan menjadi tamu kehormatan, bahkan untuk memikat hati pendeta cabul yang memiliki kesaktian hebat ini, Progodigdoyo biasa memberi "hidangan" berupa wanita-wanita cantik kepada Resi Harimurti sehingga resi ini menganggap Tuban sebagai tempat pelesir dan bersenang-senang.   Ketika Resi Harimurti merasa ada hawa pukulan menyambar dan melihat "maling" ke dua menyerangnya dengan gerakan yang demikian tangkasnya, dia pun menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.   "Desss...!!"   "Ehhh...??!" Resi Harimurti kini makin terkejut karena hampir saja dia terjengkang ketika bertemu tangan dengan pemuda itu, yang ternyata jauh lebih kuat daripada pemuda pertama sehingga dalam pertemuan tenaga itu dia sampai terhuyung dan hampir terjengkang!   Marahlah Resi Harimurti dan begitu tangannya bergerak, dia telah mengeluarkan kipas bambu dan pecutnya.   "Tar-tar-tarrrr...!" Pecut itu meledak-ledak di udara, akan tetapi Sutejo yang tahu bahwa keadaan di situ amat berbahaya bagi dia dan sahabatnya, sudah menarik tangan Bromatmojo dan diajaknya ke atas wuwungan!   "Kita harus pergi, Adi Bromo!" bisik Sutejo.   "He, maling-maling hina! Kalian mau lari ke mana?" Resi Harimurti membentak sambil melompat pula ke atas wuwungan, mengejar.Lebih dari dua puluh orang pengawal kini maju menyerbu dan makin lama makin banyak juga berdatangan perajurit-perajurit yang menjaga di luar. Sutejo dan Bromatmojo merobohkan beberapa orang dan selagi mereka hendak mencari jalan keluar, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan ada angin pukulan itu dilakukan oleh seorang kakek yang berpakaian pendeta. Pendeta itu usianya sudah enam puluh lima tahun lebih, akan tetapi kelihatan masih gagah, dengan kumis dan jenggot terpelihara baik-baik, dengan pandang matanya yang amat tajam dan ketika tangannya yang terbuka itu menghantam, ada angin pukulan dahsyat sekali dan terasa panas oleh Bromatmojo!   "Heiiitt...!" Bromatmojo membentak dan menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.   "Desss...!" Bromatmojo terpental ke belakang dan kakek pendeta itu berseru kaget karena sama sekali tidak disangkanya bahwa seorang di antara "maling-maling" itu memiliki tenaga sedemikian kuatnya sehingga bukan saja mampu menangkis pukulannya, juga dia merasa betapa lengannya tergetar!   Sementara itu, ketika Sutejo melihat betapa Bromatmojo terpental, dia terkejut. Kiranya ada pendeta yang begini sakti di tempat ini, pikirnya dan dia pun lalu berteriak nyaring, tubuhnya mencelat ke arah pendeta itu sambil menampar untuk mencegah pendeta itu mendesak Bromatmojo.   Pendeta itu bukan lain adalah Resi Harimurti, sahabat dari mendiang Empu Tunjungpetak. Seperti kita ketahui, Resi Harimurti menjadi pembantu dari Resi Mahapati dan karena ini maka dia menjadi sahabat dari Bupati Progodigdoyo pula dan keduanya merupakan rekan-rekan yang dipengaruhi oleh Resi Mahapati. Sering sekali Resi Harimurti berkunjung ke Tuban dan menjadi tamu kehormatan, bahkan untuk memikat hati pendeta cabul yang memiliki kesaktian hebat ini, Progodigdoyo biasa memberi "hidangan" berupa wanita-wanita cantik kepada Resi Harimurti sehingga resi ini menganggap Tuban sebagai tempat pelesir dan bersenang-senang.   Ketika Resi Harimurti merasa ada hawa pukulan menyambar dan melihat "maling" ke dua menyerangnya dengan gerakan yang demikian tangkasnya, dia pun menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.   "Desss...!!"   "Ehhh...??!" Resi Harimurti kini makin terkejut karena hampir saja dia terjengkang ketika bertemu tangan dengan pemuda itu, yang ternyata jauh lebih kuat daripada pemuda pertama sehingga dalam pertemuan tenaga itu dia sampai terhuyung dan hampir terjengkang!   Marahlah Resi Harimurti dan begitu tangannya bergerak, dia telah mengeluarkan kipas bambu dan pecutnya.   "Tar-tar-tarrrr...!" Pecut itu meledak-ledak di udara, akan tetapi Sutejo yang tahu bahwa keadaan di situ amat berbahaya bagi dia dan sahabatnya, sudah menarik tangan Bromatmojo dan diajaknya ke atas wuwungan!   "Kita harus pergi, Adi Bromo!" bisik Sutejo.   "He, maling-maling hina! Kalian mau lari ke mana?" Resi Harimurti membentak sambil melompat pula ke atas wuwungan, mengejar.Lebih dari dua puluh orang pengawal kini maju menyerbu dan makin lama makin banyak juga berdatangan perajurit-perajurit yang menjaga di luar. Sutejo dan Bromatmojo merobohkan beberapa orang dan selagi mereka hendak mencari jalan keluar, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan ada angin pukulan itu dilakukan oleh seorang kakek yang berpakaian pendeta. Pendeta itu usianya sudah enam puluh lima tahun lebih, akan tetapi kelihatan masih gagah, dengan kumis dan jenggot terpelihara baik-baik, dengan pandang matanya yang amat tajam dan ketika tangannya yang terbuka itu menghantam, ada angin pukulan dahsyat sekali dan terasa panas oleh Bromatmojo!   "Heiiitt...!" Bromatmojo membentak dan menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.   "Desss...!" Bromatmojo terpental ke belakang dan kakek pendeta itu berseru kaget karena sama sekali tidak disangkanya bahwa seorang di antara "maling-maling" itu memiliki tenaga sedemikian kuatnya sehingga bukan saja mampu menangkis pukulannya, juga dia merasa betapa lengannya tergetar!   Sementara itu, ketika Sutejo melihat betapa Bromatmojo terpental, dia terkejut. Kiranya ada pendeta yang begini sakti di tempat ini, pikirnya dan dia pun lalu berteriak nyaring, tubuhnya mencelat ke arah pendeta itu sambil menampar untuk mencegah pendeta itu mendesak Bromatmojo.   Pendeta itu bukan lain adalah Resi Harimurti, sahabat dari mendiang Empu Tunjungpetak. Seperti kita ketahui, Resi Harimurti menjadi pembantu dari Resi Mahapati dan karena ini maka dia menjadi sahabat dari Bupati Progodigdoyo pula dan keduanya merupakan rekan-rekan yang dipengaruhi oleh Resi Mahapati. Sering sekali Resi Harimurti berkunjung ke Tuban dan menjadi tamu kehormatan, bahkan untuk memikat hati pendeta cabul yang memiliki kesaktian hebat ini, Progodigdoyo biasa memberi "hidangan" berupa wanita-wanita cantik kepada Resi Harimurti sehingga resi ini menganggap Tuban sebagai tempat pelesir dan bersenang-senang.   (Bersambung ke Jilid 34)   Jilid 34   Ketika Resi Harimurti merasa ada hawa pukulan menyambar dan melihat "maling" ke dua menyerangnya dengan gerakan yang demikian tangkasnya, dia pun menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.   "Desss...!!"   "Ehhh...??!" Resi Harimurti kini makin terkejut karena hampir saja dia terjengkang ketika bertemu tangan dengan pemuda itu, yang ternyata jauh lebih kuat daripada pemuda pertama sehingga dalam pertemuan tenaga itu dia sampai terhuyung dan hampir terjengkang!   Marahlah Resi Harimurti dan begitu tangannya bergerak, dia telah mengeluarkan kipas bambu dan pecutnya.   "Tar-tar-tarrrr...!" Pecut itu meledak-ledak di udara, akan tetapi Sutejo yang tahu bahwa keadaan di situ amat berbahaya bagi dia dan sahabatnya, sudah menarik tangan Bromatmojo dan diajaknya ke atas wuwungan!   "Kita harus pergi, Adi Bromo!" bisik Sutejo.   "He, maling-maling hina! Kalian mau lari ke mana?" Resi Harimurti membentak sambil melompat pula ke atas wuwungan, mengejar.Lebih dari dua puluh orang pengawal kini maju menyerbu dan makin lama makin banyak juga berdatangan perajurit-perajurit yang menjaga di luar. Sutejo dan Bromatmojo merobohkan beberapa orang dan selagi mereka hendak mencari jalan keluar, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan ada angin pukulan itu dilakukan oleh seorang kakek yang berpakaian pendeta. Pendeta itu usianya sudah enam puluh lima tahun lebih, akan tetapi kelihatan masih gagah, dengan kumis dan jenggot terpelihara baik-baik, dengan pandang matanya yang amat tajam dan ketika tangannya yang terbuka itu menghantam, ada angin pukulan dahsyat sekali dan terasa panas oleh Bromatmojo!   "Heiiitt...!" Bromatmojo membentak dan menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.   "Desss...!" Bromatmojo terpental ke belakang dan kakek pendeta itu berseru kaget karena sama sekali tidak disangkanya bahwa seorang di antara "maling-maling" itu memiliki tenaga sedemikian kuatnya sehingga bukan saja mampu menangkis pukulannya, juga dia merasa betapa lengannya tergetar!   Sementara itu, ketika Sutejo melihat betapa Bromatmojo terpental, dia terkejut. Kiranya ada pendeta yang begini sakti di tempat ini, pikirnya dan dia pun lalu berteriak nyaring, tubuhnya mencelat ke arah pendeta itu sambil menampar untuk mencegah pendeta itu mendesak Bromatmojo.   Pendeta itu bukan lain adalah Resi Harimurti, sahabat dari mendiang Empu Tunjungpetak. Seperti kita ketahui, Resi Harimurti menjadi pembantu dari Resi Mahapati dan karena ini maka dia menjadi sahabat dari Bupati Progodigdoyo pula dan keduanya merupakan rekan-rekan yang dipengaruhi oleh Resi Mahapati. Sering sekali Resi Harimurti berkunjung ke Tuban dan menjadi tamu kehormatan, bahkan untuk memikat hati pendeta cabul yang memiliki kesaktian hebat ini, Progodigdoyo biasa memberi "hidangan" berupa wanita-wanita cantik kepada Resi Harimurti sehingga resi ini menganggap Tuban sebagai tempat pelesir dan bersenang-senang.   Ketika Resi Harimurti merasa ada hawa pukulan menyambar dan melihat "maling" ke dua menyerangnya dengan gerakan yang demikian tangkasnya, dia pun menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.   "Desss...!!"   "Ehhh...??!" Resi Harimurti kini makin terkejut karena hampir saja dia terjengkang ketika bertemu tangan dengan pemuda itu, yang ternyata jauh lebih kuat daripada pemuda pertama sehingga dalam pertemuan tenaga itu dia sampai terhuyung dan hampir terjengkang!   Marahlah Resi Harimurti dan begitu tangannya bergerak, dia telah mengeluarkan kipas bambu dan pecutnya.   "Tar-tar-tarrrr...!" Pecut itu meledak-ledak di udara, akan tetapi Sutejo yang tahu bahwa keadaan di situ amat berbahaya bagi dia dan sahabatnya, sudah menarik tangan Bromatmojo dan diajaknya ke atas wuwungan!   "Kita harus pergi, Adi Bromo!" bisik Sutejo.   "He, maling-maling hina! Kalian mau lari ke mana?" Resi Harimurti membentak sambil melompat pula ke atas wuwungan, mengejar.Lebih dari dua puluh orang pengawal kini maju menyerbu dan makin lama makin banyak juga berdatangan perajurit-perajurit yang menjaga di luar. Sutejo dan Bromatmojo merobohkan beberapa orang dan selagi mereka hendak mencari jalan keluar, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan ada angin pukulan itu dilakukan oleh seorang kakek yang berpakaian pendeta. Pendeta itu usianya sudah enam puluh lima tahun lebih, akan tetapi kelihatan masih gagah, dengan kumis dan jenggot terpelihara baik-baik, dengan pandang matanya yang amat tajam dan ketika tangannya yang terbuka itu menghantam, ada angin pukulan dahsyat sekali dan terasa panas oleh Bromatmojo!   "Heiiitt...!" Bromatmojo membentak dan menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.   "Desss...!" Bromatmojo terpental ke belakang dan kakek pendeta itu berseru kaget karena sama sekali tidak disangkanya bahwa seorang di antara "maling-maling" itu memiliki tenaga sedemikian kuatnya sehingga bukan saja mampu menangkis pukulannya, juga dia merasa betapa lengannya tergetar!   Sementara itu, ketika Sutejo melihat betapa Bromatmojo terpental, dia terkejut. Kiranya ada pendeta yang begini sakti di tempat ini, pikirnya dan dia pun lalu berteriak nyaring, tubuhnya mencelat ke arah pendeta itu sambil menampar untuk mencegah pendeta itu mendesak Bromatmojo.   Pendeta itu bukan lain adalah Resi Harimurti, sahabat dari mendiang Empu Tunjungpetak. Seperti kita ketahui, Resi Harimurti menjadi pembantu dari Resi Mahapati dan karena ini maka dia menjadi sahabat dari Bupati Progodigdoyo pula dan keduanya merupakan rekan-rekan yang dipengaruhi oleh Resi Mahapati. Sering sekali Resi Harimurti berkunjung ke Tuban dan menjadi tamu kehormatan, bahkan untuk memikat hati pendeta cabul yang memiliki kesaktian hebat ini, Progodigdoyo biasa memberi "hidangan" berupa wanita-wanita cantik kepada Resi Harimurti sehingga resi ini menganggap Tuban sebagai tempat pelesir dan bersenang-senang.   Ketika Resi Harimurti merasa ada hawa pukulan menyambar dan melihat "maling" ke dua menyerangnya dengan gerakan yang demikian tangkasnya, dia pun menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.   "Desss...!!"   "Ehhh...??!" Resi Harimurti kini makin terkejut karena hampir saja dia terjengkang ketika bertemu tangan dengan pemuda itu, yang ternyata jauh lebih kuat daripada pemuda pertama sehingga dalam pertemuan tenaga itu dia sampai terhuyung dan hampir terjengkang!   Marahlah Resi Harimurti dan begitu tangannya bergerak, dia telah mengeluarkan kipas bambu dan pecutnya.   "Tar-tar-tarrrr...!" Pecut itu meledak-ledak di udara, akan tetapi Sutejo yang tahu bahwa keadaan di situ amat berbahaya bagi dia dan sahabatnya, sudah menarik tangan Bromatmojo dan diajaknya ke atas wuwungan!   "Kita harus pergi, Adi Bromo!" bisik Sutejo.   "He, maling-maling hina! Kalian mau lari ke mana?" Resi Harimurti membentak sambil melompat pula ke atas wuwungan, mengejar.Lebih dari dua puluh orang pengawal kini maju menyerbu dan makin lama makin banyak juga berdatangan perajurit-perajurit yang menjaga di luar. Sutejo dan Bromatmojo merobohkan beberapa orang dan selagi mereka hendak mencari jalan keluar, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan ada angin pukulan itu dilakukan oleh seorang kakek yang berpakaian pendeta. Pendeta itu usianya sudah enam puluh lima tahun lebih, akan tetapi kelihatan masih gagah, dengan kumis dan jenggot terpelihara baik-baik, dengan pandang matanya yang amat tajam dan ketika tangannya yang terbuka itu menghantam, ada angin pukulan dahsyat sekali dan terasa panas oleh Bromatmojo!   "Heiiitt...!" Bromatmojo membentak dan menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.   "Desss...!" Bromatmojo terpental ke belakang dan kakek pendeta itu berseru kaget karena sama sekali tidak disangkanya bahwa seorang di antara "maling-maling" itu memiliki tenaga sedemikian kuatnya sehingga bukan saja mampu menangkis pukulannya, juga dia merasa betapa lengannya tergetar!   Sementara itu, ketika Sutejo melihat betapa Bromatmojo terpental, dia terkejut. Kiranya ada pendeta yang begini sakti di tempat ini, pikirnya dan dia pun lalu berteriak nyaring, tubuhnya mencelat ke arah pendeta itu sambil menampar untuk mencegah pendeta itu mendesak Bromatmojo.   Pendeta itu bukan lain adalah Resi Harimurti, sahabat dari mendiang Empu Tunjungpetak. Seperti kita ketahui, Resi Harimurti menjadi pembantu dari Resi Mahapati dan karena ini maka dia menjadi sahabat dari Bupati Progodigdoyo pula dan keduanya merupakan rekan-rekan yang dipengaruhi oleh Resi Mahapati. Sering sekali Resi Harimurti berkunjung ke Tuban dan menjadi tamu kehormatan, bahkan untuk memikat hati pendeta cabul yang memiliki kesaktian hebat ini, Progodigdoyo biasa memberi "hidangan" berupa wanita-wanita cantik kepada Resi Harimurti sehingga resi ini menganggap Tuban sebagai tempat pelesir dan bersenang-senang.   Ketika Resi Harimurti merasa ada hawa pukulan menyambar dan melihat "maling" ke dua menyerangnya dengan gerakan yang demikian tangkasnya, dia pun menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.   "Desss...!!"   "Ehhh...??!" Resi Harimurti kini makin terkejut karena hampir saja dia terjengkang ketika bertemu tangan dengan pemuda itu, yang ternyata jauh lebih kuat daripada pemuda pertama sehingga dalam pertemuan tenaga itu dia sampai terhuyung dan hampir terjengkang!   Marahlah Resi Harimurti dan begitu tangannya bergerak, dia telah mengeluarkan kipas bambu dan pecutnya.   "Tar-tar-tarrrr...!" Pecut itu meledak-ledak di udara, akan tetapi Sutejo yang tahu bahwa keadaan di situ amat berbahaya bagi dia dan sahabatnya, sudah menarik tangan Bromatmojo dan diajaknya ke atas wuwungan!   "Kita harus pergi, Adi Bromo!" bisik Sutejo.   "He, maling-maling hina! Kalian mau lari ke mana?" Resi Harimurti membentak sambil melompat pula ke atas wuwungan, mengejar.Lebih dari dua puluh orang pengawal kini maju menyerbu dan makin lama makin banyak juga berdatangan perajurit-perajurit yang menjaga di luar. Sutejo dan Bromatmojo merobohkan beberapa orang dan selagi mereka hendak mencari jalan keluar, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan ada angin pukulan itu dilakukan oleh seorang kakek yang berpakaian pendeta. Pendeta itu usianya sudah enam puluh lima tahun lebih, akan tetapi kelihatan masih gagah, dengan kumis dan jenggot terpelihara baik-baik, dengan pandang matanya yang amat tajam dan ketika tangannya yang terbuka itu menghantam, ada angin pukulan dahsyat sekali dan terasa panas oleh Bromatmojo!   "Heiiitt...!" Bromatmojo membentak dan menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.   "Desss...!" Bromatmojo terpental ke belakang dan kakek pendeta itu berseru kaget karena sama sekali tidak disangkanya bahwa seorang di antara "maling-maling" itu memiliki tenaga sedemikian kuatnya sehingga bukan saja mampu menangkis pukulannya, juga dia merasa betapa lengannya tergetar!   Sementara itu, ketika Sutejo melihat betapa Bromatmojo terpental, dia terkejut. Kiranya ada pendeta yang begini sakti di tempat ini, pikirnya dan dia pun lalu berteriak nyaring, tubuhnya mencelat ke arah pendeta itu sambil menampar untuk mencegah pendeta itu mendesak Bromatmojo.   Pendeta itu bukan lain adalah Resi Harimurti, sahabat dari mendiang Empu Tunjungpetak. Seperti kita ketahui, Resi Harimurti menjadi pembantu dari Resi Mahapati dan karena ini maka dia menjadi sahabat dari Bupati Progodigdoyo pula dan keduanya merupakan rekan-rekan yang dipengaruhi oleh Resi Mahapati. Sering sekali Resi Harimurti berkunjung ke Tuban dan menjadi tamu kehormatan, bahkan untuk memikat hati pendeta cabul yang memiliki kesaktian hebat ini, Progodigdoyo biasa memberi "hidangan" berupa wanita-wanita cantik kepada Resi Harimurti sehingga resi ini menganggap Tuban sebagai tempat pelesir dan bersenang-senang.   Ketika Resi Harimurti merasa ada hawa pukulan menyambar dan melihat "maling" ke dua menyerangnya dengan gerakan yang demikian tangkasnya, dia pun menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.   "Desss...!!"   "Ehhh...??!" Resi Harimurti kini makin terkejut karena hampir saja dia terjengkang ketika bertemu tangan dengan pemuda itu, yang ternyata jauh lebih kuat daripada pemuda pertama sehingga dalam pertemuan tenaga itu dia sampai terhuyung dan hampir terjengkang!   Marahlah Resi Harimurti dan begitu tangannya bergerak, dia telah mengeluarkan kipas bambu dan pecutnya.   "Tar-tar-tarrrr...!" Pecut itu meledak-ledak di udara, akan tetapi Sutejo yang tahu bahwa keadaan di situ amat berbahaya bagi dia dan sahabatnya, sudah menarik tangan Bromatmojo dan diajaknya ke atas wuwungan!   "Kita harus pergi, Adi Bromo!" bisik Sutejo.   "He, maling-maling hina! Kalian mau lari ke mana?" Resi Harimurti membentak sambil melompat pula ke atas wuwungan, mengejar.Lebih dari dua puluh orang pengawal kini maju menyerbu dan makin lama makin banyak juga berdatangan perajurit-perajurit yang menjaga di luar. Sutejo dan Bromatmojo merobohkan beberapa orang dan selagi mereka hendak mencari jalan keluar, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan ada angin pukulan itu dilakukan oleh seorang kakek yang berpakaian pendeta. Pendeta itu usianya sudah enam puluh lima tahun lebih, akan tetapi kelihatan masih gagah, dengan kumis dan jenggot terpelihara baik-baik, dengan pandang matanya yang amat tajam dan ketika tangannya yang terbuka itu menghantam, ada angin pukulan dahsyat sekali dan terasa panas oleh Bromatmojo!   "Heiiitt...!" Bromatmojo membentak dan menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.   "Desss...!" Bromatmojo terpental ke belakang dan kakek pendeta itu berseru kaget karena sama sekali tidak disangkanya bahwa seorang di antara "maling-maling" itu memiliki tenaga sedemikian kuatnya sehingga bukan saja mampu menangkis pukulannya, juga dia merasa betapa lengannya tergetar!   Sementara itu, ketika Sutejo melihat betapa Bromatmojo terpental, dia terkejut. Kiranya ada pendeta yang begini sakti di tempat ini, pikirnya dan dia pun lalu berteriak nyaring, tubuhnya mencelat ke arah pendeta itu sambil menampar untuk mencegah pendeta itu mendesak Bromatmojo.   Pendeta itu bukan lain adalah Resi Harimurti, sahabat dari mendiang Empu Tunjungpetak. Seperti kita ketahui, Resi Harimurti menjadi pembantu dari Resi Mahapati dan karena ini maka dia menjadi sahabat dari Bupati Progodigdoyo pula dan keduanya merupakan rekan-rekan yang dipengaruhi oleh Resi Mahapati. Sering sekali Resi Harimurti berkunjung ke Tuban dan menjadi tamu kehormatan, bahkan untuk memikat hati pendeta cabul yang memiliki kesaktian hebat ini, Progodigdoyo biasa memberi "hidangan" berupa wanita-wanita cantik kepada Resi Harimurti sehingga resi ini menganggap Tuban sebagai tempat pelesir dan bersenang-senang.   Ketika Resi Harimurti merasa ada hawa pukulan menyambar dan melihat "maling" ke dua menyerangnya dengan gerakan yang demikian tangkasnya, dia pun menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.   "Desss...!!"   "Ehhh...??!" Resi Harimurti kini makin terkejut karena hampir saja dia terjengkang ketika bertemu tangan dengan pemuda itu, yang ternyata jauh lebih kuat daripada pemuda pertama sehingga dalam pertemuan tenaga itu dia sampai terhuyung dan hampir terjengkang!   Marahlah Resi Harimurti dan begitu tangannya bergerak, dia telah mengeluarkan kipas bambu dan pecutnya.   "Tar-tar-tarrrr...!" Pecut itu meledak-ledak di udara, akan tetapi Sutejo yang tahu bahwa keadaan di situ amat berbahaya bagi dia dan sahabatnya, sudah menarik tangan Bromatmojo dan diajaknya ke atas wuwungan!   "Kita harus pergi, Adi Bromo!" bisik Sutejo.   "He, maling-maling hina! Kalian mau lari ke mana?" Resi Harimurti membentak sambil melompat pula ke atas wuwungan, mengejar. Sutejo dan Bromatmojo merobohkan beberapa orang dan selagi mereka hendak mencari jalan keluar, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan ada angin pukulan itu dilakukan oleh seorang kakek yang berpakaian pendeta. Pendeta itu usianya sudah enam puluh lima tahun lebih, akan tetapi kelihatan masih gagah, dengan kumis dan jenggot terpelihara baik-baik, dengan pandang matanya yang amat tajam dan ketika tangannya yang terbuka itu menghantam, ada angin pukulan dahsyat sekali dan terasa panas oleh Bromatmojo!   "Heiiitt...!" Bromatmojo membentak dan menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.   "Desss...!" Bromatmojo terpental ke belakang dan kakek pendeta itu berseru kaget karena sama sekali tidak disangkanya bahwa seorang di antara "maling-maling" itu memiliki tenaga sedemikian kuatnya sehingga bukan saja mampu menangkis pukulannya, juga dia merasa betapa lengannya tergetar!   Sementara itu, ketika Sutejo melihat betapa Bromatmojo terpental, dia terkejut. Kiranya ada pendeta yang begini sakti di tempat ini, pikirnya dan dia pun lalu berteriak nyaring, tubuhnya mencelat ke arah pendeta itu sambil menampar untuk mencegah pendeta itu mendesak Bromatmojo.   Pendeta itu bukan lain adalah Resi Harimurti, sahabat dari mendiang Empu Tunjungpetak. Seperti kita ketahui, Resi Harimurti menjadi pembantu dari Resi Mahapati dan karena ini maka dia menjadi sahabat dari Bupati Progodigdoyo pula dan keduanya merupakan rekan-rekan yang dipengaruhi oleh Resi Mahapati. Sering sekali Resi Harimurti berkunjung ke Tuban dan menjadi tamu kehormatan, bahkan untuk memikat hati pendeta cabul yang memiliki kesaktian hebat ini, Progodigdoyo biasa memberi "hidangan" berupa wanita-wanita cantik kepada Resi Harimurti sehingga resi ini menganggap Tuban sebagai tempat pelesir dan bersenang-senang.   Ketika Resi Harimurti merasa ada hawa pukulan menyambar dan melihat "maling" ke dua menyerangnya dengan gerakan yang demikian tangkasnya, dia pun menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.   "Desss...!!"   "Ehhh...??!" Resi Harimurti kini makin terkejut karena hampir saja dia terjengkang ketika bertemu tangan dengan pemuda itu, yang ternyata jauh lebih kuat daripada pemuda pertama sehingga dalam pertemuan tenaga itu dia sampai terhuyung dan hampir terjengkang!   Marahlah Resi Harimurti dan begitu tangannya bergerak, dia telah mengeluarkan kipas bambu dan pecutnya.   "Tar-tar-tarrrr...!" Pecut itu meledak-ledak di udara, akan tetapi Sutejo yang tahu bahwa keadaan di situ amat berbahaya bagi dia dan sahabatnya, sudah menarik tangan Bromatmojo dan diajaknya ke atas wuwungan!   "Kita harus pergi, Adi Bromo!" bisik Sutejo.   "He, maling-maling hina! Kalian mau lari ke mana?" Resi Harimurti membentak sambil melompat pula ke atas wuwungan, mengejar.     Ketika dua orang muda itu hinggap di atas wuwungan, tiba-tiba dari depan dan kanan kiri menyambar puluhan batang anak panah ke arah mereka. Kiranya di atas wuwungan telah menanti pasukan anak panah. Memang penjagaan di Kabupaten Tuban ini amat kuat. Hal ini adalah karena Progodigdoyo selalu takut akan pembalasan musuh-musuhnya, maka dia sengaja mengatur penjagaan yang kuat siang dan malam. Maka begitu tadi diketahui bahwa di kabupaten kemasukan maling, semua penjaga telah bersiap-siap di tempat penjagaan masing-masing, termasuk pasukan panah yang bertugas jaga di atas wuwungan.   "Celaka...!" Sutejo berbisik dan dengan cepat dia mengajak Bromatmojo melompat ke belakang, kemudian mereka melompat turun lagi. Enam orang penjaga di bawah menyambut mereka dengan serangan tombak, namun dengan mudah Sutejo dan Bromatmojo merobohkan mereka dalam waktu singkat.   "Maling-maling hina, menyerahlah kalian!" terdengar bentakan Harimurti di belakang mereka.   "Adi Bromatmojo, padamkan lampu-lampu...!" Sutejo berbisik dan dia bersama Bromatmojo cepat menyambar batu-batu kerikil di bawah dan dengan cekatan mereka menyambiti lentera-lentera dan lampu-lampu yang tergantung di sekitar tempat itu sehingga terdengar suara ledakan-ledakan dan gelap gulitalah sekeliling mereka.   "Heii... gelap sekali!"   "Nyalakan lampu! Nyalakan obor! Cepat...!"   Tentu saja Resi Harimurti dan beberapa orang perwira pengawal yang melakukan pengejaran bersama dia menjadi bingung dan marah karena mereka tidak lagi dapat melihat ke mana larinya dua orang muda yang mereka kejar-kejar itu. Obor-obor dinyalakan dan Resi Harimurti sendiri memimpin pasukan pengawal untuk mencari ke mana-mana. Resi ini khawatir sekali karena dari pertemuan tenaga dengan dua orang tadi, maklumlah dia bahwa mereka itu bukan maling-maling biasa saja, melainkan dua orang muda yang memiliki kedigdayaan luar biasa, bahkan yang seorang di antara mereka memiliki kesaktian yang hebat. Orang-orang dengan kepandaian seperti itu tidak mungkin hanya maling-maling biasa saja!   Sementara itu, Bromatmojo dan Sutejo yang memadamkan lampu dengan sambitan batu-batu kerikil, terus melarikan diri ke sebelah dalam, tidak tahu bahwa mereka itu memasuki bagian Keputren (tempat kediaman para puteri/wanita) yang berada di sebelah belakang. Barulah mereka sadar bahwa mereka bukan menuju jalan keluar melainkan masuk makin dalam ke bagian keputren ketika mereka bertemu dengan para dayang dan puteri-puteri yang menjerit ketakutan dan lari ke sana-sini.   (Bersambung ke Jilid 35)   Jilid 35   "Wah, kita salah masuk, Adi Bromo!” Sutejo berkata dan mereka berhenti sebentar di dalam sebuah ruangan.   "Benar, ini agaknya bagian keputren, Kakang Tejo!" kata Bromatmojo ketika mereka memandang ke sekeliling dan melihat hiasan-hiasan ruangan itu yang indah.   "Maling...!!" Terdengar suara jeritan agak jauh dan dua orang muda itu cepat meloncat dan lari melalui lorong yang menembus ruangan itu. Makin berisik suara orang berteriak-teriak dan akhirnya dua orang muda itu menerobos masuk ke dalam sebuah kamar yang gelap. Mereka mengira bahwa kamar itu tentu merupakan kamar kosong yang gelap dan mereka bersembunyi sebentar di situ, membiarkan suasana agak mereda karena mendengar suara berisik yang datang dari semua penjuru itu membingungkan mereka.   Akan tetapi, begitu mereka memasuki kamar yang gelap itu, mereka merasa ada hawa pukulan menyambar, dibarengi bentakan nyaring seorang pria. "Maling keparat, kalian mengantar nyawa ke sini!"   "Dess...!"   "Plakk...!"   Menggunakan ketajaman pendengaran mereka, Bromatmojo dan Sutejo berhasil menangkis pukulan-pukulan yang menyambut mereka dari dalam kamar dan mereka pun membalas. Dua orang yang berada di dalam kamar itu ternyata dapat pula menangkis dan gerakan mereka gesit sekali. Terjadilah pertempuran yang aneh di dalam kamar gelap itu. Pertempuran yang hanya mengandalkan ketajaman pendengaran karena yang mereka lihat hanya bayangan hitam remang-remang saja! Dalam pertandingan ini, ketajaman naluri dan perasaan mereka benar-benar diuji dan dua orang muda itu tidak mengecewakan menjadi murid-murid orang sakti karena biar pun mereka berada di dalam gelap, dan agaknya tentu saja kalah biasa dengan dua orang penyerang itu yang menjadi penghuni tempat itu, namun Bromatmojo dan Sutejo sama sekali tidak terdesak, bahkan dua orang penyerang mereka itulah yang kadang-kadang berseru kaget dan terdesak. Dari seruan inilah, tahulah Bromatmojo bahwa lawannya adalah seorang wanita, sedangkan lawan Sutejo adalah seorang pria.   "Plak-plak-plak!" Bromatmojo menangkis pukulan bertubi-tubi itu yang dilakukan oleh lawannya dengan loncatan-loncatan seperti terbang   "Heiii... bukankah engkau Sriti Kencana?" Tiba-tiba Bromatmojo berseru kaget. Mendengar seruan ini, wanita yang menjadi lawannya itu pun terkejut.   "Tahan..., Kakangmas Joko, hentikan serangan!" terdengar suara merdu seorang wanita berseru. Pertempuran dihentikan dan dua orang muda itu pun menghentikan gerakan mereka ketika dua orang itu tidak menyerang lagi. Laki-laki yang menyerang tadi menyalakan sebuah lentera, kamar itu menjadi terang benderang dan Bromatmojo dan Sutejo terbelalak melihat bahwa mereka berada di dalam sebuah kamar besar yang amat indah dan di depan mereka berdiri seorang laki-laki muda yang tampan dan gagah bersama seorang dara yang amat cantik jelita seperti bidadari!   Mereka berempat berdiri saling pandang sejenak, dan sepasang mata yang indah dan bening dari dara itu menatap wajah Bromatmojo, kemudian kedua pipinya menjadi merah sekali dan dia menunduk sebentar lagi.   "Eh..., jadi... andika ini... si burung Sriti Kencana itu?" Bromatmojo berkata setelah reda keheranannya.   Dara jelita itu mengangguk, kemudian agaknya dia telah menguasai kembali ketenangannya, mengangkat muka memandang kepada Bromatmojo dan Sutejo bergantian, lalu berkata, "Sudah kuduga bahwa tentu kalian dua orang yang menimbulkan geger di sini, aku menduganya begitu setelah kalian dapat menangkis pukulanku dan pukulan Kakangmas Joko..."     Bromatmojo memandang kepada pemuda tampan gagah di samping dara jelita, menduga-duga "Ah, tentu kalian berdua pemimpin perkumpulan Sriti Kencana yang disebut Den Roro dan Den Bagus itu?"   Akan tetapi sebelum pemuda dan pemudi itu menjawab, terdengar teriakan-teriakan dan ribut-ribut di luar kamar itu.   "Bayangan mereka tadi berkelebat memasuki keputren. Mereka tentu bersembunyi di sini!" terdengar suara Resi Harimurti.   "Akan tetapi, kaum pria tidak diperkenankan memasuki tempat ini kecuali anggota keluarga!" terdengar bantahan pengawal wanita.   "Heh, pengawal bodoh! Apakah engkau tidak tahu siapa aku? Hayo minggir dan biarkan aku sendiri yang memeriksa dan mencari maling-maling itu!" Terdengar suara Resi Harimurti menghardik.   "Baiklah, baiklah, Sang Resi, akan tetapi para pengawal pria tidak boleh..."   Mendengar suara ribut-ribut itu, tiba-tiba dara jelita yang berada di dalam kamar itu melompat ke sudut kamar dan mengambil pakaian hitam, melemparkan pakaian-pakaian itu kepada Bromatmojo dan sambil berkata, "Lekas kalian pakai pakaian anggota Sriti Kencana ini. Cepat!" Dia lalu memadamkan lampu sehingga kamar itu menjadi gelap lagi. Di dalam kegelapan ini, Bromatmojo dan Sutejo yang maklum akan maksud dara jelita itu, lalu mengenakan pakaian hitam itu dan menutupi kepala mereka dengan kedok hitam dengan burung sriti emas di atas kepala mereka.   Lampu dinyalakan kembali dan ternyata kini pemuda tampan dan dara jelita itu sudah berobah menjadi dua orang berkedok hitam, demikian pula Bromatmojo dan Sutejo sudah mengenakan pakaian anggota Sriti Kencana! Dara cantik dan pemuda tampan itu memandang sebentar, kemudian menghampiri Bromatmojo dan Sutejo untuk membereskan kedok mereka yang kurang benar letaknya.   "Kalian harap jangan mengeluarkan kata-kata, dan duduklah saja di situ," Kata pemuda tampan tadi sambil menuding ke arah sebuah bangku panjang. Bromatmojo dan Sutejo mengangguk dan duduk berjajar di atas bangku panjang, menanti dengan jantung berdebar akan tetapi juga siap menjaga segala kemungkinan.   Pintu yang tadi ditutup oleh dara jelita itu diketuk dari luar.   "Siapa?" Dara itu berteriak nyaring.   "Roro Kartiko ini ada aku, gurumu, Resi Harimurti!" terdengar suara dari luar. "Bukalah pintunya sebentar!"   Pemuda yang tampan yang sudah memakai pakaian Sriti Kencana itu melangkah maju dan terdengar suaranya, "Bapa Guru, ada kepentingan apakah malam-malam datang ke sini? Saya dan Dinda Roro sedang sibuk..."     "Ah, kiranya engkau berada di situ pula, Joko Handoko? Kebetulan sekali!" Biar pun suara itu mengatakan kebetulan, akan tetapi suaranya terdengar sumbang seperti suara orang kecewa. "Bukalah pintunya, ada keperluan penting sekali. Ada maling mengacau di kabupaten."   Pintu itu dibuka oleh pemuda yang bernama Joko Handoko itu. Harimurti agak tercengang ketika melihat betapa dua orang muridnya itu berpakaian hitam-hitam dan berkedok hitam.   "Ah, lagi-lagi kalian main-main dengan pakaian seperti ini!" Dia mengomel.   "Bapa Guru telah berjanji tidak akan mencampuri urusan kami dan tidak akan mengganggu Sriti Kencana!" terdengar Roro Kartiko, gadis cantik itu, memperingatkan.   Resi Harimurti mengangguk-angguk. "Baiklah, baiklah! Kalian seperti anak-anak kecil saja, suka main-main seperti ini. Akan tetapi ketahuilah, tadi ada dua orang maling mengacau di kabupaten dan bayangan mereka berkelebat masuk ke keputren."   "Sungguh aneh sekali, bapa guru Resi Harimurti, kenapa hanya dua orang maling saja diributkan seperti ini?" Joko Handoko menegur.   "Mereka bukan maling biasa, melainkan orang-orang yang memiliki kesaktian." Resi Harimurti memandang ke dalam, ke arah dua orang berpakaian anggota Sriti Kencana yang duduk tanpa bergerak. "Siapa mereka itu? Tanyanya. "Mereka adalah dua orang di antara anggota-anggota kami. Sejak tadi kami berempat sedang memperundingkan urusan perkumpulan ketika Bapa Guru mengetuk pintu," kata Roro Kartiko.   "Hemm... yakinkah kalian bahwa mereka itu bukan palsu?"   "Tentu saja kami yakin!"   "Suruh mereka membuka kedok sebentar... biar aku melihat wajah mereka...   "Bapa Guru!" Joko Handoko berkata dengan nada marah. "Di antara para anggota Sriti Kencana dan kami tidak pernah ada yang membuka kedok. Apakah andika hendak mengatakan bahwa andika tidak percaya kepada kami berdua?"   Resi Harimurti menghela napas panjang. "Sudahlah, tentu saja aku percaya. Cuma aku tidak senang dengan segala rahasia-rahasian ini, dan aku akan membicarakannya dengan ayah kalian kelak."   "Terserah akan tetapi kami sedang sibuk, harap Bapa Guru suka memaklumi," kata Roro Kartiko.     Resi Harimurti menggerakkan kedua tangan tak sabar, akan tetapi dia lalu mundur dan daun pintu kamar itu ditutup kembali oleh Joko Handoko. Terdengar suara Sang Resi itu marah-marah di luar dan masih lama suaranya terdengar ketika resi itu mencari-cari di seluruh keputren, mencari dua orang maling itu yang lenyap tanpa meninggalkan bekas.   Sementara itu di dalam kamar tadi, mereka telah membuka kedok masing-masing. "Jangan menanggalkan pakaian hitam itu," bisik Joko Handoko, "sebelum kalian keluar dari kabupaten."   Mereka duduk berhadapan dan terdengar Sutejo menarik napas panjang, lalu memandang kepada Joko Handoko dan Roro Kartiko penuh perhatian, kemudian berkata,"Jadi kalian berdua yang memimpin perkumpulan Sriti Kencana, adalah putera dan puteri kabupaten, jadi putera dan puteri Bupati Progodigdoyo?"   "Dan kalian malah murid dari pendeta sakti itu?" tanya Bromatmojo. "Bukankah dia itu Resi Harimurti?" Bromatmojo pernah bertemu dengan Resi Harimurti, yaitu empat tahun yang lalu ketika dia sebagai Sulastri melihat gurunya, Ki Jembros, bertanding melawan Resi Harimurti dan Empu Tunjungpetak, bahkan dia sendiri pernah ketika itu bertanding melawan Resi Harimurti yang sakti itu.   Roro Kartiko hanya menghela napas dan menundukkan mukanya setelah beberapa kali dia bertemu pandang dengan Bromatmojo. "Kakangmas Joko, kau sajalah yang menceritakan," bisiknya kepada pemuda tampan itu.   "Adikku yang baik, engkau sudah menceritakan kepadaku tentang dua orang pemuda sakti ini, akan tetapi bagimana kita boleh membuka rahasia kita sebelum mengenal betul siapakah sesungguhnya mereka ini? Kisanak, andika berdua telah melihat adikku sendiri, Roro Kartiko, telah menyelamatkan dan melindungi kalian. Hal ini saja sudah jelas membuktikan iktikad baik kami yang hendak bersahabat. Akan tetapi, sebelum kami memperkenalkan diri, hendaknya andika berdua suka memperkenalkan diri lebih dulu dan hendaknya tidak menyembunyikan sesuatu."   "Sudah kujelaskan siapa adanya aku kepada Den Roro... eh kepada... Sriti Kencana..."   "Namaku Roro Kartiko!" kata dara itu dengan muka merah.   "Nama yang indah sekali!" kata Bromatmojo yang tersenyum melihat betapa mata Sutejo melotot kepadanya. "Sudah kuceritakan kepada... Diajeng Roro Kartiko bahwa aku bernama Bromatmojo, murid dari Eyang Empu Supamandrangi pencipta keris pusaka Kolonadah, dan sahabatku ini bernama Sutejo, dia adalah murid dari Eyang Lereng Gunung Kawi, murid Sang Panembahan Ciptaning."   "Ahhh...!" Terdengar Joko Handoko berseru kaget dan memandang kepada Sutejo dengan kagum.   "Lalu apakah kehendak andika berdua datang seperti ini, malam-malam dan penuh rahasia, ke kabupaten ini?" Joko Handoko bertanya dengan sinar mata penuh selidik, juga sepasang mata Roro Kartiko yang indah bening itu memandang wajah Bromatmojo penuh selidik.   Bromatmojo tersenyum. "Sebelum kami menceritakan hal itu, sebaiknya kalau andika berdua juga memperkenalkan diri lebih dulu, jadi di antara kita tidak ada rahasia bukan?" Berkata demikian, Bromatmojo memandang langsung kepada wajah cantik Roro Kartiko sehingga kembali dara itu menunduk dengan kedua pipinya menjadi merah.     Joko Handoko menarik napas panjang. "Tentu andika berdua sudah dapat menduga. Kami kakak beradik adalah putera dan puteri Bupati Tuban. Ayah kami adalah Bupati Progodigdoyo. Namaku Joko Handoko dan adikku ini adalah Roro Kartiko." Pemuda tampan gagah itu mulai bercerita, kemudian dengan singkat dia menceritakan keadaan dia dan adiknya. Mereka adalah anak-anak yang kurang mendapat perhatian dari ayah mereka, karena ayah mereka sibuk dengan pengejaran kedudukan dan kesenangan. Akan tetapi ibu mereka, Sariningrum, adalah seorang wanita keturunan ksatria yang bijaksana, seorang isteri yang sering dirongrong oleh suaminya. Di bawah asuhan dan pendidikan ibu bijaksana ini, Joko Handoko dan Roro Kartiko sangat berbeda dengan ayah mereka. Kedua orang anak ini sejak kecil memperoleh pendidikan kebudayaan, kesenian dan juga ilmu membela diri yang didatangkan oleh Sariningrum dari pegunungan. Karena sejak kecil digembleng oleh pendidikan ibu yang bijaksana, mereka berdua mewarisi watak ibu mereka dan mereka makin jauh dari ayah mereka. Mereka tahu betapa ayah mereka selalu mengejar kesenangan, berhubungan dengan orang-orang jahat, akan tetapi seperti juga ibu mereka, dua orang anak ini tentu saja tidak dapat berbuat apa-apa kecuali merasa menyesal.   Ketika mereka tahu bahwa Resi Harumurti yang menjadi sahabat ayah mereka itu adalah seorang resi yang amat sakti, mereka lalu minta menjadi muridnya. Dan memang mereka memperoleh kemajuan pesat di bawah bimbingan Resi Harimurti. Akan tetapi kemudian mereka memperoleh kenyataan bahwa resi ini ternyata adalah seorang pertapa yang cabul, yang banyak disuguhi wanita-wanita cantik oleh ayah mereka. Bahkan setelah Roro Kartiko makin dewasa, dia melihat betapa sikap Resi Harimurti kadang-kadang melanggar batas kesopanan terhadap dirinya, di waktu melatih suka memegang-megang dan mengusapnya. Hal ini menimbulkan rasa benci di hati Roro Kartiko. Untung baginya bahwa Resi Harimurti yang tergila-gila oleh kecantikannya itu masih tidak berani bertindak lebih jauh.   Melihat kenyataan betapa ayah mereka bersahabat dengan orang jahat, bahkan di antara para pembantu ayah mereka itu banyak terdapat orang-orang kejam dan jahat, diam-diam dua orang muda itu merasa penasaran dan timbul reaksi mereka. Kalau ayah mereka menindas rakyat, maka mereka akan berusaha untuk membela rakyat! Inilah sebabnya mengapa mereka lalu mengumpulkan para wanita yang memiliki kepandaian dan membentuk perkumpulan Sriti Kencana. Perbuatan ini sebenarnya adalah perbuatan Roro Kartiko, oleh karena itu, semua anggotanya adalah wanita. Akhirnya ketika Joko Handoko mengetahui usaha adiknya, dia mendukung, bahkan dia pun terjun ke dalam pimpinan Sriti Kencana dan para anggota mengenal dua orang pimpinan mereka sebagai Den Bagus dan Den Roro!   "Perbuatan kami itu kami tujukan untuk memprotes ayah kami," Roro Kartiko melanjutkan penuturan kakaknya. "Dan Ayah memang sudah tahu akan Sriti Kencana, dan beliau juga mulai sadar, bahkan pernah memuji kami sebagai orang-orang muda perkasa yang menjunjung tinggi kehormatan keluarga. Akan tetapi, sayang karena lingkungannya memang tidak sehat, Ayah masih saja belum menghentikan persekutuannya dengan orang-orang jahat. Padahal, dahulu Ayah adalah seorang yang gagah, seorang ksatria yang menentang kejahatan, demikian menurut penuturan Ibu kami. Ketika itu, nama Ayah dan nama mendiang Paman Lembu Tirta merupakan nama-nama yang dihormati dan disegani di Mojopahit."   Mendengar nama ayahnya disebut, Sutejo berkata "Ahh...! Jadi paduka telah mengenal pula Ayah saya..."   Roro Kartiko dan Joko Handoko kaget mendengar ucapan pemuda tinggi tegap yang gagah dan tampan itu.     Siapa? Ayah andika...?" tanya Roro Kartiko.   "Ayah adalah Lembu Tirta yang paduka sebut-sebut tadi. Hamba dahulu tinggal di Kembangsri bersama ibu dan mbakayu hamba..."   "Dimas Sutejo, harap kau jangan merendahkan diri terhadap kami. Benarkah andika putera mendiang Paman Lembu Tirta?" kata Joko Handoko cepat.   Sutejo mengangguk dan Joko Handoko memegang lengan pemuda itu. "Ahh, sungguh tak kusangka akan bertemu dengan putera Paman Lembu Tirta yang kami kagumi itu. Ibu tentu akan berbahagia mendengar itu..."   Sutejo menggeleng kepala. "Akan tetapi Bupati Progodigdoyo agaknya tidak sebahagia itu mendengarnya."   "Mengapa? Ada apakah dengan ayah kami?" Roro Kartiko bertanya.   "Hemm, justru ayah kalianlah yang telah menghancurkan keluarga Kakang Tejo!" Tiba-tiba Bromatmojo berkata.   Roro Kartiko dan kakaknya memandang dengan mata terbelalak kepada Sutejo. Pemuda ini menarik napas dan diam-diam dia merasa menyesal mengapa dia dan Bromatmojo telah kelepasan omong dan membuka rahasia pribadinya terhadap anak-anak musuh besarnya ini. Sudah jelas baginya bahwa anak-anak Progodigdoyo ini adalah orang-orang gagah yang sama sekali berbeda dengan watak ayah mereka. Namun bagaimana pun juga, Progodigdoyo adalah ayah kandung mereka!   "Apakah yang terjadi? Apakah yang telah dilakukan oleh ayah kami?" Roro Kartiko bertanya lagi dengan suara mendesak penuh ketegangan sedangkan pandang matanya terus melekat pada wajah Sutejo.   "Sudahlah," Sutejo berkata. "Semua ini adalah urusan kami dengan ayah kalian, tidak ada sangkut-pautnya dengan kalian."   "Dimas Sutejo, biar pun di antara kita baru saja bertemu, akan tetapi saya telah merasa kagum kepada kalian berdua. Apalagi sekarang nama ayah kami tersangkut, maka kiranya sudah sepatutnya kalau kami berdua mengetahui apa yang telah terjadi dan apa yang telah dilakukan oleh ayah terhadap keluarga andika. Jangan mengira bahwa kami tidak tahu akan watak ayah kami yang kadang-kadang membuat kami merasa berduka sekali. Ceritakanlah, Dimas Sutejo," kata Joko Handoko dengan sinar mata penuh duka.   Melihat Sutejo masih ragu-ragu dan kadang-kadang memandang kepada wajah Roro Kartiko yang cantik itu dengan bingung, Bromatmojo lalu berkata, "Kakang Tejo, biarlah aku yang menceritakan mereka." Dan sebelum Sutejo menjawab, Bromatmojo sudah mulai menceritakan. "Hendaknya kalian ketahui apa yang telah dilakukan oleh ayah kalian terhadap keluarga kakang Tejo. Mula-mula sekali, ayah kalian sebagai seorang sahabat baik telah bersikap khianat dan di dalam medan perang telah membunuh ayah Kakang Tejo secara curang sekali."     Ahhhh...!" Roro Kartiko menjerit lirih.   "Paman Lembu Tirta dibunuh ayah? Mengapa?" Joko Handoko bertanya kaget dan heran.   "Karena dia merasa suka dan ingin mendapatkan ibuku..." kata Sutejo sambil menundukkan mukanya, merasa tidak enak sekali terhadap Roro Kartiko.   "Kemudian sembilan tahun yang lalu, ayah kalian mendatangi rumah keluarga janda Galuhsari, ibu kandung Kakang Tejo, di dusun Kembangsri dan di rumah keluarga itu, secara keji ayah kalian memperkosa ibu Kakang Tejo di depan anak-anaknya dan..."   "Cukup, Adimas Bromo!" Sutejo berseru keras ketika mendengar jerit tertahan disusul isak tangis Roro Kartiko.   Bromatmojo diam dan memandang kepada pemuda itu, sebaliknya Sutejo memandang kepada Roro Kartiko yang menangis dan menutupi mukanya, dan kepada Joko Handoko yang memandang dengan wajah pucat kepadanya.   "Kami tahu bahwa ayah kami bukanlah orang yang boleh dibanggakan, selalu mengejar kedudukan, wanita dan kesenangan, akan tetapi kalau bukan kalian yang menceritakan, agaknya kami tidak akan percaya bahwa ayah melakukan hal yang demikian rendah dan terkutuk."   "Hal itu telah terjadi sembilan tahun yang lalu..." kata Sutejo dengan hati makin tidak enak melihat Roro Kartiko menangis sesenggukan yang hendak ditahan-tahannya itu.   "Dimas Sutejo, harap kau lanjutkan, lalu apa yang terjadi selanjutnya?"   Sukar bagi Sutejo untuk bicara sendiri. Andaikata kedua orang anak Progodigdoyo bukan orang-orang yang demikian baik dan gagah, andaikata mereka itu jahat seperti ayah mereka, tentu dia akan mudah menceritakan untuk merusak perasaan mereka, untuk membikin malu mereka. Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang baik dan dia merasa berat untuk menyusahkan hati mereka. Dan karena dia telah menceritakan semua itu kepada Bromatmojo, bahkan tadi yang memulai dengan cerita itu pun Bromatmojo, maka dia memandang kepada Bromatmojo dan berkata, "Adi Bromo, harap kau lanjutkan..."   Bromatmojo kelihatan senang sekali dengan tugas ini. Dia memang amat membenci Progodigdoyo setelah mendengar cerita Sutejo tempo hari, dan kini dia merasa senang melihat anak-anak bupati yang jahat itu menyesali perbuatan ayah mereka yang terkutuk.   "Dalam peristiwa itu, Kakang Tejo yang hendak menyerang Progodigdoyo, dipukul pingsan. Kemudian Kakang Tejo diselamatkan oleh gurunya ketika rumah keluarganya itu terbakar. Ibunya tewas terbakar dan mbakayunya yang bernama Lestari diculik oleh Progodigdoyo! Nah, sekarang Kakang Tejo datang ke sini untuk menyelidiki tentang mbakayunya yang diculik oleh ayah kalian itu."   Hening suasana dalam kamar itu, hanya isak tertahan dari Roro Kartiko saja yang terdengar.   "Terkutuk perbuatan itu!" Tiba-tiba Roro Kartiko berkata di antara isaknya.   "Dimas Sutejo kalau begitu, andika tentu menyimpan rasa dendam sakit hati terhadap ayah kami dan sekarang andika mencari ayah untuk membalas dendam itu dan membunuhnya, bukan?"   "Kau bunuhlah kami lebih dulu!" Tiba-tiba Roro Kartiko berseru dan memandang Sutejo dengan mata merah. "Kami adalah anak-anaknya, dan biarlah kami memikul sebagian daripada dosa-dosanya!"   Sutejo merasa terharu melihat sikap dua orang itu, dia menggeleng kepala dan menarik napas panjang, lalu berkata, "Harap andika berdua tenang. Saya tidak menaruh dendam kepada siapa pun juga. Saya hendak mencari Mbakayu Lestari, ada pun tentang Bupati Progodigdoyo, kalau dia sekarang menjadi seorang jahat, sudah tentu saya akan menentangnya sekuat tenaga untuk membela kebenaran dan melindungi mereka yang tertindas. Akan tetapi, kalau saya menentangnya bukanlah karena rasa dendam, melainkan karena sudah menjadi kewajiban saya untuk menentang kejahatan, siapa pun juga dia yang melakukannya!"   (Bersambung ke Jilid 36)   Jilid 36   Bromatmojo mengerutkan alis tanda tidak setuju dengan ucapan ini, akan tetapi Roro Kartiko dan Joko Handoko memandang kagum. Joko Handoko lalu melangkah maju dan memegang tangan Sutejo sambil berkata dengan suara menggetar, "Dimas Sutejo, engkau sungguh merupakan seorang pemuda yang bijaksana dan mulia. Kebijaksanaanmu ini lebih menusuk hati daripada seandainya engkau memaki-maki atau menyerang kami."   "Maaf, andika berdua adalah orang-orang yang gagah perkasa dan baik, yang tidak ada sangkut-pautnya dengan perbuatan ayah kalian, dan kalian pun, seperti juga kami, menentang kejahatan. Bukan maksud saya untuk menyakitkan hati kalian. Hanya saya harap sukalah kalian memberi tahu kepada saya tentang nasib mbakayu saya itu."   "Saya tidak tahu tentang dia..." kata Joko Handoko.   "Saya tahu!" Roro Kartiko tiba-tiba berkata dan mengusap air matanya, kini memandang kepada Sutejo dengan sinar mata yang membuat jantung pemuda ini berdebar. Dia maklum sekali kepada dara ini dan merasa menyesal telah membuat dara itu bersusah hati. "Saya pernah mendengar tentang mbakayumu yang bernama Lestari itu. Menurut penuturan yang saya dengar, dia sekarang berada di Mojopahit, menjadi selir dari Sang Resi Mahapati."   "Ahh...!" Sutejo berseru, perasaannya terombang-ambing antara kegembiraan mendengar mbakayunya masih hidup dan kedukaan mendengar mbakayunya menjadi selir Resi Mahapati karena dia dapat mengerti bahwa kakaknya itu tentu dipaksa menjadi selir orang. "Dan bagaimana keadaannya? Bagaimana dia bisa menjadi selir Resi Mahapati?"     Roro Kartiko menggelengkan kepalanya. "Tentang itu, saya tidak tahu. Saya hanya mendengar beberapa tahun yang lalu bahwa dulu pernah ayah pernah mendapatkan seorang selir baru, akan tetapi selir itu bertekad melawan dan tidak mau menjadi selir ayah, kemudian selir yang bernama Lestari itu dibawa ke Mojopahit. Selanjutnya, saya tidak tahu bagaimana jadinya dengan dia."   Sutejo menundukkan kepala dan termenung. "Kalau begitu, saya harus menjumpai ayah kalian, untuk menanyakan tentang mbakayu Lestari."   "Ayah juga tidak berada di sini!" kata Roro Kartiko cepat-cepat, agaknya lega hatinya karena kebetulan ayahnya tidak ada. "Sudah sepekan lamanya ayah berkunjung ke Mojopahit."   "Kalau begitu, saya harus menyusul ke Mojopahit untuk mencari mbakayu saya. Adi Bromo, mari kita pergi."   "Ah, nanti dulu!" Roro Kartiko berkata. "Berbahaya sekali kalau pergi dari sini begitu saja. Bapa Guru Resi Harimurti tentu masih merasa penasaran dan melakukan penjagaan ketat."   "Benar apa yang dikatakan oleh Diajeng Roro Kartiko. Sebaiknya andika berdua berdiam dulu di sini sampai keadaan aman, baru kalian pergi meninggalkan tempat ini," kata Joko Handoko.   "Itu yang sebaiknya," kata Bromotmojo, "Karena saya pun ingin minta tolong kepada... Sriti Kencana!"   Roro Kartiko memandang pemuda itu dan memandang dengan sinar mata tajam penuh teguran.   "Harap andika jangan menyebut saya demikian, nama saya Roro Kartiko, Kakangmas Bromatmojo."   Bromatmojo tersenyum mendengar ini. "Terima kasih... eh, Diajeng... sesungguhnya saya membutuhkan bantuanmu, yaitu sukalah kiranya andika membuatkan sebuah warangka untuk saya..., yaitu untuk keris pusaka saya..."   "Ehhh...!" Roro Kartiko menjadi merah sekali mukanya dan dia menunduk, sedangkan Joko Handoko mengerutkan alisnya.   "Dimas Bromatmojo, apa artinya ucapanmu itu?"   Bromatmojo merasa heran mengapa dara itu kelihatan malu-malu dan kakaknya itu kelihatan marah. Dia memandang kepada mereka berdua dengan heran, sepasang matanya yang jeli itu terbuka lebar dan dia berkata, "Eh, apa yang salah dengan permintaanku itu? Saya telah berhasil mendapatkan keris pusaka Kolonadah, akan tetapi semua warangka yang saya beli tidak ada yang dapat bertahan, semua pecah berantakan kalau dimasuki Kolonadah. Dan menurut nasehat Ki Empu Singkir, katanya pusaka itu panas dan harus diberi warangka buatan seorang dara yang memiliki kesaktian. Maka melihat Sriti... eh, Diajeng Roro Kartiko, timbul ingatan saya untuk minta bantuannya membuatkan warangka. Apa salahnya hal itu?"     Ah, begitukah...?" Roro Kartiko berkata dan tersenyum.   Juga wajah Joko Handoko menjadi cerah. "Ah, kalau begitu tentu saja adikku ini akan suka sekali membantu!"   "Habis anda berdua menyangka apa?" tanya Bromatmojo yang masih tidak mengerti.   "Tidak apa-apa, hanya tadi kami belum mengerti, Kakangmas Bromatmojo. Akan tetapi... aku tidak pernah membuat ukiran, bagaimana mungkin membuat warangka keris?"   "Tidak usah diukir, asal merupakan warangka dan dapat untuk menyimpan Kolonadah, karena tidak enak membawa-bawa pusaka tanpa warangka, hanya dibungkus saja."   "Baiklah, akan kucoba untukmu."   Karena urusan pembuatan warangka ini, pula karena Joko Handoko melihat bahwa gurunya dan para pengawal masih terus melakukan penjagaan ketat dengan penuh kewaspadaan, maka dua orang muda itu tinggal di dalam gedung samapi tiga hari tiga malam lamanya. Mereka menyamar sebagai dua orang anggota Sriti Kencana sehingga para pelayan tidak ada yang menaruh curiga, karena memang seringkali ada orang-orang berpakaian hitam bertopeng hitam berkeliaran bersama dua orang putera-puteri bupati itu.   Dan selama tiga hari itu, sikap dua orang putera-puteri Progodigdoyo itu amat baik, bahkan sikap Roro Kartiko amat manis kepada mereka, terutama sekali kepada Bromatmojo yang pandai mengambil hati dan yang memang amat tampan itu. Sutejo sendiri makin kagum dan merasa suka kepada puteri musuh besarnya itu, dan diam-diam dia menyayangkan mengapa seorang dara seperti itu menjadi puteri seorang jahat macam Progodigdoyo. Selain itu, juga dia merasa tidak senang menyaksikan sikap Bromatmojo yang begitu manis terhadap dara itu dan melihat Roro Kartiko bersikap seperti seorang dara yang amat tertarik oleh sahabatnya yang pandai merayu wanita itu.   Setelah tiga hari, selesailah sudah pembuatan sebuah warangka yang sederhana, yang dibuat oleh tangan Roro Kartiko sendiri dan tentu saja pembuatannya itu menurut petunjuk Bromatmojo yang sebagai murid seorang empu atau ahli keris, mengerti akan cara pembuatan keris dan warangkanya. Tentu saja ketika memberi petunjuk, sikap Bromatmojo dan Roro Kartiko makin akrab dan Sutejo hanya memandang dengan alis berkerut. Pemuda ini benar-benar merasa tidak senang akan hal itu, karena dia yang mengagumi Roro Kartiko sebagai seorang gadis yang gagah dan baik, merasa tidak senang melihat gadis itu digoda oleh Bromatmojo yang ceriwis dan mata keranjang!   Setelah warangka jadi, maka Bromatmojo dan Sutejo lalu mohon diri meninggalkan kabupaten itu. Penjagaan para pengawal sudah tidak begitu ketat lagi karena Resi Harimurti pun sudah meninggalkan Tuban, tidak ada yang tahu ke mana, mungkin ke Mojopahit menyusul Bupati Progodigdoyo. Ketika kedua orang muda itu pamit, Roro Kartiko kelihatan merasa berat sekali untuk berpisah.   "Selamat jalan, Adimas berdua. Kami hanya dapat berdoa semoga andika berdua selalu dalam selamat dan bahagia," kata Joko Handoko.   "Harap Kakangmas berdua tidak melupakan kami," kata Roro Kartiko yang sejak tadi memandang kepada Bromatmojo dengan mata bersinar-sinar dan kadang-kadang juga sayu, "Kami menganggap Kakangmas Sutejo sebagai putera mendiang Paman Lembu Tirta sebagai saudara kami sendiri..."   "Wah, dan aku bagaimana? Dianggap seperti apakah?" Bromatmojo bertanya.     Joko Handoko yang juga dapat menduga bahwa adiknya tertarik kepada pemuda yang tampan dan jenaka itu, tersenyum dan melirik kepada adiknya. "Sebagai apa, ya? Andida Roro, dianggap sebagai apakah sebaiknya Adimas Bromatmojo ini?"   Roro Kartiko mengangkat muka memandang kakaknya, lalu memandang kepada Bromatmojo dan kedua pipinya berubah merah sekali. "Kami selalu menganggap andika sebagai seorang sahabat yang amat baik, dan terserah bagaimana anggapan Bromatmojo terhadap kami..."   "Ahhh..." Sebagai sahabat baik? Terima kasih! Dan saya selalu menganggap Kakangmas Joko Handoko sebagai seorang sahabat yang gagah perkasa, dan Diajeng Roro Kartiko sebagai seorang puteri yang cantik jelita dan gagah perkasa seperti... seperti..."   "Ya? Seperti apa sih?" Roro Kartiko mendesak, matanya bersinar-sinar, bibirnya yang merah seperti mawar sedang mekar itu tersenyum manja.   "Seperti Srikandi!"   "Ihh, saya tidak mau dianggap genit dan galak seperti Srikandi."   "Kalau begitu seperti Dewi Suprobo saja, seperti bidadari dari kahyangan..."   Roro Kartiko menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. "Kakangmas Bromatmojo terlalu memuji."   "Elho! Siapa yang memuji? Memang andika cantik jelita seperti bidadari dari kahyangan, betul tidak, Kakang Tejo?"   Sutejo yang memandang dengan mata melotot tidak menjawab, melainkan berpamit, "Kami harus berangkat sekarang. Mari, Adi Bromo!" Suaranya berat dan kaku.   "Nanti dulu!" Joko Handoko berkata. "Biar pun sekarang cukup gelap, akan tetapi sebaiknya kalau andika berdua pergi dengan pakaian anggota Sriti Kencana dan kami antar sampai keluar dari kabupaten."   "Benar, demi keselamatan andika dan jangan sampai menimbulkan keributan lagi," sambung Roro Kartiko dan kakak beradik ini lalu memberi kesempatan kepada dua orang sahabatnya itu untuk mengenakan pakaian dan kedok hitam, kemudian berangkatlah Bromatmojo dan Sutejo sebagai dua orang anggota Sriti Kencana diantar oleh Joko Handoko dan Roro Kartiko. Dengan pengawalan dua orang putera-puteri bupati itu, tentu saja dengan mudah mereka dapat keluar dari kabupaten, keluar dari pintu gerbang tanpa ada gangguan dari para penjaga.   Ketika mereka hendak saling berpisah, Roro Kartiko mendekati Bromatmojo berkata lirih, "Kakangmas, harap jangan melupakan saya..."   "Ah, mana mungkin orang dapat melupakanmu, Diajeng?" Bromatmojo dengan beraninya lalu memegang tangan puteri itu, tangan yang berkulit halus lembut dan hangat. "Saya tidak akan melupakanmu dan sampai berjumpa kembali, Diajeng."   Akhirnya berangkatlah dua orang muda itu meninggalkan kabupaten. Joko Handoko dan Roro Kartiko memandang sampai bayangan dua orang muda itu lenyap ditelan kegelapan malam.   Sutejo dan Bromatmojo melakukan perjalanan tanpa bicara dan biar pun beberapa kali Bromatmojo mencoba untuk mengajak sahabatnya bicara, Sutejo hanya menjawab dengan anggukan atau gelengan saja, bahkan beberapa kali sama sekali tidak menjawab. Mereka lalu pergi ke rumah Empu Singkir di ujung barat kota Tuban.     Seperti biasa, sunyi di sekitar rumah kecil itu, tidak kelihatan ada orang, bahkan malam itu tidak terdengar bunyi berdencingnya baja digembleng. Bromatmojo menghampiri pintu dan diketuknya pintu rumah Empu Singkir. Namun, sampai lama dia mengetuk, tidak ada jawaban dari dalam.   "Eyang! Eyang Empu...!" berkali-kali Bromatmojo memanggil tanpa mendapat jawaban.   "Kakang Cantrik!" Dia memanggil cantrik, namun juga tanpa mendapat jawaban.   "Hemm, mencurigakan sekali," terdengar Sutejo berkata dan pemuda ini lalu mendorong daun pintu terbuka. Ternyata daun pintu tidak dipalang dari dalam, hanya ditutupkan saja.   "Hati-hati, Kakang Tejo," kata Bromatmojo dan keduanya memasuki rumah yang gelap itu.   "Eyang Empu....! Kakang Cantrik...!" keduanya memanggil, namun sunyi saja yang menyambut panggilan mereka.   Dengan meraba-raba Sutejo menemukan lampu dan alat pembuat apinya. Tak lama kemudian lentera itu telah dinyalakannya.   "Ahhh...!" Bromatmojo berteriak dengan kaget dan Sutejo melihat mereka itu rebah malang-melintang di ruangan itu, mandi darah dan tidak bernapas lagi! Empu Singkir dan dua orang cantriknya telah tewas dan melihat dada dan leher mereka yang terluka parah, mudah diduga bahwa mereka dibunuh orang.   "Lekas cari Kolonadah!" Bromatmojo berteriak.   "Percuma saja, tentu telah dibawa pergi oleh yang membunuh mereka," kata Sutejo. Dan memang benar, setelah mencari-cari di seluruh rumah, mereka tidak menemukan Kolonadah. Juga Ki Ageng Palandongan tidak nampak.   "Hemm, kakek itu, si keparat palsu! Siapa lagi kalau bukan dia yang membunuh mereka ini dan membawa lari keris Kolonadah?" Bromatmojo berkata marah.   "Tidak baik menuduh tanpa bukti. Kematian mereka belum lama, siapa tahu kita dapat mengejar dan menyusul pembunuhnya. Mari!" Sutejo berseru dan mereka lalu berloncatan keluar dari rumah itu, terus lari keluar dari Kabupaten Tuban menuju ke selatan.   Mereka mengejar dan mencari-cari jejak sampai pagi, namun tanpa hasil. Keris pusaka Kolonadah lenyap dan Empu Singkir bersama dua orang cantriknya tewas, Ki Ageng Polondangan tidak ada. Dengan hati penuh penasaran dan marah, Bromatmojo melanjutkan perjalanan ke selatan, diikuti oleh Sutejo yang banyak diam dan mengerutkan alisnya yang tebal itu.   "Si keparat Ki Ageng Palandongan! Kalau aku dapat berjumpa dengan dia, akan kucekik leher kakek berhati palsu itu!" Bromatmojo berkata dengan marah sekali ketika dia dan Sutejo pagi hari itu duduk di bawah pohon besar untuk mengaso setelah semalam suntuk mereka mencari-cari jejak pencuri keris Kolonadah tanpa hasil.   "Tidak semestinya engkau menuduh sembarangan saja kepada Ki Ageng Palandongan," Sutejo mencela dan dari suaranya, jelas bahwa pemuda ini merasa tidak senang.     Bromatmojo sedang marah, maka dicela demikian dia menjadi makin mendongkol. Habis, aku harus menuduh siapa? Jelas bahwa yang tahu tentang Kolonadah hanyalah Empu Singkir, dua orang cantriknya, dan Ki Ageng Palandongan. Sekarang, Empu Singkir dan dua orang pembantunya dibunuh orang, keris pusaka lenyap dan Ki Ageng Palandongan juga lenyap. Siapa lagi kalau bukan dia pembunuh dan pencurinya? Siapa lagi yang harus kusalahkan?"   "Hemm, orang pertama yang bersalah dalam hal ini adalah engkau sendiri!"   Bromatmojo menoleh dan memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata penasaran. "Aku? Aku malah yang bersalah? Kakang Tejo, apa maksudmu?"   "Engkau terlalu sembrono! Aku sudah merasa tidak setuju ketika engkau dengan mudah begitu saja meninggalkan keris pusaka itu kepada Empu Singkir. Akan tetapi engkau nekat meninggalkannya. Engkau masih begini muda akan tetapi engkau sudah tinggi hati, sembrono, dan mempunyai kebisaan-kebisaan yang tidak patut."   Bromatmojo membelalakkan matanya. Baru sekarang dia tahu bahwa temannya ini sedang marah kepadanya. Pantas saja sejak malam tadi jarang mau bicara. Kiranya marah kepadanya.   "Wah-wah, ada apalagi ini? Kau marah-marah dan memaki-maki orang!"   "Aku tidak memaki, hanya mengatakan yang sebenarnya dengan maksud agar engkau dapat mengubah kebisaanmu yang buruk itu, demi kebaikanmu sendiri."   Bromatmojo mengerutkan alisnya dan memandang tajam. "Coba katakan, perbuatan dan kebisaanku yang mana yang kau anggap tidak patut itu?"   "Banyak! Selain engkau kementus (besar kepala), kemaki (banyak lagak), terutama sekali engkau kurang susila terhadap wanita."   Bromatmojo terbelalak, mukanya menjadi merah dan dia sudah bangkit berdiri. "Kakang Tejo! Apa mksudmu?" Dia membentak, marah.   Sutejo juga berdiri namun sikapnya masih tenang sungguh pun dia jelas kelihatan marah pula. "Maksudku, engkau perayu wanita, engkau mata keranjang, engkau tidak sopan sehingga engkau tidak dapat membedakan wanita mana yang pantas kau rayu dan mana yang tidak."   "Eh, eh, mengapa kau tiba-tiba menjadi marah-marah begini? Siapa yang kurayu?"   "Engkau berani bersikap tidak sopan, tidak pantas dan merayu Roro Kartiko..."   "Ohhh, begitukah? Jadi engkau cemburu, ya? Engkau iri hati? Engkaulah yang tergila-gila kepada Roro Kartiko!"     "Hemm, boleh jadi aku kagum kepadanya. Dia seorang wanita yang hebat, seorang wanita yang berbudi, gagah perkasa, cantik jelita dan halus budi pekertinya..."   "Tapi dia anak musuh besarmu!"   "Aku tidak perduli akan hal itu, tidak boleh menyamakan ayahnya dengan anaknya. Akan tetapi, aku tidaklah tergila-gila macam engkau. Aku bukan seorang pemuda macam engkau yang mata keranjang."   "Eh, Kakang Tejo bicaramu makin lancang saja! Sikapmu ini saja jelas menunjukkan bahwa engkau jatuh cinta kepada puteri itu dan cemburu kepadaku, kau iri melihat aku dapat bersahabat akrab dengan dia!"   "Tidak! Andaikata hubunganmu dengan dia itu sewajarnya, sepatutnya, aku tidak akan merasa iri. Aku bukan cemburu, hanya aku tidak rela kalau engkau menyamakan dia dengan wanita-wanita biasa yang boleh saja kau bujuk rayu dan kau jatuhkan dengan ketampananmu, dengan lagak dan gayamu yang memikat, dengan kepalsuanmu..."   "Keparat!" Bromatmojo marah bukan main, kedua matanya seperti berapi-api. "Kau yang cinta dan tergila-gila kepadanya, tapi kau menuduh aku yang bukan-bukan. Hemm, Sutejo, kalau benar aku merayunya, habis, kau mau apa?"   "Bromatmojo, aku menganggap engkau sebagai seorang sahabat. Akan tetapi kalau engkau menyeleweng, tentu akhirnya engkau akan dihajar orang dan daripada orang lain yang menghajarmu, biarlah aku sendiri yang menghajarmu kalau engkau tidak bisa kuberi nasehat untuk merubah kelakuanmu yang tidak patut."   "Babo-babo keparat Sutejo! Sumbarmu seperti laki-laki tanpa tanding, seolah-olah engkau dapat mengukur tingginya langit dalamnya lautan! Kau hendak menghajar aku, ya? Keparat sombong, coba ingin aku melihat bagaimana engkau akan dapat menghajarku!"   Sutejo juga sudah marah sekali, kemarahan yang ditahan-tahannya semenjak dia melihat sikap Bromatmojo yang terlalu bermanis-manisan terhadap wanita. "Baik, kau majulah, Bromatmojo!"   "Kau terlalu memandang rendah kepadaku, setan!" Bromatmojo berteriak dan dia lalu meloncat ke depan sambil memekik nyaring, "Haaiiiittt...!" langsung dia menyerang Sutejo dengan pukulan-pukulan Hasto Bairowo setelah dengan gemas dia membanting-banting kakinya.   "Ehhh...!!" Sutejo bergerak mengelak sambil menangkis.   "Dukkk!!" Dua lengan bertemu dengan dahsyatnya dan keduanya terhuyung ke belakang.   "Rasakan ini...!" Bromatnojo kembali menyerang, kini dia bergerak cepat, lalu tiba-tiba tubuhnya merendah, tangan kirinya dengan aji kesaktian Hasto Nogo yang amat dahsyat itu menyambar ke arah lambung lawan.     Wuuuttt... ehhh!" Sutejo cepat mengelak dari sambaran pukulan sakti yang amat berbahaya itu, akan tetapi tiba-tiba kaki kanan Bromatmojo mencuat dan menendang dari bawah ke arah perutnya.   "Plakk!" Sutejo menangkis dari samping dan berusaha menangkap pergelangan kaki lawan, akan tetapi pada saat itu, tangan kanan Bromatmojo sudah menyambar dengan jotosan dari depan sehingga terpaksa dia mengelak dengan miringkan tubuh dan menangkis, tidak sempat lagi menangkap kaki.   Terjadilah pertandingan yang amat seru. Berkali-kali keduanya mengeluarkan bentakan, teriakan dan tangan kaki mereka bergerak-gerak dengan cepatnya, saling serang, saling pukul, saling tampar, saling tendang. Kemarahan Bromatmojo sudah memuncak. Sebetulnya, dara ini merasa hatinya sakit sekali. Dia yang diam-diam telah jatuh cinta kepada Sutejo kini mengira bahwa Sutejo telah jatuh hati kepada Roro Kartiko, pemuda yang kelihatannya pendiam dan yang selalu menjauhkan diri dari wanita itu, kini jatuh cinta kepada Roro Kartiko maka diam-diam dia merasa cemburu, sakit hati dan marah sekali! Apalagi mendengar dia memaki-maki sebaliknya Roro Kartiko dipuji-puji, membuat dia lupa sedang menyamar sebagai seorang pria dan bahwa Sutejo menganggap dia seorang pria! Dia dibakar oleh api cemburu. Di lain fihak, Sutejo juga marah dan kecewa. Diam-diam dia suka sekali kepada sahabat barunya ini, suka dan kagum. Akan tetapi, melihat Bromatmojo menggoda Roro Kartiko, dia merasa tidak senang. Dia tidak ingin melihat puteri yang dikaguminya itu menjadi korban keceriwisan Bromatmojo, juga dia tidak ingin melihat sahabatnya itu melanjutkan kebisaannya yang tidak patut. Dia ingin menyadarkan Bromatmojo, kalau perlu menghajarnya seperti seorang kakak menghajar adiknya yang menyeleweng.   Justru karena dasar yang mendorong pertempuran itulah yang membuat pertempuran itu ramai dan seru sekali, bahkan setanding. Sebetulnya tingkat kepandaian Sutejo masih lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Bromatmojo. Akan tetapi, kalau Bromatmojo yang diamuk cemburu itu berkelahi dengan sungguh-sungguh, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua aji kesaktiannya, di lain fihak Sutejo banyak mengalah dan tidak mempunyai niat sedikit pun untuk melukai sahabatnya itu, apalagi membunuhnya dengan pukulan sakti yang terlalu kuat.   (Bersambung ke Jilid 37)   Jilid 37   Pertandingan itu berlangsung dengan hebat, dan agaknya serangan-serangan kedua fihak tidak pernah mengendur. Sampai matahari naik tinggi, masih saja mereka saling hantam dan tubuh mereka bergerak cepat berkelebatan di bawah pohon itu. Hawa-hawa pukulan mereka sampai merontokkan daun-daun pohon. Peluh telah membasahi seluruh tubuh mereka, dan keduanya sudah terasa kelelahan.   "Desss...!" Untuk ke sekian kalinya, dua lengan mereka bertemu dan keduanya terhuyung ke belakang. Bromatmojo hampir roboh saking lelahnya. Kedua kakinya sudah gemetar rasanya. Dia mengusap peluh di dahinya dengan punggung tanganya yang terasa nyeri-nyeri. Lengannya sudah matang biru karena sering bertemu dengan lengan Sutejo, tangannya juga panas dan nyeri. Napasnya sudah terengah-engah dan kepalanya agak pening. Kemarahannya makin memuncak dan mengingat betapa Sutejo tidak mau mengalah kepadanya, kejengkelannya memenuhi dada dan dia mengusap lagi peluh yang menetes turun sehingga kelihatan dia agak lambat menyerang lagi.   "Hayo keluarkan seluruh tenaga dan kesaktianmu, Bromatmojo! Sebelum engkau menyatakan bertobat dan tidak akan melanjutkan sikapmu yang ugal-ugalan terhadap wanita, aku akan menghajarmu!"   "Keparat...!!" Kemarahan yang bagaikan api mengamuk itu mendatangkan tenaga baru kepada Bromatmojo dan dia sudah meloncat dan menyerang lagi dengan hebatnya.     Bress!!" Kembali keduanya terlempar ke belakang oleh pertemuan dua telapak tangan yang sama-sama memiliki aji kesaktian, akan tetapi karena kedua kaki Bromatmojo sudah gemetar kelelahan, dia jatuh terduduk sedangkan Sutejo hanya terhuyung saja. Kedua tangannya terasa panas dan sakit sekali, maka tanpa dapat dicegah lagi, Bromatmojo menangis!   Sutejo terkejut dan terheran-heran. Seorang pemuda yang memiliki kesaktian seperti Bromatmojo jarang sekali dapat ditemukan, begitu muda dan begitu halus akan tetapi benar-benar amat perkasa, jauh lebih sakti daripada Joko Handoko. Akan tetapi kenapa menangis?   "Huh, kau pemuda cengeng! Belum patah tulangmu, belum robek kulitmu, sudah merenggek seperti perempuan saja!"   "Keparat sombong kau, Sutejo!" Bromatmojo meloncat lagi dan seketika tangisnya terhenti oleh kemarahan dan dengan pengerahan tenaganya, dia telah menggunakan ilmu meringankan diri Turonggo Bayu, tubuhnya seperti kilat saja menyambar ke arah Sutejo dan dia mengerahkan tenaga Hasto Nogo memukul dengan dahsyat.   "Bresss...!!" Kini Sutejo yang terpental, karena biar pun dia sudah berhasil menangkis, ternyata dia kalah cepat sehingga kedudukan kedua kakinya belum kuat dan dia tidak dapat bertahan sehingga terpental dan terguling-guling.   Bromatmojo terkejut bukan main, cepat dia meloncat mendekati. "Kau... kau tidak apa-apa?" tanyanya.   Sutejo sudah bangkit berdiri. "Ilmumu meringankan tubuh bukan main hebatnya, kau terlalu cepat bagiku," kata Sutejo. "Akan tetapi aku belum kalah!" Dan kini dialah yang menyerang sehingga Bromatmojo cepat menghindarkan diri, mengandalkan kegesitan tubuhnya. Mereka bertanding lagi dengan hebatnya.   Tiba-tiba terdengar seruan-seruan kaget dan dua sosok bayangan berkelebat datang. Mereka itu ternyata adalah dua orang yang berpakaian hitam-hitam dan berkedok hitam, pakaian Sriti Kencana.   "Tahan...! Dimas Sutejo, tahan...!" terdengar suara Joko Handoko.   "Kakangmas Bromatmojo, hentikan pertempuran ini!" terdengar pula suara Roro Kartiko dan kakak beradik ini cepat meloncat ke tengah-tengah, melerai dan menghadang mereka yang sedang bertempur.   Sutejo dan Bromatmojo cepat melompat mundur dan berdiri terengah-engah mandi peluh.   "Apa yang terjadi? Kenapa Andika berdua saling bertanding sendiri?" Roro Kartiko bertanya dengan penuh keheranan dan kekhawatiran.   "Eh, Diajeng Roro Kartiko, siapa yang bertempur?" Bromatmojo balas bertanya.   "Jelas bahwa kalian berdua tadi bertanding mati-matian!" kata pula Joko Handoko. "Dimas Sutejo, bukankah kalian tadi bertanding?"     Sutejo memandang ke arah Bromatmojo yang sudah tersenyum sambil menghapus peluh dari dahi dan leher, dan dia lalu menggeleng kepala tanpa menjawab.   "Kami tidak bertanding, mengapa harus saling serang? Kami hanyalah berlatih saja! Saya dan Kakang Tejo sedang berlatih agar tidak menjadi kaku gerakan kami," kata Bromatmojo.   "Benarkah begitu, Kakangmas Sutejo?" Roro Kartiko bertanya sambil menoleh kepada Sutejo, akan tetapi dia masih berdiri dekat Bromatmojo.   "Benar, kami hanya berlatih," jawab Sutejo.   "Aihh, kalian berlatih demikian hebatnya, sampai kami berdua merasa kaget bukan main. Baru latihan saja sudah demikian hebat, apalagi kalau sungguh-sungguh, benar-benar kalian adalah dua orang yang memilki kesaktian hebat!" Joko Handoko berseru kagum bukan main.   "Hebat apanya? Jangan terlalu memuji, Kakangmas Joko Handoko. Kami adalah orang-orang bodoh, terutama aku sendiri, sehingga mudah saja ditipu orang," kata Bromatmojo, menarik napas panjang dan diam-diam dia merasa lega karena kalau saja dua orang ini tidak cepat datang, agaknya dia harus mengakui keunggulan Sutejo.   "Eh apa maksudmu?" Roro Kartiko bertanya.   "Keris pusaka Kolonadah yang saya titipikan kepada Empu Singkir telah lenyap!"   "Ehh?? Apakah Empu Singkir melarikannya?" tanya Joko Handoko.   "Tidak," jawab Bromatmojo. "Malah dia dan dua orang cantriknya kami dapati tewas di rumahnya, dan pusaka itu lenyap tak meninggalkan bekas, tentu dilarikan oleh pembunuh mereka. Dan semua itu adalah karena kelalaian saya yang mempercayakan pusaka itu di sana." Sambil berkata demikian, Bromatmojo melirik ke arah Sutejo karena kata-katanya itu seolah-olah pengakuan bahwa memang dia lalai dan sembrono.   "Hemm, kami berjanji akan mengerahkan saudara-saudara kami untuk menyelidiki hal itu, Dimas Bromatmojo. Kami akan membantu kalian," kata Joko Handoko.   "Terima kasih," Sutejo yang sejak tadi diam saja ikut menjawab. "Akan tetapi, Andika berdua hendak pergi ke manakah?"   Joko Handoko menarik napas panjang lalu menceritakan. "Setelah malam tadi Andika berdua pergi, datang seorang anak buah Sriti Kencana yang melaporkan adanya peristiwa yang patut kami selidiki sendiri. Menurut laporan itu, di Pegunungan Kendeng terdapat beberapa orang penyembah Bhatari Durga yang kabarnya banyak memikat para wanita untuk menjadi pengikut mereka. Hal itu sebenarnya bukanlah hal aneh dan tentu kami tidak akan melakukan penyelidikan kalau saja tidak ada laporan bahwa keadaan para pendeta penyembah Bhatari Durga itu, pendeta-pendeta perempuan yang aneh, amat mencurigakan. Selain banyak wanita cantik yang seperti tergila-gila dan berbondong menjadi murid mereka, juga terdapat berita bahwa tiga orang wanita yang tadinya masih gadis, setelah menjadi Anggota selama beberapa bulan, pada suatu hari pulang ke dusun mereka dalam keadaan hamil dan membunuh diri! Nah, itulah sebabnya maka Anggota kami lalu melapor dan karena kabarnya pendeta-pendeta Durga memiliki kesaktian, kami berdua sendirilah yang akan pergi menyelidikinya. Kalau Adimas berdua suka, kami harap Andika berdua ikut menyelidiki ke sana, dan kalau Andika berdua mau, sungguh pertemuan ini merupakan hal yang amat menguntungkan."   Bromatmojo yang ingin cepat menyelidiki tentang keris pusaka Kolonadah yang lenyap, sebetulnya ingin menolak ajakan itu. Akan tetapi dia didahului oleh Sutejo yang berkata, "Maaf, saya harus cepat-cepat menuju ke Mojopahit, dan karena pusaka Kolonadah juga lenyap, maka saya kira kami tidak bisa dan..."     Terdorong oleh hati yang sedang marah terhadap Sutejo, penolakan Sutejo itu sudah cukup untuk mendorong hati Bromatmojo untuk mengambil sikap yang berlawanan. Kalau tadinya dia sendiri ingin menolak, kini cepat dia berkata, "Tentu saja aku suka sekali untuk membantu Andika berdua! Gunung Kendeng tidak jauh dari sini, mari kita berangkat sekarang juga!"   Sutejo menerutkan alisnya, memandang kepada Bromatmojo. "Akan tetapi, Adi Bromatmojo, kalau kita tidak lekas mengejar, tentu pembunuh dan pencuri keris itu akan lari makin jauh."   "Seorang ksatria mendahulukan hal yang terpenting," kata Bromatmojo, sengaja menentang untuk melampiaskan perasaanya yang mengkal terhadap pemuda itu. "Orang-orang jahat penyembah Bhatari Durga menyebar kemaksiatan dan mengganggu rakyat, hal itu tidak boleh ditunggu lagi dan harus cepat ditanggulangi, sedangkan urusan keris Kolonadah yang dilarikan pencuri, lain hari masih boleh diselidiki dan dicari. Bukankah benar demikian, Diajeng Roro?" Bromatmojo sengaja bersikap manis kepada puteri itu.   Wajah Roro Kartiko yang kini sudah tidak tertutup kedok itu menjadi merah. "Andika adalah seorang ksatria utama, dan saya menghaturkan terima kasih atas bantuan yang andika janjikan itu, Kakangmas Bromatmojo."   Hati Sutejo meradang, akan tetapi di depan kakak beradik itu, apa yang dapat dia lakukan kecuali menahan kemarahannya? "Baiklah, mari kita berangkat," katanya singkat sambil menelan kemarahannya terhadap Bromatmojo yang jelas hendak menggunakan kesempatan itu untuk menarik hati puteri jelita itu. Bromatmojo tentu saja mengerti bahwa temannya itu marah-marah dan mendongkol, akan tetapi karena dia tahu bahwa marahnya itu karena dia berbaik dengan Dyah Roro Kartiko, dia malah makin menjadi dan makin mesra sikapnya terhadap Roro Kartiko untuk menggoda hati Sutejo! Demikian mesra dan terang-terangan dia menggandeng tangan dara itu, sampai Raden Handoko sendiri menyentuh tangan Sutejo dan memberi isyarat dengan matanya ke arah pasangan yang bergandengan tangan itu. Tentu saja Sutejo menjadi makin meradang! Tidak, dia tidak cemburu, dia tidak mempunyai rasa cinta kasih terhadap Roro Kartiko, akan tetapi dia kagum terhadap dara itu dan tidak rela hatinya kalau melihat Roro Kartiko dipermainkan oleh Bromatmojo yang dia tahu adalah seorang "pemuda mata keranjang!"   Apakah yang terjadi di Pegunungan Kendeng? Daerah pegunungan ini selamanya tenteram dan tenang, tanahnya subur, dan hawanya sejuk, tidak pernah terjadi sesuatu yang menggegerkan rakyat yang tinggal di sekitar daerah itu. Akan tetapi sejak beberapa bulan terakhir ini, ramai rakyat membicarakan datangnya seorang nenek yang kabarnya memiliki kesaktian seperti dewa! Nenek itu bertubuh tinggi besar dan dia datang entah dari mana tidak ada orang mengetahuinya, seorang nenek yang membawa tongkat panjang yang mula-mula menimbulkan rasa takut di hati orang, akan tetapi tak lama kemudian menjadi seorang yang dipuja-puja seperti seorang dewa yang sakti.   Munculnya nenek itu sudah aneh. Pada suatu sore yang tenteram, beberapa bulan yang lalu, ketika suami isteri Parmono dan Partiwi sedang sibuk menggodok ketela untuk makan malam sambil bercakap-cakap karena mereka adalah pengantin baru yang belum ada sebulan menjadi pengantin, terdengar suara dari luar pondok mereka, suara seperti orang minta dibukai pintu.     "Ihh, siapa yang datang bertamu di waktu surup (senja) begini, sih?" Partiwi mengomel karena merasa terganggu.   Parmono sedang membelah kayu bakar dengan kapak, maka dia berkata, "Mungkin seorang tetangga, atau seorang yang datang untuk minta-minta. Keluarlah sebentar, manis."   Sebutan ini menyenangkan hati Partiwi dan dia mau melakukan perintah apa saja kalau suaminya, yang baru dikenalnya kurang dari sebulan itu, menyebutnya seperti itu. Setelah mendorong beberapa kayu baru ke dalam perapian, dia lalu keluar dan membukakan daun pintu depan. Setiap matahari telah terbenam, pintu-pintu depan harus ditutup agar jangan ada "setan masuk"   Ketika daun pintu terbuka, bulu tengkuk meremang di tengkuk pengantin baru itu. Hampir saja dia menutupkan lagi daun pintu dan lari masuk, akan tetapi ketika nenek itu tersenyum memandangnya, dia tidak jadi menutupkan daun pintunya. Kiranya yang berdiri di luar pintunya adalah seorang nenek yang usianya tentu tidak kurang dari tujuh puluh tahun, bertubuh tinggi besar dengan punggung agak bongkok, tangan kiri membawa sebatang tongkat panjang berwarna hitam dan berbentuk tubuh ular, tangan kanannya menyangga sebuah arca yang amat bagus, arca yang ukirannya amat indah membentuk tubuh seorang wanita cantik, arca Bathari Durga!   "Ommm... syanti... syanti... syanti...!" Nenek itu berdoa dengan suara yang parau dan besar. "Semoga para dewata memberkahimu, cah ayu. Genduk, bocah ayu, kau tolonglah seorang nenek tua seperti aku, berilah aku sekedar makan dan tempat untuk melewatkan malam ini, dan aku akan berdoa agar Sang Hyang Bhatari Durga memberkahimu dengan seorang putera yang bagus dan mulia."   Wajah yang manis itu seketika menjadi merah padam, akan tetapi tentu saja Partiwi cepat tersenyum dan mempersilakan nenek itu masuk. "Silakan masuk, Nek. Akan tetapi tempat kami kotor dan kami tidak mempunyai hidangan yang layak."   "Hik-hik! Senyummu telah menerangi semua tempat sehingga nampak indah, dan sinar matamu membuat semua hidangan menjadi lezat, genduk bocah ayu!" Makin tersipu-sipulah Partiwi oleh pujian ini dan dia menutupkan kembali daun pintu setelah nenek itu memasuki pondoknya yang sederhana.   "Siapa dia, isteriku?" Tiba-tiba Parmono muncul membawa kapak di tangan dan sepotong kayu bakar di tangan kiri. Ketika dia melihat seorang nenek tua bongkok, dia memandang penuh keheranan.   "Kakang dia ini adalah seorang nenek yang kemalaman di jalan dan minta ikut makan dan bermalam di sini."   "Hemm, kalau saja aku tidak mengganggu, orang muda," nenek itu berkata sambil memandang kepada Parmono. Parmono mendapat kenyataan dengan hati kaget bahwa nenek itu biar pun sudah tua sekali namun sinar matanya tajam dan penuh wibawa!     "Tentu saja tidak, sama sekali tidak!" katanya gugup. "Akan tetapi, kami miskin, tidak punya apa-apa, hanya godokan ketela..."   Nenek itu terkekeh. "Benarkah, mari kita lihat!" katanya. Suami isteri itu saling pandang, tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh nenek itu dan ketiganya lalu kembali ke dalam dapur. Nenek itu tanpa diminta lalu membuka tutup dandang dan melihat bahwa memang benar mereka menggodok ketela, atau lebih tepat mengedang ketela.   "Kenapa tidak menanak nasi?" tanyanya.   Suami isteri itu saling pandang. "Belum waktunya panen padi, Nek, dan kami tidak mempunyai simpanan beras," kata Partiwi.   "Heh-heh, mengapa amat susah? Mari kuberi kau beras, cah ayu," katanya sambil terbongkok-bongkok keluar dari pintu kecil belakang dapur. Suami isteri itu merasa bingung dan dengan bingung mengikutinya. Nenek itu lalu mengambil pasir di luar pondok dan memasukkan pasir itu ke dalam sebuah tumbu (tempat beras dari bambu). "Nah, kau masaklah beras ini."   Partiwi hendak membantah dengan marah, akan tetapi suaminya menyentuh lengannya dan mengedipkan pandang matanya. Celaka, pikir Partiwi, agaknya nenek ini adalah seorang gila dan suaminya tidak berani membantahnya, khawatir kalau-kalau nenek itu mengamuk. Padahal bukan demikianlah pandangan Parmono. Dia melihat nenek itu datang membawa sebuah arca Bathari Durga yang amat indah, sikapnya pun aneh dan luar biasa sekali pandang matanya, maka timbul kepercayaan di dalam hatinya.   Dengan bersungut-sungut Partiwi mulai menanak "beras" itu dan setelah memasukkan pasir itu di atas kuwali dan menggodoknya, nenek itu berkata, "Genduk bocah ayu, jangan kau buka tutup kuwali itu sebelum berasnya matang, ya?"   Partiwi hanya mengangguk dan nenek itu hanya terkekeh duduk di atas dingklik yang terdapat di dalam dapur. Parmono lalu menanggapnya.   "Kalau boleh kami mengetahui, Nenek ini siapakah dan datang dari manakah?"   "Ha-ha-ha, aku adalah Nyi Durgakelana, orang muda. Sang Hyang Bathari Durga sendiri yang berkenan mengutus aku untuk berkelana di seluruh jagad raya untuk memberi penerangan kepada umat manusia yang sedang dilanda kegelapan. Jangan kalian khawatir, karena kebetulan Sang Hyang Bathari Durga yang memilih kalian untuk menjadi pembantu-pembantuku, maka aku datang malam ini di sini."   Parmono terkejut. "Tapi..." bantahnya.   Pada saat itu terdengar suara tangis riuh rendah dari rumah tangga di sebelah kiri.   "Hemm, mengapa ribut-ribut menangis itu?" Nenek yang mengaku bernama Nyi Durgakelana bertanya.   Tiba-tiba Parmono mendapat gagasan yang baik. "Nenek yang baik, kalau memang benar Andika adalah pilihan Sang Hyang Bathari, maka tolonglah keluarga Karyo di sebelah itu. Anaknya sakit keras dan agaknya sudah sukar untuk diobati lagi, maka mereka itu selalu menangis dengan sedih."     "Benar, Nenek yang sakti. Tolonglah mereka." Partiwi juga membujuk karena dia merasa amat kasihan kepada keluarga yang ditimpa kemalangan itu.   "Heh-heh-heh, apa sih sukarnya? Suruh bawa si sakit ke sini!" jawab Nyi Durgakelana.   Tanpa diperintah dua kali, Parmono segera meloncat dan lari ke tetangga di sebelah. Sementara itu, Partiwi mengusap keringat di dahinya dan mengusap sinom (anak rambut) yang melingkar di dahinya. Sejak tadi dia selalu bermain di dekat api, tadi menggodok ketela, kini menanak "beras". Dia tidak tahu bahwa sejak tadi nenek itu memandangnya dengan pandang mata penuh gairah.   "Siapa namamu, cah ayu?" Tiba-tiba nenek itu bertanya.   "Partiwi, Nek."   "Hemm, namamu bagus sekali, akan tetapi orangnya lebih bagus. Engkau sungguh manis sekali, Partiwi."   Biar pun, yang memujinya hanya seorang wanita tua, namun jantung wanita muda itu berdebar aneh dan mukanya menjadi merah. "Ke sinilah, genduk cah ayu."   Dengan hati tegang dan agak takut-takut Partiwi mendekat dan nenek itu lalu memegang kedua pipinya yang halus dengan jari-jari tangan kasar, kemudian mengecup dahi yang berkeringat itu.   "Cupp...!!"   "Ah, Nek. Dahiku berkeringat..." Partiwi cepat menjauhkan diri, jantungnya makin berdebar tidak karuan. Biar pun nenek ini seorang wanita tua, akan tetapi selama hidupnya belum pernah ada orang mengecup dahinya semesra itu, kecuali suaminya tentu. Akan tetapi itu lain lagi.   "Ke sinilah, genduk cah ayu, aku masih belum puas menikmati kecantikanmu!" kata pula nenek itu dengan nada suara yang aneh. Partiwi hendak membantah, akan tetapi sungguh aneh sekali, hatinya tidak kuasa membantah, tidak berani dia menentang dan di luar kehendaknya, kakinya kembali melangkah mendekati nenek itu.   "Heh-heh-heh, kau menjadi muridku yang pertama, engkau menjadi kepercayaanku dan engkau yang akan menjadi bendaharaku, akan tetapi engkau harus mentaati aku dan menjadi kesayanganku, cah ayu." Berkata demikian, jari-jari tangan yang kasar dan panjang-panjang itu mulai menggerayangi ke seluruh tubuh Partiwi.     Bukan main kagetnya wanita muda itu. "Ih... Nek...!" Akan tetapi dia tidak kuasa menolak, apalagi menjauhkan diri sehingga dia hanya memejamkan mata ketika nenek itu memeluk dan menggerayangi dadanya. Akan tetapi nenek itu segera melepaskan pelukannya dan mendorong tubuh Partiwi yang sudah menggigil dan panas dingin itu ke samping ketika terdengar suara dari pintu dapur.   Parmono muncul dan suami ini tidak melihat betapa isterinya yang berjongkok di depan perapian itu menggigil seluruh tubuhnya seperti orang kedinginan dan mukanya pucat, matanya sayu. Suami ini sedang sibuk membantu Pak Karyo menggotong seorang bocah laki-laki berusia sepuluh tahun yang sakit dan pingsan, ditangisi oleh ibunya dan saudara-saudaranya yang ikut pula mengantar si sakit ke rumah Parmono karena menurut orang muda itu, dia kedatangan seorang "dukun" yang aneh.   Anak kecil yang pingsan itu dibaringkan ke dalam kamar Parmono, di atas balai-balai bambu dan nenek itu lalu menghampirinya. Tiba-tiba tubuh nenek itu mengejang, matanya terbelalak dan mulutnya berkemak-kemik membaca mantera, kedua tangannya mengejang kaku dengan jari-jari terbuka lebar ditodongkan ke arah si sakit. Kemudian dia mengeluarkan sesuatu dari dalam bajunya, membuka mulut si kecil yang pingsan itu dengan paksa dan meludahi mulut itu.   "Ambil batok dan air!" bentaknya, suaranya sudah menjadi lain.   Parmono cepat lari mengambilkan air dalam batok kelapa. Nenek itu lalu memasukkan sedikit bubuk hitam dari bungkusan yang diambil dari saku tadi ke dalam air dan dengan bantuan Parmono, dia menuangkan cairan hitam itu ke dalam mulut si anak yang sakit. Kemudian kembali dia dengan kedua lengan mengejang, menggerak-gerakkan jari-jari tangan di atas badan anak itu sampai lama sekali.   "Angger, bangunlah, Angger. Bangunlah!" Suaranya penuh dengan pengaruh mujijat sehingga mereka yang tadinya duduk pun otomatis bangkit berdiri seolah-olah suara itu ditujukan kepada mereka dan bukan pada Si Anak yang sakit.   Dan terjadilah keanehan! Anak itu mengeluh, lalu bangkit duduk! Ibunya menjerit dan menubruk, merangkul dan menangis tersedu-sedu. Anaknya sudah dianggap mati tadi, dan sekarang hidup kembali!   Semenjak peristiwa itu, Nenek Nyi Durgakelana menjadi terkenal sekali. Dia tetap tinggal di pondok Parmono dan makin banyaklah orang yang datang, bukan hanya orang-orang sakit minta diobati, akan tetapi juga nenek ini menerima banyak sekali murid-murid. Dan hebatnya, yang dapat diterima menjadi muridnya hanyalah wanita-wanita muda yang cantik-cantik yang menjadi "murid kepala" adalah Partiwi! Tidak ada seorang pun tahu, juga Parmono sendiri tidak tahu, apa yang terjadi pada malam itu setelah anak tetangga itu disembuhkan. Parmono hanya tahu bahwa isterinya mendapatkan bahwa "pasir" itu berubah menjadi nasi dan malamnya, nenek itu minta agar ditemani oleh Partiwi! Dan Parmono tentu saja tidak berani membantah, bahkan merasa bahagia sekali bahwa isterinya dipilih dan disayangi oleh nenek utusan Sang Bathari Durga itu! Dia tidak tahu apa yang terjadi, hanya semenjak malam itu, isterinya jarang menggaulinya, wajah isterinya agak pucat, matanya sayu dan seringkali isterinya termenung seperti orang bingung. Dia hanya mengira bahwa isterinya tentu telah menjadi murid dan mulai menerima ilmu maka sikapnya berubah aneh!   (Bersambung ke Jilid 38)   Jilid 38   Di dalam beberapa bulan itu, beberapa kali Sang Nenek aneh ini menerima tamu, yaitu dua orang kakek yang sama anehnya. Akan tetapi dua orang kakek itu hanya bermalam satu malam saja, tidak mau menemui lain orang, hanya bicara dengan Nyi Durgakelana di dalam kamar tanpa ada yang berani mengintai atau mendengar percakapan mereka. Dan kedatangan mereka selalu di waktu bulan purnama, sehabis dusun itu mengadakan pesta persembahan kepada Bathari Durga yang dilakukan dengan meriah dan penuh kegembiraan oleh para murid Nyi Durgakelana. Murid-muridnya sudah banyak sekali, lebih dari dua puluh orang wanita muda yang cantik, yang datang dari berbagai dusun, dan Partiwi tetap menjadi murid kepala dan orang kepercayaan, bahkan wanita ini pula yang memegang segala harta sumbangan yang datang membanjir dari segenap dusun. Bahkan kepala-kepala desa pun tunduk kepada nenek ini dan menganggapnya sebagai seorang keramat yang suci!   "Dusun-dusun kita telah menjadi dusun yang suci "murni!" demikian antara lain Nyi Durgakelana berkata dalam berbagai "ceramahnya". Dusun-dusun kita telah dipilih Sang Bathari sendiri. Oleh karena itu, janganlah kalian melakukan kejahatan dan taatilah semua permintaan Sang Bathari yang dilakukan melalui mulutku. Apa pun yang dimintanya adalah baik dan jangan menafsirkan dengan akal budi dan pikiran, karena kehendak Sang Bathari tentu saja berlainan dengan kehendak manusia. Semua orang yang melakukan kejahatan, sudah pasti akan dihukum secara langsung di dusun-dusun ini!"   Dan memang benar. Semenjak ada agama baru ini berkembang di dusun-dusun itu, tidak ada lagi maling berani beraksi dan orang merasa takut melakukan kejahatan! Apalagi setelah ada dua orang maling tahu-tahu telah tewas di dalam rumah yang dimalinginya tanpa ada yang tahu apa sebabnya! Dan dua orang laki-laki dan wanita yang melakukan perjinaan di tengah sawah dalam gubug, Si Wanita seorang janda dan Si Pria sudah beristeri, tahu-tahu mati pula di dalam gubuk itu tanpa luka! Tentu saja tidak ada yang menduga bahwa kematian maling-maling dan orang-orang yang bermain cinta haram di gubuk itu terbunuh oleh Nyi Durgakelana yang memiliki kesaktian! Untuk mencari nama dan pengaruh, pada malam-malam pertama nenek ini selalu menggunakan kepandaiannya untuk meronda di dusun-dusun sekitarnya, bahkan dia berhasil pula mendatangkan "mimpi-mimpi" kepada semua kepala dusun sehingga mereka ini ketakutan dan tunduk kepada Si Nenek ajaib!   Akan tetapi tidak ada sesuatu yang kekal di dunia ini. Apalagi hal-hal yang sifatnya jahat, bahkan yang baik sekali pun menurut ukuran umum belum tentu selalu lancar dan tidak ada gangguan. Pada malam bulan purnama dua bulan yang lalu, di antara para wanita muda cantik yang menjadi "Anggota" baru dari perkumpulan penyembah Bathari Durga itu, terdapat tiga orang gadis-gadis cantik. Yang dua orang adalah gadis-gadis dusun yang jujur dan mulus, semulus tubuh mereka. Akan tetapi yang ke tiga sebenarnya adalah seorang Anggota Sriti Kencana yang merasa curiga dan melakukan penyelidikan! Bersama dua orang gadis dusun itu, dia diterima menjadi Anggota baru dan seperti biasa dalam penerimaan Anggota baru, mereka bertiga diberi minum "darah suci" dan di dalam keadaan setengah mabok, mereka bertiga lalu diharuskan "bertapa" di dalam kamar-kamar tertentu tanpa ada yang boleh mengganggu mereka.   Setelah pesta habis dan bubar, apa yang terjadi? Sungguh amat mengerikan bagi tiga orang gadis itu! Nyi Durgakelana mendatangi mereka diharuskan "bertapa" selama tiga hari tiga malam di dalam kamar masing-masing, tidak boleh keluar dan tidak boleh bicara dengan siapa pun juga.   "Ingat, selama tiga hari tiga malam itu mungkin saja kalian menerima ilham dan anugerah dari para dewata dan jangan heran atau terkejut kalau ada dewa datang dari kahyangan untuk menemani kalian karena dengan menjadi Anggota kami, kalian adalah pilihan-pilihan para dewata. Kalian menurutlah saja karena apa pun yang terjadi yang dilakukan oleh para dewa, tentu saja amat baik bagi kalian!"     Demikian pesan nenek itu dan pada malam pertama itu juga, di kamar masing-masing muncullah seorang kakek dalam keremangan penerangan kecil di dalam kamar itu, seorang kakek yang sama sekali tidak bersikap sebagai dewa karena kakek itu merayu mereka dan kemudian memperkosa mereka yang sama sekali tidak berani melawan karena ketakutan! Sampai tiga hari tiga malam tiga orang kakek itu selalu muncul untuk mempermainkan mereka!   Pada hari ke empatnya, dua orang gadis dusun itu dinyatakan sebagai murid dan diharuskan tinggal di asrama, sedangkan Anggota Sriti Kencana itu diangkat menjadi pelayan nenek itu, bekerja di sebelah dalam sedangkan dua orang temannya bekerja di sebelah luar.   Dua bulan kemudian, pada suatu malam dua orang gadis manis itu melarikan diri, pulang ke kampung mereka dan tahu-tahu ada berita bahwa mereka itu membunuh diri di rumah mereka dalam keadaan sudah mengandung hampir dua bulan! Anggota Sriti Kencana yang tadinya seperti orang tidak sadar karena selalu diberi minum "darah suci", menjadi terkejut dan cepat dia melarikan diri lalu melaporkan hal yang aneh itu kepada pimpinan Sriti Kencana, yaitu Joko Handoko dan Roro Kartiko yang menjadi marah dan berangkat sendiri untuk melakukan penyelidikan.   Malam itu bulan purnama berser-seri di langit cerah. Di lereng Pegunungan Kendeng, di dusu Kabalan yang kini menjadi dusun yang amat terkenal di seluruh daerah Kendeng karena menjadi dusun pusat agama Durga yang baru itu, lampu-lampu dinyalakan dengan terang sekali dan dari jauh saja sudah terdengar suara gamelan yang mengiringi suara pesinden yang merdu. Gamelan dan pesinden itu sengaja didatangkan dari dusun Kabangan, merupakan gamelan dan pesinden yang paling terkenal dan mahal di seluruh daerah itu dan yang membiayainya adalah seorang hartawan dari dusun Kabangan yang telah menerima berkah dari Sang Hyang Bathari.   Pondok kecil milik Parmono yang dulunya kecil sederhana, kini telah berubah menjadi sebuah rumah besar yang mewah dan di sebelah belakang bangunan itu, yang dulunya hanya merupakan tegalan luas yang ditanami ketela dan jagung, kini telah menjadi sebuah taman di mana terdapat sebuah panggung dari kayu jati yang kokoh kuat dan di tempat inilah diadakan pesta meriah malam itu untuk memuja Sang Bathari Durga seperti biasa setiap bulan, yaitu di waktu bulan purnama menghias langit.     Taman bunga itu penuh dengan orang yang menonton, mereka terdiri dari orang laki-laki perempuan, tua muda yang datang dari dusun-dusun di sekitar Gunung Kendeng. Banyak pula yang membawa Anggota keluarga yang sakit untuk minta berkah dan penyembuhan di malam istemewa itu, yang menurut Nyi Durgakelana, pada malam seperti itu Sang Bathari Durga amat gembira dan welas asih, menolong siapa saja yang minta pertolongannya. Akan tetapi seperti biasa, yang paling banyak mengunjungi tempat itu adalah para wanita, karena agaknya Sang Bathari ini paling suka memberkahi wanita. Yang tidak mempunyai anak minta agar bisa mempunyai seorang anak yang amat baik dan yang kelak dapat "mendem jero mikul duwur", yang belum menikah minta agar dapat segera bertemu jodoh seorang pria yang amat baik, dan perawan-perawan yang sudah agak terlambat usianya, sudah lewat dari delapan belas tahun dan belum menikah, mereka inilah yang paling prihatin dan tentu akan menurut dan taat biar disuruh apa pun oleh Nyi Durgakelana asal mereka dijamin akan cepat memperoleh jodoh! Biar disuruh menginap dan "bertapa" di situ sampai sebulan lamanya pun mereka bersedia. Juga ayah bunda mereka tidak menaruh keberatan. Orang tua manakah yang tidak akan bangga mendengar bahwa anak perawan mereka ada harapan untuk menjadi isteri orang besar? Tidak kurang pula banyaknya para janda yang ingin kawin lagi, dan para pedagang yang ingin dagangannya maju dan laris, pejabat-pejabat yang ingin agar pangkatnya segera mendapat kenaikan. Karena agaknya Sang Bathari Durga ini seolah-olah menuruti keinginan semua orang, dari yang bertingkat rendah sampai yang bertingkat tinggi, maka tidak ada orang yang menentang Nyi Durgakelana. Agaknya seluruh manusia di dunia ini, tidak ada yang tidak mempunyai keinginan untuk "maju" dan untuk mengecap keuntungan dan kesenangan, maka tentu saja sumber pemberi kesenangan seperti Nyi Durgakelana itu memperoleh dukungan orang sejagad!   Mengapa hampir semua manusia di dunia ini condong untuk menyembah sesuatu yang dianggapnya lebih tinggi, lebih agung, dan lebih berkuasa? Semenjak sejarah berkembang sampai di jaman ultra modern ini, masih tidak ada bedanya. Setiap orang manusia ingin untuk memuja dan menyembah sesuatu yang dianggapnya lebih tinggi, suci dan berkuasa. Baik sesuatu itu diberi nama dengan sebutan Setan, Dewa, Nabi, Guru dan sebagainya lagi menurut pendidikan lingkungan masing-masing. Mari kita selidiki mengapa kita ini menyandarkan diri kepada sesuatu yang lebih tinggi dan lebih berkuasa daripada kita? Apakah artinya kalau kita membakar kemenyan dan menyediakan kembang setaman di malam Jumat dan malam Selasa? Apa artinya kalau kita berdoa kepada para Dewa? Apa artinya kalau kita bersujud kepada guru-guru kebatinan yang kita percaya! Apakah yang MENJADI DASAR dari pada semua perbuatan itu?   Kita merasa berdosa! Itukah satu di antara sebab-sebabnya? Kita merasa berdosa dan kita mohon ampun daripada dosa! Dengan lain kata-kata, kita ingin bersih dari dosa, karena dosa itu mendatangkan hukuman kesengsaraan. Atau berarti, kita ingin terbebas dari hukuman! Atau juga berarti, kita ingin terbebas dari kesengsaraan, jadi kita ingin enak, ingin senang, ingin terbebas dari kesengsaraan yang melenyapkan kesenangan. Jadi jelaslah bahwa kita berdoa kepada sesuatu yang lebih berkuasa karena dorongan ingin hidup senang, baik lahir maupun batin! Kita hanya mau berdoa memuja sesuatu yang KUASA MEMBERI KESENANGAN kepada kita, sebaliknya kita mengutuk sesuatu yang mendatangkan kedukaan kepada kita. Kita selalu mengejar kesenangan, dengan jalan apa pun juga, dengan kekerasan, dengan kelembutan dengan kemunafikan! Kita tidak pernah mau membuka mata melihat betapa semua itu timbul karena perbuatan kita sendiri! Kita tidak pernah mau sadar dan waspada akan kekotoran diri sendiri! Kita mau enaknya saja! Kita melakukan hal-hal yang menimbulkan kesenangan dan akibat daripada itu, kalau kita sengsara karenanya, kalau kita berdosa karenanya, kita lontarkan semua itu kepada sesuatu yang lebih tinggi untuk minta dibersihkan dan diampuni lagi, agar kita tetap berada dalam kesenangan, kesentausaan, kedamaian dan ketenteraman! Betapa munafiknya kita ini!     Demikian pula mengapa tempat pemujaan Sang Hyang Bathari Durga penuh dengan manusia yang meminta-minta. Minta senang tentunya. Kesenangan menurut ukuran masing-masing, menurut keinginan hati masing-masing. Ada yang akan merasa senang kalau penyakitnya sembuh, kalau laku kawin, kalau dagangannya laris, kalau pangkatnya naik, bahkan lebih gila lagi, ada yang merasa senang kalau dapat mencelakakan orang yang dibencinya! Kesenangan memang bermacam-macam karena kesenangan berarti terpenuhinya keinginan hati! Dan untuk memenuhi keinginan hati, yang dikejar-kejar itu, manusia tidak segan melakukan apa pun juga, lupa bahwa segala kesengsaraan hidup, segala permusuhan, segala kebencian dan konflik, semua timbul karena pengejaran itulah!   Bulan purnama terang sekali. Langit bersih tiada awan dan dalam keadaan seperti itu sinar bulan yang murni dan sepenuhnya menyinari bumi menciptakan suasana yang sejuk dan tenteram, dengan sinarnya yang keemasan dan jernih, membuat segala sesuatu nampak cukup terang namun tidak menyilaukan, mendatangkan suasana mujijat kepada setiap benda di permukaan benda yang bermandikan cahaya bulan. Daun-daun dan kembang-kembang menjadi lebih hidup di dalam keadaan yang tenang, tidak seperti di waktu siang, daun-daun dan kembang-kembang hidup seperti memprotes panasnya sinar matahari dan amukan angin lalu. Kini, semua kelihatan tenang dan tenteram, seolah-olah dunia merupakan tempat yang amat menyenangkan, seperti gambaran sorga loka, bukan merupakan neraka yang lebih terasa di siang hari di mana manusia mengumbar hawa nafsu keinginannya yang jutaan macam itu.   Gamelan pun terdengar lebih indah di waktu malam. Di waktu siang, suara-suara hanya terbatas sekali jarak jangkauannya, ditelan oleh suara lain dan dihembus pergi oleh angin lalu, dikeringkan oleh hawa panas matahari. Akan tetapi di waktu malam, suara dapat bergema sampai jauh. Bahkan dari bawah bukit, dari kaki Pegunungan Kendeng, terdengar suara gamelan itu, lapat-lapat mengandung daya tarik yang amat kuat sehingga banyak pula orang-orang yang tinggal di kaki Pegunungan Kendeng berbondong naik ke lereng gunung untuk menonton keramaian pemujaan Sang Hyang Bathari Durga.   Menurut kepercayaan para penyembah Durga, apalagi karena propaganda dari Nyi Durgakelana, Sang Candra (bulan) sendiri menghormati Sang Hyang Bathari Durga sehingga malam itu muncul sepenuhnya untuk membantu pesta pemujaan itu! Dan pada malam itu kabarnya banyak pula wanita yang ingin masuk menjadi Anggota baru. Kabarnya tidak kurang dari dua puluh orang wanita muda dan cantik!   Para Anggota yang sudah dianggap agak "tinggi" tingkatnya, yaitu wanita-wanita yang telah "berkenalan" dengan para dewa yang malam-malam di waktu sunyi memberkahi mereka, sudah duduk berjajar, berlutut di atas panggung di sekeliling arca Sang Hyang Bathari yang dikalungi rangkaian bunga dan asap kemenyan mengepul tebal menyiarkan bau yang harum aneh menyeramkan. Nyi Durgakelana sendiri duduk di atas kursi rendah di sebelah kanan arca itu, tersenyum-senyum sehingga wajahnya yang kasar hitam dan buruk itu kelihatan makin menyeramkan, tangan kanannya memegang tongkat hitamnya yang panjang dan bentuknya seperti ular. Nyi Durgakelana sendiri yang kadang-kadang menambah dupa di pedupaan, dan mulutnya selalu berkemak-kemik kalau dia menambah dupa, seolah-olah dia bercakap-cakap dengan arca Sang Hyang Bathari Durga yang kelihatan tersenyum manis itu.     Kini semua penduduk yang memuja Dewi Durga yang berbentuk arca batu itu, sudah berduyun-duyun datang membawa sesajen dan di dalam tumpukan sesajen inilah terdapat banyak benda yang amat berharga. Ada yang memberi buah-buahan dan sayur-mayur, makanan, akan tetapi ada pula yang menyertai kain dan benda-benda berharga seperti perhiasan emas perak dan lain-lain karena menurut ceramah Nyi Durgakelana, makin berharga sesajen di waktu terang bulan itu diserahkan kepada Sang Bathari Durga, makin banyak pula berkah yang dilimpahkannya.   Setelah para pemuja Durga yang sebagian besar terdiri dari kaum wanita itu sudah menaruh sesajen mereka di atas panggung di depan arca itu dan menerima "berkat" dari Nyi Durgakelana, mereka mengundurkan diri dan kini naiklah dua puluh orang wanita muda yang ingin masuk menjadi "murid" Sang Bathari Durga. Akan tetapi tiba-tiba keadaan menjadi geger dengan naiknya seorang laki-laki yang masih muda. Laki-laki ini meloncat ke atas panggung dengan membawa sebatang keris.   "Sang Bathari, kau telah merampas isteriku!" bentaknya dan dengan keris di tangan pemuda itu lalu menerjang dan menusukkan kerisnya ke arah dada arca Bathari Durga.   "Takkk!" Keris itu terpental dan laki-laki itu terdorong ke belakang lalu roboh terjengkang dalam keadaan pingsan! Nyi Durgakelana yang tadi menggerakkan kedua tangan melihat pemuda itu mengamuk, diam-diam telah menggunakan kesaktiannya memukul pemuda itu dari jarak jauh. Ketika pemuda itu terpukul roboh, dia pura-pura kaget dan cepat bangkit berdiri, lalu dengan lemah lembut dia menolong menyadarkan pemuda itu. Pemuda itu mengeluh dan ketika melihat Nyi Durgakelana, dia cepat berlutut.   "Hemm, orang muda, mengapa engkau seperti gila berani kurang ajar terhadap Sang Bathari?" Nyi Durgakelana membentak marah.   "Ampunkan saya... saya menjadi gelap mata karena... karena sejak isteri saya menjadi murid Sang Bathari, sikapnya terhadap saya menjadi dingin..."   Terdengar suara ketawa di sana-sini menyambut keterangan suami muda yang dikecewakan oleh isterinya itu dan orang muda itu menjadi makin malu dan akhirnya setelah dia menyembah kepada Nyi Durgakelana, dia lalu meninggalkan panggung dan menyelinap di antara para penonton, diantara sorak dan ejekan.   "Kau lihat pukulan tadi?" Bromatmojo berbisik kepada Sutejo. "Sudah kuduga, dia bukan orang sembarangan."   Sutejo yang berada di antara banyak penonton bersama Bromatmojo dan Joko Handoko, mengangguk dan dia melirik ke atas panggung di mana telah berkumpul wanita-wanita muda yang malam itu hendak dilantik menjadi murid-murid baru. Hatinya terasa tidak enak ketika pandang matanya bertemu dengan Roro Kartiko yang juga berlutut di atas panggung, di antara banyak wanita muda itu. Roro Kartiko sengaja memasuki rombongan calon murid-murid baru itu untuk mengungkapkan rahasia apa yang tersembunyi di balik perkumpulan Pemuja Bathari Durga ini. Sedangkan tiga orang temannya melindunginya dari dekat, berada di antara penonton.   Bromatmojo mengerutkan alisnya, hatinya merasa tidak enak sekali akan keselamatan Roro Kartiko. Dia memberi isyarat kepada dua orang temannya dan mereka menyisih keluar, ke tempat yang agak sunyi. Suara gamelan masih ramai sehingga mereka dapat saling berbisik tanpa khawatir didengarkan orang lain.     "Nini, kau sungguh cantik jelita." Tangan yang merangkul pinggang ramping itu menurun dan mencubit pinggul. "Dan kau tentu masih perawan, bukan?"   Wajah Sulastri menjadi merah sekali dan kalau saja dia tidak sedang melakukan tugas yang berbahaya dan penting, tentu sudah ditamparnya wanita genit itu. Dia mengangguk.   "Hi-hik, malam ini engkau tentu akan terpilih. Mudah-mudahan saja seorang perawan cantik seperti engkau akan dipilih oleh dewa yang muda dan tampan, dan tidak sampai terpilih oleh dua orang raksasa mengerikan itu."   "Raksasa? Apa maksudmu?" Sulastri bertanya kaget.   "Hi-hik, engkau tidak tahu, bukan? Di antara para dewata memang terdapat mereka yang wajahnya seperti raksasa. Pagi tadi sudah muncul dua orang. Tuh di kamar sebelah kiri. Mereka sedang makan minum. Siang tadi mereka kenyang mengganyang daging domba dan malam ini tentu akan menikmati perawan-perawan yang terpilih. Mudah-mudahan bukan engkau. Mereka itu memang dewa, akan tetapi... uhh, mengerikan." Wanita itu lalu melepaskan rangkulannya dan menuding ke arah sebuah kamar besar. "Nah, itulah kamar Nyi Durgakelana." Bergegas dia pergi meninggalkan Sulastri, agaknya ngeri mengingat akan dua raksasa yang diceritakannya tadi.   Sulastri berdiri termangu-mangu. Dia merasa heran dan juga curiga. Jelas bahwa ada sesuatu yang tidak beres di dalam rumah ini. Suasana sunyi sekali, dan benar dugaannya bahwa semua orang tentu sibuk di luar, di panggung yang ramai karena sedang diadakan upacara pemujaan dan pemilihan murid-murid baru sehingga rumah itu sunyi.   Sulastri mendengar suara orang laki-laki bicara dan tertawa dia dalam kamar yang ditunjukkan oleh wanita setengah tua tadi sebagai kamar yang didiami oleh dua orang "raksasa". Karena merasa heran dan curiga, dia lalu berindap menghampiri kamar besar itu, mempergunakan kepandaiannya sehingga dia dapat mengintai ke dalam melalui celah-celah pintu tanpa menimbulkan suara apa-apa.   Apa yang tampak olehnya di dalam kamar itu membuat Sulastri terperanjat sekali. Dia melihat dua orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar sedang duduk menghadapi meja sambil bercakap-cakap dan tertawa. Di sudut kamar itu terdapat dua buah pembaringan dan dua orang kakek raksasa itu duduk seenaknya dengan mengangkat sebelah kaki ke atas bangku. Benarkah mereka ini adalah sebangsa dewa? Sulastri tidak percaya. Andaikata benar mereka itu bukan manusia, mereka ini tentulah sebangsa iblis jahat, sama sekali tidak pantas kalau menjadi dewa!   "Hemm, kenapa lama amat?" Seorang di antara mereka yang hidungnya besar berkata, suaranya jelas membayangkan ketidaksabaran.   "Ha-ha-ha, Adi Warak, agaknya kau sudah tidak sabar menanti lagi. Ha-ha-ha, tenanglah mereka sedang sibuk bersembahyang. Nanti kita tentu akan berpesta pora. Ha-ha, betapa akan senangnya. Durgakelana telah menjanjikan kepada kita masing-masing menerima dua orang perawan!"   "Kakang Sarpo, engkau sebagai seorang saudara tua harus mengalah dan membiarkan aku memilih lebih dulu nanti," kata orang ke dua yang hidungnya besar itu. Orang pertama yang matanya lebar tertawa.   "Ha-ha-ha, apa sih bedanya bagiku? Mereka tentu perawan-perawan yang muda dan mulus-mulus. Durgakelana tidak begitu tolol untuk memilih perawan yang buruk. Ha-ha, sekali ini dia pegang janji dapat menyenangkan kita."   "Tentu saja, dia tentu belum lupa ketika kita menyelamatkan dia dari tangan-tangan musuh-musuhnya ketika dia dikeroyok di panati Madura itu."   Cukuplah bagi Sulastri mendengar percakapan itu. Dadanya terasa panas dan ingin dia membobol pintu dan menghajar dua orang raksasa itu. Mereka ini sama sekali bukanlah iblis, apalagi dewa, melainkan dua orang laki-laki yang jahat dan berbatin kotor. Dan mereka ini adalah sahabat-sahabat Nenek Durgakelana yang agaknya hendak menghidangkan murid-murid wanita yang baru itu kepada dua orang raksasa ini! Keparat jahanam! Sulastri marah bukan main. Pantas saja menurut cerita Joko Handoko yang mendengar dari anak buah Sriti Kencana, banyak gadis yang membunuh diri karena mengandung. Kiranya terjadi kekotoran macam ini! Perawan-perawan yang terjebak menjadi murid Sang Bathari Durga, ternyata oleh Nyi Durgakelana disajikan kepada pria-pria jahat yang menjadi sahabatnya. Dengan hati panas sekali Sulastri lalu berindap menghampiri kamar Nyi Durgakelana. Setelah mengintai dan mendapat kenyataan bahwa kamar yang amat mewah itu kosong, dia lalu membuka pintunya dan menyelinap masuk. Heran dan kagumlah dia melihat isi kamar yang serba lengkap dan serba indah, seperti kamar seorang pembesar berkedudukan tinggi yang kaya raya saja. Bahkan tidak kalah indah dan lengkapnya dibandingkan dengan kamar Joko Handoko dan Roro Kartiko, kedua orang putera-puteri Bupati Tuban itu!     Sementara itu, Sutejo dan Joko Handoko yang menyelinap di antara para penonton, melihat pertunjukan yang amat hebat dan meriah. Dengan sikap seperti seorang dukun sakti, Nyi Durgakelana membaca mantera-mantera sambil memimpin para murid wanita untuk memuja dan menyembah arca Bathari Durga. Asap kemenyan yang mengepul tebal, dan suara doa yang menyeramkan itu seolah-olah menyihir semua orang di situ. Bahkan Sutejo seperti melihat betapa arca batu itu seperti berkedip-kedip kepadanya dan mengulum senyum! Akan tetapi dia cepat menekan batinnya dan arca itu kembali seperti batu biasa, hanya ukirannya memang amat halus, tanda bahwa pembuat arca itu seorang ahli yang pandai.   Dari tempat duduknya yang agak tinggi, Nyi Durgakelana tadi sudah melirik-lirik dan pandang matanya yang tajam sudah memilih-milih, dan segera pandang matanya tertarik sekali kepada kecantikan Roro Kartiko yang memang luar biasa dan amat menonjol di antara kecantikan perawan-perawan dusun itu. Kulitnya yang putih kuning, matanya yang seperti bintang, bulu matanya yang melengkung ke atas, wajahnya yang mengandung keagungan telah memikat hati Nyi Durgakelana. Kemudian, pandang matanya kembali mencari-cari dan dia sudah memilih empat orang wanita muda lainnya di samping Roro Kartiko, yang dianggapnya tepat untuk menjadi murid-murid baru malam itu.   Perayaan itu memuncak dengan diadakannya tari-tarian oleh para murid Sang Bathari, yang menari dalam keadaan mabok sehingga tari-tarian mereka itu lebih berani dan menggairahkan. Kemudian, lewat tengah malam, seperti biasa setiap malam bulan purnama, Nyi Durgakelana "kesurupan" oleh Sang Bathari Durga sendiri. Tiba-tiba saja nenek ini roboh kemudian mengeluarkan kata-kata yang tidak dimengerti orang, lalu dia meloncat bangun, tongkat hitamnya diputar cepat sampai berubah menjadi gulungan sinar hitam yang menutupi tubuhnya. Melihat gerakan ini, Sutejo terkejut karena dia mengenal gerakan yang mengandung kesaktian.   Gerakan tongkat itu makin melambat dan akhirnya nenek itu menggunakan tongkatnya untuk menuding. Yang pertama dituding adalah Roro Kartiko, kemudian empat orang perawan lain yang memang diam-diam sudah dipilihnya tadi. Para anak muridnya cepat maju dan mengangkat bangun Roro Kartiko dan empat orang gadis itu, diiringi sorak-sorai para anak murid yang lama dan juga para penonton ikut bersorak. Keluarga empat orang gadis itu tertawa bangga sekali, hanya Roro Kartiko yang tersenyum seorang diri karena pancingannya berhasil. Dia melirik dan melihat Sutejo dan kakaknya, Joko Handoko tidak jauh dari panggung. Akan tetapi dia mengerutkan alis ketika tidak melihat adanya Bromatmojo. Ke manakah perginya pemuda itu, pikirnya.   Dengan suara tinggi melengking, seperti suara yang datangnya dari angkasa, Nyi Durgakelana lalu memerintahkan murid-muridnya untuk memberi minum "darah suci" kepada lima orang gadis yang dipilih sendiri oleh Sang Bathari itu! Tentu saja Roro Kartiko tidak akan sudi minum apa yang dinamakan darah suci itu kalau memang minuman itu benar-benar darah, akan tetapi ketika dia melihat bahwa yang berada di cawan itu dan yang dinamakan darah itu sebenarnya hanyalah minuman tuwak yang diberi warna merah, maka untuk tidak menimbulkan kecurigaan, dia meminumnya seperti yang dilakukan oleh empat orang gadis lainnya. Kemudian dia dan empat orang itu disuruh berlutut menyembah arca Bathari Durga, kemudian menyembah Nyi Durgakelana dan dituntun oleh murid-murid lain memasuki rumah. Upacara itu pun selesai dan semua penonton bubaran, juga keluarga empat orang perawan yang pulang dengan hati girang karena anak gadis mereka terpilih sebagai murid Sang Bathari dan tentu hal ini akan mendatangkan berkah berlimpah-limpah!   (Bersambung ke Jilid 39)   Jilid 39   Sunyi sekali malam itu. Lima orang perawan itu dihadapkan kepada Nyi Durgakelana yang sudah duduk di atas kursi dalam sebuah ruangan besar. Lalu nenek ini memberi isyarat kepada para murid lain agar mereka itu mundur karena dia ingin memberi "wejangan" kepada murid-murid baru ini.   "Kalian pandang aku baik-baik dan dengarkan semua pesanku, Nini," Nyi Durgakelana mulai dan lima orang gadis itu semua mengangkat muka memandang. Roro Kartiko terkejut bukan main ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata yang tajam luar biasa, seperti mata kucing, pandang mata yang seperti menembus jantungnya dan mencengkeram atau melekat pada nenek itu!   "Engkau, Nini, engkau ikut bertapa bersamaku di dalam kamarku dan kalau malam nanti terjadi apa pun, jangan engkau kaget atau menolak. Mungkin sekali ada dewa yang akan datang melantikmu dan kalau kau menolak atau melawan tentu engkau akan kena kutuknya dan akan celaka. Sebaliknya kalau engkau menurut, maka engkau akan memperoleh berkah berlimpah-limpah. Dan kalian berempat harus bertapa dalam sebuah kamar besar bersama-sama. Juga kalian jangan sekali-kali melawan atau menolak kalau ada para dewata datang mengunjungi kalian. Mengertikah?"   Empat orang gadis itu menyembah dan mengangguk dan Roro Kartiko merasa heran dan terkejut sekali karena dia merasa bahwa di luar kehendaknya, dia pun mengangguk! Kemudian, dengan lemas dia merasa tangannya dipegang dan digandeng, lalu diajak bangkit berdiri oleh nenek yang pakaiannya berbau apak itu! Empat orang gadis itu pun disuruh bangkit, kemudian mereka disuruh memasuki sebuah kamar besar yang dibuka sendiri oleh Nyi Durgakelana. Mereka memasuki kamar itu seperti boneka-boneka hidup, tidak tahu bahwa sudah ada dua orang kakek raksasa yang telah menanti mereka dengan air liur membasahi bibir. Sambil tersenyum Nyi Durgakelana berkata, "Terimalah tanda persahabatanku, sahabat-sahabatku!" Dia lalu menutupkan pintu kamar itu dan menggandeng tangan Roro Kartiko.   "Nini, siapakah namamu, cah ayu?"   Dengan suara gemetar Roro Kartiko menjawab, "Nama saya Kartiko..."   "Bintang! Sungguh hebat, memang kau cantik dan cemerlang seperti bintang di langit! Marilah, manis."   Roro Kartiko terkejut sekali mendengar ucapan itu dan menyaksikan perubahan sikap nenek ini, akan tetapi anehnya agaknya tubuhnya tidak mau menurut kata-kata hatinya dan dia seperti bergerak sendiri mengikuti nenek itu yang menggandeng tangannya memasuki sebuah kamar yang amat indah.   Sulastri yang kini telah mengenakan kembali pakaian pria dan yang bersembunyi di balik lemari besar sambil mengintai, tentu saja memandang dengan jantung berdebar ketika melihat Nyi Durgakelana memasuki kamar itu sambil menggandeng tangan Roro Kartiko. Penerangan di dalam kamar besar itu cukup terang dan melihat betapa Roro Kartiko melangkah masuk seperti boneka berjalan. Sinar mata dara itu memandang jauh, tak pernah berkedip, mulutnya setengah terbuka dan wajahnya membayangkan keheranan besar, akan tetapi agaknya dia menurut saja dibimbing masuk oleh nenek itu.   Nenek Nyi Durgakelana lalu duduk di atas tepi pembaringan dan menarik gadis itu duduk pula di sebelahnya, kemudian dia berkata, "Nini Kartiko, cah ayu. Engkau telah dipilih oleh Sang Bathari dan mulai sekarang engkau berhak memasuki alam kahyangan, akan tetapi engkau harus menyucikan diri lahir batin. Untuk menyucikan jasmanimu, engkau harus kumandikan dengan air suci." Dia bangkit dan mengambil sebuah tempayan yang penuh air dengan ada kembang mawar di dalamnya, membawanya ke dekat pembaringan. "Nah, tanggalkan semua pakaianmu, Nini."   Bromatmojo melihat dan mendengar semua itu dengan mata terbelalak. Dia melihat betapa Roro Kartiko mengerutkan alisnya, wajahnya jelas membayangkan penolakan atas permintaan itu, akan tetapi anehnya, kedua tangan dara itu melepaskan kemben yang melilit dadanya yang membusung padat. Roro Kartiko mulai menanggalkan pakaiannya!   Karena dia sendiri adalah seorang wanita, tadinya Bromatmojo tentu akan mendiamkannya saja, ingin melihat apa yang akan terjadi selanjutnya karena bukankah Nyi Durgakelana itu pun hanya seorang nenek wanita tua? Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget dan marahnya ketika kemben yang melilit dada Roro Kartiko itu mulai terlepas dan sebagian dari buah dada yang indah bentuknya itu kelihatan, tiba-tiba saja tangan Nyi Durgakelana bergerak menyentuh ke arah dada itu!   "Cah ayu... engkau benar-benar cantik jelita... manis menggairahkan... ah, aku tidak akan perdulikan perempuan-perempuan yang lain setelah memperoleh dirimu, manis..." Dan nenek itu dengan cepat menanggalkan jubahnya. Baru tahulah Bromatmojo bahwa nenek itu sebenarnya adalah seorang pria karena dadanya rata dan tenggorokannya yang biasanya tertutup leher jubah lebar itu nampak ada kalamenjingnya!   "Keparat jahanam!" Bromatmojo membentak dan tubuhnya sudah mencelat keluar dari balik lemari dan langsung saja dia menerjang kakek yang menyamar sebagai nenek itu dengan marah sekali.   "Bressss!!´   Bromatmojo yang marah sekali itu menyerang dengan aji kesaktian Hasto Bairowo, hebatnya bukan kepalang sehingga biar pun kakek itu sudah menangkisnya, tetap saja dia terlempar dan terbanting roboh sehingga kakek itu terkejut sekali. Selain terkejut, kakek itu pun marah bukan main karena ada seorang pemuda berani bersembunyi di dalam kamarnya dan selain menentangnya, juga rahasianya telah diketahui orang. Dengan menggereng seperti seekor harimau marah, dia lalu menyambar tongkat hitamnya yang panjang dan menerjang Bromatmojo tanpa bicara lagi. Rahasianya sebagai pria telah diketahui pemuda ini, maka dia harus dapat cepat membunuhnya, hanya inilah isi hatinya.   "Wuuuutttt....! Brakkk!" Bromatmojo maklum akan kehebatan tongkat itu maka dia sudah cepat menggunakan kegesitan tubuhnya mengelak dan tongkat itu menghantam lemari di belakangnya sampai hancur berantakan!   Sementara itu, seperti baru terbangun dari tidur nyenyak, Roro Kartiko kelihatan terkejut dan setengah menjerit menutupi dada dengan tangan, lalu tergesa-gesa membereskan kembennya lagi, wajahnya merah dan kedua matanya bersinar-sinar penuh kemarahan.   "Jahanam busuk!" bentaknya setelah pakaiannya beres dan dia sudah menyambar sebuah bangku untuk menyerang Durgakelana dengan dahsyat.   "Brakkk!!" Bangku itu pecah berhamburan ketika ditangkis oleh tongkat di tangan Durgakelana dan tubuh Roro Kartiko agak terhuyung ke belakang.   "Desssss....!!" Ketika Durgakelana menangkis serangan Roro Kartiko tadi, Bromatmojo mempergunakan kesempatan itu untuk menampar dengan telapak tangannya yang ampuh. Durgakelana terkejut dan mengelak, akan tetapi tetap saja pundak kirinya kena tamparan ampuh dan dia terlempar dan terbanting jatuh.   "Ahhhh...!!" Dia terkejut bukan main. Baru tahu dia sekarang bahwa memang pemuda dan gadis ini agaknya sengaja memancingnya. Dara cantik jelita itu tentu bukan sembarangan hendak menjadi murid Bathari Durga, melainkan sengaja memancing karena ternyata dara iu bukan orang lemah melainkan seorang yang sudah menyelundup masuk. Celaka, pikirnya dan dia lalu meloncat ke luar dari dalam kamar itu.   "Keparat busuk hendak lari ke mana kau?" Bromatmojo membentak dan bersama Roro Kartiko dia meloncat keluar untuk mengejar.   Ketika mereka tiba di luar kamar, ternyata di ruangan tengah juga sedang terjadi pertempuran hebat. Sutejo dan Joko Handoko sedang menyerang dan mendesak dua orang kakek raksasa dan beberapa kali dua orang kakek itu terbanting jatuh lalu bangkit kembali dan melawan mati-matian.   "Kakang Durgakelana, tolong...!" Seorang di antara dua raksasa itu, yang didesak oleh pukulan-pukulan sakti dari Sutejo, tiba-tiba berteriak ketika dia melihat Durgakelana. Akan tetapi, tentu saja kakek cabul ini sendiri tidak mampu membantu mereka karena dia sendiri pun segera diterjang oleh Bromatmojo yang dibantu oleh Roro Kartiko.   Kiranya Sutejo dan Joko Handoko tadi pun segera menyelinap ke dalam rumah gedung itu ketika pesta berakhir dan lima orang gadis itu dibawa ke dalam. Dan karena dua orang raksasa itu berbeda caranya menguasai korbannya dengan Durgakelana yang menggunakan kekuatan sihir, yaitu hanya mengandalkan tenaga kasar, maka dua orang pemuda itu segera mendengar jerit ketakutan di antara suara gelak tawa mereka. Dan ketika dua orang pemuda itu mengintai dan melihat betapa empat orang gadis itu dipermainkan oleh dua orang kakek raksasa, tentu saja mereka tidak dapat menahan kemarahan mereka lagi dan sekali tendang, pintu kamar itu jebol dan menyeret keluar dua orang raksasa itu untuk dihajar di luar kamar!   Pertandingan yang berlangsung di ruangan itu hebat sekali, akan tetapi jelas bahwa fihak Durgakelana dan dua orang temannya terdesak hebat. Beberapa kali mereka bertiga terbanting roboh dan mereka hanya melakukan perlawanan untuk membela diri saja, sama sekali tidak mampu balas menyerang lagi. Sebetulnya, kepandaian Dugakelana cukup tinggi, akan tetapi dia tidak tahan menghadapi ilmu-ilmu kesaktian Bromatmojo. Demikian pula dua orang raksasa itu memiliki kedigdayaan yang cukup hebat dan kiranya kalau hanya sendirian saja, Joko Handoko dan Roro Kartiko tentu tidak akan mampu menandingi mereka. Akan tetapi dengan adanya Sutejo, maka dua orang raksasa itu pun menemukan lawan yang terlalu berat sehingga mereka jatuh bangun.   "Kakang Tejo, kita basmi saja iblis-iblis ini!" Bromatmojo berseru. Dia sudah amat marah kepada Durgakelana dan dia tahu bahwa Sutejo adalah seorang pemuda yang agaknya berpantang membunuh dan merasa khawatir kalau-kalau Sutejo akan membebaskan mereka itu.   Sebelum Sutejo menjawab, tiba-tiba berkelebat bayangan dari luar rumah dan terdengar suara yang nyaring. "Tahan dulu! Jangan berkelahi!"   "Plak-plakk!" Dua kali bayangan itu berkelebat cepat dan menangkis pukulan Bromatmojo yang ditujukan ke arah kepala Durgakelana dan tamparan Sutejo yang menyerang dua orang raksasa. Bromatmojo dan Sutejo merasa betapa lengan mereka bertemu dengan tangan yang amat kuat, yang mengandung tenaga ampuh. Keduanya terkejut dan siap, memandang dengan penuh perhatian.   "Bapa Guru!" Joko Handoko dan Roro Kartiko berseru kaget ketika melihat orang yang datang itu bukan lain adalah Resi Harimurti, guru mereka sendiri.   Sementara itu, ketika mereka tidak lagi diserang oleh orang-orang muda yang sakti itu, Durgakelana dan dua orang raksasa cepat meloncat keluar dan melarikan diri.   "Kejar...!!" Bromatmojo berteriak akan tetapi Resi Harimurti sudah menghadang di pintu.   "Tahan...!" Harimurti membentak. "Joko dan Roro, kalian tidak boleh kurang ajar!"   "Akan tetapi, Bapa Guru, mereka adalah orang-orang jahat!" Joko Handoko membantah.   "Hemm, kita sama sekali tidak boleh mencampuri urusan agama golongan lain, apalagi menghina mereka. Kalau Nyi Durgakelana hendak mengembangkan agama menyembah Sang Bathari Durga dan menerima murid-muridnya, hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan kita dan kita tidak boleh mengganggunya."   "Bapa Guru, yang menyebut diri Nyi Durgakelana itu sesungguhnya adalah seorang kakek cabul dan jahat! Dia memikat para wanita muda yang dikatakan hendak menjadi murid Sang Bathari Durga, padahal wanita-wanita itu menjadi korban kebiadabannya bersama dua orang kawannya tadi! Apakah melihat hal seperti itu kami harus diam saja?" Roro Kartiko membantah dengan suara penasaran.   Resi Harimurti kelihatan terkejut sekali. "Ahh... benarkah itu? Apakah itu bukan fitnah saja?"   Roro Kartiko yang diam-diam merasa benci kepada gurunya ini karena kakek ini pun pernah bersikap kurang ajar dan tidak semestinya terhadap dirinya, menjadi marah, "Bapa Guru tidak percaya kepada saya? Saya sendiri yang membuktikan dengan masuk menjadi murid, dan hampir saja saya menjadi korban kebiadababan Kakek Durgakelana itu!"   "Kakang Tejo, mari kita kejar mereka. Mereka tentu belum lari jauh!" Bromatmojo berseru.   "Ah, kalau begitu, sungguh mereka harus dihukum dan biar aku sendiri yang akan menghukum mereka!" Resi Harimurti berseru dan dia lalu melompat keluar dan melakukan pengejaran.   Kalau saja di situ tidak ada Joko Handoko dan Roro Kartiko, tentu Bromatmojo dan Sutejo sudah melakukan pengejaran karena mereka tidak percaya kepada Resi Harimurti. Akan tetapi mereka merasa tidak enak kalau harus menentang Resi itu di depan orang muda yang menjadi murid Resi itu.   Roro Kartiko mengepal tinjunya. Dia pun tidak percaya kepada gurunya sendiri, akan tetapi merasa tidak enak kalau harus memusuhi gurunya. "Biarkan Bapa Guru berurusan dengan mereka. Kita basmi tempat ini dan menolong wanita-wanita itu," katanya.   Ternyata banyak wanita muda yang dikeram di tempat itu, ada yang seperti sudah tidak waras ingatannya, ada yang menangis menyesali nasib akan tetapi ada pula yang sudah menerima nasib karena tidak berdaya melawan Nyi Durgakelana. Ketika empat orang muda itu mengumpulkan para wanita itu, tiba-tiba muncul Parmono dan Partiwi dan suami isteri ini langsung berlutut dan menyembah empat orang muda perkasa itu. Tentu saja kini Parmono telah tahu siapa adanya "Nyi" Durgakelana itu dan tahu pula bahwa sebagai "murid kepala" isterinya telah dijadikan kekasih kakek yang menyamar wanita itu. Akan tetapi dia tidak berani berkata apa-apa karena maklum akan kesaktian kakek itu dan pula, bukankah mereka kini memiliki rumah yang besar dan menjadi kaya raya?   "Raden, harap sudi mengampuni kami yang tidak tahu apa-apa, yang hanya diperalat oleh Nyi Durgakelana..." Parmono meratap.   "Hemm, siapa kalian?" Bromatmojo bertanya sambil memandang tajam.   "Mereka ini adalah suami isteri yang memiliki pondok ini dan diangkat menjadi murid-murid kepala dan pembantu dari Durgakelana," kata seorang di antara wanita-wanita yang kini telah berkumpul di situ.   "Ampun, kami ditipu... kami tidak berdaya..." Partiwi berkata sambil menangis. "Beberapa bulan yang lalu, dia datang dan mengobati orang-orang sakit... kami diangkat menjadi murid dan pembantu..."   "Sudahlah," Roro Kartiko berkata. "Kalian semua hanyalah orang-orang bodoh dan tahyul yang menjadi korban penipuan keparat itu. Sekarang kalian keluarkan semua harta kekayaan dari kakek jahanam itu dan kumpulkan di sini!"   Parmono dan Partiwi cepat melakukan perintah ini. Kemudian, harta itu dibagi-bagi di antara mereka semua. "Sekarang kalian semua boleh pulang ke dusun masing-masing dan bagian harta itu adalah milik kalian. Nah, pergilah sekarang juga karena kami mau basmi tempat terkutuk ini," kata Roro Kartiko.   Para wanita itu menyembah dan menghaturkan terima kasih. Juga Parmono dan Partiwi yang mendapatkan bagian pula, tidak berani membantah dan mereka berdua lalu pergi dari tempat itu untuk memulai hidup baru di tempat lain dengan modal pembagian harta yang mereka terima.   Menjelang pagi, nampak api berkobar menjulang tinggi ketika empat orang muda perkasa itu membakar rumah yang tadinya menjadi sarang kemaksiatan itu. Empat orang muda itu tidak melihat betapa di tempat gelap terdapat seorang kakek yang memandang semua itu dengan tangan dikepal dan muka marah. Kakek ini adalah Resi Harimurti! Sebenarnya Durgakelana adalah seorang teman dari Sang Resi ini dan sudah beberapa kali Resi Harimurti berkunjung ke tempat temannya itu di waktu malam terang bulan dan sudah beberapa kali Kakek Pendeta yang berbatin kotor ini disuguhi pula "murid" baru dari Durgakelana. Malam itu Harimurti datang untuk mengharapkan bagian murid baru pula dan secara kebetulan saja dia dapat menyelamatkan Durgakelana dan dua orang raksasa yang menjadi sahabatnya. Setelah melakukan pengejaran, dia menasihatkan kepada Durgakelana yang sudah terbuka rahasianya itu untuk pergi sejauh mungkin, kemudian dia kembali dan melihat tempat yang merupakan tempat hiburan amat menyenangkan baginya itu dibakar oleh dua orang muridnya dan dua orang pemuda tampan yang sakti itu. Hatinya panas dan marah, akan tetapi tentu saja dia tidak berani sembarangan membela Durgakelana yang sudah terbuka kedoknya itu.   Hemm, Bupati Progodigdoyo sedang berada di kota raja, pikirnya. Dan dua orang anaknya, yang menjadi murid-muridnya, telah berkawan dengan dua orang muda yang mencurigakan. Dia harus cepat pergi ke kota raja dan memberitahukan hal itu kepada Progodigdoyo. Kalau dia sendiri yang turun tangan terhadap dua orang muridnya, sungguh tidak baik. Tentu Bupati Tuban itu akan dapat mengendalikan dua orang pemuda yang hendak mengacau di Tuban. Maka pergilah Resi Harimurti, meninggalkan Tuban pada pagi hari itu juga.   Sementara itu, dengan berpakaian sebagai Sriti Kencana, Roro Kartiko dan kakaknya, Joko Handoko lalu mendatangi para lurah di dusun-dusun sekitar tempat itu untuk memperingatkan mereka agar jangan mudah tertipu dan terbujuk oleh penjahat-penjahat seperti Durgakelana yang menyamar sebagai nenek itu. Mereka berdua ditemani oleh Sutejo dan Bromatmojo yang memakai pakaian anggauta Sriti Kencana. Para lurah itu sudah mendengar akan pembasmian tempat maksiat itu, mendengar bahwa wanita itu sebenarnya tertipu dan bahwa Durgakelana adalah seorang kakek cabul, tentu saja merasa terkejut dan menghaturkan terima kasih kepada empat orang Sriti Kencana. Semenjak itu, makin terkenallah nama Sriti Kencana yang ditakuti oleh para pejabat dan penjahat, yaitu para pejabat yang bersikap sewenang-wenang dan menindas rakyat dan para pejabat yang ketenteraman hidup rakyat.   Hari telah siang ketika mereka akhirnya menyelesaikan tugas mereka itu dan ketika Bromatmojo dan Sutejo menyatakan hendak melanjutkan perjalanan ke Mojopahit, Roro Kartiko dan kakaknya mengantar mereka sampai ke perbatasan Tuban. Kelihatan berat sekali bagi Roro Kartiko untuk berpisah dengan dua orang pemuda itu.   "Sudah cukup sampai di sini saja Andika berdua mengantar kami, Dimas Joko dan Diajeng Roro Kartiko," kata Sutejo.   "Benar, sudah cukup jauh. Terima kasih atas kebaikan kalian dan mudah-mudahan kelak kita akan dapat saling berjumpa kembali," kata Bromatmojo.   Roro Kartiko mengangkat mukanya dan memandang wajah Bromatmojo. "Benarkah kita akan dapat saling bertemu kembali? Kapan dan di mana? Apakah Andika berdua sudi berkunjung ke Tuban dan tidak melupakan kami?"   "Kalau sudah selesai semua urusan kami, dan kalau sekali waktu kami lewat Tuban, pasti kami tidak akan lupa untuk singgah," kata Sutejo.   "Ah, siapa dapat melupakan seorang seperti engkau, Diajeng Roro Kartiko? Sampai mati pun aku tidak akan dapat melupakanmu. Akan tetapi, ada waktunya bertemu tentu ada saatnya berpisah, dan sekarang kami berdua harus cepat melanjutkan perjalanan. Selamat tinggal dan selamat berpisah!" Bromatmojo melambaikan tangan dan berjalan pergi dari situ bersama Sutejo.   Kakak beradik itu memandang dan tiba-tiba terdengar suara Kartiko, "Kakangmas Bromatmojo... aku menanti kunjunganmu...!"   Bromatmojo hanya menoleh, tersenyum dan melambaikan tangan, tidak menjawab, namun senyumnya yang manis sudah cukup bagi Roro Kartiko karena senyum itu terukir di dalam hatinya. Setelah dua orang itu lenyap di tikungan jalan, Joko Handoko menarik napas panjang. "Sungguh hebat mereka itu... dan aku tidak menyalahkan engkau kalau hatimu tertarik dan jatuh cinta kepada seorang pemuda seperti Dimas Bromatmojo itu..., akan tetapi aku lebih kagum kepada Dimas Sutejo yang pendiam. Dia benar-benar seorang ksatria yang gagah perkasa."   Roro Kartiko tidak menjawab, hanya menunduk dengan muka berubah merah. Akhirnya dia berkata tanpa menyinggung dua orang pemuda itu, "Aku curiga sekali kepada Bapa Guru, agaknya ada apa-apa antara dia dan kakek jahanam Durgakelana itu."   Joko Handoko mengangguk-angguk. "Aku pun berpikir demikian, akan tetapi kita harus waspada dan mengerahkan teman-teman kita untuk melakukan penyelidikan, jangan sampai kakek jahanam itu mengulangi perbuatannya di wilayah Tuban."   Kakak beradik ini lalu kembali ke Tuban sambil membicarakan ayah mereka yang sudah agak lama meninggalkan Tuban dan pergi ke kota Raja Mojopahit.   Memang agak sudah lama Bupati Progodigdoyo pergi ke Mojopahit. Biasanya, kalau Bupati ini bepergian ke Mojopahit, dalam waktu seminggu dia tentu sudah pulang ke Tuban. Akan tetapi sekarang, sudah hampir tiga minggu dia pergi dan belum juga pulang.   Seperti biasa, setelah menghadap Sang Prabu untuk melaporkan keadaan Tuban yang aman dan makmur seperti yang selalu keluar dari mulut para bupati kalau melaporkan daerah yang dikuasainya kepada atasan, Progodigdoyo lalu pergi mengunjungi Resi Mahapati. Memang sesungguhnya inilah yang menjadi inti kunjungannya ke Mojopahit. Kalau dia menghadap Sang Prabu untuk menghaturkan sembah bakti dan melaporkan keadaan wilayah Tuban, itu hanya untuk basa-basi belaka, akan tetapi sesungguhnya dia ingin menghadap Resi Mahapati dan seperti biasa mengadakan perundingan dengan orang yang dianggap sebagai pemimpinnya ini.   Ada suatu hal lain yang makin menarik hati Progodigdoyo untuk berkunjung sesering dan selama mungkin di istana Resi Mahapati, yaitu Lestari! Pada kunjungannya yang terakhir, pada suatu kesempatan ketika Resi Mahapati sedang tidur siang, tiba-tiba saja Lestari mengunjungi dia yang sedang duduk di ruangan belakang. Begitu bertemu berduaan, Lestari lalu menangis sehingga hal ini amat mengejutkan dan mengherankan hati Progodigdoyo. Sepanjang pengetahuannya, puteri dari mendiang Lembu Tirta ini, setelah diselir oleh Resi Mahapati, menjadi kekasih dan mendapatkan kedudukan paling tinggi di samping Sang Resi yang amat mencintanya. Bahkan dia sendiri setelah mendengar betapa segala permintaan Lestari diturut belaka oleh Sang Resi, dia menjadi agak gentar terhadap wanita muda yang amat cantik jelita ini. Dan kini, begitu bertemu dengan dia di tempat itu, Lestari menangis sesenggukan!   "Eh, maaf..... ada..... ada apakah? Mengapa kau menangis?" tanya Progodigdoyo dengan kaget, heran dan juga gugup karena baru sekarang dia sempat bertemu berdua saja dengan wanita muda yang dulu hampir dipaksanya menjadi selirnya itu. Sekarang, setelah usianya cukup dewasa dan menjadi seorang wanita yang sudah matang, Lesatri benar-benar mirip sekali dengan mendiang ibunya, Galuhsari yang pernah dicintanya, hanya tentu saja Lestari ini jauh lebih muda dan lebih cantik. Akan tetapi persis seperti inilah Galuhsari ketika masih perawan dahulu, ketika dia memperebutkan cintanya dengan Lembu Tirta akan tetapi akhirnya Lembu Tirta yang menang dan menjadi suami Galuhsari.   Harus diakuinya bahwa dia dahulu tergila-gila kepada Galuhsari sehingga pernikahannya dengan Sariningrum yang cantik jelita pun tidak dapat mengobati rasa rindunya kepada Galuhsari yang sudah menjadi isteri Lembu Tirta. Karena iri hati dan cemburu, timbullah dendam dan bencinya kepada Lembu Tirta, padahal Lembu Tirta adalah sahabatnya yang paling baik, yang seolah-olah telah menjadi saudaranya sendiri, kawan seperjuangan yang selalu bahu-membahu dalam perang ketika mereka bersama-sama menghamba kepada Raden Wijaya.   Kebenciannya itulah yang membuat dia tega untuk membunuh Lembu Tirta secara curang, ketika mereka berdua sedang berada dalam medan perang melawan musuh. Progodigdoyo membunuh Lembu Tirta dari belakang dan hal ini dilakukan hanya karena dia ingin memperoleh jandanya, yaitu Galuhsari! Namun, Galuhsari yang sudah tahu akan kekejaman Progodigdoyo, menolaknya sehingga akhirnya terjadilah kemaksiatan di malam itu, di mana Progodigdoyo dengan kekerasan memaksa Galuhsari menyerahkan diri kepadanya, diperkosanya di depan anak-anaknya! Akan tetapi karena cintanya hanya cinta terdorong oleh nafsu berahi belaka, setelah dia memperoleh apa yang dikejar-kejar selama bertahun-tahun itu, dia kecewa. Galuhsari telah terlalu tua untuk dapat dinikmatinya dan pandang matanya beralih kepada Lestari, gadis remaja puteri Galuhsari. Namun dia gagal memperoleh Lestari sehingga terpaksa dia menyerahkan gadis itu kepada Resi Mahapati dalam usahanya menjilat resi yang sedang berkuasa itu.   Dan kini, Lestari yang usianya sudah dua puluh empat tahun, yang seperti bunga sedang mekar-mekarnya, seperti buah sedang ranum-ranumnya, sehingga membangkitkan kembali gairahnya yang telah lama terpendam, wanita cantik itu menangis di depannya!   "Lestari.... Mengapa kau menangis? Apa yang menyusahkan hatimu?" tanyanya dengan nada suara halus ketika wanita itu tidak menjawab pertanyaannya tadi dan terus menangis sesenggukan. Dia sudah bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri wanita itu.   Mendengar nada suara pertanyaan yang penuh dengan perhatian, lembut dan penuh perasaan itu, Lestari makin keras menangis, lalu dia berlari maju, menubruk dan merangkul, menangis di atas dada Progodigdoyo yang bidang!   "Eh..... eh.....! Mengapa begini...? Ada apa ini?" Progodigdoyo tentu saja terkejut bukan main melihat kekasih Resi Mahapati ini merangkulnya begitu saja. Tentu saja dia merasa takut kalau sampai ketahuan orang, akan tetapi tidak urung jantungnya berdebar keras dan otomatis jari-jari tangannya balas merangkul dan mengelus rambut kepala yang halus dan berbau harum itu.   "Kakangmas Progodigdoyo, kau... kau kejam terhadap aku...."   Sepasang mata bupati yang lebar itu membelalak, kumisnya yang panjang melintang itu bergerak-gerak. "Aku....? Kejam terhadapmu......?"   "Engkau kejam sekali, Kakangmas...."   Kumis itu makin bergerak-gerak dan jantung Bupati Progodigdoyo makin berdebar tidak karuan. Kakangmas? Lestari menyebutnya kakangmas! Padahal dahulu menyebutnya paman, dan memang sejak kecil Lestari menganggapnya seorang paman. Akan tetapi sekarang tiba-tiba saja menyebutnya kakangmas!   "Engkau keliru, Lestari. Aku selalu sayang padamu....."   "Kalau sayang, mengapa dahulu Kakangmas menyerahkan aku kepada tua bangka itu? Mengapa Kakangmas melempar aku ke dalam lembah kekecewaan dan kesengsaraan ini?" Lestari kembali menangis dan membasahi dada baju Progodigdoyo dengan air matanya.   "Eh, bukankah kau hidup bahagia di sini? Bukankah kau menjadi kekasih Paman Resi dan hidup penuh kemuliaan? Aku mengira engkau berbahagia......"   "Berbagia hidup di samping kakek tua bangka yang sudah tidak mampu apa-apa itu? Ah, Kakangmas jangan mengejek aku! Di luar saja aku kelihatan bahagia, akan tetapi di sebelah dalam...... terutama di waktu malam...... aku merana dan sengsara, kecewa dan... ah, tidak mengertikah kau, Kakangmas? Semestinya aku yang masih muda ini hidup di samping seorang pria yang kuat dan perkasa seperti Kakangmas...... akan tetapi kau kejam sekali, menyerahkan aku kepada seorang tua bangka yang loyo dan sudah hampir mati!"   Debar jantung Progodigdoyo makin menghebat. Benarkah ini? Hampir dia tertawa. Benarkah bahwa Resi Mahapati yang sakti mandraguna itu sudah tidak ada gunanya lagi dalam hubungan suami isteri?   "Akan tetapi.... Lupakah engkau, Lestari? Dahulu aku ingin sekali mengangkatmu sebagai selirku yang terkasih, akan tetapi engkau tidak mau sehingga terpaksa aku menghadiahkan engkau kepada Paman Resi..."   Lestari mengangkat mukanya, merenggangkannya dari dada Progodigdoyo dan menatap tajam wajah bupati itu dengan kedua mata kemerahan karena tangis. "Kakangmas, sebagai seorang wanita yang masih perawan, seorang gadis remaja, apakah aku harus tertawa girang menerima pinanganmu dahulu? Tentu saja aku malu, dan sebagai gadis baik-baik tentu saja aku pura-pura menolak, padahal di dalam hati... aku... aku selalu mengagumi kegagahanmu. Apalagi sekarang..... setelah bertahun-tahun aku selalu kecewa dalam pelukan tua bangka itu....."   "Ahhh.....!" Progodigdoyo berseru dengan hati merasa terharu, lalu mempererat rangkulannya. "Benarkah itu, Lestari? Benarkah bahwa engkau sejak dahulu suka kepadaku? Apakah kau sampai sekarang..... masih.... cinta kepadaku.....?" Dia tergagap karena pertanyaan itu dianggapnya tidak mungkin.   Akan tetapi, tiba-tiba kedua lengan yang kecil bulat itu seperti dua ekor ular merayap merangkul lehernya, sepasang mata yang masih basah itu memandangnya penuh kemesraan, dan muka itu dekat sekali ketika berbisik, "Masih perlukah kau bertanya lagi.....? Masih ragukah kau kepadaku, melihat sikapku ini, Kakangmas....?" Mulut itu setengah terbuka, bibirnya basah dan merah, deretan gigi yang putih mengkilap nampak sedikit dan napas yang hangat keluar dari mulut itu menghembus pipinya.   "Lestari.....!" Progodigdoyo menunduk dan entah siapa yang mendahului gerakan itu, tahu-tahu mulut mereka saling bertemu dalam kecupan mesra dan panas karena Progodigdoyo sudah dibakar oleh berkobarnya nafsu berahinya. Merasa betapa mulut wanita itu bergerak penuh gairah, dia mencium lebih bernafsu lagi dan dengan mata terpejam Progodigdoyo mencengkeram tubuh yang padat, lembut dan hangat itu seperti seekor burung garuda menerkam kelinci.   "Eh, jangan Kakangmas....." Lestari terengah-engah setelah berhasil melepaskan mulutnya dari kecupan Progodigdoyo, lalu dengan halus dia mendorong dada pria itu dan melangkah mundur. Mukanya kemerahan, air matanya masih membasahi pipi dan matanya bersinar-sinar penuh kemesraan. Cantik bukan main dia dalam keadaan seperti itu.   Jilid 40   "Jangan terburu-buru, Kakangmas. Bukan di sini tempatnya....." Dia berbisik dan menjilati bibirnya. Melihat lidah kecil merah itu menjilati bibir, Progodigdoyo hampir saja menubruknya lagi, akan tetapi cepat Lestari menghindar dan berbisik, "Jangan...., kalau terlihat orang nanti....."   Bisikan ini membuat Progodigdoyo sadar kembali. Terkejutlah dia mengingat apa yang baru saja terjadi. Kalau sampai ketahuan orang dan terdengar oleh Resi Mahapati tentu celakalah dia! Akan tetapi, melihat kini Lestari tersenyum manis dan menggunakan kedua tangan untuk membereskan gelung rambutnya sehingga untuk pekerjaan itu dia mengangkat kedua lengan ke atas, memperlihatkan ketiak yang halus dan ditumbuhi sedikit rambut keriting yang mendatangkan daya tarik yang luar biasa, dan juga gerakan kedua lengan itu membuat buah dada yang tertutup kain tipis itu menonjol penuh tantangan, jantungnya berdebar lagi dan seluruh tubuhnya terbakar api gairah.   Beberapa kali dia menelan ludah sebelum berkata, "Lestari, kekasihku.... ah, pujaan hatiku, kalau tidak di sini, di manakah dan kapankah....?"   Lestari tersenyum dan matanya menyambar dengan kerlingan tajam. "Bukan hanya engkau, Kakangmas, akan tetapi aku pun haus sudah....., akan tetapi kita harus berhati-hati....."   "Mari kau kubawa minggat saja, kuboyong ke Tuban, sayang....."   "Ah, kau mencari penyakit. Tentu akan geger."   "Tidak takut! Kalau perlu kukerahkan pasukanku untuk melawan!"   "Ssstt, jangan begitu. Tidak perlu menggunakan kekerasan. Di sini pun bisa asal kita dapat mengaturnya dengan tepat. Besok siang, kalau tua bangka itu sudah tidur, aku akan mandi di pemandian. Kau tahu bukan, pemandian puteri di dekat taman? Nah, aku akan mandi di sana dan aku akan menyuruh semua pelayan mundur. Kau dapat memasuki pemandian itu dari belakang, dari taman, dengan memanjat tembok, lalu masuk ke pemandian. Aku akan menantimu di sana. Kau lihat saja, kalau aku diiringkan oleh para pelayan sudah menuju ke taman, tak lama kemudian kau boleh masuk ke sana dan kita dapat leluasa...." Lestari tidak melanjutkan kata-katanya, hanya senyum dan pandang matanya yang penuh gairah itu menjanjikan sesuatu yang membuat jantung Progodigdoyo dag-dig-dug tidak karuan.   "Aku akan ke sana!" Saking girangnya, Progodigdoyo melompat, menerkam dan merangkul, lalu menciumi lagi mulut itu.   Lestari meronta dan melepaskan diri. "Ssstt, cukup... besok banyak kesempatan bagi kita dan aku akan menyerahkan segala-galanya untukmu, Kakangmas Progodigdoyo yang tercinta...." bisiknya dan wanita itu lalu membalikkan diri, meninggalkan ruangan itu di mana Progodigdoyo berdiri bengong, mengikuti lenggang yang membuat kedua bukit pinggul itu bergoyang-goyang amat menggairahkan. Setelah bayangan Lestari lenyap, Progodigdoyo ingin sekali bersorak dan menari-nari! Begitu girang hatinya dan dia lalu berjalan kembali ke kamarnya sambil bersiul-siul, sikapnya seperti seorang pemuda remaja yang baru saja mencium pacarnya untuk yang pertama kalinya. Dia dicinta oleh Lestari! Bukan main bahagia hatinya. Dia haus akan cinta kasih dan isterinya sendiri, Sariningrum, tak pernah memperlihatkan cinta kasih demikian berkobar seperti yang diperlihatkan oleh Lestari tadi! Bahkan dua orang anaknya juga kelihatan acuh tak acuh kepadanya, tidak terasa ada rasa kasih dari mereka kepadanya. Tidak ada seorang pun yang benar-benar mencintanya, dan baru sekarang dia melihat bukti cinta kasih seorang wanita yang demikian berkobar seperti yang diperlihatkan Lestari tadi!   Memang demikianlah. Seperti Progodigdoyo itu pulalah kebanyakan dari kita manusia. Kita selalu haus akan cinta. Kita ingin agar kita DICINTA oleh semua orang, oleh siapa saja di sekeliling kita. Namun kita tidak pernah menjenguk batin sendiri apakah kita ada cinta kasih di dalam batin kita, apakah kita MENCINTA orang dalam arti kata seluas-luasnya dan semurni-murninya. Kita ingin agar semua orang baik kepada kita, namun kita tidak pernah melihat atau menyelidiki apakah kita pernah baik kepada orang lain! Kalau toh kita merasa bahwa kita sudah mencinta dan sudah baik, perlu pula kita teliti apakah cinta dan kebaikan kita itu benar-benar ataukah bukan sesuatu yang mengandung pamrih untuk mengharapkan imbalan? Biasanya, kita tidak mencinta orang, kita tidak baik kepada orang, kita melainkan ingin mengejar kesenangan kita melalui cinta kita kepada orang lain itu, kita juga mengejar kesenangan dengan kebaikan kita kepada orang lain, baik itu kesenangan batin mau pun kesenangan lahir! Kita mencinta seseorang dengan TUJUAN atau HARAPAN agar orang itu pun mencinta kita, melayani kita, pendeknya menyenangkan kita! Kita berlaku baik kepada orang lain dengan tujuan atau harapan agar orang itu mengingat akan budi kita, membalas kebaikan kita, atau agar kita memperoleh pahala batiniah dan sebagainya. Cinta model itu bukanlah cinta namanya, kebaikan model itu bukanlah kebaikan, melainkan pengejaran kesenangan diri pribadi melalui yang dinamakan cinta atau kebaikan!   Dengan demikian, semua titik tujuan kita hanya satu, yaitu demi kesenangan diri pribadi. Kita ingin dicinta orang, karena dicinta orang ini mendatangkan kesenangan bagi kita. Kalau toh kita merasa mencinta orang, hal itu pun didorong oleh keinginan untuk memperoleh kesenangan bagi kita sendiri.   Padahal, dicinta orang lain atau dibaiki orang lain itu tidak mungkin ada kalau kita tidak ada cinta dan kebaikan di dalam batin kita terhadap orang lain! Tidak mungkin orang lain baik kepada kita kalau kita tidak baik kepadanya! Dan kalau kebaikan kita kepadanya itu palsu, pura-pura atau hanya penilaian belaka, tentu kebaikan kepada kita pun palsu adanya! Kalau cinta kita kepada orang lain itu hanya cinta yang merupakan jembatan untuk pemuasan nafsu keinginan kita mengejar kesenangan, maka sudah tentu cinta orang lain kepada kita itu pun ada iri, tidak ademikian pula. Cinta adalah wajar, tidak dibuat-buat, tidak ada pamrih, tidak ada benci, tidak ada kecewa. Dari cinta timbul kebajikan atau kebaikan yang wajar pula, tidak dibuat-buat, tidak mengharapkan imbalan, melainkan timbul dari welas asih (belas kasihan) yang juga cinta kasih adanya.   Cinta kasih Progodigdoyo terhadap Lestari sama sekali bukanlah cinta kasih dan hal ini sudah dibuktikan ketika dia hendak memaksa Lestari sembilan tahun yang lalu. Cintanya hanyalah cinta untuk mengejar kesenangan diri sendiri, dalam hal ini kesenangan itu adalah nafsu berahi! Cintanya hanya untuk mencari kepuasan nafsu berahinya belaka. Dan cinta yang hanya merupakan jembatan untuk mengejar kesenangan, dalam bentuk apa pun juga, sudah pasti hanya akan menimbulkan kekecewaan, kebosanan, dan kesengsaraan belaka   Karena itu, perlu sekali kita membuka dada menjenguk isi batin kita. Adakah cinta kasih itu di dalam hati kita? Kita selalu ingin agar Tuhan mencinta kita, akan tetapi kita tidak pernah memeriksa diri sendiri apakah ada cinta kasih kita itu terhadap Tuhan? Ataukah yang ada hanya perbuatan-perbuatan kita yang hanya merongrong Tuhan, yang selalu melanggar dan menyeleweng, kemudian minta ampun dan minta diberkahi, seperti seorang anak bengal yang tak pernah mau bertobat, selalu mengulangi kenakalannya kemudian merengek dengan manja minta diampuni? Adakah cinta kasih kita terhadap Tuhan atau terhadap sesama manusia? Kalau tidak ada, mengapa? Inilah pertanyaan pokok yang harus kita selidiki selama kita hidup, kalau benar-benar kita ingin mengetahui apakah sebenarnya hidup ini mengapa ada penderitaan di dunia ini, mengapa ada kematian dan sebagainya. Sinar cinta kasih akan menerangi segalanya, dan cinta kasih tidak dapat dikejar, tidak dapat dipupuk, tidak dapat dicari dengan akal budi. Akan tetapi kalau semua kotoran, kebencian, iri hati, ambisi yang merupakan inti dari pementingan diri pribadi, itu lenyap, maka sinar cinta kasih akan bercahaya kembali.   Progodigdoyo malam itu tidak dapat tidur. Dia sudah tiga minggu berada di Mojopahit dan sebetulnya akan pulang hari ini. Akan tetapi dengan adanya perkembangan luar biasa dalam sikap Lestari kepadanya, dia sama sekali tidak ingat untuk pulang! Yang diingatnya hanya perjanjian Lestari untuk menerimanya besok di dalam tempat pemandian! Di tempat pemandian! Dia sudah menyeringai dan mengusap-usap kumisnya teringat akan ini dan membayangkan betapa akan mesranya pertemuan mereka di kolam pemandian!   Sama sekali tidak disangkanya bahwa Lestari yang dirindukannya, yang sudah dibayangkannya akan membalas belaiannya, membalas ciumannya seperti yang dilakukannya siang tadi, membalas peluapan cintanya besok di kolam pemandian yang lebar, pada malam itu dengan suara merengek manja berkata kepada Resi Mahapati setelah kakek ini tergolek kelelahan sehabis dilayani hasrat nafsunya oleh selir terkasih itu. "Kakangmas Resi, saya merasa muak melihat sikap Progodigdoyo itu."   "Eh, jangan berkata begitu, sayang. Dia seorang baik, bahkan bukankah yang menjadi perantara pertemuan kita dahulu adalah Progodigdoyo?"   Lestari merangkul. "Benar, Kakangmas Resi. Akan tetapi aku tidak senang melihat pandang matanya kepadaku yang kelihatan mengandung kekurangajaran itu. Paduka harus berhati-hati terhadap orang seperti dia, Kakangmas Resi. Agaknya di dalam hatinya terkandung niat yang kurang senonoh terhadap diri saya."   Resi Mahapati mengelus pipi yang halus itu. "Sudahlah, dia tidak berbahaya, dan aku akan menegurnya." Akan tetapi di dalam hatinya, kakek ini tersenyum. Mana mungkin Progodigdoyo akan berani kurang ajar terhadap Lestari? Kalau Progodigdoyo memandang kepada selirnya ini penuh gairah dan tertarik, hal itu sudah lumrah. Pria mana di dunia ini yang tidak akan memandang wajah cantik jelita dan tubuh padat menggairahkan itu dengan mata tertarik? Diam-diam dia merasa bangga sekali dan kecurigaannya terhadap Progodigdoyo pun lenyap berbareng dengan dengkurnya yang menandakan bahwa dia telah tidur pulas. Dengan hati-hati Lestari melepaskan lengan berbulu yang merangkul lehernya dan menimpa dadanya itu, kemudian dia membereskan pakaiannya, lalu turun dari pembaringan dan menyelinap keluar, menemui empat orang pelayannya yang amat dipercayanya dan yang sudah dibanjiri hadiah sehingga empat orang itu benar-benar amat setia kepadanya. Dengan suara bisik-bisik dia mengatur rencananya dan empat orang emban itu mengangguk-angguk. Setelah empat orang emban itu mengerti benar apa yang dimaksudkan, barulah Lestari kembali ke dalam kamarnya, menutupkan pintunya, menghampiri pembaringan dan setelah memandang ke arah Resi Mahapati yang tidur mengorok itu dengan pandang mata menghina dengan hidung dikernyitkan dan bibir dicibirkan, wanita itu lalu naik ke atas pembaringan dan rebah miring membelakangi Sang Resi.   Pada keesokan harinya Progodigdoyo sudah lupa makan dan lupa segalanya. Sejak masih pagi Progodigdoyo sudah menanti di ruangan tengah, di mana Lestari tentu akan lewat kalau hendak pergi ke taman. Kagetlah dia ketika menjelang tengah hari, seorang pengawal mengundangnya atas perintah Resi Mahapati, padahal, setiap siang dia dijamu makan oleh tuan rumah dan hanya kalau malam dia makan sendiri.   Resi Mahapati menyambut kedatangannya dengan senyum. "Wah, pakaianmu indah sekali, Nakmas Bupati," kata Sang Resi dan memang pagi itu Progodigdoyo memakai pakaian serba baru sehingga dia nampak makin gagah. Lestari yang juga hadir dalam makan siang itu tersenyum saja dan ketika mereka bertemu pandang, di luar tahu Resi Mahapati Lestari mencibir dengan lagak menantang cium kepada Progodigdoyo.   "Ah... eh, biasa saja, Paman Resi..." katanya gagap lalu duduk menghadapi meja makan dan mereka makan bersama. Sejak tadi Resi Mahapati yang teringat akan rengekan kekasihnya semalam, memperhatikan Progodigdoyo, akan tetapi bupati ini dengan pandainya menyembunyikan perasaannya dan jarang sekali dia mengerling ke arah Lestari.   "Nakmas Bupati, sudah tiga minggu Andika berada di Mojopahit. Apakah Andika tidak ditunggu-tunggu oleh urusan pemerintahan di Tuban?"   "Ah... masih ada sedikit urusan, Paman Resi. Dalam beberapa hari ini saya akan kembali ke Tuban," katanya sambil mengerling ke arah Lestari, akan tetapi karena lirikannya ini biasa saja, Resi Mahapati pun tidak menaruh curiga. Dalam pandangannya, Bupati Tuban ini tetap sopan seperti biasa, tidak ada apa-apa yang mencurigakan. Tentu hanya karena watak manja Lestari saja yang semalam melapor yang bukan-bukan.   Tak lama kemudian, lewat tengah hari, seperti biasa Resi Mahapati memasuki kamarnya ditemani oleh Lestari. Selir yang tercinta ini memijiti kaki Sang Resi dan tak lama kemudian mendengkurlah Resi Mahapati. Lestari lalu turun dari atas pembaringan dan keluar kamar memanggil empat orang emban kepercayaannya. Mereka mempersiapkan segala keperluan untuk mandi Sang Puteri terkasih itu, kemudian dengan diiringkan oleh empat orang emban itu, Lestari meninggalkan keputren dan menuju ke taman untuk pergi ke pemandian. Dan untuk perjalanan ini, tentu saja dia harus melewati ruangan tengah di mana Bupati Progodigdoyo sudah duduk menunggu sejak tadi. Melihat Lestari lewat, Progodigdoyo cepat bangkit berdiri dan mengangguk dengan hormat, sedangkan Lestari membalas penghormatan itu dengan senyum ramah, akan tetapi tidak berhenti dan melanjutkan langkahnya diikuti para emban. Progodigdoyo tersenyum dan mengurut kumisnya melihat gerak pinggul Lestari yang seperti menggapai-gapai kepadanya itu!   Dia menanti sebentar. Setelah kira-kira wanita dan para emban itu sudah tiba di pemandian, barulah dia berjalan, dengan perlahan, seenaknya agar tidak menarik perhatian para penjaga, lalu memasuki taman. Untung bahwa di taman itu sunyi tidak nampak penjaga, dan hal ini memang sudah diketahui baik oleh Lestari sebelum dia mengatur rencananya, maka dengan mudah Progodigdoyo lalu menyelinap di antara rumpun di taman itu, menghampiri tembok yang mengurung tempat pemandian itu.   Jantungnya berdebar penuh ketegangan dan penuh harapan. Progodigdoyo sudah berusia hampir lima puluh tahun, namun dia adalah seorang laki-laki yang bertubuh kuat dan berhati muda. Sudah banyak dia bermain cinta dengan segala macam wanita, namun tidak ada wanita yang benar-benar memikat hatinya seperti Lestari ini! Wanita muda ini mirip benar dengan Galuhsari, wanita yang dicintanya di waktu dia masih perjaka, dan kini Lestari menjanjikan kemesraan yang luar biasa! Belum pernah ada wanita baik-baik bersikap mesra dan berani seperti Lestari, yang dalam ciuman pertama sudah menggerakkan bibir membalas ciumannya dengan mesra. Yang pernah dan berani melakukan hal seperti itu hanyalah wanita-wanita pelacur, akan tetapi dia tahu bahwa semua itu hanya palsu belaka. Dan kini Lestari kiranya telah mencintanya! Dan dia makin nikmat membayangkan betapa Lestari tentu akan puas bermain cinta dengan dia yang masih kuat dan gagah perkasa, setelah sembilan tahun lamanya setiap hari dikecewakan oleh pelukan seorang tua bangka yang loyo!   Dengan kesaktiannya, mudah saja bagi Progodigdoyo untuk merayap naik ke atas tembok pemandian. Ketika dia berjongkok di atas tembok, sudah nampak olehnya Lestari sedang mandi kungkum (membenamkan tubuh) dalam air jernih kolam pemandian itu. Rambutnya terlepas, hitam panjang dan halus, kulit tubuhnya dari dada ke atas sampai kedua lengannya nampak halus kuning bersih dan halus. Dadanya yang menonjol itu hanya tertutup tapih pinjung, yaitu kain tipis yang menutupi dada sampai ke bawah, tanpa dibelit kemben (ikat pinggang), lepas-lepas saja dan dengan sekali gerakan saja akan terlepaslah kain itu!   Lestari tersenyum dan melambaikan tangannya. Tangan kanan menggapai dengan isyarat menyuruh Progodigdoyo turun, sedangkan telunjuk tangan kiri ditaruh di depan bibir tanda agar pria itu tidak membuat gaduh. Melihat senyum itu, Progodigdoyo lalu meloncat turun, ke sebelah dalam, lalu berindap-indap mendekat.   "Kakangmas..." Lestari berseru lirih dengan mesra dan membuka kedua lengannya, kedua lengan mengembang seolah-olah hendak memeluk tubuh pria itu dan kain itu hampir terlepas dipermainkan air yang sepinggang dalamnya.   "Lestari..." Progodigdoyo berseru lirih pula penuh kegembiraan dan saking besarnya hasrat yang mendorongnya, bupati ini lupa diri dan dengan pakaian masih lengkap dia langsung saja terjun ke dalam kolam air!   "Hi-hi-hik! Pakaianmu basah semua... hemmmmmppp..." Lestari tidak dapat melanjutkan ketawa dan kata-katanya karena dia sudah dipeluk oleh Progodigdoyo dan mulutnya diciumi penuh nafsu oleh pria itu.   Progodigdoyo tidak tahu bahwa sejak dia meloncat turun tadi, seorang di antara empat orang emban yang berada di luar dan pura-pura tidak tahu namun sebenarnya mengintai dan melihat gerakan Progodigdoyo, kini berlari-lari melalui taman menuju ke kamar di mana Resi Mahapati sedang tidur mendengkur.   Sang Resi Mahapati meloncat bangun dari tempat tidurnya ketika dia mendengar suara emban yang menggugahnya. Matanya melotot marah ketika dia tidak melihat Lestari melainkan emban yang berani menggugahnya. "Keparat, kau sudah bosan hidup? Berani benar kau mengganggu tidurku?"   "Ampunkan hamba..."   "Di mana gusti puterimu?"   "Hamba... hamba hendak melaporkan... gusti puteri sedang siram (mandi) di pemandian... dan... hendaknya paduka ketahui... di dalam pemandian terdapat seorang pencuri...!"   Karena masih setengah mengantuk, Resi Mahapati bersikap acuh tak acuh. "Maling? Beri tahu penjaga. Maling masuk di pemandian mau mengambil apa? Mau mencuri airkah?"   "Tapi... gusti puteri sedang siram di sana..."   "Wahh..., benar juga! Dan maling itu laki-laki atau perempuan?"   "Laki-laki..."   "Babo-babo, keparat!" Resi Mahapati meloncat lagi dan hendak lari ke pintu, karena dia tergesa-gesa dia sampai lupa bahwa dia masih setengah telanjang! Memang kebiasaan Resi ini untuk tidur tanpa pakaian.   "Maaf... paduka lupa..." Emban itu menahan ketawa sambil menuding ke arah tubuh Sang Resi.   "Eh, celaka hampir aku malu. Kenapa tidak dari tadi kau bilang? Hayo ambilkan celanaku...!"   Sambil menahan ketawa emban yang muda dan cantik itu mengambil celana dan baju Sang Resi.   Terpaksa emban itu membantu Sang Resi mengenakan pakaiannya dan karena mereka begitu berdekatan, baru tampak oleh Sang Resi betapa emban ini memilki kulit yang halus dan kuning. Tiba-tiba saja dia merangkul dan mencium pipinya.   "Eh..., eh...! Emban itu menjerit kecil.   "Denok, apakah engkau pernah melayani aku di pembaringan?" Sang Resi bertanya sambil meraba sana-sini sehingga emban itu menjadi kegelian.   "Be... belum..." jawabnya.   "Ha-ha, kalau begitu sewaktu-waktu engkau harus melayani aku. Kau manis denok..." Sang Resi Mahapati yang memang mata keranjang itu agaknya lupa akan pelaporan tadi dan mulai membelai.   "Akan tetapi... maling itu..."   "Eh, maling? Oya, keparat jahanam, dia harus mampus!" Dan Pendeta itu meloncat keluar dari dalam kamar, langsung dia berlari menuju ke taman dan tempat pemandian.   Sementara itu setelah memeluk tubuh yang padat dan basah air pemandian, yang hanya terbungkus kain tipis sehingga terasa olehnya lekuk lengkung tubuh itu, biar pun basah namun masih terasa kehangatan yang membakar, apalagi ketika merasa betapa bibir dan lidah wanita cantik itu menyambut ciuman-ciumannya, nafsu berahi telah berkobar-kobar membakar seluruh tubuh Progodigdoyo.   "Lestari... kekasihku... dewiku..." bisiknya dengan gemetar, jari tangannya meraba-raba.   "Hi-hik, kau lupa... Kakangmas... pakaianmu..." Lestari berbisik manja dan jari-jari tangannya yang runcing halus itu membantu Sang Bupati membukai kancing bajunya. Dengan tergesa-gesa Progodigdoyo menanggalkan pakaiannya, menjadi setengah telanjang dan dia sudah memondong tubuh Lestari, hendak dibawanya keluar dari dalam air menuju ke bagian yang lebih dangkal.   Lestari melirik ke kiri dan dia melihat seorang emban telah memberi isyarat dari balik daun pintu gapura pemandian dengan sehelai saputangan yang dilambaikan. Itulah tandanya bahwa Sang Resi telah hampir tiba di pintu gapura pemandian! Tiba-tiba saja dia merangkul dan mencium mulut Progodigdoyo penuh gairah. Tentu saja Progodigdoyo membalasnya dan memeluknya erat-erat, hampir tidak kuat menahan gelora nafsunya. Dan pada saat itu, bagaikan halilintar menyambar telinganya, dia mendengar Lestari menjerit-jerit nyaring, "Lepaskan aku... ahhh, tolonggg...! Tolonggg...! Kakangmas Resi..., tolong...! Lepaskan bedebah!"   "Eh, Lestari...?" Progodigdoyo yang masih menciumnya dan memeluknya itu terkejut, akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan di pintu gapura pemandian.   "Jahanam kau, Progodigdoyo!"   Progodigdoyo terkejut bukan main ketika menoleh dan melihat bahwa yang berdiri di ambang pintu gapura adalah Resi Mahapati! Tentu saja Sang Resi marah bukan main melihat Lestari meronta-ronta, tapih pinjungnya terlepas bagian atasnya sehingga nampak buah dadanya yang menonjol, dan betapa Progodigdoyo memeluk kekasihnya itu dan menciumnya!   Saking kagetnya, Progodigdoyo melepaskan pelukannya dan Lestari lalu terhuyung menjauhkan diri dan keluar dari kolam pemandian sambil membereskan tapih pinjungnya dan lari menangis menubruk Resi Mahapati. "Aduhhh... Kakangmas Resi... dia itu... jahanam itu... dia hampir memperkosa saya... hu-hu-huuuukkk .."   "Tidak..., tidak... saya tidak..."   "Keparat kau!" Resi Mahapati melepaskan pelukan Lestari dan tubuhnya sudah menerkam ke depan, ke arah Progodigdoyo yang pucat ketakutan dan hendak menaiki tangga kolam itu dalam keadaan setengah telanjang.   "Bresss!!" Progodigdoyo menangkis pukulan itu akan tetapi tetap saja tubuhnya terpelanting dan terjatuh kembali ke dalam kolam air. "Byurrrr!" Progodigdoyo cepat bangkit berdiri, matanya terbelalak dan mukanya pucat sekali.   "Nanti dulu, harap sabar dulu, Paman Resi... saya tidak bersalah... saya..."   "Keparat, kau masih hendak menyangkal? Mataku telah melihat sendiri dan kau masih berani untuk menyangkal?" Resi Mahapati sudah marah sekali dan dia lalu meloncat ke dalam kolam sambil menerkam dengan serangan kilat ke arah Progodigdoyo.   Progodigdoyo maklum bahwa dia harus melawan, karena kalau tidak tentu dia akan mati konyol. Melihat Resi itu menubruk dan mengirim dua pukulan yang dahsyat bukan main, cepat dia mengelak, akan tetapi gerakannya di dalam air tentu saja kurang gesit dan serangan Sang Resi datangnya seperti halilintar.   "Desss...!! Kembali tubuh Progodigdoyo terpelanting dan sekali ini dia merasa seluruh tubuhnya panas dan kepalanya pening karena pukulan tadi masih menyerempet pundaknya, padahal Sang Resi menggunakan aji kesaktiannya sehingga pukulan itu amat ampuh."   "ADUH...! Tunggu saya tidak berdosa..." Progodigdoyo masih berusaha membela diri dan menangkis pukulan susulan, namun dari samping tangan Sang Resi menampar, mengenai tengkuknya dan dia terguling roboh dan pingsan! Sang Resi sudah menjambak rambutnya dan membenamkan kepala Progodigdoyo ke dalam air.   "Tunggu, Kakangmas, jangan bunuh dia!"   "Ehh...?" Resi Mahapati yang sudah merah mukanya itu memandang kepada Lestari dengan mata terbelalak. "Kau minta aku tidak membunuh keparat ini?" tanyanya dengan nada suara hampir tidak percaya. Jangan-jangan kekasihnya itu mencinta laki-laki ini, pikirnya penuh cemburu.   "Ya, jangan Kakangmas membunuhnya karena saya hendak membunuhnya dengan kedua tangan saya sendiri! Dia telah berani menyentuh saya, memeluk dan menciumi saya, kalau saja Kakangmas dapat merasakan betapa hebatnya penghinaan itu. Saya harus membunuhnya dengan tangan saya sendiri!"   "Ha-ha-ha-ha!" Legalah hati Resi Mahapati dan dia menjambak rambut Progodigdoyo keluar dari dalam air, lalu diseretnya Bupati yang pingsan itu keluar dari kolam. "Keinginan hatimu akan terlaksana, manis. Engkau boleh membalas dendam sepuas hatimu!" Resi Mahapati lalu memanggil penjaga dan para penjaga menjadi terheran-heran ketika mereka melihat bupati yang setengah telanjang itu dan setelah mereka mengerti bahwa Progodigdoyo tentu telah mengganggu Sang Puteri, mereka tidak ragu-ragu lagi ketika diperintah untuk mengikat kaki tangan Progodigdoyo dan membawanya ke dalam kamar tahanan dan mengikatnya pada tiang di dalam kamar itu.   Ketika Progodigdoyo siuman dari pingsannya dan mendapatkan dirinya diikat di tiang dalam kamar itu, dia teringat akan segala pengalamannya dan tubuhnya menggigil. Mengertilah dia kini bahwa dia telah masuk perangkap yang dipasang oleh Sulastri! Rasa takut merayapi seluruh parasaannya. Dia tahu bahwa Lestari sengaja hendak membalas dendam dengan cara yang amat licik dan dia, Si Mata Keranjang Tolol, dia begitu saja dengan mudah dapat terjebak! Progodigdoyo memaki-maki dirinya sendiri, akan tetapi kembali dia terbelalak ketakutan karena dia teringat akan segala hal yang telah dilakukannya terhadap Galuhsari dan dua orang anaknya itu. Dia ketakutan, akan tetapi tidak berdaya meloloskan diri, apalagi karena di luar kamar tahanan itu terdapat banyak penjaga. Dia seperti seekor harimau yang telah terjebak dalam kerangkeng, menanti kematian. Bahkan dia sudah tidak berdaya sama sekali karena selain dijebloskan dalam tahanan, juga kaki tangannya terikat! Saat-saat itu merupakan siksaan yang amat hebat bagi Progodigdoyo dan dia merasa seakan-akan bayangan Lembu Tirta dan Galuhsari muncul untuk menagih nyawa kepadanya!   "Kita harus menyelidiki ke mana hilangnya Kolonadah," kata Roro Kartiko kepada kakaknya.   "Benar, kita harus membantu Adimas Sutejo dan Bromatmojo," jawab Joko Handoko setelah dia dan adiknya kembali ke kamar mereka di Kabupaten Tuban.   "Akan tetapi ke mana kita harus menyelidikinya?"   Joko Handoko mengerutkan alisnya. "Kita tahu bahwa sejak dahulu Ayah selalu mengerahkan pasukannya untuk menyelidiki dan mencari Kolonadah, sehingga hampir semua orang di Tuban tahu belaka bahwa pusaka itu dicari oleh Ayah. Dan melihat kenyataan bahwa lenyapnya pusaka itu di Tuban, tentu ada orang Tuban yang mengetahuinya. Sebaiknya kita menyelidiki di sini, mungkin di antara para perajurit ada yang mendengar sesuatu tentang peristiwa kematian Empu Singkir dan cantrik-cantriknya itu. Kabarnya, pagi harinya sepasukan perajurit datang ke rumah Empu itu, dan ini berarti tentu ada sesuatu yang mereka ketahui."   Dua orang muda itu lalu melakukan penyelidikan dan akhirnya mereka mendengar dari seorang anak buah Sriti Kencana bahwa ada perajurit yang menceritakan bahwa malam terjadinya pembunuhan itu, seorang cantik dari Empu Singkir yang ikut pula terbunuh, telah mengunjungi kabupaten dan tadinya bermaksud mencari dan menghadap Sang Bupati. Karena Bupati Progodigdoyo tidak ada, maka cantrik itu diterima oleh seorang perwira yang bernama Klabang Curing, yaitu orang kepercayaan Sang Bupati. Kemudian pada keesokan harinya, perajurit itu dan pasukannya dipimpin oleh Perwira Klabang Curing, mendatangi rumah Empu Singkir dan melihat bahwa empu dan dua orang cantriknya telah tewas. Hanya itulah yang dapat diceritakan oleh perajurit itu kepada isterinya yang secara rahasia menjadi anggota Sriti Kencana.   Setelah mendengar penuturan itu, Joko Handoko dan Roro Kartiko lalu menemui Klabang Curing. Karena yang bertanya adalah putera puteri atasannya, Klabang Curing lalu menceritakan bahwa memang benar pada malam hari itu cantrik pembantu Empu Singkir telah datang melapor bahwa keris pusaka Kolonadah berada di rumah Empu itu, akan tetapi di situ terdapat pula Ki Ageng Palandongan, mertua mendiang Ronggo Lawe maka Empu Singkir minta agar Bupati Progodigdoyo mengirim pasukan untuk melindungi Empu Singkir dari Ki Ageng Palandongan dan keris pusaka itu akan diserahkan kepada Bupati Progodigdoyo oleh Sang Empu.   "Karena Gusti Bupati tidak ada, maka hamba tidak berani sembrono dan pada keesokan harinya baru hamba membawa pasukan pergi ke sana. Dan ternyata sesampainya di tempat itu, Empu Singkir dan dua orang cantriknya telah tewas, Ki Ageng Palandongan tidak ada di sana dan keris pusaka itu pun tidak ada." Demikian Klabang Curing melanjutkan ceritanya.   Joko Handoko dan Adiknya lalu pulang dan mereka bercakap-cakap di dalam kamar mereka. "Tidak salah lagi, tentu Ki Ageng Palandongan yang melarikan keris itu," kata Joko Handoko.   "Kita harus mengejarnya! Kakang Joko, kalau aku mengingat akan sikap Ayah, aku merasa malu sekali dan biarlah kita berdua menebus dosa-dosa Ayah dengan membantu Kakangmas Sutejo dan Kakangmas Bromatmojo. Kita pergi ke kota raja untuk melaporkan hal itu kepada Ayah yang masih berada di sana, kemudian kita menyelidiki dan mengejar Ki Ageng Palandongan yang kurasa membawa pusaka itu ke Lumajang."   Joko Handoko mengangguk-angguk. "Agaknya dugaanmu itu benar, Diajeng. Akan tetapi, sungguh aku tidak mengerti mengapa Ki Ageng Palandongan sampai membunuh Empu Singkir dan dua orang cantriknya. Padahal aku mendengar bahwa beliau adalah seorang yang gagah perkasa dan berbudi."   "Tidak perduli bagaimana dia itu, aku harus dapat merampas keris itu untuk kuserahkan kepada Kakangmas Bromatmojo..."   Hemm, Adikku yang manis. Agaknya hatimu sudah benar-benar terpikat oleh Adimas Bromatmojo yang tampan itu, ya?" Joko Handoko menggoda Adiknya.   Sepasang pipi itu menjadi merah dan Roro Kartiko menundukkan mukanya. Akan tetapi hanya sebentar karena dia segera memandang Kakaknya, satu-satunya orang yang disayang dan dipercayanya karena hubungannya dengan Ayah mereka hambar saja, sedangkan ibu mereka pun kelihatan tidak suka kepada suaminya. "Memang benar, Kakang Joko aku... aku jatuh cinta kepadanya dan aku malah telah bersumpah dalam hatiku bahwa aku hanya mau menjadi isteri Kakangmas Bromatmojo seorang."   "Ah, sudah demikian jauh?" kakak itu berseru dengan terharu sambil memegang lengan adiknya. "Jangan khawatir, Adikku. Aku melihat bahwa Dimas Bromatmojo agaknya mencintamu pula, sikapnya jelas kelihatan mesra, dan aku pasti akan membantumu agar tercapai apa yang menjadi idaman hatimu."   "Terima kasih, Kakang Joko Handoko, engkau memang Kakakku yang amat baik."   Pada keesokan harinya, berangkatlah kakak beradik ini menuju ke kota raja. Ibu mereka hanya menyetujui saja karena ibu ini mengerti bahwa kedua orang anaknya adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi sehingga dia tidak perlu mengkhawatirkannya, apalagi karena dua orang anaknya itu berpamit untuk menyusul ayah mereka yang sudah terlalu lama pergi ke Mojopahit.   Jilid 41   Apakah sesungguhnya yang terjadi di malam hari itu di rumah Empu Singkir? Dan benarkah Ki Ageng Palandongan membunuh Empu Singkir dan dua orang cantriknya lalu membawa lari keris pusaka Kolonadah? Dugaan Joko Handoko dan Roro Kartiko hanya benar sebagian saja.   Pada malam hari itu, secara kebetulan Ki Ageng Palandongan terbangun dari tidurnya karena ingin buang air kecil. Agar tidak mengganggu tuan rumah, Kakek ini dengan hati-hati keluar dari dalam biliknya dan hendak pergi ke luar, ke belakang rumah. Akan tetapi ketika dia berindap-indap melalui kamar Empu Singkir, dia mendengar percakapan bisik-bisik antara Empu Singkir dan dua orang cantriknya.   "Bejo, engkau sekarang juga pergilah ke kabupaten, menghadap Sang Bupati dan katakan bahwa aku yang menyuruhmu untuk memberi tahu kepada Sang Bupati bahwa keris itu berada di sini! Katakan agar Gusti Bupati mengirim pasukan untuk melindungi kita karena di sini terdapat Ki Ageng Palandongan. Kalau kita serahkan pusaka itu kepada Sang Bupati, tentu akan mudah bagiku untuk mencari kedudukan lagi. Nah, kau berangkatlah, Bejo!"   Dapat dibayangkan betapa kaget hati Ki Ageng Palandongan mendengar ini. Dia cepat menyelinap dan setelah cantrik yang bernama Bejo itu pergi, dia mengintai lagi, lupa akan keinginannya untuk kencing tadi. Sampai Bejo kembali melaporkan bahwa Sang Bupati belum pulang dan bahwa besok pagi seorang perwira akan datang bersama pasukan, Ki Ageng Palandongan terus mengintai dan mengetahui rencana mereka.   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ki Ageng Palandongan sudah keluar dari kamarnya dan dia disuguhi sarapan ketan dan minuman teh oleh cantrik Bejo. Karena sudah tahu akan rencana mereka, Ki Ageng Palandongan menangkap tangan cantrik itu dan berkata, "Bejo, coba kau minum tehku ini."   "Tidak... tidak... kenapa begitu, Ki Ageng...?"   "Hayo minumlah, aku hendak melihat apa jadinya!" hardik Ki Ageng Palandongan.   "Tidak... saya tidak mau...!" Cantrik yang bernama Bejo menjadi pucat sekali mukanya dan dia melarikan diri. Akan tetapi sekali menggerakkan lengannya, Ki Ageng Palandongan telah menangkap pundaknya dan dengan sentakan kuat dia memaksa Bejo menghadapinya, kemudian dengan tangan kirinya dia memaksa cantrik itu membuka mulutnya dengan menekan kedua pipinya kuat-kuat dan dengan tangan kanannya dia menuangkan isi cangkirnya, yaitu air teh yang disuguhkannya tadi, ke dalam mulut Bejo dan memaksa cantrik itu menelannya dengan memencet hidungnya. Air teh itu di "cekokkan" ke dalam perut cantrik Bejo.   "Aaaahhh... aahhh, tolong... Bapa Empu...!" Cantrik itu menjerit-jerit, akan tetapi dia segera roboh dan melolong-lolong sambil memegangi perutnya karena racun warangan telah mulai bekerja di dalam perutnya. Sebagai seorang ahli keris, tentu saja Empu Singkir menyimpan banyak warangan yang dipakai untuk mencuci keris pusaka dan racun ini memang amat dahsyat.   Empu Singkir dan cantrik ke dua datang berlarian dan terkejutlah melihat Bejo telah berkelojotan dalam sekarat.   "Ki Ageng, apa yang kau lakukan ini?" Empu Singkir menegur, pura-pura heran.   "Empu Singkir, tidak perlu lagi berpura-pura. Aku telah mendengar semua rencanamu bersama para cantrikmu semalam. Aku memaksa dia minum racun yang kau suguhkan untukku. Hayo kau serahkan Kolonadah!"   Empu Singkir terkejut bukan main dan sebagai jawabannya, dia dan cantriknya sudah menyerang dengan keris di tangan. Namun, Empu yang lemah dan tua itu bersama cantriknya merupakan lawan yang lunak bagi Ki Ageng Palandongan yang gagah perkasa, maka biar pun Kakek tinggi besar ini tidak menggunakan senjata, namun dengan mudah dia dapat merampas keris di tangan Empu itu dan keris itu makan tuan ketika ditusukkannya ke dada Empu Singkir.   "Ki Ageng Palandongan... aku... aku sahabatmu..." Empu itu merintih ketika dia roboh ke atas tanah.   "Hemm, keadilan tidak kawan atau lawan, Empu Singkir. Engkau berkhianat dan dalam usia tua masih loba akan kedudukan dan kemuliaan duniawi!"   "Ahhh... aku menyesal sekali... aku bertobat..." Empu itu merintih dan tewas. Cantriknya hendak lari akan tetapi Ki Ageng Palandongan menyambitnya dengan keris rampasan itu.   "Wuuuttt... cesss... !" Keris itu menancap di lambungnya sampai ke gagangnya dan robohlah cantrik itu, tewas seketika karena ampuhnya keris milik Empu Singkir.   Ki Ageng Palandongan cepat mencari-cari ke dalam kamar Sang Empu dan akhirnya dia menemukan Kolonadah yang masih dibungkus kain kuning karena belum memperoleh warangka. Tanpa membuang waktu lagi, dibawanya pusaka itu dan larilah Ki Ageng Palandongan di waktu pagi sekali, sewaktu belum ada seorang pun penduduk Tuban keluar dari rumah mereka. Dia mengambil keputusan untuk melarikan keris Pusaka Kolonadah ke Lumajang. Demikianlah, maka ketika pasukan kabupaten yang dipimpin oleh Klabang Curing itu muncul di depan pintu pondok Empu Singkir, mereka hanya menemukan jenazah tiga orang itu, sedangkan keris Pusaka Kolonadah telah lenyap, demikian pula Ki Ageng Palandongan tidak dapat ditemukan jejaknya lagi.   Wanita muda yang cantik jelita itu kini wajahnya amat mengerikan dan menakutkan bagi Progodigdoyo. Dia bergidik dan bulu tengkuknya berdiri ketika dia melihat siapa yang memasuki kamar tahanannya. Lestari masih cantik jelita, akan tetapi kini sinar matanya seperti sinar mata iblis yang haus darah ketika dia berdiri dan memandang Progodigdoyo yang berdiri bersandarkan tiang dan diikat kaki tangannya itu. Tentu saja bagi orang lain, mata itu indah sekali dan bersinar-sinar menggairahkan, namun, bagi Bupati Tuban itu, sinar mata Lestari seperti mata iblis yang penuh hawa maut. Senyumnya yang manis itu kini nampak seperti senyum kuntilanak yang siap untuk menyedot darahnya! Tubuh Progodigdoyo menggigil. Dia adalah seorang laki-laki yang pemberani dan tak pernah mengenal takut, bahkan di antara hujan anak panah dan keroyokan musuh di dalam perang, dia dapat tersenyum tabah dan sedikit pun tidak pernah merasa gentar. Akan tetapi sekarang, menghadapi Lestari yang memandangnya penuh dendam, dia merasa ngeri juga. Apalagi karena sejak kemarin dia selalu membayangkan wajah Lembu Tirta dan Galusari.   "Lestari, kau... kau sengaja hendak mencelakakan aku...! Akhirnya dia dapat berkata juga.   Lestari tersenyum lebar dan sepasang matanya ikut pula tersenyum. Wanita itu kelihatan girang dan bernafsu sekali, bahkan kelihatan seperti orang yang sedang diamuk gairah berahi! Atau seperti sinar mata seorang calon ibu yang mengidam dan melihat apa yang diidamkannya!   "Hi-hik, kau baru tahu sekarang? Nah, sekarang kita berhadapan di sini, berdua saja dan aku dapat melakukan apa pun atas dirimu sesuka hatiku. Hi-hi-hik! Progodigdoyo, sekarang kau hendak mengeluh kepada siapakah?" Wanita itu melolos sebatang pisau belati yang kelihatan amat tajam dan runcing, yang tadi diselipkan di ikat pinggangnya.   "Lestari, kau... kau mau apa...?" Progodigdoyo bertanya, suaranya kering, sekering mulutnya dan kini lidahnya berusaha untuk membasahi bibir dengan jilatan gugup.   "Mau apa? Hi-hi-hik, kau masih bertanya mau apa lagi, Progodigdoyo? Mau merayu engkau? Ha-ha, mau melayanimu agar nafsu berahimu terpuaskan? Mau menyanjungmu karena engkau telah begitu gagah perkasa membunuh Ayahku secara curang dan pengecut? Dan engkau mau mengulangi perkosaanmu atas tubuh Ibuku yang suci itu kepada diriku? Dan memujimu karena Adikku telah mati kau bakar? Begitukah Progodigdoyo?" Lestari mendekati dan mengejek. Progodigdoyo melihat sinar mata itu dan kembali dia bergidik ngeri. Sinar mata itu serupa dengan sinar mata Lestari ketika dia hendak memperkosanya dahulu.   "Kau... kau... gila!!" Dia berseru.   "Ha-ha-ha, aku memang gila, gila oleh dendam! Dan kau pun gila, gila karena nafsu angkara. Dan sekarang aku memperoleh kesempatan untuk membalas dan menyiksamu sepuas hatiku!" Lestari mendekati sampai hampir menyentuh tubuh Progodigdoyo dan pisau belatinya diamang-amangkan di depan wajah Progodigdoyo.   "Kau gila! Kau boleh bunuh aku sekarang juga. Jangan kira aku takut mati!" Progodigdoyo menghardik, tetapi di dalam hatinya dia takut sekali, takut oleh ancaman siksaan dan penghinaan.   "Hi-hik, enak saja kau minta mati. Lupakah kau betapa Ibuku memohon-mohon kepadamu, betapa Ibuku merintih-rintih ketika kau perkosa dan kau hina? Sekarang, aku ingin mendengar kau juga merintih-rintih dan memohon ampun!"   "Tidak sudi!" Progodigdoyo yang maklum bahwa dia tentu akan mati itu mengeraskan hatinya dan tidak mau menerima penghinaan itu. Dia ingin mati dalam keadaan gagah.   "Tidak sudi? Hi-hik, kita sama lihat saja. Engkau seorang hidung belang, ya? Begitukah macamnya seorang laki-laki hidung belang? Hidungnya harus dibuang saja!" Sambil berkata demikian, Lestari menggunakan pisaunya yang amat tajam itu untuk membacok hidung Progodigdoyo. Akan tetapi Progodigdoyo menggerakkan kepalanya dan mengelak.   "Crottt" Pipinya yang tertusuk dan berdarah. Akan tetapi Lestari sambil tertawa-tawa seperti seorang anak kecil memperoleh sebuah mainan baru, terus menghunjamkan pisaunya dan akhirnya karena kaki tangannya terikat, tentu saja Progodigdoyo tak dapat terus mengelak dan hidungnya kena dirobek dan dikerat sampai buntung! Darah mengucur deras, dan hidung itu kini merupakan lubang hitam melompong yang berdarah, di samping bibir dan pipinya yang tadi terkena ujung pisau dan juga luka-luka berdarah ketika dia mengelak. Namun siksaan ini masih belum mendatangkan rasa takut bagi Progodigdoyo, sungguh pun dia menderita rasa nyeri dan perih. Matanya melotot lebar memandang kepada Lestari penuh kebencian.   "Perempuan iblis, terkutuk..." Dia memaki akan tetapi suaranya terdengar aneh dan lucu karena hidungnya buntung itu. Lestari tertawa terkekeh seperti iblis, kegirangan dan kegembiraannya makin bertambah ketika dia melihat keadaan musuhnya dan dia seperti seekor binatang buas yang mencium darah dan menjadi makin buas.   "Dan kau laki-laki mata keranjang. Ya, mata keranjang, maka harus dibuang satu matanya, hi-hik!" Dan kini pisau itu menyambar ke arah mata kiri Progodigdoyo! Progodigdoyo mengelak dan miringkan kepalanya.   "Crepp!" Pelipisnya tergores pisau, bukan main nyeri dan perihnya. Dan mulailah dia merasa takut sekali.   "Lestari, bunuh sajalah aku!" katanya dengan suara pelo dan gemetar.   "Ha-ha, kau boleh minta ampun!"   Saking ngeri dan takutnya, Progodigdoyo tidak dapat lagi mempertahankan kekerasan hatinya. "Ampunkan aku, Lestari. Ampunkan aku dan kau bunuh sajalah aku... ohhh..."   "Engkau belum menangis! Engkau harus minta ampun sambil menangis, seperti Ibuku dulu!"   "Ah... kurang bagaimana lagi, Lestari? Aku sudah minta mati..., kau ampunkan aku..."   "Crott!" Kembali pipi atasnya dekat mata termakan ujung pisau ketika dia mengelak dari tusukan ke dua.   "Kau mintalah ampun kepada Ayahku!"   "Kakang Lembu Tirta, saya minta ampun kepadamu...!"   "Kepada Ibuku!´   "Diajeng Galuhsari... ampunkan aku... ampunkan aku..."   "Creppp...! Aughhhh...!" Progodigdoyo menjerit kesakitan ketika pisau itu menancap di mata kirinya, diputar dan dicongkelkan, diiringi suara ketawa Lestari yang kini benar-benar telah menjadi seperti orang gila!   "Aduhh... Lestari... Lembu Tirta... Galuhsari... ampun...!" Progodigdoyo juga merintih-rintih seperti gila saking takutnya.   "Dan sekarang hukumanmu ketika kau memperkosa Ibuku! Brettt ..." Pisau itu bergerak dan terbukalah celana di depan tubuh Progodigdoyo.   "Jangan, Lestari...! Bunuh saja aku...! Akan tetapi kata-kata ini disusul pekik mengerikan ketika pisau itu menyambar dan menusuki alat kelaminnya yang dilakukan dengan ganas sekali oleh Lestari yang tertawa-tawa. Para penjaga di luar kamar tidak berani menjenguk karena mereka sudah dipesan agar membiarkan kekasih Sang Resi itu menyiksa dan membunuh tawanan itu. Mereka bahkan tertawa-tawa karena semua penjaga merasa marah mendengar betapa Progodigdoyo berusaha untuk memperkosa Sang Puteri di tempat pemandian!   Akan tetapi betapa pun Progodigdoyo merintih, mengeluh, minta ampun dan merengek-rengek, semua itu bahkan menambah buasnya Lestari dan wanita yang sudah seperti gila ini terus-menerus menggerakkan pisaunya yang tajam, mengiris sana mengerat sini, menusuk dan mengiris lagi, semua dilakukan perlahan karena dia tidak ingin cepat-cepat membunuh orang yang disiksanya.   Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat memasuki tempat tahanan itu dan seorang pemuda memandang dengan mata terbelalak penuh kengerian. Pemuda ini adalah Sutejo! Seperti telah diceritakan di bagian depan, dengan ditemani oleh Bromatmojo, Sutejo yang mendengar bahwa Mbakayunya, Lestari, kini telah menjadi selir dari Mahapati, juga ketika mendengar bahwa Progodigdoyo yang dicari-carinya itu kebetulan sekali sedang menjadi tamu di gedung Resi Mahapati, malam itu cepat mempergunakan kesaktiannya, bersama Bromatmojo dia meloncat ke atas genteng istana Resi itu dan mencari-cari. Ketika dia mendengar pekik-pekik kesakitan yang mengerikan itu, cepat dia bersama Bromatmojo menghampiri dan mengintai dari atas genteng. Alangkah kaget rasa hati Sutejo ketika dia melihat seorang wanita yang seingatnya mirip benar dengan Mbakayunya, sedang menyiksa seorang pria yang bukan lain adalah Progodigdoyo. Baru setelah orang yang disiksa itu menyebut nama Lestari dan minta diampuni dan dibunuh saja, dia tidak merasa ragu-ragu lagi.   "Adi Bromo, harap kau menjaga di sini. Aku harus mencegah Mbakayuku melakukan kekejaman seperti itu!" katanya kepada Bromatmojo, kemudian dia membuka genteng dan meloncat turun seperti seekor burung garuda.   "Mbakayu Lestari...!"   Lestari yang tadinya terkekeh dan matanya bersinar-sinar, mulutnya terengah-engah dan peluhnya membasahi leher dan dahi, mukanya agak pucat, terkejut mendengar suara panggilan itu dan cepat dia menoleh, pisau yang sudah berlepotan darah itu di tangan kanannya, sebagian bajunya juga terkena darah yang muncrat-muncrat dari luka-luka baru setiap kali pisaunya menusuk atau mengerat. Sejenak mereka berpandangan dan Lestari tidak lagi mengenal Adiknya.   "Engkau siapa?" bentaknya marah.   "Mbakayu Lestari, ini aku... Sutejo!" kata Sutejo dengan leher seperti dicekik rasanya. Mbakayunya kini telah menjadi seorang wanita dewasa yang cantik sekali, bukan lagi seorang dara remaja, akan tetapi dia tidak akan dapat melupakan wajah Mbakayunya. Akan tetapi, melihat keadaan Mbakayunya seperti itu, teringat betapa tadi Mbakayunya menyiksa orang itu, dia bergidik. Dia menoleh ke arah Progodigdoyo dan bergidik lagi. Seluruh tubuh orang itu tidak ada yang utuh, tidak ada yang tidak terkena darah sehingga sukar dilihat bagian mana yang belum terluka. Pakaiannya compang-camping dan terutama di bagian kelaminnya hanya kelihatan warna merah, penuh darah! Mengerikan sekali, dan Progodigdoyo kini hanya dapat merintih perlahan-lahan, ah-ah-uh-uh mengerikan dan menyedihkan sekali.   "Sutejo...!! Engkau...? Tejo adikku...!" Lestari hendak memeluk Adiknya, akan tetapi Sutejo mundur dan memandang Mbakayunya dengan alis berkerut.   "Mbakayu Lestari, apa yang kau lakukan ini?" tegurnya, suaranya nyaring.   "Hi-hik, Tejo adikku. Arwahmu kah ini yang datang untuk menyaksikan sendiri balas dendam keluarga kita?" Wanita itu bicara seperti gila.   "Tidak, Mbakayu. Ini aku, Sutejo, aku belum mati, ketika rumah kita terbakar, aku ditolong oleh Eyang Guru. Mbakayu, mengapa kau melakukan perbuatan yang amat kejam ini?"   "Aku? Kejam? Heii! Bagaimana kau ini? Dan kau mau bilang bahwa jahanam Progodigdoyo ini tidak kejam? Ah, kau tidak melihat ketika Ibu diperkosa, ya? Jahanam, aku harus hancurkan itu...!" Pisaunya sudah diangkatnya pula ketika dia membalikkan tubuhnya dan dengan beringas dia hendak membacokkan pisau itu ke arah bawah pusar yang sudah penuh darah itu.   "Prakkk!" Kepala Progodigdoyo yang sukar dikenal lagi itu karena hidungnya buntung dan matanya buta sebelah, juga mukanya penuh coret-coret bekas keratan pisau, tiba-tiba pecah dan orangnya tewas seketika.   Lestari menoleh ke arah Sutejo dan memandang dengan marah. "Ah, kenapa kau tergesa-gesa membunuhnya, Tejo? Belum puas hatiku menyiksanya. Sebetulnya dia harus mati sedikit demi sedikit, akan tetapi kau bunuh dia. Sungguh terlalu enak bagi Si Keparat ini. Cuh-cuh!" Dia meludah ke arah muka mayat Progodigdoyo.   Sutejo mengerutkan alisnya. Tak disangkanya bahwa Mbakayunya telah berubah menjadi seperti iblis. Begitu cantik jelita, akan tetapi begitu kejam luar biasa. Dan dengan hati penasaran dia lalu menegur, "Mbakayu Lestari, engkau ternyata telah tersesat terlampau jauh! Engkau seperti gila oleh dendam! Perbuatanmu ini kejam sekali dan membikin aku merasa malu, Mbakayu!"   Lestari juga memandang kepada adiknya dengan marah. "Kau? Malu? Kau kira selama bertahun-tahun ini siapa yang menderita sengsara? Siapa yang mengor__an dirinya, rela dihina, rela menanggung segala kepedihan, berkali-kali mempertahankan keinginan untuk membunuh diri, yang sampai kehabisan air mata untuk menangis, yang hatinya selalu bercucuran darah, yang ..." Suaranya habis dan dia menangis sesenggukan.   Sadarlah Sutejo bahwa dia bersikap terlalu keras kepada Mbakayunya. "Mbakayu Lestari, kau maafkanlah aku..." katanya perlahan sambil menundukkan mukanya, tidak tahan melihat Mbakayunya menangis. Sama benar Mbakayunya ini dengan mendiang Ibunya ketika menangis.   "Tejo...!" Lestari menubruk, mereka berangkulan dan bertangisan, sungguh pun sebenarnya hanya Lestari yang menangis karena Sutejo dapat menekan keharuannya dan masih belum hilang rasa kaget dan ngerinya melihat kekejaman yang dilakukan oleh Kakaknya itu kepada Progodigdoyo. Secara terpaksa sekali dia tadi menggerakkan tangan menampar kepala Progodigdoyo dan membunuhnya karena dia tidak ingin melihat orang itu lebih lama tersiksa lagi oleh Mbakyunya, sungguh pun orang itu adalah musuh besar keluarganya. Tamparannya tadi dilakukan untuk mengakhiri penderitaan Progodigdoyo yang amat hebat itu.   "Adikku sayang... kau harus mengerti keadaanku. Aku tadinya mengira bahwa kau sudah mati dan aku seorang diri, bagaimanakah aku dapat membalas dendam? Apa dayaku? Bagaimana mungkin aku dapat membalas dendam selain mempergunakan kecantikan dan kewanitaanku? Dan dendam keluarga kita bertumpuk setinggi gunung! Mendiang Ayah kita telah berjuang mati-matian selamanya untuk kejayaan Mojopahit, akan tetapi imbalan apa yang kita terima? Ayah dibunuh secara curang Ibu diperkosa, dihina dan dibunuh, engkau hampir mati, dan aku... sudah rusak hidupku, hancur semua harapanku. Akan kubasmi seluruh Mojopahit!" "Hushhh, Mbakayu, apa yang kau katakan itu?" Sutejo terkejut. "Musuh keluarga kita hanya dia dan dia sudah mati."   "Tidak! Yang melakukan memang jahanam itu, akan tetapi mengapa Mojopahit diam saja melihat ponggawanya berbuat kejahatan terhadap kita? Dari Rajanya sampai semua ponggawanya adalah tidak baik semua dan harus kubasmi, baru akan puas hatiku!"   "Mbakayu, buanglah jauh-jauh pikiran gila itu..." Sutejo menghentikan kata-katanya karena pada saat itu muncul Resi Mahapati dan Resi Mahapati diiringi para pengawalnya membuka pintu kamar tahanan dan memasuki tempat itu.   Resi Mahapati tidak berani lancang membunuh Progodigdoyo begitu saja karena orang itu adalah seorang Bupati, seorang ponggawa pula, maka dia menghadap Sri Baginda dan melaporkan tentang perbuatan Progodigdoyo yang melanggar kesusilaan. Pada waktu itu, Kerajaan Mojopahit telah mempunyai undang-undang hukum, dan barang siapa mengganggu seorang wanita yang sudah bersuami, maka pengganggu itu dihukum mati dan pelaksanaan hukumannya dapat dilakukan oleh Si Suami. Marahlah Sang Prabu mendengar pelaporan itu dan tentu saja sebagai seorang raja yang adil dan bijaksana, dia mengijinkan Resi Mahapati untuk menghukum mati kepada Progodigdoyo dan Sang Prabu mengutus Panji Samara dan Empu Wahono pergi ke Tuban untuk sementara mengatur kabupaten itu yang tidak mempunyai kepala daerah lagi.   Kebetulan sekali pada hari itu, Resi Harimurti tiba dan segera dua orang Resi ini bercakap-cakap sambil makan minum dan di situ Resi Harimurti menceritakan semua pengalamannya ketika dia berada di Tuban. Tentang dua orang muda yang sakti dan yang menyerbu kabupaten lalu menghilang. Kemudian dia menceritakan pula tentang kematian Empu Singkir dan cantrik-cantriknya dan tentang keris Pusaka Kolonadah yang kabarnya tadinya berada di tangan Empu Singkir.   "Menurut berita itu, agaknya tidak salah lagi bahwa yang membunuh Empu Singkir dan merampas Kolonadah adalah Ki Ageng Polondangan, Adi Resi Mahapati." Resi Harimurti mengakhiri ceritanya.   Tentu saja Resi Mahapati merasa tertarik sekali. Dia maklum bahwa keris Pusaka Kolonadah adalah sebatang keris pusaka ampuh ciptaan Maha Empu Supamandrangi dan keris itu khusus diciptakan untuk menjadi pegangan para raja besar. Pemegang keris itu akan mempunyai wibawa untuk menjadi raja besar. Hanya karena khasiat ini sajalah maka dia mati-matian mencari keris pusaka Kolonadah itu dan kini dia mendengar bahwa keris yang dicari-cari itu telah terjatuh ke dalam tangan Ki Ageng Palandongan!   "Hemm, berita ini penting sekali, Kakang Resi Harimurti," katanya sambil mengelus jenggotnya yang masih hitam. "Kalau benar Ki Ageng Palandongan yang memperoleh pusaka itu, tentu dia akan membawanya lari ke Lumajang. Kita harus dapat merampasnya kembali, Kakang."   Resi Harimurti mengangguk-angguk. "Memang seharusnya begitu, Adi Resi. Dengan pusaka itu di tangan Andika, kiranya baru lengkaplah perabot-perabot untuk mencapai cita-cita Andika. Dan saya akan siap untuk membantu sampai akhir tujuan cita-cita kita tercapai. Akan tetapi, ada apakah ribut-ribut yang kudengar dibicarakan orang di rumah Andika ini? Saya mendengar berita tentang Progodigdoyo ketika dalam perjalanan ke sini."   Resi Mahapati menarik napas panjang. "Aahhh, sungguh menggemaskan sekali Si Progodigdoyo, Kakang Resi Harimurti. Dia telah tergila-gila kepada kekasiku, Si Lestari!" Resi Mahapati mengepal tinjunya.   Resi Harimurti tersenyum dan minum tuwaknya. "Ha-ha-ha, Adi Resi. Apakah anehnya itu? Selirmu itu demikian cantik jelita, siapa orangnya tidak akan tergila-gila kepadanya? Mengapa hal seperti itu saja diributkan benar?"   "Kakang Resi, Andika tidak tahu. Kalau hanya tergila-gila saja, tentu saya tidak begitu bodoh untuk meributkannya, akan tetapi dia telah berani melanggar kesusilaan dan berusaha memperkosa selirku di waktu dia sedang berada di kolam pemandian."   "Ahhh...! Tertangkap basah?"   Resi Mahapati mengangguk. "Saya sendiri yang menangkapnya. Hal itu berarti menghinaku dan bolehkah dibiarkan begitu saja?"   Resi Harimurti menarik napas panjang. "Ahhh..., tak kusangka dia akan segila itu! Habis sekarang bagimana, Adi Resi?´   "Mungkin saja, mengingat dia belum berhasil dalam usahanya memperkosa, dan mengingat dia merupakan seorang pembantu yang baik, saya sendiri akan dapat mengampuninya. Akan tetapi saya sangsi apakah Lestari sudi untuk melupakan peristiwa itu!" Mahapati termenung dan mengerutkan alisnya. "Selirku merasa sakit hati sekali, bahkan dia melarang saya membunuh Progodigdoyo dalam kemarahanku yang meluap kemarin, dan dia minta agar dia sendiri yang akan membunuhnya."   Resi Harimurti tentu saja merasa sayang sekali kalau seorang pembantu seperti Progodigdoyo sampai dibunuh hanya karena urusan wanita. Dia sendiri sudah menerima banyak kesenangan dari Bupati itu, bahkan putera dan puteri Bupati itu telah berguru kepadanya. "Kalau sekiranya mungkin, sebaiknya kalau dia diampuni, Adi Resi. Diberi hajaran dan peringatan saja pun sudah cukuplah. Kita menghadapi urusan besar, jangan sampai urusan besar dihalangi oleh segala urusan yang lebih kecil, sungguh pun saya tahu bahwa perbuatannya itu benar-benar keterlaluan terhadap Andika."   Resi Mahapati mengangguk-angguk. "Saya mengerti, Kakang. Akan saya coba untuk membujuk Lestari nanti." Para pelayan yang menghidangkan masakan-masakan yang masih panas datang dan Mahapati segera berkata, "Sudahlah, mari kita makan dulu dan kita lupakan saja hal-hal yang tidak menyenangkan itu. Malam masih panjang dan masih banyak waktu untuk urusan itu."   Harimurti tertawa dan Mahapati memberi tanda kepada para pengawal. Gamelan dibunyikan dan segera beberapa orang wanita cantik menari dan bertembang mengikuti irama gamelan untuk menghibur dua orang Resi yang sedang pesta itu. Akan tetapi, Resi Mahapati tidak dapat menikmati makanan dan suasana yang meriah itu. Alisnya berkerut dan semua masakan yang dicobanya terasa cemplang (hambar). Karena itu, dia lebih banyak menuangkan minuman tuwak ke dalam perutnya daripada makanan, sehingga mukanya menjadi merah sekali karena hawa minuman keras itu.   Kelezatan tidaklah sepenuhnya terletak di dalam piring. Memang harus diakui bahwa bumbu-bumbu menambah sedap makanan, namun sesungguhnya keselarasanlah yang membuat kita makan terasa enak. Keselarasan atau keseimbangan antara kesehatan jasmani, ketenangan batin, dan rasa dari makanan itu sendiri. Kalau ketiganya ini seimbang atau selaras, barulah makanan terasa enak. Bahkan yang memegang peran utama adalah kesehatan badan dan ketenangan batin itulah. Makanan yang sederhana sekali pun, kalau dimakan dalam keadaan perut lapar, badan sehat dan pikiran tenang, maka akan terasa nikmat. Sebaliknya, biar pun menghadapi puluhan macam masakan yang paling lezat seperti yang dihadapi oleh Mahapati, kalau pikirannya tidak tenang seperti dia, akan terasa tidak enak semua masakan itu. Demikian pula, betapa pun enaknya masakan, kalau badannya sedang tidak sehat, akan terasa tidak enak pula masakan itu. Maka yang penting bagi manusia adalah kesehatan badan dan ketenangan batin.   Malam makin larut dan gamelan dipukul makin keras, suara tembang para penari makin nyaring menyusup dalam kegelapan malam. Tiba-tiba beberapa orang pengawal datang mengiringkan dua orang muda memasuki ruangan makan itu. Karena para pengawal telah mengenal pemuda dan gadis yang datang ini, maka mereka berdua itu langsung saja diantar ke ruangan makan di mana Resi Mahapati sedang makan minum bersama Resi Harimurti.   Resi Harimurti terkejut dan cepat bangkit berdiri ketika mengenal bahwa yang datang itu adalah Joko Handoko dan Roro Kartiko, dua orang muridnya. Juga Resi Mahapati merasa tidak enak. Dia sudah pula mengenal dua orang muda itu sebagai putera-puteri Progodigdoyo, maka cepat dia menyambut kedatangan mereka.   "Andika berdua datang di waktu malam begini, ada keperluan apakah?" Mahapati bertanya.   "Maaf, Paman Resi. Kami datang untuk mencari Ayah. Kami mendengar bahwa Ayah bertamu di sini dan karena tadi mendengar adanya suara di luar bahwa di sini terjadi keributan yang menyangkut nama Ayah, maka malam-malam ini juga kami memberanikan diri untuk datang menghadap. Di manakah Ayah, Paman Resi? Benarkah berita di luar bahwa Ayah telah Paman tangkap?" tanya Joko Handoko.   Jilid 42   "Benar," jawab Mahapati tenang saja.   "Mengapa?" Roro Kartiko bertanya dengan suara nyaring. "Mengapa Paman menangkap Ayah? Apa dosanya?"   "Kalian berdua boleh bertanya sendiri kepada Ayah kalian mengapa dia sampai kami tangkap," kata Resi Mahapati dan dia mengangkat tangan memberi isyarat sehingga suara gamelan dan nyanyian berhenti. Begitu suara itu berhenti, terdengar suara teriakan mengerikan dari arah belakang. Mahapati terkejut. "Mari cepat ikut dengan kami!" katanya kepada Resi Harimurti dan dua orang muda itu, dan dia juga memberi isyarat kepada para pengawal yang cepat berkumpul dan mengikuti Sang Resi bergegas menuju ke tempat tahanan yang letaknya di belakang. Kiranya, gamelan dan nyanyian yang nyaring tadi membuat mereka tidak mendengar teriakan-teriakan Progodigdoyo ketika mengalami siksaan dari Lestari, dan baru setelah gamelan berhenti, terdengar teriakan itu. Hanya Mahapati seorang yang dapat menduga suara teriakan itu datang dari mana, maka dia cepat mengajak mereka untuk menuju ke tempat tahanan.   Demikianlah, ketika Sutejo sedang bercakap dan berbantahan dengan Mbakayunya, pintu tahanan terbuka dan muncullah Resi Mahapati dan Resi Harimurti. Akan tetapi segera terdengar teriakan tertahan dan dua orang menerobos masuk. Mereka itu adalah Joko Handoko dan Roro Kartiko. Kedua orang itu menubruk mayat Progodigdoyo sambil menangis. Dengan kerisnya, Joko Handoko membabat putus ikatan-ikatan tangan dan kaki mayat Ayahnya, kemudian dia membuka bajunya dan menutupi tubuh bawah Ayahnya dengan baju itu, lalu diletakkan mayat itu di atas lantai.   Sementara itu, Lestari yang melihat betapa suaminya memandang kepada Sutejo dengan mata penuh ancaman, cepat menghampiri suaminya dan berkata, "Kakangmas Resi, dia... dia adalah Adikku yang bernama Sutejo..."   Sementara itu, Sutejo juga mengkhawatirkan keselamatan Mbakayunya, maka dengan sikap tenang dia berkata, "Sayalah yang telah membunuh Progodigdoyo!"   Mendengar ini, Roro Kartiko melompat dan menghadapi Sutejo. Dia sudah mendengar penuturan Bromatmojo tentang kejahatan Ayahnya terhadap keluarga Sutejo, akan tetapi melihat Ayahnya disiksa seperti itu, dengan mata mendelik dan muka pucat dia menghadapi Sutejo, mengepal tinjunya dan membentak, "Kenapa kau menyiksa Ayahku? Kenapa kau membunuh Ayahku?"   Sutejo menarik napas panjang, memandang gadis itu dengan sinar mata penuh iba karena dia maklum bahwa gadis ini adalah seorang yang gagah dan baik, hanya sayang Ayahnya demikian jahat. Betapa pun juga, Progodigdoyo adalah ayah kandung gadis ini maka dia dapat memaklumi kemarahan yang diperlihatkan oleh Roro Kartiko melihat Ayahnya mati secara demikian mengenaskan. "Mengapa? Karena dia telah memperkosa Ibuku dan membunuh Ibuku setelah dia membunuh pula Ayahku..."   "Dan dia hendak memperkosa aku pula, setelah dia memperkosa Ibu di depan mataku! Itulah sebabnya Sutejo membunuhnya!" hardik Sulastri.   Ucapan itu seperti ujung keris menghunjam di ulu hati Roro Kartiko. Mendengar Ayahnya melakukan hal-hal sejahat dan sekeji itu, membuat dia merasa sakit sekali di dalam hatinya.   "Ahhh... Ayah...!" Dia menubruk jenazah Ayahnya dan menangis sesenggukan.   "Sudahlah, Diajeng. Mari kita bawa pergi jenazah Ayah, tidak ada gunanya lagi kita berlama-lama di sini," kata Joko Handoko dan dia sudah memondong jenazah Ayahnya, lalu keluar dari situ diikuti oleh Adiknya. Tidak ada orang yang berani mencegah mereka pergi, juga Resi Mahapati diam saja karena lebih baik mereka itu membawa mayat yang sudah tidak karuan rupanya itu cepat-cepat pergi dari rumahnya, pikirnya.   Sementara itu, diam-diam Resi Harimurti berbisik di dekat telinga Mahapati, "Adi Resi, inilah satu di antara dua orang muda yang mengacau di Tuban itu. Mungkin dia mempunyai hubungan dengan lenyapnya Kolonadah."   Resi Mahapati lalu menghampiri Sutejo. "Orang muda, biar pun Lestari mengakui engkau sebagai adiknya, akan tetapi karena kau telah melakukan pembunuhan di sini, engkau harus kutangkap dan kulaporkan. Yang kau bunuh adalah seorang ponggawa kerajaan, maka urusan ini harus dilaporkan ke istana."   "Kakangmas...!" Lestari menjerit dan merangkul suaminya. "Dia adalah Adikku, adik kandungku sendiri. Dia Sutejo! Dia membunuh jahanam itu karena marah mendengar aku hampir diperkosanya!"   "Biar pun begitu, dia harus ditahan dulu, Lestari. Kalau sampai urusan ini terdengar oleh Sang Prabu dan aku melepaskan dia yang telah membunuh seorang ponggawa, tentu akan celaka kita semua. Sutejo, menyerahlah sebagai tawanan."   Akan tetapi tentu saja Sutejo tidak mau ditangkap begitu saja. Dia membusungkan dadanya dan mengerling ke arah Resi Harimurti sambil berkata, "Siapa pun boleh mencoba untuk menangkap aku kalau bisa!"   "Keparat! Kau sombong sekali! Di Tuban kau terlepas dari tanganku, kini jangan harap dapat mengulangi lagi hal itu!" Resi Harimurti sudah menubruk ke depan dan tangannya mencengkeram ke arah pundak Sutejo sedangkan tangan yang kiri menampar ke arah pelipis kanan lawan. Dia maklum bahwa pemuda ini amat sakti dan pernah dia bertanding segebrakan dengan Sutejo, maka begitu menyerang dia telah mempergunakan aji kesaktiannya dan mengeluarkan serangan maut. Melihat ini, Mahapati terkejut karena dia mengenal kesaktian temannya, akan tetapi dia hanya menonton saja sambil menggandeng tangan Lestari yang memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat.   "Plakk! Desss!!"   "Ahh...!" Resi Mahapati terkejut dan berseru kagum ketika melihat betapa tangkisan kedua tangan pemuda itu berhasil membuat Resi Harimurti terpental dan terhuyung ke belakang! Bukan main! Adik dari selirnya ini ternyata adalah seorang pemuda yang sakti!   "Kakangmas Resi, maafkanlah Adik saya itu... bebaskan dia..." Lestari meratap. Mahapati mengelus lengan kekasihnya.   "Diamlah, Lestari. Adikmu hebat, biar dia diuji oleh Harimurti," kata Mahapati tanpa melepaskan pandang matanya dari dua orang yang sedang bertanding itu.   Resi Harimurti juga terkejut sekali. Tadi dia sudah mengerahkan tenaganya, sungguh tidak disangkanya bahwa tangkisan pemuda itu akan membuatnya terpental dan terhuyung, dan dia merasa betapa dari lengan pemuda itu menyambar keluar hawa panas yang dahsyat bukan main!   Dia adalah pembantu dan kini menjadi tangan kanan Resi Mahapati, dan dia terkenal sebagai seorang yang memiliki kesaktian hebat. Tentu saja di depan Mahapati dia sampai terhuyung oleh tangkisan seorang pemuda, hatinya menjadi panas dan dia mengeluarkan suara melengking nyaring, suara yang menggetarkan dinding-dinding tahanan itu dan membuat Mahapati cepat merangkul kekasihnya dan membawanya keluar, sedangkan para pengawal juga menggigil mendengar lengking yang mengandung wibawa hebat itu. Namun, Sutejo berdiri dengan tenang, kedua kakinya terpentang dan kedua lengannya tergantung lepas di kanan kiri tubuhnya, sepasang matanya tak pernah berkedip mengikuti gerak gerik Resi Harimurti.   "Hyaaaaaahhhh...!!" Dengan gerengan nyaring seperti suara orang penjaga sawah menggertak dan mengusir burung-burung yang makan padi di sawah, Resi Harimurti sudah menerjang lagi dengan gerakan kilat dan kedua tangannya sudah menghujankan tamparan-tamparan maut. Bunyi angin bersiutan menyambar-nyambar menandakan betapa dahsyatnya kedua tangan kakek itu ketika menyerang bertubi-tubi dari kanan kiri, atas dan bawah ke arah tubuh Sutejo dan pada bagian-bagian yang berbahaya.   Sutejo sudah waspada sejak tadi, maka begitu tubuh lawannya menerjangnya, dia sendiri pun menggerakkan kedua kakinya bergeser ke sana sini dan kedua tangannya juga bergerak secepat kilat, menangkis, mengelak dan membalas dengan pukulan-pukulannya yang tidak kalah ampuh dan dahsyatnya. Terdengar suara nyaring berkali-kali ketika kedua pasang lengan mereka saling bertemu, dan setiap kali terjadi bentrokan paling keras karena kedua pihak mengerahkan seluruh tenaga, tentu Resi Harimurti yang terpental dan terhuyung ke belakang.   "Keparat!" bentak Resi Harimurti dan kedua tangannya bergerak ke pinggangnya. "Tar-tar-tarrr...!" Sehelai senjata pecut panjang telah meledak-ledak di udara, dan tangan kirinya sudah memegang pula senjatanya yang kedua, yang tidak kalah aneh dan hebatnya, yaitu sebuah kipas bambu yang bentuknya bundar.   Melihat ini, Sutejo cepat mencabut kerisnya dan nampaklah sinar berkilauan ketika keris pusaka Nogopusoro tercabut keluar dari warangkanya. Tiba-tiba Resi Mahapati berseru, "Tahan!" dan dia sudah melompat ke tengah di antara mereka.   "Kakang Resi, harap simpan kembali senjata Andika!" Setelah itu, Resi Mahapati lalu menghadapi Sutejo sambil tersenyum ramah. "Dimas Sutejo, setelah mendengar penuturan Lestari, Andika ternyata adalah adik iparku sendiri, maka tidak baik kalau di antara kita terjadi kekerasan. Engkau harus mengerti bahwa kami adalah ponggawa-ponggawa kerajaan, maka terjadinya peristiwa pembunuhan atas diri Bupati Progodigdoyo, tentu saja tidak dapat didiamkan saja. Simpanlah keris pusakamu dan mari kita bicara dengan baik. Akan kucarikan jalan agar urusan ini dapat diselesaikan dan kita tidak mendapat marah dari Sang Prabu. Akan tetapi, kuharap agar engkau suka menjadi tamu di sini dan jangan pergi dulu sebelum urusan kematian Bupati Progodigdoyo ini selesai. Bagaimana, Dimas Sutejo?"   Lestari sudah lari dan memegang lengan Adiknya. "Tejo Adikku! Apa yang dikatakan oleh Kakangmas Resi memang benar dan tepat. Marilah, kita bicara di dalam, Adikku. Aku sungguh rindu sekali padamu dan dapat kau bayangkan betapa bahagianya aku dapat bertemu dengan engkau yang tadinya kukira sudah mati." Sepasang mata yang bening itu mengalirkan air mata dan Sutejo menghela napas panjang. Kalau Resi Mahapati bersikap baik, tentu saja dia pun tidak akan melakukan kekerasan. Akan tetapi tiba-tiba dia teringat kepada Bromatmojo.   "Nanti dulu, aku akan memanggil temanku!" katanya kepada Lestari dan dia memandang ke atas, ke arah genteng yang terbuka di atas kamar tahanan itu. "Adi Bromo, turunlah!"   Akan tetapi tidak ada jawaban dari atas. "Adi Bromatmojo!" Sutejo kembali berseru memanggil. Namun sunyi saja yang menyambut panggilannya. Resi Harimurti sudah melompat dari luar kamar itu ke atas genteng, dan tak lama kemudian dia melayang turun kembali.   "Tidak ada siapa-siapa di atas," katanya.   Sutejo mengerutkan alisnya, merasa heran mengapa Bromatmojo meninggalkan dia.   "Siapakah temanmu itu, Tejo?" tanya Kakaknya.   "Dia? Ah, hanya seorang teman seperjalanan," jawab Sutejo singkat karena dia tidak mau bicara lebih banyak tentang Bromatmojo.   Demi menjaga keselamatan kakaknya yang telah menjadi selir Resi Mahapati, Sutejo terpaksa tunduk dan dengan sabar dia menurut saja ketika digandeng oleh kakaknya meninggalkan kamar tahanan itu.   Ke manakah perginya Bromatmojo? Tadi ketika Sutejo memasuki kamar tahanan itu, Bromatmojo hanya mengintai dari atas genteng. Dia juga ikut merasa ngeri menyaksikan wanita cantik yang amat kejam itu, yang ternyata adalah Kakak dari Sutejo, wanita yang agaknya sudah hampir gila oleh dendam sehingga mampu melakukan penyiksaan sedemikian kejamnya. Dia terkejut pula ketika melihat masuknya Joko Handoko dan Roro Kartiko dan diam-diam dia pun merasa amat kasihan kepada dua orang putera-puteri dari Progodigdoyo itu. Kemudian, ketika melihat Sutejo bertanding melawan Resi Harimurti, dia pun tidak dapat turun tangan. Pertandingan itu adalah satu lawan satu, maka tidak sepatutnya kalau dia mencampuri. Apalagi, bukankah Sutejo berada di antara keluarganya sendiri? Kalau dia melihat Sutejo dikeroyok misalnya, tentu dia sudah turun dan mengamuk. Apalagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa Sutejo tidak mungkin kalah oleh Resi itu. Dia percaya akan kesaktian pemuda itu. Ketika Resi Mahapati melerai dan dia mendengar percakapan di bawah, tahulah dia bahwa keadaan Sutejo tidak akan berbahaya, dan bahwa tentu wanita cantik itu akan melindungi adiknya. Maka dia pun diam-diam lalu cepat pergi dari situ, karena dia sendiri maklum bahwa urusan Sutejo telah selesai dan kehadirannya di situ tentu hanya akan menimbulkan keributan saja. Sutejo telah berhasil membunuh musuh besarnya dan bertemu dengan Mbakayunya. Tidak perlu dia mengganggunya, dan pula, dia merasa tidak senang kalau harus berhadapan dengan Resi Mahapati, nama yang sudah tidak disenanginya semenjak dia mendengarnya sebagai majikan dari dua orang yang dibencinya, yaitu Reksosuro dan Darumuko. Dan ternyata Mahapati itu adalah kakak ipar dari Sutejo!   Demikianlah, tanpa pamit Bromatmojo meninggalkan istana Resi Mahapati dan dia melakukan perjalanan cepat sehingga ketika Resi Harimurti mencari ke atas genteng dia sudah pergi jauh. Malam itu dilewatkan oleh Bromatmojo di dalam sebuah gubuk di belakang sebuah candi tua yang sunyi di tepi kota. Gubuk itu tadinya menjadi tempat penjaga, akan tetapi karena candi itu sudah tidak dipakai lagi, maka gubuk itu pun kosong.   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah melakukan penyelidikan untuk mencari dua orang yang dibencinya itu, yaitu Darumuko dan Reksosuro. Tadinya, setelah melihat Sutejo bertemu dengan kakaknya, dia ingin melanjutkan perjalanan ke Lumajang, untuk mencari Ki Ageng Palandongan. Akan tetapi ketika teringat kepada dua orang itu, dia ingin dulu bertemu dan memberi hajaran kepada dua orang yang dulu pernah menghina jenazah kakaknya itu. Mahapati telah dia lupakan karena dia mau memaafkan Mahapati yang ternyata adalah kakak ipar dari Sutejo, akan tetapi dua orang pria yang pernah menghina jenazah Mbakayunya dan pernah pula menghinanya di waktu dia masih kecil, harus dihajar!   Tidaklah sukar bagi Bromatmojo untuk mencari dua orang itu yang cukup dikenal sebagai perwira-perwira pembantu Resi Mahapati. Dengan mengaku sebagai keponakan Darumuko, akhirnya Bromatmojo mendengar dari seorang perajurit pengawal Mahapati yang suka sekali mengobrol bahwa tadi dia melihat kedua orang perwira itu mengunjungi ledek (penyanyi/penari) Madumirah.   "Ledek Madumirah? Di manakah rumahnya?" tanya Bromatmojo dengan wajar, akan tetapi mendengar pertanyaan itu, perajurit tadi dan dua orang temannya tertawa-tawa sehingga Bromatmojo memandang heran.   "Orang muda, hati-hati kau kalau ke sana. Engkau muda dan wajahmu tampan sekali, bisa dimakan bulat-bulat engkau!" kata seorang di antara mereka.   "Ha-ha-ha, engkau akan dikeroyok dan dihisap sampai kering!" orang ke dua tertawa.   "Ahh, mana mungkin? Ada Pamannya, Darumuko dan Reksosuro berada di sana, siapa berani mengunjungi tempat itu kalau ada mereka?"   Tentu saja Bromatmojo menjadi bingung dan sama sekali tidak mengerti. "Kisanak yang baik, tolong Andika beritahukan di mana rumah ledek Madumirah itu karena aku sungguh belum pernah mengetahuinya."   "Setiap hidung di Mojopahit tahu belaka di mana rumahnya. Dia adalah seorang pensiunan ledek istana yang terkenal karena dia memelihara banyak sekali gadis-gadis cantik, heh-heh. Kau pergilah ke dusun Pemintihan di luar pintu gerbang sebelah barat. Aihh, kalau saja Pamanmu tidak sedang berada di sana dan kau mau membiayaiku, tentu suka sekali aku mengantarmu ke sana, Kisanak."   Bromatmojo belum mengerti betul, akan tetapi baginya penunjukkan tempat itu sudah cukuplah. Maka berangkatlah dia ke pintu gerbang sebelah barat dari kota raja itu dan setelah tiba di dusun Pamintihan yang berada di luar kota raja, barulah dia tahu bahwa ledek Madumirah itu terkenal sebagai seorang germo yang mempunyai banyak sekali anak buah yang terdiri dari gadis-gadis cantik dan bahwa tempat itu sering kali dikunjungi oleh pejabat-pejabat Mojopahit yang datang untuk mencari hiburan!   Hari telah siang ketika dia tiba di depan rumah yang cukup besar dan bersih itu, dan dengan langkah tenang dia memasuki pekarangan rumah. Baru saja tiba di depan pintu, dia telah disambut senyum manis dan kerling memikat dari dua orang wanita muda yang cantik. Sikap mereka menarik dan genit sekali, akan tetapi Bromatmojo harus mengakui bahwa mereka adalah dua orang yang tergolong cantik dan menarik.   "Raden, silakan masuk..."   "Agaknya baru sekarang kami melihat paduka, Raden. Dari istana manakah Paduka datang?"   Bromatmojo tersenyum dan jantung dua orang wanita pelacur yang biasanya terpaksa melayani orang-orang tua dan buruk itu berdebar. Bukan main gagah dan tampannya pemuda ini, masih remaja pula. Tentu masih seorang perjaka yang belum tahu apa-apa, masih segar dan bersih!   "Terima kasih, Nimas berdua. Aku datang dari tempat jauh dan ingin mencari dua orang yang bernama Darumuko dan Reksosuro. Apakah mereka berada di sini?" kata Bromatmojo setelah dia dipersilakan duduk di ruangan depan.   "Ahh... mereka memang berada di sini" kata yang seorang.   "Tetapi, mereka sedang... ehmmm..."   Bromatmojo tidak mengerti. "Sedang apa?" tanyanya karena dia sungguh tidak mengerti apa artinya kata-kata yang disambung dengan deheman itu.   "Hi-hik, masa Paduka tidak tahu, Raden?" kata yang baju hijau sambil mencubit lengan Bromatmojo dengan sikap manja.   Bromatmojo bergidik. Celaka, pikirnya. Wanita-wanita di sini sungguh amat tak tahu malu dan genitnya bukan main. Dia tersenyum dan teringatlah dia akan pengalamannya bersama Sutejo ketika dirayu oleh wanita-wanita cantik yang kemudian ternyata adalah anggota-anggota Sriti Kecana.   "Manis, aku sungguh tidak mengerti. Mereka itu di mana sekarang?"   Yang bajunya merah terkekeh genit, kemudian jari tangannya lancang mengusap dagu Bromatmojo yang halus itu. "Aih, ada orang kok begini gantengnya! Aduh, Raden, rasanya aku mau dijadikan tebu..."   "Heh? Dijadikan tebu? Apalagi artinya ini?" Bromatmojo memang tidak biasa dengan kelakar-kelakar mereka yang mengandung sindiran cabul.   "Ya, biar menjadi tebu dan dihisap-hisap oleh bibir ini..." Si Baju Merah kini menyentuh bibir Bromatmojo dengan sikap memikat sekali.   "Dan saya ingin sekali dijadikan selimut, biar setiap malam menyelimuti Paduka kalau kedinginan, Raden," kata Si Baju Hijau.   "Heii...! Ada apakah ramai-ramai di situ? Wah, ada tamu rupanya!"   "Amboi, agaknya Raden Janoko yang datang ini. Aduh, bagusnya diborong sendiri saja!"   "Pantas aku semalam mimpi kejatuhan bulan, kiranya akan bertemu dengan Sang Hyang Komajaya!"   Tiga orang wanita yang baru datang dari dalam itu pun muda-muda dan cantik-cantik akan tetapi kesemuanya genit dan bersikap memikat. Sebentar saja Bromatmojo dikurung oleh mereka, bahkan sudah ada yang berani mendekatkan muka ingin menciumnya. Dengan tertawa dan menyabarkan hatinya Bromatmojo mengelak dan menolak rayuan-rayuan mereka.   "Maafkan, Nimas sekalian yang cantik manis. Kedatanganku ini sungguh bukan hendak bersenang-senang dengan kalian, sungguh pun hatiku bingung untuk memilih siapa di antara kalian yang paling cantik jelita. Semuanya cantik manis seperti bidadari dari kahyangan!"   "Hi-hi-hik! Pandainya merayu!"   "He-heh, sungguh persis seperti Raden Arjuno ketika dirayu oleh bidadari dari kahyangan!"   Lima orang wanita muda itu menjadi makin gemas, bahkan kini ada yang mencoba untuk menarik-narik tangan Bromatmojo agar suka mengikuti masuk ke dalam kamarnya.   "Kau tidak usah memberi hadiah apa-apa, Bagus..."   "Aku malah rela menyerahkan semua tabunganku..."   Mereka berebutan dan nyaris terjadi perkelahian antara wanita-wanita itu kalau tidak muncul seorang laki-laki dari sebelah belakang. Laki-laki ini usianya sudah empat puluh lima tahun, bertubuh jangkung dan pakaiannya cukup garang dan indah. Sikapnya angkuh dan bajunya terbuka memperlihatkan dadanya yang kurus sehingga nampak tulang iganya. Akan tetapi sebatang keris panjang terselip di pinggangnya.   "Heh, siapa berani membuat gaduh di sini? Mengganggu orang yang sedang bersenang-senang dan mengaso! Hayo mengaku siapa kau atau kuhancurkan kepalamu!" bentak orang itu sambil melotot memandang kepada Bromatmojo. Seorang wanita yang cantik pula, tidak berbaju hanya memakai tapih pinjung dan rambutnya kusut, leher dan mukanya berpeluh, agaknya dialah wanita yang melayani laki-laki galak ini, keluar dari kamar dan menyentuh lengan laki-laki itu.   "Kenapa marah-marah, Kakangmas...?"   "Minggir kau! Aku akan menghajar bocah lancang ini! Berani kau datang ke sini, ya? Tidak tahu bahwa aku sedang bersenang di sini dan tidak sudi diganggu oleh bocah macam engkau? Mau menjual tampang, ya?" Laki-laki itu makin marah ketika melihat wanita yang baru saja melayani itu kini juga memandang kepada pemuda tampan itu dengan sinar mata kagum!   Si Baju Merah yang amat bernafsu untuk meraih cinta kasih pemuda tampan seperti Arjuno itu cepat berkata, "Harap maafkan, Kakangmas, Raden ini katanya adalah masih keluarga dari Kakangmas Darumuko. Bukankah begitu katamu tadi, Raden?"   Bromatmojo mengangguk tersenyum, akan tetapi matanya tajam memandang kepada laki-laki di depannya itu. Tentu saja dia tidak dapat melupakan mata yang juling itu. Kiranya hanya seorang saja laki-laki jangkung sombong yang bermata juling seperti Reksosuro ini di atas dunia atau setidaknya di seluruh Mojopahit! Akan tetapi dia menahan sabar karena dia ingin mendapatkan dua-duanya.   "Benar, manis. Di manakah Paman Darumuko?" tanya Bromatmojo sambil mencubit dagu Si Baju Merah sehingga wanita itu menjadi merah mukanya. Matanya bersinar-sinar dan bibirnya tersenyum gemetar seperti seorang anak perawan yang baru pertama kali jatuh Cinta!   Mendengar bahwa pemuda tampan ini adalah keponakan Darumuko, tentu saja Reksosuro tidak mau bertindak ceroboh. Akan tetapi dia merasa tidak percaya bahwa temannya itu mempunyai seorang keponakan yang tampan ganteng seperti ini, maka dia lalu berteriak, "Adi Darumuko! Ke sinilah sebentar! Keluarlah, ada urusan penting!"   Dari dalam sebuah kamar yang daun pintunya tertutup terdengar suara orang, nadanya tidak senang, "Aah... bagaimana sih Kakang Reksosuro. Mengganggu saja!"   "Keluarlah sebentar saja, ada orang mengaku sebagai keponakanmu!" kata pula Reksosuro yang masih belum hilang marahnya.   Lama terdengar suara orang bersungut-sungut diselingi kekeh seorang wanita dari dalam kamar itu, lalu daun pintu berbunyi dan terbuka. Muncullah seorang laki-laki yang pakaiannya masih kedodoran diikuti seorang wanita yang juga hanya bertaping pinjung dengan rambut kusut dan badan penuh keringat. Siang itu memang hawanya panas sekali. Pria ini usianya kurang lebih empat puluh tahun, tubuhnya kurus kecil, bibirnya tebal sekali dan matanya liar, mukanya bulat. Girang sekali hati Bromatmojo ketika dia mengenal bahwa orang ini memang benar Darumuko. Dua orang musuhnya itu telah berada di depannya sekarang!   "Apa maksudmu, Kakang Reksosuro? Mana orangnya yang mengaku keponakanku itu?" Darumuko bertanya dengan muka jelas memperlihatkan ketidak-senangan hatinya.
"Itu dia. Katanya dia adalah keponakanmu."   Darumuko sudah siap untuk memaki orang yang mengaku-aku dan mengganggu kesenangannya itu, akan tetapi ketika dia melihat wajah yang tampan dan ganteng itu, dia tidak jadi marah. Mempunyai seorang keponakan seperti ini sungguh boleh dibanggakan! Maka dia lalu berkata dengan lagak sombong, memandang ke arah wanita-wanita itu dengan matanya yang liar, "Mungkin saja dia ini seorang di antara keponakanku yang sangat banyak."   "Adi Darumuko, engkau benar mempunyai keponakan sehebat ini?" Reksosuro heran dan kagum.   "Biasa saja. Banyak keponakanku yang seperti ini. Memang sudah kukatakan berkali-kali, ada darah priyayi mengalir dalam tubuhku, Kakang Reksosuro!"   "Hemm, karena keturunan dan darah priyayi luhur, kenapa ada yang keluar seperti engkau itu?" Reksosuro yang sudah biasa berkelakar itu berkata sambil tertawa.   Jilid 43   "Ha-ha, apakah aku kurang gagah? Memang tidak begitu tampan, akan tetapi aku menuruni kegagahannya. Mungkin darah endeg-endeg (bagian yang kotor) yang menjadi aku, dan yang bening-bening menjadi seperti dia inilah. Eh, kulup, benarkah engkau mencari Pamanmu yang bernama Darumuko?" tanya Darumuko dengan sikap manis kepada Bromatmojo yang hanya tersenyum mendengar percakapan mereka yang konyol itu.   "Benar, aku mencari Darumuko dan Reksosuro."   "Akulah Darumuko! Engkau tentu keponakanku!"   "Dan akulah Reksosuro! Jangan-jangan aku Pamanmu itu!" Reksosuro tidak mau kalah.   Bromatmojo tersenyum dan bangkit berdiri dari bangku yang tadi didudukinya sambil mendorong wanita-wanita yang masih mengerumuninya itu ke kanan kiri. "Sungguh kebetulan sekali aku dapat bertemu dengan kalian berdua di sini. Memang aku mencari kalian karena ada pesan untuk kalian."   "Eh, pesan? Untuk kami? Pesan dari mana?" Reksosuro kini memandang tajam karena dia melihat betapa sikap pemuda itu sama sekali tidak menghormat lagi dan tidak menyebut Paman lagi.   "Dari kuburan!" jawab Bromatmojo. Wanita-wanita itu menjerit lirih dan melangkah mundur, terbelalak memandang kepada Bromatmojo. Dua orang laki-laki yang sudah biasa menghadapi musuh itu adalah orang-orang yang tangguh dan pemberani, akan tetapi semenjak kecil sampai usianya empat puluh tahunan, Darumuko yang pemberani dan kejam itu amat penakut terhadap setan. Maka begitu mendengar bahwa pesan itu datang dari kuburan, seketika mukanya menjadi pucat dan kakinya menggigil!   "Bocah, jangan main-main dan kurang ajar kau! Hayo berkata yang benar!" Reksosuro membentak dan mulai curiga dan marah.   "Memang sesungguhnya aku mendapat pesan dari orang yang sudah mati untuk disampaikan kepada kalian berdua," kata Bromatmojo dengan sikap dan suara sungguh-sungguh.   "Hiiihhhh" Darumuko mendekati Reksosuro, matanya makin liar dan mukanya makin pucat dan mulutnya berkemak-kemik, "Hong...wilaheng...nir boyo sedyo rahayu...!   "Keparat, kau berani mempermainkan kami? Hayo mengaku siapa kau dan apa niatmu datang mencari kami!" Reksosuro membentak dan melangkah maju mendekati Bromatmojo. Betapa pun juga, tentu saja dia tidak merasa takut menghadapi pemuda remaja yang tampan dan halus itu, yang agaknya dengan sekali pukul saja sudah akan dapat dia robohkan.   "Reksosuro dan Darumuko, dengarlah baik-baik. Buka lebar-lebar kedua telingamu dan kedua matamu! Ingatkah kalian akan seorang dara suci murni bernama Sri Winarti yang tewas suduk seliro (bunuh diri dengan keris) di Sungai Tambakberas karena berbela pati atas kematian Adipati Ronggo Lawe? Nah, dara suci itulah yang menyuruh aku menyampaikan pesan kepada kalian!"   Wajah Reksosuro menjadi pucat dan kini Darumuko makin menggigil. Mereka segera teringat dan terbayanglah di depan mata mereka dara cantik jelita yang bunuh diri dengan keris pusaka Kolonadah itu, yang kemudian lenyap entah ke mana, seolah-olah jenazah itu hidup kembali dan dapat melarikan diri begitu saja! Kemudian mereka mendengar pelaporan yang disampaikan kepada Resi Mahapati oleh Gagaksona malam tadi bahwa keris pusaka Kolonadah telah diambil orang dari sebuah kuburan tersembunyi di dalam hutan dekat Sungai Tambakberas. Dan sekarang, pemuda ini menyatakan bahwa dia membawa pesan dari gadis yang mati itu untuk mereka! Betapapun juga, timbul harapan di hati Reksosuro untuk mendengar tentang keris pusaka Kolonadah yang kabarnya tidak berhasil dirampas oleh orang-orang Resi Mahapati.   "Hemm, tentu kami ingat. Bukankah yang membunuh diri dengan keris pusaka Kolonadah itu? Apakah kau hendak memberitahukan kepada kami di mana adanya keris pusaka Kolonadah? Jangan khawatir, engkau akan mendapatkan hadiah besar, orang muda."   "Sayang sekali, pesannya bukan begitu, Reksosuro dan Darumuko."   "Habis, apa... apa... pesannya?" Darumuko mencoba untuk mengatasi rasa takutnya dengan bersikap garang dan membentak-bentak, akan tetapi tetap saja bentakan-bentakan itu keluar dengan gagap. Sementara itu, melihat bahwa suasana menjadi makin panas, para wanita pelacur itu sudah mundur-mundur menjauhkan diri dan sekarang di antara mereka terdapat seorang wanita setengah tua yang masih kelihatan cantik, dan dia ini adalah Nyi Madumirah bekas ledek keraton itu! Wanita-wanita itu kelihatan ketakutan dan mengkhawatirkan pemuda tampan itu karena mereka semua sudah mengenal siapa adanya Reksosuro dan Darumuko yang kejam. Pernah mereka berdua memukuli dan menghajar dua orang pemuda sampai pingsan ketika pemuda-pemuda itu berani datang ke tempat itu dan bercanda dengan para pelacur selagi mereka berdua berpelesir. Tentu saja pemuda-pemuda itu bukanlah putera bangsawan, melainkan rakyat biasa, karena dua orang perwira ini pun bukan orang bodoh. Terhadap putera-putera bangsawan yang orang tuanya lebih tinggi kedudukannya tentu saja mereka itu siap untuk setiap saat bersikap hormat dan menjilat-jilat. Biasanya, seorang yang suka menindas ke bawah tentulah suka pula menjilat ke atas, seorang yang kejam terhadap bawahannya tentulah seorang penjilat terhadap atasannya. Karena seorang penjilat adalah seorang yang mengejar kekuasaan, dan sikapnya yang menindas terhadap bawahan justru untuk menonjolkan kekuasaannya itulah!   Bromatmojo tersenyum mengejek. Dia ingin menghajar dua orang ini bukan demi dirinya sendiri, maka dia tidak perlu memperkenalkan diri sebagai Sulastri, melainkan untuk menebus penghinaan terhadap jenazah Kakaknya. "Mau tahu apa yang dipesan oleh Dyah Sri Winarti? Dia pesan kepadaku untuk mencari kalian berdua yang telah menghina jenazahnya dahulu itu, dan aku diharuskan menghajar kalian sampai setengah mati!"   "Babo-babo, keparat bermulut besar!" bentak Darumuko yang kini timbul kembali keberaniannya karena dia maklum bahwa pemuda ini hanya mempermainkannya saja, sama sekali bukan utusan dari alam baka!   "Jahanam sombong, kau sudah bosan hidup!" Reksosuro juga membentak dan dia sudah mendahului Darumuko untuk menubruk dan menghantam ke arah dada pemuda halus itu dengan pengerahan tenaga sekuatnya karena dia ingin sekali pukul memecahkan dada yang tidak berapa besar itu.   "Plak-plak, plengg...!!" Tubuh Reksosuro berpusing seperti gasing ketika dia terkena tempilingan pipinya oleh tamparan tangan Bromatmojo setelah dua kali pukulannya tadi kena ditangkis. Matanya berkunang-kunang dan kepalanya pening dan akhirnya dia jatuh bergelimpang, berpegang kepada bangku akan tetapi tetap saja dia masih terbanting dan bangku itu ikut pula terseret.   "Mampuslah!" Darumuko marah sekali dan menerjang dengan tendangan kakinya yang kecil pendek.   Melihat menyambarnya kaki lawan ini, Bromatmojo miringkan tubuhnya membiarkan kaki itu lewat, kemudian secepat kilat dia menyambar mata kaki dan mendorong kaki itu ke atas.   "Blukk, ngekkk!" Pantat yang kerempeng itu terbanting keras sekali di atas lantai dan perut Darumuko seketika terasa mulas, kepalanya berputar dan matanya menjadi juling menyaingi mata rekannya, Reksosuro yang kini sudah merangkak bangun.   Mereka bangkit dan menggoyang-goyang kepala mengusir pening dan keheranan. Mereka merasa heran dan terkejut sekali karena sama sekali mereka tidak tahu bagaimana mereka tadi roboh, seolah-olah mereka disambar petir layaknya. Akan tetapi mereka dapat menduga bahwa pemuda tampan itu tentu memiliki kesaktian hebat, maka mereka menjadi marah dan nekat. Keduanya mencabut keris yang terselip di pinggang. Keris di tangan Reksosuro adalah masih keris yang dulu juga. Bromatmojo teringat dan menahan ketawanya. Teringat dia akan gurunya yang pertama, yaitu Ki Jembros, ketika Ki Jembros mempermainkan kedua orang ini. Keris di tangan Reksosuro itulah yang dulu oleh gurunya ditekuk-tekuk seperti terbuat dari timah saja! Dan kini, keris itu telah lurus lagi, keris berluk sembilan yang namanya Kyai Bandot! Sedangkan keris di tangan Darumuko juga panjang sekali, seperti golok saja!   "Hemm, kau mengeluarkan Kyai Bandot?" Bromatmojo mengejek kepada Reksosuro. Pemilik keris ini terkejut mendengar orang muda itu mengenal nama kerisnya, akan tetapi dia menjadi girang. Agaknya pemuda itu telah mengenal keris pusakanya yang terkenal dan merasa jerih tentunya.   "Hemm, kau mengenal pusakaku yang ampuh? Kyai Bandot ini sekarang telah menjadi pusaka yang ampuhnya tidak kalah oleh Kolonadah! Ditusukkan gunung akan jebol, ditusukkan lautan akan kering..."   "...ditusukkan sate malah patah!" Bromatmojo menyambung dan lagaknya demikian jenaka sehingga terdengar ada suara terkekeh di antara para pelacur yang tadi melihat betapa dalam segebrakan saja dua orang yang ditakuti itu gelayaran oleh pemuda luar biasa itu. Benar-benar mereka merasa kagum, seolah-olah mereka menonton pertunjukkan wayang di mana Raden Arjuno dikeroyok dua oleh raksasa-raksasa cebol!   "Keparat, berani kau menghina pusakaku?" Reksosuro membentak.   "Pusaka apa? Pisau dapur lebih tajam! Mari, kau boleh tusuk aku dengan keris tempe itu!"   Reksosuro marah bukan main. Keris pusakanya itu adalah senjata pusaka yang setiap pekan sekali tentu dia bakari kemenyan, dia kutugi (diasapi kemenyan) dan beri sesajen kembang tujuh macam dan sekarang dimaki orang sebagai keris tempe dan ditantang! Dengan kemarahan meluap, dia lalu menggerakkan kerisnya itu menusuk ke arah perut Bromatmojo yang sengaja agak dibusungkan ke depan. Bromatmojo dulu melihat gurunya, Ki Jembros menerima keris itu dengan dada. Kini, setelah dia berguru kepada Empu Supamandrangi, tentu saja dia juga sudah memiliki aji kekebalan yang amat kuat. Karena dia tahu bahwa keris yang bernama Kyai Bandot itu hanya namanya saja yang serem, maka dia berani menerima tusukannya dengan mengandalkan aji kekebalannya. Dan dalam hal ini, Bromatmojo sama sekali bukanlah seorang yang sembrono. Dia adalah murid seorang empu, bahkan seorang maha empu. Tentu saja pengetahuannya tentang perkerisan sudah cukup mendalam dan dia dapat melihat dari jauh apakah sebabnya keris itu ampuh atau tidak. Dan keris Kyai Bandot di tangan Reksosuro itu hanyalah keris yang boleh dipakai untuk menakuti-nakuti orang saja!   "Tukk!" Keris itu tepat mengenai perut atas dari Bromatmojo dan dapat dibayangkan betapa kaget hati Reksosuro ketika dia merasa seperti menusukkan kerisnya pada sebongkah besi saja. Kerisnya membalik dan hampir terlepas dari pegangan tangannya!   "Mati kau!" Darumuko juga membentak dan menusukkan kerisnya pada lambung Bromatmojo. Pemuda itu sama sekali tidak mengelak, melainkan melindung lambungnya dengan hawa sakti dari tubuhnya, mengerahakan aji kekebalannya.   "Tukkk!" Juga keris panjang di tangan Darumuko itu membalik dan "pemuda" tampan itu sedikit pun tidak terluka.   "Hemm, apa kataku?" Bromatmojo mengejek.   Darumuko merasa bulu tengkuknya berdiri dan dia memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak. Tentu setan, pikirnya! Celaka, agaknya orang ini benar-benar iblis. Kalau tidak, mana mungkin bisa membawa pesan orang mati dan kini dapat menerima tusukan keris mereka sedemikian enaknya? Saking ngerinya, dia hanya bengong saja. Akan tetapi Reksosuro lebih cerdik. Si Juling ini maklum bahwa pemuda di depan mereka itu benar-benar sakti dan bukan lawan mereka, maka dia mencari siasat untuk dapat melarikan diri.   "Aku tahu! Engkau menggunakan aji kekebalan. Kalau punggungmu yang kutusuk tentu kau akan mampus!" bentaknya.   Bromatmojo tersenyum mengejek. Sebetulnya dia sayang kepada pakaiannya yang setidaknya tentu berlubang sedikit oleh ujung keris, akan tetapi karena ditantang seperti itu, dia tidak dapat mundur. Dia berkata, "Begitukah? Nah, kau boleh menusuk punggungku sekuatmu dengan keris tempemu itu!" Dia lalu membalikkan tubuhnya, memberikan punggungnya sambil mengerahkan aji kekebalannya.   Reksosuro memberi isyarat kepada kawannya. Mereka menggerakkan keris secara berbareng, Reksosuro menusuk ke arah punggung, dan Darumuko menusuk ke bukit pinggul kiri.   "Tukk! Tukk!!" Apalagi punggungnya, bahkan bukit pinggul yang membulat dan yang mestinya lunak penuh daging itu ternyata berubah keras seperti besi! Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Reksosuro menowel lengan temannya dan mempergunakan kesempatan selagi lawan yang tangguh itu berdiri membelakangi mereka, keduanya lalu menggerakkan kaki mereka, melarikan diri terbirit-birit keluar dari pintu depan.   "Hemm, enak saja mau lari!" tiba-tiba terdengar bentakan halus itu dan nampak bayangan berkelebat, tahu-tahu pemuda yang amat sakti itu telah berdiri di pekarangan depan menghadang mereka. Kiranya Bromatmojo telah mempergunakan Aji Turonggo Bayu sehingga ketika dia meloncat dan lari, dia seperti angin saja cepatnya mendahului kedua orang lawannya dan menghadang di halaman depan.   Dua orang itu saking takutnya menjadi nekat. Mereka berdua lalu menerjang dengan keris di tangan, menyerang secara membabi buta, Bromatmojo kini tidak lagi mau menerima tusukan-tusukan keris itu karena takut kalau-kalau pakaiannya rusak. Beberapa kali dia mengelak dengan mudah, kemudian dua kali tangannya bergerak memukul dengan tangan terbuka dan miring mengenai pergelangan tangan kedua orang itu, dan keris mereka terlepas dari pegangan karena tulang pergelangan tangan mereka telah patah oleh pukulan yang dilakukan dengan pengerahan Aji Hasto Nogo itu!   "Duhh... celaka...!" Reksosuro berseru kaget dan memegangi lengan kanan dengan tangan kirinya.   "Ampun... desss!" Darumuko terpelanting dan teriaknya minta ampun tadi berubah menjadi rintihan ketika kaki Bromatmojo menendang dan mengenai dadanya. Serasa ambrol dadanya oleh tendangan kaki yang kecil itu.   Reksosuro yang licik itu sudah hendak melarikan diri lagi, akan tetapi kaki Bromatmojo lebih cepat lagi, sekali tendang robohlah Reksosuro. Dia hendak bangkit lagi akan tetapi Bromatmojo sudah menggerakkan tangannya.   "Plakk! Ngekkk!" Tengkuknya kena ditampar dan mata yang juling itu mendelik dan dia gelayaran seperti seekor ayam jago kena dijalu lawannya tepat pada lehernya.   Akan tetapi Bromatmojo memang tidak bermaksud membunuh mereka, maka dia membatasi tenaganya dan tamparannya itu pun hanya cukup untuk merobohkan orang tanpa membunuhnya. Beberapa kali mereka berdua bangkit berdiri dan hendak lari, akan tetapi dengan tamparan dan tendangan Bromatmojo membuat mereka roboh lagi. Semua pelacur kini berjubal di pintu, menonton ke luar dengan sinar mata kagum bukan main.   "Benar-benar dia Raden Arjuno..."   "Bukan, lebih pantas menjadi Raden Abimanyu, masih begitu remaja!"   Mereka berbantahan sendiri dan kini tidak merasa takut atau khawatir lagi setelah jelas tampak oleh mereka betapa dua orang "raksasa kerdil" itu sama sekali tidak berdaya mengeroyok Sang Arjuno.   "Hayo kalian berlutut dan minta ampun kepada Mbakayu Sri Winarti!" bentak Bromatmojo.   Akan tetapi pada saat itu datanglah sepasukan perajurit yang belasan orang jumlahnya. Melihat kedatangan mereka, Reksosuro dan Darumuko bangkit kembali, semangat mereka menjadi besar lagi dan mereka segera berteriak-teriak.   "Tolong... tolong..."   "Penjahat ini hendak membunuh kami...!"   Belasan orang perajurit itu berlari-larian dan segera mengepung Bromatmojo. Akan tetapi Bromatmojo tidak perduli, tetap dia merobohkan Darumuko dan Reksosuro setiap kali kedua orang ini hendak bangkit berdiri sambil menangkis dan merobohkan para pengeroyok lainnya. Setiap orang perajurit yang berani datang mendekat tentu terlempar atau terguling dan kehebatan sepak-terjang Bromatmojo ini menggegerkan para perajurit yang menjadi jerih melihatnya. Sedangkan Reksosuro dan Darumuko kini tidak berani bangkit lagi, hanya mendekam di atas lantai sambil menangis saking takutnya.   "Hayo kalian minta ampun kepada Mbakayu Sri Winarti!" bentak Bromatmojo berulang-ulang.   "Desss! Desss!" Dua tendangan itu membuat dua orang itu untuk ke sekian kalinya terguling-guling. Sudah bengkak-bengkak muka mereka, berdarah hidung mereka dan patah tulang pergelangan tangan mereka sehingga seluruh tubuh terasa nyeri semua. Akan tetapi setelah kini datang pasukan yang menyaksikan, dua orang itu makin enggan untuk memenuhi permintaan Bromatmojo. Mereka yang biasa berlagak dan menyombongkan diri di depan para perajurit, mana mungkin kini berlutut dan minta-minta ampun kepada seorang wanita yang tidak ada di situ? Sungguh akan memalukan sekali dan tentu nama mereka sudah tidak akan laku dijual sekeping pun, dan akan menjadi buah tertawaan semua orang.   Tentu saja kekerasan hati dua orang itu membuat Bromatmojo menjadi makin gemas sekali. Kalau saja kedua orang itu mau minta ampun dan menyebut nama mbakayunya, dia sudah akan merasa puas, karena sebetulnya dua orang ini hanyalah orang-orang sombong yang kosong belaka, yang terhadap semua orang yang dianggap lemah tentu akan bersikap menghina seperti yang telah mereka perlihatkan kepada jenazah mbakayunya dan kepada dirinya ketika dia masih kecil. Kembali dia menendang dan sekali ini dia mengarahkan tendangannya ke kaki mereka.   "Krek! Krek!" Terdengar tulang-tulang patah dan mereka mengaduh-aduh karena tulang kaki mereka tertendang patah. Empat orang perajurit yang berusaha menolong dan mendekat, terlempar kembali oleh tamparan dan tendangan kaki Bromatmojo. Kembali ada seorang perajurit berkelebat maju.   "Pergi kau!" bentaknya dan tangannya mendorong.   "Plakk!" terkejut bukan main Bromatmojo karena perajurit itu menangkis dan tangkisannya demikian kuatnya sehingga dia terdorong mundur! Cepat dia memandang dan alisnya berkerut.   "Kau...???"   Orang itu ternyata bukan seorang perajurit, melainkan Sutejo! Tentu saja Bromatmojo merasa heran, terkejut dan juga penasaran sekali. "Kau... kau membela mereka?"   "Adi Bromo, hentikan amukanmu itu. Tidak baik menentang ponggawa-ponggawa Kerajaan Mojopahit," tegur Sutejo dengan suara halus.   "Kakang Sutejo! Engkau tentu tahu siapa mereka ini! Mereka adalah Darumuko dan Reksosuro yang pernah kuceritakan kepadamu. Aku memang sengaja hendak menghajar mereka."   "Sudah cukup, Adi Bromo. Urusan pribadi tak perlu direntang panjang. Kalau sampai kau membunuh mereka, kau bisa dianggap sebagai seorang pemberontak terhadap Kerajaan Mojopahit!"   Memang tadinya sama sekali tidak ada niat di dalam hati Bromatmojo untuk membunuh mereka, akan tetapi melihat betapa Sutejo membela mereka, hatinya menjadi panas seperti dibakar. Dia marah dan penasaran sekali! Sutejo, teman seperjalanan yang selama ini bersama-sama dengan dia menghadapi kejahatan, yang berkelahi bahu-membahu menentang kejahatan, kini tiba-tiba saja berbalik dan menentang dia, membela dua orang musuhnya. Hati siapa tidak akan panas?   "Tidak perduli mereka itu ponggawa Kerajaan Mojopahit atau ponggawa neraka sekali pun. Aku mau menghajar mereka sampai mati atau tidak, tidak ada orang lain boleh mencampuri apalagi menentangku!" bentaknya dengan napas memburu saking marahnya.   Sutejo mengerutkan alisnya. Dia amat suka kepada Bromatmojo, amat mengagumi pemuda yang tampan seperti Arjuno, yang cerdik bukan main dan yang biasanya berwatak jenaka, juga agak bengal suka menggoda orang, akan tetapi agak mata keranjang atau ceriwis terhadap wanita ini. Akan tetapi, rasa sukanya itu kadang-kadang berkurang kalau Bromatmojo sudah bersikap merayu dan memikat wanita cantik, dan kini dia memandang marah karena Bromatmojo tidak mau diajak bicara baik-baik dan hendak memperlihatkan kekerasan kepalanya seperti yang pernah terjadi di antara mereka sehingga pernah mereka saling serang dengan hebat. Kalau tidak muncul Joko Handoko dan Roro Kartiko, entah bagaimana jadinya dengan pertandingan hebat di antara mereka dahulu di dalam hutan itu. Kalau dia mau, tentu dia akan dapat merobohkan dan melukai hebat pemuda tampan ini, akan tetapi sungguh hatinya tidak tega untuk melakukan itu dan Bromatmojo murid Supamandrangi itu memang sakti bukan main. Dan kini, kembali Bromatmojo bersikap keras, bahkan menantangnya!   "Adi Bromo mengapa engkau selalu berkeras kepala? Kita berada di luar tembok Kota Raja Mojopahit. Tidak boleh engkau di sini bertindak sewenang-wenang. Kalau kau dianggap pemberontak, selain engkau celaka, juga nama baikmu akan tercemar!"   Dinasihati seperti itu, Bromatmojo menjadi makin marah. Dia teringat sekarang mengapa Sutejo datang bersama pasukan itu. Sutejo adalah adik ipar Resi Mahapati, seorang ponggawa Kerajaan Mojopahit, seorang ponggawa Kerajaan Mojopahit yang berkedudukan tinggi! Tentu saja kini Sutejo bersikap membela perajurit-perajurit Mojopahit termasuk Reksosuro dan Darumuko ini! Hatinya makin panas.   "Kakang Tejo! Setelah kini engkau menjadi adik ipar Mahapati, engkau tentu menjadi kaki tangannya pula dan kau datang hendak membela dua orang jahanam ini? Majulah, siapa takut kepadamu, Sutejo?" Bromatmojo sudah marah sekali, lebih marah lagi daripada dia cekcok dengan Sutejo di dalam hutan dahulu itu, karena sekarang hatinya merasa sakit bahwa Sutejo lebih berat kepada dua orang jahanam ini daripada dia!   "Adi Bromo wawasanmu sungguh terlalu. Aku hanya tidak ingin melihat engkau membunuh ponggawa kerajaan dan dianggap pemberontak."   "Tak usah banyak cakap, mari kita lanjutkan pertempuran kita di hutan itu!" Bromatmojo sudah menerjang dengan kemarahan yang meluap-luap.   "Hiaaattt....!" Bromatmojo sudah menggunakan Aji Turonggo Bayu dan menyerang dengan pukulan-pukulan Hasto Bairowo yang amat dahsyat.   "Ehhh...!" Sutejo mengenal pukulan yang mengandung aji kesaktian dahsyat itu, maka dia meloncat keluar, ke halaman yang lebih luas. Akan tetapi Bromatmojo terus menerjangnya dan terjadilah pertempuran yang amat hebat di dalam halaman rumah pelacuran itu, ditonton oleh para perajurit. Diam-diam Reksosuro dan Darumuko merangkak menjauhi dan mereka minta tolong kepada perajurit untuk memapah mereka pergi, juga mereka menyuruh perajurit untuk melapor dan minta bantuan untuk menangkap pemuda yang sakti mandraguna itu. Ketika mendengar bahwa pemuda tinggi tegap yang baru datang dan yang kini melawan Bromatmojo dengan hebatnya itu adalah adik ipar dari Resi Mahapati, yaitu adik selir terkasih Lestari, mereka merasa heran akan tetapi bersyukur. Entah akan apa jadinya dengan mereka kalau pemuda itu tidak cepat muncul.   Sementara itu, terpaksa Sutejo juga mengeluarkan kepandaiannya dan mengerahkan tenaganya untuk menandingi amukan Bromatmojo yang memang amat marah itu. Kedua lengannya sampai terasa panas dan nyeri-nyeri karena seringnya bertemu dengan lengan Bromatmojo dan dalam kemarahannya, Bromatmojo sampai tidak merasakan betapa lengan kanan kirinya terasa panas, nyeri dan bengkak-bengkak semua! Semenjak tadi, dia saja yang terus menyerang dan Sutejo hanya mempertahankan diri, mengelak dan lebih sering menangkis karena serangan pukulan-pukulan Bromatmojo terlalu cepat sehingga berbahaya kalau dielakkan terus, melainkan lebih baik dilawan dengan tangkisan yang sama kuatnya. Hanya kadang-kadang saja Sutejo membalas dengan tamparan-tamparan ke arah bagian tubuh yang tidak berbahaya dari lawannya.   "Adi Bromo, sudahlah. Pergilah cepat!" berkali-kali Sutejo berkata lirih, akan tetapi hal ini merupakan minyak tanah yang disiramkan kepada api yang sudah berkobar sehingga kemarahan ini makin melangit. Bromatmojo merasa seolah-olah Sutejo "mengalah" kepadanya, seolah-olah Sutejo mengasihinya dan bahkan mengusirnya! Maka sambil menggigit bibir dan kedua matanya sudah panas-panas karena penuh air yang hendak membanjir keluar, dia menyerang makin dahsyat, kini seringkali mengeluarkan tamparan-tamparannya yang dapat mendatangkan maut, yaitu tamparan Hasto Nogo dengan tangan kiri!   Ketika untuk ke sekian kalinya dia memperoleh kesempatan, Bromatmojo melayangkan lagi tangan kirinya itu yang membawa angin berdesing saking kuatnya. Sutejo cepat menggunakan tangan kanan memapaki.   "Derrrr...!!" seperti ledakan bunyinya kedua telapak tangan itu bertemu dan akibatnya, Sutejo terhuyung ke belakang dengan muka pucat sedangkan Bromatmojo terlempar dan terbanting keras!   "Adi Bromo...!" Sutejo melompat dan mengulur tangan hendak menolong Bromatmojo yang terbanting itu, akan tetapi tiba-tiba kaki Bromatmojo mencuat dan menendang.   "Desss...!" Dada Sutejo kena ditendang dan pemuda ini gelayaran, dadanya terasa ampeg (sesak). Bromatmojo sudah meloncat bangun lagi dan kini mendesak Sutejo dengan serangan-serangan kilat.   Pada saat itu, dari jauh nampak debu mengepul dan ternyata ada sepasukan besar perajurit datang menuju ke dusun itu!   "Celaka...! Adi Bromo, cepat kau lari! Ada pasukan besar datang, engkau tentu akan tertangkap dan celaka. Cepatlah, aku... aku sayang padamu, Adi Bromo!" kata Sutejo sambil meloncat mundur, tidak mau lagi melayani serangan Bromatmojo.   Bromatmojo menoleh dan melihat datangnya pasukan itu. Kalimat terakhir yang diucapkan Sutejo membobolkan bendungan itu dan air matanya pun bercucuran. Dengan isak tertahan dia membalikkan tubuhnya dan melompat dengan Aji Turonggo Bayu, melarikan diri dari tempat itu. Tubuhnya berkelebat seperti tatit dan sebentar saja bayangannya lenyap. Sutejo berdiri bengong, telinganya masih mendengar gema tangis Bromatmojo. Dia menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala. Pemuda itu hebat sekali memang. Akan tetapi pemuda yang amat aneh, begitu gagah perkasa, begitu lemah lembut, tampan, akan tetapi kadang-kadang amat pemarah dan juga... cengeng! Benar-benar seorang pemuda yang amat luar biasa dan aneh.   Hati Sutejo lega ketika Bromatmojo sudah tidak kelihatan lagi. Dia percaya bahwa tidaklah mudah untuk mengejar seorang yang memiliki Aji Turonggo Bayu seperti pemuda tampan itu. Dia lega karena dia melihat bahwa pasukan itu dipimpin oleh Sang Resi Mahapati sendiri! Kalau Bromatmojo masih berada di situ, tentu akan repotlah dia!   Di mana dia, Adimas Sutejo?" Mahapati bertanya, matanya memandang penuh perhatian ke kanan kiri.   Sutejo menarik napas panjang. "Dia sudah pergi, Kakangmas Resi."   "Kenapa tidak kau tangkap?"   Sutejo menggeleng kepala. "Tidaklah mudah menangkap seorang yang memilki kesaktian seperti Adi Bromatmojo. Dan dia memiliki ilmu berlari cepat Turonggo Bayu yang sukar dilawan. Pula, dia sahabatku, perlu apa ditangkap? Keributan ini hanyalah karena urusan pribadi."   Resi Mahapati mengerutkan alisnya. "Akan tetapi, dia ada hubungannya dengan keris pusaka Kolonadah..."   Jilid 44   "Benar, Kakangmas Resi. Akan tetapi percayalah kepada saya, dia tidak membawa pusaka itu. Saya tahu benar dan melihat sendiri betapa keris pusaka itu dia tinggalkan kepada Empu Singkir. Sungguh sayang, setelah saya berhasil mencari Adi Bromo di sini, sebelum sempat menasihatinya dan membujuknya agar dia suka membantu usaha kita berbakti kepada Mojopahit, dia telah keburu marah-marah. Semua ini hanya karena ulah tingkah dua orangmu itu, Kakangmas Resi." Sutejo merasa menyesal sekali.   "Siapa mereka, Dimas?"   "Reksosuro dan Darumuko. Hampir saja mereka dibunuh oleh Adi Bromatmojo, kalau saya tidak keburu datang tentu mereka sudah mati."   "Panggil mereka ke sini!" bentak Mahapati kepada pengawalnya.   "Mereka berdua luka-luka dan tidak bisa jalan, Sang Resi," lapor seorang perwira.   "Seret dia ke sini!" bentak Resi Mahapati.   Tak lama kemudian, dua orang yang bengkak-bengkak dan berdarah mukanya, yang hanya dapat bergerak ketika dipapah itu telah berlutut di depan Resi Mahapati dengan muka membayangkan ketakutan.   "Apa yang kalian lakukan di sini?" bentak Resi Mahapati   "Am...ampun Gusti... hamba berdua... eh, mencari hiburan..." kata Reksosuro mewakili mereka karena Darumuko sudah tak mampu bersuara saking takutnya.   "Kenapa ribut dengan pemuda itu?"   "Dia... dia yang datang mencari hamba berdua... dia... memukul hamba berdua..."   "Kenapa?"   "Katanya... katanya dia disuruh oleh... mendiang Sri Winarti yang membunuh diri dengan pusaka Kolonadah itu untuk menghajar hamba berdua..."   Resi Mahapati mengerutkan alisnya, tidak jadi marah kepada dua orang kepercayaanya itu, lalu menoleh kepada Sutejo. "Dimas Sutejo, kiranya sahabatmu itulah yang sengaja datang untuk membikin ribut."   "Memang sudah dia ceritakan kepada saya, Kakangmas Resi. Dua orang ini dahulu pernah menghina jenazah mbakayunya yang bernama Sri Winarti dan karena itulah maka mereka ini dia cari untuk dihajar, membalaskan penghinaan itu. Kalau tidak gara-gara mereka ini, tentu saya sudah dapat bicara dengan dia dan meyakinkan hatinya untuk membantu kita."   "Saya... kami... tidak bersalah..." Darumuko berkata gagap dan memandang kepada Sutejo dengan marah.   "Dess! Desss!" Tubuh mereka terpental dan bergulingan kena ditendang oleh Resi Mahapati. "Sekali ini kuampuni kalian. Lain kali kalau kalian melakukan sesuatu tanpa perintahku sehingga merugikan keadaan, kalian tentu akan kuhukum mati!" bentaknya. "Mari, Dimas Sutejo, kita kembali saja."   Sutejo mengangguk dan mengikuti Kakak iparnya itu kembali ke kota raja. Bagaimana ini? Benarkah dugaan Bromatmojo bahwa Sutejo telah menjadi kaki tangan Mahapati? Tidak sepenuhnya seperti yang disangka oleh Bromatmojo. Memang benar bahwa Sutejo kini membantu Mahapati, akan tetapi sama sekali bukan untuk mencari kedudukan, sama sekali bukan karena pengaruh harta benda dan kemuliaan, bukan pula karena Mahapati adalah Kakak iprnya. Dia membantu Mahapati setelah mendengar bujukan-bujukan Mahapati yang amat cerdik itu. Dibantu oleh Lestari, Mahapati berhasil membujuk Sutejo untuk membantunya dengan alasan bahwa Mahapati berjuang mencari Kolonadah demi keselamatan Mojopahit! Mahapati menceritakan betapa dia telah membela Mojopahit ketika terjadi pemberontakan-pemberontakan Adipati Ronggo Lawe, kemudian pemberontakan Lembu Sora. Dan dari Mbakayunya, Sutejo mendengar bahwa Mahapati amatlah berbudi dan bijaksana, amat mencinta Mbakayunya itu, dan atas bantuan Mahapati pulalah Mbakayunya berhasil membalas dendam keluarganya kepada Progodigdoyo!   "Sekarang Kolonadah terjatuh ke tangan musuh," demikian kata Resi Mahapati di antara bujukan-bujukannya, disaksikan oleh Lestari. "Tentu oleh Ki Ageng Palandongan dibawa ke Lumajang. Di sanalah pusat orang-orang yang merasa tidak senang kepada Mojopahit, di sanalah sarang orang-orang yang mengandung hati khianat dan memberontak, diketuai oleh Aryo Wirorojo, Ayah mendiang Ronggo Lawe yang tentu selalu menaruh dendam kepada Mojopahit. Di sana pula larinya sisa-sisa pengikut Ronggo Lawe dan Lembu Sora. Karena itu, Dimas Sutejo, setelah Kolonadah dilarikan ke Lumajang, maka gawatlah keadaannya. Kolonadah itu adalah pusaka yang khusus diciptakan oleh Maha Empu Supamandrangi untuk raja! Akan tetapi oleh Ronggo lawe dikuasainya sendiri! Dan sekarang pusaka itu berada di Lumajang. Kita sebagai orang-orang gagah, sebagai kawula Mojopahit yang setia, berkewajiban untuk mempertahankan kejayaan Mojopahit. Kalau sudah begitu, barulah tidak sia-sia engkau mempelajari ilmu, Dimas Sutejo."   Sutejo menundukkan mukanya sehingga dia tidak melihat betapa Mahapati memberi isyarat dengan sinar matanya kepada Lestari. Mbakayunya itu lalu mendekatinya, menaruh tangan di pundak Adiknya dengan mesra, lalu berkata,"Tejo, Adikku sayang. Semua yang diucapkan oleh Kakak iparmu itu benar belaka. Kalau tidak ada dia, entah sudah bagaimana jadinya dengan diriku, dan kalau tidak karena bantuannya, entah bagaimana pula aku dapat membalas dendam keluarga kita terhadap Progodigdoyo. Kita berhutang budi kepada Kakangmas Resi Mahapati, Tejo."   "Ah, jangan bicara tentang budi, Diajeng Lestari. Aku cinta padamu dan semua yang kulakukan untukmu itu adalah demi cintaku, jadi bukan budi, memang sudah semestinya demikian," kata Resi Mahapati yang pandai sekali bicara dan bersikap tepat.   Sutejo makin termenung. Dia teringat akan mendiang Ayahnya. Nama Lembu Tirta adalah nama seorang pahlawan, seorang pembela kerajaan yang setia. Dan sekarang, dia sebagai keturunan pahlawan itu melihat betapa Mojopahit terancam bahaya seperti yang diceritakan oleh Resi Mahapati. Memang ada rasa tidak senang melihat kenyataan bahwa Mbakayunya hanya menjadi selir seorang yang sudah tua seperti Resi ini, akan tetapi dia harus mengesampingkan perasaan demi urusan pribadi dan keluarga, dan mementingkan pembelaan Mojopahit!   "Aku mendengar dari Kakang Resi Harimurti bahwa sahabatmu itu, pemuda tampan itu, juga memiliki kesaktian heabat, bahkan kabarnya dia adalah murid Empu Supamandrangi sendiri, pencipta pusaka Kolonadah. Alangkah baiknya kalau kau dapat menarik dia agar bersama dengan kita berbakti kepada Mojopahit, Adimas Sutejo."   Sutejo yang berwatak polos dan wajar itu, yang masih belum banyak mengenal manusia sehingga dia tidak tahu bahwa di dunia ini jauh lebih banyak terdapat manusia yang curang, palsu dan jahat daripada yang jujur, wajar dan baik, mudah saja terkena bujukan Resi Mahapati dan Lestari. Mengapa pula Lestari ikut membujuk Adiknya? Sudah tentu saja! Wanita ini tidak ingin melihat Adiknya bermusuhan dengan suaminya, dia ingin agar Adiknya itu selalu berada di dekatnya dan tidak akan berpisah lagi. Selain itu, juga dia mempunyai cita-cita sendiri, yaitu dia hendak membasmi semua ponggawa Mojopahit yang amat dibencinya, ponggawa-ponggawa Mojopahit rekan-rekan Progodigdoyo yang mendiamkan saja ketika keluarganya dihancurkan! Dan untuk dapat melaksanakan cita-cita itu, dia harus lebih dulu mempergunakan Mahapati yang sudah jatuh di bawah telapak kakinya. Maka dia ingin melihat adiknya membantu pula, membantu terlaksananya cita-citanya demi untuk membalas dendam Ayah dan Ibu mereka. Karena itulah maka dia turut membujuk, seolah-olah dia merasa setuju dengan siasat suaminya sehingga tentu saja hati Resi Mahapati menjadi makin jatuh karena hal ini dianggapnya sebagai kesetiaan dan cinta kasih dari Lestari kepadanya.   Demikianlah, setelah terkena bujukan Kakak ipar dan Mbakayunya, pada keesokan harinya Sutejo keluar diiringi pasukan untuk mencari Bromatmojo dan akhirnya seorang perajurit memberi tahu kepadanya bahwa temannya itu berada di dusun Pemintihan di rumah ledek Madumirah. Bersama pasukan itu pergilah Sutejo menyusul ke sana sehingga terjadi perkelahian hebat antara dia dan Bromatmojo.   Hatinya terasa kecewa dan cemas sekali ketika dia pulang bersama Kakak iparnya, memikirkan Bromatmojo yang kini menganggapnya sebagai musuh. Namun, karena dia merasa betapa dia memikul tanggung jawab dan kewajiban yang berat, juga amat penting, yaitu berdarma bakti kepada kerajaan, maka ditanggunglah derita batin itu dan dia mengesampingkan urusan pribadinya dengan Bromatmojo.   Sama sekali dia tidak tahu bahwa pada waktu itu ada dua orang lain yang merasa amat benci kepadanya. Mereka ini adalah Reksosuro dan Darumuko!   "Huh, mentang-mentang menjadi Adik ipar Sang Resi, begitu datang dia sudah berani panjang mulut sehingga kita ditendang oleh Sang Resi!" Darumuko mengomel ketika dia dan Reksosuro rebah di atas pembaringan dalam satu kamar di rumah pelacuran itu, dirawat oleh germo Madumirah yang memanggil dukun untuk mengobati tulang mereka yang patah-patah dan luka-luka lainnya.   Dan dia itu kurasa hanya pura-pura saja baik kepada Sang Resi!" kata Reksosuro.   Darumuko menoleh dan memandang kepada temannya. "Apa katamu, Kakang Reksosuro? Apa yang kau maksudkan dengan kata-kata itu?"   "Hemm, apakah kau tidak melihat, Adi Darumuko? Kalau dia betul-betul setia kepada Sang Resi, tentu dia sudah menangkap atau setidaknya merobohkan bocah bernama Bromatmojo itu. Dia begitu sakti dan Bromatmojo itu, hemm... amat mencurigakan sekali. Tentu ada hubungan antara Sutejo ini dengan dara itu."   "Dara? Siapa yang kau maksudkan?" tanya Darumuko makin heran.   "Siapa lagi kalau bukan Bromatmojo itu," jawab Reksosuro, meringis karena kakinya terasa nyeri bukan main, rasa nyeri yang menusuk ke ulu hatinya.   "Eh? Bukankah dia seorang pria, seorang pemuda yang amat sakti?" Darumuko bertanya sambil membelalakkan matanya yang liar.   "Ha-ha, dia boleh mengelabuhi orang lain, akan tetapi aku adalah seorang laki-laki yang sudah kenyang bermain dengan wanita! Sejak berusia belasan tahun aku sudah banyak bergaul dengan wanita, sampai sekarang entah sudah berapa ribu orang wanita yang kugauli. Dan dia hendak mengelabuhi aku? Huh, tidak mungkin! Kulit mukanya begitu halus, matanya begitu bening, alis matanya kecil panjang, bulu matanya lentik, hidungnya kecil, bibirnya merah basah dan mungil, giginya pun keci-kecil, lehernya jenjang tanpa kalamenjing, rambutnya begitu panjang halus sekali, hemm, ketika kita melawan dia, apakah tidak tercium olehmu, Adi Darumuko?"   "Tercium apanya?"   "Ah, percuma saja engkau selama ini menjadi serigala penerkam wanita! Kiranya masih hijau. Tentu saja bau badannya, bau keringatnya!"   "Eh, apa bedanya?"   "Tentu saja beda! Wanita memiliki ciri bau yang khas, seperti juga pria, dan aku sudah hafal akan bau badan wanita..."   Darumuko terbelalak memandang kepada temannya dengan kagum. Tak disangkanya temannya itu mempunyai pengetahuan begitu mendalam tentang wanita! "Eh, Kakang Reksosuro, katakan kepadaku, bagaimanakah baunya?"   "Bau wanita mengandung bau seperti air susu, seperti bau bayi dan kembang, sedangkan bau pria mengandung bau seperti binatang jalang."   "Wah, kau pandai sekali, Kakang."   "Hemm, siapa bilang aku bodoh? Bukan itu saja yang kuketahui, akan tetapi untuk membuktikan kebenaran dugaanku, mari kita tanya kepada Si Tanjung. Njunggg...! Tanjungggg...! Ke sinilah sebentar!" Dia berteriak keras dan tak lama kemudian terdengar suara menyahut dari luar, daun pintu kamar terbuka dan masuklah wanita muda berbaju merah yang tadi paling hebat merayu Bromatmojo.   "Ada apakah, Kakangmas Reksosuro?" tanya wanita itu, menekan perasaan tak senangnya kepada dua orang kasar itu.   "Anu, nduk cah ayu, engkau tadi sudah berdekatan dan bersentuhan dengan pemuda bernama Bromatmojo tadi. Nah, katakanlah terus terang, bagaimana kesanmu tentang dia?" Dua orang itu memandang tajam penuh selidik ke arah wajah dan bibir wanita itu, menanti keluarnya jawaban.   "Kesan apa?" tanya wanita itu terheran-heran dan juga khawatir karena dia tidak mau tersangkut setelah melihat betapa Bromatmojo dimusuhi oleh para perajurit bahkan Sang Resi Mahapati sendiri tadi datang mencarinya.   Jangan takut, katakan terus terang. Kau tadi sudah mencium pipiya, bukan? Dan meraba-raba badannya? Apakah tidak ada sesuatu yang luar biasa pada orang itu?" tanya Reksosuro memancing.   "Tidak... hanya dia... eh, tampan sekali, terlalu tampan..." jawab Tanjung mengingat-ingat dengan penuh dendam birahi.   "Terlalu tampan bukan? Terlalu halus kulitnya, bukan? Herankah kau kalau kukatakan bahwa dia itu seorang perempuan?" desak Reksosuro.   "Perempuan? Ya, Dewa Bathara...! Perempuankah dia? Ah, Andika benar juga, Kakangmas Reksosuro. Gerak-geriknya, senyumnya, pandang matanya... ah, pantas dia tampan bukan main. Dia mestinya seorang gadis yang cantik jelita. Aih, mengapa kami begitu bodoh? Akan tetapi, kalau perempuan... ah, dia begitu sakti..."   "Ha-ha-ha, apa kataku, Adi Darumuko? Nah, pergilah, Tanjung, sudah cukup keteranganmu, ha-ha-ha!" Reksosuro tertawa-tawa girang sekali karena kini dugaannya dibenarkan dan diperkuat oleh Tanjung yang sebagai seorang wanita tentu akan mengenal kaumnya. Tanjung cepat pergi meninggalkan kamar itu dengan hati lega. Dia sudah khawatir kalau-kalau dua orang pria kasar itu akan minta dilayani, biar dalam keadaan seperti itu dan dia merasa jijik untuk melakukannya.   "Wah, engkau memang hebat, Kakang! Dan apalagi yang kau ketahui tentang dara yang menyamar sebagai laki-laki itu?"   "Ada lagi, lebih hebat!" jawab Reksosuro sambil tersenyum bangga. "Biarpun dia telah menghajar kita, akan tetapi kita rugi. Aku telah tahu rahasianya, dan biar Sutejo itu tahu rasa! Tentu dia kekasih dara itu, tak salah lagi, dan pertempuran antara mereka itu agaknya hanya pura-pura saja! Aku tahu siapa dara itu."   "Eh, benarkah? Siapa dia, Kakang?"   "Kita berdua sudah seringkali bertemu dengan dia."   "Eh, aku tidak ingat lagi... siapa sih?"   "Ingat baik-baik, Adi Darumuko. Pernahkah keris pusakaku Kyai Bandot tidak mempan menusuk tubuh orang? Hanya satu kali sebelum ini, ingat saja."   "Ya, aku ingat pengalaman pahit itu. Ketika kau mempergunakannya menyerang Setan Jembros."   Benar, kau cerdik juga! Nah, bukankah orang tadi pun sama kebalnya dengan Setan Jembros? Tentu dia murid Setan Jembros! Dan kau ingat anak perempuan dulu itu yang ditolong Setan Jembros dan menjadi muridnya? Dia tadi datang untuk membalaskan dendam Sri Winarti, bukan? Lupakah kau akan bocah perempuan bernama Sulastri, Adik Sri Winarti itu? Dan dia tadi menyebut Sri Winarti sebagai Mbakayunya."   Makin lama makin berseri wajah Darumuko dan tiba-tiba dia menggebrak amben yang ditidurinya.   "Brakk! Kau betul... aduhhh..." Dia menyeringi karena saking gembiranya dia sampai lupa dan hampir saja dia terloncat bangun sehingga gerakan itu membuat kaki dan tangannya yang patah tulang itu nyeri bukan main, kiut miut rasanya menyusup ke tulang-tulang sumsum.   "Jelaslah. Dia itu Sulastri, anak perempuan yang dulu itu! Dan pernah pula Ki Ageng Palandongan menolongnya ketika kita menangkapnya. Nah, jelas sekarang. Dan keris pusaka Kolonadah kabarnya dilarikan oleh Ki Ageng Palandongan. Tentu mereka itu sekomplotan! Sekomplotan yang diutus dari Lumajang. Tidak salah lagi. Dan Sutejo ini pun tentulah kaki tangan Lumajang!" kata Reksosuro.   "Hati-hati, Kakang, dia adalah adik dari Lestari, selir terkasih Sang Resi."   "Tentu saja. Cukup kita secara diam-diam melaporkannya kepada Sang Resi saja. Laporan ini penting sekali bagi Sang Resi dan tentu kemarahannya terhadap kita akan berubah menjadi pujian, dan tentu dia akan terus diawasi. Rasakan engkau, Sutejo, engkau telah membikin celaka kami, dan kelak kami akan membalasnya, tunggu saja!"   Demikianlah, rahasia penyamaran Bromatmojo telah dapat diketahui oleh dua orang ini sehingga tanpa disadarinya sendiri, Sutejo terancam bahaya dari fihak Kakak iparnya sendiri yang tentu saja mencurigainya dan selalu mengawasi gerak-geriknya setelah mendengar laporan dari dua orang itu, sungguh pun pada lahirnya Resi Mahapati tetap bersikap ramah.   Resi Mahapati terkejut juga ketika mendengar pelaporan dua orang itu yang disampaikan secara rahasia dan tidak diketahui oleh orang lain. Setelah menyatakan kegembiraannya dan memberi hadiah kepada dua orang itu dengan pesan agar hal itu dirahasiakan, Sang Resi Mahapati termenung. Dia masi ragu-ragu. Benarkah Sutejo tersangkut dalam komplotan itu dan menjadi mata-mata Lumajang? Dia harus berhati-hati dan menyelidiki hal ini sedalam-dalamnya. Jadi Bromatmojo itu adalah anak perempuan, adik dari wanita yang membunuh diri menggunakan Kolonadah? Murid Eyang Empu Supamandrangi? Kalau begitu sungguh sayang dia tidak dapat menangkapnya. Dan bagaimana dengan Sutejo? Benarkah Sutejo tidak mampu menangkapnya ketika mereka bertempur? Ataukah Sutejo sengaja melepaskannya? Dia harus menyelidiki, katanya dalam hati sambil mengepal tinju. Dan dia tidak akan memberitahukan hal ini kepada Lestari. Sebaliknya, dia menarik Resi Harimurti dan membisikinya tentang rahasia itu. Hanya mereka berdua, Reksosuro dan Darumuko saja yang mengetahui akan hal itu.   "Kau manusia bodoh..., kau manusia tolol dan lemah... ohhh... Sulastri, kau benar-benar tolol...!" Bromatmojo menjambak rambutnya sendiri sambil berjalan di dalam hutan itu dan menangis. Dia masih marah, kecewa, berduka dan penasaran setelah tadi lari meninggalkan dusun Pemintihan. Ketika dia mendapat kenyataan betapa perasaan hatinya merasa trenyuh, sunyi, berduka dan kecewa karena Sutejo kini memusuhinya dan jauh dari padanya, tangisnya menjadi-jadi dan dia memaki dirinya sendiri.   "Engkau cinta padanya... ah, gadis bodoh, engkau cinta padanya...!" Kini dia menghentikan langkahnya, bersandar pada batang pohon randu yang halus kulitnya itu sambil menangis. Terbayanglah semua keakraban antara dia dan Sutejo selama dalam perjalanan berdua itu, semua kebaikan-kebaikan Sutejo terhadap dirinya dan tangisnya makin mengguguk.   "Kakang Tejo... engkau kejam padaku, Kakang, ah, kenapa engkau kejam padaku...?"   Setelah semua kesedihannya diluapkan melalui tangisan yang tidak ditahan-tahan, karena betapa seringnya dia menahan tangis selama bersama Sutejo, hatinya terasa agak ringan dan akhirnya dia duduk di atas batu di bawah pohon randu itu, termenung dan kadang-kadang masih terisak sebagai sisa tangis tadi. Mulailah dia berpikir dan perasaannya makin ringan ketika dia teringat bahwa Sutejo melakukan hal itu karena belum tahu bahwa dia adalah seorang wanita. Bagaimana kalau pemuda itu mengetahuinya? Ah, tidak, dia tidak akan membuka rahasianya. Selain memalukan, juga akan makin menyakitkan hati saja kalau pemuda itu tetap tidak senang dan marah kepadanya. Kini Sutejo telah menjadi kaki tangan Mahapati! Kenyataan ini sungguh menyakitkan hatinya karena dia tahu sekarang bahwa dia telah jatuh cinta kepada pemuda itu! Tadinya, ketika mereka masih bersama-sama, dia hanya merasa suka sekali kepada pemuda itu, dan kini setelah mereka cekcok dan berpisah, baru dia tahu dari penderitaan batinnya bahwa dia mencinta pemuda itu! Teringat semua olehnya betapa dia cemburu sekali kepada Roro Kartiko ketika mengira bahwa Sutejo mencinta puteri itu!   "Kakang Tejo, aku cinta padamu, akan tetapi jalan hidup kita bersimpang...!" Dia mengeluh. Akan ke manakah dia sekarang setelah dia berpisah dari pemuda itu? Hidup seolah-olah menjadi begini sepi tanpa tujuan! Kemudian dia teringat tugas yang diberikan oleh Gurunya kepadanya. Dia harus mencari Kolonadah. Bukankah Gurunya mengutusnya untuk menyerahkan keris pusaka Kolonadah itu kepada Pangeran Kolo Gemet, putera Sang Prabu yang menjadi Pangeran Pati atau Pangeran Mahkota? Dan sekarang Kolonadah dilarikan oleh Ki Ageng Palandongan. Akan tetapi sebelum mencari ke Lumajang, dia akan mencari Gurunya yang pertama lebih dulu. Ki Jembros! Dalam keadaan sepi seperti itu, tiba-tiba saja dia teringat kepada Ki Jembros. Ingin dia berjumpa dengan kakek itu, menyampaikan semua keluhan hatinya, menyampaikan semua isi hatinya dan minta nasihat dari kakek yang aneh namun bijaksana dan amat mencintanya itu. Ke Pegunungan Pandan! Dahulu, di sanalah dia meninggalkan Gurunya itu yang katanya hendak beristirahat dan berobat bersama anak buah dua orang gagah yang menjadi pelarian Mojopahit, yaitu Raden Gajah Biru dan Juru Demung yang gagah perkasa.   "Benar," pikirnya. "Seorang diri saja mencari Kolonadah tentu akan sukar. Aku dapat minta bantuan Eyang Jembros, paman-paman yang gagah perkasa itu. Dan aku akan minta bantuan Eyang Jembros untuk menghadapi Resi Mahapati, untuk menginsyafkan Kakang Sutejo bahwa dia membantu orang jahat!"   Dengan pikiran ini yang menjadi keputusan hatinya, berangkatlah Sulastri atau karena dia masih berpakaian sebagai pria lebih tepat menyebutnya Bromatmojo, menuju ke Pegunungan Pandan di sebelah utara Mojopahit. Dia melakukan perjalanan cepat dan dengan hati penuh harapan.   Akan tetapi, ketika dia tiba di Pegunungan Pandan beberapa hari kemudian, sunyi saja di pegunungan itu. Bahkan dia tidak bertemu dengan seorang pun ketika dia tiba di tempat yang dulu dijadikan markas oleh Gajah Biru dan kawan-kawannya. Dia masih ingat betul bahwa di tempat itulah dia dahulu berusaha mencuri ketan untuk Ki Jembros. Akan tetapi rumah itu telah rusak-rusak dan kosong, tidak ada orangnya sama sekali.   Dengan hati kecewa Bromatmojo meninggalkan tempat itu, akan tetapi dia masih terus melakukan penyelidikan di sekitar Pegunungan Pandan. Ternyata hanya sedikit saja orang yang tinggal di sekitar kaki pegunungan itu, dan dusun-dusun yang berada di lereng-lereng gunung telah kosng ditinggalkan para penghuninya. Dan sedikit kelompok orang yang tinggal di kaki gunung adalah pendatang-pendatang baru yang tidak mengenal nama Ki Jembros, Gajah Biru atau pun Juru Demung. Penghuni-penghuni lama sebagian besar ikut dalam pemberontakan dan tewas, sedangkan keluarganya yang tidak ikut telah melarikan diri takut kalau tersangkut.   Di bagian mana pun di dunia ini, dalam jaman apa pun, perang merupakan peristiwa yang paling jahat dan busuk di antara manusia. Bukan hanya karena perang menjatuhkan korban manusia di kedua fihak, akan tetapi lebih dari itu. Juga keluarga mereka yang tidak turut apa-apa akan terkena getahnya, ada yang ditangkap, dibunuh, difitnah dan dipermainkan. Kalau tidak begitu, karena kepala keluarganya mati, maka wanita-wanita menjadi janda dan keluarga kehilangan mata pencaharian. Dan masih banyak akibat-akibat dari perang yang amat jahat, yaitu munculnya kekacauan dan kekerasan, munculnya penjahat-penjahat yang mempergunakan kesempatan memancing di air keruh, munculnya pejabat-pejabat yang mempergunakan kedudukan dan kekuasaannya untuk menekan rakyat dengan dalih apa pun untuk menakut-nakuti mereka demi tercapainya kesenangan yang diinginkannya, pemerasan, perkosaan, dan lain sebagainya. Dan lebih mengenaskan lagi, rakyat yang tak terhitung banyaknya itu, manusia-manusia itu, berperang karena digerakkan oleh beberapa gelintir orang pula yang kebetulan duduk di atas! Manusia-manusia menjadi semacam boneka yang tidak berdaya menurut saja disuruh saling bunuh demi tercapainya kemenangan beberapa gelintir orang yang berkuasa itu, yang menutupi keinginannya untuk menang itu dengan slogan-slogan dan kata-kata indah dan suci. Perang terjadi di mana-mana di dunia ini, di jaman apa pun, dan selalu didengungkan alasan-alasan yang amat baik untuk itu! Bahkan tidak jarang alasannya adalah untuk menciptakan damai! Menciptakan damai dengan jalan perang! Betapa gilanya ini!   Namun, kita hidup di dalam kekerasan sejak nenek moyang kita. Kita dilatih sejak kecil untuk menang, menang, menang! Dalam hal apa pun juga, kita dididik untuk jangan kalah oleh orang lain! Tentu saja dorongan atau hasrat untuk menang ini selalu menimbulkan kekerasan. Hal ini dapat kita lihat setiap saat, setiap hari di sekitar kita, dapat kita lihat semenjak dalam kehidupan anak-anak. Sekelompok anak-anak akan bermain tari-tarian atau nyanyi-nyanyian dengan rukun dan damai, akan tetapi begitu semacam permainan mereka lakukan, permainan di mana terdapat kemenangan dan kekalahan, maka timbullah percekcokan dan perkelahian!   Karena tidak berhasil mencari keterangan tentang Ki Jembros, akhirnya Bromatmojo mengambil keputusan untuk melanjutkan saja perjalanannya ke Lumajang. Maka dia lalu kembali ke selatan untuk kemudian melanjutkan perjalanannya ke timur.   Dua hari kemudian ketika dia sedang berjalan di hutan sebelah utara Sungai Tambakberas, dekat perbatasan timur antara wilayah Tuban dan Mojopahit, dia mendengar teriakan-teriakan orang bertempur. Bromatmojo mempercepat jalannya, bahkan dia lalu berlari menuju ke suara itu dan terkejutlah dia melihat bahwa yang bertempur adalah Joko Handoko, Roro Kartiko yang dibantu oleh tujuh orang wanita anggauta-anggauta Sriti Kencana, dikeroyok oleh dua puluh orang lebih perajurit Tuban yang dipimpin oleh Gagaksona dan Klabang Curing! Di tengah-tengah tempat pertempuran itu nampak sebuah kereta di mana duduk seorang wanita setengah tua yang cantik dan bersikap tenang, menonton pertempuran itu dengan alis berkerut namun tidak memperlihatkan ketakutan. Wanita itu adalah Sariningrum, ibu dari Joko Handoko dan Roro Kartiko, yang sedang mereka kawal untuk melarikan diri dari Tuban.   Karena jumlah musuh lebih banyak dan dua orang pemimpin mereka, terutama Gagaksona, memiliki kepandaian tinggi, maka pihak Joko Handoko terdesak hebat. Melihat ini, Bromatmojo berteriak keras dan terjun ke dalam pertempuran, mengamuk dan sekali bergerak dia telah merobohkan empat orang perajurit pengeroyok! Melihat munculnya Bromatmojo, tentu saja putera-puteri Progodigdoyo itu menjadi girang sekali dan demikian pula anak buah Sriti Kencana. Mereka kini bertempur dengan semangat berkobar.   "Kakangmas Joko! Diajeng Roro! Serahkan dua ekor celeng (babi hutan) ini kepadaku!" teriak Bromatmojo sambil menerjang ke depan, menendang ke arah Gagaksona dan menampar ke arah Klabang Curing dengan dahsyat. Dua orang itu terkejut dan cepat meloncat ke belakang.   "Terima kasih, Kakangmas Bromatmojo!" Roro Kartiko berkata dengan kedua pipi merah dan mata bersinar-sinar, lalu bersama Kakaknya dia membantu anak buah mereka, mengamuk di antara para perajurit Tuban.   Gagaksona dan Klabang Curing mengenal Bromatmojo yang pernah mereka lawan itu. Tentu saja mereka menjadi marah sekali, juga girang karena inilah pemuda yang dulu menggali lubang kuburan dan menemukan keris pusaka Kolonadah! Maka dengan keris di tangan, kedua orang itu lalu menerjang dengan hebat, mengeroyok Bromatmojo dari kanan kiri.   Boleh jadi Gagaksona merupakan lawan yang agak berat bagi Joko Handoko atau Roro Kartiko, akan tetapi dia adalah lawan yang ringan saja bagi Bromatmojo, biarpun dia masih dibantu oleh Klabang Curing. Melihat bahwa dua orang temannya itu masih dikeroyok oleh banyak perajurit lawan, maka Bromatmojo tidak mau membuang banyak waktu dalam menandingi dua orang lawannya. Dia tidak memandang kepada keris di tangan mereka, ketika mereka menyerang, dia malah maju memapaki dengan kedua tangan kosong, menyambut keris-keris itu dengan tamparan Hasto Bairawa!   "PLAK! Plak!" Dua orang itu terpental ke belakang dengan mata terbelalak. Keris di tangan mereka tentu saja mengenai lengan Bromatmojo, namun lecet sedikit pun tidak kulitnya, rontok sehelai pun tidak bulunya, bahkan mereka merasa seolah-olah mereka tertiup badai yang dahsyat, yang membuat keris mereka membalik dan tubuh mereka terpental. Tentu saja mereka kaget dan juga marah, penasaran, lalu sambil mengeluarkan gerengan seperti dua ekor singa mereka maju menubruk lagi dengan keris mereka.   "Robohlah kalian!" bentak Bromatmojo dan kedua tangannya menyambut tanpa memperdulikan tusukan keris lawan.   "Dess! Dess!!"   "Aduh...! Gagaksona terguling.   "Tobaaattt...!" Klabang Curing juga terlempar dan terbanting. Keduanya setengah klenger (pingsan) dan hanya dapat mengeluh panjang pendek memegangi kepala mereka yang seperti hendak pecah rasanya, telinga mereka penuh dengan suara terngiang-ngiang, mata mereka hanya melihat warna merah.   Bromatmojo lalu membantu kakak beradik itu mengamuk. Tentu saja para perajurit Tuban menjadi gentar. Memang di dalam hati, mereka sudah agak enggan untuk melawan Joko Handoko dan Roro Kartiko, putera-puteri bekas bupati mereka itu. Mereka mengenal dua orang kakak beradik ini sebagai dua orang muda yang gemblengan dan juga amat baik. Hanya karena terpaksa saja mereka tadi menurut perintah Gagaksona dan Klabang Curing melakukan pengeroyokan. Akan tetapi setelah kini mereka berdua itu roboh, dan mereka memang tidak kuat menghadapi amukan wanita-wanita cantik dan seorang pemuda seperti Joko Handoko, kini ditambah pula oleh pemuda tampan yang amat sakti itu, maka para perajurit itu lalu melarikan diri sambil memondong tubuh Gagaksona dan Klabang Curing yang masih belum sadar betul.   Jilid 45   "Mari cepat kita melarikan diri sebelum pasukan yang lebih besar datang lagi!" kata Joko Handoko yang mengkhawatirkan keselamatan Ibunya. "Maaf, Adimas Bromatmojo, nanti saja kita bicara!"   Bromatmojo mengangguk, malah menghampiri kereta dan bertanya, "Siapakah Bibi ini?"   "Dia Ibuku...!" kata Roro Kartiko yang sejak tadi menatap wajah Bromatmojo dengan penuh kagum.   "Kalau begitu, kita tinggalkan saja kereta. Biar kupondong beliau agar perjalanan lebih cepat," kata Bromatmojo dan tanpa menanti jawaban lagi, dia menyembah kepada wanita setengah tua itu lalu memondongnya dan lari dengan cepat. Joko Handoko dan Adiknya saling pandang, Roro Kartiko tersenyum dan mereka lalu cepat mengejar, diikuti oleh tujuh orang anak buah mereka. Dan memang benar, melarikan diri memang lebih baik kalau berjalan kaki, mereka dapat lari nyusup-nyusup di antara semak belukar. Kalau mereka naik kereta mengawal Ibu mereka, mereka harus melalui jalan besar yang kadang-kadang terhalang oleh jalan yang becek akibat hujan besar semalam dan juga pohon-pohan yang tumbang.   Mereka berdua makin kagum melihat betapa Bromatmojo dapat berlari lebih cepat dari mereka biarpun pemuda tampan itu memondong tubuh Ibu mereka. Kalau saja mereka tidak sering meneriakinya, tentu pemuda itu sudah jauh meninggalkan mereka. Dan mereka semua, termasuk para anggauta Sriti Kencana, telah terengah-engah kehabisan napas ketika mereka berlari terus menerus tanpa berhenti, akan tetapi Bromatmojo masih enak-enak saja berlari. Hal itu adalah karena Bromatmojo mempergunakan aji kesaktian Turonggo Bayu sehingga dia dapat berlari cepat tanpa banyak mempergunakan tenaga.   Menjelang senja barulah mereka menghentikan perjalanan itu. Mereka beristirahat di bawah pohon-pohon besar yang rimbun. Ketika Bromatmojo menurunkan tubuh Sariningrum ke atas rumput di bawah pohon itu, wanita ini memandangnya dengan kagum dan tersenyum sambil berkata, "Betapa kuatnya engkau!"   Setelah mereka mengaso, mereka mendapat kesempatan bercakap-cakap. Roro Kartiko menghampiri Bromatmojo dan dengan suara menggetar saking terharu dia berkata, "Kakangmas Bromatmojo. Tak terukur besarnya rasa syukur dan terima kasih kami kepadamu. Kalau tidak ada Andika yang datang menolong, entah bagaimana jadinya dengan kami."   "Benar, ucapan Diajeng Roro, pertolonganmu besar sekali artinya bagi kami, Adimas Bromatmojo. Entah bagaimana kami akan dapat membalas budi pertolonganmu itu," sambung Joko Handoko dengan pandang mata kagum dan penuh syukur.   "Sudahlah, di antara kita sebagai sahabat-sahabat, perlu apa bicara tentang budi?" kata Bromatmojo. "Akan tetapi, bagaimanakah Andika berdua dengan Ibu Andika berada di tempat itu, hendak pergi ke mana, dan mengapa pula dikeroyok oleh pasukan Tuban?"   "Kami memang melarikan diri dari Tuban setelah Ayah meninggal... dan kami dikejar, tersusul di perbatasan. Kami hendak dijadikan orang-orang tawanan, tentu saja kami tidak mau dan melawan," jawab Joko Handoko yang agaknya hendak menyembunyikan tentang kematian Ayahnya.   "Kakangmas Bromatmojo... sungguh tidak kusangka..." Roro Kartiko menangis kini,"Ayah kami... dibunuh secara kejam sekali oleh Kakangmas Sutejo..., disiksa dan dibunuh secara mengenaskan..., ahhh..." Dara itu menangis terisak-isak. Dia mengira bahwa Bromatmojo belum tahu akan hal itu. Mendengar Sutejo dicela dan dipersalahkan, aneh sekali, hati Bromatmojo menjadi panas! Tanpa disadarinya sendiri, timbul keinginan untuk membela pemuda itu!   "Sudahlah, Diajeng Roro Kartiko, yang sudah lewat tidak ada gunanya disesalkan lagi. Dan saya kira tidak bijaksanalah kalau Andika mencela dan menyalahkan Kakang Sutejo tentang hal itu."   "Ah... hu-hukk... kau... kau tidak melihatnya, Kakangmas Bromatmojo... betapa kejamnya Kakangmas Sutejo... dia menyiksa Ayah sampai seperti itu..."   "Diajeng Roro! Apakah artinya kejam? Apakah engkau tahu apa yang telah dilakukan oleh mendiang Ayahmu terhadap dia dan keluarganya?"   Suara Bromatmojo terdengar keras sehingga Roro Kartiko memandang terbelalak karena kaget melihat pemuda itu marah. Wajahnya menjadi merah ketika dia berkata gagap, "Aku tahu... mendiang Ayah telah membunuh Ayahnya dan Ibunya terbakar dalam rumahnya karena Ayahku... tapi... tapi mengapa menyiksanya seperti itu?"   "Hemm, agaknya engkau belum mendengar seluruhnya, Diajeng. Baiklah kuceritakan apa yang pernah kudengar dari Kakang Sutejo agar engkau dapat mempertimbangkan mengapa Kakang Sutejo dan Mbakayunya membunuh Ayahmu. Ketika Kakang Sutejo masih kecil, Ayahmu datang dan menyuruh bunuh Kakang Sutejo oleh kaki tangannya, kemudian... kemudian Ayahmu itu... memperkosa Ibunya di depan kedua anaknya itu! Bahkan lalu menculik Mbakayunya..."   "Ahhh...!!" Seruan ini keluar dari mulut Roro Kartiko dan Joko Handoko karena sungguh baru sekarang mereka mendengar perbuatan keji yang dilakukan oleh Ayah mereka itu. Muka mereka pucat sekali dan Joko Handoko tertunduk, termenung, sedangkan Roro Kartiko menangis sesenggukan. Ibu mereka yang duduk agak jauh dari situ, yang tidak mendengar percakapan mereka, memandang dan menunduk, mengira bahwa anak-anak mereka itu kembali menangis ketika membicarakan kematian Ayah mereka. Wanita ini cukup mengenal suaminya dan dia hanya merasa kasihan kepada suaminya yang semasa hidupnya terlalu mengejar kesenangan, mengumbar nafsu dan bertindak angkara murka dan sewenang-wenang sehingga akhirnya menemui kematian yang menyedihkan, dan kasihan kepada anak-anaknya yang sekarang menanggung akibat perbuatan Ayah mereka.   "Kakangmas Bromatmojo... maafkan aku... kalau begitu... Kakangmas Sutejo dan Mbakayunya tidaklah terlalu salah... mereka tentu mata gelap dan menaruh dendam sedalam lautan kepada Ayah. Ahh, Kakangmas, setelah Kakangmas mengetahui itu semua, mengetahui betapa kejamnya Ayah kami... tentu... tentu Kakangmas menganggap kami keturunan dari keluarga rendah..." Gadis itu menangis makin sedih sampai terisak-isak.   Bromatmojo memandang dengan penuh iba. Dia maklum apa yang menjadi gejolak hati dara ini. Jelaslah bahwa Roro Kartiko jatuh cinta kepadanya! Karena cintanya, maka gadis itu khawatir kalau-kalau dia akan memandang rendah kepadanya karena Ayahnya, khawatir kalau cintanya takkan terbalas. Ah, hal seperti ini tidak boleh berlarut-larut, pikirnya. Roro Kartiko seorang dara yang baik sekali, tidak semestinya kalau dia permainkan, tidak boleh menjadi korban cinta yang salah alamat ini! Maka dia lalu memegang tangan gadis yang masih terisak-isak itu, lalu menariknya berdiri. "Diajeng, mari kita bicara berdua saja di tempat lain, apakah kau mau...?"   Roro Kartiko yang masih dipegang tangannya itu mengangkat muka dan memandang dengan wajah basah oleh air mata dan rambutnya kusut. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, gadis itu malah kelihatan cantik, kecantikan yang wajar dan asli. Dia mengangguk pasrah, sungguhpun kedua pipinya menjadi merah sekali karena tangannya masih belum dilepaskan oleh Bromatmojo. Joko Handoko juga memandang, akan tetapi lalu membuang muka, pura-pura tidak tahu karena dia tidak mau membikin malu Adiknya.   "Akan tetapi aku harus minta ijin Ibumu lebih dulu. Mari..." Bromatmojo lalu menuntun tangan Roro Kartiko menghampiri Ibu gadis itu yang masih duduk menginang di bawah pohon dan kini memandang kedatangan mereka berdua dengan wajah cerah. "Kanjeng Bibi, bolehkah saya mengajak Diajeng Roro untuk bicara berdua di depan sana? Kami ingin membicarakan urusan penting dan tidak ingin terlihat atau terdengar oleh orang lain."   Sariningrum memandang sejenak kepada mereka berdua, lalu mengangguk dan tersenyum! Bukan main girangnya hati Roro Kartiko dan ingin dia menubruk, merangkul dan mencium Ibunya untuk menyatakan terima kasihnya! Akan tetapi dia malu untuk melakukan ini, maka hanya memandang Ibunya dengan mata bersinar-sinar. Kemudian mereka berdua meninggalkan tempat itu dan lenyap di antara gerombolan pohon dalam cuaca yang sudah mulai remang-remang itu. Semua orang mengikuti mereka dengan pandang mata penuh kemesraan sampai mereka berdua lenyap.   Setelah berdua saja di antara pohon-pohon, tidak nampak dari tempat tadi, Bromatmojo memegang kedua tangan Roro Kartiko dan memandang wajahnya. Gadis itu menunduk, merasa jengah dan malu, namun jantungnya berdebar tegang tidak karuan, menduga-duga apa yang akan dikatakan atau dilakukan oleh pemuda tampan seperti Arjuno ini.   "Diajeng Roro, katakanlah sebenarnya, apakah kau cinta kepadaku?"   Tentu saja Roro Kartiko merasa malu sekali. Memang dia jatuh cinta kepada pemuda ini, akan tetapi sebagai seorang perawan, mana mungkin dia menjawab pertanyaan itu? Bukankah wanita itu menyimpan cintanya di lubuk hatinya, diselimuti oleh kesusilaan dan hanya pasrah menanti saja, menikmati cinta kasihnya secara diam-diam bahkan kepada orang yang dicintanya pun tidak diperlihatkan secara nyata? Bukankah cinta kasih terpendam dan menjadi rahasia pribadinya ini malah lebih dapat dinikmatinya daripada kalau dibuka secara terang-terangan dan menjadi hambar karenanya, karena sudah tidak ada ketegangan yang terkandung dalam setiap rahasia lagi?   "Bagaimana, Diajeng? Kita sekarang sudah bertemu empat mata, berdua saja di sini, tidak ada yang melihat atau mendengar. Nah, katakanlah terua terang, apakah engkau cinta padaku?"   Beberapa kali Roro Kartiko menggerakkan bibirnya, akan tetapi tidak ada suara yang keluar. Sukar sekali bagi seorang wanita yang sejak kecil dididik untuk memegang teguh kesusilaan untuk membuka mulut mengaku cinta kepada seorang pemuda, biar pun perasaan cinta sudah menguasainya sepenuh hatinya. Maka akhirnya karena tidak berhasil mengeluarkan suara, dia hanya mengangkat muka memandang sejenak, lalu mengangguk dan tunduk kembali. Denyut jantungnya terasa sampai ke ubun-ubun kepalanya!   "Jangan kaget, Adikku yang manis. Sungguh pun aku sama sekali tidak ingin mengecewakan hatimu, akan tetapi sungguh mati aku tidak mungkin dapat membalas cintamu itu, Roro Kartiko. Karena sesungguhnya aku... aku telah jatuh cinta kepada seorang lain..." Muka Roro Kartiko seketika menjadi pucat dan matanya terbelalak menatap wajah pemuda itu, maka melihat hal ini, Bromatmojo cepat melanjutkan,"aku telah jatuh cinta sejak dulu kepada... Kakang Sutejo!"   "Ihhh...!!" Roro Kartiko melangkah mundur sampai tiga tindak, wajahnya sebentar pucat sebentar merah dan dia menatap wajah Bromatmojo seperti melihat setan di tengah hari, penuh kekagetan, penuh keheranan. "Apa ... apa yang kaukatakan ini?" Dia berhasil mengeluarkan kata-kata dengan gagap. "Akan tetapi dia... dia seorang pria..."   "Tentu saja! Karena dia seorang prialah maka aku mencintainya, dan karena kau seorang wanitalah maka aku tidak mungkin dapat membalas cintamu. Roro Kartiko, mendekatlah dan lihat baik-baik, aku siapa?" Bromatmojo telah menangkap tangan dara itu, menariknya dan mendekapnya. Roro Kartiko meronta, akan tetapi Bromatmojo tetap memeluknya.   "Bocah ayu yang bodoh... apakah kau tidak tahu bahwa aku pun seorang wanita...?"   "Ihhh...!!" Roro Kartiko meronta dengan keras dan berhasil melepaskan pelukan Bromatmojo. Tangan kanannya menutupi bibirnya agar dia tidak menjerit, matanya terbelalak memandang Bromatmojo dan bibirnya menggigil. "Aku... aku tidak percaya...!"   Sepasang mata yang indah jeli itu makin terbelalak saja ketika melihat Bromatmojo perlahan-lahan membukai kancing bajunya dan tak lama kemudian sepasang mata itu memandang dengan penuh keheranan sepasang buah dada di dada "pemuda" tampan itu, jelas merupakan sepasang buah dada wanita muda yang tidak kalah indah bentuknya dengan dia punya sendiri! Tak dapat diragukan lagi bahwa Bromatmojo adalah seorang wanita!   "Hi-hik, Adikku yang baik, bagaimana aku dapat menjadi suamimu?" Bromatmojo atau Sulastri itu tertawa geli.   Roro Kartiko mengalihkan pandang matanya, dari dada ke mata Sulastri, sejenak mereka saling pandang dan meledaklah suara ketawa Roro Kartiko. Gadis ini lalu berlari kembali ke tempat tadi dan suara ketawanya masih terdengar terus menerus seperti orang kegelian. Sulastri merasa khawatir dan setelah membereskan bajunya dia lari mengejar.   "Ha-ha-ha, heh-heh...! Dia... dia seorang wanita... hi-hi-hik...! Bromatmojo seorang wanita...!" gadis itu berkata kepada ibu dan kakaknya sambil terus tertawa-tawa akan tetapi suara ketawanya itu makin lama kedengarannya seperti suara orang menangis dan akhirnya gadis itu menangis tersedu-sedu!   Kalau saja Roro Kartiko tidak pernah mendapat gemblengan batin ketika dia mempelajari aji-aji kesaktian, mungkin saja dia bisa menjadi gila oleh pukulan batin yang tiba-tiba dan amat hebat itu. Bermacam perasaan teraduk di dalam hatinya. Ada rasa terharu, rasa malu, kecewa dan juga geli. Akan tetapi rasa kecewa yang lebih besar sehingga biarpun dia ingin sekali tertawa akan tetapi akhirnya dia menangis!   Bromatmojo mendekati dan memeluknya. "Tenanglah, Adikku, tenanglah dan karena kau telah membuka rahasiaku kepada yang lain, maka biarlah hanya keluargamu dan anggauta Sriti Kencana ini saja yang tahu. Selanjutnya aku tetap Kakangmas Bromatmojo bagimu dan kau Adikku Diajeng Roro Kartiko."   "Hi-hik... hu-huuhhh..." Roro Kartiko merangkul Bromatmojo dan menangis di atas dadanya. Bromatmojo mencium pipi yang halus itu. "Sebagai Kakak dan Adik, kita masih dapat saling mencinta, bukan?" bisiknya.   Joko Handoko dan ibunya menghampiri mereka sedangkan para anggauta Sriti Kencana saling bisik-bisik sendiri, terutama sekali mereka mendengarkan cerita Ayu Kunthi yang menceritakan betapa dahulu mereka pernah "merayu" Bromatmojo yang mereka kira juga pria itu. Dan mereka tertawa-tawa sendiri setelah kini mereka mendengar bahwa pemuda yang terlalu tampan itu adalah seorang wanita!   "Dimas... eh... Diajeng Bromatmojo..." Joko Handoko berkata gagap dan bingung.   Bromatmojo tersenyum manis kepadanya. "Kakangmas Joko, harap kau tetap menyebut aku Dimas Bromatmojo saja sungguh tidak pantas kalau Diajeng Bromatmojo, karena nama itu adalah nama pria, bukan?"   Joko Handoko juga tersenyum. Kiranya pemuda tampan yang mengagumkan itu adalah seorang gadis, gadis yang riang jenaka pula!   "Harap kau maafkan, karena aku sendiri tidak pernah menduga bahwa engkau seorang wanita maka... ah, mungkin sikapku kurang hormat..."   "Jangan berkata demikian, Kakangmas Joko. Laki-laki atau perempuan tidak ada bedanya bagi orang-orang yang bersahabat, bukan?" kata Bromatmojo.   "Hehhh, dasar kalian anak-anak yang bodoh. Sejak tadi aku sudah tahu bahwa dia ini seorang wanita. Kalau tidak, masa aku membolehkan dia mengajak Roro berdua saja ke tempat sunyi? Dan kalian malah sudah lama berkenalan. Hemm, anak muda sekarang memang bodoh!" Tiba-tiba Ibu mereka berkata.   Joko Handoko merasa heran sekali mengapa tiba-tiba dia merasa canggung dan malu, maka dia lalu menjauhkan diri dan sikapnya termenung. Setelah Joko Handoko menjauh, Roro Kartiko yang sudah menyusut kering air matanya dan kini merangkul pinggang Bromatmojo yang ramping itu dengan sikap mesra, bertanya kepada ibunya, wajahnya sudah cerah dan biarpun bekas air matanya masih membasahi pipi, namun bibirnya tersenyum.   "Ibu , bagaimana Ibu dapat menduga bahwa dia ini wanita?"   Ibu itu melirik ke arah ke arah Joko Handoko yang berdiri cukup jauh, kemudian setelah memadang ke arah tujuh orang anggauta Sriti Kencana yang kini mendekat, dia berkata sambil tersenyum, "Kalian orang-orang muda memang kurang waspada dan kurang perhatian. Lihat saja, bukit pinggul wanita adalah bulat lebar dan menonjol rata, sedangkan bukit pinggul pria meruncing seperti kukusan atau trepes. Hanya pria gemuk saja yang kadang-kadang mempunyai pinggul menyerupai pinggul wanita. Karena Nakmas Bromatmojo bukan seorang pria gemuk, maka pinggulnya yang indah penuh dan bulat itu menunjukkan bahwa dia adalah seorang wanita, seorang perawan. Tentu saja, dengan melihat pinggulnya saja aku sudah menduganya, apalagi ditambah oleh ketampanannya yang amat luar biasa itu, mudah saja bagiku, sama dengan dua ditambah dua menjadi empat!"   Semua orang tertawa dan Bromatmojo lalu mengeluh, "Wah, kalau begini tidak ada gunanya lagi menyamar! Untungnya menyamar pria belum ada, dan ruginya sudah jelas sekali, pertama : Diajeng Roro Kartiko tergila-gila kepadaku dan banyak lagi wanita lain yang tertarik," dia mengerling ke arah sekelompok wanita anggauta Sriti Kencana dan Ayu Kunti menjadi merah mukanya, "dan ke dua..." Dia tidak melanjutkan, wajahnya berubah merah dan sinar matanya kelihatan lesu.   Roro Kartiko berbisik, "... adi dia belum tahu?" Bromatmojo menggeleng. Hanya mereka berdua saja yang mengerti apa artinya tanya jawab terakhir ini.   "Mbakayu... eh, Kakangmas Bromatmojo, aku ingin sekali melihat engkau kalau berpakaian wanita. Mari kupinjami pakaianku..." Roro Kartiko memaksa-maksa dan untuk menghibur hati gadis yang "patah hati" karena cinta yang salah alamat itu, Sulastri mau saja berganti pakaian wanita dan dibantu oleh Roro Kartiko dia menyanggul rambutnya.   Setelah selesai, Roro Kartiko bertepuk tangan memuji. "Bukan main! Engkau... engkau cantik sekali!" serunya.   Ibunya mengangguk-angguk. "Memang manis dan kewes, gagah dan luwes, seperti Srikandi!"   Joko Handoko yang dipanggil oleh adiknya dan datang mendekat, memandang kepada Sulastri dengan melongo ketika adiknya memperkenalkan. Dia sendiri terkejut dan kagum melihat bahwa Bromatmojo sesungguhnya adalah seorang gadis yang demikian cantik jelita dan manisnya! Dia hanya mengangguk kaku, kemudian duduk di atas rumput dan mulai membuat api unggun dengan umpan daun-daun dan kayu kering yang tadi dikumpulkan oleh para anggauta Sriti Kencana. Senja telah larut dan cuaca makin suram, bahkan kegelapan mulai menyusup di antara cabang-cabang pohon. Api unggun yang kini bernyala besar itu amat berguna bagi mereka. Pertama untuk memberi cahaya penerangan, ke dua untuk menghangatkan badan melawan hawa dingin yang mulai menyusup datang, dan ke tiga untuk mengusir nyamuk dan menakut-nakuti binatang buas yang mungkin datang mengganggu.   Setelah mereka makan dari perbekalan dan ibu kedua orang kakak beradik itu mengaso sambil rebahan di bawah pohon, dijaga dan ditemani oleh tujuh orang anggauta Sriti Kencana yang sebagian lagi melakukan penjagaan di empat penjuru, tiga orang muda itu bercakap-cakap di dekat api unggun.   "Diajeng... eh, sungguh canggung menyebutmu Dimas Bromatmojo dalam pakaian seperti sekarang ini," kata Joko Handoko yang sudah mulai dapat melenyapkan rasa gugup dan malunya. "Bolehkah kami mengetahui nama aslimu?"   "Namaku Sulastri, dan karena aku mulai menyamar pria ketika turun dari Gunung Bromo tempat pertapaan Eyang Empu, maka aku menggunakan nama Bromatmojo," jawab Sulatri.   "Diajeng Sulastri, sungguh untung sekali kami bertemu denganmu. Akan tetapi, mengapa bisa begini kebetulan? Andika sedang hendak pergi ke manakah dan datang dari mana?" tanya Joko Handoko.   "Aku pulang dari Pegunungan Pandan, mencari Guruku," jawab gadis itu.   "Bukankah Gurumu Empu Supamandrangi di Bromo?" Roro Kartiko bertanya.   "Itu adalah Guruku yang ke dua. Atau katakanlah Guru ke tiga. Guruku yang pertama adalah mendiang Adipati Ronggo Lawe yang belum pernah sempat mendidikku, dan Guruku kedualah yang kucari di Pegunungan Pandan itu. Dia adalah yang terkenal dengan nama Ki Jembros."   "Ki Jembros? Ah, yang juga terkenal dinamakan Setan Jembros?"   "Kau tahu di mana dia, Kakangmas Joko?" Sulastri bertanya penuh harapan ketika mendengar bahwa pemuda itu mengenal nama Gurunya.   Joko Handoko mengangguk dan menunduk, jawabannya datar, "Ketika Senopati Lembu Sora memberontak kira-kira empat tahun yang lalu, dibantu oleh Raden Gajah Biru dan Juru Demung..."   "Ya, kedua orang Paman itulah yang ketika itu berada di Pegunungan Pandan bersama teman-teman mereka!" Sulastri berkata girang. "Dan Guruku tinggal beristirahat bersama mereka."   "Mereka menyerbu ke Mojopahit dibantu oleh Ki Jembros dan mereka semua telah tewas..."   "Eyang Jembros...?"   "Menurut cerita, Ki Jembros yang terakhir tewas dikeroyok oleh Resi Mahapati, Resi Harimurti dan Empu Tungjungpetak yang juga tewas oleh Ki Jembros."   "Eyang...!!" Sulastri menjerit dan menangislah gadis ini dengan sedih. Kakak beradik itu membiarkan Sulastri menangis. Terasa perih hati Sulastri mendengar gurunya itu tewas. Teringatlah dia akan semua kebaikan Ki Jembros kepadanya dan makin terasalah kesunyian menyusup hatinya, teringat akan nasibnya yang terpaksa harus berpisah dari Sutejo sebagai musuh!   Orang-orang yang menangisi orang mati selalu terdorong oleh perasaan iba diri, oleh perasaan kasihan kepada dirinya sendiri yang merasa ditinggalkan, merasa kehilangan dan sebagainya. Sama sekali bukan menangis karena kasihan kepada Si Mati, karena kita yang tidak tahu apa jadinya sesudah mati, bagaimana bisa menaruh kasihan kepada orang mati? Yang jelas, kita menangis dan berkabung karena merasa kasihan kepada diri kita sendiri yang ditinggal oleh Si Mati. Akan tetapi sayang, jarang yang ingat akan kebenaran ini sehingga banyak air mata terbuang sia-sia, banyak kedukaan diderita tanpa ada gunanya dan banyak kepalsuan dipamerkan tanpa disadari.   Sulastri adalah seorang dara yang masih polos dan wajar. Hanya sebentar saja rasa duka mencekam hatinya karena tak lama kemudian dia sudah dapat mengatasinya, termenung sejenak kemudian berkata sambil melihat pakaian yang dipakainya,"Untung aku sudah menjadi wanita, kalau masih menjadi pria tentu akan sukar untuk menangis sepuasnya. Kalau menangis tentu akan ketahuan juga!" Dia tersenyum dengan pipi masih basah air mata!   Roro Kartiko tersenyum dan menggoda, "Aih, engkau ini sungguh seorang yang aneh luar biasa! Belum juga berhenti tangisnya sudah tertawa!"   "Lebih enak begini, tidak menahan-nahan perasaan seperti kalau menjadi pria," jawab Sulastri. "Kalau begini, mau menangis, mau tertawa, menurut sekehendak hatiku."   Joko Handoko juga memandang heran, lalu cepat mengalihkan pandang matanya ketika gadis itu memandang kepadanya, takut kalau disangka memandang tak pernah berhenti. Seorang gadis yang hebat, pikirnya, demikian sakti, demikian lincah gembira, dan wataknya polos, aneh dan amat menarik hati!   Memang tangis kadang-kadang merupakan jalan keluar untuk peluapan duka dan setelah orang menangis menumpahkan semua perasaan duka, pikiran menjadi kosong, hati menjadi lega dan orang lalu condong untuk mudah tertawa dan mudah gembira! Sebaliknya, orang yang terlalu gembira, tertawa-tawa sampai keluar air matanya! Kiranya jelas bahwa ada hubungan yang amat dekat, bahkan erat antara tawa dan tangis. Betapa besar manfaatnya bagi hidup kalau kita menyadari kenyataan ini setiap saat.   Semenjak Adipati Ronggo Lawe gugur ketika berperang melawan Mojopahit, memang sudah ada rasa tidak senang dalam hati Sulastri terhadap Mojopahit, apalagi karena Reksosuro dan Darumuko adalah orang-orang Mojopahit. Ketika dia ikut bersama Ki Jembros dan bertemu dengan Gajah Biru dan Juru Demung, kembali dia mendengar tentang ketidakadilan di Mojopahit sehingga orang-orang itu memberontak. Biarpun semua perasaan kurang senang terhadap Mojopahit ini dibikin mereda oleh nasihat-nasihat Empu Supamandrangi dan oleh pesan Eyang Gurunya itu untuk menyerahkan Kolonadah kepada Pangeran Mahkota di Mojopahit, namun kenyataannya sekarang membuat rasa tidak senang itu timbul kembali. Tewasnya Ki Jembros, kakek yang disayangnya itu pun oleh orang-orang Mojopahit, dan lebih lagi, Sutejo telah terbujuk oleh Mahapati pula.   Maka terdapat kecocokan antara dia dan kakak beradik itu yang mendendam kepada para ponggawa di Mojopahit. "Sang Prabu yang sudah amat sepuh itu ternyata kurang bijaksana dan lemah," demikian antara lain Joko Handoko berkata ketika mereka bertiga mengadakan perundingan di sekeliling api unggun itu. "Dengan adanya isteri beliau dari Melayu itu, maka terpecahlah para senopatinya dan banyak senopati yang semenjak dahulu setia kepada Beliau, kini merasa kurang senang. Apalagi setelah Pangeran Kolo Gemet diangkat sebagai Pangeran Pati. Pangeran itu bukanlah keturunan dari Sang Prabu Kertanegara, padahal sebagian besar dari para Senopati Sepuh adalah para pengikut Sang Prabu Kertanegara yang tentu saja ingin melihat keturunan Sang Prabu Kertanegara memegang tampuk Kerajaan Mojopahit. Keadaan di kota raja sudah panas sejak dahulu, secara diam-diam telah terjadi perpecahan di antara para senopati. Mereka itu hanya karena rasa sayangnya kepada Sang Prabu, maka masih menyimpan rasa tidak senangnya itu."   "Dalam keadaan seperti itu tentu muncul orang-orang yang mementingkan diri pribadi, orang-orang yang menyeleweng seperti Resi Mahapati dan... dan... mendiang Ayah," kata pula Roro Kartiko.   Sulastri memegang tangan dara itu. "Sudahlah, jangan menyebut lagi nama Ayahmu yang sudah tidak ada. Tentang Resi Mahapati, memang aku menduga bahwa dia adalah orang yang tidak baik. Sayang sekali bahwa kakak dari Kakang Sutejo telah menjadi selirnya, bahkan sekarang Kakang Sutejo terbujuk dan membantunya. Mahapati adalah pembunuh guruku Eyang Jembros, maka aku harus dapat membalasnya kelak."   Joko Handoko memandangnya dengan penuh selidik. "Harap kau hati-hati, Diajeng Sulastri. Mahapati itu adalah seorang yang memiliki kesaktian tinggi, apalagi setelah ternyata Sutejo adalah Adik iparnya. Aku tahu Sutejo memilki kepandaian yang hebat pula. Dan di Mojopahit terdapat banyak orang-orang sakti, bahkan Guru kami, Resi Harimurti, juga menjadi pembantu Mahapati. Engkau hendaknya jangan sembrono untuk menyerbu ke sana."   Sulastri menggeleng kepala. "Tidak, aku pun tidak sebodoh itu, Kakangmas Joko. Aku akan menanti saat yang baik dan tepat, dan sekarang yang penting bagiku adalah mencari pusaka Kolonadah yang hilang."   "Menurut pendapatku, pusaka itu tentu telah dibawa oleh Ki Ageng Palandongan."   Sulastri mengangguk-angguk. "Kurasa pun begitulah. Eyang Empu memesan kepadaku untuk menyerahkan pusaka itu kepada Pangeran Pati. Akan tetapi melihat perkembangan keadaan, aku sendiripun merasa tidak cocok kalau Mojopahit dipegang oleh bukan keturunan mendiang Sang Prabu Kertanegara. Aku berfihak kepada mendiang Guruku Adipati Ronggo Lawe dan para pemberontak lain. Oleh karena itu, mengingat bahwa pusaka Kolonadah tadinya adalah milik Adipati Ronggo Lawe, maka aku akan menyelidiki apakah benar kini terjatuh ke tangan Ki Ageng Palandongan. Kalau benar demikian, aku hanya akan mengajak Ki Ageng Palandongan untuk berunding, kepada siapa sebaiknya pusaka itu diserahkan, karena beliau adalah mertua Adipati Ronggo Lawe."   Kakak beradik itu mengangguk-angguk. "Pendapatmu itu bijaksana, mbakayu Sulastri," kata Roro Kartiko.   "Menurut perhitunganku, tentu Ki Ageng Palandongan melarikan diri ke Lumajang karena semenjak gugurnya Adipati Ronggo Lawe, dia pun boyongan ke sana dan tentu berlindung di bawah kekuasaan Adipati Wirorojo, dan memang semua sisa anak buah Adipati Ronggo Lawe dan Senopati Lembu Sora juga berkumpul di Lumajang."   "Aku memang hendak menyusul ke sana."   "Kami pun bermaksud hendak ke sana, Diajeng Sulastri. Kami rasa, hanya di Lumajang sajalah tempat paling aman bagi kami sekarang ini," kata Joko Handoko.   "Ah, kalau begitu, sungguh kebetulan. Kita dapat melakukan perjalanan bersama ke Lumajang!"   "Tidak ada hal yang lebih baik daripada itu!" Roro Kartiko berseru sambil memegang tangan Sulastri.   Jilid 46   "Akan tetapi aku akan menyamar sebagai pria lagi, Diajeng, dan jangan lupa, kau harus menyebutku Kakangmas Bromatmojo, pria yang kau cinta..."   "Hushhh!" Roro Kartiko mencubit lengan Sulastri keras sekali sampai Sulastri menjerit-jerit minta ampun baru dilepaskan.   Ke manakah perginya Ki Ageng Palandongan? Memang tepat dugaan semua orang bahwa Ki Ageng Palandongan melarikan diri dari Tuban, langsung menuju ke Lumajang dengan mengambil jalan memutar ke selatan dan menjauhi Kota Raja Majapahit. Keris pusaka Kolonadah yang dahulu dimiliki mendiang mantunya itu masih terbungkus kain kuning dan disembunyikan di bawah jubahnya, terselip dan diikat pada pinggangnya dengan kuat. Dia berjanji di dalam hatinya untuk melindungi keris pusaka itu dengan seluruh jiwa raganya. Dia mengerti bahwa banyak orang menghendaki keris pusaka yang merupakan keris pegangan raja itu. Tentu Sang Prabu di Mojopahit sendiri menghendakinya, untuk diserahkan kepada Putera Mahkota kelak, dan juga Mahapati menghendakinya melalui Progodigdoyo. Belum lagi golongan-golongan lain, adipati-adipati dan raja-raja kecil yang sudah mendengar tentang pusaka itu. Maka dia harus menjaganya dengan hati-hati sekali dan menyerahkan kepada Adipati Wirorojo, besannya yang kini menjadi Adipati Lumajang dengan kekusaan besar dan telah berdiri sendiri itu. Terserah nanti kepada keputusan Sang Adipati hendak dikemanakan keris itu.   Ki Ageng Palandongan jalan menyusup-nyusup hutan melalui pegunungan kidul, sengaja mencari jalan yang sunyi. Pada suatu pagi, jauh sekali di daerah selatan dari wilayah Mojopahit yang hampir tak pernah tersentuh kekuasaan Mojopahit karena terpencil, Ki Ageng Palandongan berjalan perlahan melalui sebuah dusun yang rakyatnya hidup sederhana dan serba kekurangan karena memang daerah selatan ini merupakan daerah yang kurang subur tanahnya, penuh dengan bukit-bukit gamping.   Selagi dia berjalan seenaknya karena kedua kakinya sudah terasa lelah, dia mendengar suara suling di sebelah depan. Suara suling yang amat merdu dan mendengar jenis lagunya, dia merasa curiga karena agaknya bukan orang dusun yang meniup suling itu. Lagu dusun amat sederhana, akan tetapi gending yang dimainkan suling itu mempunyai banyak cengkok dan kembangan dan lagu seperti itu hanya dapat dimainkan oleh orang kota yang mengerti tentang seni suara! Maka dia bersikap hati-hati, mengancingkan kembali kancing jubah paling atas biarpun hawanya amat panas. Kemudian dia melanjutkan langkahnya kini lebih cepat daripada tadi, menuju ke timur, ke arah suara suling itu. Jalan kecil ke arah timur hanya sebuah saja, maka dia tidak dapat menggunakan jalan lain dan terpaksa melanjutkan perjalanannya melalui jalan itu. Betapapun juga, agaknya kecurigaannya tidak berdasar, karena daerah ini sudah jauh sekali dari Kota Raja Mojopahit dan lebih jauh lagi dari Tuban. Siapa yang akan mengenalnya di tempat asing ini? Bahkan dia sendiri baru pertama kali ini melalui daerah ini! Hatinya tenang dan dari jauh dia sudah melihat bahwa yang meniup suling itu adalah seorang laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, meniup sebatang suling yang berwarna hitam sambil duduk di atas galengan sawah di tepi jalan itu. Laki-laki itu kelihatannya berpakaian sederhana saja, dengan ikat kepala hitam, seperti pakaian seorang petani, akan tetapi Ki Ageng Palandongan tahu bahwa orang itu bukan petani. Biarpun orang itu kelihatan asyik meniup suling, namun ada beberapa kali matanya yang seperti terpejam itu terbuka dan memandang ke arah dia. Namun Ki Ageng Palandongan tidak perduli, seolah-olah tidak mendengar orang itu meniup suling dengan indahnya. Padahal, andaikata dia tidak sedang membawa pusaka Kolonadah, ingin dia berhenti mendengarkan tiupan suling itu dan sekedar omong-omong dengan peniup suling yang amat pandai itu.   Setelah dia berjalan cepat kurang lebih dua ratus langkah, tiba-tiba suara suling itu terhenti. Dia menoleh dan ternyata orang itu telah lenyap dari atas galengan sawah tadi. Padahal tempat itu terbuka. Ke mana perginya? Tak mungkin demikian cepatnya lenyap kalau hanya berlari biasa! Dia merasa curiga sekali, jantungnya berdebar bukan karena takut, melainkan karena tegang, merasa bahwa tentu akan ada sesuatu yang terjadi. Ki Ageng Palandongan adalah seorang kakek yang gagah perkasa, sudah biasa menghadapi kekerasan dalam peperangan, maka tentu saja dia tidak gentar menghadapi bahaya bagi dirinya. Hanya karena dia membawa Kolonadah, maka dia merasa tegang sekali.   Akan tetapi tidak terjadi sesuatu. Hatinya lega ketika dia sudah meninggalkan dusun itu. Di depan terdapat pohon trembesi yang besar, penuh dengan bunga dan dari jauh daun-daun kecil yang rontok tertiup angin nampak seperti hujan saja. Memang daun pohon trembesi selalu rontok tertiup angin. Akan tetapi bukan pohon itu yang menarik perhatian Ki Ageng Palandongan, melainkan seorang laki-laki yang duduk di bawah pohon itu. Sesaat jantungnya seperti berhenti berdetik karena dia menyangka bahwa Si Peniup Suling tadi yang duduk di depan itu. Kalau benar demikian betapa anehnya. Akan tetapi hanya usianya saja yang s.a dan ikat kepalanya yang sama hitamnya. Akan tetapi orangnya jauh berbeda. Peniup suling tadi bertubuh jangkung, nampak kakinya yang panjang ketika duduk di galengan sawah dan mukanya bulat telur dengan kulit agak kuning, akan tetapi orang yang duduk di bawah pohon trembesi ini mukanya hampir persegi, telinganya lebar dan matanya lebar, kulitnya hitam sekali. Akan tetapi orang itu ramah, dari jauh sudah menyeringai ramah ke arah Ki Ageng Palandongan. Ternyata orang itu sedang menyiapkan kinang dan ketika Ki Ageng Palandongan sudah datang dekat, dia berkata dengan suaranya yang besar parau namun ramah,"Hari amat panas, Kisanak, silakan duduk istirahat sambil menikmati sekapur sirih!"   Melihat keramahan seperti itu, biasanya tentu Ki Ageng Palandongan akan menyambut dengan gembira. Akan menyenangkanlah duduk mengaso di situ, makan sirih dan mengobrol dengan orang yang ramah ini. Akan tetapi sekali ini dia mengeraskan hati, tersenyum dan berkata, "Terima kasih, Kisanak, saya mempunyai urusan penting dan tidak ada waktu. Lain kali saja!" Dan dia melanjutkan langkahnya dengan cepat. Seperti ada isarat tertentu, kurang lebih dua ratus langkah kemudian dia menoleh dan jantungnya makin berdebar. Orang ramah itu telah lenyap pula! Sama anehnya dengan Si Peniup Suling tadi!   Ki Ageng Palandongan melanjutkan perjalanannya hampir lari. Dan tiba-tiba saja terdengar orang membentak nyaring, "Perlahan dulu, Ki Ageng Palandongan!"   Ki Ageng Palandongan yang sudah tegang hatinya itu terperanjat dan menoleh ke kiri. Dari balik serumpun pohon muncullah seorang kakek yang kelihatan tegap dan gagah biarpun usianya sudah enam puluh tahun lebih, kumis dan jenggotnya masih hitam dan terpelihara baik, matanya tajam dan tangan kirinya memegang sebatang kipas bambu bundar yang dikebut-kebutkannya untuk mengipasi lehernya.   Ki Ageng Palandongan memandang penuh selidik, akan tetapi dia tidak mengenal kakek yang sudah tahu namanya itu. Dia adalah seorang gagah. Memang benar bahwa dia melakukan perjalanan melalui tempat-tempat sunyi agar jangan sampai bertemu dengan tokoh-tokoh Tuban dan Mojopahit, akan tetapi dia bukan seorang pengecut yang tidak berani mengakui namanya.   "Andika siapakah? Dan ada keperluan apa kiranya Andika menghentikan saya?" dia bertanya, sikapnya tenang namun penuh kewaspadaan.   "Ha-ha-ha, Ki Ageng Palandongan, susah payah aku sengaja mencari dan mengejarmu. Sudah kuduga bahwa engkau tentu akan mengambil jalan ini, ha-ha-ha. Resi Harimurti tidak pernah keliru dalam perhitungannya!" Kakek itu mengipasi dadanya dan sikapnya jumawa sekali.   Ki Ageng Palandongan terkejut sekali, akan tetapi tidak diperlihatkan pada wajahnya. Dia memang belum pernah bertemu dengan Resi Harimurti, akan tetapi sudah mendengar nama prtapa ini sebagai sahabat dan pembantu Resi Mahapati yang kabarnya memiliki kesaktian hebat sekali. Maka dia dapat menduga bahwa tentu munculnya Resi ini adalah atas perintah Resi Mahapati. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan berkata,"Ah, kiranya Andika adalah Sang Resi Mahapati yang namanya sudah terkenal sekali itu. Saudara Resi jauh-jauh Andika mengejar dan menyusul saya, ada keperluan apakah?"   Wajah yang tadinya tertawa-tawa itu tiba-tiba saja berubah menjadi garang dan kipasnya berhenti bergerak, mulutnya membentak nyaring,"Ki Ageng Palandongan, serahkan Kolonadah, baru aku mengampuni nyawamu!"   Ki Ageng Palandongan tidak kaget mendengar ini karena dia sudah menduga bahwa Resi ini tentu menghendaki Kolonadah. Dan dia pun tidak perlu lagi menyembunyikan diri.   "Resi Harimurti, memang benar aku yang membawa pusaka Kolonadah. Akan tetapi ketahuilah, pusaka ini adalah milik mendiang mantuku Ronggo Lawe, maka aku berhak melindunginya."   "Ha-ha-ha, pandai kau bicara, Ki Ageng Palandongan! Setelah engkau membunuh Empu Singkir dan dua orang cantriknya dengan keji!"   "Tidak perlu memutarbalikkan kenyataan, Resi Harimurti. Memang aku telah membunuh mereka, akan tetapi hal itu hanya merupakan pembelaan diri belaka karena sesungguhnya merekalah yang hendak meracuniku dan merampas pusaka Kolonadah."   "Tak perlu banyak cerewet! Berikanlah Kolonadah atau harus kubunuh dulu kau?"   "Resi Harimurti, siapapun juga tanpa kehendakku hanya akan dapat mengambil pusaka Kolonadah dari atas mayatku!   "Babo-babo keparat, besar mulutmu, nyaring suaramu seolah-olah engkau dapat menumbangkan gunung menyurutkan air lautan!" Resi Harimurti membentak dan dia pun segera menyerang dengan kipasnya yang ampuh. Angin sambaran kipas seperti badai menyambar muka Ki Ageng Palandongan. Kakek ini cepat mengelak dan dia sudah menduga bahwa di dalam angin itu tentu menyambar pukulan maut. Benar saja, tangan kanan Resi Harimurti menyambar ke arah kepalanya dengan tamparan maut yang amat kuat. Ki Ageng Palandongan cepat menangkis dengan tangan kirinya.   "Desss...!!" Ki Ageng Palandongan mengeluh pendek dan tubuhnya terjengkang dan terbanting. Resi Harimurti tertawa bergelak karena jelas bahwa dia menang kuat dalam penggunaan tenaga sakti. Namun Ki Ageng Palandongan cukup sigap karena biarpun dia terpelanting, dia ternyata sudah dapat meloncat bangkit kembali dan kini ikat kepalanya yang hitam telah berada di tangan kanannya. Dia maklum akan kedigdayaan lawan, maka dia tidak membuang waktu lagi segera melolos ikat kepalanya karena itulah senjatanya yang paling ampuh.   Kipas sudah menyambar lagi, kini lebih ganas diikuti oleh tamparan dari bawah oleh tangan kanan yang bersembunyi dari balik kipas dan sambarannya pun ditutupi oleh angin sambaran kipas. Ki Ageng Palandongan sudah siap, maka ketika kipas menyambar, dia menggerakkan ikat kepalanya itu. Gulungan sinar hitam berkelebat dan menyambut tamparan tangan kanan Resi Harimurti.   "Brakkk... plakkk!" Kini Resi Harimurti juga terhuyung biarpun Ki Ageng Palandongan juga terdorong ke belakang dan merasa betapa tangan kanannya panas sekali. Resi Harimurti kaget dan marah melihat kipasnya agak rusak pinggirnya. Kiranya ikat kepala kain hitam itu merupakan senjata yang ampuh!   "Tar-tar-tarrrr...!" Cambuk yang sudah dicabut dari pinggang itu kini meledak-ledak di udara. Pecut sapi panjang itu memang hebat, tentu saja jauh lebih hebat daripada senjata kipas yang pendek. Dan Resi Harimurti memang mahir mempermainkan pecut itu karena memang ketika dia masih kecil, dia bekerja sebagai penggembala sapi dan sejak kecil dia sudah biasa bermain-main dengan pecut.   Dengan mengeluarkan suara meledak-ledak nyaring, ujung pecut itu kini menyambar ke arah kepala Ki Ageng Palandongan. Kakek ini mengelak dan berusaha menangkis dengan ikat kepalanya untuk membikin patah ujung pecut, akan tetapi sebelum tertangkis, pecut itu sudah mengelak dan menyambar lagi, seperti seekor ular hidup saja. Diserang seperti itu, akhirnya pundak dan punggung Ki Ageng Palandongan terkena lecutan cambuk sehingga bajunya robek dan kulitnya pecah. Kekebalannya tidak mempan ketika terkena lecutan cambuk yang digerakkan oleh tenaga sakti yang amat kuat itu.   Ki Ageng Palandongan melawan dengan mati-matian dan nekat. Namun kini dia kena dihajar oleh Resi Harimurti yang ternyata memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada lawan. Pakaian Ki Ageng Palandongan sudah robek-robek dan berdarah, dan ketika dia menggerakkan ikat kepalanya dengan nekat untuk balas menyerang tanpa memperdulikan ujung cambuk yang seperti hidup itu, tiba-tiba ujung pecut menyambar ke bawah, menyambut ikat kepala dan membelit seperti ekor ular. Ki Ageng Palandongan terkejut, berusaha menarik ikat kepalanya, akan tetapi pada saat itu, kipas di tangan kiri Resi Harimurti sudah menyambar ganas.   "Plakkk!!" Hebat sekali pukulan itu yang mengenai Ki Ageng Palandongan. Kakek ini tidak dapat mengeluarkan suara lagi, tubuhnya berputaran, ikat kepalanya terlepas dan akhirnya dia roboh ke atas tanah dan rebah miring, tak berkutik lagi dengan muka pucat dan dari mulutnya mengalir darah merah!   Resi Harimurti tersenyum, akan tetapi dengan tergesa-tesa dia cepat menggerayangi pinggang Ki Ageng Palandongan. Dengan seruan girang dia mengambil keris pusaka Kolonadah yang terbungkus kain kuning itu. Dibukanya bungkusan itu dan sekali pandang saja tahulah dia bahwa itu adalah pusaka yang dicari. Dia bergidik melihat sinar pusaka itu, dibungkusnya kembali lalu diselipkan di ikat pinggangnya, tertutup jubah dan diikatnya kuat-kuat di pinggangnya. Sekali lagi dia menoleh kepada Ki Ageng Palandongan yang diduganya tentu sudah tewas oleh pukulan kipasnya pada tengkuk tadi, maka karena maklum akan bahayanya membawa pusaka yang diperebutkan itu, dia cepat melarikan diri ke utara.   Ketika dia tiba di dalam hutan di depan, tiba-tiba terdengar suara suling di sebelah depan. Resi Harimurti terkejut dan heran, memandang ke kanan kiri penuh curiga dan mengancingkan jubahnya untuk menyembunyikan pusaka Kolonadah. Ketika dia hendak membalik, tiba-tiba di belakangnya ada suara orang tertawa dan tampak olehnya seorang laki-laki setengah tua meludah-ludahkan ludah sirih yang merah seperti darah dari mulutnya. Dia membalik lagi dan kini dia melihat seorang setengah tua yang lain lagi berdiri di depannya, membawa sebatang suling!   "Hemm, kalian siapakah berani menghadang perjalannku?" Resi Harimurti membentak dan berdiri tegak sambil membalikkan tubuhnya sehingga dia menghadapi dua orang itu yang tadi datang dari depan dan belakang menjadi berada di kanan kirinya dan kedua tangannya sudah siap memegang kipas dan pecutnya.   "Tidak perlu tahu kami siapa, Sang Resi. Berikan saja Kolonadah kepada kami!" kata yang memegang suling.   "Keparat! Jadi kalian adalah perampok-perampok!" bentak Resi Harimurti marah sambil meledakkan pecutnya di atas kepalanya. "Tar-tarr!"   "Ha-ha-ha, kawan. Kalau kami perampok, Andika adalah begal (perampok), jadi kita sama-sama, tidak ada bedanya, ha-ha!" kata orang yang mukanya hitam dan bibirnya merah berlepotan ludah kinang itu dan kini tangan kanannya telah memegang sebatang keris.   Diejek seperti itu, Resi Harimurti menjadi makin marah. Ejekan itu menandakan bahwa dua orang ini tadi telah melihat dia membunuh Ki Ageng Palandongan dan merampas keris, maka dia tidak mau merahasiakannya lagi. "Jadi kalian merasa iri atas kematian Ki Ageng Palandongan? Nah, majulah, biar kukirim kalian ke neraka!"   Dua orang itu menerjang dari kanan dan kiri. Agaknya mereka sudah maklum akan kesaktian Resi ini maka begitu menyerang mereka telah maju berbareng. Dan ternyata mereka memiliki gerakan yang amat cepat, jauh lebih cepat daripada gerakan Ki Ageng Palandongan tadi. Si Muka Kuning memainkan sulingnya yang berwarna hitam dan terbuat dari baja itu, sedangkan Si Muka Hitam menusukkan kerisnya dengan cepat dan kuat.   Namun Resi Harimurti cepat mengelebatkan pecutnya yang meledak-ledak dan mengibaskan kipasnya dan dua serangan itu tertangkis dan terpental. Dua orang itu terkejut, maklum bahwa Sang Resi ini benar-benar amat sakti dan kuat. Maka mereka lalu menyerang dengan hati-hati dan saling melindungi, kalau yang satu menyerang yang lain melindungi dan mereka dapat bekerja sama dengan baiknya. Resi Harimurti bergerak cepat dan berusaha merobohkan mereka, akan tetapi dengan kerja sama yang baik itu, selalu serangannya dapat ditangkis atau dielakkan, sungguh pun semua serangan dua orang lawan itu juga dapat dia hindarkan dengan baik.   Sebetulnya, kalau mereka itu maju satu demi satu, mereka bukanlah lawan Resi Harimurti. Baik dalam kekuatan tenaga sakti, mau pun dalam permainan senjata dan kecepatan gerak, mereka itu kalah jauh. Namun karena mereka berdua mampu bekerja sama dengan baik sehingga mereka itu seolah-olah merupakan satu lawan yang bertangan empat dan dapat pindah ke kanan dan ke kiri, Resi Harimurti menjadi repot juga dan dua orang itu mampu mengimbanginya.   Makin lama pertempuran berjalan makin seru, akan tetapi kedua fihak berlaku hati-hati sehingga sekian lamanya belum juga ada yang terkena senjata. Dua orang sekawan itu sudah mulai berkeringat dan napas mereka agak terengah-engah, sedangkan Resi Harimurti masih tetap segar saja. Hal ini membuat mereka merasa khawatir. Tahulah mereka bahwa mereka tidak akan mampu mengalahkan resi ini, dan celakanya, Kolonadah disimpan demikian rapatnya sampai tidak kelihatan. Kalau Kolonadah kelihatan, mungkin mereka dapat menggunakan akal untuk merampasnya. Akan tetapi keris pusaka itu disimpan di balik jubah dan tidak nampak, sedangkan pecut itu panjang sekali sehingga tidak memungkinkan mereka mendekati Sang Resi.   "Mundur...!" Tiba-tiba Si Pemegang Suling berseru dan segera dia melompat ke belakang, diikuti oleh Si Muka Hitam dan dengan beberapa loncatan saja lenyaplah mereka di antara pohon-pohon di dalam hutan.   Resi Harimurti berdiri tegak, lalu tertawa bergelak sambil bertolak pinggang. "Ha-ha-ha, belum lecet kulitmu secuwil, belum mengucur darahmu setetes, kalian sudah lari! Huh, pengecut!" Dan dia melanjutkan perjalanannya dan baru sekarang nampak betapa napasnya juga memburu. Cepat dia menarik napas panjang untuk menghilangkan kelelahannya dan dengan berjalan perlahan akhirnya dia dapat juga mengatur pernapasannya dan ketika dia tiba di tengah hutan, keadaannya sudah pulih kembali. Sebetulnya, Sang Resi ini adalah seorang gemblengan yang sudah memiliki kepandaian tinggi dan tenaga sakti yang amat kuat. Akan tetapi, oleh karena dia lemah menghadapi nafsu berahinya sendiri, dan terlampau sering dia melampiaskan nafsu berahinya secara melewati batas, maka daya tahannya berkurang dan kalau tadi dia tidak kelihatan lelah di depan orang lawannya adalah karena dia menggunakan ilmu hitam sehingga dua orang lawan itu melihat dia seolah-olah masih segar, padahal dia sudah mulai loyo dan kalau pengeroyokan itu dilanjutkan terus, keadaan bisa berbahaya juga baginya.   Ternyata hutan di Pegunungan Kidul itu lebat dan panjang juga sehingga menjelang senja barulah dia dapat keluar dari dalam hutan. Dia sengaja mengambil jalan menyusup-nyusup di antara semak-semak untuk memotong jalan dan pedomannya hanyalah matahari yang condong ke barat. Tujuannya adalah ke utara, maka kalau matahari yang condong ke barat itu berada di sebelah kirinya, sudah benarlah arahnya. Hatinya lega ketika dia melihat betapa hutan itu habis di lereng bukit depan.   "Eeiiihhhh...!" Dara itu menjerit dan otomatis tangan kirinya diangkat dan punggung tangan itu menutupi mulutnya dengan mata terbelalak memandang kepada Resi Harimurti. Saking kagetnya barangkali, kemben yang melilit pinggang terus ke dada itu ujungnya terlepas sehingga kainnya melorot turun memperlihatkan kaki dan lereng sepasang bukit yang halus padat dan mulai membusung. Apalagi ketika lengan kiri itu diangkat ke atas, nampak ketiak yang halus bersih menyambung kaki bukit kembar itu. Resi Harimurti tersenyum dan matanya memandang penuh gairah dari atas ke bawah sambil menilai-nilai. Seorang dara dusun yang kelihatannya masih "hijau" usianya tentu tidak lebih dari enam belas tahun, hidup di alam bebas membuatnya cepat matang namun tidak menyadari kematangannya sehingga kelihatan masih "polos". Rambutnya awut-awutan namun membentuk keindahan yang wajar tanpa bantuan minyak, kembang dan sisir. Mukanya bulat telur dan segar kemerahan tanda kesehatan berkat hawa yang bersih dan sinar matahari. Matanya menyinarkan kebodohan yang murni dan mulutnya yang agak terbuka karena keheranan itu memperlihatkan empat buah gigi atas yang kecil dan rapi putih mengkilap. Tubuhnya padat dan nampak berisi karena setiap hari otot-otot itu bergerak untuk bekerja seperti biasanya perawan gunung.   Resi Harimurti menelan air liurnya seperti seorang kelaparan melihat nasi putih mengepul hangat, atau seperti seekor harimau kelaparan melihat kelinci muda yang gemuk. Pikirannya membayang-bayangkan segala kenikmatan nafsu berahi sehingga makin bangkitlah gairahnya.   Nafsu apa pun juga, terutama nafsu berahi, selalu timbul dari pikiran. Kalau seorang pria, tua mau pun muda, yang sehat dan wajar, melihat seorang wanita muda merasa tertarik dan suka, hal itu sudah merupakan suatu kewajaran. Seperti halnya orang akan tertarik melihat sesuatu yang indah dan yang mempunyai daya tarik tersendiri, seperti bunga-bunga, kupu-kupu, pemandangan alam, bulan, dan sebagainya. Apalagi karena secara alamiah memang ada daya tarik pada diri wanita terhadap pria, maka wajarlah kalau seorang pria yang melihat seorang wanita, apalagi yang cantik dan muda, lalu merasa tertarik dan suka dengan apa yang dilihatnya. Akan tetapi, hal ini adalah wajar dan tidak ada jahat atau buruknya, seperti kita melihat bunga, melihat keindahan alam dan sebagainya. Kalau pikiran masuk dan mencampuri peristiwa itu, barulah menjadi rusak keadaannya dan menjadi jahat atau buruk akibatnya. Pikirannya membayangkan semua pengalaman sendiri, atau yang didengar dari lain orang, tentang kenikmatan yang dapat direguk bersama wanita yang dipandangnya itu, dan bersama bayangan-bayangan itu datanglah gairah nafsu berahi! Dan kalau nafsu berahi sudah menguasai batin, segala perbuatan dilakukan dengan membuta, yang ada hanya keinginan untuk menikmati seperti apa yang dibayangkannya itu.   Demikian pula halnya dengan Resi Harimurti orang yang sudah terbiasa membayangkan segala kesenangan duniawi, terutama sekali kesenangan bermain cinta dengan wanita, baik secara suka rela maupun secara paksa seperti yang sudah biasa dilakukannya. Melihat perawan gunung ini, timbullah gairah berahinya.   "Eh, Gendhuk yang manis, cah ayu, kenapa kau menjerit? Sampai kaget aku!" katanya dengan wajah penuh kemarahan.   "Saya yang kaget... saya kira tadinya bukan manusia..." perawan itu berkata dan kini tangan yang menutupi mulut itu turun menekan ke atas sebuah di antara bukit kembar yang sebelah kiri. Gerakan ini membuat jantung Harimurti berdebar karena dia merasa seolah-olah tangannyalah yang menjamah dada itu.   "Bukan manusia, habis kau kira apa, Nini?"   "Saya kira tadinya... celeng yang mau menyeruduk saya!"   "Ha-ha-ha! Celeng (babi hutan)? Kalau ada celeng sebesar dan setua ini, betapa akan alot dagingnya! Ha-ha-ha!"   Gadis itu pun tersenyum sehingga nampak sederet gigi yang putih rata. "Ahh, tadi saya tidak melihat jelas, Kakek..."   "Kakek? Wah, sembarangan saja kau menyebut orang. Aku belumlah begitu tua, cah ayu. Dan aku adalah Resi Harimurti, seorang ponggawa Kerajaan Mojopahit. Dan kau menyebutku Kakek?!"   Dara itu kelihatan terkejut dan matanya terbelalak lebar, mengingatkan Resi Harimurti akan mata seekor kelinci berbulu putih yang manis.   "Ah, kiranya Paduka... bangsawan...?" tanyanya takut-takut.   "Ha-ha-ha, aku priyayi, aku priyayi agung, bangsawan besar yang tinggi pangkatnya, mulia kedudukannya dan kaya raya!"   Perawan dusun itu makin ketakutan dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah. "Harap Paduka mengampuni hamba..." katanya lirih.   "Tentu... tentu...! Siapa bisa marah kepada seorang ayu manis seperti engkau?" Dan Harimurti lalu duduk pula di atas rumput tebal di dekat perawan itu, tangannya langsung mengelus dagu.   "Aihhhh...!" Dara itu menjerit lirih dan mengusap dagunya seolah-olah baru saja terbakar api.   "Aahh, aku priyayi agung dari Mojopahit. Apakah engkau tidak senang melayani aku, cah ayu?"   Dara itu mengangkat muka memandang dengan mata terbelalak, ketika Resi itu mendekatkan mukanya, dia membuang muka dengan ketakutan. "Hamba... hamba takut..., hamba adalah seorang pencari kayu yang kemalaman. Hamba mau pulang... nanti Ayah dan Ibu mencari-cari hamba..., disangkanya hamba di..."   "Diseruduk celeng?" Harimurti menggoda dan gadis itu mau tidak mau tersenyum.   Melihat senyum ini, Harimurti tidak kuat lagi dan seperti seekor harimau buas saja, dia menerkam, memeluk gadis itu dan mencium mulut itu dengan ganas. Gadis itu meronta-ronta, akan tetapi mana mungkin dia melawan tenaga Sang Resi yang amat kuat dan rontaannya itu menambah gairah hati Sang Resi sehingga pelukannya menjadi makin ketat.   "ADUHHH... perut dan dada hamba sakit tertekan itu..." Setelah mulutnya dilepaskan gadis itu terengah-engah dan mengeluh. Baru teringatlah Harimurti bahwa di pinggangnya terdapat banyak macam benda keras. Keris pusaka Kolonadah yang terbungkus kain kuning, gagang pecut dan gagang kipas yang kesemuanya menonjol dan keras. Tentu saja menyakitkan perut dan dada perawan itu.   "Ha-ha-ha, aku sampai lupa membawa senjata-senjata ini!" katanya dengan suara agak gemetar karena nafsu berahinya sudah memuncak setelah dia memeluk tubuh yang mengkal dan menciumi mulut yang lunak itu. Dikeluarkannya tiga macam senjata itu dan dara itu memandang dengan mata terbelalak.   "Barang-barang aneh yang paduka bawa..." katanya lirih dan makin heran di samping rasa takut dan tegang yang membayang di wajahnya.   "Ha-ha-ha, ini adalah pusaka-pusaka ampuh, cah ayu. Lihat... prakk!" Kipas itu digerakkan dan sebuah batu sebesar tangan pecah-pecah!   "Dan ini, lihat betapa hebatnya pecutku!" Dia menggerakkan pecutnya.   "Tarrr... bruukkk... " Sebatang pohon yang dicambuknya tumbang.   Dara itu pucat wajahnya dan memandang dengan mata terbelalak makin lebar. Melihat ini, Harimurti tertawa. "Apalagi ini!" Dia menyingkapkan kain kuning sehingga nampak keris pusaka Kolonadah yang mengeluarkan sinar aneh. "Kalau sekali memasuki perut, akan hancur lebur tubuh orang itu. Maka, kau tahu sekarang bahwa selain priyayi agung, aku pun seorang yang memiliki kesaktian hebat, maka jangan kau menentang kehendakku, manis. Kau layanilah aku, cah ayu." Harimurti perlahan-lahan meletakkan semua senjata di atas rumput di dekatnya, kemudian perlahan-lahan pula dia mulai membuka pakaiannya sendiri, dipandang dengan mata terbelalak oleh perawan itu.   "Ha-ha-ha, jangan kau kira hanya celeng saja yang pandai menyeruduk, aku pun bisa. Lihat!" Dia menerkam lagi dan memeluk gadis itu yang tidak mampu mengeluarkan suara saking takutnya, bahkan tidak lagi meronta ketika Harimurti menarik kain dan kembennya.   Pada saat itu, tiba-tiba nampak dua bayangan berkelebat dan meloncat ke tempat itu dan sekali sambar saja, dua orang itu telah bergerak, yang satu menghantam ke arah Harimurti dengan suling hitam, yang ke dua menyambar bungkusan kuning keris pusaka Kolonadah.   "Wuuuuttt...!" Suling hitam menyambar ke arah kepala Harimurti yang sedang lengah karena diamuk nafsu berahi yang sedang memuncak. Akan tetapi berkat latihan puluhan tahun, dia mendengar suara mereka dan cepat serta otomatis lengannya menangkis sinar hitam yang menyambar ke arah kepalanya.   "Dukkk...!!" Si Penyerang itu mengeluh dan terhuyung ke belakang lalu meloncat pergi menyusul Si Muka Hitam yang sudah melarikan Kolonadah.   "Eh, keparat jahanam!" Resi Harimurti terkejut sekali karena melihat bahwa bungkusan kain kuning telah lenyap dari situ. Cepat dia meloncat bangun, mengenakan kembali pakaiannya sejadi-jadinya kemudian lari mengejar. Gerakannya memang cepat sekali dan kini dia lari sambil mempersiapkan kipas dan cambuk di tangannya.   Karena cepatnya Sang Resi berlari seperti terbang saja, dia sudah berhasil menyusul Si Peniup Suling yang tadi menyerangnya. "Jahanam, hendak lari ke mana kau?" bentaknya dan pecutnya yang panjang itu menyambar sambil mengeluarkan suara ledakan-ledakan kecil.   "Plak-plak-tranggg...!!" Berkali-kali Si Peniup Suling menangkis sampai akhirnya dia terhuyung dan sulingnya hampir terlepas dari tangannya.   "Bukan aku yang mengambil Kolonadah...!" teriak Si Pemegang Suling.   "Heh, Resi cabul! Mau minta kembali Kolonadah? Enaknya, ini dia sudah berada di tanganku!" Terdengar suara di belakangnya. Resi Harimurti yang sedang mendesak Si Pemegang Suling Hitam yang memegang keris dengan tangan kanan itu mengacung-acungkan bungkusan kain kuning di tangan kirinya, dia mengeluarkan suara gerengan dahsyat dan tubuhnya mencelat ke depan, langsung dia menyerang Si Muka Hitam itu dengan pecut dan kipasnya!   "Kembalikan pusaka itu!" bentaknya akan tetapi serangannya lebih cepat daripada bentakannya. Hebat bukan main serangannya itu dan biar pun Si Muka Hitam berhasil menangkis pecut dengan kerisnya dan meloncat mundur untuk mengelak, namun tetap saja hawa dari kipas itu membuat dia terjengkang dan jatuh bergulingan di atas rumput.   "Mampus kau!" Resi Harimurti membentak dan mengejar, akan tetapi tiba-tiba Si Muka Hitam itu mengayun tangan kirinya dan melemparkan bungkusan kuning itu ke kiri.   "Sambut ini...!" teriaknya dan Resi Harimurti cepat menoleh. Ketika dia melihat Si Pemegang Suling menyambut bungkusan kuning itu dan lari, dia marah sekali dan tanpa memperdulikan lagi Si Muka Hitam, dia sudah mencelat dan mengejar Si Pemegang Suling. Dia marah sekali kepada mereka berdua, akan tetapi untuk saat itu, yang terpenting adalah menghalangi mereka melarikan Kolonadah. Setelah dia berhasil merebut kembali Kolonadah, baru dia akan membunuh mereka seorang demi seorang.   Si Pemegang Suling itu lari cepat sekali, akan tetapi Resi Harimurti lebih cepat lagi gerakannya dan sebentar saja dia sudah hampir dapat menyusulnya. Akan tetapi tiba-tiba Si Pemegang Suling melemparkan bungkusan kuning itu ke arah semak-semak sambil berkata, "Sambutlah!"   "Kresekkk...!" Bungkusan kuning itu masuk ke dalam semak-semak tanpa ada yang menyambutnya. Melihat ini, giranglah hati Resi Harimurti dan dia pun cepat menubruk ke semak-semak itu untuk mendahului kalau-kalau ada orang lain yang akan mengambil bungkusan itu.   "Wuuuttt... crott... aduhhh, keparat!" Resi Harimurti masih sempat mengerahkan aji kekebalannya akan tetapi tetap saja keris yang menyambut tubrukannya dari dalam semak-semak itu telah menancap dan melukai pundaknya. Biar pun hanya merobek beberapa senti ke dalam dagingnya, namun cukup panas dan nyeri, akan tetapi lebih nyeri lagi rasa hatinya ketika dia melihat Si Muka Hitam meloncat ke luar dari semak-semak tadi sambil membawa bungkusan kuning Kolonadah! Kiranya mereka itu sengaja mempermainkan! Si Muka Hitam itu telah menanti dalam semak belukar dan menyambut tubrukannya dengan keris ditusukkan. Untung tadi dia masih sempat miringkan tubuh dan mengerahkan aji kekebalan, kalau bukan dia, tentu telah menggeletak dengan keris menembus ulu hati!   "Bedebah!" makinya dan dengan kepala pening saking marahnya dia sudah mengejar Si Muka Hitam yang lari ke atas sebuah lereng. Dia mengejar terus akan tetapi kemarahannya membuat dia terengah-engah. Hatinya girang melihat Si Muka Hitam juga makin lambat larinya dan ketika tiba di tepi jurang, hampir dia dapat menyusulnya.   "Hei, sambut ini, kawan!" teriak Si Muka Hitam sambil melempar bungkusan kain kuning ke bawah jurang!   "Celaka...!" Resi harimurti berseru dan cepat dia menjenguk ke bawah jurang. Dilihatnya dengan girang bahwa bungkusan itu tertahan oleh sebatang pohon yang tumbuh di lereng tebing jurang itu dan tampak dari atas keris pusaka Kolonadah menancap pada batang pohon sedangkan kain kuning itu tersangkut di ranting pohon. Bukan main girang hatinya yang penting adalah keris pusaka Kolonadah lebih dulu, pikirnya dan dengan hati-hati namun cepat dia menggunakan kesaktiannya untuk menuruni tebing yang curam itu. Dengan hanya bergantungan pada akar-akar pohon dan batu-batu karang, akhirnya dapat juga dia tiba di pohon itu, mencabut keris dan membungkusnya kembali cepat-cepat, menyelipkan di pinggang dan menutupkannya dengan jubah, kemudian tergesa-gesa dia kembali ke atas dengan hati lega akan tetapi juga dengan hati panas sekali.   "Sekarang aku akan bunuh kalian anjing-anjing keparat!" dia memaki setelah tiba di atas tebing. Akan tetapi tidak nampak lagi bayangan dua orang yang mempermainkannya itu. Dia berteriak-teriak menantang, memaki-maki dan semua perbendaharaan kata-kata makian terlontar keluar dari mulutnya. Namun tidak ada orang menjawab. Lalu dia teringat kepada perawan itu dan tersenyum. Masih ada obat kekecewaanku, pikirnya dan timbul kembali gairahnya ketika dia teringat kepada perawan tadi. Cepat dia lari ke tepi hutan akan tetapi ternyata dara itu pun telah lenyap. Yang ada hanya seikat kayu yang tadi dibawa oleh perawan itu. Bekasnya pun tidak lagi, entah ke mana menghilangnya. Tentu telah lari pulang ketakutan, pikirnya dengan penuh sesal.   Jilid 47   Sialan! Perawan yang sudah begitu menurut, seumpama domba tinggal menyembelih, seumpama makanan telah dikepal tinggal nyaplok, akhirnya gagal terlepas! Dan pundaknya terluka, nyeri dan panas rasanya. Sialan benar! Keparat dua orang itu, pikirnya. Awas, sekali waktu aku akan mendapatkan kalian dan jangan tanya lagi tentang dosamu! Sambil bersungut-sungut Resi Harimurti mengeluarkan buntalan kain kuning dan membukanya.   "Heiii...!!" Dia terlonjak kaget, sekali lagi memandang penuh ketelitian, kemudian dengan kemarahan meluap dia membanting keris itu. Memang mirip Kolonadah akan tetapi jelas bukan.   "Krakk!" Keris itu patah dua karena dibanting menimpa batu. Kalau Kolonadah, tidak mungkin patah, paling-paling batunya yang akan hancur.   "Bedebah, keparat jahanam!" Dia memaki-maki, mengepal-ngepal tinju, membanting kaki, akan tetapi kepada siapa kemarahannya harus ditimpakan? Dua orang itu sudah lenyap. Akan tetapi, hatinya masih penasaran dan sampai keesokan harinya, Resi Harimurti baru berhenti mencari-cari di sekitar tempat itu. Dua orang laki-laki itu lenyap seperti ditelan bumi, lenyap bersama Kolonadah, dan juga perawan dusun itu lenyap pula. Dan pundaknya makin nyeri karena tidak diobati, malah agak membengkak. Celaka! Sialan!   "Mereka tentu orang-orang Lumajang," pikirnya karena ketika mencari-cari mereka, dia lewat di tempat di mana dia membunuh Ki Ageng Palandongan, akan tetapi mayat kakek itu pun sudah lenyap. Tidak ada jalan lain baginya kecuali pulang ke Mojopahit untuk membuat laporan kepada Resi Mahapati dan berobat.   Ke manakah hilangnya mayat Ki Ageng Palandongan yang mengherankan hati Resi Harimurti? Sesungguhnya, Ki Ageng Palandongan belum mati ketika ditinggalkan oleh Resi Harimurti yang tergesa-gesa karena ingin cepat-cepat membawa pergi keris pusaka Kolonadah. Memang hebat sekali hantaman Resi Harimurti yang mrngenai tengkuk Ki Ageng Palandongan dan membuatnya pingsan itu. Dia terluka di sebelah dalam sehingga muntah darah. Akan tetapi, tubuhnya yang kebal itu masih melindunginya sehingga dia belum tewas. Dan semangatnya yang amat besar dapat membuat dia menahan rasa nyeri yang luar biasa. Sambil setengah merangkak Ki Ageng Palandongan melanjutkan perjalanan setelah dia sadar. Dia tidak boleh mati, pikirnya, tidak boleh mati dulu sebelum menyampaikan berita tentang Kolonadah ke Lumajang! Dan Lumajang tidak begitu jauh lagi.   Dalam keadaan amat sengsara itu, tiba-tiba muncul dua orang perajurit Lumajang yang bertugas menyelidik keadaan tapal batas antara Lumajang dan Mojopahit di sebelah selatan itu. Tentu saja mereka mengenal Ki Ageng Palandongan dan cepat menolongnya.   "Ah, Ki Ageng, apakah yang telah terjadi?" tanya mereka.   Ki Ageng Palandongan tidak berbesar hati melihat dua orang perajurit itu. Mereka ini tidak boleh diandalkan untuk membantunya merampas kembali Kolonadah, karena mereka hanya perajurit biasa yang sama sekali bukanlah tandingan Resi Harimurti. Akan tetapi setidaknya mereka dapat membantunya agar cepat dapat menghadap ke Lumajang.   "Cepat... bawa aku... ke Lumajang..., cepat dan jangan ditunda-tunda..." katanya.   Dua orang itu segera menggotongnya dan cepat pergi dari situ, maka tidaklah aneh kalau Resi Harimurti tidak menemukan "mayat" Ki Ageng Palandongan. Biar pun keadaannya parah, lukanya berat sekali, namun Ki Ageng Palandongan tidak mau berhenti dan mendesak dua orang itu agar bersi cepat membawanya sampai ke Lumajang.   Akhirnya sampai jugalah mereka di Lumajang, akan tetapi keadaan Ki Ageng Palandongan sudah demikian payahnya sehingga dia harus diusung ketika dibawa ke dalam Kadipaten Lumajang.   Pada saat itu, di Kadipaten Lumajang sedang diadakan pertemuan dan perundingan. Yang hadir dalam persidangan itu adalah Adipati Wirorojo sendiri yang didampingi oleh Aryo Pranarojo, beberapa orang bekas senopati Mojopahit yang dahulu membantu Ronggo Lawe dan Lembu Sora dan yang dapat lolos dari kematian dan melarikan diri ke Lumajang, dan di situ hadir pula seorang pemuda yang bertubuh tegap dan pendiam serta wajahnya serius sungguh pun usianya kurang lebih baru tujuh belas tahun. Pemuda ini adalah cucu dari Adipati Wirorojo sendiri, yaitu Kuda Anjampiani atau yang juga disebut Raden Turonggo. Mereka semua memperbincangkan berita kematian Progodigdoyo dan tentang keris pusaka Kolonadah yang kabarnya kini telah muncul dan membuat geger Tuban.   Ketika mendengar berita dari para penjaga bahwa Ki Ageng Palandongan datang dalam keadaan sakit payah, terkejutlah semua orang. Apalagi ketika mereka melihat kakek itu diusung masuk ke persidangan. Semua orang merubungnya dan bertanya-tanya.   Melihat keadaan Ki Ageng Palandongan demikian payah, Adiapati Wirorojo lalu menyuruh mundur semua orang dan memerintahkan pengawal untuk cepat memanggil ahli pengobatan.   "Tak usah... Kakangmas Adipati... dengarkan baik-baik, saya... saya sudah berhasil memperoleh Kolonadah... akan tetapi di jalan... saya dihadang oleh Resi Harimurti... Kolonadah dirampasnya... dan saya... saya..." Napas kakek itu terengah-engah dan sukar sekali dia bernapas.   Mendengar ini, Adipati Wirorojo menjadi merah mukanya. "Di mana dia? Adimas Palandongan, di mana Resi Harimurti kini...?"   "Saya... bertemu di Pegunungan Kidul..." Dengan suara tersendat-sendat, mengap-mengap seperti ikan terdampar di darat, Ki Ageng Palandongan menceritakan sedapat mungkin tentang keris pusaka Kolonadah. Dia tidak dapat bercerita panjang lebar, hanya mengatakan bahwa keris itu sudah ada padanya dan sedang dibawanya dari Tuban ke Lumajang, akan tetapi di Pegunungan Kidul dia dihadang oleh Resi Harimurti, dia dipukul roboh dan keris pusaka dirampas. Dia tidak sempat bercerita tentang Bromatmojo, Empu Singkir dan yang lain-lain.   "Harap... usahakan agar Kolonadah dapat diambil kembali... berbahaya kalau terjatuh ke tangan... orang... orang jahat..." Ki Ageng Palandongan tidak kuat bertahan lagi dan menghembuskan napas terakhir pada saat ahli pengobatan datang. Akan tetapi kakek tua renta yang pandai mengobati ini setelah memeriksanya hanya menarik napas panjang saja.   "Sudah hebat dia dapat bertahan sampai beberapa hari," ujarnya. Jarang ada orang dapat bertahan hidup setelah menerima hantaman yang mendatangkan luka parah di bagian dalam tubuhnya."   Lumajang berkabung dengan kematian Ki Ageng Palandongan. Setelah mengurus pembakaran jenazah sebagaimana mestinya, Adipati Wirorojo lalu mengadakan persidangan dengan para pembantunya yang dipercaya. Juga Aryo Pranarojo ikut pula bersidang dan hal ini memang agak aneh. Aryo Pranarojo adalah ayah Ki Patih Nambi yang kini masih menjadi patih di Mojopahit, namun jelas bahwa dia berpihak kepada Lumajang. Hal ini sebenarnya tidaklah aneh kalau diingat bahwa Aryo Pranarojo adalah seorang hulubalang yang amat setia semenjak Raja Kertanegara. Keadaan dalam istana Mojopahit sekarang tidak menyenangkan hatinya setelah Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana, yaitu Raden Wijaya yang perjuangannya dia bantu bersama-sama dengan Aryo Wirorojo yang kini menjadi Adipati Lumajang, jatuh ke dalam pengaruh isterinya yang dari Negeri Melayu. Kematian-kematian Ronggo Lawe dan Lembu Sora makin menghancurkan hati Aryo Pranarojo maka dia tidak dapat bertahan lagi tinggal di Mojopahit dan pindah ke Lumajang, sungguhpun puteranya masih menjadi patih di sana.   "Sudah jelas bahwa Resi Harimurti adalah kaki tangan mereka yang mengabdi kepada keturunan Puteri Melayu," kata Adipati Wirorojo dalam persidangan itu. "Kalau keris pusaka Kolonadah terjatuh ke tangan Pangeran Pati, sungguh hal itu amat tidak baik. Bagaimanapun juga, kita harus dapat merampas kembali keris pusaka itu. Keris pusaka itu adalah milik anakku Si Ronggo Lawe, siapa pun juga tidak berhak memilikinya dan hanya akulah sebagai ayah Ronggo Lawe, yang berhak memutuskan kepada siapa pusaka itu harus diserahkan."   Semua orang setuju dan agaknya mereka yang sudah merasa tidak senang kepada Mojopahit itu ingin sekali untuk menyusun kekuatan dan menggempur saja Mojopahit.   "Sang Prabu sudah tidak dapat diberi ingat lagi, dan kekuasaan orang-orang Melayu makin mencengkeram Mojopahit. Hal itu tidak boleh dibiarkan saja, Kakang Adipati, dan sebaiknya kita gempur saja Mojopahit dan kita hukum orang-orang yang mendukung kekuasaan Melayu itu! Kita bebaskan Sang Prabu dari cengkeraman mereka dengan kekerasan!" Demikian kata Aryo Semi, seorang senopati yang sangat dekat dengan Lembu Sora dan kini juga berada di Lumajang. Hampir semua orang yang hadir membenarkan dan menyetujui pendapat Aryo Semi ini. Sudah terlampau lama mereka menahan kemarahan semenjak Ronggo Lawe gugur sampai sekarang, sudah hampir sepuluh tahun lamanya.   Adipati Wirorojo mengangkat kedua tangan ke atas memberi isyarat agar semua pembantunya diam. Lalu berkatalah dia dengan suara lantang, sepasang matanya mencorong dan biarpun sudah tua, ternyata Aryo Wirorojo masih mempunyai wibawa yang amat menakutkan sehingga semua orang mendengarkan dengan tekun dan hormat.   "Para sahabat dan kawan seperjuangan, dengarlah baik-baik! Kita semua adalah bekas perajurit-perajurit yang mengabdi kepada Raden Wijaya, bahkan sebelum itu di antara kita yang tua-tua telah mengabdi kepada Sang Prabu Kertanegara! Raden Wijaya yang sekarang telah menjadi raja di Majapahit adalah junjungan kita, benar atau salah! Kita adalah para ponggawanya yang setia. Memang sudah menjadi tugas kita pula untuk selalu mengingatkan Sang Prabu daripada kekeliruan-kekeliruan tindakan, akan tetapi sampai mati pun aku tidak akan memberontak kepada Sang Prabu di Mojopahit! Dengarkah kalian semua? Sampai mati aku tidak akan memberontak terhadap Sang Prabu di Mojopahit dan siapa yang akan memberontak, berarti akan menjadi musuh Wirorojo!"   Hebat bukan main ucapan ini dan semua orang berdiam, menahan napas. Lalu terdengarlah ucapan Aryo Pranarojo, "Apa yang diucapkan oleh Kakangmas Adipati Wirorojo adalah benar dan tepat. Kita bukanlah pengkhianat-pengkhianat yang suka memberontak kalau keinginan kita tidak dipenuhi. Kalian hendaknya ingat ketika mendiang Ronggo Lawe memberontak karena tidak kuat menahan kemarahan hatinya. Bagaimana sikap Kakangmas Adipati Wirorojo? Apakah Beliau membela puteranya? Sama sekali tidak dan hal itu semata-mata membuktikan kesetiaannya yang luar biasa terhadap Sang Prabu. Oleh karena itu, lenyapkanlah semua pikiran hendak memberontak dan menggempur Mojopahit."   "Kalau begitu bagaimana baiknya sekarang? Keris pusaka Kolonadah juga sudah terampas oleh mereka yang mengabdi kepada kekuasaan Melayu," kata Aryo Semi.   Memang keris pusaka itu harus dirampas kembali, akan tetapi harus dilakukan tanpa perang. Dengan demikian maka hal itu merupakan urusan pribadi, bukan urusan kerajaan! Dan untuk mencapai tujuan itu, kita harus menyebar penyelidik yang terdiri dari orang-orang yang memiliki kesaktian karena kita tahu bahwa pihak mereka pun menggunakan orang-orang yang berilmu tinggi seperti Resi Harimurti dan yang lain-lain."   "Bagus, memang semestinya begitulah," kata Aryo Wirorojo. "Akan tetapi ke mana kita harus mencari orang-orang yang sakti?"   "Kita adakan sayembara adu kesaktian untuk memilih mereka!" Tiba-tiba terdengar usul seorang yang hadir. Usul ini diterima baik oleh Adipati Wirorojo yang segera berpaling kepada cucunya, Raden Turonggo.   "Kulup, Turonggo, kuserahkan sayembara ini kepadamu. Engkau adalah seorang pemuda yang sejak kecil telah menerima gemblengan, maka kaulah yang sepatutnya memimpin sayembara ini dan mengatur sebaik-baiknya untuk mengumpulkan sebanyak mungkin orang sakti di seluruh daerah Lumajang. Umumkan kepada rakyat bahwa semua orang boleh mengikuti sayembara tanpa memandang kasta dan keturunan, dan bahwa siapa yang lulus akan diterima menjadi angagauta pasukan pengawal yang istimewa."   Raden Turonggo menyembah. "Baik, Eyang Adipati." Lalu disusunlah panitia untuk penyelenggaraan sayembara itu yang dipimpin sendiri oleh Raden Turonggo, pemuda remaja yang gagah perkasa dan pendiam itu.   Setelah berita sayembara itu disebar luas ke seluruh Lumajang, sampai jauh ke perbatasan dan ke pantai Laut Selatan, sebulan kemudian dimulailah sayembara itu. Lumajang kebanjiran orang-orang muda dan tua yang berdatangan dari segala penjuru untuk mencoba-coba memasuki sayembara itu.   Raden Turonggo yang dibantu oleh banyak ahli-ahli keprajuritan telah mempersiapkan segala-galanya dan dengan cerdik pemuda remaja ini mengatur ujian-ujian bagi mereka yang memasuki sayembara. Karena yang dipilih adalah orang-orang sakti, maka ujian-ujian yang diadakan untuk para calon juga amat berat dan yang kiranya hanya mampu dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar memiliki aji kesaktian.   Pertama, pengikut sayembara harus dapat mengangkat sebongkah batu sebesar kerbau yang beratnya kira-kira hanya akan dapat diangkat oleh enam orang laki-laki biasa saja! Melihat ujian pertama ini saja, sudah sebagian besar orang-orang yang berdatangan itu mundur teratur sebelum melangkah kepada ujian-ujian selanjutnya yang lebih berat.   Ke dua, setelah pengikut sayembara lulus dalam ujian pertama, dia diharuskan menunggang seekor kuda yang liar dan belum jinak, kemudian melarikan kuda itu di atas jalan yang tidak rata sambil membawa gendewa dan anak panah. Di tepi jalan, amat jauh bagi ahli panah biasa, kira-kira seribu kaki jauhnya, dipasangi orang-orangan yang dapat digerakkan dengan tali dan dia harus dapat melepaskan tiga kali anak panah dari atas kudanya ke arah orang-orangan itu dan mengenai dengan tepat. Tentu saja orang-orangan itu digerak-gerakan dan dapat mengelak ke sana-sini! Ujian ini membuat para perajurit pasukan panah di Lumajang menjulurkan lidah mereka. Mana mungkin? Menunggang kuda liar saja sudah liar sudah sulit sekali, salah-salah bisa dibanting dan remuk tulang pinggulnya. Apalagi sambil memanah orang-orangan yang bisa mengelak dari jarak begitu jauh. Gila, pikir mereka. Tidak gila, karena sayembara ini bukan diperuntukkan mereka, melainkan orang-orang yang sakti mandraguna!   Syarat ke tiga, setelah pengikut sayembara lulus dalam ujian pertama dan ke dua, dia harus mampu memetik buah kelapa yang digantungkan tinggi di ujung bambu tanpa memanjat bambunya dan sudah diperingatkan bahwa ketika dia berusaha memetik buah itu, akan ada pasukan anak panah menyerang dan tenghalang-halanginya. Lebih gila lagi, pikir mereka yang merasa tidak sanggup, itu berarti bunuh diri!   Baru setelah pengikut sayembara lulus dari tiga macam syarat itu, dia dianggap lulus! Tiga syarat itu diadakan bukan semata-mata untuk mempersulit orang yang hendak mengikuti sayembara, namun sudah diperhitungkan masak-masak oleh Raden Turonggo. Syarat pertama adalah untuk menguji kekuatan orang. Syarat ke dua untuk menguji kepandaian menunggang kuda dan mainkan anak panah, dan syarat ke tiga untuk menguji kecekatan dan ketrampilan, juga daya tahan mereka terhadap ancaman bahaya. Semua itu memang diperlukan mutlak untuk orang-orang yang dapat dipercaya untuk menyelidiki dan merampas kembali pusaka Kolonadah! Dan apabila tiga syarat itu sudah dipenuhi, maka untuk menentukan tingkat, barulah di antara mereka yang lulus itu akan dipertandingkan untuk menentukan tingginya kepandaian mereka dan kedudukan mereka kelak!   Alun-alun Lumajang telah dihias karena di alun-alun inilah diadakannya sayembara itu untuk memberi kesempatan kepada rakyat menonton pula. Semenjak pagi, alun-alun yang luas itu telah dibanjiri orang. Bukan hanya mereka yang ingin mengikuti sayembara, melainkan lebih banyak lagi adalah mereka yang ingin menonton! Tua muda laki perempuan hari itu meninggalkan pekerjaan masing-masing karena tidak mau ketinggalan menyaksikan sayembara yang amat hebat itu.   Para perajurit yang menjaga, dengan teriakan-teriakan mereka menyuruh para penonton untuk jangan melanggar tali yang direntang membentuk lingkaran di tengah-tengah alun, juga mereka minta agar para penonton jangan berhimpit-himpitan, yang di depan duduk agar tidak menghalang yang berada di belakang. Semua penonton mentaati teriakan-teriakan ini, dan itu merupakan pertanda bahwa rakyat tidak perlu ditekan karena rakyat menghormat dan mencinta para petugas yang tidak pernah menindas mereka. Di sinilah letaknya kebijaksanaan Adipati Lumajang yang dapat mendidik para petugas pemerintah sedemikian rupa sehingga para petugas merupakan pelindung rakyat yang sesungguhnya. Hanya apabila petugas-petugas pemerintah sudah benar-benar merupakan pelindung rakyat, tidak pernah menggunakan kekerasan dan tidak suka menindas, menghadapi pelanggaran dengan keadilan yang bijaksana, maka tanpa diperintah pun rakyat akan sayang kepada mereka, dan rasa sayang karena mempunyai pelindung inilah yang membuat rakyat akan tunduk tanpa dipaksa, tertib tanpa ditekan.   Sayang sekali bahwa Mojopahit pada waktu itu tidak terdapat ketertiban seperti yang diperlihatkan oleh sikap rakyat di alun-alun Lumajang itu. Mojopahit dilanda kekacauan dan ketidakpuasan. Semua ini disebabkan oleh kelalaian raja yang sudah sering sakit-sakitan itu, yang menimbulkan pertentangan sendiri di dalam istana antara isteri-isterinya, pertentangan yang menjalar sampai di antara ponggawa dan makin meluas di kalangan rakyat. Kekacauan ini timbul dari atas dan menjalar atau mempengaruhi yang berada di bawah. Selalu akan begitu keadaannya. Kalau yang di atas tertib, tentu yang di atas dapat mengawasi yang di bawah akan dapat mencontoh yang di atas. Kalau yang di atas kacau, yang di bawah lebih kacau lagi dan akibatnya, para petugas akan bersikap sewenang-wenang, bukan lagi menjadi pelindung rakyat, malah sebaliknya menjadi pengganggu rakyat dan kalau sudah begitu keadaannya, mana mungkin rakyat bersikap taat dan hormat? Ketaatan dan kehormatan yang diperlihatkan oleh orang-orang yang tertindas tentu saja hanyalah ketaatan palsu belaka yang timbul dari rasa takut. Dan dalam keadaan seperti itu, amatlah mudah bagi mereka yang hendak membangkitkan rasa tidak puas rakyat itu untuk memberontak.   Mengapa hal yang jelas dan nyata ini tidak disadari oleh mereka yang berada di atas? Mereka hanya menyalahkan rakyat, tidak pernah meneliti keadaan diri sendiri. Hampir sama dengan seorang ayah yang selalu menyalahkan anak-anaknya, tidak penurut, pemberontak, dan sebagainya. Padahal, sikap anak-anak seperti itu adalah akibat dari kesalahan Si Ayah sendiri! Kalau ayahnya tidak ada cinta kasih kepada anak-anaknya, kalau sewenang-wenang, kalau menekan, tentu diam-diam Si Anak tidak taat dan bahkan mungkin sekali membenci. Jangan salahkan anak-anaknya, kenalilah diri sendiri sehingga kita dapat melihat kekotoran-kekotoran diri sendiri. Kalau diri sendiri sudah bersih, kalau ada cinta kepada anak-anak, tentu anak-anak itu tanpa ditekan tanpa diperintah akan taat dan cinta kepada orang tuanya. Demikian pula, kalau atasan ada cinta kasih kepada bawahan, kalau atasan bersih tindakannya, tentu berwibawa dan bawahan akan selalu mentaati dan menyayanginya, dan bawahan itu akan bersikap demikian bijaksananya pula kepada yang lebih bawah lagi dan seterusnya sampai kepada petugas-petugas terendah terhadap rakyat jelata! Ini pasti dan jelas! Jadi, ketertiban tidak dapat diciptakan dengan jalan kekerasan, dengan jalan penekanan dan melalui rasa takut yang ditanamkan di hati rakyat! Ketertiban HARUS dimulai dari diri sendiri lebih dulu karena keadaan di luar itu selalu mencerminkan keadaan di dalam. Kalau di dalam tidak tertib, maka keluarnyapun tentu menimbulkan ketidaktertiban.   Para penonton bersorak sorai menyambut munculnya Sang Adipati Wirorojo yang didampingi Aryo Pranarojo dan para pembesar lainnya. Setelah Sang Adipati duduk, maka majulah barisan panjang terdiri dari kurang lebih tiga puluh orang yang dipimpin oleh seorang ksatria yang muda remaja dan gagah perkasa, yaitu Raden Turonggo sendiri. Juga barisan panjang yang berjalan satu demi satu ini disambut sorak sorai karena mereka itulah adanya calon-calon pengikut sayembara! Raden Turonggo memimpin barisan aneh yang terdiri dari bermacam-macam orang ini lewat di depan panggung tempat duduk eyangnya untuk memberi hormat, kemudian membawa mereka langsung ke tengah alun-alun di mana mereka disuruh duduk di atas bangku-bangku yang sudah disediakan. Bangku-bangku ini nampak banyak sekali yang kosong. Melihat ini Sang Adipati Wirorojo berbisik kepada Aryo Pranarojo yang duduk di sampingnya, "Adimas Aryo, kenapa begitu sedikit yang ikut masuk sayembara? Hanya kurang lebih tiga puluh orang?"   "Hanya tiga puluh tiga orang, Kakangmas Adipati. Tadinya yang mendaftarkan ada seratus orang lebih, akan tetapi ketika mereka datang dan melihat tiga syarat itu, sebagian besar mundur teratur. Betapa pun juga, nama mereka sudah ada dalam daftar, kalau sewaktu-waktu kita membutuhkan pasukan, mereka boleh dipanggil. Agaknya yang tiga puluh tiga orang ini tentu orang-orang yang memiliki kedigdayaan, Kakangmas Adipati, buktinya mereka tidak mundur ketika melihat tiga macam syarat yang amat berat itu."   "Mudah-mudahan begitu, kita benar-benar membutuhkan orang-orang pandai," kata Sang Adipati sambil menarik napas panjang. Semalam dia sudah berunding berdua saja bersama Raden Turonggo cucunya, bahwa apabila mereka berhasil mendapatkan kembali keris pusaka Kolonadah, maka akan mereka ikhtiarkan agar keris itu dapat disimpan oleh seorang di antara isteri-isteri Sang Prabu keturunan Sang Prabu Kertanegara. Dengan demikian diharapkan agar keris pusaka itu kelak dapat menjadi pegangan Raja Mojopahit berdarah Sang Prabu Kertanegara. Akan tetapi hal ini menjadi rahasia mereka berdua saja, bahkan kepada Aryo Pranarojo sekali pun Sang Adipati tidak memberitahukan tentang rahasia itu.   Raden Turonggo nampak sibuk sekali, dibantu oleh belasan orang perwira yang bertubuh tegap-tegap dan gesit-gesit, tanda bahwa para pembantunya itu pun merupakan orang-orang yang cukup tangkas. Raden Turonggo sendiri biar pun masih belum dewasa benar, namun sudah cukup berwibawa dan dia menjadi incaran dara-dara yang banyak pula berada di situ menjadi penonton. Nama Raden Turonggo dihormati setiap orang dan dikagumi setiap orang dara Lumajang karena pemuda ini selain tampan dan gagah perkasa, juga amat ramah dan baik sikapnya terhadap semua orang, juga sopan dan tidak pernah menggoda wanita.   Atas isyarat pemuda itu, seorang perwira yang berdiri di atas panggung, memberitahukan dengan suara nyaring bahwa ujian pertama akan dimulai, yaitu pengangkatan batu sebesar kerbau itu. Pemberitahuan ini disambut oleh suara berisik karena semua orang bicara sendiri dengan hati tegang, membicarakan batu besar itu yang agaknya belum tentu dapat terangkat oleh enam orang sekalipun. Mulailah mereka menaksir-naksir dan memilih-milih di antara tiga puluh tiga orang yang duduk berderet di atas bangku-bangku itu, memilih jagoan masing-masing dan mulai pulalah orang bertaruh! Pertaruhan adalah permainan yang digemari orang sejak jaman dahulu dan agaknya takkan pernah dapat lenyap selama orang masih menonjolkan keinginannya untuk senang sendiri. Permainan ini amat berbahaya karena sekarang dituruti akan merupakan kebisaan yang sukar dilepaskan, bahkan akan mencengkeram seseorang melebihi candu! Hanya orang yang menaruh belas kasihan kepada orang lain sajalah yang enggan bertaruh karena kesenangan yang didapat oleh si pemenang adalah kesenangan yang didasarkan kesusahan orang lain!   Akan tetapi ketika orang pertama telah dipanggil dan melangkah maju ke arah batu besar yang terletak di tengah alun-alun yang luas itu, semua suara terhenti dan keadaan menjadi sunyi sekali. Semua mata mengikuti langkah kaki peserta pertama ini dan banyak yang merasa berdebar-debar jantungnya karena tegang.   Orang pertama ini adalah seorang laki-laki yang tubuhnya gempal pendek, dengan tengkuk seperti banteng sehingga nampaknya kuat sekali, usianya kurang lebih tiga puluh tahun dan dia menghampiri batu itu dengan sikap tenang. Setelah tiba di dekat batu dia berhenti, menggosok-gosok kedua telapak tangannya, kemudian membungkuk dan memegang batu besar itu. Terdengar dia berteriak keras dan tiba-tiba saja dia menggerakkan kedua lengannya dan terangkatlah batu itu di atas kepalanya! Seluruh otot di lengan dan tengkuknya menonjol seperti ular dan mukanya merah, matanya agak melotot, namun dia kuat membawa batu itu berjalan keliling satu kali di dalam lingkaran putih di sekeliling batu yang sudah ada di situ, lalu dia menurunkan batu itu yang jatuh berdebuk di dekat kakinya.   Tepuk sorak menyambut keberhasilan Si Tegap Pendek ini dan dia pun membungkuk ke arah panggung Adipati, lalu mengikuti seorang perwira yang membawanya ke tempat terpisah, duduk di atas panggung untuk menanti giliran dalam ujian ke dua. Dengan sehelai kain diusapnya sedikit peluh dari lehernya dan dia memandang ke arah orang ke dua yang sudah melangkah maju dengan wajah berseri.   Orang kedua ini tubuhnya seperti raksasa, tinggi besar, dua kali lebih besar daripada orang pertama tadi. Kedua lengannya juga besar-besar dan berbulu sehingga menyeramkan, akan tetapi wajahnya ramah dan tersenyum-senyum malu ketika para penonton bersorak menyambutnya. Ketika dia tiba di dekat batu, penonton hening kembali dan mengikuti gerak-gerik raksasa itu penuh kegembiraan dan ketegangan. Banyak orang bertaruh untuk raksasa ini, bahwa dia akan dapat mengangkat batu itu dengan mudah tanpa mengeluarkan peluh dan bahwa dia lebih kuat dari pada Si Pendek tadi. Batu itu memang terangkat ke atas, akan tetapi seluruh tubuh raksasa itu menggigil, kaki dan lengannya tergetar hebat, matanya melotot dan akhirnya dia tidak tahan lagi. Batu itu terpaksa dia lepaskan ke samping sehingga jatuh berdebuk di atas tanah. Dia mengap-mengap sebentar, kemudian seperti baru sadar ketika penonton menyambut kegagalan ini dengan sorak mengejek dan tertawaan. Dia lalu menjura ke arah panggung tempat Sang Adipati, lalu meninggalkan tempat itu, menghilang di antara penonton karena tentu saja kegagalan pertama ini berarti telah gugur dalam sayembara itu. Namun, namanya telah dicatat oleh petugas sehingga kalau sewaktu-waktu Lumajang membutuhkan tenaganya, dia dapat dipanggil.   Memang terjadi banyak keanehan dalam ujian pertama ini. Banyak di antara mereka yang kelihatan sebagai laki-laki yang bertubuh kuat dan tegap, gagal mengangkat batu besar itu, atau yang berhasil mengangkat ke atas kepala, tidak kuat membawanya berkeliling seperti yang disyaratkannya. Akan tetapi sebaliknya, ada pula orang-orang yang kelihatan lemah, kurus kering dan pucat, ternyata berhasil mengangkat dengan mudah dan membawanya berkeliling. Jelaslah bagi para penonton bahwa kesaktian tidak dapat diukur dengan besar dan tegapnya tubuh, seperti halnya kekuatan otot yang kasar.   Ketika tiba giliran seorang yang berwajah tampan, gerak-geriknya halus dan sikapnya agung melangkah maju, semua orang memandang dengan penuh kagum. Pemuda seperti ini tentu masih berdarah bangsawan, tentu seorang kesatria seperti halnya Raden Turonggo sendiri memandang penuh perhatian dan menduga-duga darimana asal-usul pemuda tampan yang tenang ini. Pemuda itu menghampiri batu besar, lebih dulu dia menjura dengan hormat ke arah panggung Sang Adipati, kemudian membungkuk, memegang batu itu dan sekali mengerakkan tangan, batu itu telah terangkat ke atas kepalanya! Dia melukakan ini begitu mudah kelihatannya, seolah-olah batu itu ringan saja dan membawa berkeliling dengan langkah perlahan dan tidak tergesa-gesa. Ketika dia menurunkan batu, dia tidak melemparkan seperti yang lain, melainkan menurukannya dengan perlahan-perlahan tidak menimbulkan suara. Tepuk tangan dan sorak sorai bergemuruh menyambut kekuatan hebat ini dan kembali Si Pemuda menjura ke arah panggung di mana Sang Adipati dan para ponggawanya juga ikut bertepuk tangan.   "Perhatikan pemuda itu, Dimas Aryo. Dia bukan orang sembarangan," kata Sang Adipati dan Aryo Pranarojo mengangguk karena dia pun mengenal seorang ksatria yang sakti.   Selain pemuda ini, ada seorang lain yang juga menarik perhatian semua orang. Dia seorang laki-laki yang tubuhnya kurus tinggi, mukanya pucat seperti orang kurang makan, mulutnya cemberut terus dan ketika menghampiri batu itu, dia seperti orang tidak bersemangat sama sekali. Akan tetapi begitu dia mengangkat batu, kelihatan batu itu seperti sebuah gentong saja, demikian ringan dan dibawanya berkeliling lalu diletakkannya kembali, menjulang ke arah panggung dan mengikuti perwira yang membawanya ke tempat tunggu ujian ke dua. Dia sama sekali tidak tersenyum ketika disambut sorak sorai, masih saja merenggut seperti seorang anak kecil yang sedang ngambek!   Ada pula beberapa orang yang berhasil, banyak yang tidak, akan tetapi yang paling menarik dalam ujian pertama ini adalah peserta terakhir. Peserta terakhir ini masih amat muda, akan tetapi juga luar biasa tampan, bahkan lebih tampan daripada pemuda tampan tadi dan bahkan lebih ganteng lagi daripada Raden Turonggo! Dan usianya tentu paling banyak s.a dengan Raden Turonggo, kalau tidak lebih muda lagi karena tubuhnya lebih kecil, kedua lengannya halus seperti lengan anak yang tidak bertenaga! Semua orang menduga bahwa tentu bocah ini seorang anak bangsawan atau hartawan yang manja. Mana akan kuat mengangkat batu itu? Andaikata kuat pun, banyak bahayanya akan kejatuhan. Di antara para penonton, tidak ada seorang pun yang berani menjagoi pemuda remaja ini, akan tetapi mereka semua memandang dengan khawatir. Seorang pemuda setampan Arjuno seperti itu tentu saja menarik perhatian semua orang, terutama sekali para dara yang menonton sehingga mereka menahan napas ketika melihat pemuda itu dengan lenggang seenaknya menghampiri batu.   Melihat pemuda remaja ini tersenyum-senyum, seolah-olah sama sekali tidak khawatir untuk mengangkat batu sebesar itu, perhatian penonton makin tertarik dan kini mereka merasa suka kepada pemuda yang tersenyum-senyum manis itu. Para dara yang menonton menekan dada mereka yang seperti akan copot melihat senyum itu dan di antaranya ada yang menjerit, "Angkatlah...!"   Pemuda itu menjura ke arah panggung dan sejenak dia menyapu ke sekeliling. Kemudian, dia memejamkan matanya, mulutnya berkemak-kemik dan tiba-tiba dia mengeluarkan bentakan nyaring, "Haiiiiiittt!" Nyaring sekali bentakan ini, mengejutkan semua orang dan ternyata dia telah mencongkel batu itu dengan kakinya dan batu sebesar kerbau bunting itu terlontar ke atas, lalu diterimanya dengan satu tangan saja, yaitu tangan kiri, sedangkan tangan kanan dipakai untuk bertolak pinggang!   Tepuk tangan menggegap-gempita dan sorak-sorai seperti hendak memecahkan istana kadipaten. Orang berlonjak-lonjak saking kagumnya, tidak menanti sampai pemuda itu membawa batu tadi berkeliling dan mmang istimewa pemuda yang satu ini atau peserta yang terakhir ini. Dia tidak hanya membawa batu itu berkeliling satu kali melainkan tiga kali! Dan semua ini dilakukan dengan gerak-gerik jenaka dan gembira, sama sekali tidak kelihatan hendak menyombongkan diri dan dalam hal kegembiraan ini, sikapnya sungguh sama sekali terbalik dari sikap pemuda tinggi kurus muka pucat yang selalu cemberut tadi! Para penonton seperti kesetanan! Mereka bersorak-sorak dan bahkan ada dara-dara yang menangis saking kagumnya dan sekaligus jatuh cinta!   Ketika pemuda itu menaruh batu dengan cara istemewa, yaitu melemparkan batu ke atas, kemudian ketika batu itu melayang turun diterima dengan kakinya dan digulingkan begitu saja seenaknya, para penonton menjadi makin gaduh. Sampai lama setelah pemuda itu sudah duduk di tempat penantian, orang-orang masih bersorak-sorai.   "Hemm, ingin sekali aku tahu siapa gerangan pemuda itu..." Adipati Wirorojo juga kagum sekali.   Aryo Pranarojo mengerutkan alisnya. "Dia tentu keturunan orang pandai, murid seorang yang maha sakti, akan tetapi sikapnya yang seperti anak kecil itu sungguh sembrono sekali... orang seperti dia bisa menggagalkan tugas yang amat penting."   Ketika dia hendak duduk, pemuda tampan sebagai peserta terakhir itu memandang kepada pemuda tampan yang gerak-geriknya halus tadi, mereka saling bertukar senyum, akan tetapi pemuda yang selalu merengut tadi, matanya seperti mengeluarkan api karena dia amat memperhatikan peserta terakhir itu. Demikian pula dua orang muda lain yang telah terdahulu lulus, dua orang pemuda yang juga tampan dan yang memiliki wajah mirip seperti kembar, saling berbisik dan kadang-kadang melirik ke arah peserta terakhir.   Di antara tiga puluh tiga orang yang mengikuti ujian pertama, yang lulus hanyalah delapan belas orang. Lima belas orang telah gugur dalam ujian mengangkat batu sebesar kerbau bunting itu! Dan kini, delapan belas orang itu bersiap-siap untuk mengikuti ujian ke dua, yaitu menunggang kuda liar sambil memanah orang-orangan. Untuk keperluan ini, telah dipersiapkan lima ekor kuda liar dan orang-orangan itu telah dipasang pula di bagian yang agak jauh dari penonton dan di belakangnya dipasangi gunung-gunungan alang-alang agar anak panah yang nyasar tidak sampai mengenai penonton.   Semua orang merasa ngeri ketika melihat lima ekor kuda itu. Kuda-kuda yang besar dan kuat, akan tetapi memang belum dijinakkan sehingga ketika dituntun masuk mereka itu berjingkrak-jingkrak dan meringkik-ringkik. Terutama sekali seekor yang bulunya hitam, sungguh liar dan hampir saja penuntunnya kena digigit pundaknya, kalau saja dia tidak cepat menjatuhkan diri dan dua orang lagi maju membantunya, baru si Hitam itu dapat ditundukkan, dipegangi kendalinya, namun dia masih saja meronta-ronta.   Perwira yang bertugas memberi pengumuman menyerukan bahwa ujian ke dua akan dimulai. Para peserta akan maju satu demi satu dan diperbolehkan memilih seekor di antara lima ekor kuda itu! Mendengar semua ini penonton ramai pula bertaruh siapa yang akan keluar sebagai pemenang.   "Aku bertaruh lima lawan satu bahwa peserta yang terakhir, Sang Arjuno tadi yang akan keluar sebagai juara!" terdengar suara nyaring seorang penonton, terdengar pula oleh para peserta dan kembali peserta yang tampan halus itu menoleh ke arah peserta terakhir dan mereka sama-sama tersenyum. Si Muka Cemberut makin cemberut lagi.   Akan tetapi karena semua orang pun menduga demikian, tidak ada yang berani melayani tantangan itu.   "Aku bertaruh bahwa di antara mereka tidak akan ada yang memilih kuda hitam!" Ada pula yang bertaruh. Ramailah para penonton itu sebelum ujian ke dua dimulai karena sedang dipersiapkan gendewa-gendewa dan anak-anak panah yang juga boleh dipilih oleh para peserta. Hanya para dara saja yang semua memandang ke arah peserta terakhir sambil melirik-lirik dan tersenyum-senyum, sungguhpun tidak kurang pula yang memandang ke arah peserta yang tampan halus karena peserta ini yang lebih cocok dengan selera mereka. Memang sama-sama tampan, akan tetapi peserta terakhir itu memang luar biasa sekali tampannya, hanya pemuda halus itu lebih jantan. Kalau boleh dipakai perbandingan, pemuda halus itu seperti Raden Gatotkaca sedangkan peserta terakhir itu seperti Raden Arjuno. Sama-sama tampannya, akan tetapi kalau yang seorang berpotongan ksatria perkasa, yang ke dua berpotongan kesatria... petualang asmara!   Gong dibunyikan nyaring sebagai tanda bahwa ujian ke dua akan dimulai karena Raden Turonggo telah memberi isyarat siap. Si Pendek bertengkuk seperti banteng itu segera maju dengan tegap dan langkahnya tenang ketika dia menghampiri lima ekor kuda yang dipegang erat-erat kendalinya oleh beberapa orang tukang kuda. Dia memilih kuda putih. Tukang kuda mengangguk dan menyeret kuda putih itu ke depan, melewati garis sebagai tempat pemberangkatan dan Si Pendek itu lalu memilih sebatang gendewa berikut tiga batang anak panah seperti yang diisyaratkan. Dengan sigap dan membuktikan bahwa dia terlatih, dia mengikatkan tempat anak panah di punggungnya, dan mengalungkan gendewa di lehernya. Kemudian dia menghampiri tukang kuda itu, mengambil alih kendalinya dan dengan cekatan dia meloncat ke atas punggung kuda putih dan menyentak-nyentak kendalinya.   "Hyeeeehhhh...!!" Kuda putih itu meringkik dan meloncat ke atas, bukannya lari ke depan dengan cepat melainkan berloncat-loncatan sambil membongkokkan punggungnya, menggoyang-goyang tubuhnya untuk melontarkan penunggang yang duduk di atas punggungnya itu. Akan tetapi Si Pendek mengempit perut kuda dan tidak mau turun, kedua kaki seperti kaitan baja mengempit tubuh kuda di kanan kiri, jari-jari kakinya mencengkeram, kedua tangan memegang kendali kuda dan tubuhnya mendoyong ke kanan kiri, muka belakang, naik turun, akan tetapi seperti seekor lintah menempel di kulit, dia tidak dapat dilontarkan oleh kuda liar itu. Para penonton bersorak-sorak karena sekali ini pertunjukan itu memang menegangkan dan juga lucu. Kuda liar berbulu putih itu seperti menjadi gila, meringkiki-ringkik, berusaha membalikkan lehernya yang panjang untuk dapat menggigit pengganggunya, punggungnya melengklung seperti punggung onta, pantatnya diangkat tinggi-tinggi ketika dia meloncat dengan kaki belakang, atau kadang-kadang merendah ketika kaki depannya yang meloncat dan kuda itu seperti berdiri di atas kedua kakinya. Namun Si Pendek itu masih tetap menempel di punggung kuda, bahkan kini dia menarik-narik kendali dengan keras sehingga kuda liar itu merasa kesakitan dan larilah dia ke depan!   Para penonton bersorak memuji karena hal itu berarti Si Pendek itu telah berhasil mengalahkan kuda liar itu. Semua mata mengikuti larinya kuda yang lewat di jalan yang sudah digariskan, kemudian setelah tiba di tempat yang diberi tanda bahwa dari situ dia harus melepaskan anak panah ke arah orang-orangan, dia cepat memasang sebatang anak panah kepada gendewanya.   Untuk dapat melakukan hal ini, tentu saja dia harus melepaskan kendali kudanya, tangan kiri memegang gendewa dan tangan kanan memegang gagang anak panah. Dia menarik tali gendewanya, akan tetapi pada saat itu, kuda putih yang merasa betapa kendalinya terlepas, lalu meringkik dan mengangkat kedua kaki depan ke atas, tepat pada saat Si Pendek itu melepaskan anak panahnya.   "Singgg...!" anak panah itu meluncur ke atas!   "Ahhh... bukkkk!" Dan orang pendek bertengkuk seperti banteng itu terlempar dari punggung kuda dan terbanting ke atas tanah!   Para penonton bersorak dan tertawa-tawa, mentertawakan Si Pendek yang dengan wajah kecewa dan mulut bersungut-sungut terpaksa meninggalkan gelanggang karena dia dianggap tidak lulus setelah mengalami kegagalan itu. Dia menyumpah-nyumpah kuda putih, menggosok-gosok pantatnya dan meninggalkan tempat itu dengan agak terpincang jalannya. Namun, sebagai seorang yang telah lulus dalam ujian pertama mengangkat batu tadi, tentu saja namanya sudah dicatat pula dan dia setingkat lebih tinggi daripada mereka yang gagal dalam ujian pertama.   Dua orang lagi gagal pada permulaannya ketika mereka secara berturut-turut dilemparkan jatuh dari atas punggung kuda masing-masing, dan dua orang lagi biar pun seperti Si Pendek tadi berhasil menundukkan kuda liar, namun gagal pula ketika melepas anak panah, tidak mengenai sasaran sampai tiga kali karena kuda mereka tetap binal sehingga mereka tidak dapat menggunakan busur mereka dengan baik.   Melihat kegagalan berturut-turut itu, Bromatmojo bertukar pandang dengan Joko Handoko. Tentu saja pemuda tampan seperti Arjuno yang menggegerkan para penonton dengan demonstrasi kesaktian hebat ketika mengangkat batu besar tadi adalah Sulastri atau Bromatmojo, sedangkan pemuda tampan dan gagah serta halus gerak-geriknya itu adalah Joko Handoko. Roro Kartiko tidak ikut memasuki sayembara karena selain puteri ini ngeri untuk mengangkat batu sebesar kerbau bengkak itu, juga dia ngeri kalau harus menunggang seekor kuda liar. Pula, dia tidak biasa menyamar sebagai pria dan tidak mungkin dia menyamar sebagai Sriti Kencana, sedangkan kalau maju sebagai seorang wanita pun tentu akan janggal dan hanya menjadi pusat perhatian saja. Maka dia tidak ikut sayembara sungguh pun tentu saja dia berada di antara penonton yang berjubel itu. Geli hatinya melihat lagak Bromatmojo dan diam-diam dia merasa terharu dan juga malu sendiri ketika dia melihat betapa perawan-perawan yang menonton pada saat itu, jelas memperlihatkan sikap tergila-gila kepada Bromatmojo. Teringatlah dia betapa dia pun tadinya jatuh hati kepada "pemuda" setampan Arjuno itu, dan itu merupakan cinta kasihnya yang pertama, cinta kasih yang gagal tentu saja!   Yang menjadi perhatian Bromatmojo dan Joko Handoko di antara semua peserta sayembara hanya tiga orang muda. Pertama adalah pemuda tinggi kurus yang bermuka muram dan cemberut itu karena mereka tahu bahwa pemuda itu memiliki kesaktian tersembunyi yang hebat. Selain Si Tinggi Kurus ini, juga dua orang pemuda tampan yang dilihat dari air muka dan pakaiannya, jelas bahwa mereka tentulah kakak beradik. Wajah mereka begitu mirip dan serupa malah, hanya bentuk tubuh mereka yang berbeda, yaitu yang satu agak lebih besar dan lebih tegap, juga lebih jangkung daripada yang kedua. Anehnya, selain wajah mereka serupa benar, juga gerak-gerik mereka, senyum mereka, pandang mereka, semua sama! Akan tetapi, dua orang muda yang tampan dan masih muda sekali itu ternyata tadi telah mampu mengangkat dan membawa batu besar itu berkeliling tanpa kelihatan berat.   Ketika tiba giliran pemuda tampan yang tubuhnya lebih besar itu, dia dan temannya yang berwajah sama lalu menghampiri perwira yang mengatur bagian ujian menunggang kuda, bicara bisik-bisik dengan perwira itu. Perwira itu kelihatan bingung, lalu membawa mereka menghadap Raden Turonggo.   "Maafkan saya, Raden. Dua orang peserta ini hendak mengajukan suatu permohonan kepada Paduka mengenai ujian menunggang kuda dan memanah," kata perwira itu kepada Raden Turonggo.   Pemuda ini mengerutkan alisnya. "Peraturan sayembara telah ditentukan, semua peserta telah diberi tahu syarat-syaratnya, mengapa masih hendak mengajukan permohonan lagi?" berkata demikian, Raden Kuda Anjampiani atau Raden Turonggo itu memandang kepada dua orang muda tampan itu.   Dua orang pemuda tampan itu maju dan berbisik hormat, namun tidak menjilat, dan pemuda yang lebih besar tubuhnya berkata, "Harap maafkan kami, Raden. Hendaknya Paduka ketahui bahwa kami berdua adalah saudara kembar dan kami selalu menghadapi hal-hal sukar berdua. Dengan berdua, kami, terutama Adik saya ini mendapatkan semangat dan keberanian. Menghadapi ujian menunggang kuda liar itu cukup mengerikan Adik saya, maka kami mohon agar kami dapat diperbolehkan mengikuti ujian ini berbareng."   Raden Turonggo mengerutkan alisnya. "Seorang laki-laki tidak akan takut menghadapi bahaya apa pun, apa lagi menunggang kuda liar!"   "Akan tetapi saya... saya bukan seorang laki-laki..." orang kedua yang lebih kecil menjawab.   "Ahhh...?" Raden Turonggo bertanya dan matanya terbelalak memandang kedua orang pemuda tampan itu.   "Kami saudara kembar, saya laki-laki dan dia perempuan."   "Wanita? Kenapa memasuki sayembara?" tanya Raden Turonggo.   "Apakah ada pengumuman bahwa wanita dilarang?" Dara yang menyamar sebagai pria itu menuntut.   Jilid 48   "Ahhh... tidak, tapi..." Raden Turonggo menjadi bingung, apalagi sepasang mata dara itu bersinar-sinar penuh kemarahan.   "Maafkan, Raden, Dia selalu tidak mau ketinggalan, apa pun yang saya lakukan dia tentu ikut."   Raden Turonggo menarik napas panjang dan mengangguk-angguk. Seorang dara remaja sudah dapat mengangkat batu itu, sudah cukup hebat. Kini hendak memasuki ujian ke dua dan merasa agak ngeri menunggang kuda liar. Wajarlah. "Baik, kalian boleh memasuki ujian ke dua ini berbareng. Akan tetapi hanya itu saja, dan syarat lulus tetap seperti apa yang telah diumumkan."   "Terima kasih, Raden. Mereka berdua tersenyum girang lalu keduanya berlari ke tempat di mana lima ekor kuda itu berkumpul, dipegangi oleh para tukang kuda yang kewalahan mencegah lima ekor kuda liar itu mengamuk. Raden Turonggo lalu cepat memeriksa daftar para peserta dan membaca nama mereka. Gendana dan Gendini! Hemm, tentu nama samran, pikirnya. Nama-nama itu hanya menunjukkan bahwa mereka adalah saudara kembar dan mereka datang dari pantai selatan. Hemm, mereka ini harus diawasi karena mencurigakan, pikir Raden Turonggo.   Terdengar sorak-sorai dan dia pun cepat memandang ke arah tempat ujian. Dia melihat betapa kakak beradik itu telah berada di atas punggung dua ekor kuda. Gendana menunggang kuda putih dan Gendini menunggang kuda berbulu dawuk (abu-abu). Dua ekor kuda itu meringkik-ringkik dan mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi. Dia melihat betapa dua orang kakak beradik itu dengan tenang tetap duduk di atas punggung kuda yang sudah berdiri itu dan menepuk-nepuk punggung kuda masing-masing, bibir mereka berkemak-kemik. Tahulah dia bahwa kakak beradik itu ternyata menguasai ilmu mantram untuk menundukkan kuda dan ternyata dugaannya benar karena tidak lama kemudian, dua ekor kuda liar itu menjadi tenang seperti kuda jinak saja. Setelah kedua ekor kuda itu diam biarpun para penonton masih bersorak-sorai memuji, sorak riuh-rendah yang cukup hebat untuk membuat kuda jinak sekalipun menjadi ketakutan, dua orang kakak beradik itu baru menggerakkan tali kendali dan dua ekor kuda liar itu meloncat ke depan dengan cepatnya.   Kakak beradik itu ternyata memang ahli-ahli menunggang kuda. Mereka membalapkan kuda mereka memutari lapangan dan biar pun sudah melewati batas di mana mereka harus melepaskan anak panah kepada orang-orangan yang dijadikan sasaran, namun mereka belum menggunakan anak panah mereka. Mereka ingin agar dua ekor kuda yang mereka tunggangi itu benar-benar tunduk lebih dulu karena kalau tidak demikian, di waktu mereka memanah dan melepaskan kendali, ada bahayanya kuda itu meronta dan menggagalkan pelepasan anak panah seperti yang terjadi pada beberapa orang peserta terdahulu. Oleh karena itu, sampai dua kali mereka memutari lapangan itu tanpa melepaskan anak panah.   Baru pada putaran ke tiga, setelah kuda mereka mulai mantap larinya, dua orang kakak beradik itu mempersiapkan busur dan anak panah mereka yang sejak tadi telah mereka kalungkan di pundak. Ketika kuda mereka lari melewati orang-orangan itu, dari tempat yang sudah diberi tanda, mereka mengincar dan melepaskan anak panah mereka dengan cekatan. Terdengar bunyi mendesir dan dua batang anak panah itu meluncur dengan cepat dan menancap di tubuh orang-orangan itu, di perut dan di dada! Terdengar kembali sorak dan tepuk tangan memuji. Sampai tiga kali dua orang kakak beradik ini melarikan kuda mereka melewati orang-orangan itu dan tiga batang anak panah mereka semua menancap di tubuh orang-orangan.   Sambutan para penonton mengegap gempita karena mereka itulah merupakan peserta-peserta pertama yang berhasil dalam ujian ke dua. Mereka turun dari kuda masing-masing dan para tukang kuda cepat memegangi kendali dua ekor kuda yang kembali menjadi liar setelah terlepas dari pengaruh aji penyirepan kuda kakak beradik itu dan perwira yang bertugas lalu menyambut mereka ke tempat tersendiri untuk menanti sampai ujian ke dua itu berakhir.   Kembali beberapa orang telah gagal, ada yang gagal pada saat menunggang kuda, ada pula yang gagal dengan anak panahnya. Kegagalan mereka ini disambut sorak-sorai ditertawakan oleh para penonton dan mereka bergegas meninggalkan lapangan, ada yang menyelinap di antara penonton untuk menyaksikan kelanjutan sayembara itu, ada pula yang langsung pergi meninggalkan tempat itu karena merasa kecewa dan juga malu atas kegagalan mereka.   Ketika tiba giliran Joko Handoko untuk mengikuti ujian ke dua ini, banyak penonton menyambutnya dengan sorak-sorai karena pemuda ini banyak pula menarik rasa simpati penonton dengan gerak-geriknya yang halus dan sopan serta wajahnya yang membayangkan kejantanan dan kegagahan. Dengan langkah tenang Joko Handoko menghampiri kuda berbulu putih dan memberi isyarat kepada pemegang kendali kuda bahwa dia memilih kuda itu. Setelah dia mengambil sebuah gendewa dan tiga batang anak panah tanpa memilih lagi, dia lalu memegang kendali kuda dan sekali melompat dia telah duduk di atas punggung kuda putih. Kuda ini sudah beberapa kali ditunggangi orang dan hal ini membuat dia makin ketakutan dan marah, makin liar. Maka begitu dia merasa punggungnya dicengklak orang, dia meringkik keras dan meloncat dengan kaki depan ke atas.   AKAN tetapi sekali meloncat, dia segera menurunkan kedua kaki depannya itu kembali. Dia meronta, akan tetapi keempat kakinya gemetaran dan ketika dicobanya untuk melompat lagi, dia tidak mampu menggerakkan kaki dan diam saja,hanya keempat kakinya yang masih gemetar. Ternyata Joko Handoko telah menggunakan aji memberatkan tubuhnya sehingga kuda itu hampir tidak kuat menahannya. Setelah kuda itu tidak lagi meronta, barulah Joko Handoko menghentikan ajinya dan kuda itu tidak lagi gemetar. Akan tetapi, begitu dia hendak meronta, kembali tubuh penunggangnya menjadi berat sekali dan akhirnya agaknya kuda putih itu mengerti bahwa dia tidak akan mampu melemparkan penunggang ini maka dia menerima kekalahannya dan menjadi jinak. Setelah kuda itu menjadi anteng, barulah Joko Handoko menggerakkan kendali dan kuda itu lalu berlari ke depan dengan cepat dan tetap. Ketika lewat di tempat yang ditandai di mana dia harus melepaskan anak panah, terdengar tali gendawa menjepret dan seperti kilat cepatnya, sinar anak panahnya menyambar dan tepat mengnai kepala orang-orangan itu di tengah-tengahnya, di antara kedua mata! Sungguh merupakan bidikan yang tepat sekali dan para penonton bersorak memuji.   Akan tetapi hal itu masih belum hebat. Sorak-sorai meningkat ketika pemuda halus itu membalapkan kudanya dan setiap kali lewat di depan orang-orangan , terdengar tali gendawa menjepret. Tiga kali dia lewat, tiga kali anak panah meluncur dan tiga kali pula anak panah menancap tepat di antara kedua mata orang-orangan itu sehingga kini nampak tiga batang anak panah menancap di tempat yang sama seperti bedesak-desakan! Tentu saja hal ini cukup membuktikan kemahiran Joko Handoko mempergunakan anak panah dan dia lulus dengan baik, disambut oleh senyum Raden Turonggo dan sorak-sorai para penonton, terutama dari mereka yang memang menjagoi pemuda yang mereka beri julukan Gatutkaca itu.   Berturut-turut para peserta lain memasuki ujian ini dan di antara banyak yang gagal, ada pula beberapa orang yang berhasil lulus, sungguh pun mereka nyaris gagal, terpontang-panting di atas punggung kuda liar dan bidikan anak panah mereka hanya mengenai bagian tubuh tidak berbahaya dari orang-orangan itu, yaitu di pundak, lengan, paha dan sebagainya.   Hanya ketika tiba giliran pemuda berwajah muram dan tinggi kurus tadi saja maka para penonton kembali bersorak dan memuji, karena pemuda tinggi kurus itu kembali telah membuktikan kesaktiannya. Dia memilih kuda dawuk dan begitu dia meloncat ke atas punggung kuda itu seketika berubah menjadi jinak dan sama sekali tidak meronta! Ketika kuda itu lari sampai di tempat yang sudah diberi tanda, dengan tenang akan tetapi mukanya masih cemberut dia sekeligus memasangkan tiga batang anak panah pada busurnya, membidik dan sekali terdengar bunyi menjepret keras, nampak tiga sinar meluncurke arah orang-orangan dan tiga batang anak panah menancap dengan tepat di dada orang-orangan itu, berjajar dengan rapi dari kiri ke kanan, ketiganya merupakan anak panah yang mematika apabila mengenai tubuh lawan! Tentu saja semua penonton bersorak-sorai dengan penuh kagum, bahkan Raden Turonggo sendiri menggelengkan kepala dengan kagum karena harus diakuinya bahwa di sendiri tidak akan dapat meniru perbuatan Si Tinggi Kurus yang berwajah muram itu.   Setelah kembali beberapa orang peserta maju, ada yang gagal dan ada yang lulus namun tidak begitu mengesankan, orang terakhir yang maju adalah Bromatmojo. Pemuda tampan seperti Arjuno ini melangkah maju dan tersenyum manis ketika disambut tepuk sorai gemuruh. Melihat dia tersenyum, sorak-sorai makin hebat dan terdengarlah teriakan-teriakan memuji, di antaranya terdengar teriakan, "Kuda hitam! Kuda hitam!"   Bromatmojo tersenyum. Maklum dia bahwa para penonton itu mengharapkan agar dia menunggang kuda hitam, satu-satunya kuda di antara lima ekor kuda liar yang sejak tadi belum ada yang berani mencoba untuk menungganginya. Memang kuda itu paling ganas dan liar, bahkan tadi, ada seorang penjaga yang tergigit pundaknya sampai remuk tulangnya ketika dia lengah dan kuda itu meronta. Kini yang menjaga kuda ini ada tiga orang, kendalinya dipegang oleh dua orang, namun tetap saja dia meronta-ronta dan mencoba untuk membebaskan diri.   Sudah kepalang tanggung, pikirnya. Sulastri memang seorang dara remaja yang lincah dan jenaka, gembira dan memiliki sedikit watak ugal-ugalan. Mungkin watak ini ditirunya dari gurunya yang pertama, yaitu Ki Jembros! Maka, melihat sambutan para penonton dan terutama sekali karena hatinya agak "panas" melihat kehebatan Si Tinggi Kurus berwajah muram, dia lalu menghampiri kuda hitam. Hal ini kembali disambut tepuk sorak dan tiga orang penjaga kuda hitam itu memandang kepada Bromatmojo dengan wajah khawatir. Mereka telah mengenal betul kuda hitam yang ganas dan liar ini. Sedangkan para peserta lain yang kelihatan kuat-kuat tidak berani mencoba untuk menunggang kuda liar ini. Apakah pemuda bertubuh kecil ini hendak bunuh diri? Gagal menunggang kuda yang lain mungkin hanya akan luka-luka dan babak bundas saja, akan tetapi kalau sampai terjatuh dari punggung si Kuda Hitam ini akan berbahaya sekali bagi penunggangnya karena kuda hitam ini buas, kalau penggang nya terjatuh tentu akan disepaknya, digigitnya dan mungkin juga diinjak-injaknya!   Bromatmojo tidak memperdulikan pandang mata khawatir dari tiga orang itu, melainkan tersenyum dan mengambil kendali dari tangan mereka. Tiga orang itu mundur dan Bromatmojo meloncat dengan gerakan yang ringan dan cekatan, tahu-tahu tubuhnya telah berada di atas punggung kuda hitam. Karena dia mempergunakan aji meringankan tubuh, maka dia seperti seekor burung gereja saja ketika hinggap di atas punggung kuda. Namun kuda itu memang liar dan ganas. Biarpun hanya terasa sedikit saja olehnya bahwa ada orang menduduki punggungnya, dia sudah meringkik keras dan berloncatan seperti kemasukan setan! Bromatmojo yang hendak memperlihatkan ketangkasannya, tidak mau mempergunakan aji memberatkan tubuhnya seperti yang dilakukan oleh Joko Handoko dan juga oleh pemuda berwajah muram. Sebaliknya malah, dia membiarkan dirinya pontang-panting dan terlempar-lempar ke atas, akan tetapi berkat aji meringankan tubuh, dia selalu dapat duduk kembali ke atas punggung kuda itu.   Semua penonton memandang dengan mulut ternganga, bengong penuh ketegangan dan kekhawatiran melihat tubuh pemuda tampan itu dipontang-pantingkan dan dilempar-lemparkan ke atas, Celaka,pikir mereka, tak lama lagi tentu pemuda itu akan terlempar dan terbanting jatuh! Akan tetapi, ternyata tidak demikian karena pemuda itu malah tertawa-tawa, tersenyum dan melambaikan tangan kepada mereka! Melihat sikap ini, barulah mereka percaya akan kehebatan pemuda itu dan bersorak mereka. Terutama para perawan yang sedang berani terhadap pemuda seperti Arjuno itu, mereka berteriak-teriak seperti gila, menjerit-jerit dan kedua tangan mereka mencengkeram, ada yang mengembangkan kedua lengan seperti hendak memeluk pemuda itu, mata mereka basah air mata memandang Arjuno yang memang kelihatan gagah perkasa dan tampan sekali ketika mempermainkan kuda liar itu.   Joko Handoko diam-diam memandang dengan hati penuh kagum. Hebat sekali dara itu, pikirnya dan jantungnya berdebar keras. Dia mengerti benar bahwa semenjak dia tahu bahwa Bromatmojo adalah seorang dara cantik jelita bernama Sulastri, dia sudah jatuh cinta! Kini, melihat dara perkasa itu demikian hebatnya mempermainkan kuda liar yang dia sendiri tadi tidak berani mencobanya, dia makin kagum.   Bromatmojo memang sengaja membiarkan si Hitam itu mengamuk, meronta, meringkik dan membeker-beker, berloncatan ke atas, menarik punggungnya sampai melengkung, mencak-mencak seperti gila, bahkan menjatuhkan diri bergulingan! Namun, dengan mengandalkan aji meringankan tubuh, dia selalu dapat membiarkan tubuhnya mencelat ke atas untuk kemudian turun cepat di atas punggung kuda itu kembali, dan ketika kuda hitam itu menjatuhkan diri bergulingan, dia meloncat ke atas sampai tinggi kemudian turun tepat di atas punggung kembali setelah kuda itu berdiri kembali. Kuda hitam itu seperti gila dan membuat loncatan-loncatan aneh dan lucu. Napasnya terengah-engah,mulutnya mengeluarkan busa, matanya menjadi merah liar, hidungnya kembang-kempis dan akhirnya dia kehabisan tenaga atau kehabisan napas, gerakannya meronta makin lemah dan ringkikannya berkurang, akhirnya dia berdiri mendengus-dengus, tidak meronta lagi, keempat kakinya menggigil.   Pecah sorak-sorai menyambut kemenangan ini, kemenangan yang amat gemilang dan enak dipandang karena tampak betapa Bromatmojo benar-benar berjuang untuk menundukkan itu, kekuatan dan keganasan kuda dilawan dengan kecekatan dan kelincahan, tidak seperti para pemenang lain yang menggunakan aji penyirepan dan lain-lain sehingga kuda yang mereka tunggangi itu ditundukan tanpa perjuangan hebat seperti yang diperlihatkan oleh Bromatmojo!   "Anak itu hebat sekali, Dimas Aryo. Ilmunya tinggi...." Sang Adipati Wirorojo memuji.   Aryo Pranarojo mengerutkan alisnya. "Memang dia sakti, akan tetapi bocah itu sungguh kementus dan kemaki (sombong dan berlagak). Kalau diserahi urusan besar dia bisa membikin gagal tugas yang diserahkan kepadanya."   "Hemm, belum tentu begitu, Dimas Aryo. Kulihat dia masih muda sekali, dan kurasa dia tidak sombong, melainkan seperti lumrahnya pemuda remaja dia ingin menggembirkan orang dan memperoleh pujian."   "Mungkin pendapat Andika benar, Kakangmas Adipati. Akan tetapi saya pribadi lebih suka kepada pemuda tinggi kurus yang wajahnya muram itu. Dia tentu seorang yang serius dan dapat diserahi tugas penting yang tentu akan dibela dengan mati-matian."   Percakapan mereka terhenti oleh sorak-sorai para penonton melihat Bromatmojo yang sudah berhasil menudukkan si Hitam itu kini menggerakkan tali kendali kuda itu meloncat ke depan seperti terbang.   "Haiiii..... panahnya....! Panahnya....!!" Seribu buah mulut lebih meneriakkan "panah" untuk mengingatkan Bromatmojo bahwa dia lupa mengambil busur dan anak panah, sedangkan kudanya sudah mulai dia larikan ke depan. Mendengar ini, Bromatmojo baru teringat. Ah, mau apa dia membalapkan kuda ke depan kalau tidak membawa anak panah?   "Hirrrrr......!!" Dia berteriak dengan nyaring sekali mengatasi teriakan para penonton dan dia menarik kendali. Kuda hitam itu berhenti dan mengangkat kedua kaki depan ke atas, kemudian membalik ke tempat semula. Bromatmojo tidak turun dari atas kuda, melainkan miringkan tubuhnya dan menyambar tumpukan anak panah di atas meja tanpa memilih lagi. Dia telah mengambil tiga batang anak panah dan kini kudanya mengulangi lagi larinya membalap yang tadi ditunda. Cepat seperti terbang saja lari kuda itu dan terdengar lagi sorakan para penonton dengan teriakan-teriakan nyaring, "Gendawanya...! Gendawanya....!"   Akan tetapi Bromatmojo sambil tertawa mengangkat tinggi-tinggi tiga batang anak panahdan tidak lagi untuk mengambil busur.   "Hemm, dia mengambil anak panah tanpa gendawa. Mau apa lagi anak itu?" Aryo Pranarojo berkata terheran-heran.   Semua orang kini mengikuti gerak-gerik Bromatmojo yang tubuhnya terguncang-guncang naik turun di atas tubuh kuda hitam yang mata kuat itu. Ketika kuda itu tiba tepat di tempat yang diberi tanda, Bromatmojo menggerakkan tangannya tiga kali berturut-turut. Yang nampak hanya sinar berkilat menyambar ke arah orang-orangan itu tiga kali dan terdengar suara "cart.....tak...tak!!"   Semua orang yang menyaksikan orang-orangan itu disambar tiga batang anak panah, menjadi bengong sejenak, kemudian meledaklah sorak-sorai yang gegap-gempita. Sekali ini, bahkan Sang Adipati sendiri bertepuk tangan memuji dan Aryo Pranarojo juga mengganguk-angguk, karena apa yang diperlihatkan oleh pemuda tampan itu benar-benar amat luar biasa. Anak panah yang pertama dengan jitu sekali telah menancap di tenggorokan orang-orangan itu, anak panah ke dua menyambar dan membelah anak panah pertama, terus menancap di tempat yang sama, dan anak panah yang ke tiga membelah anak panah ke dua, juga menancap di tempat yang sama pula. Dan ketiga anak panah itu menyambar tanpa bantuan gendawa, hanya dengan lontaran tangan saja!   Gegerlah semua penonton. Ribuan orang penonton yang seperti semut itu bergerak seperti serombongan semut diganggu. Kalau tidak takut kepada Sang Adipati dan para penjaga, agaknya sudah banyak penonton, terutama dara-dara remaja, yang lari menyeberangi alun-alun untuk menghampiri Bromatmojo dan mengelu-elukannya.   Bromatmojo sudah melompat turun dari kuda hitamnya dan menyerahkan kuda itu kepada para penjaga. Lalu dengan tersenyum dia duduk di tempat para peserta yang lulus ujian, dan bersama dia kini para peserta yang lulus dalam ujian ke dua berjumlah delapan orang.   Kini ujian ke tiga telah dipersiapkan oleh para perajurit pengawal, dipimpin sendiri oleh Raden Turonggo. Sesuai dengan jumlah para peserta yang lulus ujian ke dua, di situ telah didirikan delapan batang bambu yang tingginya kurang lebih empat meter dan pada setiap ujung bambu itu dikatkan sebuah kelapa muda dengan tali lawe. Lima orang perajurit anggota pasukan panah, yaitu ahli-ahli panah tepat, telah berdiri berjajar dalam jarak seratus langkah dan siap dengan busur dan anak panah mereka. Ngeri juga hati para penonton melihat ini. Mereka sudah mendengar bahwa ujian ke tiga amat berbahaya karena para peserta harus dapat memetik buah kelapa itu dari atas ujung bambu tanpa memanjat bambunya, dan untuk pekerjaan yang sudah amat sukar ini mereka masih dihalangi oleh lima orang itu yang kan menghujani mereka dengan anak panah! Dua ujian pertama tidaklah berbahaya kalau dibandingkan dengan ujian ke tiga ini. Baru memetik buah kalapa setinggi itu saja sudah merupakan hal yang amat sukar, apa lagi harus melindungi diri dari serangan hujan anak panah, Gila, sama saja dengan bunuh diri!   Peserta pertama yang bertubuh tinggi besar dan bercambang bauk (brewokan) maju dengan langkah lebar dan gagah. Begitu dia tiba di tanah yang sudah di beri tanda lingkaran di bawah bambu, Raden Turanggo memberi aba-aba dan lima orang pemanah itu segera melepaskan anak panah meraka. Berdesinglah anak panah menyambar-nyambar ke arah tubuh Si Tinggi Besar dan peserta ini yang sudah bersiap-siap lalu menggerakkan tubuh mengelak ke sana-sini dan kaki tangannya juga bergerak menangkisi anak-anak panah itu. Belasan batang anak panah dapat dia halaukan dan dia lalu meloncat ke atas. Akan tetapi kembali anak-anak panah menyambar dan orang itu terpaksa sibuk melindungi tubuhnya dari serangan anak-anak panah itu sehingga dia gagal untuk mengambil buah kelapa. Dia meloncat lagi, akan tetapi setiap kali di meloncat, pasukan panah tadi melepas anak-anak panah mereka sehingga sampai lima kali dia meloncat, laki-laki tinggi besar itu masih belum mampu mengambil buah kelapa, bahkan sebatang anak panah telah melukai betisnya. Dia meloncat turun dan betisnya berdarah. Gagallah peserta pertama ini dan dia meninggalkan gelanggang.   Peserta ke dua yang dipanggil adalah Joko Handoko. Dengan tenang pemuda tampan gagah dan bersikap halus ini maju, disambut oleh tepuk sorak memberi semangat. Joko Handoko lalu menghampiri sebuah di antara delapan batang bambu itu dan begitu kakinya memasuki lingkaran, Raden Turaonggo memberi isyarat dan berhamburanlah anak-anak panah seprti hujan menyambar ke arah tubuh pemuda perkasa ini. Namun, Joko Handoko sudah mempersiapkan diri, sejak memasuki lingkaran dia telah mengerahkan aji kekebalannya dan melihat anak-anak panah datang menyambar, dia hanya menggerakkan kedua tangan untuk menyapok anak panah yang menuju ke matanya. Anak-anak panah yang menuju ke bagian lain dari tubuhnya didiamkan saja. Semua orang terkejut akan tetapi lalu bernapas lega dan bersorak memuji ketika anak-anak panah yang mengenai tubuh pemuda itu runtuh seperti mengenai besi baja, dan pada saat itu tubuh Joko Handoko sudah mencelat ke atas. Terdengar dia berteriak nyaring karena untuk meloncat setinggi itu memang bukanlah hal mudah baginya. Biar pun dia telah mengerahkan tenaga, namun teap saja tangannya yang meraih buah kelapa masih tidak sampai, kurang dua tiga jengkel lagi! Terpaksa dia melayang turun dengan tangan hampa dan para penonton menahan napas, merasa kecewa. Kembali anak-anak panah menyerbu dan sekali ini, setelah meruntuhkan semua anak panah, dia meloncat lagi sambil menarik ikat kepalanya. Seperti juga tadi, loncatannya masih belum cukup tinggi untuk meraih buah kelapa itu, akan tetapi dia mengerakkan ikat kepalanya memukul ke atas dan putuslah tali yang mengikat dawegan(kelapa muda) itu sehingga buah itu runtuh ke bawah dan cepat disambarnya sebelum dia melayang turun. Tepuk sorak menyambut kemenangan ini dan dengan sikap hormat Joko Handoko menyembah ke arah panggung di mana Sang Adipati duduk dan meninggalkan buah kelapa di atas tanah lalu dia disambut oleh Raden Turonggo sendiri yang mengajaknya menunggu dan duduk di tempat yang telah disediakan untuk para pemenang, yaitu di sebuah panggung yang sama tingginya dengan panggung Sang Adipati, hanya panggung ini dibentuk seperti gelanggang karena memang di sinilah nanti para pemenang di uji pula untuk menentukan tingkat mereka, yaitu dengan saling bertanding kesaktian!   Peserta ke tiga gagal lagi, biar pun dia tidak terluka seperti peserta pertama, namun hujan anak panah membuat dia sibuk mengelak dan menangkis sehingga dia sama sekali tidak memperoleh kesempatan untuk mengambil kelapa muda itu. Dia merasa tidak sanggup dan meninggalkan lapangan.   Kini tiba giliran dua orang kakak beradik yang mendaftarkan diri sebagai Gendana dan Gendini, dua saudara kembar itu. Ketika Gendana dipanggil, adiknya ikut pula maju dan kembali Raden Turonggo memberi berkenan kepada mereka untuk maju bersama. Dia telah banyak mendengar tentang perasaan saudara kembar yang sukar untuk dipisahkan satu dari yang lain. Dua orang muda itu dengan cepat menghampiri bambu dan dari sikap mereka yang tenang dapat dipastikan bahwa mereka sudah mengatur rencana untuk menghadapi ujian berat ini.   Dan memang demikianlah. Begitu mereka memasuki lingkaran, lima orang pemanah itu sudah menghujankan anak panah mereka. Dua orang itu bergerak, akan tetapi gerakan mereka berbeda, Si Adik hanya mengelak sedangkan Si Kakak selain mengelak juga menyambar anak-anak panah dengan kedua tangannya dia menangkap banyak anak panah di kedua tangannya. Tiba-tiba Si Adik berseru keras dan meloncat, bukan meloncat ke atas puncak bambu, melainkan ke atas tubuh kakaknya dan Si Kakak, menggunakan kedua tangan setelah menyelipkan anak-anak panah itu di ikat pinggang, menerima kedua kaki adiknya dan dari tangan kakaknya itulah Si Adik kini menggenjot tubuhnya ke atas! Pada saat itu, anak-anak panah kembali menyerangnya, akan tetapi kini Si Kakak menggunakan kedua tangan untuk melempar-lemparkan anak panah yang tadi dirampasnya dan dengan demikian dia memukul runtuh anak-anak panah yang mengancam adiknya! Karena Si Adik meloncat dari atas tangan kakaknya, tentu saja tempat kelapa muda itu tidak tinggi lagi dan dia berhasil memetik dawegan dengan baiknya lalu meloncat turun. Begitu dia turun, Si Kakak lalu Si Kakak lalu meloncat ke atas, seperti tadi dia diterima oleh kedua tangan adiknya dan kembali dia menggenjot tubuhnya berlandaskan dua telapak tangan adiknya. Anak-anak panah menyambar, namun dengan sigapnya Si Kakak ternya lebih pandai dari Adiknya, dapat menangkis dan menyepak anak-anak panah itu dan dengan mudah tangannya meraih dan memetik buah kelapa dari bambu ke dua, lalu turun dan mereka berdua berdiri dan membungkuk dengan hormat ke arah panggung Sang dipati di bawah sorakan dan pujian para penonton.   "Hemm, kemenangan mereka itu terjadi karena saling bantu," Aryo Pranarojo berkata, "Kalau maju seorang saja saya kira belum tentu berhasil."   Sang Adipati Wirorojo tersenyum dan meraba kumisnya. "Biar pun demikian, dengan kerja sama yang baik, dua orang itu boleh juga diandalkan."   Raden Turonggo juga ragu-ragu untuk menyatakan kakak beradik ini lulus ujian akan tetapi ketika dia menengok ke arah eyangnya duduk, dia melihat Sang Adipati menganggukkan kepalanya, maka dia lalu menyambut kakak beradik itu dan di ajak pergi duduk menanti di atas panggung di mana telah duduk Joko Handoko.   Ketika bertemu pandang dengan Joko Handoko, kakak beradik itu tersenyum dan Si Adik berkata dengan suara halus, "Andika sungguh gagah perkasa dan hebat, Kisanak....!"   Joko Handoko tersenyum dan menjawab, "Dan Andika berdua sungguh cerdik bukan main!"   Mereka berdua tersenyum lebar dan Joko Handoko merasa betapa pandang mata Gendini kepadanya mengandung sesuatu yang membuat dia mengerutkan kening. Dia dapat menduga bahwa "Pemuda" ini adalah seorang gadis yang berpakaian pria, seperti halnya Sulastri. Hanya bedanya, kalau Sulastri dalam penyamarannya itu benar-benar hendak menyembunyikan kewanitaannya sehingga tidak mudah dikenal, sebaliknya gadis ini tidak menyembunyikan kewanitaannya, suaranya pun halus, dan agaknya dia berpakaian pria agar leluasa bergerak saja. Melihat betapa dara itu terus menerus memandang kepadanya dengan senyum penuh arti, dia merasa malu dan memalingkan muka tidak berani memandang lagi.   Kini tinggal tiga peserta yang belum menempuh ujian, yaitu pemuda tinggi kurus, seorang peserta yang bermuka hitam dan pendek gemuk, dan orang ke tiga adalah Bromatmojo. Tibalah giliran pemuda tinggi kurus yang berwajah muram. Dia memasuki lingkarang di bawah bambu dengan tenang dan ketika anak-anak panah datang menyambar dia sama sekali tidak mengelak atau menangkis, seperti Joko Handoko tadi, ternyata dia melindungi dirinya dengan aji kekebalan dan tanpa memperdulikan hujan anak panah, dia sudah menggenjot kakinya dan tubuhnya mencelat dengan ringan dan mudahnya, tangannya meraih dan di lain saat dia telah memetik buah kelapa itu! Jelas bahwa dalam hal meringankan tubuh, dia menang jauh dengan kakak berdik itu,bahkan masih menag kalau dibandingkan dengan Joko Handoko yang tadi terpaksa harus menggunakan bantuan ikat kepalanya untuk dapat mengembil kelapa muda itu. Tentu saja kemenangan pemuda tinggi kurus ini amat menonjol dan dia menerima sorak pujian para penonton, sungguh pun penonton tidak suka melihat pemuda yang berwajah muram dan bersungut-sungut itu.   Peserta pendek gemuk menerima giliran kembali dia gagal karena loncatannya tidak dapat mencapai buah kelapa. Karena jengkel agaknya, Si Pendek gemuk ini menggunakan kekuatan kedua tangannya, merobohkan bambu sehingga buah kelapa itu ikut pula jatuh ke bawah lalu diterimanya dengan tangan. Tentu saja hal ini menyalahi syarat dan dia dinyatakan tidak lulus. Di bawah sorak-sorai penonton, Si Pendek Gemuk ini meninggalkan lapangan. Agaknya dia memiliki aji kekabalan yang paling hebat karena anak-anak panah yang mengenai tubuh atasnya yang telanjang itu banyak yang patah-patah! Akan tetapi dalam hal kegesitan dan keringanan tubuh, dia harus banyak belajar lagi.   Tibalah kini giliran Bromatmojo dan sebelum pemuda itu melangkah, dia sudah disambut sorak dan tepk tangan riuh rendah. Jelas sekali betapa simpati para penonton pada umumnya dilimpahkan kepada Bromatmojo. Melihat ini, Raden Turonggo sendiri tersenyum dan memandang kagum. Memang peserta yang satuini amat mengagumkan, amat tampan dan pandai mengikat hati.   Dan Bromatmojo sendiri yang tahu betapa para penonton menjagoinya, mengambil keputusan untuk memperlihatkan kepandaian agar menyenangkan hati para penonton yang telah bersikap demikian baik kepadanya. Maka begitu dia tiba di bawah bambu, belum memasuki lingkaran, dia tersenyum dan mengangguk ke empat penjuru, disambut oleh para penonton yang bersorak gembira memuji jagoan mereka. Kemudian dia lalu meloncat masuk ke dalam lingkaran dan pada saat itu, Raden Turonggo telah memberi isyarat dan lima orang pemanah segera menghujankan anak panahnya ke arah Bromatmojo.   Di antara ilmu-ilmu kesaktian yang dipelajarinya dan sangat boleh diandalkan, terutama sekali adalah ilmunya meringankan tubuh yang disebut Aji Turonggo Bayu, ilmu kesaktian yang membuat tubuh dara itu dapat bergerak secepat kilat dan dapat berlari secepat angin. Kini, melihat datangnya anak panah yang bertubi-tubi seperti hujan, Bromatmojo memperoleh kesempatan untuk mendemonstrasikan gerak cepatnya. Tubuhnya melesat ke kanan kiri, atas bawah dan depan belakang, begitu cepatnya sehingga tubuhnya berubah menjadi banyak! Tentu saja para penonton menjadi kagum dan gembira sekali. Mereka bertepuk tangan dan bersorak memuji Bromatmojo yang memang sengaja hendak memamerkan kepandaiannya, tidak cepat-cepat meloncat ke atas melainkan "bermain-main" dengan hujan anak panah itu. Para pemanah juga kagum sekali maka tanpa diperintah lagi mereka seperti hendak melayani pemuda luar biasa itu untuk bermain-main dan mereka terus melepaskan anak panah dengan gencar , karena mereka pun yakin bahwa tidak akan ada anak panah yang dapat mengenai tubuh yang demikian gesit gerakannya, melebihi seekor burung walet!   Setelah puas bergerak ke sana-sini mengelak dari semua anak panah, Tiba-tiba Bromatmojo mengeluarkan suara melengking keras dan tahu-tahu tubuhnya mencelat tinggi sekali ke angkasa! Dia berjungkir balik sampai empat kali dan ketika anak panah kembali menyambar ke arah tubuhnya yang berjungkir balik membuat salto di udara itu, Bromatmojo lalu menangkapi anak panah itu dengan kedua tangan, bahkan ada yang digigitnya ketika anak panah itu lewat di depan mukanya, dan kedua kakinya kini menggunting tali yang mengikat dawegan. Ketika tubuhnya melayang turun, dia melempar-lemparkan anak panah yang ditangkap-tangkapinya tadi ke arah anak panah lain yang datang menyambar dan anak-anak panah itu jatuh berhamburan dan patah-patah!   Dengan berjungkir balik lagi, dia menyambar buah kelapa yang melayang jatuh, kemudian, dibawah tepuk sorak gemuruh dari penonton yang berjingkrak-jingkrak saking gembiranya Bromatmojo menggunakan tangannya seperti sebatang golok dan sekali pukul saja kelapa muda itu pecah menjadi dua dan diminumnyalah air kelapa itu dengan enaknya! Tentu saja para penonton menjadi makin gemuruh dan tertawa-tawa. Bromatmojo lalu melemparkan dua pecahan kelapa muda itu ke arah penonton dan kini terjadilah tontonan yang amat menarik ketika para perawan yang kegilaan itu sudah saling memperebutkan dawegan yang dilemparkan oleh Sang Arjuna itu!   Raden Turonggo menggeleng-gelengkan kepala ketika menyambut Bromatmojo, dan putera mendiang Adipati Ronggo Lawe ini memandang tajam dan berkata kagum, "Andika sungguh pandai...."   Bromatmojo belum tahu siapa adanya pemuda tampan gagah yang mengatur jalanya sayembara itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa tentu pemuda ini seorang yang penting di Lumajang, maka dia menjawab, "Ah, tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan Paduka."   Diam-diam Raden Turonggo makin kagum. Pemuda tampan ini selain memiliki kesaktian yang hebat juga pandai mengambil hati, ramah tamah, lincah jenaka dan agaknya akan dapat menjadi seorang sahabat yang menyenangkan. Dia lalu mengajak naik ke panggung di mana Joko Handoko menyambut Bromatmojo dengan seruan nyaring saking bangga dan girang hatinya, "Engkau sungguh hebat, Adimas Bromatmojo!"   "Andika juga lulus, Kakangmas Joko!" jawab Bromatmojo dan dia melirik ke arah pemuda tinggi kurus yang memandangnya dengan sinar mata tajam penuh selidik itu. Hemm, agaknya dialah lawanku yang paling kuat nanti, pikir Bromatmojo.   Raden Turonggo menghadapi eyangnya untuk melaporkan dan Adipati Wirorojo setuju untuk menerima lima oarng muda itu sebagai pemenang sayembara. "Laksanakan kini pemilihan untuk menentukan tingkat mereka, Kulup, akan tetapi jaga jangan sampai mereka itu saling melukai apalagi saling bunuh."   Raden Turonggo mengangguk, kemudian dia menuju ke panggung para peserta dan dengan suara lantang dia mengumumkan bahwa lima orang peserta ini adalah pemenang sayembara. Pengumuman ini disambut oleh sorakan gembira dari para penonton dan Raden Turonggo lalu mengangkat kedua tangan ke atas, memberi isyarat agar semua penonton tenang. Setelah mereka tidak bersorak lagi, Raden Turonggo berkata lagi dengan lantang,   "Sekarang hendak diadakan pertandingan ilmu di antara mereka. Bukan untuk mencari kemenangan atau kekalahan, hanya sekedar untuk menentukan tingkat di antara mereka. Maka diharap para peserta tidak bertanding untuk merobohkan lawan, melainkan untuk memperlihatkan kepandaian bertanding. Hendaknya diingat bahwa mulai sekarang, Andika sekalian kawan-kawan sejabat atau rekan-rekan seperkejaan."   Kakak beradik Gendana dan Gendini segera bangkit berdiri dan mereka berdua menjura kepada Raden Turonggo. "Biarlah kami berdua saling bertanding untuk memperlihatkan kemampuan kami kalau diperkenankan."   Raden Turonggo mengangguk. Sebaiknya begitu dan pertandingan antara kakak beradik ini tentu paling aman dan tidak mungkin mereka akan saling melukai.   Mulailah dua orang kakak beradik itu bergerak di tengah-tengah panggung biar pun hanya merupakan semacam latihan bagi mereka, namun gerakan mereka benar-benar amat tangkas dan cepat. Pukulan, tendangan dan tangkisan dilakukan dengan sungguh-sungguh, dan hanya seorang ahli saja yang dapat berlatih seperti itu cepatnya, tiada bedanya dengan perkelahian sungguh-sungguh. Dari gerakan mereka dan cara mereka menyerang dan menangkis atau mengelak, dapat dinilai sampai di mana kehebatan mereka dalam ilmu seni bela diri itu.   "Heiiiiiittt.....!!" Tiba-tiba Gendini memekik dan tubuhnya meluncur cepat, kedua kakinya bergantian melakukan tendangan kilat.   "Plak! Plak!" Kedua tangan Gendana menangkis tendangan-tendangan itu dan cepat sekali kini kedua tangan Gendini melakukan pukulan dengan dorongan dari samping tubuhnya, ke arah dada lawan. Gendana menyambut dengan dorongan kedua tangan pula.   "Plakkk!" Dua pasang tangan saling bertemu dan sekali Gendana mengerahkan tenaga, tubuh adiknya itu terangkat dan terlempar ke atas kepalanya seperti terbang! Akan tetapi, dengan garakan indah Gendini sudah berjungkir balik dua kali dan turun seperti seekor burung saja. Tepuk tangan menyambut demontrasi ilmu silat yang telah berakhir itu.   Kakak beradik itu tersenyum dan kembali ke tempat duduk mereka. Kini Joko Handoko bangkit berdiri, maksudnya hendak mencontoh kakak berdik itu dan hendak mengajak Bromatmojo untuk bertanding. Akan tetapi sebelum Bromatmojo bangkit, pemuda tinggi kurus sudah bangkit lebih dulu dan sekali menggerakkan kakinya, dia sudah meloncat ke depan Joko Handoko sambil membungkuk. "Kisanak, marilah kita main-main sebentar," katanya dengan sikap kaku.   Ucapan yang dikeluarkan dengan sikap kaku ini dapat diterima sebagai tantangan, maka Joko Handoko mengerutkan alisnya dan menjawab, "Boleh, silahkan maju."   Raden Turonggo yang teringat akan pesan kakeknya,berdiri dengan sikap waspada dan siap untuk melerai sekiranya pertandingan itu menjadi berbahaya bagi kedua pihak.   "Tidak diperkenankan menggunakan senjata," katanya kepada dua orang muda itu sebelum mereka bergerak.   Joko Handoko mengangguk dan lawannya diam saja, kemudian lawannya membentak nyaring sambil menggerakkan tangan kiri melakukan serangan pertama dengan tamparan dari samping.   "Wuuuutttt....! Wiirrrr...!"   Joko Handoko cepat mengelak dan diam-diam dia terkejut ketika merasakan angin sambaran tamparan itu amat kuat dan juga mengandung hawa panas. Maklumlah dia bahwa lawannya itu bukan orang sembarangan, sungguhpun hal itu sudah dapat diduganya ketika melihat Si Tinggi Kurus tadi lulus dalam tiga macam ujian dengan baik, bahkan lebih unggul daripada dia.   Namun ketika pukulan ke dua datang menyambar, dia sengaja menangkis untuk mengukur kekuatan lawan.   "Wuuuuuuttt.....desss!!"   Joko Handoko terhuyung ke belakang sedangkan pemuda tinggi kurus itu berdiri tegak. Tentu saja Joko Handoko terkejut. Jelas bahwa dia kalah tenaga, bahkan kalah jauh. Akan tetapi dia tidak merasa gentar dan cepat pemuda ini sudah menerjang dan balas menyerang. Lawannya mengelak, gerakannya lambat-lambat saja akan tetapi anehnya, semua serangan Joko Handoko hanya mengenai angin belaka. Sampai pukulan jurus Joko Handoko menyerang, namun lawannya terus mengelak dengan mudahnya. Ketika Joko Handoko menjadi makin penasaran dan mengirim pukulan dengan pengerahan tenaga sakti ke arah lambung lawan, pemuda tinggi kurus itu mengeluarkan suara menggereng seperti harimau.   Blukkk! Plakkk!" Tubuh Joko Handoko terpelanting. Ternyata Si Tinggi Kurus itu menerima hantaman Joko Handoko dan pemuda ini merasa betapa tangannya seperti menghantam benda yang kenyal dan kuat, dan pada detik berikutnya, Si Tinggi Kurus sudah menampar pundaknya dan tak dapat ditahan lagi, tubuh Joko Handoko terpelanting keras.   "Kakangmas....!" Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan semua orang memandang dengan terheran-heran dan juga kagum ketika melihat bahwa yang meloncat seperti seekor kijang ke atas panggung itu adalah seorang gadis yang cantik sekali! Gadis itu cepat memegang lengan kakaknya yang masih berlutut dan bertanya, "Kakangmas, kau terluka....?"   Joko Handoko menggelang kepala lalu bengkit berdiri. "Tidak apa-apa, Diajeng, tidak apa-apa...." Dengan perasaan tidak enak karena melihat Roro Kartiko, adiknya itu meloncat naik ke atas panggung, Joko Handoko lalu memberi hormat kepada Raden Turonggo yang menghampirinya dan yang memandang kepada Roro Kartiko dengan heran.   "Harap Paduka maafkan, Raden. Dia ini adalah adik saya yang mengkhawatirkan keadaan saya...."   Raden Turonggo juga kagum melihat dara cantik yang ternyata dapat melompat sejauh dan secepat itu, maka dia menggeleng kepalanya. "Tidak mengapa, sekarang harap Andika mundur...."   Sementara itu. Bromatmojo sudah meloncat ke tengah panggung menghadapi Si Tinggi Kurus. "Karena tidak ada peserta lain, benanikah Andika menemani saya bertanding?" tanya Bromatmojo sambil tersenyum. Biar pun pertanyaannya itu merupakan tantangan, akan tetapi karena dilakukan dengan senyum, maka Si Tinggi Kurus itu tidak dapat berbuat lain kecuali mengangguk. Dan Raden Turonggo juga tidak dapat mencegah mereka karena begitu terlihat Si Tinggi Kurus mengangguk, Bromatmojo sudah cepat menerjang dengan serangan-serangannya!   Bertandinglah kedua orang ini dan sekali ini para penonton disuguhi pertandingan yang amat seru dan hebat! Sementara itu, Joko Handoko dan Roro Kartiko disambut oleh kakak beradik kembar. Gendana memandang kepada Roro Kartiko penuh kekaguman.   Karena dua orang bersaudara itu bersikap manis, Joko Handoko lalu memperkenalkan mereka kepada adiknya. "Diajeng, mereka ini adalah saudara Gendana dan Gendini...."   "Ah, itu adalah nama samaran kami," kata Gendana. "Sebetulnya nama saya adalah Murwendo, Raden Murwendo, dan adik saya ini bernama Murwanti."   Joko Handoko mengangguk, karena memang dia pun sudah menduga bahwa nama mereka itu adalah nama samaran yang berarti saudara kembar laki-laki dan perempuan. "Adik saya ini bernama Roro Kartiko."   "Nama yang indah...." kata Raden Murwendo.   "Kepandaianmu hebat juga, mengapa engkau tidak ikut sayembara?" tanya Roro Murwanti kepada Roro Kartiko.   "Tadinya saya hendak ikut, akan tetapi saya ngeri melihat kuda liar itu," jawab yang ditanya.   Jilid 49   Sorak-sorai penonton membuat mereka berempat menoleh dan memandang ke tengah panggung. Pertempuran itu memang hebat dan seru. Baru sekarang Joko Handoko mendapat kenyataan bahwa lawannya tadi memang tinggi ilmunya, maka dia pun tidak merasa penasaran telah dikalahkan oleh Si Tinggi Kurus. Dia tahu betapa saktinya Bromatmojo, namun pemuda dari puncak Bromo itu ternyata masih belum mampu mengalahkan lawannya!   Memang Bromatmojo merasa penasaran sekali. Dia mengeluarkan ilmu-ilmu yang ampuh, sudah menerjang dengan menggunakan Aji Hasto Bairowo, yaitu ilmu pukulannya yang amat kuat dan cepat. Namun, lawannya ternyata dapat mengimbangi serangannya, dapat mengelak dan bahkan berani menangkis pukulan Hasto Nogo yang mengandung daya melumpuhkan dan mujijat itu! Ternyata ketika mereka berdua beradu lengan, keduanya terdorong mundur, tanda bahwa kekuatan tenaga sakti mereka berimbang! Hal ini membuat Bromatmojo menjadi pensaran dan marah, maka dia lalu mengeluarkan pekik melengking dan tubuhnya segera bergerak seperti seekor burung walet menyambar-nyambar. Demikian cepat gerakannya seolah-olah kedua kakinya tidak menginjak papan panggung lagi dan tubuhnya seperti berubah menjadi banyak, yang menyerang secara bertubi-tubi kepada Si Tinggi Kurus dari segala jurusan.   Barulah sekarang Si Tinggi Kurus kelihatan terdesak! Para penonton bersorak-sorai, hampir semua orang menjagoi Bromatmojo. Akan tetapi Si Tinggi Kurus itu memang tangguh sekali. Biar pun kini dia tidak memperoleh kesempatan untuk membalas karena kecepatan gerak tubuh Bromatmojo benar-benar amat hebat, namun belum juga Bromatmojo dapat memukulnya secara tepat sehingga dia masih dapat melindungi dirinya dan bahkan beberapa kali tangkisan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga seperti membendung serangan berantai dari Bromatmojo,   "Hyaaaaaahhh.........!! Bromatmojo tiba-tiba memekik keras dan dengan kecepatan lauar biasa dia telah mengirim serangkaian pukulan sakti dengan kekuatan Hasto Nogo! Si Tinggi Kurus mengelak dan menangkis, namun dia kalah cepat dan pundaknya masih kena terdorong oleh tangan kiri Bromatmojo yang mengandung tenaga mujijat sehingga dia terhuyung ke belakang. Hanya terhuyung! Padahal tamparan Hasto Nogo itu dapat meremukan batu karang!   "Cukup harap kalian mundur!" Raden Turonggo tiba-tiba melangkah maju dan melerai mereka. Dua orang itu sejenak berpandangan seperti dua ekor jago yang masih haus darah, akan tetapi Bromatmojo lalu tersenyum dan orang tinggi kurus itu makin merengut. Keduanya lalu kembali duduk di panggung itu, diiringi sorak-sorai penonton yang kegirangan karena jelas nampak oleh mereka tadi bahwa jagoan mereka Sang Arjuna telah menang, biar pun lawannya belum roboh. Karena para perwira yang bertugas mengumumkan bahwa sayembara telah bubar, maka mereka semua lalu bubaran.Banyak di antara mereka, laki-laki dan perempuan, tua muda, desakan ingin mendekati Sang Arjuno, akan tetapi para perajurit melarang mereka sehingga mereka hanya menonton dari jauh dan melambaikan tangan kepada Bromatmojo.   Adipati Wirorojo mengundurkan diri memasuki istana dan lima orang muda yang dipilih itu, bersama Roro Kartiko yang diperkenankan pula menghadap bersama kakaknya, dipanggil masuk dan diantar oleh Raden Turonggo.   Ruangan itu luas dan bersih, dan Sang Adipati duduk dihadap oleh semua hulubalang dan para pembantunya. Aryo Pranarojo duduk di sebelah kirinya, sedangkan Raden Kuda Anjampiani atau Raden Turonggo lalu menghadap mendampingi lima orang peserta sayembara bersam Roro Kartiko. Di ruangan itu hadir pula para senopati yang merupakan kawan-kawan seperjuangan dari Sang Adipati, bekas-bekas jagoan mojopahit yang telah mengungsi ke Lumajang. Mereka ini antara lain adalah Tumenggung Pamandana yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, Aryo Semi yang masih muda dan kelihatan gagah perkasa, usianya paling banyak tiga puluh lima tahun, Aryo Jangkung dan Aryo teguh yang sedikit lebih tua, kemudian nampak pula Panji Samara dan Panji Wironagari. Mereka ini semua adalah orang-orang gagah perkasa yang sejak muda telah banyak membantu Mojopahit dan semenjak tewasnya Adipati Ronggo Lawe kemudian tewasnya Demang Lembu Sora lalu melarikan diri ke Lumajang karena mereka tidak tahan lagi melihat betapa kekuasaan Puteri Melayu makin kuat mencengkeram Sang Prabu sehingga merekalah yang berkuasa di Mojopahit.   Mereka semua tadi ikut pula menyaksikan pertandingan sayembara dan kini mereka memandang orang-orang muda itu dengan penuh perhatian dan kekaguman. Setelah semua peserta yang lulus itu menghadap, dengan wajah berseri karena gembira memperoleh pembantu-pembantu muda demikian gagah perkasa, Sang Adipati lalu memandang kepada Bromatmojo, peserta yang dianggapnya paling hebat.   "Eh, bocah bagus, engkau sungguh mengagumkan hati semua orang. Siapakah Andika dan dari mana asalmu, orang muda yang ganteng?"   Bromatmojo cepat menyembah dan dengan kedua pipi berubah merah dia lalu menjawab, suaranya halus namun penuh keriangan dan nyaring karena memang demikianlah watak dara ini, "Mohon Paduka sudi mengampuni hamba. Sesungguhnya hamba bukanlah seorang pria, melainkan wanita....."   "Jagad Dewa Bathara! Wanita....?" Sang Adipati berseru kaget.   "Ah, wanita....?" terdengar bisikan mereka yang hadir di situ dan semua mata menatap Bromatmojo dengan penuh rasa selidik, dengan mata terbelalak heran seolah-olah dara itu merupakan seorang manusia aneh dari bulan. Memang siapakah yang yang menyangka bahwa pemuda yang demikian tinggi kepandaiannya, yang keluar sebagai juara dalam sayembara itu, hanyalah seorang wanita muda, seorang dara? Kini barulah mereka mengerti mengapa pemuda itu demikian tampannya, demikian memikatnya. Kiranya seorang wanita, seorang dara, yang cantik!   "Ampunkan hamba, Gusti Adipati. Nama Bromatmojo adalah nama penyamaran hamba, karena hamba datang dari puncak Bromo. Nama hamba yang sesungguhnya adalah Sulastri, murid dari Eyang Empu Supamandragi di puncak Bromo."   Hammm, pantas....pantas.... kiranya Andika murid Kakang Empu Supamandrangi...!" Adipati Wirorojo mengangguk-angguk. Tentu saja dia mengenal Empu yang sakti itu karena puteranya sendiri, mendiang Adipati Ronggo Lawe adalah juga murid Sang Empu itu. "Baiklah, Nini Sulastri, kami girang sekali mendengar bahwa Andika adalah murid gemblengan Kakang Empu Supamandrangi. Penyamaranmu baik sekali sehingga Andika mampu mengelabui orang se-Lumajang. Sekarang, katakanlah Nini, mengapa Andika sebagai seorang wanita muda bersusah-payah menyamar sebagai pria, dan memasuki sayembara yang kami adakan?"   "Maaf, Gusti Adipati. Hamba menyamar agar mudah melakukan perjalanan dan hamba sengaja hendak menghambakan diri di sini kepada Paduka karena hamba tahu bahwa Paduka adalah ayah dari orang yang hamba junjung sebagai seorang Guru hamba yang paling baik, yang telah meninggalkan benda ini kepada hamba." Bromatmojo atau Sulastri mengeluarkan kalungnya yang tersembunyi di balik bajunya, yaitu kalung Kundolo Mirah pemberian mendiang Adipati Ronggo Lawe.   "Kundolo Mirah....!!" Seruan ini keluar dari mulut Sang Adipati dan dari mulut Raden Turonggo.   "Duh Jagat Dewa Bathara......! Kiranya Andika ada hubungan demikian erat dengan mendiang puteraku Ronggo Lawe? Coba ceritakan kepada kami, Nini, bagaimana Andika bisa mendapatkan Kundolo Mirah itu."   "Beberapa bulan sebelum terjadi perang antara Tuban dan Mojopahit, Sang Adipati Ronggo Lawe pernah menolong Kakak hamba dan hamba dari gangguan orang-orang jahat. Karena kagum maka hamba minta menjadi murid beliau. Akan tetapi pada waktu itu beliau sedang sibuk dengan urusan kerajaan, maka sebagai gantinya Beliau memberikan Kundolo Mirah ini kepada hamba. Kemudian hamba menjadi murid Eyang Jembros...."   "Ki Jembros.... yang tewas pula membantu Demung Lembu Sore?"   "Benar, Gusti. Karena Eyang Jembros terluka dan hendak membantu Paman Juru Demung dan Paman Gajah Biru yang ketika itu berada di Pegunungan Pandan, hamba lalu disuruh pergi ke puncak Bromo menghadap Eyang Empu Supamandrangi dan di sanalah hamba digembleng dan menjadi murid Eyang Empu."   "Ahh, sungguh beruntung sekali bagi kami mendapatkan bantuan seorang seperti Andika, Nini Sulastri. Lalu bagaimana asal mulanya maka Andika berada di Lumajang dan mengikuti sayembara?"   "Hamba sedang menyelidiki hilangnya Kolonadah, Gusti...."   Sang Adipati mengelus jenggotnya dan semua orang terkejut, saling pandang dan terdengarlah bisik-bisik halus. Sang Adipati lalu mengangkat tangan dan berkata, "Baiklah, kita akan bicarakan hal itu nanti setelah kami berkenalan dengan para peserta lainnya." Dengan kata-kata ini Sang Adipati hendak memberi tahu bahwa urusan Kolonadah tidak akan dibicarakan secara terbuka di persidangan itu dan Sulastri lalu menyembah dan menundukkan muka tanda bahwa dia mengerti.   Sang Adipati kini memandang kepada kakak adik kembar itu, memberi isyarat kepada mereka agar mendekat laju maju. Murwendo dan Murwanti lalu maju sampai berjongkok dan Sang Adipati tertawa.   "Ha-ha-ha, biar pun engkau menggunakan pakaian pria pula, Nini, akan tetapi semua orang dapat mengetahui atau menduga bahwa Andika adalah seorang wanita, tidak seperti Nini Sulastri. Apalagi dalam pendaftaran, nama Andika berdua adalah Gendana dan Gendini, tanda bahwa Andika adalah kakak beradik kembar, laki-laki dan wanita. Sebenarnya siapakah Andika berdua dan datang dari mana?"   "Tepat seperti dugaan Paduka, Gusti, hamba berdua adalah kakak beradik kembar, nama hamba Murwenda dan adik hamba bernama Murwanti. Kami berdua adalah kakak beradik dari pantai selatan, dari keluarga nelayan yang ingin meluaskan pengetahuan maka ketika hamba mendengar bahwa di Lumajang diadakan sayembara, hamba ingin memasukinya, dan Adik hamba ini tidak pernah mau ketinggalan selalu bersama hamba. Harap Paduka maafkan kebodohan hamba berdua."   Sang Adipati girang melihat sikap kakak beradik ini penuh hormat dan sopan bagi anak-anak nelayan. "Kepandaian kalian cukup baik dan kami merasa girang mendapat bantuan Andika, Murwendo dan Murwanti. Pembagian tugas bagi Andika semua akan diatur kemudian."   Sang Adipatii lalu menyuruh maju pemuda tinggi kurus yang wajahnya muram dan mulutnya bersungut-sungut itu. "Siapakah Andika? Kami lihat kepandaian Andika hebat, kiranya mengimbangi kesaktian Nini Sulastri."   Pemuda tinggi kurus itu menyembah. "Hamba bernama Harwojo dan hamba berguru kepada Ayah hamba sendiri yang bertapa di Lereng Gunung Anjasmoro dan yang sekarang sudah meninggal dunia. Hamba tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, merantau dan kebetulan hamba sampai di sini mendengar tentang sayembara, maka hamba memasukinya."   Sang Adipati mengangguk-angguk. "Baik, Harwojo. Melihat kepandaianmu, tentu Andika akan banyak berguna bagi Lumajang. Mudah-mudahan saja Andika akan dapat melaksanakan tugas Andika dengan baik."   Kini Sang Adipati memandang kepada Joko Handoko yang berlutut di dekat adiknya yang cantik, Roro Kartiko. Tentu saja tadi Sang Adipati juga melihat gerakan Roro Kartiko ketika dara itu meloncat seperti seekor kijang ke atas panggung, dan diam-diam Sang Adipati kagum sekali.   "Dan Andika siapakah, orang muda? Dan Nini Dewi itu apakah benar adik Andika? Sungguh mengherankan, sayembara ini sekaligus menarik datangnya tiga orang wanita Srikandi, ha-ha-ha!" Sang Adipati tertawa karena gembira hatinya.   "Hamba bernama Joko Handoko dan adik hamba ini bernama Roro Katiko. Sebelum hamba memperkenalkan keluarga hamba, hamba mohon sudilah kiranya Gusti Adipati mengampuni hamba."   Adipati Wirorojo mengerutkan alisnya dan memandang dua orang kakak beradik itu dengan penuh perhatian. "Hemm, apa sebabnya Andika datang-datang minta pengampunan? Tentu saja kalau ada sesuatu akan kami pertimbangkan dengan seadilnya, dan tidak mungkin kami menolak atau memberi pengampunan sebelum mendengar persoalannya. Ceritakanlah, Joko Handoko, siapakah keluargamu dan apa artinya sikapmu ini?"   "Hamba berdua datang dari tuban dan Ayah hamba.... mendiang Ayah hamba Progodigdoyo...."   Terdengar seruan-seruan kaget di ruangan itu dan Sang Adipati juga terkejut, memandang pemuda itu dengan mata tajam penuh selidik. "Progodigdoyo bupati Tuban?" tanyanya menegas dan ketika Joko Handoko mengangguk. Adipati itu mengerutkan alisnya. Tentu saja dia sudah mengenal baik siapa itu Progodigdoyo dan mendiang Ki Ageng Palandongan sudah banyak bercerita tentang sepak terjang Progodigdoyo yang menjadi kaki tangan Resi Mahapati.   "Hemm, Joko Handoko, apa sebabnya Andika datang ke Lumajang dan memasuki sayembara? Hayo ceritakan yang jelas karena mendengar bahwa Andika berdua adalah putera dan puteri Progodigdoyo, sungguh mengherankan hati kami mengapa Andika bisa berada di sini!" Di dalam suara Sang Adipati terkandung keraguan dan kecurigaan.   "oko Handoko dan Roro Kartiko menunduk, muka mereka sebentara merah dan sebentar pucat. "Setelah apa yang terjadi dengan ayah hamba di Mojopahit...." akhiranya Joko Handoko berkata sambil menunduk, "...hamba dan Adik hamba mengajak Ibu hamba berdua untuk lari dari Tuban..... dan hamba berdua ingin menghambakan diri di Lumajang untuk menentang kelaliman sebagai penbusan dosa orang tua hamba..."   Adipati Wirorojo mengelus jenggotnya. Tentu saja hatinya meragu. Progodigdoyo terkenal sebagai seorang yang berwatak jahat, dan biarpun kini putera dan puterinya kelihatan baik-baik, akan tetapi siapa berani tanggung apakah kedatangan mereka ini membawa hati yang jujur? Selagi dia ragu-ragu, tiba-tiba Bromatmojo atau Sulastri menyembah dan berkata, "Maaf, Gusti Adipati! Untuk Kakangmas Joko Handoko dan Diajeng Roro Kartiko, hambalah yang sanggup menanggung mereka! Telah lama hamba mengenak mereka, dan biarpun mereka adalah putera dan puteri mendiang Progodigdoyo, namun mereka berdua orang-orang gagah perkasa dan budiman yang dapat dipercaya penuh. Mereka adalah pemimpin-pemimpin dari perkumpulan Sriti Kencana yang menggegerkan Tuban karena sepak- terjang mereka menentang para pembesar lalim dan membela rakyat yang tertindas, bahkan mereka tidak segan-segan untuk menentang kelaliman Ayah mereka sendiri. Hamba kira, kelaliman Progodigdoyo tidak boleh ditimpakan kepada mereka, Gusti."   Dengan singkat namun padat Sulastri menceritakan sepak-terjang kakak beradik itu, betapa mereka berdua itu bersama dia malah telah membasmi Kakek Durgakelana, dan betapa jauh bedanya antara dua orang muda itu dengan ayah mereka yang sesat.   "Dengan penuh harapan mereka berdua membawa Ibunda mereka ke Lumajang dan memasuki sayembara dengan niat menebus dosa-dosa Ayah mereka, hal itu tentu saja mereka lakukan karena mereka telah mendengar akan kebijaksanaan Paduka sebagai Adipati di Lumajang." Sulastri menutup ceritanya dan Sang Adipati mengangguk-angguk.   "Nini Sulastri, Andika sungguh merupakan seorang wanita muda yang seperti Srikandi, selain sakti mandraguna juga amat setia terhadap kawan. Senangkanlah hati kalian, wahai orang-orang muda belia, karena tanpa pembelian Nini Sulastri tadi, kami tentu saja dengan hati dan tangan terbuka suka menerima janda Progodigdoyo beserta kedua putera puterinya di Lumajang."   Dengan hati terharu Joko Handoko dan Roro Kartiko menghaturkan terima kasih dengan sembah mereka, dan mereka menceritakan pula kepada Sang Adipati bahwa tujuh orang anggota Sriti Kencana, yang merupakan wanita-wanita terlatih, juga ikut bersama mereka ke Lumajang dan mereka pun menyiapkan diri untuk mengabdi dan membantu Lumajang apabila diperlukan. Hal ini menggirangkan hati Sang Adipati Wirorojo. Tak lama kemudian persidangan dibubarkan dan keenam orang muda itu ditahan disitu karena Sang Adipati bersama Aryo Pranarojo masih ingin bicara dengan mereka, ditemani Raden Turonggo.   Joko Handoko diberi sebuah rumah untuk ibunya dan para anggota Sriti Kencana, rumah yang cukup baik dan berada di dekat istana, sebuah di antara rumah-rumah para punggawa yang dipercaya. Kemudian mereka semua diberi tugas. Sulastri diangkat menjadi kepala pengawal dalam istana, Roro Kartiko sebagai pengawal bagian kaputren, Joko Handoko sebagai pengawal pribadi Sang Adipati, sedangkan Harwojo dibantu oleh Murwendo dan Murwanti menjadi perwira perwira pengawal bagian luar istana. Pembagian tugas ini saja sudah membayangkan bahwa Sang Adipati telah menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada Sulastri dan bahwa kepercayaannya terhadap putera-puteri Progodigdoyo juga diperkuat oleh jaminan sulastri. Dan memang sesungguhnya demikianlah. Sang Adipati masih meragukan Harwojo dan kakak beradik kembar yang belum diketahui benar riwayat asal-usulnya itu. Sebaliknya Sulastri, Joko Handoko dan adiknya merupakan orang-orang yang sudah jelas riwayatnya dan latar belakangnya, apalagi Sulastri yang mengaku guru kepada mendiang Adipati Ronggo Lawe.   Demikianlah, mulai hari itu, orang-orang muda yang perkasa itu mulai dengan tugas mereka masing-masing, dan Sulastri menjadi buah bibir semua penghuni kadipaten ketika mereka mendengar bahwa pemuda tampan seperti Arjuna itu ternyata adalah seorang dara perkasa! Tak terhitung banyaknya hati perawan Lumajang yang menjadi trenyuh dan kecewa, sebaliknya banyak hati kaum muda yang bangkit penuh kekaguman terhadap dara yang bernama Sulastri dan yang kini menjadi pengawal dalam istana Sang Adipati itu.   ***   "Brakkkk!!" Meja di depannya pecah oleh tamparan tangan Resi Mahapati. Mukanya menjadi merah, keruh dan metanya jalang, giginya berkerot menahan kemarahan.   "Celaka, Kakang Resi Harimurti! Peraturan Andika sungguh menambah kebingungan hatiku! Kenapa kita begini sial?" gerutunya sambil memandang kepada Resi Harimurti yang duduk di depannya, sedangkan Lestari cepat menghampiri dan merangkul pundaknya, menghiburnya.   "Kakangmas, sabarlah. Kemarahan hanya akan mengeruhkan hati dan pikiran, sebaliknya ketenangan akan memungkinkan kita berpikir dengan baik dan mencari jalan keluar dari segala kesukaran."   "Jalan keluar yang mana?" Resi Mahapati menghardik, tak sabar. "Sebulan yang lalu aku dipanggil menghadap oleh Gusti Ratu Sri Indreswari dan di situ, bersama Gusti Pangeran Pati Kolo Gemet, aku ditegur, dicaci-maki, karena sampai sekarang aku belum bisa mendapatkan keris pusaka Kolonadah yang mereka inginkan. Terpaksa aku mohon Beliau bersabar dan aku mohon waktu tiga bulan. Sekarang, sebulan telah lewat dan kini datanglah Resi Harimurti menceritakan bahwa Kolonadah terampas orang-orang Lumajang! Siapa tidak menjadi bingung?"   "Adimas Resi Mahapati, harap Andika maafkan saya. Sebetulnya saya sudah berhasil membunuh Ki Ageng Palandongan dan merampas keris pusaka, akan tetapi siapa kira saya telah dipermainkan dan keris pusaka itu mereka rampas secara curang. Kalau mereka tidak menggunakan tipu daya, tidak mungkin keris pusaka itu dapat mereka rampas! Selain itu, saya masih ragu-ragu apakah benar dua orang itu adalah orang-orang Lumajang dan hal ini harus kita selidiki lebih dulu. Betapapun juga, saya akan menyelidiki dan demi para dewa, saya pasti akan merampas kembali pusaka itu!" kata Resi Harimurti dengan marah dan ia memang masih mendongkol sekali kalau mengingat akan peristiwa itu.   "Akan tetapi, baik yang merampas itu orang Lumajang atau bukan, waktunya sudah mendesak sekali, Kakang Resi Harimurti. Tinggal dua bulan lagi dan kalau sampai tiba waktunya aku belum dapat menyerahkan pusaka itu kepada Gusti Ratu, hemmm....entah apa yang akan terjadi dengan diriku. Tentu kepercayaan Beliau kepadaku akan berkurang atau bahkan akan lenyap."   Harimurti mengerutkan alisnya. "Saya berani menanggung bahwa kelak keris itu pasti akan dapat saya temukan, akan tetapi kalau waktunya ditentukan, dua bulan lagi, hemm.....mana mungkin saya berani menjamin? Bagaimana kalau belum berhasil? Ahh, janjimu terhadap Gusti Ratu itu sungguh berat, Adimas Resi Mahapati."   HEMM, sudah kujanjikan kepada Beliau dan sudah bertahun-tahun aku mencari tanpa hasil. Pusaka itu lenyap ditelan bumi setelah secara tak terduga-duga terdengar berita bahwa pusaka itu terjatuh ke tangan Ki Ageng Palandongan dan Andika mengejarnya, Andika berhasil merampasnya akan tetapi... ternyata hilang kembali! Pendeknya, bagaimana pun juga, dalam waktu sebulan duabulan ini, Kolonadah harus sudah berada di tanganku! Lestari, panggil adikmu Tejo ke sini!" Resi Mahapati yang sedang bingung dan marah itu kini bahkan bersikap kasar kepada selirnya yang tercinta sehingga Lestari menjadi kaget dan cepat-cepat wanita itu pergi sendiri untuk mencari adiknya, tidak menyuruh pelayan.   Setelah Lestari pergi, Resi Mahapati berkata kepada Harimurti, "Kakang Resi Harimurti. Amat penting sekali agar sebelum dua bulan pusaka itu dapat kuserahkan kepada Gusti Ratu Sri Indreswari dan Pangeran Kolo Gemet karena kalau sampai gagal, tentu aku akan kehilangan kepercayaan Beliau. Padahal, hanya melalui Beliau sajalah maka cita-cita kita akan tercapai."   Sesi Harimurti hanya mengangguk-angguk dan dia merasa makin menyesal mengapa dia sampai dapat tertipu oleh dua orang itu yang dia tahu kini tentu sengaja mempergunakan perawan dusun itu untuk membuat dia lengah! Dia kini hanya dapat menyesal dan mendongkol, mengepal tinju dan memaki-maki di dalam hatinya.   "Adimas Sutejo," kata Resi Mahapati setelah pemuda itu muncul bersama kakaknya. "Kini tiba saatnya bagi Adimas untuk membuktikan dharma baktimu kepada Mojopahit! Gusti Pangeran Pati telah memerintahkan kepadaku untuk mendapatkan keris pusaka Kolonadah dan memberi waktu kepadaku selama dua bulan saja. Padahal, menurut penuturan Kakang Resi Harimurti, kerispusaka itu kini berada di tangan orang-orang Lumajang."   Sutejo mengerling ke arah Resi Harimurti. Tentu saja di dalam hatinya dia merasa tidak senang kepada Resi Harimurti ini, akan tetapi karena ternyata bahwa Resi ini membantu kakak Iparnya, Resi Mahapati yang merupakan seorang ponggawa setia dari Mojopahit, maka dia harus menanam rasa tidak sukanya itu.   "Bukankah kabarnya keris itu berada di tangan Ki Ageng Palandongan?" tanya Sutejo dengan sikap tenang.   "Memang benar, dan aku telah merempas pusaka itu dari tangannya," kini Resi Harimurti yang menjawab. "Ketika mendengar bahwa keris itu terampas olehnya dari tangan Empu Singkir, aku lalu melakukan pengejaran dan akhirnya perhitunganku tepat, dia mengambil jalan selatan dan di Pegunungan Kidul aku berhasil menyusulnya. Kami bertempur dan aku berhasil merobohkannya dan merampas Keris Kolonadah. Akan tetapi musuh dua orang yang tidak kukenal, akan tetapi kuyakin meraka tentulah orang-orang Lumajang, dan dengan menggunakan tipu daya curang mereka berdua akhirnya dapat merampas pusaka itu dari tanganku."   Hemmm, bagaimana mungkin mereka dapat merampas pusaka itu dari tangan seorang sakti seperti Andika?" Sutejo bertanya dengan pandang mata penuh selidik.   Wajah Harimurti menjadi merah. "Aku.....tertidur di dalam hutan saking lelahku, dan di dalam tidur itulah aku kehilangan keris pusaka itu. Mereka mencurinya dan aku melakukan pengejaran. Tentu keris pusaka itu dapat kurampas kembali kalau mereka tidak melakukan tipu muslihat curang. Mereka melemparkan keris itu dan tentu saja aku tidak mengejar lagi melainkan mencari keris yang dilemparkan ke dalam jurang. Ketika itu aku mendapatkan keris itu, ternyata keris itu adalah keris palsu, bukan Kolonadah dan ketika aku naik dari jurang, mereka telah lenyap."   "Jelas bahwa mereka itu tentulah orang-orang Lumajang. Siapa lagi kalau bukan orang-orang Lumajang yang tahu tentang pusaka Kolonadah? Karena itu, Adimas Sutejo, waktunya sudah amat mendesak, Gusti Pangeran hanya memberi waktu dua bulan, maka kuharap Adimas dapat membuktikan dharma bhaktimu terhadap Mojopahit dan membantu Kakak Iparmu dari tugas berat ini. Kau bersama Kakang Resi Harimurti pergilah ke Lumajang untuk menyelidiki dan merampas kembali pusaka itu. Adimas Sutejo."   Sutejo mengerutkan alisnya yang tebal, lalu menghela napas dan menjawab, "Dengan senang hati saya akan menempuh bahaya demi membela dan berbakti kepada Mojopahit, saya kira tidaklah mungkin untuk bisa menemukan keris pusaka itu di Lumajang dalam waktu sesingkat itu. Pertama, dua orang yang merampas keris dari tangan Paman Resi Harimurti itu belum dikenal siapa orangnya. Ke dua, andaikata benar mereka itu orang-orang Lumajang, bagaimana mungkin mencari sebatang keris di antara penduduk Lumajang yang tentu puluhan ribu rumah banyaknya? Ke tiga, andaikata keris itu terjatuh ke tangan Sang Adipati di Lumajang, saya kira lebih sukar lagi karena di sana terdapat banyak orang sakti. Mana mungkin kami berdua akan dapat mencuri atau merampas yang tentu dijaga dengan kuat oleh orang-orang sakti? Bukan saya berkeberatan untuk menempuh bahaya, akan tetapi kita harus memperbandingkan kemungkinan dan hasil-hasilnya yang dapat dicapai. Bukankah kalau dalam waktu dua bulan kami belum berhasil, berarti gagal usaha kita ini, Kakangmas Resi?"   Resi Mahapati mengerutkan alisnya dan memegangi jenggotnya, mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. "Aku mengerti. Adimas. Akan tetapi jalan apa lagi yang dapat kutempuh? Karena sudah kehabisan akal maka aku minta bantuanmu, Adimas Sutejo."   "Kalau memang itu jalan satu-satunya, tentu saja saya akan berangkat, Kakangmas. Akan tetapi saya tidak berani menjamin akan berhasil! Dalam waktu dua bulan."   Tiab-tiba Lestari berkata nyaring, "Mengapa harus menempuh jalan yang sukar yang sedikit sekali kemungkinanya berhasil kalau ada jalan yang jauh lebih mudah dan lebih baik daripada itu?"   Meraka bertiga memandang kepada wanita cantik itu dan wajah Resi Mahapati berseri penuh harapan. "Diajeng Lestari, istriku yang jelita.....lekas katakanlah kepadamulah aku mengantungkan harapanku, lekas katakan, jalan apakah yang lebih mudah itu?"   Lestari tersenyum penuh kebanggaan. Akan tetapi di depan adiknya dan Resi Harimurti, dia merendah dan berkata, "Sebetulnya sederhana saja dan baru terpikir olehku ketika kau mendengar cerita Sang Resi Harimurti tadi. Kalau dia dapat tertipu dengan keris palsu, mengapa kita tidak menggunakan itu untuk menyenangkan Gusti Ratu dan Gusti Pangeran Pati?"   "Keris palsu?" Sutejo berseru.   Resi Mahapati mengerutkan alisnya, penuh kekecewaan. "Ah, mana mungkin hal itu dilakukan? Kakang Resi Harimurti sendiri telah mendapatkan keris palsu itu segera mengenalnya, apalagi Gusti Ratu dan Gusti Pangeran. Kalau mereka itu tahu bahwa yang kuserahkan adalah keris palsu, tentu tidak akan lama kepala ini tinggal di leherku."   "Memang tidak mungkin dilakukan hal itu." kata pula Resi Harimurti. "Keris pusaka Kolonadah tidak bisa sembarangan saja dipalsukan. Gusti Ratu dan terutama Gusti Pangeran Pati tentu akan mengenalnya."   "Dan pula, berdosa sekali untuk mengelabui Gusti Ratu dan Gusti Pangeran," Sutejo berkata karena dia sama sekali tidak merasa setuju dengan usul mbakayunya (kakak perempuannya) itu.   Melihat tiga orang laki-laki itu semua menyatakan tidak setuju, Lestari tidak menjadi kecil hati, sebaliknya dia malah tersenyum lebar, manis sekali, sepasang matanya yang mengandung kecerdikan itu bersinar-sinar.   "Tentu saja aku akan bodoh sekali kalau menganjurkan pemalsuan begitu saja. Akan tetapi yang kumaksudkan bukan sembarangan pemalsuan, bahkan tidak boleh disebut pemalsuan kalau yang membuat keris ke dua yang serupa segala-galanya dengan Kolonadah itu adalah pencipta Kolonadah sendiri."   "Apa maksudmu, Mbakayu...?" Sutejo berseru kaget.   "Bukankah Kolonadah itu kabarnya dibuat oleh Empu Supamandrangi yang bertapa di puncak Gunung Bromo? Nah, daripada susah payah mencari Kolonadah yang belum diketahui dengan pasti berada di mana, bukankah jauh lebih mudah mendatangi Empu Supamandrangi untuk dibuatkan sebuah keris yang serupa benar dengan Kolonadah dan menyerahkan keris itu kepada Gusti Ratu?"   "Aaahh.....ha-ha-ha.... engkau memang hebat! Engkau istri yang cantik dan bijaksana, sungguh.....ha-ha-ha, mengapa aku begitu bodoh dan tidak terpikirkan olehku hal ini sebelumnya? Aduh, terima kasih Diajeng Lestari, terima kasih! Ha-ha, bagaimana pendapatmu, Kakang resi? Hebat bukan siasat istriku tercinta ini?"   Harimurti sejenak memandang kagum kepada Lestari, kemudian mengangguk-angguk dan menjawab, "Saya kira tidak ada akal yang lebih baik daripada itu, Adimas Resi. Memang tepat sekali."   "Tidak, saya tidak setuju!" Tiba-tiba Sutejo berkata. "Kita sebagai Kawula-kawula (hamba) Mojopahit yang setia bagaimana mungkin akan menipu Gusti Ratu Pangeran?"   Resi Harimurti melotot akan tetapi Resi Mahapati mengedipkan matanya kepadanya, lalu berkata kepada Sutejo, "Ha-ha-ha, Adimas Sutejo. Tidak mengherankan kalau Andika beranggapan demikian karena Andika masih muda, berdarah panas dan belum pandai menggunakan akal yang halus. Tentu saja kami pun tidak setuju untuk menipu Gusti Ratu, bahkan kami akan menghalangi siapa saja yang akan menipu Beliau dengan keris di tangan! Akan tetapi kita sama sekali tidak akan menipu Beliau, Adimas. Renungkan baik-baik. Beliau minta waktu hanya dua bulan dan kalau samai dua bulan aku belum dapat menyerahkan Kolonadah, tentu Beliau akan merasa berduka sekali dan marah kepadaku. Maka, penyerahan keris buatan Empu Supamandrangi juga yang mirip dengan Kolonadah, sama sekali bukan untuk menipu, melainkan untuk meredakan kedukaan dan kemarahan Beliau. Tentu saja kita masih akan terus berusaha mencari Kolonadah yang asli, dan kalau pusaka itu sudah terdapat oleh kita, tinggal menukarkannya saja, bukan?"   "Andika Sutejo yang baik, kalau engkau tidak setuju dengan akal itu, apakah engaku lebih suka melihat Kakak Iparmu menerima kemarahan Gusti Ratu dan menerima hukuman?" kata Lestari kepada adiknya.   Sutejo menarik napas panjang dan dia memang dapat melihat kebenaran semua ini, akan tetapi hatinya masih merasa berat. "Kalau memang demikian yang Andika sekalian anggap baik, terserah, akan tetapi berat bagi saya ikut pergi ke puncak Bromo. Empu Supamandrangi adalah guru dari sahabatku yang baik, yaitu Bromatmojo. Mana bisa aku ikut membujuknya membuat Kolonadah palsu....? Bagaimana kalau Beliau menolak? Aku tidak mungkin harus memaksanya."   Kembali Resi Mahapati berkedip kepada Lestari dan Resi Harimurti, lalu menyentuh pundak pemuda itu dan berkata dengan ramah, "Adimas Sutejo, jangan salah mengerti. Tidak ada paksaan dalam hal ini. Kalau Empu Supamandrangi benar seorang pertapa yang suci, seorang yang setia, tentu dia tidak akan menolak permintaan kita, demi untuk kebaikan Mojopahit. Dan pula, ada satu hal yang amat penting mengenai diri sahabatmu yang bernama Bromatmojo itu, Adimas, dan aku yakin Andika belum mengetahuinya."   Seketika Sutejo timbul gairahnya dan dengan penuh semangat dia memandang Kakak Iparnya itu dan bertanya, "Ada apa dengan dia? Apa yang terjadi dengan dia?"   "Baru saja ada pelaporan dari anak buah Kakang Gagaksona bahwa sahabatmu itu telah melindungi istri Progodigdoyo dan anak-anaknya yang melarikan diri ke Lumajang. Sahabatmu itu malah telah membunuh Kakang Gagaksona dan Klabang Curing serta banyak prajurit dan kini dia dan keluarga Progodigdoyo tentu telah berada di Lumajang."   Akan tetapi berita ini tidak mengejutkan hati Sutejo. "Hemm, saya kira hal itu tidak aneh. Adi Bromo tentu saja membela mereka karena kedua orang anak dari Progodigdoyo itu adalah orang-orang yang baik."   "Tapi mereka adalah anak-anak yang telah berdosa, Adimas Sutejo!" kata Resi Mahapati. "Mereka pun harus dihukum!"   "Saya tidak setuju dengan hukum itu, Kakangmas Resi. Yang bersalah boleh dihukum, akan tetapi keluarganya yang tidak bersalah, tidak semestinya menerima hukuman pula."   Resi Mahapati menarik napas panjang. "Mungkin Andika benar... akan tetapi tidak sayangkah andika melihat sahabat baik Andika itu menyeberang ke Lumajang dan membantu pihak pemberontak? Tidak sayangkah hati Andika melihat dia menentang Mojopahit sebagai seorang pemberontak dan pengkhianat?"   Jilid 50   "Memang sayang sekali, akan tetapi apa dayaku, dia berhati keras...." kata Sutejo dengan suara menyesal.   "Nah, sayang sekali, bukan? Memang sayang kalau seorang seperti dia, murid Empu Supamandrangi, kini membantu pemberontak. Apalagi karena dia itu seorang wanita, seorang dara remaja....."   Sutejo terkejut dan memandang kepada Resi Mahapati dengan mata terbuka lebar. "Apa maksud Andika....?"   Resi Mahapati tersenyum. "Hanya seorang pemuda seperti Andika yang masih polos, jujur dan belum berpengalaman saja yang mudah dikelabui, Adimas. Akan tetapi banyak orang-orang yang berpengalaman ketika bertemu dengan sahabatmu itu segera mengetahui bahwa dia sebenarnya adalah seorang dara remaja yang menyamar sebagai seorang pemuda."   "Ah, tidak mungkin......! Biar pun dia amat tampan..... akan tetapi.... ah, kalau dia pria, tentu dia tidak akan bohong kepadaku. Dan dia....ah, tidak mungkin!" Sutejo tidak melanjutkan kata-katanya yang hendak menceritakan betapa Bromatmojo telah memperlihatkan "Kejantanannya" dengan sikapnya yang mata keranjang dan suka menggoda wanita.   "Siapa yang lebih tahu kalau bukan Gurunya, Adimas? Mengapa Andika tidak sekalian menanyakan hal itu kepada gurunya, Empu Supamandrangi? Dan kalau Empu itu mendengar bahwa Andika sahabat baik dari muridnya, tentu dia akan suka membuatkan keris itu demi kepentingan Mojopahit."   Sutejo menjadi bimbang dan akhirnya, setelah dibujuk-bujuk oleh Resi Mahapati dan Lestari, dia pun menyerah dan pada keesokan harinya, berangkatlah Resi Harimurti bersama Sutejo menuju ke timur, ke Gunung Bromo. Dia terdesak oleh bujukan Resi Mahapati bahwa semua yang dilakukannya itu adalah demi kepentingan Mojopahit, demi perjuangan!   Tidaklah mengherankan kalau Sutejo dapat terbujuk. Betapa semenjak sejarah berkembang sehingga kini, kita selalu tertipu dengan kata-kata indah yang berupa slogan kosong, yaitu perjuangan! Di setiap penjuru dunia di mana terjadi perang, baik perang melawan bangsa lain, perang saudara, perang agama, atau perang antar suku, selalu terdengar slogan kosong yang berbunyi indah itu berdengung: Perjuangan! Dan betapa kita semua, tua muda, terpelajar mau pun buta huruf, seperti mabok kepayang oleh keindahan kata-kata ini, meninggalkan rumah, meninggalkan sawah, meninggalkan pekerjaan, untuk membunuh atau dibunuh yang dinamakan orang: Perjuangan!   Berjuang demi kerajaan! Berjuang demi bangsa, demi negara, demi agama, dan sebaginya lagi. Berjuang demi rakyat! Demikianlah yang didengung-dengungkan oleh para pemimpin. Benarkah semua itu? Benarkah perjuangan, perang bunuh-membunuh, semua itu dilakukan demi bangsa, demi agama, demi rakyat? Kalau kita mau meneliti jalannya sejarah, maka siapa saja yang mau membuka mata melihat kenyataan akan dapat melihat bahwa sesungguhnya tidak demikianlah kenyataannya. Kata-kata perjuangan demi ini dan itu yang didengung-dengungkan oleh para pemimpin itu pada hakekatnya adalah demi kepentingan mereka itu, kepentingan para pemimpin itu sendiri, atau juga demi politik pemerintah yang pada hakekatnya juga terdiri dari kelompok pemimpin pula. Sudah sejak sejarah berkembang terbukti nyata bahwa setiap peperangan yang didengung-dengungkan sebagai perjuangan itu, hasilnya selalu sama. Kalau kalah, para pemimpin itu jatuh dan menyeret rakyat yang menjadi korban perang dan korban pihak yang kalah. Kalau menang, para pemimpin itulah yang terangkat setinggi langit dan memperoleh kemuliaan. Rakyat yang tadinya menjadi alat untuk meraih kemuliaan itu dengan dalih perjuangan? Cukup mendapatkan "kepyuran" hadiah, seperti segenggam beras diseberkan untuk ayam-ayam bodoh, sesudah itu, sudahlah! Rakyat pula yang menjadi korban perang, baik kalah maupun menang, dengan korban nyawa anggota keluarga, harta benda dan kadang-kadang kehormatan.   Akan tetapi mengapa kita, rakyat, begitu bodoh dan seperti dapat dilihat dalam sejarah, perang yang diselimuti kata-kata perjuangan itu berulang terus? Mengapa? Begitu bodohkah rakyat di dunia ini dipermainkan oleh sekelompok orang-orang yang dinamakan pemimpin, yang tidak lain hanya berambisi besar, yang mengejar kesenangan diri pribadi melalui kedudukan, kekuasaan, harta benda, atau nama besar belaka? Yang demi pengejaran semua itu, tidak segan-segan menyeret rakyat ke dalam api peperangan?   Kalau kita mau mengenal diri sendiri, akan nampaklah bahwa hal ini adalah karena kita merasa diri sendiri kosong, hampa, tidak berarti. Oleh karena itu kita mencari sesuatu yang lebih berarti, yang akan dapat "mengangkat" diri pribadi kita ke tempat yang lebih berarti, melalui partai, melalui perkumpulan, melalui negara,melalui bangsa, melalui agama. Dan untuk meraih nilai yang lebih tinggi ini maka kita mengesampingkan diri pribadi sendiri, kita menyamakan diri dengan bangsa, negara, dan sebagainya. Dan di dalam semua itu TERDAPAT KESENANGAN! Inilah sebabnya!   Kalau begitu, agaknya tidak akan pernah mungkin ada perdaimaian di dunia ini! Tidak mungkin perang berakhir! Kapankah dunia ini akan menjadi tempat yang aman damai tanpa perang untuk seluruh manusia, di mana selain tidak ada perang juga tidak ada permusuhan, dan manusia hanya mementingkan kesejahteraan seluruh manusia di dunia yang merata dan tidak ada lagi kelaparan dan penindasan?   Agaknya kalau sudah tidak ada pemimpin-pemimpin yang mementingkan diri pribadi, sudah tidak ada orang perorangan, atau kelompok yang mengejar-ngejar kekuasaan melalui kedudukan , harta, kepandaian dan lain-lain, kalau sudah tidak ada perpecahan-perpecahan yang melenyapkan nilai manusia, kalau yang menjadi faktor utama dan terpenting adalah manusia, bukan agama, bukan politik, bukan negara, bukan bangsa, bukan kedudukan atau harta, kepandaian atau kekuasaan, barulah mungkin bicara tantang perdamaian. Selama nilai manusia sendiri tenggelam, teruruk oleh perpecahan-perpecahan yang lebih dipentingkan seperti agama, politik, bangsa,dan sebegainya itu, sudah tentu saja akan selalu timbul pertentangan, permusuhan, iri hati, kebencian, yang kesemuanya terkumpul lalu meletus menjadi perang. Dan itu tentu saja berlaku untuk seluruh manusia di dunia, karena kalau sudah benar-benar manusia yang menjadi faktor utama, maka sebutan bangsa dan lain-lain itu tidak ada pengaruhnya lagi bagi kehidupan.   ***   Dua orang cantrik itu terheran-heran melihat Sang Empu bangun dan duduk dengan mata masih terpejam, kemudian berkata perlahan, "Cantrik, apakah kalian berdua masih ingat kepada muridku Sulastri?"   Dua orang cantrik itu saling pandang. Tentu saja mereka ingat, karena gadis lincah murid pertapa ini selama empat tahun berada di situ dan mereka berdua adalah penghuni dusun di lereng Bromo dan sudah mengenal dara itu. Mereka baru saja menjadi cantrik melayani Empu Supamandrangi, semenjak kepergian Sulastri dari situ.   "Hamba ingat, Sang Empu!" jawab seorang di antara mereka.   "Kalau begitu ingat baik-baik, jika ada terjadi sesuatu kelak di pertapaan ini, kalian pergi carilah Sulastri."   "Ke mana hamba harus mencarinya?"   "Ke Mojopahit, Tuban, atau Lumajang....." Setelah berkata demikian, Empu Supamandrangi merebahkan diri kembali dan tidur pulas, seolah-olah dia tadi hanya mimpi saja.   Dua orang cantrik itu saling pandang dan merasa heran. Sudah tiga pekan Sang Empu menderita sakit. Tadi mereka sedang bekerja di ladang ketika mereka seperti mendengar suara Empu Supamandrangi memanggil meraka. Bergegas mereka memasuki kamar Sang Eampu hanya untuk mendapatkan kakek itu tidur nyenyak! Dan tiba-tiba kakek itu bangun duduk dengan mata terpejam dan mengatakan pesan itu kepada mereka!   Memang terjadi perubahan di pondok pertapaan Empu Supamandrangi semenjak Sulastri meninggalkannya. Dahulu, kakek ini sudah biasa hidup menyendiri. Akan tetapi semenjak Sulastri menjadi muridnya dan adanya gadis itu merupakan cahaya cerah dalam kehidupannya, lalu gadis itu pergi turun gunung, Empu Supamandrangi seringkali merasa kesepian! Pula, dia merasa bahwa usianya sudah amat tua, hidup tentu tidak akan lama lagi dan daripada dia membawa semua pengertiannya itu lenyap bersama kematiannya lebih baik dia tinggal-tinggalkan kepada orang lain agar dapat diamalkan. Oleh karena itu, dia lalu mengambil dua orang cantrik dari penghuni dusun yang berada di lereng gunung dan mereka ini selain menjadi cantrik yang mempelajari soal-soal kebatianan, juga bertugas melayaninya.   Beberapa hari kemudian setelah pagi hari itu Sang Pendeta meninggalkan seperti orang mimpi, keadaan kesehatan Empu Supamandrangi berangsur sembuh dan biar pun tubuhnya masih lemah, namun dia sudah dapat turun dari pembaringan dan berjalan-jalan. Pesan itu tidak lagi disinggung-singgung, dan sudah hampir terlupa oleh dua orang cantrik itu yang menganggap bahwa mungkin Sang Pendeta itu hanya bermimpi.   Akan tetapi pada suatu senja, muncullah dua orang tamu di depan pondok Sang Pertapa. Ketika dua orang cantrik itu mendengar bahwa mereka datang dari Mojopahit, dari kota raja dan hendak bertemu dengan Sang Empu, bergegas mereka melaporkan kedatangan dua orang tamu itu kepada Empu Supamandrangi.   Kakek ini cepat membereskan pakaiannya dan keluar dari dalam kamar, menyambut dua orang yang mengaku datang dari Mojopahit itu. Ketika melihat bahwa yang datang adalah seorang kakek berpakaian resi dan seorang pemuda yang amat gagah perkasa, dia cepat menyambut dengan hormat, mempersilahkan mereka duduk di ruang tamu dan menyuruh cantrik mengambil minuman.   "Sungguh merupakan kehormatan besar bagi saya menerima kunjungan tamu-tamu yang terhormat, akan tetapi juga merupakan hal yang mengejutkan dan mengherankan karena tempat yang sunyi ini jarang sekali didatangi tamu," Empu Supamandrangi berkata sambil menatap tajam wajah pemuda itu setelah mengerling kepada kakek berpakaian resi. "Siapakah Andika berdua, dari mana dan ada keperluan apakah datang berkunjung ke pertapaan yang sunyi ini?"   Resi itu tersenyum lebar dan menjawab, "Harap Andika maafkan kalau kedatangan kami mengganggu. Saya adalah Resi Harimurti dan dia ini adalah Sutejo. Kami berdua sengaja datang karena diutus oleh Adimas Resi Mahapati dari Mojopahit. Kiranya Andika mengenal nama Adimas Resi Mahapati."   Empu Supamandrangi mengerutkan alisnya yang sudah hempir putih semua itu. "Resi Mahapati? Hemm, saya teringat nama itu.... kalau tidak salah, seorang Resi Kerajaan Mojopahit dan menjadi seorang punggawa, bukan? Akan tetapi....biar pun saya sudah dengar tentang dia, saya tidak mengenalnya secara pribadi dan seingat saya, tidak ada urusan antara dia dan saya...."   "Memang sebenarnyalah demikian, Saudara Empu Supamandrangi. Akan tetapi kami diutus oleh Adimas Resi Mahapati sebagai ponggawa setia dari Kerajaan Mojopahit yang menerima perintah dari Gusti Ratu Sri Indreswari dan Gusti Pangeran Pati sendiri."   "Ah, begitukah?" Empu Supamandrangi memandang dengan mata terbelalak dan hatinya merasa tidak enak. "Sungguh makin menakjubkan sekali. Ada urusan penting apakah gerangan maka kerajaan teringat kepada seorang tua seperti aku, Sang Resi?"   Begini persoalannya, Saudara Empu. Sudah lama sekali Gusti Pangeran Pati Kolo Gemet menginginkan keris pusaka Kolonadah." Dia berhenti sebentar dan memandang kepada kakek yang mengangguk-angguk itu. "Dan karena sampai kini keris pusaka itu belum juga berhasil didapatkan untuk dihaturkan kepada Gusti Pangeran, maka Adimas Resi Mahapati mohon bantuan Saudara Empu."   Empu Supamandrangi mengerutkan alisnya. Dia sudah mengutus muridnya, Sulastri, untuk menyerahkan keris pusaka itu kepada Pangeran Kolo Gemet, mengapa sampai kini belum juga pusaka itu diterima oleh Sang Pangeran?   "Kalau keris pusaka itu lenyap dan belum bisa didapatkan, bagaimana saya dapat menolong, Sang Resi?" tanyanya.   "Karena Andika adalah pencipta keris pusaka Kolonadah, maka kini untuk meredakan kedukaan dan kemarahan Gusti Pangeran, Resi Mahapati minta bantuan Andika agar suka membuatkan sebatang keris yang sama dengan Kolonadah untuk diberikan kepada Gusti Pangeran."   "Ahhh.....!" Empu Supamandrangi tertegun, lalu menggelengkan kepalanya. "Hal itu tidak mungkin saya lakukan! Kolonadah tidak boleh dipalsukan begitu saja! Keris itu adalah sebuah pusaka kerajaan yang mengandung daya mujijat...."   "Hendaknya Andika ingat bahwa keris ini adalah untuk meredakan kedukaan Gusti Ratu Sri Indreswari dan puteranya, Gusti Pangeran Pati Kolo Gemet."   Akan tetapi Empu Supamandrangi menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sungguh bukan pertanda baik untuk mempermainkan ratu dan Pangeran Pati, dan sungguh lebih tidak baik lagi untuk memalsukan Kolonadah...."   "Akan tetapi ini merupakan perintah dan kepentingan Mojopahit, Saudara Empu!" Suara Resi Harimurti sudah berubah kaku karena hatinya mengkal melihat kekerasan hati kakek yang menolak itu. "Apakah harus saya katakan bahwa Andika membangkang perintah dan tidak mau berbakti kepada Mojopahit, bahkan menentang Mojopahit?"   Sang Empu mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi ke atas dan menggeleng kepala. "Sama sekali tidak! Wahai.... betapa mudahnya sekarang ini orang dikatakan menentang dan membangkang kerajaan!" Dia menarik napas panjang. "Bukan sekali-kali saya menentang dan menolak Sang Resi, akan tetapi karena itu bukanlah jalan yang baik. Seharusnya keris Kolonadah yang asli itulah yang harus dihaturkan kepada pangeran."   "Apakah Andika tahu bagaimana harus memperoleh kembali Kolonadah yang hilang?"   "Ah, mana saya tahu? Saya telah mengutus murid saya untuk mencari keris itu dan menyerahkan kepada Pangeran Pati, akan tetapi...." Dia termangu-mangu karena merasa heran mengapa muridnya itu belum berhasil.   "Maaf, Eyang Empu. Apakah Eyang maksudkan Bromatmojo? Tiba-tiba Sutejo yang sejak tadi mendengarkan saja bertanya.   Empu itu membelalakkan mata, memandang kepada Sutejo dengan mata tajam dari bawah alisnya yang putih. "Orang muda, Andika mengenal murid saya?"   "Bukan hanya mengenal, Eyang, bahkan menjadi sahabat baik! Bahkan kami berdua telah berhasil mendapatkan keris pusaka Kolonadah itu, akan tetapi ketika keris itu kami titpkan kepada Empu Singkir, keris itu lenyap dilarikan oleh Ki Ageng Palandongan. Kemudian keris itu dapat diperoleh kembali oleh paman Resi ini dari Ki Ageng Palandongan, akan tetapi telah dirampas kembali oleh orang-orang yang sampai kini belum kami ketahui siapa. Mungkin orang-orangnya meraka yang hendak memberontak terhadap Mojopahit. Sedangkan Adi Bromo......eh, maksud saya murid Eyang.....yang selama ini menyamar sebagai pemuda tampan..."   "Ha-ha, memang dia bocah nakal sekali! Paling suka menyamar sebagai pria, akan tetapi Sulastri adalah anak cerdik. Tentu dia akan bisa mendapatkan kembali keris pusaka itu."   Sutejo menjadi bengong, jantungnya bedebar keras dan matanya terbelalak memandang kakek itu. Tadi dia memancing, dan ternyata benar bahwa Bromatmojo adalah seorang gadis yang bernama Sulastri! Dan mengakunya dahulu nama aslinya Sulastomo!   "Eh, kau kenapa, orang muda?" Empu Supamandrangi bertanya.   "Tidak apa-apa, Eyang..... hanya.....eh, Adi Bromo itu..... tidak pernah mengaku bernama Sulastri..." Sampai di sini Sutejo tidak membuka mulut lagi, masih bedebar jantungnya dan membayangkan Bromatmojo yang mata keranjang terhadap wanita itu! Pantas saja menggodanya dan sengaja menciumi wanita, bersikap mesra terhadap wanita. Kiranya semua itu hanya untuk menggodanya!   "Bagaimana, Sudara Empu? Keris pusaka Kolonadah sudah lenyap dan tentu kami akan terus mencari sampai kembali ke tangan kami. Akan tetapi sementara ini, Adimas Resi Mahapati ingin meredakan kedukaan dan kemarahan Gusti Pangeran dengan keris buatan saudara Empu juga, yang serupa dengan Kolonadah. Tentu saja kalau Kolonadah sudah kembali ke tangan kami, akan segera kami haturkan kepada Gusti Pangeran sebagai pengganti sementara itu."   Empu Supamandrangi menundukkan kepalanya dan berpikir. Dia sudah mempunyai banyak pengalaman hidup, dan dapat menilai orang. Resi yang duduk di depannya ini bukan seorang manusia yang baik, penuh diliputi hawa nafsu yang berkobar-kobar. Juga dia dapat menduga bahwa resi itu mempunyai kesaktian tinggi. Apalagi pemuda itu! Biar pun masih muda, namun pemuda yang datang bersama resi itu jelas merupakan murid seorang yang amat sakti, dan pemuda itu biar pun tidak dapat dia katakan seorang yang berwatak buruk, namun sekali ini datang sebagai pengemban tugas kerajaan. Kalau dia berkeras, menolak, sudah pasti akan timbul keributan dan dia yang baru saja sembuh dari sakit harus mengukur dulu sampai di mana kekuatan kedua lawan ini sebelum mengambil keputusan.   Setelah menarik napas panjang. Empu Supamandrangi lalu berkata, "Resi Harimurti, karena memang perintah yang Andika bawa itu datang dari Mojopahit dan demi kepentingan Gusti Ratu dan Gusti Pangeran Pati, sudah tentu saja saya sebagai rakyat kecil tidak berani untuk menolak. Akan tetapi, membuat keris seperti Kolonadah bukan hal yang main-main dan harus menggunakan bahan yang khas. Baiknya saya masih mempunyai bahan Tosan aji (baja mulia) yang dulu saya pergunakan untuk membuat Kolonadah. Namun ada satu hal yang tidak dapat saya paksakan untuk membuat keris itu kalau syaratnya tidak dapat dipenuhi, Sang Resi."   "Hemm, apakah syarat itu? Tanya Resi Harimurti.   "Tosan aji ini bukan sembarang besi atau baja dan seolah-olah mempunyai naluri yang kuat. Dia memberi tanda apakah dia mau dibentuk menjadi keris ataukah tidak, tanda yang merupakan syarat yaitu apabila dia dapat ditekuk, itu tandanya bahwa dia rela dibentuk menjadi keris. Akan tetapi apabila tidak dapat, apa pun yang akan kita lakukan, dia tidak mungkin bisa dibentuk menjadi keris."   "Hemm, keluarkan tosan aji itu hendak kulihat!" kata Resi Harimurti yang percaya punuh bahwa dia akan mampu menekuk besi itu. Berapa sih kuatnya sepotong besi?   Terbungkuk-bungkuk Empu yang sudah tua itu meninggalkan ruangan tamu dan memasuki kamarnya. Kesempatan ini dipergunakan oleh Resi Harimurti kepada Sutejo, "Bagaimana pendapatmu, Sutejo. Apakah dia akan membohongi kita?"   Sutejo menggeleng kepalanya. "Kurasa tidak, Paman Resi. Dia tidak bohong dan kita harus percaya kepadanya dan mencoba apakan tosan aji itu dapat ditekuk atau tidak. Kita tidak dapat melawan kekuatan alam."   Jawaban ini tidak memuaskan hati Resi Harimurti, akan tetapi dia tidak berkata apa-apa lagi karena Empu Supamandrangi telah datang kembali membawa sebuah bungkusan kain kuning yang panjangnya ada satu kaki lebih.   "Inilah tosan aji itu, Sang Resi," katanya sambil meletakkan bungkusan di atas meja dan membukanya. Tampaklah kini sepotong besi yang kelihatannya biasa saja, hanya bersinar agak kehijauan. Empu Supamandrangi maklum bahwa dalam keadaan lemah seperti sekarang, dia tidak akan mampu menekuk baja itu, bahkan dalam keadaan sehat sekali pun hanya dengan mengerahkan seluruh tenaganya saja dia akan dapat menekuknya. Maka dia mempergunakan kekuatan tosan aji itu untuk menguji kepandaian dua orang tamunya. Kalau mereka mampu menekuk baja itu, berarti dia tidak akan mampu melawan mereka dan dia harus mentaati permintaan mereka.   "Ah, inikah, Saudara Empu? Kalau begitu, coba Andika menekuknya."   Empu Supamandrangi menggeleng kepala. "Tosan aji ini seperti hidup dan mempunyai pengertian. Dia hanya memandang kepada orang yang menghendaki dia menjadi keris. Kalau, dia setuju, biar pun yang menghendakinya itu anak kecil, dia akan dapat ditekuk oleh anak itu. Sebaliknya, kalau dia tidak mau, biar yang menghendakinya itu orang yang bertenaga besar, kiranya tidak akan kuat menekuknya."   Resi Harimurti memandang potongan besi itu dengan mata mengejek. "Jadi kalau kami berdua yang menghendaki, harus kami berdua yang menekuknya?"   "Begitulah."   "Hemm, apa sih anehnya besi semacam ini? Berapa sih kekuatan besi seperti ini? Empu Supamandrangi, kami bukanlah anak-anak kecil yang bodoh dan dapat dipermainkan."   "Resi Harimurti, kalau orang-orang yang memiliki kesaktian seperti Andika berdua tidak mampu menekuknya, apalagi saya seorang tua, bagaimana mungkin saya akan dapat memaksa tosan aji ini menjadi keris? Cobalah dan lihat apakah dia rela atau tidak dibentuk pusaka."   Sambil tertawa Resi Harimurti mengambil potongan besi itu dan dia merasa betapa besi itu dingin sekali, dingin dan berat. Akan tetapi, mengandalkan kesaktiannya sendiri, dia tetap tersenyum, lalu memegang besi itu di kedua ujungnya dengan dua tangan, kemudian dia mengerahkan aji kesaktiannya, mengumpulkan tenaga saktinya kemudian menekuk potongan besi itu. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa besi itu kuat bukan main dan seperti terdapat tenaga mujijat di dalamnya yang menahan tenaga tekukannya. Potongan besi itu tidak dapat ditekuknya!   "Ehhh....??" Dia berseru heran dan penasaran, kemudian dia mengerahkan pula seluruh tenaganya, kedua kakinya memasang kuda-kuda sehingga dia hampir berjongkok, kemudian mengerahkan tenaga dari pusar yang naik ke dalam kedua lengannya, menjalar ke dalam tangannya dan jari-jari tangannya, lalu dia memusatkan tenaga itu dan kembali berusaha menekuk potongan besi itu.   "Heeggghhh....!" Dari tenggorokannya keluar suara dari tenaganya yang membocor keluar, namun tetap saja potongan besi itu kaku tak dapat ditekuknya!   "Uhhhh!" Dia merasa malu, penasaran dan juga marah. Hampir saja dia membuang potongan baja itu saking malu dan marahnya, akan tetapi Sutejo cepat mengulurkan tangannya dan berkata, "Paman Resi, biarkan saya mencobanya."   Mendengar ini, dengan muka merah Resi Harimurti tidak jadi membuang besi itu dan menyerahkannya kepada Sutejo, lalu duduk dengan wajah muram dan menggunakan tangan mengusap keringat di dahinya, matanya mengerling ke arah Empu Supamandrangi dengan marah.   "Jangan kecil hati Sang Resi. Andika tidak dapat membekuknya itu berarti bahwa Andika tidak berjodoh."   "Biar saya mencobanya, Eyang Empu, siapa tahu saya yang berjodoh," kata Sutejo dan karena pemuda ini maklum bahwa tosan aji itu merupakan benda mujijat yang mempunyai kekuatan mujijat pula, maka dia tidak mau main-main dan begitu dia hendak mulai membekuk tosan aji itu, lebih dulu dia memegang tosan aji itu dengan kedua tangan, mengangkat tinggi di atas ubun-ubun kepalanya sebagai tanda penghormatan, kemudian dia menyembah ke arah Empu Supamandrangi, dan barulah dia memasang kuda-kuda, kedua kakinya terpentang lebar, lutut agak ditekuk, kemudian dengan kedua tangan memegang kedua ujung besi itu, dia menggerakkan lengannya mula-mula lurus ke depan, lalu membuat lingkaran ke atas dan tiba-tiba ditarik ke arah ulu hatinya, diam sejenak, memejamkan mata, bibirnya bergerak membaca mantera kemudian tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking nyaring, suara yang menggetarkan ruangan itu sambil mengerahkan tenaga menekuk potongan besi. Empu Supamandrangi memandang dengan mata terbelalak, dan Resi Harimurti memandang kagum ketika melihat betapa potongan besi itu ternyata telah dapat ditekuk oleh Sutejo! Pemuda itu dengan tenang dan tersenyum lalu meletakkan besi yang sudah melengkung itu ke atas meja, lalu duduk kembali.   Aha, kiranya tosan aji itu berjodoh dengan Sutejo!" kata Resi Harimurti, memuji sambil menutupi rasa malunya karena dia tadi tidak kuat menekuknya. Dengan mengatakan berjodoh, maka berarti bahwa dia bukan kalah kuat oleh pemuda itu, melainkan besi itu yang tidak berjodoh dengan dia dan tidak mau ditekuk olehnya!   Dengan pandang mata masih menatap wajah Sutejo, Empu Supamandrangi berkata lirih, "Benar....memang berjodoh dengan dia...." kemudian tiba-tiba dia bertanya kepada Sutejo, dengan suara mendesak, "Anakmas Sutejo, ada hubungan apakah antara Andika dengan Kakang Panembahan Ciptaning?"   Terkejutlah Sutejo mendengar pertanyaan ini, apalagi ketika dia melihat betapa sinar mata kakek itu mencorong penuh selidik. "Beliau adalah Guru saya, juga Eyang Guru saya karena dahulu, mendiang Ayah saya Lembu Tirta adalah murid Beliau. Bagaimana Eyang Empu dapat mengetahuinya?"   Sepasang mata tua itu terbelalak dan mulut ompong itu tersenyum. "Aihh, kiranya engkau putera Lembu Tirta dan murid Kakang Panembahan Ciptaning? Tentu saja aku mengetahui karena aku mengenal gerakanmu tadi, orang muda. Gurumu itu sahabat baikku. Andaikata aku tahu bahwa engkau adalah muridnya tadi, tentu saja aku tidak akan ragu-ragu lagi......ah, Anakmas Sutejo, mengingat akan persahabatan antara Gurumu dan aku, maukah engkau berjanji kepadaku?"   Sutejo meresa kagum dan suka kepada kakek ini, apalagi mengingat kakek ini adalah Guru Bromatmojo. "Tentu saja, Eyang Empu. Katakanlah, apa pesan Eyang itu?"   "Kelak, aku titip Sulastri muridku kepadamu, Kulup. Kau amat-amati dia, karena dia amat muda.... kau bimbinglah dia. Maukah kau berjanji?"   Berdebar rasa jantung Sutejo dan terbayanglah wajah tampan yang nakal dan suka menggodanya itu, yang kini terbayang sebagai wajah seorang dara jelita yang kenes. Dia mengangguk-angguk. "Saya berjanji, Eyang. Dan sebelum Eyang pesan pun, dia adalah seorang sahabat saya yang akrab."   "Syukurlah, Kulup. Nah, lega sekarang hatiku. Resi Harimurti, kini tidak ragu-ragu lagi untuk membuatkan keris itu, keris yang akan serupa benar dengan Kolonadah."   "Berapa lama kiranya dapat selesai?" tanya Resi Harimurti.   "Tiga hari tiga malam cukuplah. Dan Andika berdua tentu saja boleh tinggal di sini menjadi tamuku. Bocah cantrik.....?" Empu Supamandrangi yang kini tiba-tiba kelihatan gembira dan tangkas itu berteriak.   Dua orang cantrik yang berada di luar itu bergegas datang dan menyembah.   "Kau bersihkan kamar-kamar untuk para tamu dan engkau cepat membuat api di puputan."   Dua orang cantrik itu menyembah dan cepat pergi untuk mengerjakan perintah guru mereka.   Selama tiga hari Sutejo dan Resi Harimurti tinggal di pertapaan itu. Sutejo tinggal di puncak yang indah itu, dan setiap hari dia pergi menikmati pemandangan alam di sekeliling puncak sambil membayangkan betapa selama empat tahun Bromatmojo berada di tempat ini, berguru kepada Empu Supamandrangi. Kalau tidak pergi berjalan-jalan, dia membantu para cantrik bekerja di ladang dan kalau malam dia lebih senang tidur bersama cantrik sambil membicarakan keadaan Sulastri yang dikenal oleh cantrik sebagai murid Empu Supamandrangi ketika mereka belum menjadi cantrik, dan tidak pernah Sutejo tidur bersama Resi Harimurti. Dia memang tidak suka kepada resi itu dan kalau dia terpaksa bekerja sama adalah karena mereka sama-sama melakukan tugas yang diperintahkan oleh kakak iparnya, Resi Mahapati.   Pada hari itu, karena merupakan hari terakhir dan menurut janji Empu Supamandrangi keris akan jadi pada hari itu, Sutejo kembali pergi berjalan-jalan sampai jauh meninggalkan pondok dan menuju ke puncak dekat kawah Bromo yang amat dasyat, mengerikan dan mempesonakan. Dia hendak menikmati keadaan di sekitar tempat itu pada hari terakhir ini sebelum dia meninggalkan gunung ini. Sama sekali pemuda ini tidak menyangka akan terjadi hal yang amat hebat di dalam pondok pertapaan Empu Supamandrangi.   Karena pada hari ke tiga itu merupakan hari terakhir di mana Sang Empu menyempurnakan keris itu dengan duduk bersamadhi, kemudian menghaluskan keris itu dengan pijatan-pijatan jari-jari tangannya, maka bantuan cantrik tidak diperlukan lagi dan mereka itu sejak tadi telah sibuk di ladang.   Selagi Sang Empu duduk bersila dalam keadaan samadhi, keris yang serupa benar dengan Kolonadah itu di pangkuannya, dengan kaki berjingkat masuklah Resi Harimurti ke dalam kamar Sang Empu. Biarpun dia masuk dengan perlahan-lahan, namun Empu Supamandarngi dapat mengetahui kedatangannya dan kakek ini membuka matanya lalu memandang dengan sinar mata penuh pertanyaan.   Melihat kakek itu sudah sadar dari samadhinya, Resi Harimurti tersenyum dan berkata, "Maaf, Empu Supamandarngi, karena hari yang dijanjikan telah tiba dan saya ingin segera melihat hasil pekerjaan Andika, maka saya tidak sabar lagi menanti dan masuk ke sini untuk melihat keris itu."   "Masuklah, Sang Resi dan duduklah. Memang keris ini sudah jadi, tiada ubahnya seperti Kolonadah, akan tetapi tentu saja memiliki daya dan hawa yang berbeda. Kolonadah adalah sebuah keris pusaka yang diperuntukkan raja-raja, dan pembuatannyapun memakan waktu bertahun-tahun. Biar pun keris ini serupa dengan Kolonadah, namun hanya serupa luarnya belaka. Betapa pun juga, karena terbuat dari tosan aji yang mujijat, sebahan dengan Kolonadah, maka hanya boleh berada di tangan yang berjodoh saja. Oleh karena itu, melihat bahwa yang berjodoh adalah Sutejo, maka saya hanya menyerahkan kepada Sutejo untuk dibawa ke Mojopahit dan diserahkan kepada Pangeran pati."   Jilid 51   Resi Harimurti tentu saja merasa mendongkol sekali, akan tetapi dia pura-pura tersenyum dan mengangguk-angguk. "Memang benar sekali apa yang Andika katakan, Saudara Empu."   "Selain dari itu, keris ini tidak boleh dinyatakan sebagai Kolonadah, tidak boleh menjadi keris palsu. Amat tidak baik membohongi Pangeran Pati. Sebaiknya diserahkan kapada Beliau dengan terus terang mengatakan bahwa keris ini untuk sementara sebagai pengganti Kolonadah yang masih dicari-cari. Jangan sekali-kali dipakai untuk membohongi keluarga Sang Prabu di Mojopahit."   Hati Resi Harimurti makin mendongkol. Mana mungkin begitu? Justru kehendak Resi Mahapati adalah untuk membohongi pangeran agar keris ini dianggap Kolonadah. Sementara itu, Kolonadah yang asli kalau sudah dapat mereka peroleh, tentu tidak akan mereka berikan kepada siapa pun, melainkan akan disimpan oleh Resi Mahapati sendiri!   Agaknya Empu Supamandrangi dapat menduga pikiran dan isi hati Resi Harimurti, maka dengan napas terengah-engah karena merasa lemah sekali, dia berkata, "Kalau sampai terjadi keris ini dipakai sebagai pemalsu Kolonadah, aku sendiri yang akan melaporkan ke Mojopahit, Sang Resi."   Resi Harimurti mengangguk-angguk, lalu tersenyum dan berkata, "Tentu akan kami taati semua pesanmu, Empu Supamandrangi. Sekarang, bolehkah saya memegang keris itu sebentar?"   "Tentu saja boleh." Empu Supamandrangi menyerahkan keris itu kepada Resi Harimurti.   Resi Harimurti bangkit berdiri dan menghempiri Sang Empu, mengulurkan tangan mengambil keris itu, diamatinya sebentar, lalu berkata sambil tersenyum, "Apakah benar keris yang Andika buat selama tiga hari ini merupakan keris yang ampuh, Empu Supamandrangi?"   "Hemm, biarpun tidak seampuh Kolonadah, namun saya kira jarang ada keris pusaka yang akan mampu menandinginya."   "Boleh kucoba?"   "Coba? Coba bagaimana?"   "Coba kepadamu!" Secepat kilat Resi Harimurti menusukkan keris itu ke ulu hati Empu Supamandrangi.   Sang Empu kaget sekali, akan tetapi karena tubuhnya amat lemah, tubuh yang baru saja sembuh lalu diperas tenaganya untuk membuat keris pusaka itu, dia terlambat mengelak dan cresssssss......!!" keris pusaka itu menancap tepat di ulu hatinya sampai ke ganggangnya!   "Uuhhhhh.....uhhhh....." Empu Supamandrangi terjengkang di atas pembaringannya, tangan kiri mendekap gagang keris yang menancap di ulu hatinya, telunjuk kanan menuding ke arah Resi Harimurti, matanya terbelalak dan terdengar kata-katanya, "....Resi Harimurti... terkutuk kau dan keris ini.....kau akan lebih tersiksa dari pada aku menghadapi kematianmu... dan... dan keris ini....akan mendatangkan malapetaka bagi pemegangnya....uhhh...." Kepala Sang Empu terkulai dan nyawanya melayang.   Resi Harimurti menoleh ke kanan kiri, lega bahwa perbuatannya tidak ada yang menyaksikan. Dia lalu cepat menghampiri mayat Sang Empu, memaksa tangan kanan Empu Supamandrangi menggenggam gagang keris, kemudian dia berteriak-teriak, "Tolooong! Sang Empu membunuh diri.....!!"   Teriakannya terdengar oleh dua orang cantrik dan mereka cepat-cepat lari ke dalam pondok dan memasuki kamar itu. Mereka terbelalak, berlutut dan menangisi kakek yang menggeletak tak bernyawa di atas pembaringannya itu, dengan tangan kanan masih menggenggam gagang keris yang menancap di ulu hatinya.   Ketika Sutejo disusul oleh seorang cantrik dan diberitahu, dia terkejut setengah mati dan cepat dia lari ke pondok meninggalkan cantrik yang memberitahukannya. Dia terbelalak memandang mayat Empu Supamandrangi, lalu menoleh kepada Resi Harimurti dan bertanya, "Paman Resi, apakah yang telah terjadi?"   Resi Harimurti menutupi mukanya dan menggeleng-geleng kepala, lalu menarik napas panjang. "Aahh....., mengapa seorang pertapa yang sudah menjadi arif bijaksana masih tidak mampu mengendalikan perasaannya? Ah, Sang Empu Supamandrangi, sungguh bodoh sekali tindakan Andika ini......! Sutejo, ternyata Empu Supamandrangi amat keras hati dan keras kepala. Ketika aku masuk hendak minta lihat keris, dia menyatakan bahwa dia membuat keris ini karena terpaksa dan sebelum sempat aku mencegahnya, dia telah membunuh diri dengan keris ini."   Sutejo mengerutkan alisnya dan memandang lagi kepada mayat Empu Supamandrangi. "Hemmm, mengapa begitu? Mengapa? Dan apa artinya Andika mengatakan bahwa dia keras hati dan keras kepala, Paman Resi?"   "Ah, tidak dapatkah kau menduga, Sutejo? Sebenarnya dia tidak suka dan tidak setuju membuat keris itu, sebetulnya di dalam hatinya dia memberontak terhadap Mojopahit, seperti yang jelas diperihatkan oleh muridnya pula, sebetulnya dia tidak rela membuatkan keris ini untuk Mojopahit, hanya karena dia tidak berani menolak, maka dia melakukannya dengan terpaksa, kemudian setelah keris itu jadi, dia mengotori keris dengan darahnya sebagai pernyataan tidak setuju dan dia membunuh diri untuk menyatakan penyesalannya."   "Hemmm..." Sutejo masih mengerutkan alisnya, akan tetapi biar pun dia tidak dapat menerima begitu saja dugaan Resi Harimurti, dia melihat bukti bahwa Empu Supamandrangi memang membunuh diri, maka dia lalu melangkah keluar dengan hati tidak enak.   Resi Harimurti lalu mencabut keris dari ulu hati Sang Empu. Tidak mudah dia melakukan ini, seolah-olah keris itu ada yang menahan dari dalam dada kakek itu, sehingga dia harus mengerahkan seluruh tenaganya barulah keris itu tercabut dan ternyata ujung keris itu berwarna hitam oleh darah! Betapa pun Sang Resi mencoba untuk membersihkannya, namun tetap saja darah hitam itu melekat di ujung keris.   Resi Harimurti dan Sutejo membantu dua orang cantrik itu mengurus pembakaran jenazah Empu Supamandrangi dan sesuai dengan pesan Sang Empu di waktu hidupnya, abunya lalu ditaburkan ke dalam kawah Gunung Bromo. Setelah selesai, Resi Harimurti dan Sutejo meninggalkan puncak gunung itu.   Paman Resi Harimurti, saya tidak ikut kembali ke Mojopahit," kata Sutejo setelah mereka tiba di kaki Gunung Bromo.   Resi Harimurti memandang tajam. "Dan kenapa, Sutejo?"   "Pertama, saya tidak mau ikut mencampuri penipuan itu, menyerahkan keris yang palsu kepada Gusti Ratu. Dan ke dua saya akan menyelidiki dan mencari keris pusaka Kolonadah yang asli. Ke tiga sesuai dengan pesan Kakangmas Resi Mahapati, saya akan mencari Sulastri untuk saya bujuk agar jangan membantu pemberontak, sesuai pula dengan pesan mendiang Eyang Empu Supamandrangi agar saya mengamat-amati muridnya itu."   Tadinya, mendengar alasan pertama dari pemuda itu, Resi Harimurti mengerutkan alis dengan hati tidak senang, akan tetapi ketika mendengar alasan berikutnya, dia mengangguk dan berkata, "Baiklah, kalau begitu kita berpisah di sini. Mudah-mudahan Andika akan berhasil baik dalam tugas itu, Sutejo."   Berpisahlah mereka. Resi Harimurti manuju ke barat dan Sutejo menuju ke timur, ke Lumajang.   ******   "kakangmas Murwendo, kalau aku tidak bisa mendapatkan dia, aku lebih baik mati saja, Kakangmas...." Murwanti menangis dalam rangkulan kakak kembarnya.   Murwendo mengelus rambut adiknya yang ikal mayang itu, menghiburnya, "Hemm, jangan begitu mudah putus asa seperti anak kecil, Adikku. Aku tidak menyalahkan engkau, memang Joko Handoko seorang pemuda yang pantas menerima cinta kasihmu dan aku yakin bahwa Ayah dan Ibu juga tidak akan berkeberatan mempunyai mantu seperti dia dan Roro Kartiko....."   "Ehh....?" Murwanti kini melepaskan diri dari rangkulan kakaknya dan memandang wajah kakaknya dengan muka merah dan air mata membasahi pipi. "Apa, Kakangmas? Roro Kartiko.....? Kalau begitu engkau.....engkau...." Dan gadis itu tertawa dalam tangisnya, menertawakan kakaknya yang ternyata tanpa sengaja telah membuka rahasia hatinya pula.   Karena sudah terlanjur, Murwendo mengangguk dan menarik napas panjang. "Agaknya karena kita saudara kembar, maka perasaan kita pun sama, Adikku. Kita sama-sama mencintai kakak beradik itu, engkau mencintai Joko Handoko dan aku tergila-gila kepada Roro Kartiko semenjak pertama kali melihat dia meloncat naik ke atas panggung itu. Dia hebat, Diajeng Murwanti."   Murwanti kelihatan gembira! Ternyata kakaknya mengalami hal yang sama. "Aku girang sekali, Kakangmas. Memang dia seorang wanita yng hebat. Akan tetapi....." Gadis itu mengerutkan alisnya. "Bagaimana kalau.... kalau mereka tidak membalas cinta kita?"   Murwendo dan Murwanti adalah dua orang kakak beradik yang semenjak kecil tidak pernah dikecewakan, segala yang dikehendaki terpenuhi belaka. "Hemm, lupakah engkau bahwa kita adalah putera-puteri rama yang menjadi raja di Puger? Kita harus berterus terang, menyatakan cinta kasih kita kepada mereka dan membujuk mereka untuk menikmati hidup mulia dan bahagia bersama kita di Puger. Mereka adalah orang-orang pelarian dari Mojopahit, pengungsi yang menumpangkan hidup di Lumajang, kalau mereka mendengar bahwa kita adalah putera raja di Puger, dan mereka menjadi mantu-mantu raja di Puger, hidup mulia dan terhormat, tentu mereka akan merasa girang."   "Akan tetapi...aku melihat mereka itu bukanlah orang-orang biasa, Kakangmas. Mereka berkepandaian tinggi dan bersikap agung. Bagaimana kalau mereka menolak?"   "Menolak? Ha-ha-ha! Menolak kehendak kita? Diajeng Murwanti, pernahkah kehendak kita tidak terpenuhi dan pernahkah ada orang berani menolak kehendak kita? Ha-ha-ha, Diajeng, jagan khawatir, kalau benar mereka menolaknya, kita masih dapat menggunakan kekerasan."   Tiba-tiba Murawanti juga tertawa dan sikapnya berubah, tidak lagi penuh kekhawatiran seperti tadi. Kakak beradik kembar itu berangkulan dan tertawa girang, saling berciuman sperti orang-orang gila. Wajah mereka pun berubah beringas dan memang ada sesuatu yang aneh pada diri kakak beradik kembar ini. Mereka adalah putera dan puteri raja di Puger yang masih ada hubungannya darah dengan kerajaan Blambangan. Semenjak kecil, kakak dan adik kembar ini dimanja dan sudah biasa semua kehendak mereka dipenuhi belaka oleh ayah bunda mereka. Bahkan, terjadi hubungan yang aneh dan bahkan mesum dan kotor antara mereka, namun semua itu tidak mendapat tentangan dari siapa pun! Orang-orang yang mengenal mereka sebagai saudara kembar yang tampan dan cantik, yang bersikap sopan dan menarik, tentu akan terkejut dan terheran-heran kalau menyaksikan sikap mereka pada saat itu di dalam kamar Murwanti.   Beberapa hari kemudian, Murwendo dan Murwanti berhasil mangajak Joko Handoko dan Roro Kartiko untuk mengadakan pertemuan di dalam taman di istana Lumajang. Mereka memang sudah menjadi sahabat-sahabat baik, rekan-rekan sepekerjaan di istana dan biarpun Joko Handoko dan Roro Kartiko merasa terheran-heran atas ajakan kakak beradik kembar itu, namun mereka tidak berkeberatan dan tidak menolak ketika dua saudara kembar itu mengundang mereka bertemu di dalam taman dan untuk membicarakan sesuatu yang penting.   Malam itu cuaca diterangi oleh sinar bulan yang lembut. Sinar keemasan memandikan taman dan menciptakan bayang-bayang lembut dari pohon-pohon yang warnanya menjadi serba menguning. Tidak ada angin bersilir, daun-daun pohon diam tak bergerak seperti sudah tidur pulas, akan tetapi di dalam keheningan itu penuh dengan suara kutu-kutu walang atogo, yaitu segala macam belalang dan jengkerik serta binatang serangga lain yang hidup dan berdendang di waktu malam. Namun suara yang riuh rendah itu, yang menghidupkan suasana, tidak mempengaruhi keheningan, bahkan melengkapi keheningan itu sendiri karena suara-suara itu tercangkup di dalamnya. Biar pun tidak ada angin bersilir, namun hawanya sejuk sekali, mendekati dingin, sungguhpun dari tanah di bawah rumput-rumput keluar hawa yang hangat.   Ketika Joko Handoko dan adiknya, Roro Kartiko tiba di taman, ternyata kakak beradik kembar itu telah menanti di situ, duduk di atas bangku panjang di dalam taman, di dekat kolam ikan mas yang bermain-main di antara daun-daun teratai merah. Melihat kedatangan mereka, Murwendo dan Murwanti cepat bangkit dan mempersilahkan mereka berdua untuk duduk.   "Ah, sungguh girang sekali hati kami melihat Andika bedua sudi memenuhi undangan kami," kata Murwendo sambil memandang kepada Roro Kartiko dengan sepasang mata yang bersinar-sinar.   Mereka duduk berhadapan, Murwendo dan Murwanti berjajar di sebuah bangku, sedangkan Joko Handoko dan Adiknya duduk di bangku ke dua, di depan mereka.   Joko Handoko tersenyum. Selama di mengenal kakak beradik kembar ini, memang dia melihat betapa mereka mempunyai watak yang lincah jenaka dan selalu gembira. "Murwendo, engkau dan adikmu sungguh aneh dan ada-ada saja. Ada urusan penting apakah gerangan maka kalian berdua mngundang kami untuk bertemu di taman sunyi ini?"   "Joko Handoko, aku..." Murwanti terpaksa menghentika kata-katanya ketika kakaknya menyetopnya dengan memberi isyarat dengan telunjuk ke depan mulut.   "Diajeng Murwanti, biarkan aku yang menjelaskan kepada mereka," kata Murwendo.   Bibir yang merah itu cemberut, akan tetapi Murwanti lalu berkata sambil memandang kepada Joko Handoko dengan kerling memikat, "Sesukamulah."   "Begini, Diajeng Roro Kartiko dan Joko Handoko.... kami berdua hendak memperkenalkan diri kepada kalian."   Roro Kartiko memandang dengan bibir tesenyum. "Eh, kalian ada apa sih? Kami berdua sudah cukup mengenal kalian kakak beradik kembar yang aneh selama beberapa pekan. Masa sekerang baru memperkenalkan diri?"   Murwendo tersenyum lebar, jantungnya jungkir balik melihat Roro Kartiko tersenyum semanis itu. Selama ia bertualang di kerajaan ayahnya, bermain-main dengan banyak wanita, belum pernah dia menemukan seorang wanita sehebat Roro Kartiko!   "Andika berdua belum tahu siapa sebenarnya kami. Ketahuilah, aku adalah Pangeran Murwendo dan ini adalah Adikku Puteri Murwanti,kami adalah putera dan puteri dari Rama Prabu Bandardento dari Kerajaan Puger di Pantai Laut Selatan!" Setelah berkata demikian, dua orang kakak beradik itu memandang dengan sikap bangga.   DAN memang Joko Handoko dan Roro Kartiko terkejut dan terheran-heran mendengar pengakuan ini! Mereka memandang dengan mata terbelalak, dan Roro Kartiko hanya dapat mengeluarkan kata-kata, "Ahhhh.....!"   Joko Handoko mengerutkan alisnya. "Sungguh aneh sekali Andika berdua, kalau benar kalian putera-puteri raja, mengapa memasuki sayembara? Dan apa pula artinya semua ini kalian ceritakan kepada kami kakak beradik!"   "Ha-ha-ha!" Murwendo tertawa dan begitu pemuda tampan itu tertawa, Joko Handoko dan terutama sekali Roro Kartiko terkejut dan merasa ngeri. Sungguh jauh bedanya setelah pemuda itu tertawa bergelak seperti itu, menimbulkan suasana yang mengerikan.   "Ketahuilah, Diajeng Roro Kartiko dan Joko Handoko, kami kakak beradik jauh-jauh meninggalkan kerajaan kami dan merantau sampai ke Lumajang dengan meksud mencari jodoh! Dan di sinilah kami menemukan jodoh kami. Mengapa hanya kepada Andika berdua kami menceritakan dan membuka rahasia kami? Ha-ha, Diajeng Murwanti, jawablah, mengapa?"   "Karena aku menemukan jodohku di sini, karena aku mencintaimu, Joko Handoko," jawab Murwanti.   "Dan aku jatuh cinta kepadamu semenjak pertama kali malihatmu meloncat ke atas panggung itu, Diajeng Roro Kartiko!"   "Ihhhh.....!!" Roro Kartiko bangkit berdiri, wajahnya menjadi merah sekali dan matanya mengeluarkan sinar kemarahan.   "Hemmm..... kalian..... sungguh aneh....!" Joko Handoko juga menjadi merah mukanya dan memandang kepada kakak beradik kembar itu sambil meraba-raba dagunya. Betapa anehnya kakak beradik itu, menyatakan cinta demikian terang-terangan dan di waktu mereka berada berempat seolah-olah urusan yang hanya menyangkut rahasia hati dua orang itu boleh dibicarakan seperti hal-hal biasa saja di depan orang-orang lain!   "Joko Handoko.... Kakangmas Joko Handoko, akusudah bersumpah bahwa kalau tidak menjadi jodohmu, aku.....aku lebih baik mati saja!" Murwanti berkata lagi dan sepasang matanya memandang wajah pemuda itu penuh dengan kemesraan, penuh gairah dan seluruh air mukanya, dari tatapan pandang matanya, gerakan cuping hidungnya, kedua bibirnya yang terbuka sedikit dan tarikan bibirnya, semua membayangkan gairah nafsu yang panas!   "Dan aku pun demikan, Diajeng Roro Kartiko, Andika berdua, kakak beradik, telah menjadi pilihan hati kami berdua, kakak beradik kembar. Oleh karena itu, marilah Andika berdua ikut bersama kami, marilah kita menikmati hidup penuh kemuliaan,kehormatan dan cinta kasih di kerajaan kami. Engkau akan menerima kedudukan pangkat tinggi, Joko Handoko, dan engkau Diajeng Roro Kartiko, engkau akan menjadi seorang puteri mulia di sampingku, isteri pangeran dan kelak menjadi permaisuri raja kalau aku sudah menggantikan tahta kerajaan Ayahku. Kalian berdua akan kami angkat naik sampai ke tempat paling tinggi dan.... dan Ibu kalian boleh saja ikut dan menikmati pula kehormatan dan kemuliaan di Puger......"   Saking kaget, heran dan juga malu, kakak beradik dari Tuban itu sejenak tidak mampu bicara dan beberapa kali mereka hanya saling pandang.   394***************************   Kakangmas Joko Handoko, jangan berkata demikian....aku sungguh mencintaimu, mencintai dengan seluruh jiwaku dan seluruh ragaku mencintaimu sampai ke setiap lembar rembut yang tumbuh di tubuhku..."   Joko Handoko mengkirik dan merasa serem. "Cukuplah! Aku tidak mencintaimu, Murwanti."   Gadis itu terbelalak dan wajahnya seketika menjadi pucat, lebih pucat daripada sinar bulan di atas pupus daun jeruk yang tumbuh di dekat situ.   "Dan aku pun tidak mencintaimu, Murwendo!" kata pula Roro Kartiko dengan tegas dan lantang.   "Hemmmm......!" Terdengar pemuda Puger itu mendengus.   "Kenapa, Kakangmas Joko Handoko? Kenapa? Aku diperebutkan oleh semua orang laki-laki di Puger! Semua pemuda menyembah-nyembah mengharapkan balasan cintaku. Dan aku hanya cinta kepadamu akan tetapi kau...."   "Aku tidak cinta kepadamu!" sambung Joko Handoko tegas.   "Diajeng Roro Kartiko, tidak kelirukah pendengaranku? Kau tidak mencintai aku, seorang pangeran mahkota.....?" Murwendo juga bertanya dengan penuh penasaran.   "Tidak, sama sekali tidak!" jawab Roro Kartiko.   "Ahhhh.....!"   "Kakang..... Kakangmas Murwendo....uh-huuuu-hu....!" Murwanti menubruk kakaknya dan mereka berangkulan dan bertangisan dengan penuh kesedihan.   Melihat ini, Roro Kartiko mendekati kakaknya dan memegang tangan kakaknya, karena dia merasa serem dan juga kasihan. Mereka berdiri saling bergandengan tangan dan memandang kepada dua orang saudara kembar yang masih berangkulan dan bertangisan itu. Timbul rasa iba di dalam hati mereka.   "Sudahlah, Murwendo dan Murwanti. Harap jangan menangis dan terlalu bersedih. Cinta kasih tidak dapat dipaksakan....." kata Joko Handoko.   Murwanti melepaskan rangkulan kakaknya dan kini dia menghadapi Joko Handoko, memandang dengan sepasang mata basah. "Akan tetapi, aku tidak percaya bahwa engaku tidak bisa mencintai seorang seperti aku, Kakangmas. Mengapa? Mengapa kau tidak bisa cinta kepadaku? Apakah karena kau sudah mencintai seorang wanita lain?"   Ditanya demikian, merah wajah Joko Handoko dan terbayanglah wajah Sulastri dalam pakaian pria yang amat tampan itu. Dan dia merasa kasihan kepada gadis Puger ini, lalu mengangguk dan berkata lirih, "Benar, Murwanti."   "Aaahhh.....hu-hu-huuu....!" Murwanti menangis lagi, sambil menjatuhkan dirinya duduk dia tas bangku, kedua punggung tangan mengusap-usap air mata seperti seorang anak kecil merajuk dan menangis manja.   "Dan bagaimana dengan engkau, Diajeng Roro Kartiko? Mengapa kau tidak bisa mencintai seorang pangeran pati seperti aku? Apakah juga karena engkau telah mencintai seorang laki-laki lain?"   Tentu saja Roro Kartiko merasa marah dan malu sekali mendengar pertanyaan yang melanggar kesusilaan ini, akan tetapi karena dia tahu bahwa pemuda Pugeritu sedang menderita kekecewaan dan kedukaan, dia pun hanya meniru saja kakaknya, mengangguk dan berkata, "Benar."   "Ahhh....celaka.... kami kakak beradik yang celaka....." Murwendo terhuyung dan menjatuhkan diri berlutut di dekat adiknya dan mereka berdua itu bertangis-tangisan lagi.   Joko Handoko menyentuh lengan adiknya,memberi isyarat dengan mata dan mereka berdua lalu meninggalkan taman itu, meninggalkan kakak beradik kembar yang sedang bertangis-tangisan dengan sedihnya itu.   Murwendo dan Murwanti menangis dan tenggelam dalam kekecewaan dan kedukaan mereka sehingga tidak tahu bahwa telah lama Joko Handoko dan Roro Kartiko meninggalkan mereka, juga tidak tahu bahwa sejak tadi, ada bayangan orang yang mengintai dan mendengarkan semua yang terjadi di situ. Kini, setelah Joko Handoko dan adiknya sudah agak lama pergi,bayangan itu muncul dari balik semak-semak dan melangkah dengan tenang menghampiri kakak beradik kembar yang masih bertangis-tangisan itu.   "Kegagalan tidak cukup dengan ditangisi, melainkan harus diusahakan agar berhasil. Dan amat tidak enak melihat orang-orang gagah menangisi kegagalan!"   Murwendo dan Murwanti terkejut dan mereka cepat meloncat dan berbareng mereka menyerang dan menghantam bayangan orang yang berdiri di situ dan menegur mereka tadi.   "Plak! Plak!" Kakak beradik kembar itu terhuyung ketika orang itu menangkis.   "Murwendo dan Murwanti, tenanglah, aku bukan musuh, melainkan kawan yang datang hendak membantu kalian."   "Harwojo....!" Murwendo berseru kaget ketika mengenal siapa orangnya yang muncul dan mengejutkan mereka.   "Kau? Hendak membantu kami? Dengan cara bagaimana kau hendak membantu kami, kau yang seperti setan telah mengintip pebuatan orang lain?" Murwanti menegur marah.   Harwojo yangberwajah keruh itu tersenyum sedikit, namun senyum itu hanya sebentar saja karena wajahnya sudah menjadi keruh kembali, dengan alis dikerutkan. "Kalian duduklah dan mari kita bicara."   Jilid 52   Murwendo dan Murwanti yang merasa putus asa karena cinta mereka ditolak mentah-mentah itu lalu duduk bejajar dan Harwojo duduk di depan mereka.   "Jadi kiranya Andika berdua ini adalah putera-puteri Sang Prabu Bandardento di Puger?" tanya Harwojo dengan suara lirih.   "Harap Andika suka merahasiakan hal ini," kata Murwendo.   "Jangan khawatir. Andika berdua dapat percaya kepada saya karena kita mempunyai kepentingan bersama dan harus saling bantu-membantu. Ketahuilah Pangeran....."   "Sementara ini sebut saja namaku Murwendo."   "Baik dan maafkan saya, Murwendo. Ketahuilah kalian berdua bahwa saya adalah seorang utusan dari kerajaan Mojopahit...."   "Ahhh......!" Kakak beradik kembar itu memandang dengan mata terbelalak.   "Saya adalah orang kepercayaan dari Pangeran Pati Kolo Gemet di Mojopahit. Gusti Pangeran bersama Gusti Ratu yang mengutus saya untuk secara rahasia melakukan penyelidikan di Lumajang, karena saya adalah seorang pembantu rahasia yang tidak akan dikenal orang di sini."   "Hemm, kiranya begitu? Dan apa kehendakmu menghubungi kami?" Murwanti yang kini tertarik hatinya melupakan kesedihannya, bertanya sambil memandang penuh selidik.   "Saya diutus untuk menyelidiki hilangnya keris pusaka Kolonadah dan merampasnya kembali. Oleh karena itu, melihat bahwa Andika berdua adalah putera-puteri Kerajaan Puger yang tentu dapat mengerahkan pasukan untuk membantu saya melakukan penyelidikan, marilah kita saling membantu terlaksananya tugas saya dengan hasil baik, saya pun akan membantu Andika berdua untuk melaksanakan hasrat hati Andika berdua terhadap kakak beradik putera mendiang Bupati Tuban itu."   "Hemm, tentang keris pusaka, kiranya tidak akan sukar kalau kami mau melakukan penyelidikan, bahwa kami dapat menjanjikan bahwa kami tentu akan berhasil. Akan tetapi...."   "Benarkah itu, Murwendo? Tahukah engkau di mana adanya Kolonadah?"   Kakak beradik kembar itu saling pandang dan tersenyum. "Jangan khawatir kataku, kami akan sanggup mencarikan pusaka itudan menyerakannya kepadamu, akan tetapi kami ingin mendengar dulu bagaimana Andika dapat membantu kami mendapatkan kekasih kami yang telah menolak cinta kasih kami itu. Dengan guna-guna?" kata Murwendo.   "Tidak, selain aku tidak pandai mengguna-guna, juga jangan memandang rendah orang-orang Tuban dalam hal guna-guna. Tidak akan berhasil kiranya kalau kalian menggunakan guna-guna, biarpun saya mendengar bahwa daerah Blambangan menjadi pusat orang-orang yang ahli dalam hal itu. Satu-satunya jalan untuk membawa mereka berdua ke Puger sehingga niat hati Andika berdua dapat terlaksana adalah menculik mereka!"   "Hemmm....." dua orang kakak beradik itu saling pandang.   "Saya dapat menduga bahwa tanpa bantuan saya pun Andika berdua tentu suatu saat akan melakukan hal itu. Akan tetapi ingat bahwa mereka berdua memilikiilmu kepandaian tinggi, apalagi karena di samping mereka ada Sulastri yang kepandaiannya lebih tinggi lagi, dan tentu saja, kalau Andika berdua tidak bekerja sama dengan saya, saya pun akan berpihak kepada mereka. Sebaliknya, kalau kita bekerja sama, Andika berdua dibantu oleh orang-orang Andika dapat menculik Joko Handoko dan adiknya, sedangkan Sulastri, serahkan saja kepada saya."   "Tapi dalam sayembara, engkau telah dikalahkan oleh Sulastri.   Harwojo tersenyum mengejek. "Saya, Raden Harwojo adalah utusan Gusti Ratu yang dipercaya penuh, masa kalah oleh seorang wanita? Kalau saya kalah di waktu itu adalah karena saya sengaja mengalah agar tidak menimbulkan kecurigaan. Bagaimana, apakah Andika berdua setuju untuk bekerja sama dengan saya dan berjanji akan benar-benar menyerahkan Kolonadah kepada saya kalau Andika berhasil merampasnya?"   Baik, Raden Harwojo," kata Murwendo dan mereka lalu melanjutkan percakapan dengan bisik-bisik mengatur rencana. Dalam percakapan ini, secara terus terang Raden Harwojo mengatakan bahwa tugasnya di samping mencari dan merampas Kolonadah, juga menghancurkan atau setidaknya mengurangi kekuatan Lumajang.   "Karena Sulastri merupakan seorang kuat dan berbahaya, maka aku akan menundukkannya, membujuknya atau kalau perlu juga membunuhnya," demikianlah katanya kepada kedua orang saudara kembar itu.   Demikianlah, suatu persekutuan yang berbahaya telah terjalin, persekutuan yang mengancam keselamatan Joko Handoko, Roro Kartiko, dan juga Sulastri. Bagi orang-orang seperti Murwendo, Murwanti dan Harwojo itu, tentu saja rencana mereka itu mereka anggap benar dan sudah tepat atau semestinya. Mereka bertindak demi mencapai kesenangan yang mereka idam-idamkan, dalam halnya dua saudara kembar itu tentu saja mengejar kesenangan dari kepuasan hasrat cinta yang tak lain hanyalah nafsu birahi belaka, sedangkanRaden Harwojo pada hakekatnya juga mengejar kesenangan melalui berhasilnya tugasnya, karena berhasilnya tugas ini tentus saja membuat dia dipuji oleh majikannya dan akan menerima ganjaran dan imbalan.   Segala bentuk penyelewengan dalam hidup selalu didorong atau diawali oleh pikiran yang mengenangkan segala macam pengalaman enak dan ingin mengulangnya di masa depan atau di masa mendatang. Kita lupa bahwa justru keinginan untuk mengejar atau mencapai sesuatu yang belum berada di tangan kita, sesuatu yang kita anggap lebih enak, lebih baik dan pendeknya lebih daripada yang ada sekarang, keinginan inilah yang menghancurkan nikmat hidup. Keinginan untuk mengejar sesuatu yang belum ada, sesuatu yang tak terjangkau oleh kekuatan kita, diselimuti dengan kata-kata indah seperti ambisi, cita-cita, dan lain sebagainya. Ada pula yang menganggap bahwa cita-cita ini yang mendatangkan kemajuan! Benarkah demikian? Dan apa yang kita maksudkan dengan "kemajuan" itu?   Mari kita membuka mata dan melihat! Tuhan telah memberi kenikmatan hidup secara berlimpah-limpah sehingga dalam segelas air putih pun terkandung kenikmatan. Air jernih itu mengandung manfaat teramat besar dan kenikmatan, merupakan nikmat hidup untuk meminumnya di waktu haus. Akan tetapi, di waktu tangan memegang segelas air jernih, lalu pikiran membayangkan es jeruk dan ingin memperolehnya padahal es jeruk itu belum ada dan tidak akan dapat kita adakan, maka, ketika itu juga lenyaplah kenikmatan dari air jernih itu. Lenyaplah nikmat hidup dalam segala sesuatu apabila pikiran ini menghendaki yang lain daripada yang ada. Demikian pula dengan segala hal yang kita miliki, lahir maupun batin. Pikiran yang ditujukan untuk memperoleh sesuatu yang belum ada dianggap lebih sempurna daripada yang telah berada di tangan, melenyapkan keindahan dan kenikmatan dari yang telah kita miliki. Dan sekali kita menyandarkan diri kepada cita-cita, sampai kita mati pun kita tidak akan dapat menikmati sesuatu, nikmat hidup akan terus didesak minggir oleh kesenangan membayangkan kenikmatan sesuatu yang belum kita miliki.   Pejalan kaki tidak akan menikmati jalan kaki kalau dia menginginkan sepeda yang belum dimilikinya. Pemilik sepeda tidak akan menikmati sepedanya kalau dia menginginkan sepeda motor yang belum dimilikinya. Pemilik sepeda motor tidak akan menikmati sepeda motornya kalau dia menginginkan mobil, dan selanjutnya terus meningkat. Herankah kita kalau melihat orang-orang yang sudah muak dengan segala kendaraan itu lalu INGIN KEMBALI BERJALAN KAKI? Keinginan akan membentuk lingkaran setan yang tiada habisnya, dan hidup kita menjadi hamba daripada nafsu keinginan yang tiada kenyangnya.   Tidak ingin bukan berarti menjadi malas dan acuh tak acuh. Sebaliknya malah! Segala sesuatu yang dilakukan tanpa memandang akan hasilnya, melainkan dilakukan karena kita mencintai pekerjaan yang kita lakukan itu, barulah nikmat hidup namanya! Karena cinta terhadap apa yang ada, tidak membayangkan hal-hal yang tidak ada, maka akan terciptalah hal-hal yang baru! Karena cinta terhadap pekerjaan akan membuat kita tekun dan rajin. Sebaliknya kalau kita bekerja dengan tujuan mengejar uang misalnya, maka akan terjadilah penyelewengan-penyelewengan dalam bentuk korupsi, pencurian, penipuan, perjudian, pendeknya apa saja yang memungkinkan kita untuk cepet-cepat mendapatkan uang yang kita kejar-kejar itulah! Pernahkah ada orang besar dalam sejarah yang tadinya adalah orang yang bercita-cita menjadi orang besar? Kalau demikian, dia bukan orang besar namanya, melainkan mengejar kesenangan pribadi! Orang menjadi besar karena karyanya, bukan karena pengejaran sesuatu melainkan karena cintnya terhadap karyanya, karena cintanya itu melahirkan total dari perhatiannya.   Dapatkah kita hidup tanpa mengejar-ngejar dan mencari-cari kesenangan yang hanya akan menyeret kita ke dalam kemaksiatan dan penyelewengan karena kita diperhamba oleh nafsu keinginan itu? Ini bukanlah berarti bahwa kita MENOLAK kesenangan. Tidak mengejar bukan berarti menolak! Dan apabila kita tidak mengejar, maka kesenangan itu terdapat disetiap saat, dan di dalam setiap hal! Kesenangan yang bukan merupakan pemuasan nafsu, karena pemuasan nafsu dalam bentuk apapun juga hanya akan menimbulkan kebosanan, pertentangan dan karenanya berakhir dengan kekecewaan dan kesengsaraan.   ***   Setelah merasa yakin bahwa tiga di antara tiga di antara orang-orang muda yang menjadi orang-orang kepercayaan baru di Lumajang itu benar-benar dapat dipercaya, pada suatu hari Adipati Lumajang memanggil Sulastri, Joko Handoko dan Roro Kartiko dan kepada mereka ini diserahi tugas untuk menyelidiki Kolonadah dan kalau mungkin merampasnya kembali dari tangan Resi Harimurti atau siapa saja di Mojopahit yang telah merampasa keris pusaka itu.   "Kami tidak ingin memberontak, tidak ingin bentrok secara terbuka dengan Mojopahit selama di sana masih ada Sang Prabu yang kami junjung tinggi menduduki tahta kerajaan," demikian antara lain Sang Adipati berkata. "Akan tetapi Kolonadah harus dijaga agar jangan sampai terjatuh ke tangan Pangeran Kolo Gemet, seorang pangeran berdarah melayu. Maka kami mengutus kalian, dan boleh kalian membawa pasukan yang menyamar untuk menyelidiki ke Mojopahit dan berusaha mendapatkan Kolonadah itu."   Sulastri, Joko Handoko dan Roro Kartiko lalu menerima baik perintah ini dan mereka bertiga tidak mebawa pasukan Lumajang, melainkan hanya membawa tujuh orang wanita para anggota Sriti Kencana. Setelah berpamit dan mohon doa restu dari Sariningrum, yaitu ibu dari Joko Handoko dan Roro Kartiko, berangkatlah tiga orang muda perkasa ini bersama tujuh orang anggota Sriti Kencana meninggalkan Lumajang.   Sore hari itu, sepuluh orang utusan ini berhenti di sebuah hutan dekat perbatasan, di kaki Pegunungan Bromo sebelah timur untuk beristirahat dan mereka lalu mengadakan perundingan dan mengatur siasat.   "Karena Ki Ageng Palandongan terbunuh oleh Resi Harimurti, maka jelaslah bahwa keris pusaka Kolonadah itu berada di tangannya, maka setelah tiba di Mojopahit kita harus mencari Resi Harimurti," kata Roro Kartiko yang tidak lagi menyebut Sang Resi itu sebagai gurunya.   "Akan tetapi Resi Harimurti adalah pembantu dan orang kepercayaan Resi Mahapati, maka kurasa keris pusaka itu sudah berada di tangan Resi Mahapati. Sebaiknya kalau kita langsung melakukan penyelidikan ke istana Resi Mahapati," kata Joko Handoko.   "Aku mengharap agar kalian suka mengesampingkan urusan dendam pribadi karena kita adalah utusan-utusan yang memikul tugas yang amat berat," Sulastri berkata sambil memandang kakak beradik itu berganti-ganti.   Joko Handoko menarik napas panjang. "Harap Andika jangan salah mengerti, Diajeng Sulastri. Biarpun Ayah kami terbunuh di istana Resi Mahapati, namun kami sadar bahwa kematian Ayah adalah karena kesalahannya sendiri dan kami tidak menaruh dendam kepada siapa pun walau tentu saja kematian Ayah amat menyedihkan hati kami."   "Benar, Mbakyu Sulastri. Ketika kami bicara tentang Kolonadah dan Resi Mahapati, adalah dalam rangka tugas kita, sama sekali tidak mengandung maksud lain."   "Bagus, dan maafkan saya kalau begitu. Memang tidak keliru pendangan kalian bahwa keris pusaka itu hanya mungkin berada di antara dua orang, yaitu Resi Harimurti atau Resi Mahapati. Akan tetapi, kita harus berhati-hati dan sama sekali tidak boleh bertindak ceroboh. Di Mojopahit terdapat banyak sekali orang sakti. Resi Mahapati sendiri adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat, ditambah lagi ada Resi Harimurti di sana yang kalian sudah tahu betapa saktinya dia. Dan jangan lupa, kini Kakang Tejo juga berada di sana. Inilah yang meragukan hatiku. Kakang Tejo amat sakti, aku sendiri tidak dapat menandinginya! Karena itu, kita harus dapat bekerja dengan hati-hati, menyelidiki secara menggelap jangan sampai bentrok dengan mereka sehingga urusan menjadi gagal. Kita melakukan penyelidikan dengan mengenakan pakaian dan topeng Sriti Kencana, dan hanya di waktu malam gelap saja. Kita mencari kesempatan dan saat yang tepat untuk turun tangan kalau sudah tahu benar di mana adanya keris pusaka itu."   Joko Handoko, Roro Kartiko dan tujuh orang anak buah Sriti Kencana itu menganggk-angguk tanda setuju.   "Awas....!!" tiba-tiba Sulastri meloncat berdiri dan membalikkan tubuh sambil mengepal tinju. Sembilan orang lainnya itu terkejut dan juga serentak mereka bangkit , mata mereka mencari-cari karena mereka belum tahu apa sebabnya Sulastri meloncat berdiri dengan tiba-tiba itu. Tangan meraka meraba gagang keris dan sikap mereka tegang.   Akan tetapi hati mereka mejadi tenang ketika mereka melihat siapa yang muncul dari balik pohin-pohon itu. Ternyata tiga orang yang kedatangannya telah dilihat atau didengar oleh Sulastri lebih dulu adalah Raden Harwojo, Murwendo dan Murwanti, tiga orang jagoan Lumajang yang menjadi rekan-rekan mereka pula.   Sulastri segera melangkah maju menyambut mereka. Dia merupakan pemimpin rombongannya, maka dengan alis berkerut dan pandang mata penuh selidik dia lalu menegur, "Saudara-saudara Harwojo murwendo dan Murwanti bertiga, ada keperluan apakah Andika bertiga menyusul kami? Apakah Sang Adipati yang mengutus kalian?"   Raden Harwojo yang mukanya muram itu menggeleng kepala. "Sama sekali tidak, Sulastri. Kami bertiga tidak menyusul, melainkan sudah menanti di sini dan kami tidak diutus oleh Adipati Lumajang, melainkan kami ingin bicara dengan Andika bertiga atau lebih tepat, aku ingin bicara dengan Andika, sedangkan Murwendo dan Murwanti ingin bicara dengan Joko Handoko dan adiknya."   Sulastri memandang makin curiga. "Harwojo di antara kita tidak ada persoalan sesuatu, apa yang hendak kau bicarakan dan mengapa pula memilih waktu sekarang padahal sebelum ini banyak waktu di Lumajang?"   "Justeru sekaranglah waktunya yang tepat, Sulastri. Sebelum engkau terlambat dan menjadi seorang pemberontak dan pengkhianat aku ingin memperingatkan kepadamu bahwa amatlah tidak baik bagimu untuk memberontak terhadap Mojopahit dengan menjadi kaki tangan pemberontak Lumajang."   Terkejutlah hati semua orang, temasuk Sulastri. Dia menatap tajam wajah yang keruh itu dan berkata dengan suara marah, "Harwojo! Apa yang kaukatakan ini? Kita adalah sama-sama seorang ponggawa Lumajang, mengapa engkau bicara tentang pemberontakan terhadap Mojopahit? Apakah engkau hendak mengkhianati Lumajang?"   "Hemm, aku bukanlah ponggawa Lumajang, Sulastri, melainkan seorang kawula Mojopahit, bahkan aku seorang utusan dari Gusti Ratu dan Gusti Pangeran di Mojopahit! Oleh karena itu, aku meperingatkan agar engkau suka menghentikan kesesatanmu dan lebih baik membela Mojopahit daripada menjadi kaki tangan pemberontak Lumajang."   "Keparat! Kau berani membujukku seperti itu? Kau pengkhianat besar!" Sulastri memberontak dan sudah siap menerjang. Akan tetapi Raden Harwojo mengangkat tangan ke atas dan berkata dengan nyaring,   "Tahan, Sulastri! Lihatlah di sekelilingmu!"   Sulastri dan sembilan orang temannya menengok ke sekeliling dan berubah wajah mereka melihat bahwa tempat itu telah terkurung oleh puluhan orang perajurit yang dipimpin oleh dua orang laki-laki berusia empat puluhan tahun. Mereka itu seperti arca berjajar tanpa bergerak, dengan sikap yang mengandung penuh ancaman!   "Ha-ha-ha!" Tiba-tiba Murwendo berkata sambil tertawa. "Diajeng Roro Kartiko, lihatlah betapa pasukanku telah siap untuk menyambut engkau dan kakakmu untuk pergi ke Puger. Marilah Diajeng, mari kita hidup penuh kebahagiaan di sana, engkau menjadi calon permaisuriku, ha-ha!" Murwendo tertawa bergelak.   "Kakangmas Joko Handoko, aku mohon kepadamu, jangan engkau melawan. Marilah kulayani dengan cinta kasihku yang mendalam, Kakangmas!" Murwanti juga berkata dengan sikap mesra dan sedikit pun tidak merasa malu memperlihatkan sikap itu di depan begitu banyak orang.   "Tidak sudi aku!" bentak Joko Handoko.   "Lebih baik mati!" seru Roro Kartiko.   "Hemm, ternyata kalian adalah pengkhianat-pengkhianat hina!" Sulastri memaki marah. "Adalah menjadi tugas kami untuk membasmi pengkhianat-pengkhianat macam kalian!"   "Serbu......!!" Dengan suara berbareng, Joko Handoko dan Roro Kartiko memberi komando kepada anak buahnya dan tujuh orang anggota Sriti Kencana itu bergerak tangkas membentuk lingkaran menghadap keluar untuk menyambut lawan yang amat banyak itu.   Sulastri sendiri sudah mencelat ke depan dan langsung saja mengirim pukulan Hasto Nogo yang amat ampuh kepada Harwojo. Pemuda dari Mojopahit ini cepat mengelak dan balas memukul dengan sama dasyatnya. Sulastri menangkis dan keduanya terdorong mundur, akan tetapi Sulastri terkejut karena kini dia merasa betapa tangkisan tangan Harwojo itu mengandung tenaga yang bukan main kuatnya, jauh lebih kuat daripada ketika dia melawan Harwojo di atas panggung sayembara dahulu itu!   "Hemm, Sulastri, dulu aku sengaja mengalah kepadamu, akan tetapi sekarang, kalau engkau tidak mau sadar akan kesesatanmu, terpaksa aku akan menggunakan kekerasan," kata Harwojo sambil mengelak dari sambaran tangan Sulastri dan membalas dengan tendangan kilat sehingga Sulastri harus mundur untuk menghindarkan tendangan itu.   Keparat, manusia palsu! Engkaulah yang akan mampus di tanganku!" bentaknya sambil menerjang lagi.   Sementara itu, Joko Handoko dan Roro Kartiko juga sudah menerjang maju dan Murwanti segera menyambut Joko Handoko, sedangkan Murwendo menyambut Roro Kartiko. Dua orang kakak beradik kembar itu hanya mengelak sana-sini sambil merayu sehingga dua orang muda dari Tuban itu menjadi makin muak dan marah, menyerang terus dengan sengit.   "Paman Padas Gunung dan Paman Pragalbo, bantulah kami!" teriak Murwendo dan kini dua orang laki-laki berusia empat puluh tahunan yang memimpin para perajurit itu meloncat maju membantu Si kembar itu.   "Akan tetapi tangkap saja, jangan sampi lukai mereka!" kata Murwanti.   "Semua perajurit maju!" teriak Murwendo. "Tangkap sepuluh orang ini, jangan sampai mereka terluka!"   Kini pasukan yang jumlahnya mendekati seratus orang itu bergerak maju, dan dengan nekat tujuh orang anggota Sriti Kencana menyambut mereka mati-matian. Terjadilah pertempuran yang berat sebelah dan dalam waktu singkat saja tujuh orang anggota Sriti Kencana telah dapat diringkus semua dan kaki tangan mereka diikat.   Joko Handoko dan adiknya mengamuk dengan keris mereka sehingga Murwendo dan Murwanti merasa kewalahan. Akan tetapi dua orang laki-laki setengah tua itu ternyata hebat sekali. Seorang di antara mereka yang bernama Padas Gunung memegang sebatang suling yang ampuh, sedangkan Pragalbo juga menggunakan kerisnya untuk menangkis serangan-serangan Roro Kartiko, sedangkan Murwendo dan Murwanti hanya membantu dan mencari kesempatan untuk meringkus orang yang mereka cinta tanpa melukai mereka.   Betapa pun mereka berdua mengamuk dengan nekat, namun ketika keris mereka terlepas oleh tangkisan suling dan keris Padas Gunung dan Pragalbo, dua orang kakak beradik ini akhirnya dapat diringkus pula dan diikat kaki tangan mereka.   "Murwendo, engkau sudah gila! Lepaskan aku!" Joko Handoko meronta dan memaki.   Sambil tertawa Murwanti memeluknya dan mengelus dagunya. "Tenanglah, wong bagus, kelak engkau akan berterima kasih kepadaku untuk kejadian ini."   Sementara itu, pertandingan antara Sulastri dan Harwojo masih berlangsung dengan hebat. Sulastri merasa penasaran sekali karena sedemikian jauh dia belum juga dapat merobohkan lawannya dan baru sekarang dia tahu bahwa memang Harwojo kini tidak dapat disamakan dengan ketika mereka bertanding di atas panggung dahulu itu gerakan pemuda berwajah muram ini kuat dan tangkas sehingga dapat mengimbangi serangan-serangannya walaupun dia sudah mengerahkan tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya.   Betapa pun juga, ketika Sulastri mengerahkan Aji Turonggo Bayu sehingga tubuhnya berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar, Harwojo menjadi sibuk juga dan dia lebih banyak menangkis untuk melindungi tubuhnya dari hujan serangan lawan itu daripada balas menyerang. Melihat bahwa dalam hal kecepatan saja dia lebih unggul, Sulastri yang cerdik tentu saja girang dan hendak menggunakan kecepatannya itu untuk meraih kemenangan. Dia menyerang terus dengan cepat dan mulailah dia mendesak lawan itu.   Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara keras dan sebatang suling menyambar ke arah pundaknya. Sulastri terkejut, cepat mengelak dan kakinya melayang ke arah pemegang suling. Akan tetapi Padas Gunung, si Pemegang Suling itu, cepat mengelak dan sulingnya terus diputar untuk menyerang Sulastri dan membantu Harwojo. Padas Gunung maju atas perintah Murwendo.   Pertempuran menjadi makin seru ketka Sulastri dikeroyok dua oleh Harwojo dan Padas Gunung. Namun dara perkasa ini tidak menjadi jerih. Sebaliknya malah, melihat betapa teman-temannya tertawan, dia menjadi marah sekali dan dicabutnyalah sebatang keris pemberian Adipati Lumajang. Maka mengamuklah Sulastri, dari mulutnya terdengar bentakan-bentakan nyaring dan gerakannya makin cepat sehingga biar pun dia dikeroyok dua namun tetap saja dia masih mampu mendesak Harwojo, bahkan pada suatu saat yang baik, tamparan tangan kirinya yang menyerempet bahu Padas Gunung membuat tokoh Puger terhuyung ke belakang dengan muka pucat.   "Trik-trik-sringgg.....!!"   Bunga api berpijar ketika berkali-kali keris di tangan Sulastri bertemu dengan keris di tangan Harwojo yang menangkisnya. Pada saat itu, Padas Gunung yang menjadi marah telah menerjang lagi, sulingnya mengeluarkan bunyi mendesing ketika menyambar ke arah leher Sulastri. Gadis ini terkejut karena serangan yang datang dari samping itu cepat dan berbahaya sekali, maka dia menjatuhkan diri ke kanan, kakinya menendang untuk mencegah lawan mendesaknya. Akan tetapi pada saat itu, ada bayangan hitam yang lebar menyambar dan lain saat tubuh Sulastri telah tertutup oleh sehelai jala yang berwarna hitam. Jala ini dilepas oleh Pragalbo, laki-laki bermuka hitam, tokoh ke dua dari Puger. Pragalbo turun tangan membantu setelah diperintah oleh Murwendo pula yang melihat betapa hebatnya Sulastri biarpun sudah dikeroyok oleh dua orang namun masih tetap mengamuk dan membuat Padas Gunung terhuyung itu.   "Ihhhhh.....!!" Sulastri membentak dan biarpun tubuhnya diselimuti jala itu, dia meronta dan kakinya menendang dari dalam jala.   "Desss......!!" Pragalbo terpaksa mundur karena tendangan itu berbahaya sekali, dan Harwojo cepat menghantam dari belakang, menggunakan tangan kirinya, mengarah tengkuk Sulastri.   "Plakkk! Heiiiiittt....!!" Sulastri berhasil mengkis pukulan itu dengan tangan kirinya sambil membalik, namun gerakannya terhalang oleh jala sehingga tetap saja pundaknya kena terpukul. Dia terhuyung dan menggunakan kerisnya untuk membabat jala. Akan tetapi pada saat itu, jala ke dua dilempar ke atas tubuhnya. Sulastri meloncat namun kakinya terlibat jala dan ketika Pragalbo menarik tali jala dengan sentakan keras, tak dapat dicegah lagi tubuh dara itu terguling dan diringkus oleh jala. Harwojo menubruknya dan menekuk kedua lengan gadis itu ke belakang lalu membelenggunya, demikian pula Padas Gunung cepat mengikat kedua kaki Sulastri. Dara itu tidak dapat meronta lagi, seperti seekor harimau yang sudah terjebak di dalam jala dengan kaki tangan teringkus dan terbelenggu.   "Pengkhianat! Keparat-keparat berhati palsu! Jahanam.....!" Sulastri memaki-maki, akan tetapi tidak mereka tidak memperdulikannya.   "Murwendo dan Murwanti, harap jangan melupakan janji kalian," kata Harwojo kepada dua orang kakak beradik kembar itu.   "Jangan khawatir, Harwojo," jawab Murwendo. "Dan sekarang kami akan membawa mereka ke Puger."   "Pergilah, akan tetapi seperti yang kalian janjikan, kalian tidak boleh sekali-kali menyia-nyiakan mereka! Ingat, aku yang membantu kalian mencapai apa yang kalian idam-idamkan."   "Ha-ha-ha, perlukah engkau bertanya lagi? Kami berdua amat cinta kepada mereka. Dan bagaimana dengan dia? Akan kami bawa sajalah dia itu bersama ke Puger?" Murwendo menunjuk ke arah Sulastri yang masih rebah terbelenggu di dalam jala.   "arwojo menggeleng kepala. "Dia tidak masuk dalam perjanjian kita. Serahkan saja dia kepadaku."   "Hik-hik, agaknya engkau pun tidak mau ketinggalan dari kami, Harwojo. Selamat menikmati...."   "Ha-ha-ha, dia memang cantik jelita dan......"   "Cukup! Jangan kalian bicara yang bukan-bukan! Pergilah!" Harwojo tiba-tiba menghardik dan dua orang kakak beradik kembar itu sambil tertawa-tawa lalu masing-masing memanggul tubuh Joko Handoko dan Roro Kartiko, meloncat ke atas punggung kuda yang sudah dipersiapkan oleh orang-orangnya dan tak lama kemudian, pergilah dua orang saudara kembar itu membawa semua tawanannya, diiringkan oleh pasukan yang dipimpin oleh Padas Gunung dan Pragalbo. Harwojo memandang mereka sampai mereka itu lenyap dan hanya meninggalkan debu yang memenuhi hutan yang mulai gelap itu. Kemudian dia duduk di atas rumput dekat Sulastri yang masih meringkuk dalam keadaan tak berdaya di dalam jala.   "Harwojo manusia keparat!" Sulastri memaki dengan marah. "Engkau curang, licik dan tak tahu malu! Hayo kaubebaskan aku dan kita boleh bertanding sampai salah seorang di antara kita mengeletak tanpa nyawa di sini kalau engkau memang jantan sejati! Atau kalau tidak, kau boleh cabut kerismu dan bunuh aku sekarang, dan aku kan mati sambil mengenangmu sebagai seorang manusia pengecut yang hina-dina!"   Harwojo menghadapi maki-makian Sulastri dengan tenang saja, hanya menarik menarik napas panjang dua tiga kali dan mengerling ke arah gadis itu dengan sikap tak acuh. Kemudian dia berkata setelah gadis itu dengan memaki-maki lagi, "Sulastri, kalau aku tidak sayang kepadamu, apa kau kira saat ini engkau masih hidup?"   "Jahanam besar! Siapa yang haus akan sayangmu? Siapa yang takut mati? Kau mau bunuh aku lekas bunuh, aku tidak sudi minta-minta belas kasihanmu, pengkhianat keji!"   Harwojo menggeleng-geleng kepalanya. "Engkau memang memiliki ilmu kepandaian tinggi, sungguh mengagumkan sekali bagi seorang wanita semuda engkau. Akan tetapi engkau masih muda, keras hati dan keras kepala, ceroboh dan nekat."   "Dan engkau seorang penjahat yang berhati palsu, laki-laki mata keranjang dan busuk!"   Jilid 53   Alis pemuda itu berkerut dan ia cepat menoleh kepada gadis itu. "Hemm, jangan samakan aku dengan orang macam Murwendo tadi! Jangan kira aku sayang kepadamu karena engkau seorang perawan cantik! Sama sekali tidak! Aku sayang padamu melihat kepandaianmu karena engkau akan menjadi seorang yang berguna bagi Mojopahit. Namun engkau telah tersesat, menghambakan diri kepada Lumajang, kepada sarang pemberontak."   "Dan kau sendiri? Phuh, muak aku mendengarnya!"   "Engkau memang bodoh akan tetapi keminter (berlagak pinter)! Aku adalah utusan Gusti Ratu dan Gusti Pangeran di Mojopahit, aku menyamar sebagai seorang peserta sayembara, untuk menyelidiki Lumajang , untuk mencari Kolonadah."   "Hemm.....dan kau menjerumuskan Joko Handoko dan Roro Kartiko ke dalam jurang kecelakaan, dan engkau menangkap aku.....!"   Tentu saja. Tugasku untuk menghancurkan kekuatan yang mendukung Lumajang. Dan Joko Handoko bersama adiknya adalah pelarian-pelarian Mojopahit, anak-anak dari Progodigdoyo. Masih baik aku tidak membunuh mereka, dan aku melihat nasib mereka tidak akan sengsara di Puger sana. Dan kau.... hemm, aku hanya ingin agar engkau sadar daripada kesesatanmu, dan marilah kau ikut denganku ke Mojopahit, menghambakan diri kepada Mojopahit sehingga tidak akan percuma engkau selama ini mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi."   "Tak usah kau pura-pura baik. Bebaskan aku dan mari kita bertanding secara jujur, ingin kulihat sampai di mana kedigdayaanmu, Harwojo!"   Pada saat itu, sebelum Harwojo sempat menjawab, terdengar suara nyaring, "Adi Bromo, aku datang membantumu!"   "Kakang Tejo....!"   Harwojo sudah meloncat beriri akan tetapi dia harus cepat membuang diri ke samping karena Sutejo telah menerjang dengan dahsyat. Harwojo membalik dan balas memukul, ditangkis oleh Sutejo dan terjadilah perkelahian yang hebat antara dua orang pemuda yang sama tangkas dan sama digdaya ini. Pukul memukul terjadi, tendang-menendang dan tampar-menampar, masing-masing mengeluarkan aji kesaktian mereka, desak-mendesak dan saling berusaha untuk merobohkan lawan. Sementara itu, malam mulai menggulung hutan itu dalam kegelapan. Namun mereka yang berkelahi tidak menghiraukan kegelapan dan biarpun pandang mata mereka tidak lagi dapat diandalkan dalam perkelahian itu, mereka yang merupakan orang-orang terlatih masih dapat mengandalkan ketajaman pendengaran dan perasaan mereka.   Akan tetapi Harwojo yang menyangka bahwa lawannya adalah orang Lumajang dan karenanya membela diri mati-matian, akhirnya harus mengakui keunggulan lawan setelah dia mempertahankan diri selama seperempat jam perkelahian mati-matian di mana dia telah mengeluarkan segala ilmunya dan mengerahkan seluruh tenaganya. Akhirnya, dalam keadaan lemas dan lelah sekali karena sebelumnya dia sudah harus bertanding melawan Sulastri yang juga tidak mudah dia robohkan, sebuah tamparan dari tangan kiri Sutejo mengenai lehernya dan dia terpenting roboh dalam keadaan setengah pingsan. Dia mencoba bangun, akan tetapi hanya berhasil bangkit duduk dan menggoyang-goyang kepalanya yang terasa pening dan pandang matanya berkunang-kunang.   Ketika Sutejo menghampiri, terdengar Sulastri berteriak, "Kakang Tejo, jangan bunuh dia!"   Sutejo menoleh, tentu saja dia tidak mempunyai niat membunuh lawannya yang tangguh dan yang sudah dikalahkannya itu. Pemuda ini seperti kita ketahui datang dari Gunung Bromo di mana dia berpisahan dengan Resi Harimurti yang menuju ke barat, kembali ke Mojopahit. Sutejo menuju ke Lumajang dan kebetulan sekali ketika dia tiba di dalam hutan itu dan berniat untuk beristirahat dan melewatkan malam itu di dalam hutan, dia mendengar suara yang amat dikenalnya, suara Bromatmojo yang lantang dan galak! Tentu saja dia merasa terkejut sekali dan cepat dia menuju ke arah suara itu tanpa memperdulikan kaki tangannya tergores-gores duri yang dilanggarnya karena hutan itu sudah diliputi kegelapan remang-remang. Dan ketika dia melihat Bromatmojo rebah tak berdaya dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya dan digulung jala pula, tentu saja Sutejo menjadi marah dan dia lalu menyerang laki-laki yang berada di dekat Bromatmojo dan yang tadi dimaki-maki dan ditantang-tantang olehnya.   Kini mendengar Sulastri berteriak mencegahnya agar dia jangan membunuh laki-laki itu, Sutejo cepat menghampiri Sulastri, menggunakan kerisnya untuk membabat jala dan belenggu kaki tangan sehingga gadis itu bebas dari ikatan.   "Siapakah dia.... Adi....Bromo?" Sutejo memandang Sulastri yang masih seperti dulu, berpakaian seperti seorang pemuda tampan.   Kini setelah bebas, Sulastri teringat bahwa yang membebaskannya ini adalah Sutejo, bukan lagi Sutejo sahabatnya yang dahulu, melainkan Sutejo kaki tangan Resi Mahapati! Oleh karena itu, sikapnya berubah menjadi dingin, dan dengan suara kaku dia menjawab, "Apakah engkau tidak mengenal dia? Dia bernama Harwojo dari Mojopahit!"   Sutejo menggeleng kepalanya. "Aku tidak mengenal orang yang bernama Harwojo. Mengapa dia berada di sini dan engkau terbelenggu?"   Sulastri duduk di atas akar pohon, hatinya masih panas, panas terhadap Harwojo dan juga panas terhadap Sutejo yang kini telah berdiri di pihak musuhnya. "Kau tanyalah sendiri kepadanya."   Sutejo merasa tidak enak mendengar suara Bromatmojo yang kaku itu, akan tetapi dia mendekati Harwojo yang sudah duduk dan tidak lagi menggoyangkan kepalanya karena kepeningan kepalanya sudah mereda.   "Kisanak, siapakah engkau dan mengapa engkau memusuhi..... Adi Bromatmojo?"   Harwojo mengangkat mukanya dan memandang wajah Sutejo yang kelihatan remang-remang tertimpa cahaya bulan yang mulai muncul itu dengan penuh kagum. Baru sekali ini dia bertemu lawan yang benar-benar tangguh, di samping Sulastri. "Saya bernama Harwojo dan saya utusan dari Gusti Ratu Pangeran Pati di Mojopahit. Saya diutus untuk menyelidiki dan mencari keris pusaka Kolonadah yang kabarnya berada di tangan orang-orang Lumajang. Dan kau siapakah, orang muda yang gagah perkasa?"   "Aku....namaku Sutejo."   "Dan dia adalah adik ipar dari Resi Mahapati," Sulastri melanjutkan.   "Ahhh.....! Kiranya begitu?" Harwojo berseru kaget.   "Maafkan aku karena aku tidak tahu siapa engkau maka aku menyerangmu, Kisanak. Pula, melihat Adi Bromo...." Sutejo tidak melanjutkan kata-katanya.   "Aku meresa menyesal sekali harus menangkapnya, akan tetapi sungguh aku tidak berniat buruk terhadap dia, aku hanya hendak membujuk agar dia tidak membantu pemberontak. Karena kita belum saling mengenal, maka ketika engkau menyerang, aku tentu saja mengira engkau seorang ponggawa Lumajang pula yang belum kuketahui."   Sutejo menarik napas panjang. "Kalau begitu tugas kita sama. Aku pun sedang menyelidiki Kolonadah dan hendak pergi ke Lumajang."   "Kalian ini hamba-hamba Mojopahit yang bodoh!" Tiba-tiba Sulastri berkata dengan nada mengejek. "Dan engkau Sutejo, engkau pun telah dibodohi orang dengan mudah! Kuberi tahu kalian bahwa Kolonadah tidak berada di Lumajang, melainkan berada di tangan orang Mojopahit!"   "Ah, mana mungkin....?" Sutejo dan Harwojo berseru kaget.   "Memang kalian bodoh! Kalau sudah berada di Lumajang, perlu apa Adipati Wirorojo mengutus aku untuk menyelidikinya dan mencarinya di Mojopahit? Keris itu sudah berada di tangan Resi Harimurti! Tadinya memang keris pusaka itu dilarikan oleh Ki Ageng Palandongan dari Tuban, untuk dibawa ke Lumajang. Akan tetapi di tengah jalan, Ki Ageng Palandongan diserang oleh Resi Harimurti!"   "Akan tetapi..... menurut Gusti Ratu, sampai sekarang tidak ada yang menyerahkan keris pusaka itu!" kata Harwojo.   "Hemm, kalau keris sudah berada di tangan Resi Harimurti, tentu diserahkan kepada Resi Mahapati, bukan kepada Sri Ratu!" kata Sulastri.   "Akan tetapi, Resi Mahapati adalah tangan kanan Gusti Ratu, dan Resi Mahapati juga belum menyerahkan keris pusaka itu," bantah Harwojo.   "Dan menurut cerita Resi Harimurti, biarpun dia telah berhasil merampas keris dari tangan Ki Ageng Palandongan, akan tetapi orang-orang Lumajang telah berhasil merampas dari tangannya pula," kata Sutejo.   "Aneh!" Sutejo dan Harwojo berkata hampir berbareng dan ketiganya duduk termenung dengan bingung. Keris pusaka itu tidak berada di tangan Resi Harimurti seperti yang disangka oleh Sulastri, tidak juga berada di tangan Orang-orang Lumajang. Lalu di mana? Siapa yang merampasnya dari tangan Resi Harimurti?   "Apakah ada yang menyaksikan ketika keris itu dirampasnya dari tangan Resi Harimurti?" Sulastri bertanya tanpa menujukannya kepada orang tertentu.   "Tidak," Sutejo menjawab dengan alis berkerut. Menurut penuturannya, dia seorang diri ketika keris itu dirampas orang-orang yang menggunakan akal mengeroyoknya."   "Huh,kalau begitu kalian dibohongi oleh Resi jahanam itu!"   Harwojo lalu bangkit berdiri. "Maafkan saya...., kalau begitu saya harus cepat pulang ke Mojopahit untuk melaporkan hal ini........."   Baik Sulastri mau pun Sutejo tidak menjawab apa-apa, juga tidak mencegah ketika Harwojo meninggalkan tempat itu. Mereka berdua masih duduk berhadapan di atas tanah sampai lama setelah Harwojo tidak tampak lagi dan tidak terdengar suara apa-apa kecuali jangkerik dan belalang yang riuh rendah menghidupkan suasana yang sunyi di dalam hutan itu. Bulan sudah naik agak tinggi dan karena tempat mereka duduk merupakan tempat terbuka yang cukup luas, maka sinar bulan dapat menimpa tempat itu tanpa terhalang, mendatangkan penerangan yang cukup sehingga mereka dapat melihat wajah masing-masing dengan jelas.   "........Adi Bromo...." Akhirnya suara Sutejo memecah kesunyian. Dia merasa canggung sekali kalau harus mengganti sebutan ini, sungguhpun kini dia sudah yakin bahwa "pemuda" yang berada di depannya ini adalah seorang dara yang cantik jelita dan gagah perkasa.   Sulastri mengira bahwa Sutejo belum tahu akan rahasia pribadinya, dan teringat akan jurang yang memisahkan mereka karena pemuda ini membantu Resi Mahapati, dia lalu menjawab dengan sikap dingin dan suara kaku, "Sutejo di antara kita tidak ada lagi hubungan persahabatan."   Wajah pemuda itu menjadi agak pucat dan matanya terbelalak, kemudian dia berkata dengan suara yang bernada sedih, "Adi Bromo, setelah segala yang kita alami bersama, mengapa....engkau bersikap seperti ini kepadaku? Tidakkah engkau sudi memaafkan aku, seandainya aku ada kesalahan terhadapmu?"   "Tidak perlu bicara tentang kesalahan dan masihkah engkau bertanya lagi mengapa aku bersikap begini, Sutejo? Lupakah engkau bahwa engkau dan aku berdiri di dua pihak yang bertentangan? Aku adalah musuhmu dan engkau adalah musuhku!"   "Adi Bromatmojo!" Sutejo berkata sambil melangkah maju. "Jangan kau berkat demikian. Malah kedatanganku ini sengaja hendak mencarimu. Hendak menyadarkan engkau telah menempatkan dirimu di dalam bahaya besar dan juga dalam penyelewengan yang kelak hanya akan membuatmu menyesal."   Sulastri mengerutkan alisnya, "Hemm, engkau malah berani berkata seperti itu? Hendak menyadarkan aku? Dalam hal apakah?"   "Adi Bromo...." Teringat bahwa yang diajaknya bicara dengan sebutan pria itu sebetulnya adalah seorang dara, Sutejo tidak berani lama-lama menentang wajah Sulastri dan ia melanjutkan sambil menunduk, dan hanya sekali-kali saja mengangkat muka memandang. "Aku mendengar bahwa engkau telah menghambakan diri kepada adipati di Lumajang, bahkan engkau sendiri tadi mengatakan bahwa engkau menjadi utusan Sang Adipati untuk mencari keris pusaka Kolonadah. Adi Bromo.....hendaknya engkau insaf dan menyadari bahwa engkau telah tersesat......"   Mendengar ucapan itu, otomatis kedua tangan Sulastri bergerak naik ke pinggangnya dan sepasang matanya memandang marah. Mulutnya tersenyum mengejek, senyum yang sudah amat dikenal oleh Sutejo, senyum yang akan keluar kalau temannya itu sedang mengkal hatinya.   "Aku? Tersesat? Memang aku menghambakan diri kepada Adipati Wirorojo, Adipati Lumajang. Tidak tahukah engkau siapa beliau? Beliau adalah seorang yang arif bijaksana, seorang pemimpin sejati. Kenapa kau berani mengatakan aku tersesat?"   "Ah, itulah salahnya, Adi Bromo. Engkau tidak sadar bahwa engkau telah menghambakan diri kepada pemberontak."   "Sutejo jangan sembarangan menuduh. Adipati Wirorojo bukanlah pemberontak!"   "Memang belum memberontak, akan tetapi di sanalah ditampungnya semua orang yang memusuhi Mojopahit. Semua bekas pengikut Ronggo Lawe, pengikut Lembu Sora, semua pergi ke Lumajang, bahkan bekas-bekas perejurit mereka pun kini menjadi perajurit Lumajang. Apakah itu bukan suatu bukti bahwa Lumajang adalah sarang pemberontak?"   "Huh,hati dan pikiranmu memang sudah diracuni oleh Resi Mahapati, Sutejo! Maka wawasanmu juga ngawur! Telingaku sendiri yang mendengar ucapan keluar dari mulut Sang Adipati Lumajang baru beberapa hari yang lalu bahwa Beliau tidak ingin memberontak, bahkan tidak ingin bentrok dengan Mojopahit selama di sana masih ada Sang Prabu yang Beliau junjung tinggi itu menduduki tahta kerajaan. Akan tetapi Beliau tidak setuju kalau Kolonadah terjatuhke tangan Pangeran Kolo Gemet. Dan engkau tahu siapa gerangan pangeran itu? Pangeran berdarah Melayu, dan Resi Mahapati justeru berhamba kepada Pangeran itu! Orang-orang Lumajang bukan berjiwa pemberontak, bahkan amat mencintai Mojopahit dan Sang Prabu. Hanya membenci para ponggawa Mojopahit yang jahat dan sewenang-wenang itu."   "Hemm, tentu saja mereka tidak mau mengaku, Adi Bromo. Tidak ada maling yang mengaku pencuri, tidak ada perampok mengaku begal, tidak ada orang bersalah mengaku tidak benar. Adipati Lumajang sudah mambuktikan dengan sikapnya yang tidak mau tunduk lagi kepada Sang Prabu di Mojopahit yang seharusnya ditaati oleh semua kawula Mojopahit yang setia."   "Kawula Mojopahit yang setia? Huh, kau anggap orang-orang macam Resi Mahapati dan Resi Harimurti itu orang-orang yang baik? Betapa engkau sudah buta!"   "Aku tidak peduli akan pribadi mereka, selama mereka tidak menggangguku dan tidak melakukan kejahatan di depan mataku karena kalau demikian halnya, tentu aku akan menentangnya. Aku harus setia kepada Mojopahit dan karena kulihat Resi Mahapati dan Resi Harimurti setia kepada Mojopahit, maka aku rela membantu. Coba Resi Mahapati memberontak terhadap Mojopahit, biar dia kakak iparku sendiri, sudah pasti akan kulawan. Karena itu, Adi Bromo, marilah engkau kembali ke jalan benar, jalan satria utama yang tidak akan keliru dalam menentukan langkah, membela yang benar dan setia kepada kerajaan. Mari kita bersama kembali dan kita melihat dengan mata sendiri siapa yang tidak benar, kita lawan bersama."   "Wah, sungguh engkau telah mabok, Sutejo! Mabok oleh bujuk rayu Resi Mahapati! Muak aku mendengar semua kata-katamu, kata-kata yang tentu telah diatur sebelumnya oleh Resi keparat itu! Nah, kita sekarang berhadapan sebagai musuh. Tidak perlu banyak cakap lagi, Sutejo. Engkau adalah kaki tangan Resi Mahapati yang dibenci dan dimusuhi oleh Adipati Lumajang, dan aku adalah seorang pengawal dari Adipati Lumajang. Engkau berada di sini tentu sebagai mata-mata Resi Mahapati, maka hayo kita menentukan kebenaran melalui kepandaian. Kausambutlah!" Setelah berkata demikian, Sulastri sudah menerjang ke depan dan menyerang Sutejo dengan sungguh-sungguh sambil mengerahkan seluruh tenaganya karena dia maklum betapa saktinya pemuda ini.   "Eh, eh, nanti dulu ....!" Sutejo mengelak dan mundur ke belakang, menghindarkan diri dari sambaran tangan yang kecil namun mengandung hawa pukulan dan tenaga sakti yang ampuh itu.   "Sutejo, sudah jelas engkau adalah kaki tangan Resi Mahapati dan aku adalah ponggawa Lumajang. Di antara kita terdapat permusuhan besar, dan dalam memperebutkan Kolonadah pun kita akan berhadapan sebagai musuh."   "Adi Bromo, nanti dulu, mari kita bicara dulu.....!"   "Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Sambutlah, atau minggatlah kau dari sini!" Sulastri yang merasa amat kecewa dan penasaran melihat Sutejo berkukuh dalam pendiriannya membenarkan Resi Mahapati, sudah menerjangnya lagi dengan dahsyat dan sungguh-sungguh karena kekecewaan hatinya itu mendatangkan kemarahan besar. Sutejo yang dikagumi, yang amat disukai, yang dianggap sebagai sahabat paling baik di dunia ini dan yang sedetik pun tidak penah dilupakannya, Sutejo telah mengecewakan hatinya dengan menjadi kaki tangan Resi Mahapati! Dan yang lebih mengecewakan hatinya lagi adalah kenyataan yang memaksa pemuda itu membantu Resi Mahapati yang dibencinya, yaitu bahwa pemuda itu adalah adik ipar dari Sang Resi itu. Inilah yang membuatnya kecewa dan marah sehingga kini dia menyerangnya kalang kabut untuk melampiaskan rasa penasaran dan kekecewaan hatinya.   Sutejo terkejut menghadapi serangan Sulastri karena dia maklum bahwa dara itu menyerangnya dengan sungguh-sungguh. Dahulu, pernah temannya ini menyerang dan memaksanya berkelahi, dan bairpun murid dari Gunung Bromo ini amat sakti, namun dia masih dapat mengatasinya. Kalau dia mau, tentu saja dia dapat membendung semua serangan kilat itu dan balas menyerang. Akan tetapi, setelah kini tahu bahwa yang menyerannya ini adalah seorang dara, bagaimana dia tega untuk melawannya? Pula, rasa suka dan sayangnya kepada Bromatmojo yang tadinya dianggap sebagai sahabatnya yang terbaik, kini mengalami perubahan besar setelah dia tahu bahwa Bromatmojo adalah Sulastri, seorang dara. Dia sendiri masih belum dapat menentukan apakah perubahan itu dan bagaimana kini perasaan hatinya terhadap Sulastri, akan tetapi yang sudah jelas tidak mungkin baginya untuk melawan Sulastri, apalagi mencoba untuk merobohkan dara ini! Maka dia pun hanya mengelak dan menangkis saja, dan tangkisan ini pun dilakukannya tanpa pengerahan tenaga sakti sepenuhnya karena dia khawatir kalau-kalau tangkisan yang keras akan melukai lengan atau tangan dara itu!   Akan tetapi dia lupa bahwa Sulastri bukanlah seorang lawan yang sembarangan saja. Bahkan dia yang telah memiliki kesaktian tinggi, dibandingkan dengan dara itu hanya menang sedikit saja. Oleh karena itu, mana mungkin dia mengadapi amukan Sulastri hanya dengan elakan dan tangkisan yang dibatasi tenaganya? Apalagi karena Sulastri, dara yang berhati baja itu, ketika malihat sikap Sutejo yang hanya mengelak dan menangkis, merasa dipandang rendah dan hina, maka serangan-serangannya menjadi semakin menghebat dan dara itu telah mainkan Ilmu Hasto Bairawa dan mengisi kedua tangannya dengan hawa sakti dari Hasto Nogo, terutama tangan kirinya yang setiap menyambar mengeluarkan suara bersiutan keras itu.   Sutejo masih tetap mengelak dan menangkis, akan tetapi ketika Sulastri mendesak, dia kalah cepat. Tamparan Hasto Nogo tangan kiri Sulastri menyusul serangan tangan kanannya yang tertangkis. Tangan kiri yang ampuh itu menyambar ke arah pelipis Sutejo. Pemuda itu terkejut dan cepat mengelak, akan tetapi dia masih kalah cepat dan tamparan itu masih mengenai pangkal lehernya dekat pundak kanan.   "Plakkk.... uhhh....!!" Tubuh Sutejo terpelanting dan ia roboh ke atas tanah dalam keadaan pingsan! Yang terakhir kelihatan oleh Sutejo hanyalah wajah Sulastri yang berputar-putar, dengan sepasang mata yang indah lebar itu terbelalak dan telinganya mendengar jerit tertahan, kemudian gelaplah semua baginya dan dia merasa betapa dia hanyut di air bengawan yang sedang banjir. Tubuhnya seperti tersedot ke bawah dan tenggelam dan biarpun dia sudah berusaha untuk timbul ke permukaan, namun tetap saja dia tenggelam lagi. Pergulatan melawan air ini berjalan lama sekali dan agaknya kepalanya tertumbuk batu karena tiba-tiba terasa berdenyut-denyut nyeri bukan main.   Dia tidak kuat lagi dan menghentikan rontaannya, membiarkan dirinya hanyut terbawa air bengawan yang sedang banjir. Dia merasa dihanyutkan ke pinggir, napasnya terhenti dan rasa nyeri sudah hampir lenyap ketika dia mendengar suara sayup-sayup, suara orang memanggil-manggilnya. Karena dia mengenal baik suara itu, maka dia mengerahkan tenaga terakhir untuk mendengarkan, untuk melawan kekuatan dahsyat yng menyeretnya agar dia dapat menangkap kata-kata dari suara yang amat dikenalnya ini.   "Kakang Tejo.....! Kakang Tejo....!!"   Sutejo merasa berada di dalam sebuah jurang atau sumur yang amat dalam dan amat gelap. Akan tetapi suara itu mendorongnya, menariknya agar dia keluar dari jurang gelap itu. Dia seperti meraba-raba dalam gelap, hanya suara itu yang menjadi pedomannya keluar dari dalam kegelapan yang menelannya.   "Kakang Tejo... kau maafkan aku, Kakang...."   Sutejo merasa terheran-heran mendengar suara ini, suara yang disambung dengan isak tangis! Dia mengenal suara itu, tentu saja. Suara siapa lagi yang renyah itu kalau bukan suara Bromatmojo? Akan tetapi Bromatmojo menangis? Pemuda yang gagah perkasa itu, yang tidak mengenal takut, kini menangis terisak-isak? Aneh!   "Kakang Tejo....., jangan kau mati, Kakang......, kalau kau mati, aku pun tidak sudi hidup sendirian.........Kakang Tejo......!" Tubuhnya diguncang-guncang dua tangan dan suara tangis itu makin menjadi.   Akan tetapi, dia teringat betapa Bromatmojo memusuhinya, menyerangnya dan menamparnya. Ingatan ini membuat hatinya sedih bukan main dan mengendurkan lagi semangatnya untuk bangkit dari kegelapan. Biarlah dia mati saja, pikirnya dan kembali dia ditelan kegelapan jurang itu.   "Kakang Tejo.....aduhh, Kakang..... bangunlah..... tidak tahukah engkau bahwa aku cinta padamu....? Kakang...."   Ucapan itu seperti halilintar menyambar dan menerangi jurang yang gelap itu! Kini teringatlah dia bahwa Bromatmojo adalah Sulastri, seorang dara. Dan apa yang diucapkan Sulastri tadi? Ah, dia tidak percaya! Akan tetapi, kini Sulastri menangis di atas dadanya, tidak mengguncang-guncang lagi dengan tangan, akan tetapi tubuh dara yang menangis itu sudah terguncang-guncang sehingga tubuhnya sendiri ikut terguncang pula.   "......aku cinta padamu, Kakang Tejo...........aku cinta padamu dan aku yang membunuhmu......" Tangis itu makin mengguguk kini dan Sutejo merasa betapa muka yang halus itu melekat pada mukanya, betapa air membashi pipinya. Air mata! Sulastri menangis dan menciuminya! Kini gadis itu kembali menangis di atas dadanya.   Dengan halus kedua tangannya mengusap kepala itu, dan terdengar pula suaranya, kedengarannya aneh bagi telinganya sendiri, karena suaraya gemetar, ".....jangan menangis....., jangan kau menangis....."   Sulastri mengangkat mukanya dari atas dada Sutejo, dengan kedua mata basah dan pipi kemerahan dia memandang wajah Sutejo. "Kakang Tejo....." Dia berseru girang bukan main. "Kau.... kau..... tidak mati....??"   Sutejo membuka matanya. Kedua tangannya kini merangkul leher itu. "Belum, Diajeng....... aku nyaris mati akan tetapi suaramu memanggilku kembali...."   "Kakang kau menggeletak dengan muka pucat, tak bernapas lagi, tadi aku yakin bahwa engkau tentu telah tewas..... ahhh, olah pukulan Hasto Nogo yang terkutuk......, betapa khawatir aku....."   "Jangan khawatir, Nimas. Aku tidak mati dan kau.....Diajeng Sulastri...."   "Ehh.....?" Sulastri terbelalak. "Kau....kau sudah tahu.... bahwa aku......"   Sutejo bangkit duduk dan kedua tangannya masih merangkul pinggang dan leher dara itu. Dia mencoba tersenyum. "Aku.... telah menduganya.... eh, aku telah mengetahuinya..... Sulastri....aku... aku pun cinta kepadamu, Diajeng....."   "Apa....??" Sulastri meronta dan melompat berdiri. "Kau... kau... tadi mendengar semua kata-kataku?" Mata itu terbelalak lebar sekali, mukanya menjadi pucat lalu merah sekali.   "Aku...... berada di jurang gelap..... tiba-tiba mendengar suaramu memanggil.....dan pernyataan cintamu......."   "Kau pura-pura mati! Kau.... ah, kau tak tahu malu.....! Kau menyalahgunakan penyesalanku, pura-pura mati dan memancing aku membuka rahasia hati.... saking menyesalku memukulmu.... ah, kau.... kau.....!" Dara itu menangis lagi, menangis karena marah!   "Ah, Sulastri, tidak....... sama sekali tidak......! Aku memang hampir mati.... kiraku tentu mati kalau tidak ada engkau yang memanggilku...... Sulastri, aku.... cinta padamu, baru sekarang kusadari benar hal ini. Sulastri, ah, jangan kau memandang kepadaku dengan marah seperti itu...." Dan sutejo bangkit berdiri akan tetapi dia terguling pula, kepalanya berdenyutan dan pandang matanya gelap, berkunang-kunang dan dia roboh seperti tadi. Kini pingsan kembali untuk ke dua kalinya.   Ketika Sutejo siuman kembali. Seketika dia teringat kepada Sulastri dan bangkitlah dia, menengok ke sana-sini akan tetapi tempat itu kosong, sekosong hatinya karena Sulastri tidak nampak di situ. Dirabanya pangkal lehernya dekat pundak itu dan ternyata bekas pukulan itu telah diberi obat dan dibalut. Siapa lagi kalau bukan Sulastri yang mengobatinya. Akan tetapi dia tidak ada lagi!   "Ah, Sulastri........, Sulastri.....!" Dia mengeluh dan memanggil-manggil.   "Aku di sini, Kakang Tejo!"   Sutejo cepat bangkit berdiri, biar pun lehernya terasa agak nyeri namun dia tidak peduli dan dia menengok. Terbelalak dia memandang, terpesona ketika melihat seorang dara cantik jelita berdiri di bawah pohon, agaknya baru datang dan tangan kirinya membawa sesisir pisang yang sudah matang, tangan kanannya membawa kelapa muda. Bukan main cantiknya dara itu.   "Sulastri.....!!"   Jilid 54   Mereka berdua melangkah dan saling menghampiri, pandang mata mereka melekat.   "Kakang Tejo, kau.... maafkan aku?" bibir itu berbisik dan mata itu masih sayu karena habis menangis.   "Sulastri, tentu saja. Kau tidak bersalah, bahkan sudah selayaknya aku kau pukul mati! Kau.... ah, Lastri..... betapa..... betapa cantiknya engkau.......!"   "Kakang, ini kucarikan pisang dan kelapa muda untukmu. Air kelapa muda ini baik sekali untuk cepat menyembuhkan bekas pukulan itu, Kakang...."   Akan tetapi Sutejo tidak memperdulikan itu semua dan kini dia sudah berdiri dekat di depan Sulastri dan merangkul pinggang dara itu, menariknya dekat-dekat dengan tubuhnya. Sepasang mata itu saling melekat, saling menyelami sedalam-dalamnya, seperti hendak saling menjenguk isi hati masing-masing.   "Nimas.... aku berterima kasih untuk pukulanmu ini.......kalau tidak begitu agaknya kita akan terus saling bermusuhan. Sulastri, betapa bodohnya aku selama ini. Aku selalu memikirkan diri sendiri, memikirkan kerajaan dan lain-lain yang sama sekali tidak ada artinya dibandingkan engkau. Semenjak engkau kukenal sebagai Bromatmojo engkau telah menjadi sebagian dari hidupku. Begitu Bromatmojo pergi dari sampingku, hidup terasa sunyi kosong tak berarti. Aku telah jatuh cinta semenjak aku mengenalmu sebagai Bromatmojo, Diajeng Sulastri! Hanya, tentu saja perasan itu terkekang dan terbentur oleh kenyataan bahwa engkau tadinya kusangka seorang pria. Kini ternyata engkau seorang wanita dan memang cinta kasih dan perasaan hatiku lebih awas daripada aku yang bodoh dan seperti buta."   "Dan engkau.... engkau memarahkan hatiku karena engkau memandang rendah wanita."   "Dan engkau juga memanaskan hatiku dengan bersikap ceriwis dan mata keranjang terhadap wanita yang kita jumpai."   "Kusengaja untuk menggodamu..... kau yang bersikap sebagai seorang pria yang tidak suka jatuh cinta kepada wanita......"   "Kemudian engkau cemburu terhadap Roro Kartiko!"   "Dan karena itu aku sengaja menjatuhkan hatinya, agar dia....jangan sampai jatuh cinta kepadamu, karena.... semenjak kita bertemu, Kakang, aku...... tidak ingin ada wanita lain yang kau cinta, kecuali aku....."   "Sulasri.....!" Mereka berangkulan dan ketika Sutejo menciumnya, berjatuhanlah pisang dan kelapa itu dari kedua tangan Sulastri. Mereka tidak peduli, karena kini kedua tanganya merangkul leher pemuda yang sejak dahulu dicintainya itu. Mereka lupa akan segala sesuatu, seperti diayun ke sorgaloka. Mereka saling mendekap, saling mencium dan saling membelai, sampai sesak napas mereka berciuman, seolah-olah tidak ingin lepas kembali.   Sulastri tertawa kecil ketika Sutejo memondongnya, lalu berputaran seperti seorang anak kecil yang memperoleh mainan baru, kemudian pemuda itu jatuh terduduk di atas rumput bersama Sulastri yang dipangkunya. Sulastri tertawa, lalu meloncat bangun dan berlari. Sutejo juga tertawa dan mengejarnya. Mereka berkejaran di dalam hutan itu sampai bercucuran peluh mereka, kemudian Sulastri membiarkan dirinya berpegang dan mereka berdua kembali jatuh bergumul di atas rumput.   "Lihat keringatmu....!" Sutejo berbisik dan mengusap keringat Sulastri dari leher dan dahinya.   "Engkau juga, Kakang," bisik Sulastri. Mereka saling mengusap keringat masing-masing, dan tak lama kemudian Sutejo duduk bersandar pohon dan merasa amat berbahagia memandang wajah dara yang amat cantik manis dan yang kini rebah di atas pangkuannya itu. Dia mengelus rambut sinom yang melingkar di depan dahi Sulastri, membungkuk dan mencium sepasang alis yang hitam melengkung indah itu. Sulastri memejamkan matanya, dadanya berombak penuh kebahagiaan.   "Sulastri darimana engkau memperolah pakaian wanita ini?" Tanya Sutejo dan kedua tangan mereka saling berpegangan, dua puluh buah jari tangan itu saling melingkar seperti bergelut.   "Semenjak berada di Lumajang, aku selalu membawa pakaian wanita, Kakang. Mreka semua sudah tahu bahwa aku wanita. Hanya engkau seorang yang belum tahu, akan tetapi ketika tadi aku mendengar kenyataan bahwa kau pun sudah tahu, aku cepat berganti pakaian."   "Mengapa?" Sutejo mengelus rambut yang hitam panjang halus itu.   "Karena sejak dahulu, sejak kita bertemu, betapa besar keinginanku untuk muncul di depanmu sebagai seorang wanita, Kakang."   "Ahhh, dan engkau begini cantik jelita, begini ayu dan manis merak ati, begini kewes dan luwes....engkau seperti Dewi Komaratih......" Sutejo mencium mulut yang terbuka kegirangan mendengar pujian itu. Sulastri menyambut ciuman itu sepenuh hatinya dan kembali mereka tenggelam di dalam alam asyik masyuk.   Kini Sulastri yang duduk bersandar pohon dan Sutejo rebah dengan kepalanya di atas pangkuan kekasihnya. Jari-jari tangan Sulastri yang lentik memijat-mijat leher yang dipukulnya tadi, penuh kasih sayang.   "Kakang, aku tidak mau berpisah lagi darimu."   "Jangan khawatir, aku pun tidak sudi meninggalkan engkau seorang diri, Dewiku. Sampai mati kita tidak akan saling bepisah lagi."   "Dan bagaimana dengan Mojo pahit?" Sulastri bertanya, alisnya berkerut khawatir.   "Ha-ha, kita telah bersikap bodoh. Apa peduli dengan Mojopahit atau Lumajang? Apa peduli dengan semua orang lain? Yang terpenting adalah kita berdua, Dewiku."   "Akan tetapi, Kakang......."   Sutejo bangkit dan mereka duduk berhadapan. "Ada apakah, Diajeng?"   "Kita lalu akan ke mana?"   "Ke mana pun yang kau kehendaki, aku menurut, Sulastri. Akan tetapi sebaiknya kalau kita berdua membebaskan diri dari ikatan mereka agar tidak terjadi lagi kesalahpahaman. Mari kita pergi saja, yang jauh....."   "Tidak mungkin, Kakang Sutejo. Kita harus menolong mereka."   "Siapa?"   "Joko Handoko dan Roro Kartiko."   "Mereka telah diculik oleh Murwendo dan Murwanti, dua orang kembar dari Puger itu." Sulastri lalu menceritakan tentang pengalamannya ketika dia dan dua orang muda dari tuban bersama para anggota Sriti Kencana dikurung kemudian ditangkap oleh Pasukan Puger di bawah pimpinan Murwendo dan Murwanti.   Setelah mendengar penuturan itu, dengan alis berkerut Sutejo berkata, "Sulastri, Dewiku, pujaan hatiku, sudahlah mari kita berdua jangan melibatkan diri dengan urusan orang lain. Mari kita berdua pergi dari sini dan menjauhkan diri dari semua urusan, Hidup berbahagia berdua saja, jauh dari semua keributan dan urusan, sayang."   Sulastri memandang wajah kekasihnya yang gagah dan tampan, yang amat dicintainya itu, dengan alis berkerut dan pandang mata aneh. "Ah, Kakang Sutejo, apa yang telah terjadi denganmu? Mana jiwa satriamu dan mana watak gagahmu yang amat kukagumi itu? Tidak mungkin kita mebiarkan mereka tertawan dan terancam. Pula, tidaklah mungkin kita berdua menyendiri saja. Selama kita masih hidup, tentu kita akan berhubungan dengan orang lain dan tentu akan timbul persoalan, Kakang. Dan kalau timbul persoalan, tentu kita akan menghadapinya sebagai orang-orang yang berjiwa satria. Sekarang melihat Joko Handoko dan Roro Kartiko tertawan oleh orang-orang Puger, bagaimana kita dapat tinggal berpeluk tangan saja?"   "Sulastri aku takut..... aku khawatir untuk kembali kepada waktu lampau, kepada hal-hal yang lalu. Mari kita tinggalkan ini semua dan mulai hidup baru, susana baru dan....."   "Sulastri...... ahh, Sulastri....!"   Dua orang itu terkejut dan cepat menoleh. Sutejo sudah meloncat bangun diikuti oleh Sulastri. Muka Sutejo pucat sekali karena kaget, apalagi ketika dia mengenal siapa yang datang itu. Akan tetapi Sulastri cepat lari menghampiri orang yang datang dan memanggilnya itu.   "Bukankah Andika.... Kakang cantrik dari Bromo....?" Sulastri bertanya dan memandang laki-laki setengah tua yang bertubuh kurus itu.   Orang itu mengangguk-angguk, akan tetapi matanya terbelalak memandang kepada Sutejo.   "Ada apakah Kakang Cantrik? Bagaimana Andika dapat tiba di tempat ini?"   "Aku sengaja mencarimu, Sulastri. Dengan susah payah aku mencarimu. Sebetulnya kami berdua yang mencarimu dan kami berpencar setelah tiba di Lumajang. Syukur bahwa aku dapat bertemu danganmu di sini Sulastri."   "Apa yang terjadi?" Sulastri memandang dengan jantung berdebar, perasaan hatinya tidak enak melihat wajah cantrik itu dan melihat betapa cantrik itu memandang kepada Sutejo dengan sinar mata penuh kebencian!   "Terjadi hal yang amat hebat, Sulastri. Guru kita, Eyang Supamandrangi, beberapa pekan yang lalu ini telah dibunuh orang!"   "Ehhh.......!!" Sulastri menjerit dan memegang lengan cantrik itu. "Eyang......dibunuh orang? Siapa? Mengapa?"   "Mau tahu siapa yang membunuh? Dia itulah seorang di antaranya! Dan mengapa? Tanya saja kepada kaki tangan Resi Mahapati itu! Orang Mojopahit sungguh kejam!" Cantrik itu menudingkan telunjuknya kepada Sutejo dengan wajah pucat.   "Hemm, harap jangan menuduh yang tidak-tidak, Kisanak!" Sutejo berkata tenang namun mukanya juga menjadi pucat dan dia memandang kepada Sulastri dengan wajah penuh kegelisahan.   "Menuduh yang tidak-tidak? Sutejo, beranikah engkau menyesal? Siapa yang datang bersama Resi Harimurti ke pertapaan puncak Bromo? Hayo jawab, bukankah Andika yang datang bersama dia?" tanya cantrik itu sambil telunjuknya masih menuding, dipandang oleh Sulastri dengan wajah pucat sekali.   "Benar, sayalah orangnya," jawab Sutejo tenang namun jantungnya berdebar penuh kekhawatiran.   "Kemudian Andika dan Resi Harimurti memaksa Eyang Supamandrangi untuk membuatkan Kolonadah palsu. Bukankah begitu?"   "Tidak memaksa, tapi...."   "Tidak memaksa? Kalau tidak dipaksa, mana mungkin Eyang Empu sudi membuatkan keris pusaka palsu? Kalian memaksa, bahkan ketika Eyang Empu Supamandrangi mengeluarkan tosan aji untuk ditekuk, Resi Harimurti tidak kuat menekuknya. Akan tetapi, Andika yang turun tangan menekuknya sehingga terpaksa Eyang Empu membuatkan keris Kolonadah palsu. Hayo jawab, tidakkah begitu?"   "Benar, saya yang menekuk tosan aji itu, akan tetapi Eyang Empu Supamandrangi tidak terbunuh, melainkan membunuh diri...." Biarpun mulutnya berkata demikian, namun sebenarnya di dalam hatinya dia masih curiga dan ragu-ragu untuk menerima kenyataan itu.   "Membunuh diri? Eyang membunuh diri?" Sulastri menjerit, sedikit pun tidak peraya.   "Nah, siapa bisa percaya, Sulastri? Kami pun tidak percaya. Eyang adalah seorang manusia yang arif bijaksana, seorang pertapa yang sudah mencapai tingkat tertinggi, mana mungkin melakukan perbuatan rendah itu? Dia dibunuh! Ini sudah pasti, andaikata benar membunuh diri pun, kalianlah orang-orang Mojopahit yang menjadi pendorongnya! Kalian pura-pura tidak tahu, pura-pura berduka, orang-orang khianat dan jahat! Cantrik itu makin marah dan cepat dia menerjang dan menyerang Sutejo dengan keris terhunus. Akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja, tubuh cantrik yang kurus itu terlempar dan kerisnya pun terlepas dari tangannya.   "Sutejo manusia keji!" Tiba-tiba Sulastri menerjang dengan pukulan hebat ke arah Sutejo.   "Duk!" Sutejo menangkis dengan keras sekali.   "Diajeng....! Nanti dulu, jangan...!" akan tetapi semua ucapannya percuma saja karena Sulastri sudah menyerangnya dengan ganas dan dahsyat sekali, menyerangnya sambil menangis.   "Tidak..... tidak, Nimas, tidak....! Aku tidak membunuhnya. Demi para Dewata aku tidak......."   "Cukup!" Sulastri membentak dan memandang dengan mata merah. "Siapa percaya kepada sumpahmu? Kalau benar engkau bersih, mengapa tadi engkau sama sekali tidak menceritakan tentang hal itu? Engkau mendatangi Eyang, memaksa membuat keris, sampai Eyang terbunuh......hu-huk, engkau harus mati di tanganku, Sutejo!" Dan kembali Sulastri menyerang sambil menangis.   "Sulastri.....aduh, Sulastri, aku cinta padamu.....lupakah engkau Nimas? Kita saling mencinta...."   "Cintamu palsu, sepalsu hatimu! Engkau tidak menceritakan peristiwa itu kepadaku, hal itu cukup menujukkan kepalsuanmu!" Sulastri menyerang lagi dan ketika Sutejo menangkis, pemuda ini terhuyung ke belakang karena lehernya masih terasa nyeri dan tangannya belum pulih kembali.   "Aku.... aku... takut kalau hal itu mengganggu...." Sutejo menghentikan kata-katanya karena merasa bahwa ucapannya itu salah dan tidak akan memperbaiki keadaan, dan kembali dia mengelak. Kini Sulastri tidak mau mendengarkan lagi, terus menyerang dan semua ucapan Sutejo tidak didengarnya lagi.   "Plak....brukkk....!" Sutejo terpelanting dan cepat pemuda ini menggulingkan dirinya karena Sulastri sudah menyusulnya dengan tendangan maut. Maklumlah dia bahwa Sulastri marah sekali dan sungguh-sungguh hendak membunuhnya, maka dia merasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya.   "Aduh, Sulastri....teganya engkau kepadaku....?" Dia merintih dan meloncat sambil mengelak lagi.   "Tega? Siapa yang tega dan kejam? Engkau laki-laki palsu!" Sulastri menerjang lagi dan kini Sutejo melompat jauh dan melarikan diri karena dia maklum bahwa kalu dia melanjutkan bertahan seperti itu, akhirnya dia akan terbunuh dan untuk melawan sungguh-sungguh, selain dia tidak mau, juga dalam keadaan masih terluka itu dia tidak akan menang melawan Sulastri. Pula, dia tidak merasa bersalah, tidak merasa membunuh Empu Supamandrangi dan kemarahan Sulastri itu hanya karena salah sangka belaka. Maka dia tidak ingin terbunuh, sekarang setelah dia tahu bahwa dia dan Sulastri saling mencintai, juga dia tidak ingin melihat Sulastri menjadi pembunuh. Biar pun hatinya terasa hancur, Sutejo cepat malarikan diri.   Sulastri yang sejak tadi menahan-nahan hatinya dan menyerang dengan air mata bercucuran, tidak mengejar, melainkan menjatuhkan diri di atas rumput sambil menangis terisak-isak. Cantrik itu menghampirinya dan berkata, "Tidak perlu ditangisi lagi, Sulastri, kelak kita masih akan dapat membalas kamatian Sang Empu dan mencari Sutejo dan Resi Harimurti."   Mendengar suara cantrik itu, Sulastri terkejut, meloncat bangun dan menghadapi cantrik dengan mata bersinar-sinar penuh kemarahan. "Mengapa kau datang? Mengapa kau ke sini!!"   Cantrik itu terkejut melihat mata yang terbelalak dan bercucuran air mata itu. "Aku....aku.... eh, kau kenapa. Sulastri?" tanyanya bingung dan gagap.   Sulastri teringat bahwa sikapnya amat tidak sepatutnya, maka dia lalu menundukkan mukanya dan berkata, "Kakang Cantrik, kau kembalilah ke Bromo. Biarkan aku sendiri, aku yang kelak membalaskan kematian Eyang Empu Supamandrangi, Pergilah...."   "Akan tetapi biar aku membantumu, Sulastri...."   "Tidak! Pergilah, lekas pergi jangan sampai aku menjadi marah!"   Tentu saja cantrik itu menjadi makin terheran-heran, dan sambil mengangguk-angguk dan bersungut-sungut pergilah dia meninggalkan gadis itu yang masih berdiri seperti patung.   Setelah cantrik itu pergi, Sulastri mengambil buntalan pakaiannya dan sambil terisak-isak dia pun pergi dengan cepatnya dari tempat itu, menuju ke selatan karena dia mengambil keputusan untuk mencari dan menolong Joko Handoko dan Roro Kartiko. Kalau dia teringat kepada Sutejo, teringat akan pengalamannya yang mesra dan penuh madu asmara bersama Sutejo di dalam hutan itu, hampir dia tidak kuat melangkahkan kaki dan ada dorongan kuat agar dia lari kembali mencari Sutejo. Namun dia mengeraskan hatinya. Jelas bahwa Sutejo bukanlah orang yang jujur, dan telah menjadi manusia jahat, kaki tangan Resi Mahapati yang tidak segan-segan membunuh Empu Supamandrangi untuk memaksa Empu itu membuatkan Kolonadah yang palsu. Dan itu masih belum hebat, yang amat menyakitkan hatinya lagi adalah bahwa setelah ikut membunuh atau menyebabkan kematian Empu Supamandrangi, Sutejo masih begitu tak tahu malu untuk membujuk rayu dia, bermain cinta dengan dia tanpa memberitahukan tentang keadaan Empu Supamandrangi yang telah dibunuhnya! Inilah yang amat menyakitkan hatinya, rasa sakit hati yang memaksa dia melupakan cintanya terhadap Sutejo.   Jelaslah bahwa sakit hati, dendam dan kemarahan tidak mungkin dapat bergandeng tangan dengan cinta kasih! Sakit hati dan dendam hanya mendatangkan kebencian dan di mana terdapat kebencian, tidak mungkin ada cinta kasih. Cinta kasih bukanlah kebalikan daripada kebencian. Cinta kasih adalah cahaya yang bersinar-sinar, akan tetapi tentu saja cahaya cinta tidak dapat menerangi batin yang penuh dengan debu dan kotoran berupa sakit hati, dendam, dan kebencian. Dan kebencian hanya akan mendatangkan derita dan kesengsaraan kepada batin sendiri! Bagi orang yang membenci, sudahlah jelas bahwa yang pertama kali menderita adalah dirinya sendiri. Setelah melihat kenyataan yang jelas ini, bahwa kebencian hanya mendatangkan deritadan kesengsaraan bagi diri sendiri, begitu bodohkah kita untuk melanjutkan kebencian yang merusak batin sendiri itu?   Sayang bahwa Suastri belum melihat kanyataan itu, kebencianlah yang menjadi akibat sakit hati dan dendamnya, kebencian yang dipaksakan menutupi rasa cintanya, dan mulailah dara ini memasuki kehidupan penuh derita dan kesengsaraan batin ketika dia berlari-lari keluar masuk hutan sambil kadang-kadang menangis itu.   Peristiwa yang terjadi di dalam hutan itu, yang mengahancurkan kebahagiaan Sulastri, membuat dara itu seperti orang gila berlari-larian menyusup-nyusup hutan sambil menangis, ternyata juga mendatangkan akibat yang amat hebat bagi Sutejo. Pemuda ini semenjak berpisah dari Bromatmojo yang meninggalkanya di mojopahit, telah mulai merasa kehilangan kegembiraan hidupnya yang didapatkannya semenjak dia bersahabat dengan Bromatmojo. Kemudian, terjadi pergolakan dan konflik di dalam batinnya ketika dia melihat mbakayunya menjadi selir seorang seperti Resi Mahapati yang sebetulnya tidak disukainya. Akan tetapi oleh bujukan mbakayunya, satu-satunya orang yang dicintainya dan menjadi keluarganya, juga melihat kenyataan bahwa Mahapati setia kepada Mojopahit, maka Sutejo mengeraskan dan memaksa hatinya untuk membantu Mahapati.   Ketika dia mendengar bahwa Bromatmojo adalah seorang gadis, seketika dia sudah jatuh hati dan tahulah dia bahwa sesungguhnya dia jatuh cinta kepada Bromatmojo yang ternyata seorang gadis itu! Mulailah dia merasa bimbang dan berduka teringat bahwa Bromatmojo dan dia berpisah bukan sebagai sahabat. Ketika melihat kesempatan untuk mencari Bromatmojo, maka dia pun bersedia menemani Resi Harimurti mendatangi Empu Supamandrangi di puncak Bromo. Akan tetapi sungguh di luar persangkaannya bahwa pertemuan itu berakhir dengan kematian Sang Empu yang masih meragukan hatinya. Dia curiga bahwa Harimurti yang membunuh Empu itu, akan tetapi karena tidak ada bukti, dia pun tidak dapat berbuat apa-apa.   Kemudian, pertemuannya dengan Bromatmojo yang disambung dengan perkelahian, kemudian dilanjutkan dengan pertemuan asyik masyuk yang dilanjutkan dengan pernyataan saling cinta yang penuh kemesraan antara dia dan Sulastri! Kebahagiaan yang berlimpah-limpah ini membuat Sutejo tidak ingin kembali lagi kepada hal-hal yang lalu, tidak ingin kembali ke Mojopahit, tidak ingin menghadapi urusan kerajaan dan dia tadinya ingin mengajak Sulastri pergi jauh, hidup baru dan tidak mengingat lagi hal-hal yang lampau. Akan tetapi, dia terlambat ketika muncul cantrik Gunung Bromo dengan ceritanya tentang kematian Empu Supamandrangi sehingga membuat Sulastri marah-marah dan menuduh dia sebagai seorang di antara pembunuh-pembunuh Empu Supamandrangi.   "Aduh, Sulastri....!" Sutejo menjatuhkan dirinya di atas rumput di mana tadi dia dan Sulastri saling menumpahkan perasaan cinta kasih yang bergelora. Dia tidak menyalahkan Sulastri, tidak pula menyalahkan cantrik. Dia menyesali diri sendiri mengapa dia mendengarkan bujukan Resi Mahapati dan mbakayunya.   "Sulastri......ah, aku telah menghancurkan hatimu, Sulastri....." Sutejo mengeluh dan dia memeluk batang pohon yang tadi menjadi sandaran dara itu ketika Sulastri duduk dan memangku kepalanya. Membayangkan kemesraan yang terjadi antara dia dan Sulastri tadi, Sutejo tidak dapat menahan keluarnya air matanya. Dia terguling dan lehenya yang masih nyeri itu menipa akar pohon. Sutejo rebah dalam keadaan setengah pingsan dan seperti mengigau menyebut-nyebut nama Sulastri!   Tadi, dia tidak lari jauh. Hatinya tidak dapat bertahan untuk meninggalkan Sulastri, maka setelah dia mendapat kenyataan bahwa Sulastri tidak mengejarnya, dia berhenti dan tak lama kemudian, berindap-indap dia kembali ke tempat tadi dengan penuh harapan mudah-mudahan kemarahan Sulastri sudah mereda. Akan tetapi, ketika tiba di situ, dia hanya mendapatkan tempat sunyi dan kosong. Sulastri telah pergi, cantrik itu pun tidak kelihatan lagi, yang ada hanya bekas-bekas rumput rebah di mana dia tadi memangku dan dipangku Sulastri!   Akibat pukulan Hasto Nogo dari Sulastri yang mangenai pangkal lehernya memang belum sembuh benar dan kini ditambah dengan himpitan batin yang amat hebat, maka tidaklah mengherankan kalau Sutejo tak dapat bangun lagi dan terserang demam yang cukup hebat, membuat dia mengingau sepanjang malam!   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, dua orang nampak memasuki hutan itu dan bercakap-cakap. Suara dua orang ini amat berbeda, seperti suara burung nuri dan burung gagak, yang satu halus merdu dan yang satu lagi parau dan kasar seperti gerengan harimau. Suara dua orang itu makin mendekati tempat Sutejo rebah dalam keadaan tidak sadar dan gelisah itu   "Kakang Bandu, aku lapar sekali, Kakang." terdengar suara yang halus itu merengek dan seperti suara wanita yang manja dan bersikap kekanak-kanakan.   "Hemmm, di dalam hutan dan sepagi ini, mana mungkin mencari makanan, Sari?" terdengar suara parau besar itu menjawab.   "Ahhh, Kakang Bandupati, perutku lapar sekali, kakiku gemetar. Sejak kemarin siang kita tidak makan dan aku ingin sekali sarapan. Kalau belum sarapan aku tidak mau melanjutkan, Kakang. Biar aku tinggal di sini dan mati kelaparan di sini." Suara halus itu merengek makin manja.   "Wah-waaahhh.......jangan kau rewel lagi, Sariwuni. Marilah kita maju sedikit lagi. Aku tadi mendengar suara kokok ayam hutan di depan. Kalau tidak ada buah-buahan di depan biar kutangkapkan ayam hutan dan kupanggang dagingnya untukmu. Adikku yang manis."   "Benarkah, Kakang? Aku sudah lapar sekali, kakiku lemas hampir tidak kuat melangkah."   "Kalau begitu, mari kugendong kau, Sari."   Jilid 55   "Ah, tidak mau. Malu kalau kelihatan orang!"   "Hemm, di hutan sunyi begini mana ada orang!"   "Biar pun begitu aku tidak mau digendong, aku bukan anak kecil, Kakang. Kalau memang di depan ada ayam hutan, mari kita maju lagi."   Mereka kini sudah dekat sekali dengan tempat Sutejo rebah. Ternyata mereka adalah dua orang yang seperti juga suaranya, orangnya pun jauh berbeda. Yang seorang adalah wanita muda, dara yang usianya tidak akan lebih dari sembilan belas tahun, wajahnya cantik dan kemerahan karena kelelahan, sepasang matanya tajam bersinar-sinar namun kadang-kadang mengandung kelembutan, dihias sepasang alis yang hitam kecil melengkung seperti dilukis, hidungnya kecil mancung dan mulutnya amat manis dengan bibir merah yang kelihatan seperti merajuk atau setengah mengejek terus, akan tetapi justeru di situlah terletak daya tariknya yang luar biasa, membuat wajah itu kelihatan menggemaskan yang mendatangkan rasa sayang, membuat orang gemas ingin mencubit, mencium! Tubuhnya agak kecil, pinggang tawon kemit, agaknya empat jari tangan kedua tangan seorang pria normal akan dapat melingkari pinggang itu. Karena pinggang yang kecil inilah maka pinggulnya kelihatan besar dan penuh, menonjol dan padat.   Orang ke dua adalah seorang laki-laki yang tubuhnya tinggi besar, seperti raksasa, atau lebih pantas seperti Brotoseno atau Werkudoro, tinggi besar namun tegap dan gagah, wajahnya dihias kumis dan jenggot yang tumbuhnya bagus sehingga biar pun dia tinggi besar, namun dia kelihatan gagah dan tampan. Seperti juga wanita itu, laki-laki tinggi besar ini memiliki sepasang mata yang amat tajam bersinar-sinar, namun agak liar memandang ke sana-sini, dan kadang-kadang mengandung sinar yang kejam dan ganas.   Siapakah dua orang ini? Yang wanita demikian cantik manis seperti puteri keraton, akan tetapi yang laki-laki biar pun gagah perkasa dan tampan, begitu tinggi besar dan kasar seperti seorang raksasa. Mereka ini, seperti dapat diketahui dari percakapan mereka, adalah kakak beradik. Mereka bukanlah orang dusun atau orang gunung biasa saja, apalagi dari pakaian mereka pun dapat diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang kaya dan memiliki pakaian yang serba indah dengan hiasan kaki tangan dari emas permata. Dan sesungguhnyalah, mereka bukanlah orang-orang biasa saja, melainkan putera dan puteri dari majikan atau kepala, juga boleh dinamakan raja kecil, dari Pulau Nusabarung yang terkenal di Laut Selatan. Atau mereka yang mengangkat diri sendiri sebagai raja kecil atau adipati, terkenal dengan nama sebutan Adipati Menak Dibyo, seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun yang bertubuh raksasa, brewok dan sakti mandraguna, seorang yang selain ahli dalam olah yuda, juga digdaya dan mahir pula bermain di dalam air samudra seperti seekor ikan saja. Adipati Menak Dibyo mempunyai seorang peramisuri dan beberapa orang selir yang cantik-cantik, namun dia hanya mempunyai dua orang anak, yaitu Bandupati yang lahir dari permaisurinya dan Sariwuni yang lahir dari seorang selir.   Dua orang kakak beradik yang berada di hutan itu adalah Bandupati dan Sariwuni. Bandupati berusia dua puluh enam tahun, sedangkan Sariwuni baru berusia sembilan belas tahun. Mungkin karena dia wanita, dan merupakan puteri tunggal, juga anak bungsu, maka terhadap orang tua dan juga terhadap kakaknya, Sariwuni bersikap luar biasa manjanya. Dia memang disayang oleh Adipati Menak Dibyo, bahkan permaisuri Sang Adipati yang hanya mempunyai seorang putera seperti ayahnya, tinggi besar dan kasar, amat menyayang Sariwuni yang cantik jelita, kenes dan lincah jenaka itu. Tentu saja Bandupati yang hanya mempunyai satu-satunya saudara, amatlah sayangnya kepada adiknya ini dan sejak kecil, apa pun yang diminta oleh Sariwuni selalu dituruti belaka oleh Bandupati.   Demikianlah pada suatu hari, kurang lebih sebulan yang lalu, ketika kakak beradik itu seperti biasa sedang berperahu di sekitar Pulau Nusabarung, melihat para nelayang yang mencari ikan, timbul keinginan di hati Sariwuni untuk pergi merantau ke daratan Nusa Jawa yang nampak melintang panjang dan amat luasnya di sebelah utara itu.   "Jangang, Sari. Berbahaya sekali di sana. Banyak orang-orang sakti dan banyak pula orang jahat. Ayahnya selalu melarang kita untuk pergi ke daratan besar di sana."   "Akan tetapi, sejak kecil aku ingin sekali ke sana, Kakang. Sudah banyak dongeng-dongeng kudengar tentang kebesaran dan kehebatan Nusa Jawa, akan tetapi sampai sekarang belum juga aku melihatnya."   "Berbahaya sekali, Adikku."   "Aku tidak takut, Kakang! Apakah engkau takut? Kalau begitu apa perlunya sejak kecil kita digembleng oleh Ayah mempelajari segala macam aji kesaktian kalau kita hanya menjadi orang-orang penakut?"   "Aku tidak takut, hanya tidak berani, karena Ayah tentu melarangnya dan akan memarahi kita, Sari."   "Kalau begitu, jangan bilang-bilang kepada Ayah. Kita pergi dan setelah kita melihat-lihat sampai puas di sana, kita kembali lagi. Kita tidak mempunyai niat buruk, apa perlunya takut? Nanti kalau sudah kembali dan Ayah marah, biarlah Beliau marah kepadaku, aku yang bertanggung jawab!"   Mula-mula Bandupati tidak mau, akan tetapi setelah setiap hari ditangisi dan dibujuk-bujuk, bahkan adiknya itu merajuk dan mengatakan hendak pergi sendiri dan tidak akan sudi lagi bicara dengan Bandupati, terpaksa Bandupati memenuhi permintaan adiknya. Demikianlah, mereka berkemas dan membawa bekal secukupnya, kemudian mereka naik perahu meninggalkan Nusabarung pergi ke utara mendarat di pantai yang sunyi, menyembunyikan perahu mereka lalu mulailah mereka melakukan perjalanan ke utara. Keadaan di sepanjang perjalanan mengecewakan hati Sariwuni, karena ternyata penuh dengan gunung dan hutan, sedangkan dusun-dusunnya kecil dan miskin, tidak ada bedanya dengan Nusabarung, bahkan tempat tinggalnya itu lebih bagus, rumah-rumahnya lebih besar. Maka dia merengek lagi dan mengajak kakaknya itu pergi ke Mojopahit karena dia banyak mendengar dongeng tentang Mojopahit yang katanya amat besar dan menakjubkan. Terpaksa Bandupati menuruti permintaan adiknya dan pada pagi hari itu sampailah mereka di dalam hutan di tapal batas antara Lumajang dan Mojopahit.   Ketika mereka berdua melangkah menyusup di antara semak-semak belukar di dalam hutan itu, dengan rengekan Sariwuni yang bersambat lapar dan lelah, tiba-tiba mereka mendengar suara orang merintih atau mengeluh.   "Eh, Kakang ada orang di depan....." bisik Sariwuni.   "Ssssttt......!" Bandupati yang selalu berhati-hati karena dia sudah mendengar betapa banyaknya orang sakti di daerah Mojopahit, memberi isyarat kepada adiknya agara tidak mengeluarkan suara. Mereka lalu berindap-indap menghampiri arah suara tadi mendatang.   Akhirnya mereka tiba di tempat di mana Sutejo masih rebah dengan gelisah, mengeluh dan dalam keadaan setengah sadar setengah tidak. Melihat itu, Bandupati memberi isyarat kepada adiknya untuk tinggal bersembunyi di balik semak-semak dan dia sendiri lalu berindap menghampiri. Sejenak dia melihat pemuda tampan yang mengeluh dengan mata terpejam itu, lalu di menyentuh pundak Sutejo sambil betanya, "Kisanak, apakah yang terjadi denganmu? Apakah Andika sakit?"   Sutejo miringkan tubuhnya dan membuka matanya. Dalam keadaan setengah sadar, dia melihat seraut wajah yang menyeramkan dan sama sekali asing baginya, maka dia lalu mengeluarkan teriakan keras dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas dan langsung dia menghantam ke arah laki-laki tinggi besar seperti raksasa itu.   "Ehhhh.....!" Bandupati terkejut bukan main melihat pemuda itu tiba-tiba meloncat dengan amat cepat dan sigap dan menyerangnya, apalagi ketika dia merasa betapa pukulan tangan pemuda itu didahului oleh angin yang berdesir tajam sekali. Cepat dia mengangkat lengannya menangkis.   "Desss.....!" Tubuh Bandupati terpelanting jatuh bergulingan oleh pertemuan tenaga sakti yang dahsyat melalui kedua tangan itu.   Melihat ini, Sariwuni depat meloncat untuk membantu kakaknya. Akan tetapi begitu Sutejo melihat munculnya Sariwuni, pemuda ini lalu menjadi lemas tubuhnya, menjatuhkan dirinya berlutut dan dengan sikap memelas dan suara penuh permohonan dia berkata, "Sulastri, pujaanku.......kau ampunilah aku, Sulastri.....!"   Tentu saja Sariwuni menjadi terheran-heran, terbelalak memandang dan menghentikan langkahnya. Dia melihat betapa pemuda tampan itu mengulurkan kedua tangan kepadanya, seperti akan memeluknya, dengan mata memandang penuh kasih sayang, penuh kemesraan, penuh harapan dan kedukaan.   "Sulastri.... aku bersalah.......ampunilah aku......" kata pula Sutejo seperti orang yang hilang ingatan.   Pada saat itu, Bandupati yang sudah bangkit dan menghampiri Sutejo dari belakang, cepat menggerakkan tangannya, memukul dengan tangan miring ke arah tengkuk Sutejo. Pemuda ini sedang terpesona oleh Sariwuni yang dalam pandangan matanya adalah Sulastri, maka dia sama sekali tidak mengelak maupun menangkis.   "Dukkk!" Pukulan itu tepat mengenai tengkuknya dan Sutejo terguling roboh.   "Jangan, Kakang! Jangan bunuh dia!" Sariwuni cepat berteriak ketika dia melihat kakaknya sudah hendak menghantam lagi ke arah tubuh yang sudah rebah pingsan itu. Bandupati menahan tangannya dan memandang kepada adiknya dengan heran.   "Sari, dia berbahaya sekali. Kalau dia siuman, belum tentu kita akan dapat menandinginya. Serangannya tadi hebat bukan main, hampir tidak kuat aku menangkisnya." Bandupati memandang kepada tubuh yang tidak bergerak itu. "Lihat pukulanku yang hebat tadi pun hanya membuat dia pingsan, padahal jarang ada orang di dunia ini yang dapat menahannya, pukulanku tadi adalah pukulan maut. Sari, dia inilah satu di antara orang-orang sakti mandraguna seperti yang kita dengar dari dongeng. Banyak orang sakti seperti dia di Mojopahit. Sebaiknya dia dibunuh selagi pingsan....."   "Jangan, Kakang. Jangan, aku.... entah mengapa, aku suka padanya. Dan kurasa aku dapat menguasainya. Tidakkah engkau melihat betapa dia tadi berlutut kepadaku dan memandangku dengan penuh kasih sayang?"   "Dia belum pernah mengenal kita. Sikapnya terhadapmu tadi menandakan bahwa dia telah kehilangan ingatannya."   "Justeru karena itulah maka aku akan dapat menguasainya, Kakang. Dia menganggap aku sebagai seorang wanita bernama Sulastri yang agaknya amat dicintainya. Kakang, bukankah kita amat membutuhkan orang sakti mandraguna seperti dia? Kalau kita ajak dia ke Nusabarung dan kalau aku dapat menguasainya, bukankah berarti kita mempunyai seorang pembantu yang amat berguna? Ayah tentu akan senang pula memperolah seorang pembantu yang memiliki kesaktian seperti dia. Dan dengan menggunakan akar Lalijiwo yang tentu kau bawa pula sebagai bekal di antara obat dan racun lainnya, akan lebih mudah kita menguasainya, bukan?"   Bandupati mengerutkan alisnya, akan tetapi seperti biasa, dia tidak dapat menolak keinginan hati adiknya. "Aku tahu, melihat betapa pemuda ini amat gagah dan tampan, tentu hatimu telah tercuri olehnya, bukan?"   "Ah, Kakang Bandupati.....! Kau...." Wajah yang cantik itu menjadi merah dan dara itu tersenyum simpul.   "Betapa pun juga, ada benarnya dalam omonganmu tadi, Sari. Memang tentu saja tenaga seperti dia amat berguna bagi kita, bagi kekuasaan Ayah. Apalagi mengingat akan ancaman dari Kadipaten Puger terhadap kita yang selalu ada. Memang kata-katamu tadi benar, kita sebaiknya menguasai orang ini sebagai pembantu kita."   Bandupati lau cepat mengeluarkan bungkusan dan memilih obat bubuk berwana kuning. Setelah Sariwuni mencarikan airnya, bubukan itu dicampur dengan air lalu dengan paksa mereka cekokkan (masukkan) dalam mulut Sutejo yang terpaksa menelannya dalam keadaan setengah sadar.   Ketika Sutejo siuman, dia membuka matanya dan mendaptkan dirinya rebah di atas rumput dan melihat wajah cantik itu berada di atasnya, sepasang mata yang bening itu memandangnya, dia berbisik, "Diajeng Sulastri.....!"   "Kakangmas...." Wanita itu tersenyum dan berkata mesra.   Melihat ini, Sutejo menjadi girang sekali dan dia bangkit duduk, kepalanya agak pening dan wanita itu membantunya dan merangkul pundaknya.   "Diajeng, kau maafkan aku...?" tanyanya dengan suara gemetar.   Wanita itu yang bukan lain adalah Sariwuni, tersenyum lebar dan mengangguk. "Tentu saja, Kakangmas. Aku girang sekali melihat Kakangmas telah sembuh dan sadar kembali..."   Sutejo mengerutkan alisnya dan menggunakan kedua tangan untuk meraba-raba tengkuk dan kepalanya, lalu menggeleng-gelengkan kepala. "Apa yang terjadi? Di mana aku? Kepalaku pening dan aku lupa segala...., Diajeng Sulastri, apa yang telah tejadi dengan aku? Aku hanya ingat bahwa aku telah bersalah kepadamu...."   "Sudahlah, Kakangmas. Aku tentu saja memaafkan segala kesalahanmu kepadaku. Engkau memang sakit dan aku merawatmu di sini. Apakah sekarang engkau ingin kembali? Ingatkah engkau siapa namamu, Kakangmas?"   Sutejo termenung, mengingat-ingat, lalu enggeleng kepala. "Aku tidak ingat lagi, satu-satunya nama yang kuingat adalah namamu, Diajeng Sulastri......"   Sariwuni memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. "Coba kau ingat-ingat benar, Kakangmas, masa engkau tidak dapat ingat namamu sendiri? Setidaknya, coba ingat akan nama seorang pria."   Kembali Sutejo termenung, kemudian tiba-tiba dia berseru, "Ah, aku ingat nama pria. Bromatmojo....!"   "Itukah namamu?"   Sutejo memandang bodoh. "Aku tidak tahu, tidak ingat lagi."   "Satu-satunya nama pria yang kau ingat hanya Bromatmojo?"   Dia mengangguk.   Sariwuni berpikir. Dalam keadaan terpengaruh racun akar Lalijiwo, memang orang menjadi lupa segelanya, terhapus segala ingatannya, akan tetapi pemuda ini mengingat nama Bromatmojo. Siapa lagi kalau bukan namanya sendiri? Biasanya, nama sendiri yang paling dulu teringat atau yang sukar untuk terhapus dari ingatan.   "Memang itulah namamu, Kakangmas Bromatmojo!"   "Ahhh.....!" Sutejo mengangguk girang, lalu memandang wajah Sariwuni.   "Diajeng, benar-benar kau memaafkan aku?"   Sariwuni mengangguk.   "Dan..... dan engkau masih cinta kepadaku, Diajeng Sulastri?"   Tiba-tiba sepasang pipi itu menjadi merah sekali, akan tetapi sambil tersenyum Sariwuni mengangguk pula.   Sutejo lalu merangkul dan menarik tubuh dara itu ke dadanya. "Diajeng....... betapa mulia hatimu, engkau sudi memaafkan aku dan bahkan masih mencintaiku. Hampir aku tidak dapat percaya karena aku berdosa besar kepadamu.........., maka harus kau buktikan bahwa engkau benar mencintaiku agar aku tidak ragu-ragu lagi, Diajeng...."   "Bukti? Bukti bagaimana....?" Sariwuni agak menggigil dengan jantung berdebar ketika merasa betapa pemuda itu memeluk dan mendekapnya demikian mesra.   "Bukti ini....!" Sutejo menunduk lalu mencium mulut Sariwuni dengan bibirnya, mencium dengan seluruh perasaan cintanya sehingga Sariwuni terkejut, gelagapan, akan tetapi akhirnya karena dia memang tertarik dan kagum sekali kepada pemuda itu, dia pun merasa bahagia sekali dan membalas ciuman Sutejo.   "Terima kasih, Diajeng.... engkau benar masih cinta kepadaku...." bisik Sutejo ketika bibir mereka saling berpisah.   Sariwuni gelagapan, terengah-engah dan jantungnya berdebar, dadanya bergelombang, sampai lama dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Akhirnya dia melepaskan diri perlahan, lalu memandang pemuda yang telah menciumnya itu, pemuda yang secara tiba-tiba menjadi kekasihnya, dan dia merasa bahwa dia benar-benar jatuh cinta kepada pemuda ini!   "Kakangmas Bromatmojo, coba katakan dosa apa yang kaulakukan kepadaku." Nada suaranya itu seperti orang menguji.   Sutejo mengerutkan alis mengingat-ingat, akan tetapi dia lalu menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Aku tidak ingat lagi, Diajeng, hanya aku tahu bahwa aku telah berdosa besar kepadamu."   Sariwuni tertawa manis. "Kalau begitu, lebih baik dilupakan sama sekali saja. Engkau sudah tidak ada dosa apa pun kepadaku, Kakangmas. Kita saling mencinta, bukan? Nah, orang-orang yang saling mencinta tidak ada dosa satu sama kepada yang lain. Akan tetapi coba ingat, apakah engkau masih siapakah aku? Siapakah kekasihmu yang kau sebut Sulastri ini? Dari mana asalnya, anak siapa?"   Sutejo menatap wajah yang cantik itu dan dia makin kagum. Wajah itu memang cantik sekali, kulit mukanya halus kemerahan, merah jambu yang amat mempesonakan, bibirnya merah, lebih merah daripada pipinya, sepasang matanya bersinar-sinar seperti sepasang bintang kejora. Siapa lagi kalau bukan kekasihnya yang bernama Sulastri?   "Diajeng, jangan main-main!" kata Sutejo sambil merangkul dan mengecup bibir itu dan dia merasa betapa bibir itu bergerak menyambut ciumannya.   "Ehhh.....ahhh, nanti dulu, Kakangmas. Kau jawab dulu pertanyaanku tadi!" Sariwuni menarik diri dan melepaskan rangkulannya dengan sikap manja, matanya bersinar-sinar penuh kebahagaiaan kerena memang baru pertama kali ini dia merasakan kegembiraan dan kebahagiaan yang membuat jantungnya berdebar tegang. Baru pertama kali ini dia diciumi seorang pria sehebat itu, semesra itu!   "Diajeng, jangan kau menggodaku," Sutejo berkata lagi, jari-jari tangannya saling belit dengan jari tangan gadis itu dan jari-jari mereka terasa getaran-getaran hangat yang menjalar sampai ke sudut hati mereka. "Sudah terang bahwa engkau adalah Diajeng Sulastri, mengapa bertanya lagi? Dari mana asalmu dan anak siapa..... ini.....aku tidak tahu lagi, Diajeng. Akan tetapi pentingkah itu?"   "Ah, Kakangmas, sungguh kasihan sekali engkau, engkau sampai lupa akan semua itu......"   Akan tetapi pada saat itu, Sutejo tiba-tiba melepaskan diri dan meloncat berdiri, memandang dengan mata beringas kepada laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan brewok, siap untuk menyerang.   "Eh, nanti dulu, Kakangmas Bromatmojo! Apa kau lupa? Dia adalah Kakang Bandupati, dia Kakakku, apakah kau tidak ingat kepadanya?" Teriak Sariwuni sambil memeluk pinggang Sutejo dari belakang.   Sutejo mengerutkan alisnya, mengingat-ingat, akan tetapi dia menjadi makin bingung.   "Kakakmu....?"   Bandupati yang baru kembali memanggul bangkai seekor kijang yang dirobohkannya, melemparkan bangkai kijang itu ke atas tanah, lalu tertawa tergelak dan melangkah maju menghampiri mereka. "Ha-ha-ha, Adimas Bromatmojo! Lupakah engkau kepada Bandupati, calon kakak iparmu? Ha-ha-ha!"   Sutejo makin bingung, akan tetapi mendengar ucapan itu, cepat dia memberi hormat. Kiranya raksasa muda yang gagah ini adalah kakak dari kekasihnya, Sulastri. Jantungnya berdebar mendengar betapa raksasa itu mengatakan "calon kakak iparmu". Dia menoleh kepada dara itu dan melihat dara itu juga memandangnya sambil tersenyum lebar dan mengerling indah.   " Maafkan..... aku.... aku lupa semua...." Sutejo berkata gagap.   Bandupati tertawa lagi. "Memang engkau baru saja sembuh dari sakit, Dimas. Tenaglah dan kau menurut saja dalam perawatan Adikku......eh, Sulastri ini." Bandupati segera menyeret kijangnya untuk dikuliti dan dipanggang dagingnya.   Sariwuni mengajak Sutejo duduk di bawah pohon, menggandengnya dengan mesra. Mereka duduk berhimpit-himpitan di bawah pohon dan bicara dengan punuh kemesraan. "Kakangmas, kasihan sekali bahwa engkau telah lupa segala. Kau dengarkan baik-baik. Agaknya engkau lupa bahwa kekasihmu ini mempunyai dua nama. Namaku yang sesungguhnya adalah Sariwuni, akan tetapi agaknya engkau lupa dan yang teringat hanya nama aliasku saja, yaitu Sulastri."   "Sariwuni......?" Sutejo mengingat-ingat, akan tetapi nama itu seperti asing baginya. "Kenapa namamu sampai dua, Diajeng?"   Sariwuni tersenyum dan nampaklah deretan gigi kecil-kecil rapi, membuat Sutejo ingin memeluk dan menciuminya lagi, akan tetapi Sariwuni yang tidak tahan lagi mengalami kemesraan yang hampir membuatnya hampir pingsan itu, dengan kedua tangannya menolak dada Sutejo dengan halus. Selamanya belum pernah dia bermesraan dengan pria, dan pengalamannya tadi sungguh membuat jantungnya terasa hampir pecah.   "Nanti dulu, Kakangmas. Dengarkan dulu semua keteranganku karena aku hendak membantumu mengingatkan segala tentang diriku. Aku mempunyai nama dua karena aku adalah seorang puteri Adipati."   "Kau....? Puteri adipati....? Ah, ya tentu saja, engkau puteri Adipati, Diajeng," Sutejo berkata, kaget dan bingung, akan tetapi membenarkan penuturan itu karena dia tahu bahwa dia memang sudah lupa segalanya!   "Agaknya engkau sudah lupa sama sekali akan keadaan diriku. Aku bernama Sariwuni, alias Sulastri yang kupergunakan dalam perjalanan keluar dari Nusabarung agar jangan dikenal orang. Akan tetapi setelah kita kini akan kembali ke Nusabarung, kau harus mulai menyebut namaku yang asli, yaitu Sariwuni."   "Ah, tapi bagiku lebih manis nama Sulastri, Diajeng," kata Sutejo sambil membelai anak rambut yang melingkar-lingkar di tengkuk dara itu sehingga membuat semua bulu di tubuh dara itu meremang, geli dan nikmat.   "Biarpun begitu, akan luculah kalau di Nusabarung orang mendengar engkau menyebutku dengan nama asing itu. Kau sebutlah aku Sariwuni, Kakangmas."   "Baiklah, Diajeng Sariwuni. Nama apapun yang kaupakai, tetap manis bagiku, karena bagiku yang penting adalah orangnya, bukan namanya."   "Kakangmas Bromatmojo, tentu engkau lupa tentang Nusabarung dan tentang Ayah Bundaku, bukan?"   Sutejo menggeleng kepala. "Aku tidak ingat sama sekali."   "Ayahku adalah Adipati Menak Dibyo, adipati di Nusabarung, sebuah pulau besar Laut Selatan. Orang tua kami hanya mempunyai dua orang anak, yaitu Kakang Bandupati dan aku." Sariwuni lalu menceritakan keadaan di Nusabarung, akan tetapi Sutejo hanya mendengarkan dengan setengah hati karena jari-jari tangan dan matanya lebih senang menjelajahi rambut di leher, lalu garis-garis dagu, pipi dan seluruh wajah yang cantik itu.   Jilid 56   Bandupati memanggang daging kijang dan tak lama kemudian mereka bertiga makan daging kijang, beramah-tamah dan sebentar saja Sutejo telah mulai merasa biasa dan tak canggung lagi. Dia menerima begitu saja bahwa memang dia bernama Bromatmojo, dan dia bertunangan dengan Sariwuni dan kini dia bersama Sariwuni dan Bandupati sedang melakukan perantauan meninggalkan Nusabarung, bahwa mereka di tengah jalan bertemu orang-orang jahat, bertanding dan dia terpukul kepalanya sehingga pingsan dan kehilangan ingatannya, bahwa mereka kini akan kembali ke Nusabarung dan bahwa dia harus menurut saja dan menyerahkan diri di bawah perawatan kekasihnya, Sariwuni. Semua ini dia dengar dari Sariwuni dan tentu saja dia hanya menurut saja. Dengan Sariwuni atau Sulastri di sampingnya, apa pun yang dikehendaki oleh kekasihnya itu, akan dia lakukan! Yang dia tahu hanyalah bahwa dia telah berdosa besar kepada Sulastri dan bahwa di sekarang harus menebus dosanya itu dengan menaati semua permintaan dara itu.   Demikianlah, tanpa banyak kesukaran, Sariwuni dan Bandupati mengajak Sutejo yang mereka kenal sebagai Bromatmojo itu kembali ke Nusabarung. Racun akar Lalijiwo mengandung khasiat melupakan ingatan orang dan bekerja selama satu bulan, dan sebelum lewat sebulan, Sutejo selalu diberi minum racun ini oleh Sariwuni melalui minuman atau makanan sehingga pemuda itu tak pernah mengingat kembali keadaannya sendiri.   Sutejo terheran-heran ketika dia dibawa naik perahu oleh kakak beradik itu, akan tetapi dia hanya menyesalkan diri sendiri yang kehilangan ingatan dan menaruh kepercayaan penuh kepada mereka, terutama sekali kepada Sariwuni yang amat dicintainya.   Ketika mereka tiba di pualu Nusabarung, para atau anak buah pulau itu memandang dengan heran kepada Sutejo, akan tetapi tentu saja tidak ada yang berani bertanya kepada putera dan puteri adipati. Sesampainya di istana kedipaten Bandupati mendahului adiknya masuk dan dengan singkat dia menceritakan tentang pemuda yang bernama Bromatmojo itu kepada ayah bundanya, betapa pemuda itu adalah seorang satria Mojopahit yang amat sakti dan betapa adiknya, Sariwuni, jatuh cinta kepada pemuda itu.   "Mereka saling mencintai, Kanjeng Romo, oleh karena itu, sebaiknya Diajeng Sariwuni dijodohkan dengan Bromatmojo."   "Hemm, begitu mudahnya?" Adipati Menak Dibyo meraba jenggotnya. Adipati ini berusia lima puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi besar seperti Bandupati dan wajahnya keren. "Aku harus melihatnya dulu dan dia harus diuji apakah benar-benar dia memiliki kesaktian. Aku harus melihat bukti bahwa calon mantuku bukanlah orang sembarangan." Lalu dia menoleh kepada isterinya, yaitu permaisurinya, Ibu kandung Bandupati dan berkata, "Yayi, harap suka menyuruh pelayan memanggil Ibunya Sariwuni menghadap.   Permaisuri lalu memerintahkan dayang untuk memanggil selir adipati yang cantik, yaitu Ibu kandung Sariwuni dan tak lama kemudian muncullah seorang wanita yang usianya hampir enam puluh tahun, namun dia cantik jelita dan kelihatan masih muda. Dia menyembah dengan hormat lalu disuruh duduk di dekat permaisuri.   Tak lama kemudian, Bandupati menjemput adiknya dan masuklah mereka bersama Sutejo yang kelihatan canggung dan bingung. Akan tetapi, dengan bisikan-bisikan Sariwuni yang memberi petunjuk, dia lalu bersama dua orang kakak beradik itu bersila, menyambah dengan hormat dan merasa kikuk sekali ketika tiga pasang mata memandangnya dengan penuh perhatian. Ibunya Sariwuni dan permaisuri segera merasa suka dan tertarik kepada pemuda yang halus gerak-geriknya dan tampan itu. Adipati Menak Dibyo sendiri sebagai seorang sakti, dapat melihat bahwa di balik kehalusan itu tersembunyi tenaga yang hebat, maka dia juga merasa kagum dan ingin sekali mencoba kehebatan pemuda yang katanya saling jatuh cinta dengan puterinya yang terkasih itu.   Bandupati telah menceritakan kepada Ayah Bundanya bahwa pemuda itu, Bromatmojo, adalah seorang satria Mojopahit yang sudah tak berkeluarga lagi, hidup sebatangkara di tepi pantai Laut Selatan. Dan Sutejo juga sudah mendapatkan pesan dari kekasihnya bahwa dia adalah seorang yang hidup sebatangkara, dengan demikian tidak terjadi kejanggalan-kejanggalan ketika dia berhadapan dengan keluarga Adipati Nusabarung itu. Sang Adipati lalu cepat memerintahkan para jagoannya untuk menguji Sutejo di Alun-alun.   "Mengapa aku harus bertanding dengan meraka?" tanya Sutejo kepada Sariwuni ketika mereka mengundurkan diri setelah diberi tahu bahwa dia akan dipertandingkan dengan lima orang jagoan Nusabarung.   "Kakangmas. Ayahku adalah seorang sakti. Oleh karena itu, tentu saja dia ingin memperolah mantu yang memiliki kepandaian paling tinggi di Nusabarung ini. Dan kau tahu, banyak sekali orang muda yang ingin meminangku. Olah karena itu, pertandingan ini dimaksudkan oleh Ayah agar mereka semua yang merasa penasaran karena aku memilihmu sebagai calonku, terbuka mata mereka bahwa engkau adalah orang yang paling sakti di Nusabarung ini."   Sutejo mengerutkan alisnya. Sebenarnya dia tidak setuju dengan cara itu. Dia memang mencintai Sulastri atau Sariwuni, akan tetapi dia tidak ingin memperebutkan seorang gadis dengan menggunakan kekerasan.   "Kita sudah saling mencintai, mengapa harus memperdulikan orang lain, Diajeng? Andaikata aku tidak sakti, apakah engkau akan tidak mencintaiku lagi?"   Sariwuni merangkulnya dan merengek. "Kakangmas, apakah kau tidak mau menyenagkan haitku? Kalau engkau tidak berani maju, betapa mereka semua akan mengejek aku! Aku ingin membanggakan kekasihku yang gagah perkasa. Pula, aku adalah puteri adipati, tentu saja Ayah ingin memiliki mantu yang digdaya. Kakangmas, aku majulah dan menangkan pertandingan ini demi cintamu kepadaku. Kau akan membuat aku bangga sekali, Kakangmas. Sebaliknya, kalau kau tidak berani, aku akan malu sekali, bisa mati saking maluku!"   Sutejo menarik napas panjang. "Hemm, siapakah lima orang itu, Diajeng?"   "Mereka adalah lima jagoan Nusabarung yang disebut Lima Harimau Nusabarung. Mereka adalah senopati-senopati yang perkasa dan paling hebat adalah dua di antara mereka, Kakangmas. Engkau harus berhati-hati menghadapi mereka. Mereka adalah senopati-senopati dan merupakan orang-orang kepercayaan dari Kanjeng Romo Adipati dan tingkat kepandaian mereka hanya di bawah tingkat kesaktian Kanjeng Romo sendiri."   "Apakah aku harus membunuh mereka?" tanya Sutejo dengan nada suara kesal.   "Jangan, Kakangmas. Mereka adalah pembantu-pembantu Kanjeng Romo, jadi bukan musuh kita. Mereka hanya bertindak sebagai penguji, akan tetapi tentu saja mereka berusaha untuk mengalahkanmu, kalau perlu membunuhmu. Kalau ada di antara mereka tewas dalam pertandingan itu, tentu tidak apa-apa dan sudah wajar. Hanya tentu saja Ayah akan merasa lebih kagum dan gembira kalau engkau bisa mengalahkan mereka tanpa membunuh mereka, Kakangmas. Dan aku minta agar engkau suka mengalahkan mereka tanpa membunuh, Kakangmas."   Sutejo mengangguk-angguk. "Aku tahu, Diajeng. Engkau tentu tidak menghendaki aku membunuh orang tanpa dosa. Aku sendiri pun tidak mau membunuh orang. Akan tetapi seingatku....." dia mengerutkan alisnya. "Bukankah kau sendiri memiliki kepandaian hebat, Diajeng?"   Sariwuni memandang tajam dan dia menduga bahwa dara yang bernama Sulastri itu agaknya juga memiliki kesaktian. Akan tetapi karena tidak ada tanda-tanda bahwa pemuda itu sudah berubah dan mendapatkan kembali ingatannya, dia menjadi lega dan tersenyum. "Tentu saja aku mempunyai sedikit kemampuan yang tidak dapat dibandingkan denganmu, Kakangmas. Akan tetapi, lima orang itu lebih pandai daripada aku. Hanya aku memeringatkan kepadamu agar kau berhati-hati terhadap penggabungan tenaga mereka, Kakangmas. Mereka itu memiliki keistimewaan, yaitu dapat menggabungkan tenaga dengan saling berpegang tangan. Hati-hatilah kalau melihat mereka sudah saling bergandeng tangan."   Sutejo mengangguk-angguk dan dengan hati besar dia lalu memasuki gelangang pertandingan yang sudah dipersiapkan di alun-alun. Di atas panggung nampak Adipati Menak Dibyo sendiri, didampingi Ibu kandung Bandupati dan Ibu kandung Sariwuni, duduk dengan wajah gembira seperti orang menonton pertunjukan yang menarik. Lingkaran telah dibuat di dekat bawah panggung, dan Bandupati yang mengatur tempat itu karena dialah yang bertugas menjadi wasit!   Para ponggawa, pembesar-pembesar berkedudukan tinggi belaka di kadipaten atau kerajaan kecil Nusabarung, sudah berkumpul pula untuk menyaksikan kehebatan orang muda yang kabarnya menjadi calon suami Puteri Sariwuni. Banyak di antara mereka, terutama yang muda-muda dan yang belum berkeluarga, merasa iri dan ingin melihat sendiri apakah benar calon mantu adipati itu lebih hebat daripada mereka. Dan memang mereka harus mengakui bahwa tidak ada seorang pun di Nusabarung, kecuali mungkin Sang Adipati sendiri, yang akan mampu menandingi lima orang jagoan itu sekaligus. Bahkan Pangeran Bandupati sendiri, yang memiliki kesaktian cukup hebat, tidak akan mungkin dapat menandingi lima orang jagoan itu kalau mereka maju bersama mengeroyoknya. Lebih dari tiga puluh orang ponggawa hadir dan menonton, di samping banyak sekali penduduk yang kebetulan dapat meninggalkan pekerjaan mereka, semua memenuhi alun-alun dan berjejal di seputar lingkaran di bawah panggung.   Dengan langkah tenang Sutejo memasuki lingkaran, disambut oleh Bandupati yang tersenyum ramah. Sutejo memberi hormat dengan sembah ke arah panggung dan disambut dengan tangan terangkat oleh Sang Adipati, sedangkan ibu Sariwuni tersenyum ramah karena ibu ini merasa suka kepada pemuda ini, merasa rela kalau anaknya menikah dengan pemuda Mojopahit ini. Daia sendiri berasal dari daratan utara, dari daratan Mojopahit dan semenjak kecil dia diculik oleh orang Nusabarung dan menjadi anak orang Nusabarung itu sampai kecantikannya menarik hati Sang Adipati dan dia diangkat menjadi selir. Maka, tentu saja dia akan merasa bahagia sekali kalau puterinya menjadi isteri satria Mojopahit, apalagi melihat pemuda itu memang tampan dan halus, tidak seperti para muda di Nusabarung yang sikap dan bicaranya kasar.   Atas perintah Bandupati yang memberi isyarat dengan tangan, masuklah lima orang jagoan Nusa barung itu ke dalam lingkaran. Semua penonton menahan napas menyaksikan perbedaan antara satria Mojopahit itu dengan lima orang ini. Mereka adalah orang-orang yang tinggi besar, kelihatan kokoh kuat dan pemuda Mojopahit itu hanya setinggi pundak mereka! Akan tetapi, Sutejo merasa tenang dan lega ketika melihat calon-calon lawannya. Mereka itu boleh jadi bertubuh tinggi besar dan kelihatan kokoh kuat bertenaga, namun jelas bahwa mereka itu hanya orang-orang yang mengandalkan kekuatan otot-otot belaka, tidak memiliki kedigdayaan yang tersembunyi di balik kulit tubuh yang halus. Andaikata yang muncul itu adalah orang-orang yang kelihatan lemah, tentu Sutejo akan menjadi lebih waspada dan hati-hati.   "Dimas Bromatmojo," kata Bandupati. "Atas kehendak Kanjeng Romo, Andika harus menghadapi pengeroyokan lima orang jagoan kami ini. Mereka akan berusaha sungguh-sungguh untuk mengalahkah Andika, Dimas, maka berhati-hatilah."   Sutejo mengangguk dan berkata, "Kakangmas Bandupati, apakah yang menjadi tanda bagi pihak yang kalah?"   "Pertama, kalau samapi terlempar keluar dari lingkaran dapat berarti kalah. Ke dua, kalau sampai terluka dan tidak dapat melawan lagi, dan ke tiga, tentu saja kalau menggeletak tak bernyawa lagi. Dan andaikata Andika terluka atau tewas dalam ujian ini, mereka tidak akan dipersalahkan karena wajarlah kalau terluka atau tewas dalam pertandingan adu kedigdayaan ini, Dimas. Oleh karena itu, kalau Andika merasa tidak kuat melawan sebaiknya meloncat keluar dari lingkaran."   Sutejo mangangguk-angguk, lalu berkata, "Aku sudah mengerti dan silakan dimulai!"   Bandupati memberi tanda dan oangeran ini lalu melangkah keluar dari lingkaran yang dibuat dengan lawe merah itu. Dia berdiri di luar lingkaran untuk mengamati jalannya pertandingan.   Dengan tenang Sutejo berdiri menghadapi lima orang lawannya. Kedua kakinya terpentang lebar, kedua tangannya tergantung di kanan kiri tubuhnya tergantung lepas namun setiap lebar syarat berdenyut-denyut penuh perasaan, siap untuk menggerakkan semua anggota tubuh untuk melindungi diri dan menyerang. Sutejo memang telah kehilangan ingatannya, telah lupa nama sendiri dan lupa segala, akan tetapi kesaktiannya yang dipejarinya sejak dahulu, telah mendarah daging pada dirinya sehingga ilmu ini sama halnya dengan kalau dia berjalan, bicara dan lain pergerakan lagi, sudah secara otomatis tanpa menggunakan ingatan lagi. Tentu saja dia sudah lupa akan nama-nama ilmu itu, sungguhpun ingat, menggerakkan dan mengerahkan secara otomatis pula.   Lima orang raksasa itu tidak memandang rendah lawan mereka. Sebagai senopati-senopati yang sudah banyak pengalaman, mereka mengenal kedigdayaan, mereka mengenal kedigdayaan orang-orang daratan utara yang biarpun kecil kelihatan lemah, namun memiliki kesaktian luar biasa. Sudah sering mereka bertemu dengan orang-orang seperti itu, maka kini menghadapi Sutejo, mereka tidak berani memandang rendah. Melihat pemuda itu sudah berdiri siap, lima orang jagoan ini lalu bergerak mengepungnya, dua orang di depannya, dan yang tiga orang di kanan kiri belakangnya. Sutejo sama sekali tidak bergerak, henya bola matanya saja yang bergerak melirik ke kanan kiri sedangkan gerakan orang yang berada di belakangnya dia ikuti dengan pendengarannya.   Tiba-tiba dua orang yang di depannya membentak nyaring dengan suara gerengan seperti harimau dan bentakan itu agaknya merupakan aba-aba bagi kawan-kawannya karena serentak mereka itu menerjang ke depan, menyerang Sutejo dari empat penjuru. Namun pemuda itu sudah siap. Dia maklum bahwa dalam keadaan terkurung, kalau lima orang pengeroyok itu malakukan sergapan secara mendadak dan berbareng, sukar baginya untuk melindungi dirinya, maka cepat dia menggenjotkan kedua kakinya ke atas tanah dan pada saat lima orang lawannya bergerak menyergapnya, tubuhnya sudah mencelat ke atas seperti kilat menyambar cepatnya dan tahu-tahu dia sudah berjungkir balik ke belakang dan turun di luar kepungan itu!   "Ehhh......?"   "Ahhhh.....!!"   "Mana dia.....?"   Lima orang raksasa itu hampir saja saling bertumbukan dan mereka terkejut karena pemuda yang mereka keroyok itu tiba-tiba lenyap. Demikian cepatnya gerakan Sutejo tadi ketika meloncat sehingga yang nampak oleh mereka hanya bayangan berkelebat dan tahu-tahu orangnya sudah lenyap.   Tentu saja orang yang tadi berada di depan Sutejo, kini melihat pemuda itu yang telah berdiri di belakang pengeroyok yang tadi menyerangnya dari belakang, maka mereka berdua cepat menerjang diikuti oleh tiga orang kawan mereka. Melihat mereka berlima kini menyerbu dari depan semua dan tentu saja tidak mingkin bagi mereka untuk melakukan serangan secara berbareng, mulailah Sutejo menggerkkan kaki tangannya, mengelak, menangkis dan membalas serangan mereka dengan temparan-tamparan dan tendangan-tendangan yang terkendali tenaganya karena dia tidak ingin membunuh mereka.   Terdengar suara plak-plak-buk yang cukup keras ketika tamparan-tamparan dan tendangan-tendangannya yang dilakukan dengan kecepatan kilat itu mengenai sasaran. Kecepatan pemuda itu tak dapat ditandingi oleh lima orang jagoan yang saking besarnya tidak mampu bergerak gesit itu, dan biarpun Sutejo telah mengendalikan tenaganya dan tidak menggunakan seluruh kesaktiannya, namun tamparan-tamparan itu cukup untuk membuat pingsan seorang lawan yang tangguh. Akan tetapi lima orang itu hanya terpelanting saja dan dengan cekatan mereka sudah meloncat bangkit kembali karena tamparan dan tendangan itu hanya membuat mereka pening sebentar dan kini mereka sudah mengamuk lagi, menyerang Sutejo kalang-kabut seperti harimau-harimau buas. Serangan mereka dibarengi gerengan-gerengan menyeramkan.   Sutejo terkejut juga. Baru dia tahu bahwa lima orang lawannya itu memiliki kekebalan yang cukup kuat. Kini penyerangan mereka yang dahsyat, ganas dan membabi buta itu membuat dia agak kewalahan. Terpaksa dia mengelak dan mengandalkan kecepatan gerakannya, menyelinap di antara mereka sambil manangkis dan mengelak, namun selalu manjaga agar jangan sampai dia terdesak keluar dari lingkaran yang ditandai lawe merah. Hebatnya, lima orang itu terus mendesaknya, bahkan ada yang menggunakan cara berguling-guling di atas tanah untuk mengejarnya dan lengan-lengan mereka yang berbulu dan panjang itu menyambar dari bawah untuk menangkap kakinya, tentu dengan maksud diseret atau dibanting dan dilempar keluar dari lingkaran!   Tiba-tiba dua orang di antara mereka mendapat kesempatan untuk menubruk Sutejo dari depan. Dengan kedua lengan dikembangkan, kedua tangan membentuk cakar harimau, mereka menubruk dari kanan kiri secara berbareng. Sutejo tidak dapat mengelak ke belakang karena di belakangnya, hanya dalam jarak dua meter, terdapat lingkaran dan kalau dia meloncat ke belakang, ada bahayanya, dia keluar dari ringkaran dan dianggap kalah. Kanan dan kiri sudah terjaga oleh dua orang lawan pula. Maka dia menggunakan kecepatanya pula, mendahului penyerang yang datang dari kanan dengan tendangan kakinya, sedangkan kedua tangannya menyambut kedua lengan penyerang dari kiri, lalu tubuhnya diputar miring dan dengan pengerahan tenaga dia membanting penyerang itu ke samping.   "Dukk!" Bresss....!!"   Dua orang raksasa itu mengeluh, yang seorang memegangi perutnya yang tertendang, sedangkan yang dibanting itu bangkit duduk dan menggoyang-goyangkan kepala karena dunia berpusing di depan matanya! Namun, tiga orang yang lain sudah menyerang lagi sehingga Sutejo kembali sudah berloncatan dan mengelak ke sana-sini dengan sigapnya, kemudian dia pun membalas dengan tamparan berturut-turut, sekali ini menambahi tenaganya dan tiga orang itu terpelanting pula dan mengaduh-aduh. Tamparan tangan Sutejo terasa panas sekali bagi mereka.   "Aarrgghhhhh.....!!" Seorang di antara mereka meloncat dan mengeluarkan gerengan hebat yang seolah-olah menggetarkan bumi yang berada di sekitar tempat pertandingan itu. Dan agaknya gerengan ini pun merupakan aba-aba bagi kawan-kawannya karena kini mereka menggunakan sebelah lengan untuk saling merangkul pinggang dan dengan cara demikian, mereka berlima begerak maju, sebelah lengan lagi dilonjorkan dan tangan mereka disatukan di depan dengan telapak tangan dibuka dan diarahkan kepada Sutejo. Lima buah tangan yang besar siap untuk mendorong pemuda itu dengan kekuatan dahsyat yang dipersatukan.   Sutejo merasa heran sekali melihat cara mereka menghadapinya. Dia tidak merasa gentar karena dengan cara maju bersama seperti itu, dia tidak perlu lagi menjaga diri dari serangan kanan kiri maupun belakang, maka dia pun melangkah maju memapaki dan ketika lima buah tangan itu bergerak mendorongnya, dia mengelak sedikit saja dan menggerakkan lengannya menangkis.   "Desss.....!" Hampir Sutejo berteriak saking kagetnya karena tiba-tiba dia terpelanting! Para penonton yang menjagoi lima orang itu kini untuk pertama kalinya tersenyum.   Mereka sudah datang lagi, dengan saling rangkul dan melangkah maju berbareng seperti seekor kelabang yang aneh, sebelah lengan mereka diluruskan dengan tangan menjadi satu, menghampiri Sutejo, agaknya hendak mendorong pemuda itu atau memaksanya keluar dari lingkaran. Sutejo melirik ke arah panggung di mana duduk pula Sariwuni di samping ayah bundanya. Gadis itu memandang dengan mata terbelalak. Teringatlah Sutejo akan peringatan dara yang dikenalnya sebagai Sulastri atau Sariwuni itu, tentang lima orang yang dapat menyatukan tenaga. Dia merasa penasaran. Memang dirasakannya ketika bertemu dengan tangan mereka tadi dalam tangkisannya, betapa dari tangan itu mengalir keluar tenaga yang amat kuat dan yang membuatnya terpelanting. Akan tetapi, hal itu hanya dapat terjadi karena di sama sekali tidak menduganya sehingga dia terkejut dan tidak siap sebelumnya. Kalau dia mengerahkan tenaga kesaktiannya, belum tentu dia kalah.   Melihat lima orang itu sudah maju lagi dengan sikap mengancam, Sutejo juga melangkah maju menyambut dan mengerahkan aji kesaktiannya yang amat hebat, yaitu Aji Kolo Cokro. Ketika dia menggosok kedua tangannya, dari kedua telapak tangannya mengepul uap! Kemudian dia menghadapi para musuhnya dengan kedua kaki terpentang dan segera menyambut tangan-tangan lima orang yang disatukan itu dengan kedua tangannya yang mengepulkan uap.   "Plak! Plak!" Dua telapak tangannya bertemu dengan dua telapak tangan lawan yang dibantu oleh tiga telapak tangan lain itu. Kembali dia merasa betapa dari telapak tangan mereka menyambar tenaga dahsyat, namun sekali ini dia sudah siap dan cepat dia mengerahkan tenaganya untuk menentang.   Terjadi dorong-dorong dan biarpun tidak nampak oleh mata, namun semua orang tahu bahwa sekarang telah terjadi adu tenaga sakti yang amat hebat. Sutejo mendapat kenyataan bahwa lima orang itu memang benar hebat sekali setelah menyatukan tenaga mereka! Dia merasa betapa tenaga saktinya bertemu dengan tenaga yang kokoh kuat seperti gunung karang, dan dorongan yang amat hebat yang menghimpitnya itu, namun dia maklum bahwa menggunakan kekuatan untuk memaksa mereka mundur kiranya merupakan hal yang amat sukar. Tentu saja dia dapat membagi tenaganya dan menggunakan tangan kirinya mengirim pukulan kepada mereka, akan tetapi hal itu akan berbahaya sekali bagi mereka, mungkin dapat menewaskan dan dia tidak ingin membunuh seorang pun di antara mereka.   Sutejo mencari akal, tidak seperti lima orang itu yang mati-matian mengandalkan kekuatan mereka untuk bertahan dan untuk menang. Mereka diam-diam juga terkejut sekali ketika merasa betapa telapak tangan mereka amat panas dan betapa tenaga mereka bertemu dengan tenaga mujijat yang keluar dari telap tangan pemuda itu. Namun mereka merasa penasaran dan tidak percaya kalau mereka akan kalah kuat, maka mereka mengerahkan pula seluruh tenaga mereka untuk mendorong.   Tiba-tiba Sutejo menggerakkan jari-jari tangannya dan kalau tadi mereka beradu telapak tangan, kini bagaikan dua ekor ular, kedua lengan Sutejo meluncur dan kedua tangannya menangkap pergelangan tangan orang pertama, mulutnya mengeluarkan bentakan nyaring dan menggetarkan jantung, tubuhnya merendah lalu kakinya bergerak sehingga tubuhnya miring dan kedua tangannya yang tadi mendorong dan mempertahankan, secara tiba-tiba sekali berubah menjadi daya tarik dengan betotan mendadak dan amat kuat.   Lima orang itu sedang mengerahkan seluruh tenaga mereka mendorong, maka ketika kini tidak ada perlawanan yang menentang tenaga dorong mereka, bahkan Sutejo menggunakan kekuatan sakti untuk membetot, tanpa dapat dicegah lagi tubuh mereka tertarik ke depan! Sutejo menyentakkan dan melepaskan pegangannya dan .....seperti daun-daun kering tertiup angin, dan mengeluarkan suara seperti bata runtuh, lima orang itu terdorong ke depan dan roboh tunggang-langgang keluar dari lingkaran lawe merah yang menjadi putus keterjang tubuh mereka!   Tepuk tangan nyaring dari atas panggung memecahkan kesunyian dan ketegangan yang mengikuti robohnya lima orang itu. Tepuk tangan Sariwuni memancing tepuk tangan dan sorak-sorai semua orang yang menyatakan kekagumannya kepada Sutejo yang merak kenal sebagai Raden Bromatmojo! Lima orang itu merangkak bangun, mengaduh-aduh karena baru sekarang mereka melihat betapa lengan tangan mereka merah sekali dan bengkak-bengkak akibat pengaruh Aji Kolo Cokro yang amat panas. Pangeran Bandupati menghampiri Sutejo dan menyatakan kemenangan pemuda ini dengan mengangkat lengan pemuda ini ke atas yang pula oleh sorak-sorai para penonton.   Adipati Menak Dibyo girang bukan main, girang dan kagum. Diam-diam dia mengakui bahwa agaknya di sendiri belum tentu akan mampu menandingi pemuda itu. Dengan adanya pemuda seperti ini di sampingnya, apalagi sebagai mantunya, tentu dia tidak takut lagi menghadapi musuh-musuh sakti. Terbayang sudah di depan matanya betapa dia akan dapat membasmi musuh besarnya, yaitu Kadipaten Puger di seberang!   Demikianlah, pertunangan antara Raden Baromatmojo dan Puteri Sariwuni diumumkan, dan semenjak hari itu, Sutejo hidup sebagai Raden Bromatmojo dan calon mantu adipati, dan dia masih belum ingat akan keadaannya sebelum dia bertemu dengan Sariwuni dan sebelum lewat setengah bulan, Sariwuni tidak pernah lupa untuk mencampurkan akar Lalijiwo dalam hidangan tunangannya.   ***   Kita tinggalkan dulu Sutejo yang seolah-olah hidup sebagai seorang manusia baru dengan nama Raden Bromatmojo, dan satu-satunya orang yang masih diingatnya adalah Sulastri yang ditemukan dalam diri Sariwuni, dan bahwa dia mencintai Sulastri, bahwa dia bersalah terhadap Sulastri dan dia harus menaati semua kehendak Sulastri untuk menebus dosanya. Baru sekarang dia "tahu" bahwa Sulastri juga bernama Sariwuni, puteri Adipati Nusabarung! Mari kita mengikuti perjalanan Sulastri yang asli, atau Bromatmojo yang tulen.   Dengan muka agak pucat, wajah muram dan mata merah karena banyak menangis, tubuh agak kurus karena kurang tidur dan kurang makan, Sulastri melakukan perjalanan seorang diri ke selatan, menuju ke Kadipaten Puger untuk menyusul dan menolong dua orang sahabatnya yang tertawan, yaitu Joko Handoko dan Roro Kartiko. Perjalanan ini amat melelahkan dan amat sukar melaui pegunungan kapur yang memanjang dari timur ke barat, memalui hutan-hutan liar yang penuh pohon-pohon raksasa dan semak-semak belukar.   Kalau teringat kepada Sutejo, bermacam perasaan menyakitkan hatinya. Dia mencinta Sutejo, dan hatinya sakit karena duka bahwa dia terpaksa harus berpisah dari pria yang dicintainya itu. Penyesalan dan kekecewaan memenuhi hatinya ketika teringat betapa Sutejo telah diperalat oleh Mahapati sehingga pemuda itu sampai hati untuk membantu Mahapati menyebabkan kematian gurunya. Padahal, gurunya yang pertama, Ki Jembros, juga tewas di tangan Mahapati yang mengeroyoknya. Kini Gurunya ke dua yang amat disayangnya pula, Empu Supamandrangi, juga mati di tangan orang-orang Mahapati. Dan Sutejo mambantu Mahapati! Hal ini amat menyakitkan hatinya.   Akan tetapi ketika dia tiba di tepi daerah Kadipaten Puger, melihat penduduk dusun-dusun yang termasuk wilayah Puger, dia melupakan penderitaan batinnya sendiri karena perhatiannya kini tertuju untuk menyelamatkan Joko Handoko dan Roro Kartiko. Bagaimanakah keadaan mereka, pikirnya.   Bagaimanakah sesungguhnya keadaan kakak beradik yang telah tertawan oleh dua orang kakak beradik kembar dari Puger itu? Seperti telah kita ketahui, Joko Handoko dan Roro Kartiko, juga tujuh orang anggota Sriti Kencana, semua tertawan oleh pasukan ang dipimpin oleh Murwendo dan Murwanti, kakak beradik kembar dari Puger itu. Mereka itu tergila-gila kepada Joko Handoko dan Roro Kartiko dan setelah berhasil manawan dua orang muda ini dan tujuh orang wanita anggota Sriti Kencana, Murwendo dan Murwanti lalu bergegas pulang ke selatan, ke Kadipaten Puger yang terletak di pantai Laut Selatan.   Setelah pasukan tiba di Puger, Murwendo dan Murwanti langsung membawa tawanan mereka ke dalam istana kadipeten, menghadap ayah mereka dengan wajah berseri. Mereka menurunkan tubuh tawanan yang mereka panggul itu ke atas lantai dalam keadaan terbelenggu, lalu berlutut menyembah kepada ayah dan ibu mereka.   Raja di Puger, memandang dengan mata terbelalak kepada kedua orang anaknya, demikian pula permaisurinya. Raja ini usianya sudah enam puluh tahun, rambutnya putih dan gerak-geriknya halus. Permaisurinya berusia empat puluh lima tahun, masih cantik jelita dan seperti juga suaminya, wanita ini halus gerak-geriknya. Para pengawal dan pelayan yang berada di ruangan itu juga memandang dengan terheran-heran ketika putera dan puteri raja itu datang memanggul seorang dara dan seorang pemuda yang cantik dan tampan.   Sang Prabu Bandardento, Raja Puger itu, sudah mengenal keadaan putera-puterinya. Raja yang cukup bijaksana ini maklum bahwa ada sesuatu yang tidak wajar pada dua orang anak kembar ini. Melihat kedatangan mereka membawa tawanan, Sang Prabu lalu cepat memberi isyarat kepada semua pengawal dan pelayan untuk meninggalkan ruangan itu. Para pengawal dan pelayan menyembah dan cepat keluar dari situ, meninggalkan Sang Prabu dan permaisurinya berdua saja menghadapi Murwendo, Murwanti dan dua orang tawanan itu. Setelah semua orang pergi, barulah Sang Prabu bangkit dari kursinya.   "Apa artinya ini? Darimana kalian berdua dan siapa yang kalian bawa sebagai tawanan ini?" Di dalam suaranya Sang Prabu Bandardento terkandung kemarahan dan teguran.   "Kanjeng Romo, ini adalah Roro Kartiko, calon mantu Paduka," kata Murwendo.   "Dan ini adalah Joko Handoko, juga calon mantu Paduka, Kanjeng Romo dan Kanjeng Ibu," sambung Murwanti sambil meraba pundak Joko Handoko yang rebah miring dan tidak mampu bergerak karena kaki tangannya terbelenggu.   Sang Prabu saling pandang dengan permaisurinya, alisnya berkerut dan jantungnya terasa perih. Kedua orang anak kembarnya itu sudah mendekati kegilaan, pikirnya. Sakit sekali perasaannya kalau diingat. Dia tidak pernah mempunyai keturunan. Permaisurinya yang belasan orang selirnya tidak pernah ada yang mempunyai keturunan. Hanya seorang selir saja yang mempunyai keturunan, yaitu melahirkan anak kembar ini! Akan tetapi, selir itu meninggal dunia ketika melahirkan Si Kembar ini, dan Sang Prabu tahu bahwa anak kembar ini bukanlah keturunannya! Si kembar ini lahir karena selir itu mengadakan hubungan rahasia, berzina dengan seorang juru taman. Seorang yang rendah dan hina! Namun, untuk menjaga kehormatan, diam-diam Sang Prabu menyuruh pengawal membunuh juru taman itu. Kini pembuat aib itu, baik yang wanita maupun pria, telah mati semua hingga dia dapat menerima Si Kembar sebagai anaknya!   Betapa dia sayang kepada dua orang anak kembar itu karena Sang Prabu tidak pernah dapat menikmati perasaan seorang ayah. Dilupakannya kenyataan bahwa Si Kembar itu bukan darah dagingnya. Disayang dan dimanja oleh Sang Prabu, permaisuri dan semua selir, dua orang kembar malah menjadi rusak! Ataukah mungkin sudah terdapat dalam darah mereka?   Mula-mula Sang Prabu hanya melihat gejala buruk itu ketika melihat anak kembar itu bersikap kejam dan keras terhadap ponggawa dan pelayan. Apalagi setelah mereka mepelajari ilmu kedigdayaan, mereka suka bertindak sewenang-wenang. Hanya terhadap Sang Prabu saja mereka tunduk dan taat, akan tetapi mereka tidak lagi tunduk kepada ibu-ibu mereka, apalagi kepada para ponggawa!   Akhirnya kenyataan yang amat pahit mulai manusuk hati Sang Prabu ketika Beliau menerima bisikan dari para pengawal penyelidik bahwa Murwendo dan Murwanti mengadakan hubungan sebagai suami isteri! Dua orang anak kembar itu telah mulai dewasa, telah melakukan perjinaan! Hal ini sungguh merupakan pukulan berat bagi raja itu. Akan tetapi, dia sendiri tidak tahu bagaimana harus menghadapi keadaan itu. Menegur mereka? Peristiwa itu sudah terjadi, sudah terlanjur. Marah-marah? Kalau umum mengetahui, akan menimpa aib dan noda yang lebih hebat lagi daripada noda yang ditimbulkan oleh selirnya yang berzina dengan juru taman dahulu! Didiamkan saja? Juga makan hati!   Diam-diam raja ini menderita tekanan batin dan rasa sayangnya terhadap dua orang anak kembar itu mulai menipis. Biarpun dua orang anak kembar itu kini menjadi seorang pemuda dan seorang dara yang berwajah tampan dan cantik, namun dia tahu benar bahwa watak mereka amat tidak baik, selain kejam juga rendah dan hina. Hanya ada satu hal yang merupakan hiburan besar di dalam hati Sang Prabu bahwa dua orang anak itu bukanlah keturunannya. Dan selain dia sendiri, yang tahu akan hal itu hanyalah permaisurinya, dan tentu saja orang-orang kepercayaannya, yitu pengawal-pengawal pribadinya yang dua orang, Si Sulung Hitam Padas Gunung dan Si Demit Kinang Pragalbo. Kedua orang tokoh Puger inilah yang dulu disuruhnya membunuh juru taman dan mereka berdua itulah yang tahu akan rahasia Murwendo dan Murwanti.   Ketika Sang Prabu melihat dua orang anak kembar itu pulang membawa dua orang tawanan, dia terkejut dan merasa tidak senang. Dan jawaban mereka bahwa pemuda dan dara yang ditawan itu merupakan calon-calon mantunya, membuat wajahnya menjadi merah sekali. Betapa tidak tahu aturan adanya dua orang anaknya ini! Mana mungkin mencari jodoh seniri dengan paksa itu, seperti dua orang liar, tanpa minta dulu pendapat dan perkenannya.   Ingin Sang Prabu membentak-bentak marah, akan tetapi dia menahan diri, hanya bertepuk tangan membari isyarat kepada pengawal. Cepat sekali pengawal kepala datang memasuki kamar itu dan menghadap Sang Prabu.   ´Cepat panggil Padas Gunung dan Pragalbo ke sini!" teriak Sang Prabu suaranya jelas mengandung kemarahan. Pengawal itu cepat berlalu memenuhi perintah Sang Prabu yang segera duduk kembali dan memandang ke arah dua orang tawanan itu sambil mengelus jenggot. Harus diakuinya bahwa pemuda tawanan itu tampan dan gagah, sedangkan dara itu pun cantik dan seperti puteri istana. Makin tidak enaklah rasa hatinya Melihat keadaan mereka, tentu pemuda dan dara itu bukan orang-orang sembarangan di Mojopahit dan perbuatan dua orang anaknya itu berarti menanam bibit permusuhan hebat dengan Mojopahit. Perbuatan yang amat berbahaya! Dia melihat betapa Murwendo mengusap rambut di dahi tawanan wanita itu dengan mesra, dan melihat sianr mata penuh kebencian dari dara tawanan itu yang cepat membuang muka. Demikian pula, pemuda yang menjadi tawanan itu membuang muka ketika Murwanti mengelus pundaknya dengan sikap mesra dan tak tahu malu. Betapa jauhnya sikap sepasang tawanan itu dengan sikap dua orang anaknya!   Padas Gunung dan Pragabo, dua orang tokoh Puger yang memiliki kepandaian tinggi itu, kini sudah datang menghadap. Sang Prabu memandang kepada mereka dengan sikap marah, kemudian terdengar dia membentak, "Padas Gunung dan Pragalbo! Apa saja yang kalian lakukan bersama Pangeran dan Puteri? Mengapa kalian menawan dua orang muda ini?"   Padas Gunung yang bermuka kuning itu tidak dapat bicara dan hanya menunduk dengan sikap bingung dan dia menyerahkan jawabannya kepada Pragalbo yang memang lebih pandai bicara daripada dia. Namun, menghadapi junjungannya yang sedang marah itu, Pragalbo juga kelihatan gugup dan dia cepat menyembah lalu berkata. "Mohon beribu ampun apabila hamba berdua melakukan hal yang tidak berkenan di hati Paduka, Gusti. Sesungguhnya, hamba berdua dan pasukan hanya melaksanakan perintah dari Gusti Pangeran dan Gusti Puteri. Pemuda dan gadis ini, juga tujuh orang wanita lain yang menjadai anak buah mereka, adalah orang-orang Lumajang, dan karena Gusti Pangeran dan Gusti Puteri menghendaki, maka hamba berdua terpaksa lalu menagkap mereka dan...."   "Hayo cepat lepaskan belenggu kaki tangan mereka!" Sang Prabu menghardik marah dan hatinya menjadi makin khawatir mendengar bahwa mereka itu adalah orang-orang Lumajang! Dia sudah mendengar bahwa Lumajang kini tidak tunduk kepada Mojopahit, dan hal ini amat menguntungkan Puger, karena Lumajang dapat menjadi perisai atau benteng yang akan dapat menghadang gerakan Mojopahit kalau-kalau kerajaan itu hendak meluaskan wilayah ke timur. Sebelum Mojopahit berkesempatan menyerbu Puger, haruslah lebih dulu membobolkan pertahanan Lumajang. Oleh karena itu, sungguh tidak baik untuk menanam permusuhan dengan Lumajang.   Mendengar perintah yang dikeluarkan dengan bentakan marah ini, dua orang pengawal yang juga menjadi senopati itu cepat menghampiri dua orang tawanan itu. Murwendo dan Murwanti juga tidak berani menghalangi dan mereka mundur dan duduk bersimpuh sambil memandang kepada dua orang tawanan itu dengan sinar mata penuh kemesraan. Setelah dibebaskan dari belenggu, Joko Handoko dan Roro Kartiko menggosok-gosok pergelangan tangan dan kaki mereka yang terasa sakit setelah kini darahnya berjalan lancar kembali. Kemudian Joko Handoko memandang kepada raja yang berambut putih dan bersikap agung itu. Dia segera menyembah, diikuti oleh adiknya yang seperti juga kakaknya merasa lega bahwa raja itu kiranya tidaklah sejahat kakak beradik kembar itu.   Melihat sikap pemuda dan dara itu, Sang Prabu Bandardento menjadi makin kagum dan makin keras dugaannya bahwa memang mereka ini bukan orang sembarangan. Yang jelas mereka itu tahu akan susila, maka dengan suara halus dai lalu bertanya kepada Joko Handoko, "Orang muda, maafkanlah perlakuan yang tidak patut dari putera dan puteri kami. Sebelum mendengar keterangan dari pihak putera-puteri kami, lebih baik dulu kami mendengar darimu, siapakah engkau dan gadis ini, dan bagaimana sampai menjadi tawanan anak-anak kami?"   Karena Joko Handoko maklum bahwa dia berhadapan dengan raja yang bijaksana dan berkuasa di Puger, dia menyembah lagi sebelum menjawab, "Hamba bernama Joko Handoko dan ia ini adalah adik kandung hamba yang bernama Roro Kartiko. Mendiang ayah hamba berdua adalah bekas bupati di Tuban yang karena menentang Mojopahit telah terhukum mati dan hamba berdua bersama ibu hamba telah mengungsi ke Lumajang dan....."   "Maksudmu Bupati Ronggo Lawe?" tanya Raja Puger itu.   "Bukan, Sri Baginda. Mending Ayah hamba adalah pengganti Beliau dan bernama Progodigdoyo. Kini hamba berdua tinggal di Lumajang dan telah diterima menjadi perwira pengawal oleh Sang Adipati di Lumajang."   "Pengawal Lumajang? Hemmm..." Hati Raja itu menjadi makin khawatir. "Lalu bagaimana Andika berdua sampai tertawan oleh pasukan kami?"   Joko Handoko bukan orang bodoh. Raja ini adalah ayah dari dua orang kembar yang aneh itu, maka mengadu kepada raja ini merupakan hal yang sia-sia belaka, sungguh pun raja ini kelihatan bijaksana dan halus. Dia menjadi serba salah dan bingung juga, akan tetapi dengan hati-hati pemuda ini lalu menjawab, "Maaf, Sri Baginda, sesungguhnya hamba berdua juga masih merasa heran. Berdua saudara Murwendo dan Murwanti, yang baru sekarang hamba ketahui adalah putera-puteri Paduka tadinya adalah rekan-rekan hamba setelah mereka berhasil pula memasuki sayembara dan diangkat menjadi perwira pengawal seperti hamba. Akan tetapi, selagi hamba berdua dan teman-teman hamba yang sedang melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh Sang Adipati Lumajang, mereka berdua mengajak hamba untuk ikut ke Puger. Hamba dan adik hamba menolak dan mereka menggunakan paksaan sehingga terjadi perkelahian. Hamba berdua dikeroyok dan tertawan."   Wajah Sang Prabu Bandardento menjadi merah. Dia merasa malu sekali atas perbuatan dua orang putera kembarnya itu. Akan tetapi, membebaskan dua orang muda ini pun tidak baik karena tentu mereka akan kembali ke Lumajang dan Adipati Lumajang tentu akan marah dan memusuhi Puger kalau mereka mendengar bahwa perwira-perwiranya diganggu oleh Puger, apa lagi kalau mendengar bahwa putera-puteri Puger telah menyelundup ke Lumajang dan menjadi penggawal. Tentu akan menimbulkan sangkaan yang tidak baik. Maka dia lalu berkata kepada Joko Handoko dan Roro Kartiko dengan suara yang halus namun tegas, "Dua orang putera kami telah melakukan kekasaran terhadap Andika berdua, harap Andika berdua tidak menaruh dendam. Setelah Andika berdua barada di sini, kami menganggap Andika berdua sebagai tamu-tamu terhormat dan kami minta sukalah kiranya Andika berdua menjadi sahabat-sahabat putera-puteri kami dan mengajarkan kesusilaan dan kebajikan kepada mereka."   "Tapi, Kanjeng Romo, hamba ingin menikah denga Roro Kartiko!" tiba-tiba Murwendo berkata.   "Hamba juga, kawinkan hamba sekarang juga dengan Joko Handoko, Kanjeng Romo!" kata Murwanti.   "Diam....!!!" Sang Prabu Bandardento membentak, marah dan malu bukan main. "Awas, kalian tidak boleh menggunakan paksaan! Padas Gunung dan Pragalbo, aku perintahkan kalian untuk mengawasi dan menjaga agar pangeran dan puteri tidak memaksa dan mengganggu dua orang tamu kita dan tujuh orang pengiring mereka itu! Murwendo dan Murwanti, perjodohan tidak boleh dipaksakan. Kalau memang mereka berdua ini suka menjadi jodohmu tanpa paksaan, aku akan merasa senang dan bangga sekali mempunyai mantu seperti mereka. Akan tetapi, kalau kalian melakukan paksaan dan kotor, aku sendiri akan menentangmu!" Setelah berkata demikian, Sang Prabu membubarkan persidangan dan Joko Handoko bersama Roro Kartiko dipersilakan keluar oleh Padas Gunung dan Pragalbo. Dua orang kakak beradik ini terkejut dan bingung, akan tetapi mereka tidak diberi kesempatan untuk membantah lagi. Maka mereka terpaksa untuk sementara menerima nasib, karena bagaimana pun juga, keputusan raja itu membuat mereka terlepas daripada ancaman saudara kembar itu. Mereka diperbolehkan bebas di Puger dan diberi rumah pemondokan yang cukup baik bersama tujuh orang anak buah Sriti Kencana, namun mereka maklum bahwa untuk lolos dari tempat itu adalah tidak mungkin karena siang malam mereka selalu diawasi.   Murwendo dan Murwanti memang tidak berani melanggar pantangan ayah mereka. Mereka berdua tidak berani menggunakan paksaan, apalagi karena mereka berdua maklum bahwa Joko Handoko dan Roro Kartiko bukanlah orang-orang lemah yang dapat dipaksa begitu saja. Dahulu pun kalau tidak ada bantuan Padas Gunung dan Pragalbo, tidak mungkin mereka mampu menawan kakak beradik yang membuat mereka tergila-gila itu. Sekarang, dua orang tawanan itu telah menjadi tamu-tamu yang terhormat dan bebas, bahkan diawasi selalu oleh Padas Gunung dan Pragalbo yang mereka tahu amat setia kepada ayah mereka sehingga dua orang tokoh yang juga menjadi guru-guru mereka itu tentu tidak akan segan-segan menentang mereka untuk mentaati perintah junjungan mereka kalau mereka berdua berani mengganggu Joko Handoko dan Roro Kartiko. Murwendo dan Murwanti merasa penasaran sekali, namun mereka hanya dapat menimbun rasa kekecewaan mereka di dalam hati saja. Mereka berdua bersikap manis dan berusaha memikat hati dua orang muda itu dengan cara halus, akan tetapi Joko Handoko dan Roro Kartiko sama sekali tidak pernah mau melayani mereka setiap kali dua orang saudara kembar itu muncul, Joko Handoko dan adiknya tentu meninggalkan mereka dan mengunci diri dalam kamar masing-masing, sedikit pun tidak mau bicara dengan mereka! Hal ini tentu saja membuat Murwendo dan Murwanti merasa tersiksa sekali. Dan kalau sudah begini, yang menjadi bulan-bulan kemarahan mereka tentulah para abdi yang melayani mereka, dipukul, ditendang dan dimaki hanya karena kesalahan yang kecil saja. Dan untuk menghibur diri dari kekecewaan, kakak beradik kembar ini saling menumpahkan rasa rindu dan tergila-gila mereka itu satu kepada yang lain, dan makin berlarut-larutlah hubungan gelap, perjinaan yang amat mencemarkan Kadipaten Puger antara dua orang kakak beradik kembar yang agaknya mempunyai kelainan batin ini.   Jilid 57   Sesungguhnya hidup ini sempurna, menjadi tidak sempurna karena kita sendiri yang membuatnya. Sesungguhnya hidup ini bahagia, menjadi tidak bahagia karena kita menganggapnya demikian. Sesungguhnya kebahagiaan tidak pernah meninggalkan kita, melainkan kitalah yang meninggalkannya untuk mengejar bayangannya! Mengapa kita tidak pernah menghadapi segala sesuatu yang terjadi pada kita sebagai sesuatu kewajaran, menghadapinya tanpa sorak kemenangan atau keluh kekalahan? Selalu kita nilai dengan keuntungan atau kerugian sehingga tentu saja menimbulkan kepuasan atau kekecewaan, kesukaan atau kedukaan. Dan terseretlah kita ke dalam lingkaran setan yang tiada putusnya, tenggelamlah kita ke dalam gelombang suka duka, di mana dukanya lebih banyak daripada sukanya, di mana apa yang dinamakan kebahagiaan hanya kadang-kadang saja bercahaya seperti kilat di musim hujan yang selalu penuh awan gelap.   Bagi seorang biasa yang melihat Sang Prabu Bandardento sebagai seorang yang paling berkuasa dan paling mulia di Puger, tentu menganggapnya sebagai ukuran tertinggi orang yang hidup bahagia. Akan tetapi apa kenyataannya bagi Sang Prabu Bandardento sendiri? Tidak ada bedanya dengan orang-orang yang paling miskin di puger. Tetap saja dilanda kecewa dan kedukaan. Hal-hal yang dianggapnya sebagai sumber bahagia oleh orang-orang kecil, seperti kekayaannya, kekuasaannya kini sama sekali tidak dirasakan sebagai keadaan berbahagia oleh raja yang sudah memiliki semua itu semua! Dan demikian pula keadaan kehidupan kita semua! Kita melihat orang lain yang memiliki kelebihan daripada kita sebagai orang yang berbahagia, akan tetapi kenyataanya tidak demikian karena orang yang kita anggap beahagia itu pun akan meliah orang lain dan menganggap orang lain itu berbahagia sedangkan dia tidak! "Mengapa demikian?" karena kesalahan yang satu ini kita miliki bersama, yaitu kesalahan membayang-bayangkan selalu bahawa kebahagiaan berada DI SANA, sama sekali tidak pernah meneliti dan menyelidiki keadaan DI SINI atau saat ini!   "Ah, kami merasa kuat bertanggung jawab atas perpisahan dua pasang merpati," kata Sang Prabu Bandardento kepada Joko Handoko dan Roro Kartiko pada suatu senja ketika dia dan peramisurinya memanggil dua orang kakak beradik itu dalam taman sari. "Kami akan berusaha untuk mendatangkan tunangan-tunangan kalian, Joko dan Roro. Katakanlah, siapakah tunangan kalian itu?"   Wajah Joko Handoko dan Roro Kartiko menjadi merah sekali mendengar pertanyaan ini. Mereka saling pandang dan dalam sinar mata mereka berdua, kakak beradik ini sama-sama mengerti bahwa untuk menghindarkan diri dari harapan Sang Prabu untuk menjodohkan mereka dengan Si Kembar, memang sebaiknya kalau mengaku saja rahasia hati mereka secara terbuka. Joko Handoko maklum pula akan isi hati adiknya, maka dia lalu menyembah dan berkata, "Harap Paduka maafkan karena hamba berdua pun tidak tahu di mana mereka sekarang. Akan tetapi kalau Paduka ingin mengetahui, pujaan hati hamba itu adalah seorang dara yang cantik jelita dan gagah perkasa yang bernama Sulastri."   "Hemm, Sulastri? Dan dia pun gagah perkasa seperti Roro?" tanya Sang Permaisuri.   "Seperti hamba? Ah, hamba tidak ada seperempatnya!" kata Roro Kartiko.   Sulastri adalah murid dari puncak Bromo, murid Empu Supamandrangi....?"   "Ahh.....!" Adipati Puger itu kelihatan terkejut sekali. "Pantas dia gagah perkasa......, dan di manakah dia sekarang, Joko Handoko?"   Pemuda itu menarik napas panjang. "Hamba tidak tahu, Gusti. Ketika itu, dia dan hamba berdua sedang diutus oleh Adipati Lumajang untuk menyelidiki pusaka ke Mojopahit, akan tetapi muncul pasukan dari Puger dan hamba berdua ditawan....."   "Menyelidiki pusaka? Pusaka apakah itu?"   "Keris pusaka Kolonadah...."   "Ahhh....!" Kembali Sang Prabu Bandardento berseru kaget dan mengangguk-angguk, lalu dia bertanya kepada Roro Kartiko, "Dan Engkau, Nini? Siapakah pujaan hatimu itu, yang membuatmu tidak mau menerima cinta kasih Murwendo?"   Roro Kartiko terkejut dan dia menundukkan mukanya. Kedua pipinya menjadi kemerahan, bibirnya tersenyum malu-malu dan beberapa kali bibir itu bergerak, namun tidak mampu mengeluarkan suara! Melihat ini, Sang Prabu Bandardento tertawa bergelak dan Sang Permaisuri berkata, "Ah, tentu saja dia malu untuk mengaku."   "Joko Handoko, Andika sajalah yang menceritakan, siapa pujaan hati Adikmu itu? Apakah dia juga seorang yang sakti mandraguna? Agaknya di mojopahit banyak sekali orang-orang muda yang digdaya."   "Sesungguhnyalah, Gusti. Pria yang menjadi pujaan Roro adalah seorang pemuda yang kesaktiannya bahkan melebihi kesaktian Sulastri. Namanya adalah Sutejo, putera dari mendiang Senopati Mojopahit yang bernama Lembu Tirta," kata Joko Handoko.   "Hebat! Dan Murid siapakah dia?"   "Kalau tidak salah, dia adalah murid Panembahan Ciptaning...."   "Pertapa di lereng Gunung Kawi? Hebat sekali.... luar biasa....! Dan di mana dia sekarang?"   Dengan alis berkerut karena kecewa mengenang sahabatnya ini, Joko Handoko berkata, "Dia menjadi hamba di Mojopahit."   "Ah, sayang.... kalau dia berada di sini, juga Sulastri itu...." Tiba-tiba Adipati itu menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba muncul beberapa orang pengawal yang tugasnya menjaga di sekitar tamansari.   "Harap Paduka mengampuni hamba kalau hamba mengganggu...."kata seorang di antara mereka dengan napas terengah-engah. Pada saat itu, Sang Prabu Bandardento, Permaisuri dan dua orang muda itu telah pula mendengar suara ribut-ribut yang terdengar di sebelah depan istana kadipaten.   "Apa yang terjadi, pengawal?" tanya Sang Prabu Bandardento dengan sikap tenang.   "Di pendapa istana ada seorang wanita mengamuk, dia digdaya sekali, banyak pengawal yang sudah roboh dan sekarang Ki Padas Gunung dan Ki Pragalbo sedang berusaha menandinginya, Gusti."   "Diajeng, kau kawal Gusti Puteri ke dalam, biar aku melihat siapa pengacau itu!" kata Joko Handoko yang kemudian berkata pula kepada Sang Prabu Bandardento, "Harap Paduka suka menanti saja di dalam, hamba akan menangkap pengacau itu."   Sang Prabu Bandardento mengagguk dan tersenyum girang menyaksikan sikap pemuda itu. Lalu dia bersama permaisuri memasuki istana dari pintu belakang, dikawal oleh Roro Kartiko dan beberapa orang pengawal. Setelah mengawal raja dan permaisuri sampai ke dalam dengan selamat, Roro Kartiko juga cepat lari keluar untuk membantu kakaknya menangkap pengancau.   Apakah yang terjadi di luar? Ketika itu, malam telah mulai tiba dan lampu-lampu di sekitar istana kadipaten telah dinyalakan oleh para perajurit penjaga. Akan tetapi, ketika dua orang perajurit sedang sibuk memasang lampu besar yang tergantung di tengah ruangan pendopo, tiba-tiba ada sinar hitam menyambar.   "Pyarrrr....!!" Lampu itu pecah berantakan terkena sabitan batu hitam yang menyambar tadi.   Dua orang perajurit itu terkejut bukan main dan ketika mereka melihat ada bayangan orang melompat masuk ke ruangan pendopo, mereka terkejut dan cepat menyerang. "Maling!" teriak mereka, akan tetapi teriakan mereka itu terhenti di tengah karena dua kali tamparan yang amat cepat datangnya membuat tubuh mereka terpelanting dan mereka roboh pingsan seketika!   Para perajurit penjaga lainnya mendengar suara pecahnya lampu penerangan itu dan melihat pula robohnya dua orang teman mereka. Cepat mereka berlari-larian menuju ke ruangan pendopo itu dan di situ, di dalam cuaca yang remang-remang, nampak berdiri sesosok tubuh manusia ramping dan terdengar suara halus seorang wanita yang berteriak nyaring, "Murwendo dan Murwanti, keluarlah kalau kalian memang gagah!"   Mendengar wanita itu menantang pangeran dan puteri, tentu saja par perajurit yang jumlahnya tujuh orang itu cepat menerjang dengan marah. Akan tetapi wanita itu menggerakkan kaki tangannya dan para pengeroyoknya roboh terpelanting ke kanan kiri. Terdengar teriakan-teriakan disusul robohnya tubuh mereka.   Kini para pengawal yang mendengar suara ribut-ribut, berlarian keluar dan sebentar saja lebih dari dua puluh orang perajurit pengawal mengurung pendopo itu.   "Pengacau gila, hayo kau menyerah sebelum mampus dalam pengeroyokan kami!" bentak seorang perwira pengawal.   Wanita itu berdiri sambil bertolak pinggang di tengah ruangan, memandang kepada para pengepung dan melihat betapa beberapa orang yang sudah dia robohkan itu terseret keluar, lalu dia berkata, "Babo-babo, majulah semua orang Puger kalau Si Kembar pengecut Murwendo dan Murwanti tidak berani menandingi aku!"   Tentu saja para pengawal menjadi marah dan mereka serentak maju, kini dengan keris dan tombak karena mereka menganggap wanita ini seorang pengacau yang amat berbahaya dan yang mengencam keselamatan pangeran dan puteri. Akan tetapi, tiba-tiba tubuh wanita itu berkelebat dan pandang mata pengeroyok menjadi kabur. Cuaca remang-remang itu membantu kecepatan gerakan wanita itu yang seolah-olah pandai menghilang dan tahu-tahu para pengeroyok di sebelah kirinya mawut diterjang oleh tamparan-tamparan dan tendangan-tendangan kakinya sebelum mereka sempat menggerakkan senjata mereka. Teriakan-teriakan terdengar disusul robohnya mereka dan senjata mereka beterbangan berjatuhan di atas lantai.   Para pengeroyok mendesak maju dari belakang, akan tetapi, tiba-tiba wanita itu membalikkan tubuh dan tangannya bergerak. Sebatang tombak yang telah dirampasnya menyambar dan membabat dari samping.   "Des-des-plakk!" Tiga orang rubuh dan tangkai tombak itu patah-patah, kemudian wanita itu melanjutkan amukannya dengan gerakan yang amat kuas tangkas dan cepat. Gerakannya seolah-olah di pandai terbang, seperti seeekor burung srikaan menyembari kupu-kupu dan setiap kali tangannya bergerak manampar, tentu ada seorang pengeroyok yang terpelanting. Dalam waktu singkat saja lebih dari sepuluh pengeroyoksudah roboh! Akan tetapi, lebih banyak lagi perajurit pengawal datang dan sebagian di antara mereka membawa obor sehingga ruangan pendopo yang luas itu kini menjadi terang benderang.   Para pengawal terkejut dan heran bukan main bercampur kagum ketika sinar obor menerangi wajah dan tubuh wanita yang mengamuk itu. Ternyata yang mengamuk itu adalah seorang dara yang amat cantik dan masih muda belia! Akan tetapi, beberapa orang pengawal yang dulu ikut dalam pasukan yang dipimpin oleh Padas Gunung dan Pragalbo, mengenal dara itu dan mereka berseru, "Dia orang Lumajang!"   Dara perkasa itu memang Sulastri adanya. Dengan hati tertekan penderitaan yang amat berat, Sulastri manuju ke Puger dan melakukan penyelidikan. Dari penduduk dia mendengar bahwa Adipati Puger, yang berjuluk Sang Prabu Bandardento, adalah seorang raja yang amat bijaksana dan baik. Akan tetapi menurut berita itu, putera Sang Prabu yang kembar tu, Pangeran Murwendo dan Puteri Murwanti, memang terkenal sebagai orang-orang muda yang aneh dan kadang-kadang suka melakukan hal-hal yang tidak terpuji, bahkan mendekati kekejaman. Tentu saja dia tidak dapat benyak memancing berita tentang kejahatan saudara kembar itu. Akan tetapi dia mendengar pula akan adanya tawanan-tawanan yang kini bereda di istana, kabarnya di antara para tawanan terdapat seorang pemuda dan seorang gadis yang dikabarkan akan menjadi mantu-mantu raja! Mendengar ini, tidak syok lagi hati Sulastri bahwa memang Joko Handoko dan Roro Kartiko yang dicarinya berada di situ, menjadi tawanan istana agaknya. Dia merasa penasaran dan marah sekali.   Andaikata Sulastri tidak sedang dihimpit kedukaan dan kekecewaan berhubung dengan adanya peristiwa Sutejo yang amat mengecewakan hatinya, agaknya dia akan bersikap hati-hati dan akan berusaha menolong kawan-kawannya itu dengan cara yang lebih halus. Akan tetapi, kedukaan dan kekecewaan membuat dia menjadi nekat. Dia seperti orang yang tidak peduli lagi akan nasibnya, tidak peduli lagi ada bahaya mengancamnya. Dengan marah dia malam itu juga lalu menyerbu istana kadipaten dan menantang-nantang kepada Murwendo dan Murwanti! Pengeroyokan para pengawal tidak membuat dia menjadi gentar, bahkan dia mengamuk dan merobohkan banyak pengawal dengan menggunakan kegesitan dan ketangkasannya. Betapa pun juga, dia tidak hendak menumpahkan rasa marah dan bencinya kepada para pengawal yang dia tahu hanya merupakan alat-alat belaka, maka dia tidak mau menyebar maut dan hanya merobohkan mereka dengan tenaga terkendali agar tidak ada yang tewas oleh tendangan atau pukulannya. Biarpun demikian, karena kedua tangannya mengandung aji kesaktian Hasto Nogo, maka setiap kali ada yang terkena sentuhan jari tangannya tentu terpelanting dan kalau tidak pingsan, tentu sedikitnya patah tulang atau salah urat, membuat mereka tidak dapat melanjutkan pengeroyokan lagi.   Dengan Aji Hasto Nogo di jari-jari tangannya dia mainkan Ilmu Silat Hasto Bairowo, dengan kecepatan seperti kilat menyambar-nyambar tubuhnya bergerak ke sana-sini dan kedua lengan yang sudah menjadi kebal oleh aji kesaktian itu, dia pergunakan untuk menangkis patah tombak-tombak dan memangkap keris-keris lawan yang kemudian dilemparkan begitu saja ke atas lantai. Para pengeroyoknya menjadi panik dan gentar sekali menghadapi wanita muda yang demikian saktinya, seolah-olah bukan manusia yang mereka hadapi melainkan seorang dewi kahyangan yang mempergunakan kesaktiannya yang mujijat!   "Tahan! Mundur semua!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan muncullah dua orang laki-laki di ruangan pendopo itu. Mereka ini bukan lain adalah Padas Gunung dan Pragalbo, dua orang senopati dan tokoh yang paling kuat dari Kadipeten Puger. Para pengawal tentu saja cepat mundur dan memberi jalan kepada dua orang ini dengan hati lega karena mereka semua tahu bahwa hanya dua orang senopati ini sajalah yang kiranya dapat menandingi dara yang mengamuk ini.   Sulastri menghentikan gerakannya dan memandang. Dia segera mengenal dua orang laki-laki itu dan dia menjadi marah sekali. Itulah dua orang laki-laki yang membantu Murwendo dan Murwanti dan yang mengerahkan pasukan menawan Joko Handoko dan Roro Kartiko dan tujuh orang anak buah Sriti Kencana. Dia memandang penuh perhatian. Yang seorang memegang sebatang suling hitam, kulitnya kuning dan mukanya berbentuk bulat telur. Orang ke dua bermuka hitam berbentuk persegi, matanya berseri dan pinggangnya terselip sebatang keris panjang.   "Hemm, aku mengenal kalian!" Sulastri menudingkan telunjuknya ke arah hidung mereka. "Kalian adalah kaki tangan Murwendo dan Murwanti yang pengecut, mengandalkan pengeroyokan dan menawan teman-temanku. Hayo suruh Murwendo dan Murwanti keluar menerima hajaran kaki dan tanganku. Kalau tidak berani, cepat bebaskan Joko Handoko dan Roro Kartiko bersama tujuh orang anak buah mereka. Kalau tidak, hemm,........Kadipaten Puger akan kubikin rata dengan Bumi!"   Hebat sekali tantangan dan ancaman itu, juga terdengar amat sombong dan semua itu terdorong oleh kemarahan Sulastri. Kemarahannya terhadap Sutejo ditumpahkan semua kepada orang-orang Puger maka tentu saja apa yang diucapkannya itu sudah tidak terkendali lagi olehnya.   Padas Gunung dan Pragalbo adalah dua orang tokoh Puger yang berkepandaian tinggi. Karena merasa bahwa mereka memiliki kepandaian tinggi, maka tentu saja mereka tadi meresa malu dan tidak senang menyaksikan betapa para pengawal mengeroyok seorang dara muda, sungguhpun dari gerakan gadis itu mereka dapat menduga bahwa gadis itu memang hebat sekali. Apalagi setelah mereka mengenal gadis itu bukan lain adalah seorang di antara pengawal-pengawal Adipati Lumajang yang pernah mereka saksikan sepak terjangnya. Akan tetapi, mendengar tantangan dan ancaman Sulastri, mereka menjadi marah sekali.   "Bocah sombong! Kaukira aku takut padamu?" bentak Padas Gunung yang tak pandai bicara.   Akan tetapi Pragalbo tersenyum lebar. "Ha-ha-ha, bocah yang bermulut lancang. Kau seperti seekor anak harimau yang baru pandai mengaum. Berani benar kau menyombongkan diri di Puger, seolah-olah di sini tidak ada yang jantan. Ketahuilah, Kakang Pads Gunung ini, dan aku Pragalbo, adalah banteng-banteng dari Puger, maka lebih baik kau menyerah dan kami hadapkan Sang Adipati daripada engkau sampai roboh terluka. Sungguh kami berdua akan merasa malu kalau harus melawan bocah yang masih ingusan!"   Sulastri membelalakkan matanya dan membanting kaki kanannya, tanda bahwa dia marah bukan main disebut bocah ingusan. Sepasang matanya yang lebar itu seolah-olah hendak menelan dua orang itu. "Keparat! Aku Sulastri tidak takut menghadapi celeng-celang macam kalian. Jangankan hanya kalian berdua, biar kelian kerahkan seluruh perajurit Puger, aku tidak akan mundur setapak!"   "Babo-babo! Sumbarmu seperti dapat memecahkan Gunung Bromo dan melangkahi Gunung Mahameru saja! Langkahmu seperti Srikandi! Coba, hendak kulihat apakah benar-benar engkau segagah Srikandi!" Padas Gunung yang sudah tak dapat menahan kemarahannya itu sudah menerjang ke depan, menggerakkan suling hitamnya menusuk ke arah ulu hati Sulastri.   "Hehh!" Sulastri membentak dan menggerakkan tubuhnya miring sambil menangkis dengan lengan kirinya. Melihat dara muda itu berani manangkis suling hitamnya, diam-diam Padas Gunung tersenyum mengejek. Rasakan sekarang, pikirnya dan dia mengerahkan tenaganya. Sulingnya itu terbuat dari baja hitam yang keras sekali, dapat mematahkan keris pusaka yang ampuh, maka kini tentu lengan anak perempuan itu akan patah karena berani menagkis suling hitamnya.   "Dukkk!"   Padas Gunung kaget setengah mati. Bukan saja lengan dara itu tidak apa-apa, malah tangannya manjadi gemetar dan hampir saja sulingnya terlepas karena tangan itu seperti lumpuh terserang tenaga sakti yang menggetar dari lengan lawan. Dia tidak tahu bahwa kedua tangan Sulastri telah terisi oleh Aji Trenggiling Wesi, yaitu ilmu kekabalan yang dahulu diwariskan oleh Ki Jembros! Dan sebelum dia tenang kembali dari kagetnya, Sulastri sudah menggerakkan kakinya menendang ke arah dada. Padas Gunung terkejut dan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri dari kaki yang menyambar seperti kilat itu hanya dengan cara melempar tubuh ke belakang! Dia membanting tubuh ke belakang dan bergulingan sehingga dia terhindar dari tendangan kilat, namun pakaiannya menjadi kotor terkena debu dan mukanya menjadi merah sekali karena dalam segebrakan saja hampir dia roboh oleh dara ini! Karena merasa malu, dia menjadi marah bukan main. Teriakan panjang mengiringkan gerakannya menyerang dengan menggunakan suling hitamnya dan memang Padas Gunung bukan seorang lawan yang lemah. Sulingnya berubah menjadi sinar hitam yang bergulung-gulung dan dari gulungan sinar hitam itu terdengar suara melingking nyaring.   Akan tetapi sekali ini dia menghadapi seorang lawan yang amat luar biasa. Sulastri yang maklum akan keampuhan senjata lawan dan kesaktian laki-laki itu, cepat mengerahkan ajinyayang disebut Turonggo Bayu sehingga tubuhnya berkelebatan, kadang-kadang seperti lenyap dari pandangan banyak orang saking cepatnya sehinga kalau tadinya Padas Gunung menyerang dengan pengerahan segala macam ilmunya, kini oleh kecepatan Sulastri, dia berbalik menjadi terdesak hebat. Sedemikan cepatnya gerakan dara itu sehingga dia sama sekali tidak memperoleh kesempatan sedikit pun untuk membalas menyerang. Beberapa kali dia terhuyung-huyung kerena desakan Sulastri dan bahkan satu kali pundaknya terserempet tamparan Hasto Nogo sehingga dia memekik kesakitan dan mukanya menjadi pucat.   Melihat ini, Pragalbo memekik panjang dan terjun ke dalam medan laga. Kerisnya merupakan sinar kehijauan yang menyambar ke arah lambung Sulastri. Dara ini cepat meloncat ke belakang mengelak dan mengejek, "Huh, sudah kuketahui bahwa orang-orang Puger hanya merupakan sekelompok pengecut kecil yang bermulut besar. Majulah semua, hayo keroyoklah!" Dia membentak dan kini mengamuk, bukan hanya gerakannya yang amat cepat,namun kini tangannya juga melakukan serangan bertubi-tubi sehingga Pragalbo dan Padas Gunung kembali terdesak biarpun mereka maju berbareng!   Tiba-tiba terdengar bentakan, "Hayo kerayok! Bunuh dia, bunuh!"   Mendengar teriakan ini Sulastri meloncat ke belakang dan memandang. Bangkit kemarahannya ketika dia melihat Murwendo dan Murwanti sudah berdiri dengan keris terhunus di tangan, akan tetapi ketika dia hendak menyerbu, Padas Gunung dan Pragalbo sudah menghadang dan menyerangnya lagi sehingga kembali dia mengamuk dengan kemarahan yang semakin meluap ketika dia melihat dua saudara kembar itu.   Akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan, "Diajeng Sulastri.....!" Dan berkelebatanlah bayangan Joko Handoko yang meloncat ke tengah ruangan itu. "Tahan, Padas Gunung dan Paman Pragalbo......!"   "Bunuh perempuan ini! Bunuh...!" Kembali Murwanto berseru.   "Mbakayu Sulastri....!" Terdengar suara wanita menjerit dan muncullah Roro Kartiko meloncat ke dalam kepungan itu dan memeluk Sulastri.   "Kakangmas Joko! Diajeng Roro! Kalian selamat....?" Sulastri girang bukan main sambil memeluk Roro Kartiko.   "Bunuh pengacau ini! Joko Handoko dan Roro Kartiko, mundur kalian!" terdengar Murwendo membentak lagi sambil mengacungkan kerisnya demikian pula Murwanti yang memandang kepada Sulastri dengan penuh kebencian.   "Jangan ganggu dia!" Joko Handoko berseru. "Aku akan membelanya!"   "Dan aku akan melawan mati-matian!" kata pula Roro Kartiko.   Kini tiba orang itu sudah berdiri saling membelakangi, membentuk pertahanan segi tiga dengan sikap gagah, kedua tangan terkepal dan mata mereka bersinar-sinar penuh kemarahan. Mereka bertiga maklum bahwa keadaan mereka gawat sekali. Mereka telah dikepung dan terancam bahaya maut. Namun, mereka tahu bahwa lebih baik mati daripada menyerah kepada dua orang kembar yang gila itu. Dan kakak berdik dari Tuban itu tidak rela membiarkan Sulastri celaka sendiri. Kalau perlu, mereka akan mati bersama! Terutama sekali Joko Handoko yang mencintai Sulastri, tentu saja siap untuk mengorbankan apa saja, nyawa kalau perlu, demi membela dan melindungi wanita perkasa yang dicintanya itu.   "Akan tetapi Andika belum tahu apakah akan demikian mudah saja Andika dapat membuat aku tidak berdaya, Sulastri. Jangan mengira bahwa Andika akan mudah saja manawanku. Aku tidak selemah Padas Gunung dan Pragalbo!"   Sulastri mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa Adipati ini mencobanya saja, menyerang dengan kata-kata. "Hemm, hal itu harus dibuktikan dulu."   "Andika juga tidak memperhitungkan siasat dan kecerdikanku. Lihat saja!" Tiba-tiba Adipati itu menekan ujung meja dan tiba-tiba saja kursi yang didudukinya meluncur ke belakang dan lenyap di belakang sebuah pintu yang cepat tertutup kembali. Tentu saja Sulastri terkejut bukan main, akan tetapi Joko Handoko dan Roro Kartiko yang sudah mengenal Adipati itu, tidak menjadi heran atau kaget. Pintu terbuka kembali dan kursi yang diduduki Adipati itu meluncur datang lagi mendekati meja.   "Ha-ha-ha,bukankah mudah saja aku menyelamatkan diri? Dan belum Andika lihat ini pula!" Dia bertepuk tangan tiga kali dan tiba-tiba semua pintu yang jumlahnya ada lima buah di ruangan itu terbuka dan muncullah lima orang dari masing-masing pintu, berjumlah dua puluh orang perajurit bersenjata lengkap dan dipimpin oleh Padas Gunung dan Pragalbo sendiri! Mereka itu sudah siap membela Sang Adipati dan kini mereka semua memandang kepada adipati itu dengan tegang.   Akan tetapi Sang Prabu Bandardento tertawa dan melambaikan tangan kepada dua orang senopati yang juga bertugas sebagai pengawal itu. "Ha-ha, mundurlah dan tarik kembali pasukanmu. Ini hanya main-main saja!"   Dua orang tokoh Puger itu kelihatan lega dan mereka memberi isyarat. Semua perajurit itu tanpa mengeluarkan mundur dan lenyap dari pintu-pintu itu dan daun pintu tertutup kembali.   "Nah, lihatlah Sulastri. Bukankah tidak akan mudah bagimu andaikata kami menggunakan perangkap?"   Sulastri tertegun dan diam-diam harus mengakui bahwa memang sukar sekali baginya untuk menyelamatkan diri. Tidak disangkanya bahwa Adipati Puger demikian cerdiknya. Dia menarik napas panjang dan berkata. "Hamba tidak mengira bahwa Paduka adalah seorang Adipati yang amat bijaksana dan juga amat cerdik. Hamba mengaku kalah."   "Ha-ha-ha, jangan Andika merendahkan diri, Nini. Aku amat suka kepada orang-orang muda gagah perkasa dan baik budi. Aku telah menganggap bahwa Joko Handoko dan Roro Kartiko selain sebagai tamu agung, juga sebagai keluarga sendiri. Dan sekarang, Andika sebagai tunangan Joko Handoko telah datang, sungguh baik sekali......"   "Apa.....???" Sulastri berseru dengan mata terbelalak.   Muka Joko Handoko menjadi merah sekali dan cepat dia berkata, "Diajeng Sulastri, harap kau suka maafkan aku dan terserah kalau kau anggap aku tidak tahu malu, aku siap menerima kemarahan dan hukuman darimu. Ketahuilah, aku dan Adikku ditawan oleh Murwendo dan Murwanti dan mereka berdua itu hendak memaksa kami berdua menjadi jodoh mereka. Kami menolak dan kepada Sang Adipati tidak dapat membohong, maka dengan terus terang aku katakan bahwa aku tidak dapat menikah dengan Murwanti karena aku telah mempunyai seoerang dewi pujaan, seorang yang kucintai sepenuh jiwa ragaku. Orang itu adalah Andika sendiri, Diajeng Sulastri. Aku tahu bahwa aku tidak berharga, akan tetapi..... aku tidak dapat berbohong dan....   "Mbakayu Sulastri, kakangmas Joko Handoko telah berkata dengan terus terang. Seperti juga aku telah membuka rahasia hatiku bahwa aku hanya dapat berjodoh dengan Kakangmas Sutejo...."   "Ahh....??!" Kembali Sulastri terbelalak dan mukanya berubah menjadi pucat.   Sang Prabu Bandardento cepat menengaok ke kanan dan semua orang juga menengok. Dari sebuah pintu muncullah Murwendo dan Murwanti. Mereka memberi hormat kepada Ayah mereka dan memandang kepada tiga orang muda itu dengan mata beringas, terutama kepada Sulastri. Akan tetapi ayah mereka sudah cepat mempersilahkan dua orang muda itu duduk, lalu menegur, "Kalian berdua datang tanpa kupanggil, ada keperluan apakah gerangan?"   Murwendo cepat memandang ke arah tiga orang muda itu dan Murwanti melirik ke arah Ayahnya sambil cemberut. Lalu terdengar Murwendo berkata, "Kanjeng Romo, bukankah saya dan Diajeng Murwanti putera dan puteri Kanjeng Romo sendiri?"   Adipati Puger itu mengerutkan alisnya dan matanya menatap tajam wajah puteranya, penuh selidik, lalu menegur, "Murwendo, ucapan apakah yang keluar dari mulutmu ini?Tentu saja kalian berdua adalah putera dan puteriku. Pernahkah aku menyangkal akan hal itu?"   "Paduka memang tidak pernah menyangkalnya, akan tetapi Paduka bersikap lebih manis kepada mereka ini daripada terhadap kami berdua! Paduka bercengkerama dengan mereka bertiga ini seolah-olah kami berdua yang menjadi orang luar! Murwendo menyatakan rasa penasaran hatinya.   "Benar, Kanjeng Romo memang tidak suka kepada kita, Kakangmas!" Murwanti juga berkata dengan bibir cemberut.   Adipati itu menarik napas panjang. "Memang demikianlah anak-anakku. Aku selalu tidak suka kepada yang busuk dan jahat. Mereka bertiga ini adalah ornag-orang yang gagah perkasa dan patut dipuji. Jangankan kalian sebagai anak-anakku, biarpun diriku sendiri, kalau jahat dan busuk, tentu aku tidak akan menyukainya."   "Kenapa Kanjeng Romo menganggap kami busuk? Kami ingin menikah dengan Roro Kartiko dan Joko Handoko, apakah itu jahat dan busuk? Mengapa Ayah tidak memenuhi permintaan anak sendiri dan melindungi mereka?" Murwendo mendesak.   "Sepatutnya Kanjeng Romo mendukung kehendak kami ini kalau Kanjeng Romo ingin melihat anak-anak sendiri berbahagia. Akan tetapi Kanjeng Romo malah menghalangi!" Murwanti juga menuntut. "Dan kalau memang tidak boleh menikah dengan kami, mengapa mereka tidak dilepas kembali saja, akan tetapi malah diagung-agungkan di sini? Bukankah itu membuat kami berdua merasa panas dan menderita?"   "Atau sebaiknya mereka dibunuh saja karena telah membikin kecewa hati kami! Akan tetapi Ayah memperlakukan mereka lebih manis daripada kami!" Murwendo kembali menyerang.   Diserang bertubi-tubi oleh kedua orang anaknya itu, Sang Prabu Bandardento menjadi pucat. Di dalam hatinya dia ingin menjerit bahwa dia membenci mereka, bahwa dia muak terhadap mereka karena ulah mereka sendiri, karena dua orang kakak beradik kembar itu telah berbuat hina, telah berjina sendiri. Ingin dia membuka rahasia bahwa mereka bukanlah anak-anaknya, bukan darah dagingnya, melainkan hasil perjinaan selirnya dengan Ki Juru Taman! Akan tetapi tak mungkin dia melemparkan noda dan aib itu di depan semua orang yang hanya akan mencemarkan nama keluarganya sendiri. Dia menarik napas panjang berkali-kali sedangkan Sulastri, Roro Kartiko dan Joko Handoko hanya mendengarkan dengan hati tegang sambil bersiap-siap kalau-kalau hasil teguran-teguran dua orang kembar itu akan mendatangkan akibat buruk bagi mereka.   Akhirnya Sang Prabu Bandardento berkata sambil memandang tajam kepada dua orang anaknya itu, "Murwendo dan Murwanti! Sikap kalian ini saja menunjukan betapa kalian berdua adalah orang-orang yang bersikap durhaka terhadap orang tua, akan tetapi dengarlah engapa aku bersikap menentang niat kalian mengawini Joko Handoko dan Roro Kartiko! Sudah kukatakan bahwa aku tidak suka melihat kalian memaksa mereka menjadi jodoh kalian. Kalau mereka dengan suka rela menjadi jodoh, aku akan merasa beruntung sekali. Akan tetapi, jodoh hanya dapat dilakukan secara suka rela oleh kedua pihak berdasarkan cinta, dan aku tahu bahwa mereka tidak dapat berjodoh dengan kalian karena mereka tidak mencintai kalian, karena mereka telah mempunyai pujaan hati masing-masing yang mereka harapkan menjadi jodoh mereka. Joko Handoko dan Roro Kartiko sampai ke Puger karena tindak kekerasan kalian maka untuk menebus kesalahan kalian itu, aku bersikap baik terhadap mereka dan menganggap mereka sebagai tamu agung. Hal itu adalah wajar, bukan?"   "Memang wajar, akan tetapi wajarkah kalau Kanjeng Romo juga menerima wanita pengacau ini sebagai tamu yang dihormati dan yang boleh beramah-tamah dengan Kanjeng Romo? Padahal baru saja dia hampir membunuh belasan orang pengawal kita!" Murwendo membantah sambil menuding ke arah Sulastri.   Namun Sang Prabu Bandardento tenang saja menghadapi serangan puteranya itu. "Murwendo, jangan menuruti panasnya hati dan pikirlah baik-baik, karena panasnya hati hanya akan mengeruhkan pikiran dan mengacaukan pertimbangan. Nini Sulastri ini adalah seorang dara perkasa, murid Sang Empu Supamandrangi dari Puncak Bromo yang arif bijaksana, maka segala tindakannya tentu mempunyai dasar yang kuat. Dia memang datang menyerbu ke Puger, akan tetapi tindakannya itu hanya menjadi akibat daripada perbuatan kalian yang sesat, yang telah menculik Joko Handoko dan Roro Kartiko. Dia datang dengan niat menolong dua orang muda yang menjadi sahabat baiknya. Tentu saja dalam penyerbuan itu terjadi pengeroyokan oleh para pengawal dan dia terpaksa merobohkan belasan orang pengawal. Akan tetapi, tidak ada seorang pun pengawal yang tewas, padahal akan mudah saja dia menewaskan para pengawal kalau dikehendakinya! Selain itu, dia adalah dewi pujaan Joko Handoko, dara yang dicintainya, maka sudah sepatutnya kalau dia datang menolong mereka......"   Jilid 58   "Keparat! Kalau begitu dia harus mampus!" Tiba-tiba Murwanti memekik dan meloncat ke depan, mencelat dari kursinya dan dengan keris terhunus dia menyerang Sulastri yang masih duduk di kursinya dan memandang dengan sikap tenang saja.   "Wuuuuttt..... plakkk.... dessss.......!!"   Tubuh Murwanti terpelanting ketika Sulastri sambil duduk menangis serangan kerisnya dan balas menampar. Murwanti terbanting ke atas lantai dengan keras, kerisnya terlampar jauh. Melihat ini, Murwendo sudah bangkit dan mencabut kerisnya.   "Murwendo! Murwanti! Jangan kurang ajar kalian! Hayo kalian duduk kembali dan jangan bergerak!" Sang Prabu Bandardento menghardik dan dua orang kembar itu duduk kembali dengan muram dan mata memandang penuh kebencian kepada Sulastri.   "Kanjeng Romo, lebih baik Kanjeng Romo sekarang membunuh kami berdua saja!" Tiba-tiba Murwanti berkata dan menangis terisak-isak. Murwendo juga mengusap air matanya.   "Ah, kalian benar-benar amat tak tahu diri!" Sang Prabu Bandardento juga menjadi marah.   "Kanjeng Romo amat tidak adil terhadap kami. Kanjeng Romo lebih percaya kepada tiga orang yang asing ini. Padahal siapa tahu mereka ini adalah mata-mata Lumajang yang menyelidiki keadaan kita? Siapa tahu kalau mereka itu hanya membohong saja? Kami berdua melihat sendiri betapa antara mereka hanya ada persahabatan biasa, akan tetapi kini tiba-tiba saja mereka mengaku bahwa antara Joko Handoko dan Sulastri ada hubungan cinta. Kami tidak percaya kalau tidak ada bukti! Kanjeng Romo, kalau memang benar bahwa Sulastri adalah pujaan hati Joko Handoko mereka harus membuktikannya dengan menikah di sini! Kalau tidak, kami tidak percaya dan kami terpaksa akan menyiarkan berita keluar istana kadipaten bahwa Kanjeng Romo bersikap tidak adil terhadap kami berdua dan lebih membela orang-orang luar seperti mereka ini!"   Sulastri terkejut sekali mendengar ini. Ingin dia turun tangan menghajar dua orang kembar itu, akan tetapi dia teringat kepada dua orang sahabatnya dan kepada Sang Adipati, maka dia menahan sabar.   Adipati Puger juga terkejut, akan tetapi dia lalu berpikir. Memang amat memalukan kalau sampai dua orang anaknya itu menyiarkan berita yang tentu akan dilebih-lebihkan di luar istana. Dan memang bukan niatnya untuk memanjakan tiga orang muda dari luar itu. Sikapnya yang baik itu hanya berdasarkan kebijaksanaan dan berhati-hati karena dia tidak mau bermusuhan dengan Kadipaten Lumajang yang besar dan kuat. Tantangan Murwendo untuk mengawinkan Joko Handoko dengan Sulastri tidak ada buruknya. Tentu mereka yang bersangkutan tidak akan keberatan dan baginya ada dua keuntungan. Pertama, dia akan menunjukkan kepada anak kembar itu bahwa tidak ada niat memanjakan luar dalam hatinya. Ke dua, dia kan berjasa bagi mereka berdua dan berarti berjasa pula bagi Lumajang yang kelak mendengar akan hal itu.   "Baiklah! Aku akan membuktikan bahwa mereka ini adalah orang-orang muda gagah perkasa yang tidak sudi menipu dan bebohong seperti kalian! Joko Handoko dan Nini Sulastri, kuharap Andika berdua tidak menolak untuk merayakan pernikahan di Kadipaten Puger ini, dan aku sendiri yang akan menjadi wali kalian!"   Wajah Joko Handoko menjadi merah sekali dan wajah Sulastri menjadi pucat. Melihat ini, tiba-tiba Murwanti berkata, "Lihat, Kanjeng Romo. Mereka itu membohong! Lihat wajah perempuan itu yang menjadi pucat, tanda bahwa dia membohong dan dia tidak mau menikah dengan Joko Handoko!"   Joko Handoko mengangkat muka memandang dan Sulastri juga memandang kepadanya. Tiba-tiba kedua pipinya menjadi merah sekali dan dua titik air matanya hampir keluar karena dia teringat kepada Sutejo. Akan tetapi, mendengar serangan Murwanti itu, cepat dia berkata sambil menunduk, "Terserah kepada Paduka....."   Jawaban itu mengejutkan Murwanti dan menggirangkan hati Joko Handoko dan Roro Kartiko. Bahkan Roro Kartiko lalu merangkul dan menciumi pipi Sulastri dengan mata basah air mata!   "Bagaimana, Joko Handoko? Andika belum menjawab. Setujukah?" tanya Sang Prabu Bandardento.   "Hamba.... setuju, Gusti."   "Ha-ha-ha, lihat anak-anakku. Tidak ada apa-apa yang perlu dicurigai. Dan pernikahan itu akan segera diresmikan dan dirayakan, dan aku akan memberi hadiah yang amat berharga, yang tentu akan menggirangkan sepasang mempelai. Joko Handoko dan Nini Sulastri, tahukah kalian hadiah apa yang akan kuberikan kepada kalian? Ha-ha, tentu kalian tidak akan dapat menerkanya. Aku akan menghadiahkan keris pusaka Kolonadah kepada kalian."   "Ehhh......??!!" Seruan ini keluar dari tiga buah mulut, yaitu mulut Sulastri, Joko Handoko, dan Roro Kartiko.   "Ha-ha-ha, tentu kalian merasa heran, bukan? Ketahuilah bahwa keris pusaka itu berhasil dirampas oleh Padas Gunung dan Pragalbo dari tangan Resi Harimurti, setelah Resi Harimurti membunuh Ki Ageng Palandongan di tengah jalan, tidak jauh dari batas wilayah Puger. Keris pusaka itu berada ditanganku, dan tersimpan di dalam kamar pusaka Puger. Akan tetapi, pusaka itu akan kuhadiahkan kepada sepasang mempelai dan kalian bertiga setelah itu boleh kembali ke Lumajang membawa keris pusaka Kolonadah dan menghaturkannya kepada Adipati Aryo Wirorojo di Lumajang disertai salam hormatku."   Tiga orang muda perkasa itu saling pandang dan diam-diam mereka merasa girang karena tidak mereka sangka-sangka bahwa mereka akan begitu mudah mendapatkan kembali keris pusaka itu. Akan tetapi Murwendo dan Murwanti makin marah, makin keruh wajah mereka dan mereka lalu pergi meninggalkan ruangan itu setelah mohon diri dengan sikap kaku dari ayah mereka!   Tiga orang muda itu pun diperkenankan mengundurkan diri dan Sulastri diperkenankan untuk berdiam di satu kamar bersama Roro Kartiko. Setelah tiba di dalam kamarnya, Roro Kartiko merangkul dan menciumi Sulastri dengan penuh kebahagiaan. "Aduhh, Mbakayu Sulastri....., betapa bahagia rasa hatiku. Ingatkah engkau betapa dulu aku tergila-gila kepadamu sebagai Bromatmojo? Aku mengharapkan manjadi isterimu dan aku cinta kepada.......Bromatmojo. Akan tetapi ternyata engkau adalah Mbakayu Sulastri dan sekarang bahkan engkau akan menjadi isteri Kakangmas Joko Handoko, menjadi kakak iparku! Betapa gembira rasa hatiku dan terima kasih kepadamu, Mbakayu Sulastri.... eh, Mbakayu.... ehh, kenapa kau? Kenapa kau menangis.......?"   Roro Kartiko terkejut sekali melihat Sulastri, dara perkasa yang amat gagah dan sakti itu, yang amat dikaguminya semenjak dahulu menyamar sebagai pria, kini menjatuhkan diri di atas pembaringan, menyembunyikan mukanya di atas bantal dan menangis tersedu-sedu! Dia cepat merangkulnya dan mengguncang-guncang pundaknya, akan tetapi Sulastri tetap menangis terisak-isak karena dara ini sedang membiarkan semua ganjalan hatinya mencair dan membanjir keluar dari air matanya. Semua ganjalan hatinya sejak perpisahannya dengan Sutejo selama ini ditahan- tahannya. Kesedihan yang dideritanya yang tak pernah dapat dikeluarkan sebagai pencurahan di depan siapa pun, hanya ditanggungnya secara diam-diam, dan hanya dapat managisi kekecewaannya secara diam-diam pula, kini mendapatkan kesempatan di depan Roro Kartiko. Pertahanan itu bobol dan air kedukaan yang sudah hampir meluber itu kini ambrol dan membanjir tak dapat dibendung lagi. Dia menangis, mengguguk seperti seorang anak kecil.   Duka timbul dari perasaan iba diri. Makin diingat, makin nyata nampak betapa dirinya patut dikasihani, betapa dirinya amat menderita, bahkan segala macam peristiwa duka yang dulu-dulu bermunculan dan teringat semua sehingga menambah besar rasa iba diri itu. Demikian pula dengan Sulastri. Ketika dia manangis itu, ketika dia teringat betapa hancur hatinya karena perpisahannya dengan Sutejo, karena melihat pemuda itu melakukan hal-hal yang amat menyakitkan hatinya, teringatlah dia akan keluarganya yang sudah tidak ada, teringat akan Mbakayunya, dan guru-gurunya, yaitu Ki Jembros dan Empu Supamandrangi yang keduanya mati karena kejahatan Resi Mahapati. Teringat betapa dia kini sebatangkara, tanpa masa depan yang baik, dan kini di bahkan terpaksa akan menikah dengan Joko Handoko! Tentu saja dia tidak membenci Joko Handoko yang diketahuinya merupakan seorang sahabatnya, sahabat mereka, yaitu dia dan Sutejo! Akan tetapi, mana mungkin dia menjadi isteri orang lain selama dia tahu bahwa hatinya masih tetap mencintai Sutejo?   Melihat Sulastri menangis begitu sedih, mengguguk seperti anak kecil, Roro Kartiko maklum bahwa dia harus mendiamkan dulu sahabatnya itu. Dan mendengar serta melihat tangis menyedihkan itu, dia tidak dapat menahan pula air matanya. Dipeluknya dan diusapnya rambut kepala Sulastri dan kadang-kadang dia mengusap air matanya sendiri. Pada dasar batin manusia memang terdapat cinta kasih yang suci. Setiap orang akan merasa terharu dan ikut pula bersedih kalau menyaksikan orang lain dalam duka cita yang hebat. Air mata kita sukar ditahan karena rasa haru menggerogoti hati kita kalau kita melihat pemandangan yang menyedihkan, melihat penderitaanorang lain. Sebaliknya, sukar pula bagi kita untuk menahan senyum kalau kita mendengar atau melihat orang orang lain tertawa gembira. Kita mempunyai dasar watak yang seperti itu, gembira kalau melihat orang lain berbahagia, dan terharu kalau melihat orang lain menderita. Bukankah itu cinta kasih namanya? Sayang, sinar kasih yang hanya tinggal sedikit ini akhirnya lenyap sama sekali tertiup oleh loba, tamak dan angkara murka dari si aku yang terlalu mementingkan diri pribadi sehingga perasaan yang amat suci itu tidak nampak lagi, berubah menjadi perasaan gembira melihat orang lain menderita dan iri hati melihat orang lain bahagia!   Setelah mereda tangis Sulastri, akhirnya Roro Kartiko bertanya halus, "Mbakayu Sulastri, kita adalah antara orang sendiri, setidaknya, aku adalah sahabatmu, bukan? Kita sudah sering berjuang bahu-mambahu dan bantu-membantu, sama-sama terancam bahaya maut. Maka, kiranya sudah sepantasnya kalau engkau memberi tahu kepadaku mengapa engkau begini berduka, Mbakayu? Ataukah hal itu merupakan rahasia bagimu? Setidaknya, katakanlah apa yang dapat kulakukan untuk membantumu?"   Sulastri mengusap air matanya dan terisak, dada dan pundaknya berguncang, mukanya agak pucat dan kedu matanya merah. Bantal yang dipakai menyembunyikan muka tadi sudah basah semua. Akhirnya berhenti juga tangisnya dan dengan kekuatan batinnya, dia membuat dirinya tenang kembali. Dipandanginya Roro Kartiko dan berkatalah dia dengan suara serak, "Diajeng Roro, aku hanya membuat engkau dan kakangmas Joko Handoko kecewa dan berduka saja."   Roro Kartiko mengerutkan alisnya dan menatap wajah yang agak pucat dengan rambut kusut namun makin nampak kecantikannya yang wajar itu, lalu memegang tangan Sulastri. Mereka duduk berdampingandi atas pembaringan itu. "Mbakayu Sulastri, sudah kukatakan tadi bahwa kita adalah sahabat-sahabat yang akrab dan baik, yang patut membagi suka-duka, bukan? Apakah kau kira kami kakak beradik akan senang kalau melihat kau berduka? Tidak, katakanlah saja, Mbakayu, seperti jamu yang pahit, hal-hal yang tidak menyenangkan lebih baik dikatakan terus terang, daripada dipendam dalam hati."   Sulastri menarik napas panjang. "Ketahuilah, Diajeng Roro, aku tidak mungkin dapat menikah dengan kakakmu, akan tetapi.... aku tahu pernikahan itulah yang akan menyelamatkan kita bertiga, yang memungkinkan kita bertiga lolos dengan selamat dari tempat ini."   Pengakuan ini amat mengejutkan hati Roro Kartiko, juga amat menyakitkan hatinya karena dara itu maklum betapa Kakaknya menaruh hati cinta yang mendalam terhadap Sulastri. Akan tetapi, dia tidak memperlihatkan hal itu pada wajahnya yang tetap tanang ketika dia bertanya, "Kalau boleh aku mendengar, mengapa engkau tidak dapat menikah dengan Kakangmas Joko, Mbakayu?"   Biarkan Roro Kartiko bersikap tenang dan biasa, namun pandang mata Sulastri yang tajm dapat melihat kekecewaan membayang di ujung bibir dan pandang mata dara itu, maka dia menarik napas panjang, menunduk dan menjawab lirih, "Aku..... aku tidak cinta kepadanya, Diajeng. Engkau juga tahu, aku....aku mencintai orang lain, mana mungkin aku menjadi isterinya? Aku tidak mungkin menjadi isterinya, akan tetapi pernikahan itu sajalah yang dapat menyelamatkan kita bertiga. Aku menjadi bingung sekali, Diajeng Roro Kartiko."   Hening sejenak. Sulastri tahu bahwa pengakuannya itu memukul dan menyedihkan hati Roro Kartiko yang tadi kelihatan begitu gembira mendengar keputusan Adipati Puger. Akan tetapi dia tidak tahu bahwa ada hal lain yang menghancurkan hati Roro Kartiko pada saat itu. Roro Kartiko membuang muka untuk menyembunyikan matanya yang terasa panas dan air matanya memenuhi rongga matanya. Jantungnya seperti ditusuk keris beracun. Tadinya dia melihat cahaya harpan amat indah bagi kakaknya dan bagi dia sendiri. Memang dia pernah mendengar pengakuan Sulastri bahwa dara itu mencintai Sutejo dan hal ini kadang-kadang membuat hatinya perih kalau dia mengenangkan Sutejo sebagai pria yang menarik hatinya dan sekaligus menjatuhkan hatinya, sebagai pengganti Bromatmojo. Akan tetapi, Sulastri tidak pernah lagi membicarakan Sutejo dan perpisahan mereka membuat dia menduga-duga penuh harapan bahwa hubungan cinta kasih antara Sulastri dan Sutejo telah putus. Apalagi, melihat kemungkinan pernikahn Sulastri dan Kakaknya. Semua begitu indah, begitu tepat! Akan tetapi sekarang, tiba-tiba saja Sulastri mengatakan bahwa dia tidak mencintai kakaknya, melainkan mencintai orang lain. Siapa lagi kalau bukan Sutejo?   "Ahhhh...!" Tiba-tiba Roro Kartiko menjerit dan meloncat berdiri, lalu berlari.   Sulastri kaget bukan main mendengar jerit ini. Cepat dia mengankat muka memandang dan melihat Roro Kartiko sudah berlari hendak keluar dari dalam kamar itu.   "Eh, Diajeng Roro....!!" Dia meloncat bangun dan memanggil.   "Aku....aku harus memberi tahu kepada Kakangmas Joko...!" Roro Kartiko berkata tanpa menoleh dan dari suaranya Sulastri maklum bahwa dara itu menangis. Dia lalu membanting dirinya di atas pembaringan, menelungkup dan termenung. Dia sudah mengecewakan hati Roro Kartiko, pikirnya, dan tentu Joko Handoko akan merasa lebih kecewa lagi. Akan tetapi,memang jamu itu pahit, benar Roro Kartiko, pikirnya. Lebih baik berterus terang sehingga jelas semua daripada memendam perasaan di dalam hati. Biarlah Joko Handoko minun jamu pahit, mendengar bahwa dia tidak membalas cinta pemuda itu karena telah mencintai pemuda lain. Penjelasan itu ada baiknya bagi Joko Handoko. Akan tetapi, mereka harus menikah! Kalau tidak sudah pasti Murwendo dan Murwanti tidak akan diam begitu saja, tentu akan membunuh mereka bertiga dengan alasan bahwa mereka bertiga membohong dan mungkin benar mata-mata Lumajang seperti yang dituduhkan. Dan kalau mereka menolak untuk menikah, Sang Adipati Puger tentu juga kehilangan kepercayaannya. Memberontak dan berusaha meloloskan diri? Agaknya akan sukar sekali dan membahayakan, apa lagi kalau dia harus melindungi Joko Handoko, Roro Kartiko, dan tujuh orang anggota Sriti Kencana! Tidak mungkin dia menghadapi dan melawan orang sekadipaten Puger! Ah, dia merasa betapa hancur hati Joko Handoko dan Roro Kartiko. Dia tadi tidak dapat mengelak lagi dan terpaksa mengakui bahwa orang yang dia cintai adalah Sutejo! Pengakuan yang sekaligus menghancurkan hati kakak beradik itu karena kakanya mencintai dia dan adiknya mencintai Sutejo! Adakah suatu kebetulan yang lebih kejam daripada ini? Sulastri termenung. Dia sendiri merasa betapa hancur hatinya karena cinta gagal, bukan karena Sutejo tidak membalas cintanya, sama sekali tidak. Akan tetapi cinta di antara mereka juga hancur karena perbuatan Sutejo yang telah membantu Mahapati dan membunuh gurunya, Empu Supamandrangi! Dia sendiri merasakan penderitaan cinta gagal, dan kini dialah yang menjadi penyebab gagalnya cinta dalam hati Joko Handoko dan Roro Kartiko!   Tiada yang lebih manis daripada cinta   Seperti madu di waktu dua hati berpadu   Dan tiada aral apa pun datang mengganggu   Dunia terasa bagaikan surga!   Tiada yang lebih pahit daripada cinta   Seperti empedu di waktu du hati berpisah   Menjadi permainan antara cinta dan benci   Dunia terasa bagaikan neraka!   Mata yang sudah merah itu kembali digenangi air mata. Di sudut hatinya terasa benar oleh Sulastri betapa dia amat mencintai Sutejo, betapa bahagianya ketika dia dipeluk dan saling berciuman dengan pemuda itu, betapa ingin hatinya untuk terus berdampingan dengan Sutejo, tidak pernah terpisah lagi sampai mati. Akan tetapi, pikirannya tidak dapat melepaskan ingatan bahwa Sutejo membantu musuh yang membunuh Empu Supamandrangi, bahwa Sutejo telah menjadi kaki tangan Mahapati. Iangatan ini membuat dia amat menyesal dan benci kepada Sutejo. Perasaannya yang mencinta dihantam oleh pikirannya yang mendatangkan benci!   Tak lama kemudian dia mendengar langkah-langkah kaki. Cepat dia bangkit dan mengeringkan air matanya, lalu membereskan pakaian dan rambutnya. Akan tetapi kedua tangan yang baru membereskan rambut itu terlepas lagi ketikadia melihat bahwa yang muncul adalah Joko Handoko dan Roro Kartiko! Jantungnya terasa perih seperti tertusuk keris pusaka ketika dia melihat pemuda itu berdiri dengan muka pucat dan wajah muram, sedangkan Roro Kartiko jelas kelihatan merah-merah kedua matanya, bekas tangis.   Sulastri bangkit berdiri, sejenak mereka bertiga saling berpandangan tanpa mampu mengeluarkan kata-kata. Akhirnya Sulastri yang memaksa mulutnya mengeluarkan kata-kata dengan suara gemetar dan lirih, "Kakangmas Joko Handoko, harap kau suka memaafkan saya......" lalu disambungnya sambil menatap Roro Kartiko, "Roro, maafkanlah aku...."   Ucapan itu seperti air dingin menyiram hati dua orang kakak beradik itu. Joko Handoko seperti baru sadar dan cepat dia berkata, "Ah.... tidak... tidak...! Akulah yang tidak tahu diri, aku dan Adikku yang seperti buta, tidak mengetahui bahwa engkau dan Sutejo saling mencinta. Aku datang bukan untuk mengungkit kembali soal itu, Diajeng, biarlah kesalahan ini dipendam saja agar tidak menimbulkan luka-luka di hati. Aku datang untuk membicarakan tentang.... eh, maksud Sang Adipati. Setelah keadaannya begini, jelas bahwa tidak mungkin engkau....menikah dengan aku...."   "Duduklah, Kakangmas Joko Handoko dan Diajeng Roro," Sulastri berkata, sikapnya tengan kembali. Mereka duduk di atas kursi-kursi yang berada di kamar itu, kemudaian Sulastri memandang mereka dan berkata, "Kurasa, tidak ada pilihan lain bagi kita. Dua orang kembar yang gila itu jelas hendak menjerumuskan kita, dan Sang Adipati sengaja menikahkan kita untuk menangkis tuduhan mereka. Kalau kita menolak, sudah pasti dua orang gila itu akan menang dan kita akan terancam malapetaka. Untuk menggunakan kekerasan, kurasa percuma saja karena tidak mungkin kita dapat melawan perajurit-perajurit kadipaten yang amat banyak. Jadi, jalan satu-satunya untuk dapat menyelamatkan diri kita dan akhirnya lolos dari sini, adalah.... memenuhi keinginan Sang Adipati, kita....eh, menikah dan menerima kembali Kolonadah, bayangkan betapa mengejutkan kenyataan ini, kemudian kita dapat lolos dengan aman."   Joko Handoko mengerutkan alisnya dan menggelengkan kepalanya. "Diajeng, engkau tentu cukup maklum bahwa Joko Handoko bukanlah seorang manusia rendah macam itu, yang hanya untuk menyelamatkan secuil nyawa ini akan sudi melakukan kerendahan itu. Sampai mati pun aku tidak akan mungkin suka untuk mengkianati Dimas Sutejo dan engkau..."   "Ah, engkau tidak mengkhianati siapa-siapa, Kakangmas Joko. Aku yang menghendaki ini, dan pernikahan kita itu hanya pura-pura saja, untuk mencari kesempatan lolos dari sini dengan aman!" Sulastri membantah.   Joko Handoko tetap menggeleng kepalanya. "Biarpun demikian, kalau kita sudah dinikahkan secara resmi, hal itu tentu akan merupakan pukulan hebat bagi Dimas Sutejo yang kelak akan menjadi jodohmu, Diajeng...."   "Tidak! Dia tidak akan menjadi jodohku! Dia....dia musuhku....!"   "Ihhh.....!" Roro Kartiko menjerit. "Bukankah dia cinta kepadamu, Mbakayu Sulastri?"   "Dia boleh cinta, akan tetapi aku... aku benci padanya! Aku ingin membunuhnya!"   "Eh,eh... bagaimana pula ini?" Joko Handoko terbelalak.   "Mbakayu Sulastri...." Roro Kartiko memandang dengan khawatir, takut kalau-kalau kedukaan membuat dara perkasa itu berubah ingatan! "Ingalah, tadi engkau mengatakan bahwa engkau mencintai Kakangmas Sutejo dan....."   "Memang, kami saling mencinta, memang aku tidak bisa menikah dan menjadi isteri orang lain, akan tetapi aku... aku juga membencinya, ingin membunuhnya. Dia musuh besarku, dia telah membunuh Eyang Empu Supamandrangi!" Sulastri mengepal tinju dan matanya menyinarkan api kemarahan.   Joko Handoko dan adiknya saling pandang dan menggeleng-geleng kepalanya. "Agaknya antara engkau dan Dimas Sutejo selalu ada ketegangan-ketegangan, tentu ada kesalahpahaman dalam hal itu, Diajeng....."   "Sudahlah, hal ini adalah urusan dia dan aku, Kakangmas Joko. Tidak perlu engkau merasa tidak enak kepada musuhku Sutejo itu! Kita melakukan upacara pernikahan, biarpun diresmikan, agar kita dapat lolos dari sini, dan terutama sekali bagiku agar kalian dan tujuh orang anak buah kalian dapat diselamatkan. Tentang pernikahan itu, bagi kita hanya pura-pura, kita tidak sungguh-sungguh menjadi suami isteri....eh, maafkan, Kakangmas." Sulastri menyambung ketika malihat Joko Handoko memejamkan mata dengan wajah pucat. Setiap kata dalam ucapan Sulastri bagaikan tikaman keris di ulu hatinya terasa olehnya.   Joko Handoko menarik napas panjang. "Kalau begitu kehendakmu, terserah, Diajeng."   "Hanya pernikahan pura-pura, Kakangmas."   Joko Handoko makin pucat. "Aku tahu, Diajeng, dan jangan khawatir, aku selalu ingin melihat engkau bahagia."   "Maaf, aku hanya ingin agar di kemudian hari tidak terjadi keributan mengenai pernikahan pura-pura ini. Diajeng Roro menjadi saksinya," kata Sulastri.   Roro Kartiko hanya mengangguk lemah.   ***   Ruangan pendopo yang luas dari istana Kadipaten Puger terhias meriah. Suara gamelan yang dipukul berirama menyambut datangnya para tamu yang membanjiri pendopo itu. Tamu-tamu ini terdiri dari pembesar-pembesar dan penduduk terhormat di Puger, untuk menghadiri perayaan pesta pernikahan antara Joko Handoko dengan Sulastri sebagai tamu-tamu kehormatan Sang Adipati yang oleh Sang Prabu Bandardento sendiri dianggap sebagai keluarga dan diresmikan pernikahan mereka di bawah perwalian dan restu Sang Prabu sendiri!   Setelah melakukan upacara pertemuan pengantin, sepasang pengantin itu duduk bersila di atas panggung yang disediakan untuk mereka, didampingi oleh Roro Kartiko dan tujuh orang anggota Sriti Kencana. Mereka tidak mau saling berjauhan dalam peristiwa ini, selalu siap menghadapi apa pun. Sulastri menunduk dan menahan air matanya karena kembali dia teringat kepada Sutejo dan membayangkan betapa akan bahagianya kalau dia dapat bersanding sebagai pengantin bersama Sutejo, kalau saja Sutejo tidak membunuh Empu Supamandrangi! Dan Joko Handoko juga duduk dengan anteng, hatinya terasa perih sekali karena semua kebahagiaan yang tentu akan mengayunkannya ke sorgaloka ini ternyata hanyalah pura-pura belaka! Para tamu memuji ketampanan pengantin pria dan kecantikan pengantin puteri, juga kecantikan Roro Kartiko dan anak buahnya, terutama sekali Ayu Kunti dan Cempaka.   Setelah upcara pertemuan pengantin selesai dan pengantin sudah duduk bersanding di atas panggung yang terhias dengan kembar mayang dan segala hiasan pengantin, mulailah pesta yang meriah. Setelah minuman-minuman keras memasuki perut melalui tenggorokan yang lahap, mulailah terdengar suara tertawa-tawa dan suasana menjadi lepas dan bebas, menjadi gembira. Sang Adipati sendiri juga tertawa-tawa gembira karena tercapailah hasil kecerdikannya. Peristiwa ini tentu akan menyenangkan Lumajang dan tanpa banyak kesukaran dia telah dapat menaklukan hati orang-orang Lumajang, berarti menghindarkan musuh yang berbahaya!   Murwendo dan Murwanti tidak hadir dalam pesta pernikahan itu. Akan tetapi Sang Prabu Bandardento tidak peduli, dia dapat menduga bahwa dua orang kembar itu tentu tidak senang hati mereka, akan tetapi biarpun mereka itu adalah anak-anaknya, dia tidak mungkin dapat membela mereka yang salah. Bahkan teringat kepada mereka, hati Sang Prabu menjadi tidak senang dan kecewa. Betapa akan bahagianya kalau anak-anaknya itu bukan Murwendo dan Murwanti, melainkan Joko Handoko dan Roro Kartiko!   Kalau saja Sang Prabu Bandardento tahu apa yang dilakukan oleh dua orang anaknya itu! Kalau saja dia tahu apa yang telah terjadi selama beberapa hari ini, semenjak penyerbuan Sulastri!   Sudah beberapa bulan lamanya, seorang selirnya yang bernama Retno Sami, seorang wanita berusia hampir tiga puluh tahun yang cantik menis, tergila-gila kepada Murwendo. Sebagai seorang selir yang ke sekian kalinya, apalagi seorang selir dari seorang Adipati yang sudah setua Sang Prabu Bandardento, yang dalam hal pengumbaran nafsu sudah banyak berkurang, tidak bergairah lagi, tentu saja seorang wanita muda seperti Retno Sami itu menjadi kehausan seperti seekor ikan kakurangan air. Tidak ada pelayan pria di kaputren, dan semenjak terjadinya peristiwa aib, hubungan perjinaan yang terjadi antara selir raja dan juru taman, kini bahkan juru taman pun seorang wanita! Satu-satunya pria yang dapat memasuki kaputren hanyalah Pangeran Murwendo, maka anehkah kalau selir ini tergila-gila kepada pemuda yang memang tampan, gagah dan kuat ini?   Murwendo juga bukan seorang yang berbatin teguh. Biarpun Retno Sami adalah seorang "ibu" baginya, seorang ibu tiri, namun bujuk rayu yang keluar dari pandang mata, gerak bibir dan suara wanita itu menggerakkan hatinya, membangkitkanberahinya. Apalagi ketika Retno Sami membisikkan bahwa dia mengetahui rahasia dari saudara kembar itu! Segera Murwendo dan Murwanti menarik "ibu" ini menjadi sekutu mereka dan tentu saja, sebagai imbalannya, Murwendo menuruti hasrat hati wanita itu dan sudah sejak beberapa bulan ibu itu menjadi kekasihnya, berbuat jina dengan dia dan disetujui pula oleh Murwanti! Bahkan di antara tiga orang manusia yang dikuasai oleh nafsu ini, terjadilah perbuatan-perbuatan yang amat kotor dan mereka bertiga sudah biasa tidur sekamar di mana terjadi hal-hal yang sukar dibayangkan dapat terjadi di antara mereka! Tentu saja tidak ada seorangpun selir lain yang berani membocorkan rahasia ini karena perbuatan itu memungkinkan mereka dibunuh oleh Murwendo dan Murwanti.   Retno Sami inilah yang membocorkan rahasia kelahiran Murwendo dan Murwanti sehingga dua orang saudara kembar itu tahu bahwa sesungguhnya mereka bukanlah keturunan Sang Prabu Bandardento, bahwa Ibu mereka telah meninggal ketika melahirkan mereka, dan betapa "ayah" Mareka yang sesungguhnya adalah seorang juru taman yang telah dibunuh atas perintah Sang Prabu Bandardento!   Hal itu masih dapat dimengerti olah kakak beradik kembar ini. Akan tetapi ketika Sang Prabu menolak kehendak mereka mengawini Joko Handoko dan Roro Kartiko, timbullah kebencian mereka terhadap orang yang selama ini mereka anggap sebagai ayah kandung itu. Mereka merasa dikesampingkan, dan merasa bahwa sesungguhnya adipati itu tidak sayang kepada mereka. Dan mulailah timbul keinginan mereka untuk memberontak, menggulingkan Sang Adipati untuk merampas kekuasaan, dengan Murwendo menjadi raja dan Murwanti menjadi permaisurinya, Retno Sami menjadi selirnya! Pikiran yang gila memang bagi orang waras!   Maka diam-diam kakak beradik kembar ini, dibantu oleh Retno Sami, menghubungi Menak Srenggo, yaitu kakak misan dari Retno Sami yang menjadi senopati di Puger, mengepalai pasukan yang cukup besar jumlahnya. Persekutuan dibentuk dan Menak Srenggo yang dapat terbujuk untuk diangkat sebagai patih kelak, telah berhasil mengumpulkan lima ratus orang perajurit bawahannya untuk dipergunakan sewaktu-waktu.   Kemudian, saat yang dinanti-nanti itu telah tiba, yaitu pada saat pernikahan antara Joko Handoko dan Sulastri! Dan sebelumnya, Murwendo dan Murwanti telah berhasil memasuki gedung pusaka dan membunuh lima orang penjaga yang tidak menyangka sesuatu, kemudian Murwendo mengambil keris pusaka Kolonadah yang dianggapnya sebagai keris pusaka calon raja!   Para tamu sedang makan minum dengan gembira ketika tiba-tiba di luar pendopo terdengar suara riuh rendah. Karena pendopo di malam perayaan itu amat terang, tentu saja dari dalam memandang keluar amat gelap sehingga semua orang yang terkejut itu tidak segera tahu apa yang telah terjadi. Akan tetapi, Padas Gunung dan Pragalbo sudah meloncat bangun dan memandang keluar. Joko Handoko, Sulastri, Roro Kartiko dan tujuh orang wanita Sriti Kencana juga sudah siap.   Sulastri adalah seorang wanita perkasa yang cepat dapat menguasai keadaan, maka mendengar suara ribut-ribut di luar disusul pekik-pekik kesakitan tanda bahwa di luar terjadi pertempuran itu, dia dengan cepat berbisik kepada Joko Handoko dan Roro Kartiko, "Kalian berdua dibantu oleh tujuh orang anak buahmu harap melindungi Sang Adipati!" Dara perkasa ini maklum bahwa dalam keadaan apa pun di daerah Puger itu, satu-satunya orang yang dapat melindungi mereka hanyalah Sang Adipati, oleh karena itu keselamatan Sang Adipati amatlah penting bagi mereka. Agaknya Joko Handoko dan Roro Kartiko juga mengerti akan maksud hati Sulastri itu, apalagi karena memang dua orang kakak beradik ini merasa suka sekali kepada Sang Adipati yang selama ini memperlakukan mereka dengan baik.   "Bunuh! Bunuh mata-mata Lumajang......" Terdengar teriakan-teriakan dan kini para penyerbu itu sudah memasuki pendopo. Para tamu menjadi panik dan bubar! Pekik kesakitan terdengar di sana sini dan kini tampak oleh Sulastri bahwa yang menyerbu itu adalah Murwendo dan Murwanti, diikuti oleh banyak sekali perajurit, ratusan orang banyaknya!   Padas Gunung dan Pragalbo sudah cepat lari mendekati Sang Adipati dan Permaisuri, para selir menjerit kecuali tentu saja Retno Sami yang diam-diam tersenyum penuh harapan. Akan tetapi Sang Adipati dan keluarganya telah dikelilingi dan dijaga oleh Joko Handoko, Roro Kartiko dan tujuh anggota Sriti Kencana yang berdiri dengan gagah dan siap sedia!   "Paman Padas Gunung dan Paman Pragalbo, kami akan melindungi Sang Prabu!" kata Joko Handoko kepada dua orang senopati itu. Ketika dua orang tokoh Puger itu kelihatan ragu-ragu, tiba-tiba Sang Prabu Bandardento berkata dengan suara nyaring,   "Padas Gunung! Pragalbo! Kalian tunggu apa lagi? Cepat kumpulkan pasukan untuk membasmi para pemberontak ini!"   "Mendengar perintah ini, barulah dua orang tokoh itu meloncat keluar sambil membentak-bentak marah. Para perajurit menjadi gentar menghadapi dua orang tokoh yang merupakan tokoh utama Puger ini, maka tentu saja mereka membuka jalan untuk dua orang tokoh ini yang cepat berlari keluar untuk mepersiapkan pasukan. Mereka terkejut sekali ketika melihat bahwa penyerbu itu terdiri dari pasukan yang ratusan ribu jumlahny, dan tahulah mereka bahwa putera dan puteri raja telah menggunakan pasukan di bawah pimpinan Menak Srenggo, Senopati yang berasal dari Selat Bali itu.   Sementara itu, Sulastri dengan sigapnya telah meloncat dan menghadapi Murwendo dan Murwanti. Dengan Aji Hasto Bairowo dia mendesak dua orang ini karena dara perkas ini marah bukan main. Hampir saja Murwanti kena ditampar kepalanya dan kalau tamparan dengan Aji Hasto Nogo itu tepat mengenai sasaran, kiranya kepala Murwanti tentu akan pecah. Akan tetapi, puteri adipati itu mengelak dan terhuyung, dan ketika Sulastri hendak mendesak, tiba-tiba dia merasa ada hawa yang dingin dan sinar merah menyambar ke arahnya. Dia terkejut, mengelak dengan loncatan sigap, merobohkan dua orang pengeroyok di sebelah kirinya sambil menoleh.   "Kolonadah......!" teriaknya ketika dia melihat keris yang berada di tangan Murwendo yang tadi menyerangnya untuk menyelamatkan adiknya.   "Ha-ha-ha!" Murwendo tertawa. "Hayo keroyok, bunuh mata-mata Lumajang ini! Tangkap hidup-hidup Roro Kartiko, calon isteriku ha-ha!"   Sulastri marah sekali, akan tetapi di tidak dapat meyerang kakak beradik kembar itu karena dia telah dikepung dan dikeroyok oleh banyak sekali perajurit pemberontak.   "Bunuh Sang Adipati!" Terdengar Murwanti juga berteriak, "Bunuh Ayah palsu itu!"   Sulastri mengamuk dan sepak terjangnya seperti seekor naga betina marah. Karena banyaknya pengeroyok, hatinya khawatir juga dan dia lalu mundur mendekati tempat Adipati di mana juga terjadi pertempuran hebat. Ketika tiba di situ sambil terus mengamuk, mengadu punggung dengan Roro Kartiko dan Joko Handoko bersama para anggota Sriti Kencana, mengurung keluarga raja di tengah-tengah mereka, Sulastri tercenggang melihat Adipati itu tertawa!   Ha-ha-ha, sungguh menyanangkan Joko Handoko! Kartiko! Anak-anakku yang baik, mari kita melawan para pemberontak bersama! Kalian lihat, biar tua aku tidaklah selemah raja-raja yang lain. Ha-ha-ha, mari kita hancurkan Si Kembar yang gila itu, pemberontak-pemberontak laknat ini!" Dan kini Sang Prabu Bandardento juga ikut pula mengamuk dan memang dia hebat sekali! Kiranya Adipati ini memiliki kepandaian yang tinggi, tidak kalah kalau dibandingkan dengan Padas Gunung atau Pragalbo!"   "Bunuh Sang Adipati!"   Jilid 59   "Bunuh Sang Prabu!"   Teriakan-teriakan itu jelas terdengar dari mulut Murwendo dan Murwanti, akan tetapi meraka tidak berani mendekati raja yang kini melawan bersama Joko Handoko dan teman-temannya. Si Kembar itu membiarkan Menak Srenggo dan anak buahnya yang mengepung raja, sedang mereka sendiri sambil tertawa-tawa membunuh-bunuhi para pengawal dan pelayang di situ, juga para tamu yang semua terdiri dari pejabat-pejabat dan yang tentu saja berusaha melawan, membela diri maupun membela Sang Adipati. Tejadilah pertempuran yang amat hebat, akan tetapi yang berat sebelah sehingga semua pengawal dan pelayan yang tadi bekerja melayani pesta, kini roboh bergelimpangan. Hanya pertahanan di sekitar keluarga Sang Adipati yang masih sukar ditembus oleh para pemberontak! Joko Handoko dan Roro Kartiko, juga Sang Adipati sendiri dan tujuh orang anggota Sriti Kencana sudah luka-luka lengan mereka, akan tetapi tidak ada seorang pun di antara mereka yang roboh dan mereka melawan terus dengan gagah berani. Hanya Sulastri yang tidak luka sama sekali, lecet pun tidak sungguhpun pakaiannya ada yang robek terkena senjata. Hal ini adalah karena dara perkasa ini dilindungi aji kekebalan Trenggiling Wesi. Amukannya menggetarkan hati para pengeroyok, akan tetapi karena jumlah mereka banyak, roboh satu maju dua, roboh sepuluh maju dua puluh. Sulastri mulai merasa lelah juga.   "Ha-ha-ha, sungguh menggembirakan!" Lagi-lagi Sang Prabu Bandardento tertawa terbahak-bahak. Kedua lengannya sudah berdarah karena disambar golok, akan tetapi masih mengamuk hebat, setiap tendangan atau pukulannya tentu merobohkan seorang pengeroyok. "Mati pun aku puas, dapat berkelahi bersama-sama kalian, anak-anakku! Ha-ha-ha!" Raja tua itu seperti seorang anak kecil yang sudah lama dijauhkan dari permainan yang amat disukainya dan yang sekarang dia mainkan secara memuaskan sekali! Melihat sikap ini, Joko Handoko dan kawan-kawannya merasa kagum dan juga terharu. Sungguh seorang adipati yang baik budi, halus dan gagah perkasa!   Tiba-tiba terdengar sorak-sorai dan keadaan para perajurit pemberontak menjadi kacau seperti rombongan semut ditiup. Mereka lari berserabutan dan berpencaran sehingga kini yang mengepung rombongan raja tidak seketat tadi. Ternyata bahwa Padas Gunung dan Pragalbo telah datang bersama pasukan mereka yang jauh lebih besar jumlahnya!Mulailah kini pasukan kadipaten menghajar dan membasmi pasukan pemberontak yang mulai menjadi kocar-kacir. Menak Srenggo mulai merasa menyesal mengapa dia percaya kepada kakak beradik kembar itu yang katanya bahwa pasukan kedipaten tidak akan berani menghalangi mereka berdua! Buktinya, kini pasukannya terhimpit oleh pasukan kadipaten. Dia mulai mengamuk keluar dan segera dia dihadapi oleh Padas Gunung dan Pragalbo!   "Si keparat Menak Srenggo pemberontak hina! Mampuslah kau!" bentak Pragalbo dan Padas Gunung dan mereka cepat menubruk ke depan, Padas Gunung menggerakkan suling hitamnya sedangkan Pragalbo sudah menusukkan kerisnya. Dua tokoh utama Puger ini merasa yakin bahwa sekali serang saja mereka tentu akan merobohkan dan menangkap perwira pemberontak ini karena Menak Srenggo adalah senopati di bawah mereka yang kepandaiannya tidak melebihi mereka. Melawan seorang di antara mereka saja akan kalah, apalagi dikeroyok dua. Akan tetapi betapa heran dan kaget hati mereka ketika tiba-tiba Menak Srenggo mengelak dari keris Pragalbo dan menggunakan lengan kirinya menangkis sulung hitam.   "Dukkk!" Dan suling itu terpental, tangan Padas Gunung terasa ngilu! Bukan main kagetnya hati tokoh Puger ini. Dalam tangkisan tadi dia mendapat kenyataan bahwa Menak Srenggo memiliki kekuatan yang tidak kalah besarnya dengan tenaganya sendiri!   "Ha-ha-ha, kau sangka aku selemah yang kalian kira, Padas Gunung?"   Padas Gunung dan Pragalbo menerjang lagi, akan tetapi Menak Srenggo benar-benar tangkas sekali dan serangan balasannya membuat dua orang tokoh Puger itu terdesak ke belakang. Kesempatan itu dipergunakan oleh Menak Srenggo untuk menyambar lengan seorang perajurit musuh dan melontarkannya ke arah dua orang tokoh itu dengan kekuatan laur biasa. Padas Gunung dan Pragalbo tentu saja cepat mengelak, akan tetapi Menak Srenggo sudah meloncat dan keluar dari kepungan, terus melarikan diri! Terpaksa dua orang senopati itu mengamuk dan membabati perajurit-perajurit yang memberontak.   Semantara itu, setelah para pengeroyok kini berbalik diserbu dan dikeroyok oleh pasukan Puger, Sulastri membiarkan Joko Handoko dan Roro Kartiko dibantu tujuh orang anggota Sriti Kencana melindungi dan membela Raja Bandardento, sedangkan dia sendiri cepat menerjang Murwendo dan Murwanti yang kini telah terkurung di tengah-tengah! Dua oarng saudara kembar itu menjadi nekat setelah melihat bahwa usaha mereka gagal, dan kini melihat Sulastri yang mereka anggap sebagai biang keladi kegagalan mereka, kakak beradik itu menyerang dengan membabi buta.   Sebetulnya, kakak beradik kembar ini bukan merupakan lawan yang terlalu tangguh bagi Sulastri. Andaikata Murwendo tidak memegang Kolonadah, tentu mereka tidak akan lama dapat bertahan melawan Sulastri. Akan tetapi, keris pusaka Kolonadah amat ampuhnya sehingga Sulastri sendiri tidak berani menggunakan Aji Trenggiling Wesi untuk menangkis keris itu dan dia selalu mengelak sambil membalas dengan serangan-serangan dari samping yang membuat dua orang itu selalu terhuyung mundur.   Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring dan tahu-tahu Roro Kartiko dan Joko Handoko sudah menerjang maju membantu Sulastri. Hal ini adalah karena kini keadaan Raja Bandardento sudah bebas dari bahaya, bahkan raja itu telah mangajak permaisuri dan para selirnya untuk menyingkir ke sebelah dalam. Tujuh orang anggota Sriti Kencana mengawal keluarga raja masuk ke dalam istana kadipaten. Karena itu, melihat betapa Sulastri dikeroyok oleh dua saudara kembar yang gila itu, kakak beradik ini tidak tahan melihatnya. Mereka amat benci kepada Murwendo dan Murwanti yang menjadi penyebab sampai mereka menjadi tawanan di Puger, maka kini dengan keris -keris rampasan, Joko Handoko dan adiknya lalu menyerang mereka. Dengan kemarahan meluap, Roro Kartiko menyerang Murwendo dengan keris di tangan.   "Hati-hati, Roro.....!" Sulastri berseru.   "Trangg.....! Iihhhhh.....!" Roro Kartiko menjerit ketika keris rampasannya menjadi patah oleh Kolonadah. Akan tetapi Murwendo yang memandang wajah wanita yang digilainya itu meragu untuk menusuk dan pada saat itu Sulastri sudah melayangkan tangannya dari samping.   "Plakk! Aughhh.....!!" Tubuh Murwendo terpelanting dan keris Kolonadah sudah disambar oleh tangan Sulastri. Murwendo berkelojotan karena kepalanya retak oleh pukulan dahsyat dari Aji Hasto Nogo tadi.   Melihat ini, Murwanti menjerit dan menubruk kepada Sulastri, matanya merah, mulutnya berbusa seperti seekor harimau kelaparan. Sulastri mengelak ke samping dan menendang.   "Dukkk!!" Tubuh Murwanti terlempar dan Joko Handoko menyambut dengan kerisnya.   "Crappp.........!!"   "Auhhhh......!" Tubuh Murwanti terpelanting dan darah mengucur dari dadanya.   "Celaka...., kalian sudah membunuh mereka....." Roro Kartiko berkata dengan mata terbelalak. "Kita harus cepat pergi dari sini.....!!"   Mendengar ini, Joko Handoko dan Sulastri menjadi pucat dan tanpa menanti lebih lama lagi, tiga orang muda itu lalu meloncat dan melarikan diri dari pendopo itu.   "Benar, kita harus pergi. Kolonadah sudah berada di tanganku," kata Sulastri. "Akan tetapi bagaimana dengan anak buah kalian?"   "Mereka berjasa terhadap Sang Adipati, dan tidak ikut membunuh putera-puteri Adipati, tentu mereka tidak akan diganggu," kata Joko Hndoko dan mereka terus melarikan diri di dalam kegelapan malam.   Akan tetapi ketika mereka tiba di sebuah hutan yang gelap, ketiga orang muda ini terpaksa menghentikan lari mereka dan mereka berlindung di bawah pohon besar untuk berlindung di bawah pohon besar dan beristirahat.   "Kita tentu akan dikejar-kejar sebagai pembunuh putera-puteri Adipati Puger," kata Sulastri.   "Habis bagaimana baiknya?" kata Roro Kartiko sambil memijit-mijit betisnya yang terasa nyeri dan lelah.   "Sebaiknya kita kembali ke Lumajang, menghaturkan keris Kolonadah kepada Adipati Lumajang."   Joko Handoko menarik napas panjang. "Sayang sekali bahwa kita menjadi orang buruan Puger. Sang Adipati Puger sesungguhnya merupakan seorang yang bijaksana. Sayang putera-puterinya gila dan jahat." Pemuda ini telah mengumpulkan kayu kering lalu membuat api unggun untuk mengusir nyamuk dan menghangatkan tubuh karena hawa di dalam hutan itu amat lembab.   Akan tetapi baru saja api unggun bernyala, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari arah mereka datang dan taklama kemudian terdengar suara-suara, "Mereka di dalam hutan...!"   "Sialan!" Joko Handoko menginjak-injak apinya sampai padam, kemudian terpaksa mereka melanjutkan perjalanan sambil meraba-raba di dalam gelap agar jangan sampai bertubruk dengan pohon atau batu. Setelah tidak mungkin melakukan perjalanan lagi saking gelapnya karena langit mendung dan bintang-bintang tersembunyi di balik awan, mereka berhenti lagi akan tetapi mereka tidak berani membuat api unggun. Dan ternyata bahwa para pengejar mereka agaknya juga tidak melanjutkan pengejaran, entah kembali lagi entah mengaso.   Akan tetapi pada keesokan harinya, begitu terang tanh, sudah terdengar lagi suara mereka, suara banyak kaki manusia dalam hutan itu dan suara mereka yang mencari-cari. Mendengar ini, tiga orang muda itu segera bergerak lagi, hendak melanjutkan pelarian mereka menuju ke Lumajang di sebelah utara.   "Kenapa tidak kita lawan saja mereka, Diajeng?" tanya Joko Handoko dengan suara penasaran kepada Sulastri. Dara itu memandangnya. Mereka berdua saling pandang dan tiba-tiba Sulastri merasa kedua pipinya panas dan jantungnya berdenyut ketika dia melihat betapa Joko Handoko masih memakai pakaian pengantin pria dan dia sendiri masih memakai pakaian pengantin puteri dengan sanggul istimewa dan rambut sinom didahinya dikerik dan ditambah dengan riasan pengantin! Teringatlah dia bahwa saat ini dia adalah "istri" dari Joko Handoko. Di lain pihak, Joko Handoko juga melihat kenyataan yang sama dan dia memandang dengan hati terasa perih karena isterinya yang cantik ini, yang amat dicintainya, hanyalah isteri sebutan saja, pernikahan mereka hanyalah pura-pura saja! Hal ini akan merupakan siksaan baginya, merupakan penderitaan yang lebih hebat daripada kalau dia tidak dapat menikah dengan dara itu dan dia harus saling berpisah. Namun cinta kasihnya terhadap dara itu memperkuat batinnya. Kalau perlu, dia masih sanggup menderita lebih hebat lagi, demi kebahagiaan Sulastri!   "Tidak baik kalau kita melawan mereka, Kakangmas Handoko. Tidak mungkin kita melawan pasukan sekadipaten. Pula, sekarang Kolonadah telah berada di tangan kita. Sebaiknya kita cepat kembali ke Lumajang, menyerahkan pusaka ini kepada Sang Adipati di Lumjang. Mari kita lanjutkan perjalanan."   "Cepat, mereka telah mengejar dekat!" kata Roro Kartiko sambil menoleh ke belakang darimana terdengar suara para pengejar yang banyak jumlahnya.   Mereka lalu lari ke depan dengan cepat, menyusup di antara semak-semak dan menyelinap di antara pohon-pohon sampai akhirnya mereka keluar dari hutan itu. Akan tetapi, begitu mereka keluar dari hutan, mereka terkejut bukan main karena tiba-tiba dari balik pohon-pohon dan semak-semak belukar bermunculan banyak sekali orang yang dipimpin oleh Padas Gunung dan Pragalbo sendiri! Kiranya pasukan Puger telah menanti dan menghadang di situ dan agaknya semalam telah diatur oleh dua orang senopati yang pandai itu! Semalam, dua orang senopati ini telah membawa sebagian besar pasukannya untuk mengambil jalan memutar dan menghadang di laur hutan karena menurut perhitungannya, tiga orang muda itu tentu akan keluar dari sebelah utara hutan, sedangkan sebagian kecil saja dari pasukannya melanjutkan pengejaran di pagi hari itu. Dan ternyata perhitungan mereka berdua tidak meleset karena tiga orang muda itu benar-benar muncul di sebelah utara hutan.   Melihat munculnya pasukan Puger, tiga orang muda itu terkejut bukan main, akan tetapi Sulastri menjadi marah, matanya mengeluarkan sinar berapi, sedangkan Joko Handoko lalu berkata sambil memandang dua orang senopati Puger itu, "Paman Padas Gunung dan Paman Pragalbo, kalau kalian hendak mengambil jalan kekerasan, terpaksa kami akan melawan sampai titik darah terakhir!"   Akan tetapi dua orang senopati itu memandang dengan mata terbelalak seperti orang terheran-heran, sedangkan para perajurit yang amat banyak jumlahnya itu biarpun mengurung tempat itu namun tidak kelihatan seperti orang-orang yang bersikap hendak menyerang.   "Kami...... kami tidak mengerti apa yang Andika maksudkan, kami hanya menerima perintah dari Sang Prabu untuk menyusul Andika sekalian," kata Padas Gunung dan pada saat itu terdengar derap kaki kuda. Muncullah Sang Prabu Bandardento sendiri yang membalapkan kuda menuju ke tempat itu. Ketika dia melihat tiga orang muda itu, dia berseru girang, melompat turun dari kudanya dan berlari menghampiri mereka.   "Ahhhh, anak-anakku..... kenapa kalian pergi meninggalkan aku?" katanya dan tiga orang muda itu memandang dengan terheran-heran. Sang Prabu yang tua itu kini memegang tangan Joko Handoko dan Roro Kartiko, memandang kepada Sulastri, lalu dia berkata lagi, "Agaknya kalian bertiga telah salah mengerti. Kalian lari karena telah membunuh sepasang bocah kembar yang sinting itu, bukan?"   Joko Handoko dan Roro Kartiko yang masih terheran-heran itu hanya mengangguk.   Sang Prabu Bandardento merangkul pundak Joko Handoko sambil tertawa. "Ha-ha-ha, sudah kuduga demikian. Mengapa kalian lari karena membunuh mereka?"   Roro Kartiko tidak dapat menahan keheranannya. "Karena....mereka adalah putera-puteri Paduka...."   "Ha-ha-ha, Roro Kartiko cah ayu, anakku yang baik. Mereka itu bukanlah anakku, mereka adalah dua bocah gila yang bahkan telah berani memberontak! Kalian berdualah anak-anakku dan Sulastri adalah mantuku yang baik!"   "Apa...apa maksud Paduka?" Joko Handoko bertanya terkejut sekali.   "Anak-anakku, tidak terasakah oleh kalian berdua betapa semenjak kalian tiba di Puger, aku telah merasa sayang kepada kalian seperti kepada anak-anak sendiri? Apalagi semenjak malam tadi, ketika bertempur bahu-mambahu dengan kalian! Kalian berdualah anak-anakku yang sesungguhnya patut menjadi anak-anakku, biarpun hanya anak angkat, seperti halnya dua orang bocah kembar yang gila itu! Joko Handoko dan Roro Kartiko, kalian adalah anak-anakku, kuanggap anak-anakku sendiri dan merilah kita kembali ke Kadipaten di mana akan kami umumkan tentang pengangkatan kalian berdua sebagai anak-anakku yang sah, sedangkan Sulastri adalah anak mantuku. Marilah, anak-anakku, kita pulang dan menikmati kehidupan yang tenteram dan bahagia."   Tentu saja tiga orang muda itu terkejut sekali mendengar ini. Joko Handoko dan Roro Kartiko memang merasa suka dan kagum kepada raja kecil yang bijaksana ini dan merupakan anugerah yang amat besar kalau mereka dapat menjadi anak-anak angkat raja ini. Akan tetapi karena Ibu mereka masih di Lumajang, mereka menjadi ragu-ragu. Juga Sulastri meragu karena di hendak menyerahkan keris pusaka Kolonadah kepada Adipati di Lumajang.   "Akan tetapi....kami....kami hendak ke Lumajang....." kata Sulastri akhirnya karena agaknya dua orang kakak beradik itu agaknya tidak mampu menjawab.   Raja tua itu mengangguk-angguk dan dia masih menggandeng Joko Handoko dan adiknya. "Aku mengerti...., tentu yang kalian bertiga pikirkan adalah Ibu kalian di Lumajang dan keris pusaka Kolonadah, bukan? Jangan khawatir, mari kita pulang dan merundingkan hal itu. Setelah Joko Handoko dan Roro Kartiko secara resmi menjadi anak-anakku dan Sulastri menjadi mantuku, maka pada suatu hari kalian bertiga boleh secara resmi mengunjungi Lumajang disertai salam hormatku kepada Adipati Wirorojo di Lumajang, untuk menghaturkan keris pusaka kepada Beliau dan untuk menjemput Ibu Kalian dan pindah ke Puger."   Tiga orang muda itu saling pandang dan ketiganya setuju tentu saja. Jauh lebih baik demikian daripada menjadi musuh Puger! Dengan gembira raja atau Adipati Puger itu lalu mengajak tiga orang muda itu kembali ke istana, diiringkan oleh pasukan yang dipimpin Padas Gunung dan Pragalbo.   Memang Sang Prabu Bandardento tidak membohong kalau dia mengatakan bahwa dia amat sayang kepada Joko Handoko dan Roro Kartiko. Apalagi setelah melihat betapa dua orang saudara kembar yang sesungguhnya bukan keturunannya sendiri itu berani memberontak sehingga akhirnya tewas dan melihat betapa Joko Handoko, istrinya dan adiknya itu membelanya mati-matian. Maka dia mengambil keputusan untuk mengangkat meraka menjadi anak-anaknya. Di samping ini, tentu saja ada segi lain yang dianggap amat menguntungkan Puger dengan pengangkatan itu. Setelah melihat betapa Menak Srenggo membantu pemberontakan dua orang anak kembar itu, kemudian senopati itu melarikan diri, tahulah dia bahwa puger selalu diintai musuh karena Menak Srenggo adalah seorang yang berasal dari Selat Bali dan hal ini saja menunjukkan bahwa tentu mempunyai hubungan dekat dengan raja di Nusabarung. Sangat boleh jadi bahwa Menak Srenggo sengaja diselundupkan oleh Raja Nusabarung ke Puger melalui saudaranya, yaitu Retno Sami. Malam itu juga, Sang Prabu telah menyuruh tangkap Retno Sami dan setelah diancam, akhirnya selir ini mengakui semuanya, bahwa dia telah lama menjadi kekasih anak tirinya, yaitu Murwendo dan betapa dia yang membujuk Menak Srenggo untuk membantu pemberontakan putera-puteri Adipati itu. Selir itu dihukum mati malam itu juga dan makin besar hasrat hati Sang Prabu Bandardento untuk mengankat anak kepada tiga orang muda itu karena dia tahu bahwa mereka, terutama sekali Sulastri, memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi dan hal ini tentu saja akan memperkuat Puger dalam menghadapi musuh-musuhmya, terutama Nusabarung. Di samping itu, perstiwa itu tentu akan membuat Puger menjadi makin akrab dengan Lumajang, hal yang lebih menguntungkan lagi bagi Puger sebagai kadipaten yang kecil.   Demikianlah, pada keesokan harinya, dengan resmi Sang Prabu Bandardento mengangkat Joko Handoko dan Roro Kartiko menjadi putera dan puterinya, disahkan oleh para hulubalang, para pembesar di Puger. Untuk peristiwa ini, Puger mengadakan pesta selama tiga hari tiga malam, menjadi tanda bahwa hati Sang Prabu Bandardento benar-benar merasa bahagia sekali. Juga permaisuri dan para selir yang setia dari Sang Adipati, yang telah melihat sendiri betapa tiga orang muda itu gagah perkasa dan melindungi mereka ketika terjadi pemberontakan, merasa senang dengan peristiwa ini karena mereka maklum kini bahwa Sang Prabu tidak mungkin mempunyai keturunan, setelah sekian banyaknya selir tidak pernah ada yang mengandung, kecuali selir yang menjadi ibu kandung dua orang anak kembar itu, yang mengandung sebagai akibat perjinaannya dengan juru taman.   Beberapa hari kemudian, dengan iringan pasukan pengawal dan pakaian mewah sebagai seorang pangeran dan puteri-puteri dari Puger, Joko Handoko, Sulastri dan Roro Kartiko berangkat ke Lumajang. Kedatangan mereka disambut dengan penuh kegembiraan oleh Sang Adipati Wirorojo dan para pembesar, terutama sekali oleh Ibu dua orang kakak beradik itu. Sang Adipati Wirorojo merasa gembira dan kagum ketika Sulastri menghaturkan keris itu, dengan terharu Sulastri berkata, "Harap Paduka ketahui bahwa penyerahan keris pusaka yang hamba lakukan ini sebetulnya merupakan suatu pelanggaran terhadap mendiang Empu Supamandrangi yang memesan kepada hamba agar hamba menyerahkan pusaka ini kepada Pangeran Kolo Gemet yang menjadi calon Raja Mojopahit. Namun, setelah melihat keadaan di Mojopahit yang sedang kacau, melihat sepak terjang orang-orang Mojopahit yang tersesat sehingga mendiang Eyang Empu Supamandrangi sendiri menjadi korban keganasan mereka sampai terbunuh, hamba merasa yakin bahwa mendiang Eyang tidak akan menyalahkan hamba kalau hamba kini menyerahkan pusaka kepada Paduka sebagai Adipati di Lumajang."   Sang Adipati Wirorojo menarik napas panjang. "Mendiang Empu Supamandrangi memang benar bahwa pusaka ini seharusnya menjadi pegangan Raja di Mojopahit, Sulastri. Akan tetapi, aku sebagai Ayah dari pemilik pusaka ini, yaitu mendiang anakku Ronggo Lawe, juga berhak untuk menjaga pusaka ini dan menentukan kepada siapa semestinya pusaka ini diserahkan. Ketahuilah bahwa sepatutnya pusaka ini diserahkan kepada keturunan mendiang Sang Prabu Kertanegara, yang asli, sedangkan Pangeran Kolo Gemet adalah keturunan yang bercampur dengan darah melayu maka sesungguhnya tidak tepat kalau dia yang mewarisi pusaka ini."   "Hamba menyerahkan ke dalam pertimbangan dan kebijaksanaan Paduka," jawab Sulastri.   Ibu kandung Joko Handoko dan Roro Kartiko, yaitu janda mendiang Progodigdoyo yang bernama Sariningrum, merasa girang bukan main ketika mendengar bahwa putera dan puterinya diangkat menjadi pangeran dan puteri Puger, sedangkan puteranya itu telah menikah dengan Sulastri. Sambil mencucurkan air mata, Sariningrum merangkul mantunya dan Sulastri tidak dapat menahan pula tangisnya. Hanya bedanya, kalau Sariningrum menangis saking girangnya, sebaliknya Sulastri menangis saking sedihnya. Dia dan kakak beradik itu sudah berjanji untuk tidak membuka rahasia kepalsuan pernikahan itu kepada Ibu mereka, karena hal itu tentu akan menghancurkan hati orang tua itu.   Setelah beberapa hari tinggal di Lumajang, akhirnya berangkatlah rombongan ini, sekarang ditambah dengan Ibu kandung Joko Handoko, diiringkan oleh para abdi dan pengawal, dititipi salam pula oleh Adipati Wirorojo untuk Sang Prabu Bandardento, kembali ke Puger dan Sang Prabu Bandardento menyambut kedatangan Ibu Kandung dua orang putera dan puteri angkatnya itu dengan segala kehormatan dan pesta.   Semenjak hari itu, tiga orang muda ini hidup tenteram di Kadipeten Puger, dan Sariningrum hidup terhormat dan mulia sebagai Ibu kandung Pangeran Joko Handoko dan Puteri Kartiko. Akan tetapi, di luar tahunya semua orang, tiga orang muda itu sering kali termenung dan menderita tekanan batin yang tidak ringan. Roro Kartiko dan kakaknya sering kali termenung pucat sebagai akibat kepatahan hati mereka dalam cinta, terutama sekali Joko Handoko pada lahirnya saja disebut sebagi suami Sulastri, namun sesungguhnya tidak pernah mereka saling berdekatan! Sulastri sendiri juga menderita batin karena dia tahu bahwa dia telah menyebabkan pemuda itu menderita. Namun dia tetap merasa tidak mungkin melayani lain pria kecuali Sutejo yang dicintainya namun juga dibencinya itu. Untung di situ terdapat Roro Kartiko yang menjadi sahabat baiknya, dengan siapa dia tidur sekamar setiap malam. Andaikata tidak ada dara ini, kiranya Sulastri tidak akan dapat bertahan tinggal di Puger dan melihat wajah yang muram dan pandang mata sayu dari "suaminya" setiap hari. Roro Kartiko mempergunakan kesempatan ini untuk mengobati luka-luka di hatinya dengan mempelajari ilmu-ilmu kesaktian dari Sulastri.   ***   Kita tinggalkan dulu keadaan tiga orang muda di Puger itu, orang-orang yang muda rupawan namun sudah menderita kepedihan hati itu. Sebaiknya kita menjenguk keadaan di Kerajaan Mojopahit yang tertutup awan mendung.   Keadaan Mojopahit makin muram dan diam-diam makin terasalah panasnya api persaingan antara isteri-isteri Sang Prabu Kertarajasa Jayawardana. Sang Prabu makin tua dan makin sering berdiam di dalam kamar karena sakit-sakitan sehingga kekuasaan terpecah-belah dan terbagi-bagi. Memang kendali pemerintahan masih lancar berkat kettrampilan Ki Patih Nambi yang cakap mengurus pemerintahan, namun pengeruh-pengaruh dari dua pihak yang bermusuhan di istana, yaitu pihaknya para isteri raja keturunan dari Sang Prabu Kertarajasa dan pihak Puteri Malayu Sri Indreswari Ibu kandung Pangeran Kolo Gemet, menyusup pula ke dalam pemerintahan sehingga sering kali mengacaukan keadaan dan membuat Ki Patih Nambi menjadi pusing sekali. Para ponggawa besar kecil terpecah-pecah, dapat dikata terpecah menjadi tiga, yaitu mereka yang setia kepada Sang Prabu Kertarajasa, golongan ini dipimpin oleh Ki Patih Nambi, golongan ke dua adalah mereka yang mendukung permaisuri Dyah Tribuana dan adik-adiknya, sedangkan golongan ke tiga adalah para pendukung Sri Indreswari atau Dyah Dara Petak dari Malayu. Tentu saja terdapat golongan-golongan lain yang bergerak secara diam-diam, yaitu mereka yang berambisi besar untuk mengangkat diri sendiri, diantaranya yang terkuat adalah golongan Resi Mahapati.   Kembali pada hari itu Sang Prabu tidak dapat memimpin persidangan dan tinggal di dalam kamar karena penyakitnya kambuh kembali, yaitu penyakit tua yang membuat dia pening dan lemas. Dalam pelayanan ketika Sang Prabu mederita sakit pun terjadi persaingan antara dua golongan isteri dan abdi-abdinya, sehingga perawatan tidak menjadi baik malah sebaliknya makin manambah kepusingan Sang Prabu.   Di istana keputran, yaitu istana Pangeran Kolo Gemet yang kini telah menjadi seorang pemuda dewasa yang tampan dan pesolek, nampak pangeran itu duduk dalam taman bunganya yang indah bersama beberapa orang. Pemuda ini memang tampan, hanya sayang bahwa sepasang matanya mengeluarkan sinar yang panas dan kejam, dan tarikan mulutnya membayangkan bahwa dia mulai menghambakan diri kepada nafsu berahi. Di depannya duduk dengan sikap amat menghormat dua orang kakek, sedangkan di belakang pangeran ini selalu terdapat dua orang kakek lain yang seolah-olah menjadi bayangan pangeran itu, tak pernah melepaskan gerak-gerik pangeran itu dari pandang mata mereka.   Seorang di antara dua orang kakek yang duduk berhadapan dengan Pangeran Kolo Gemet adalah Resi Mahapati. Resi itu masih tampak awet muda sungguhpun usianya sudah mendekati enam puluh tahun, rambut, kumis dan jenggotnya masih hitam beka ramuan jamu-jamu rahasia yang diminumnya dan dipakai meminyaki rambut-rambutnya. Kakek ke dua lebih tua lagi, usianya tentu sudah enam puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan dia selalu memegang sebatang tongkat panjang yang bentuknya seperti tubuh ular. Kakek ini adalah seorang yang sakti, yaitu Ki Durgakelana yang sudah kita kenal. Kakek pendeta penyembah Sang Batrhari Durgo yang pernah digempur oleh Sulastri, Sutejo, Joko Handoko dan Roro Kartiko dahulu. Adapun dua orang kakek yang berdiri di belakang Sang Pangeran adalah Ki Warak Jinggo dan Ki Kencono, dua orang kakek yang menjadi kawan-kawan Ki Durgakelana.   Semanjak Sutejo menghilang dan tidak pernah muncul kembali ke Mojopahit, Resi Mahapati lalu mencari pembantu-pembantu baru dan Resi Harimurti lalu membawa tiga orang kakek sakti itu kepadanya. Akhirnya Sang Resi Mahapati yang pandai mengambil hati Pangeran Kolo Gemet, memuji-muji tiga orang kakek ini di depan Sang Pangeran mahkota dan akhirnya Kolo Gemet menerima mereka bertiaga menjadi pengawal-pengawal dan pembantunya. Ki Warak Jinggo dan Ki Sarpo Kencono siang malam bertugas menjaga keselamatannya, membayangi ke manapun Sang Pangeran pergi, sedangkan Ki Durgokelana melakukan segala perintah Pangeran Kolo Gemat. Dan malam hari itu, di taman bunga yang indah, Pangeran Kolo Gemat kunjungan Resi Mahapati yang dihadiri pula oleh Ki Durgakelana, dan tentu saj tidak ketinggalan Ki Warak Jinggo dan Ki Sarpo Kencono berada di belakang Sang Pangeran seperti dua ekor anjing penjaga yang amat setia.   Sudah beberapa hari ini Sang Pangeran berwajah muram dan mudah marah-marah. Hal ini adalah karena hatinya murung dan kecewa. Beberapa hari yang lalu dia ikut dengan Resi Mahapati mengunjungi Ki Patih Nambi di waktu senja dan dalam kesempatan itu dia melihat seorang dara yang amat cantik jelita di dalam taman sari kepatihan. Dan tidak tahu bahwa peristiwa ini sudah diperhitungkan dengan tepat oleh Mahapati yang lebih dulu telah menyebar mata-mata sehingga dia tahu betul kebiasaan Sang Patih yang sering bercengkerama dengan keluarganya di waktu senja itu sehingga ketika secara tiba-tiba dia datang, keluarga Ki Patih tidak dapat menghindar maka seperti secara kebetulan saja dia mempertemukan Sang Pangeran dengan dara cantik jelita itu. Siapakah dara cantik itu? Dia adalah Dyah Wulandari, seorang gadis berusia enam belas tahun yang amat cantik, berkulit kuning langsat dan halus tanpa cacat, wajahnya semringah segar seperti sekuntum bunga mawar bermandikan embun. Dara ini adalah keponakan dari Ki Patih Nambi yang men-yayangnya seperti anak sendiri karena dara itu, anak darai kakak perempuannya, adalah seorang anak yatim piatu dan sejak kecil dipelihara Ki Patih.   Orang muda adalah seperti air yang jernih, mudah sekali terkena kotoran dari manapun datangnya. Oleh karena itu pergaulan amatlah penting karena pergalan ini dapat mempengaruhi orang muda, dapat mengotori air yang jernih itu. Keadaan sekeliling dalam pergaulan amat kuat untuk membentuk watak seorang muda. Pangeran Kolo Gemet sejak kecil amat dimanja dan dituruti segala kemauannya. Setelah dia didekati oleh Mahapati apalagi setelah dia mempunyai pembantu-pembantu seperti Ki Durgakelana, Warak Jinggo dan Sarpo Kencono, sebentar saja segala sifat-sifat pengejar kesenangan dari mereka itu telah menular kepadanya. Apalagi dalam, hal mengejar wanita! Bujukan-bujukan manis yang berbisa dari Ki Durgakelana yang memang memiliki watak cabul, cepat tertelan oleh Pangeran Kolo Gemet sehingga dalam waktu singkat saja Pangeran muda ini mulai menghambakan diri kepada pengejaran kesenangan yang dinikmati dari pemuasan nafsu berahi. Mulailah Pangeran ini memandang wanita dengan sinar mata lain dan dengan bantuan Ki Durgakelana yang pandai menggunakan ilmu hitam dan sihir, mulailah dia menikmati hubungan dengan wanita yang tentu saja amat mudah didapatinya. Dari beberapa orang dayang keraton sampai abdi dalam, dari para seniwati istana sampai beberapa orang isteri dari ponggawa istana, banyak yang sudah menjadi korban kecabulan Pangeran Kolo Gemet yang dibantu oleh Ki Durgakelana itu!   Segala macam nafsu timbul dari pikiran. Pikiran yang membayang-bayangkan segala macam kenangan akan kesenangan yang dirasakan, membangkitkan nafsu. Celakanya, sekali nafsu dituruti, dia akan mencengkeram manusia sehingga Si Manusia tidak mampu lagi untuk membebaskan diri darinya. Makin dituruti,makin kuatlah nafsu! Nafsu apa saja, dan terutama sekali nafsu berahi. Makin kita membiarkan diri dicengkeraman, makin kuat dia menguasai kita. Makin diberi makan, makin hauslah nafsu berahi, seperti sifatnya api, makin diberi makan makin berkobar dan makin ganas. Akan tetapi nafsu macam apa pun, betapa kuatnyapun, selalu didasari atas pikiran yang mengenangkan segala hal yang menyenangkan. Tanpa adanya kenangan pikiran yang merupakan bahan bakar terutama, maka api nafsu akan kehilangan kekuatannya dan akan padam dengan sendirinya.   Orang yang menjadi budak nafsu makin lama menjadi makin lemah, hidupnya digerakkan oleh dorongan nafsu yang mengejar segala yang dianggapnya menyenangkan. Demikian pula Pangeran Kolo Gemet. Makin dia mengenal kenikmatan-kenikmatan dari perjinaan-perjinaan yang dilakukan dengan para wanita, makin hauslah dia untuk memuaskan nafsu berahinya. Maka, begitu dia melihat Dyah Wulandari, nafsu berahinya berkobar-kobar dan dia menjadi tergila-gila kepada keponakan dari KI Patih Nambi itu.   Ki Patih Nambi bukanlah seorang yang bodoh. Sekali melihat saja sikap Pangeran itu, dia maklum bahwa ada bahaya mengancam diri keponakannya. Ki Patih ini sudah mendengar akan sepak terjang Pangeran Kolo Gemet yang suka mengganggu wanita. Tentu saja hal ini membuatnya tidak senang, akan tetapi apakah yang dapat dia lakukan? Untuk menegur, tentu saja dia tidak berani. Untuk melaporkan kepada Sang Prabu Kertarajasa juga tidak berani, apalagi mengingat betapa raja yang sudah tua itu sakit-sakitan saja. Dia hanya menyesalkan keadaan Pangeran itu dan maklum bahwa kerusakan Pangeran itu terutama adalah karena dimanja dan Ayahnya kurang memperhatikannya. Maka karena sudah tidak dapat menghindar lagi dan keponakannya bertemu dengan Sang Pangeran, dia membiarkan keponakannya memberi hormat dengan sembah yang dilakukan dengan lemah gemulai dan amat menggairahkan.   "Paman Patih, siapakah dara yang amat cantik jelita ini? Tidak pernah saya melihatnya, dia cantik seperti bidadari dari khayangan!" Dengan terus terang dan tidak tahu malu, dengan sikap seorang hidung belang tulen, Pangeran muda itu memandang wajah Sang Ayu yang menunduk itu. Mendengar ucapan ini, dara itu menjadi merah wajahnya, menyembah lagi dan cepat dia meninggalkan tempat itu.   Ki Patih Nambi maklum bahwa tentu keponakannya itu merasa malu dan takut mendengar kekasaran sikap Sang Pangeran, akan tetapi dia juga khawatir melihat keponakannya pergi begitu saja, maka cepat di menjawab, "Harap Paduka maafkanlah kecelingusannya, maklumlah dia tidak pernah bertemu dengan Paduka. Dia adalah keponakan saya, bernama Dyah Wulandari dan..... dia sudah bertunangan dengan seorang pemuda bernama Sarjitowarman, juga seorang keponakan jauh dari isteri saya."   Ki Patih sengaja menyambung keterangannya dengan bertunangan itu dan memang sikapnya itu tepat sekali. Dia melihat seolah-olah ada awan mendung menyelimuti wajah Sang Pangeran yang tadinya berseri-seri. "Dia.... dia sudah bertunangan.....? Ahhh.... selamat, selamat, Paman Patih."   Sejak itulah, Sang Pangeran menjadi murung dan suka marah. Biarpun Ki Durgakelana mencoba menghiburnya dan menjanjikan wanita-wanita lain, namun tetap saja dia tidak senang dan yang dibayangkan hanya wajah Dyah Wulandari! Hal ini dilihat oleh Ki Durgakelana dengan hati girang karena memang itulah yang dikehendaki oleh Resi Mahapati, maka diam-diam dia lalu melaporkan hal ini kepada Sang Resi Mahapati. Dan pada senja hari itu, Sang Resi Mahapati datang berkunjung dan diterima oleh Pangeran Kolo Gemet di dalam taman sari karena sudah dua hari dia sering termenung di taman sari dan enggan meninggalkan tempat indah penuh bunga ini, kecuali apabila hari sudah malam dan hawa udara sudah amat dinginnya.   Ketika Sang Resi Mahapati datang menghadap Pangeran Kolo Gemet dan melihat wajah pangeran yang murung itu, dia cepat memberi hormat kemudian bertanya, seolah-olah dia merasa heran padahal tentu saja dia sudah mendengar laporan selengkapnya dari Ki Durgakelana.   "Menurut wawasan hamba, Paduka termenung dan diliputi kerisauan hati. Apakah yang terjadi, Kanjeng Pangeran? Ceritakan saja pada hamba dan hamba berjanji akan sanggup mengobatinya."   Pemuda itu cemberut dan memandang kepada Sang Resi. "Sudah sepatutnyalah kalau Andika yang harus mengobatinya, Paman Resi, karena Andika pula yang menimbulkan penderitaanku ini."   "Ehh??" Sang Resi yang cerdik pura-pura kaget. "Apa yang Paduka maksudkan?"   "Paman Resi Mahapati, siapa yang membawa aku pergi berkunjung ke rumah Paman Patih Nambi tempo hari?"   "Hamba yang mengajak Paduka. Kenapakah...?"   "Andika tentu telah melihat dara itu..... hemm, seperti bidadari khayangan dan namanya begitu indah, Dyah Wulandari....." Pangeran itu menengadah dan memejamkan matanya sambil menarik napas panjang. Resi Mahapati bertukar pandang dengan Ki Durgakelana yang menyembunyikan senyum.   Tiba-tiba terdengar Resi Mahapati tertawa. Suara ketawa ini seperti memecahkan lamunan Sang Pangeran. Dia cepat menunduk, membuka mata memandang wajah Sang Resi dan berkata dengan nada suara menegur, "Apa yang ditertawakan, Paman Resi? Senangkah Andika melihat saya menderita? Atau lucukah kalau saya jatuh cinta kepada dara yang denok ayu itu?"   "Ampunkan hamba, Kanjeng Pangeran. Sama sekali bukan demikian. Hamba tertawa karena melihat Paduka merisaukan hal yang sebetulnya sederhana saja. Kalau Paduka menghendaki seorang dara, mengapa hal itu dirisaukan benar? Wanita mana yang tidak akan bersembah sungkem di depan kaki Paduka, yang akan siap dan rela menyerahkan diri untuk melayani cinta kasih Paduka? Kalau memangPaduka gandrung kepada keponakan Ki Patih Nambi itu, apa sih sukarnya meraih Si Denok ke pangkuan Paduka?"   "Hemm, mudah dan enak saja Andika bicara, Paman Resi. Kalau Wulandari itu anak atau isteri sekalipun dari seorang ponggawa biasa, tentu mudah aku memintanya. Bahkan kalau dia itu puteri seorang raja muda di luar Mojopahit, juga aku akan melamarnya atau merampasnya. Akan tetapi dia keponakan Paman Patih! Dan dia sudah bertunangan!"   "Apa salahnya, Gusti? Biar sudah menikah sekalipun, apalagi baru bertunangan, dapat saja diputuskan atau dibatalkan kalau Paduka menghendaki!"   "Ah, tapi dia keponakan Ki Patih Nambi!" pemuda itu berkata lagi sambil mengerutkan alisnya.   "Kalau begitu, mengapa? Paduka adalah Pangeran Mahkota dan Ki Patih hanya seorang abdi yang harus mentaati perintah Paduka."   "Hemm, Andiaka seperti tidak tahu saja, Paman Resi. Kita sama tahu siapa adanya Paman Patih Nambi. Dia kepercayaan Kanjeng Romo! Kanjeng Romo tentu akan marah sekali kalau sampai aku berani mengganggu Paman Patih Nambi. Dia sudah memper- kenalkan keponakannya itu kepadaku dan bahkan menambahkan bahwa keponakannya itu telah bertunangan dengan lain orang, hal itu berarti bahwa aku tidak boleh mengganggu Wulandari! Tidak ada jalan dan tidak ada alasannya. Kalau aku menggunakan kekerasan, tentu Kanjeng Romo akan marah kepadaku. Paman Resi, Andika harus menolongku..... ah, tidak kuat rasanya menanggung derita rindu ini!"   "Ha-ha-ha, segala hal kalau Paduka ceritakan kepada hamba, tanggung beres! Hamba yang mananggung bahwa Paduka akan dapat meraih dara jelita itu ke dalam rangkulan Paduka,ke atas pangkuan Paduka tanpa ada bahaya kemarahan dari Ramanda Paduka Kanjeng Gusti Sinuhun."   Sepasang mata yang sayu itu beserinar, wajah yang muram itu berseri. "Benarkah, Paman? Bagaimana caranya? Ohh, cepat katakan kepadaku!"   "Paduka tentu maklum bahwa biarpun Beliau menjadi kepercayaan Sang Prabu, namun sebenarnya di balik wajah setia dari Ki Patih Nambi tersembunyi hati yang bengkok! Dia mempunyai hati yang condong kepada Lumajang, buktinya, Ayah kandungnya sendiri, Aryo Pranarojo, juga berada di Lumajang, bahkan kabarnya menjadi tangan kanan dari Adipati Lumajang, yaitu Aryo Wirorojo."   "Aku tahu, dan Kanjeng Romo juga sudah mengetahuinya, akan tetapi buktinya Ki Patih Nambi adalah seorang patih yang cakap dan setia. Apa hubungannya itu dengan Wulandari, Paman Resi?"   Jilid 60   "Sekarang tiba saatnya untuk membuka kelemahannya itu, Kanjeng Pangeran. Kemarin hamba menerima laporan dari para penyelidik bahwa di kepatihan datang penyelidik bahwa di kepatihan datang seorang mata-mata dari Lumajang dan bermalam di kepatihan. Nah, kalau Paduka mendatangi kepatihan dan menyergap, menangkap mata-mata itu di kepatihan, bukankah hal itu akan membuka rahasia Ki Patih bahwa dia mempunyai hubungan dengan para pemberontak Lumajang?"   Sang Pangeran mengerutkan alisnya dan menggeleng-geleng kepalanya. "Aku tahu betapa Kanjeng Romo paling tidak suka mendengar Lumajang dijelek-jelekkan. Bahkan Kanjeng Romo selalu menganggap Lumajang sebagai tempat orang-orang yang setia kepada Beliau. Kalau aku melakukan penangkapan terhadap orang Lumajang di rumah Paman Patih, hal itu hanya akan menimbulkan kegemparan dan kemarahan kanjeng Romo. Tidak, Paman Resi, aku tidak mau mencampuri urusan pemerintahan selama Kanjeng Romo masih menjadi raja, dan hal itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan Wulandari."   "Justru penangkapan atas diri orang Lumajang itu merupakan satu-satunya jalan bagi Paduka untuk mendapatkan diri Dyah Wulandari, Kanjeng Pangeran."   "Ehhh....??" Sang Pangeran kini menjadi tertarik sekali dan mendekat. "Ceritakan, paman, Resi."   "Ketahuilah bahwa orang Lumajang itu bernama Sarjitowarman."   "Ahh...? Orang yang dikatakan tunangan Dyah Wulandari?"   "Benar, Kanjeng Pangeran. Tunangan Dyah Wulandari dan juga keluarga Ki Patih, keponakan dari isteri Ki Patih."   "Dan dia mata-mata Lumajang?"   "Bukan, Kanjeng Pangeran."   Pangeran Kolo Gemet bengkit berdiri dan memandang marah. "Paman Resi, apakah Andika hendak mempermainkan aku?"   Resi Mahapati pura-pura gugup dan cepat dia memberi hormat. "Harap Paduka tenang dan harap suka mendengarkan penjelasan hamba. Sarjitowarman tentu saja bukan mata-mata, melainkan datang berkunjung kepada pamannya dan tunangannya, tentu saja membawa pesan dan berita dari Aryo Pranarojo untuk puteranya, Yaitu Ki Patih Nambi. Akan tetapi, karena pemuda itu merupakan seorang asing di sini, juga seorang Lumajang, tentu saja Paduka dapat menangkapnya dengan tuduhan mata-mata Lumajang. Tentu tidak ada yang berani menentang, juga Ki Patih sendiri tidak berani kalau Paduka menangkap pemuda itu dengan dalih hendak memeriksanya demi keselamatan kerajaan. Nah, setelah di Paduka tangkap, selanjutnya Ki Durgakelana yang akan memberi jalan untuk menyelamatkan pemuda itu, yaitu agar Dyah Wulandari sendiri yang menghadap Paduka. Selanjutnya, segala hal dapat diatur.....heh-heh!"   Makin berseri wajah Pangeran Kolo Gemet. Yang tebayang olehnya hanya dara yang denok ayu itu menyerah kepadanya dan betapa dia akan menikmati dara yang membuatnya tergila-gila itu! Dia mendengarkan suara Resi Mahapati yang berbisik-bisik mengatur siasat, mengangguk-angguk puas. Malam itu, rencana telah diatur untuk melaksanakan siasat Resi Mahapati yang cerdik itu.   Sang Resi Mahapati tidak pernah melepaskan ambisinya yang besar. Dia telah berhasil mengadu domba dan meruntuhkan banyak tokoh yang dianggap dapat merintangi jalan menuju tercapainya cita-citanya, tanpa memperdulikan betapa jahat dan kejinya pelaksanaan untuk menjangkau cita-citanya itu. Kini, mulailah dia bersiasat untuk menanam kebencian antara Ki Patih Nambi dengan Pangeran Kolo Gemet. Raja sudah tua dan setiap saat tentu Pangeran Mahkota yang akan naik tahta. Maka, Ki Patih Nambi harus lebih dulu disingkirkan, atau setidaknya diusahakan agar putera mahkota dan patihnya itu mempunyai dendam atauatau saling bermusuhan! Dan jalan satu-satunya untuk berhasil, mengingat bahwa Ki Patih Nambi adalah seorang bijaksana yang sukar sekali dibujuk, adalah mempergunakan kelemahan Pangeran Kolo Gemet terhadap wanita.   Pada keesokan harinya, tentu saja Ki Patih Nambi terkejut bukan main ketika para pengawal melaporkan akan kedatangan Pangeran Kolo Gemet yang diikuti oleh sepasukan pengawal pangeran yang kelihatan marah-marah itu! Cepat Ki Patih Nambi lalu menyambut keluar dan dia makin terkejut dan heran ketika Pangeran Mahkota itu langsung saja berkata kepadanya dengan suara lantang dan kaku, "Paman Patih, harap Paman serahkan mata-mata dari Lumajang itu kepadaku!"   Sepasang mata Ki Patih Nambi terbelalak dan alisnya terkerut. "Apakah yang Paduka maksudkan?" tanyanya bingung.   "Paman tidak perlu berpura-pura. Jangan mengira bahwa aku tidak tahu. Ketahuilah bahwa sebagai seorang Pangeran Mahkota, diam-diam aku pun memasang penyelidik-penyelidik untuk mengetahui keadaan kerajaan. Kemarin di sini datang seorang dari Lumajang dan bermalam di kepatihan. Tidak benarkah itu?"   Ki Patih tersenyum lega. "Ah, dia? Memang benar, Kanjeng Pangeran. Kemarin ada datang seorang keponakan saya dari Lumajang yang bernama Sarjitowarman, akan tetapi dia adalah keponakan saya sendiri dan bukan mata-mata...."   "Paman Patih! Sebagai seorang ponggawa Mojopahit, tentu Paman cukup mengerti bahwa urusan negara lebih penting daripada urusan pribadi! Harap Paman suka menyuruh orang Lumajang itu keluar agar dapat kuperiksa dan kutanyai dia."   Dengan hati tidak enak Patih Nambi lalu menyuruh pengawalnya yang segera masuk dan tak lama kemudian pengawal itu kembali lagi bersama seorang pemuda yang tampan. Melihat bahwa di samping Pamannya di situ terdapat pula Pangeran Mahkota pemuda itu cepat duduk bersila dan menyembah dengan sikap hormat.   Pangeran Kolo Gemet menatap wajah pemuda itu dan bibirnya tersenyum mengejek. Begini sajakah tunangan Dyah Wulandari? Demikian hatinya mengejek. Tidak seberapa!   "Heh, kau orang Lumajang?" Dia membentak dengan sikap congkak.   Pemuda itu menyembah dan menjawab, "Benar, Kanjeng Pangeran."   "Siapa namamu?"   "Hamba bernama Sarjitowarman, Gusti."   "Kau datang membawa berita-berita dari Lumajang, bukan?"   Pemuda itu mulai kelihatan gelisah, akan tetapi dia mengangguk. "Benar, Kanjeng Pangeran," katanya lirih, karena memang dia tidak mebohong. Bukankah dia diutus oleh Aryo Pranarojo untuk menyampaikan berita keselamatan kepada Pamannya di Mojopahit?   "Kau menyampaikan berita rahasia dan melakukan penyelidikan di sini, memata-matai Mojopahit?"   Ki Patih Nambi memandang dengan kaget dan hendak memprotes, akan tetapi Sang Pangeran mengangkat tangan mencegahnya. Pemuda itu juga terkejut sekali dan menjawab gagap, "Ti..... tidak, Kanjeng Pangeran...."   "Kau bohong! Tangkap dia!" bentak Sang Pangeran kepada para pengawalnya dan majulah Warak Jinggo, menagkap dan mengikat kedua tangan pemuda itu.   Ki Patih Nambi melangkah maju hendak mencegah, akan tetapi pada saat itu Ki Durgakelana berkata, "Harap Paduka tenang, Gusti Patih. Ingat bahwa yang menagkap adalah Gusti Pangeran Pati sendiri."   Mendengar ini, Ki Patih Nambi menahan kemarahannya dan menghadapi Pangeran Kolo Gemet, memandang tajam dan bertanya dengan suara kaku, "Kanjeng Pangeran, apakah artinya penangkapan yang Paduka lakukan terhadap keponakan saya ini?"   Pangeran muda itu tersenyum mengejek. "Artinya? Artinya adalah bahwa saya telah menangkap seorang dari Lumajang yang disangka mata-mata dan dia akan diperiksa sampai ada bukti bahwa dia tidak bersalah, Paman Patih. Apakah Andika keberatan dengan tugasku itu? Biarpun dia adalah keponakanmu, akan tetapi saya harus mangutamakan keselamatan Mojopahit, Paman Patih."   Tentu saja Patih Nambi tidak dapat menjawab dan tidak berani menyatakan keberatan dan dia hanya memandang dengan wajah pucat ketika pangeran dan pasukannya pergi sambil membawa Sarjitowarman sebagai seorang tawanan. Setelah rombongan itu pergi jauh, barulah Ki Patih Nambi melihat bahwa kakek itu masih berada di situ. Dia mengenal kakek ini sebagai seorang kepercayaan dan pengawal Pangeran, seorang yang kabarnya memiliki kesaktian dan bernama Ki Durgakelana. Ki Patih memandang heran dan matanya mengandung penuh pertanyaan.   "Eh, Paman masih berada di sini?" tanyanya.   "Saya ingin membicarakan hal tadi dengan Paduka, Gusti Patih," jawab Ki Durgakelana kepada Patih Nambi sambil melirik ke arah para pengawal.   Patih itu maklum dan segera berkata, "Mari kita masuk ke ruangan tamu dan bicara, Paman Durgakelana."   Mereka memasuki sebuah kamar di serambi depan dan setelah mereka duduk berdua, Ki Patih Nambi manarik napas panjang menekan ketegangan hatinya dan bertanya, "Apakah yang akan Andika sampaikan Paman?"   "Maafkan saya, Gusti Patih. Sesungguhnya, saya merasa ikut prihatin menyaksikan penangkapan yang dilakukan oleh Gusti Pangeran tadi. Terus terang saja, Gusti Pangeran melakukan penagkapan itu atas pelaporan penyelidik yang melihat orang asing di sini apalagi ketika mendengar bahwa pemuda itu datang dari Lumajang. Gusti Pangeran yang amat membenci orang-orag Lumajang tentu saja menjadi marah dan melakukan penangkapan."   "Habis, apa yang dapat saya lakukan atau Andika lakukan, Paman?"   "Saya akan berusaha menolong, akan tetapi harus dicarikan jalan yang baik, Gusti Patih. Kenyataan bahwa Sarjitowarman itu keponakan Paduka bukanlah merupakan alasan yang kuat. Harus ada alasan yang lebih kuat yang mengikatkan dia dengan Mojopahit....."   "Ah, dia bukan hanya keponakanku, akan tetapi juga calon suami keponakanku Dyah Wulandari! Itulah sebabnya maka dia sering berkunjung ke Mojopahit, selain untuk mengunjungi kami, terutama sekali untuk menjenguk tunangannya."   "Ahh! Begitukah?" Wajah Ki Durgakelana itu berseri-seri, seolah-olah dia baru tahu akan hal ini. "Kalau begitu, itulah satu-satunya jalan untuk membebaskan dia!"   "Maksudmu?"   "Gusti Pangeran paling lemah menghadapi wanita, maka kalau keponakan Paduka itu menghadap Gusti Pangeran dan mengajukan permohonan agar pemuda itu dibebaskan karena pemuda itu adalah calon suaminya, tentu Gusti Pangeran akan mereda kemarahannya dan melihat bukti bahwa pemuda itu tidak bersalah."   Sang Patih mengerutkan alisnya. "Akan tetapi....." Dia tidak melanjutkan kata-katanya karena hatinya bimbang. Dia tentu saja sudah mendengar bahwa Pangeran Kolo Gemet adalah seorang pria mata keranjang dan suka menganggu wanita. Akan tetapi dia pun tentu saja tidak berani menyatakan suara hatinya ini di depan Ki Durgakelana, orang kepercayaan Sang Pangeran. Maka dia termenung bimbang.   "Selain itu, kiranya tidak ada cara lain untuk menolong pemuda tadi, Gusti Patih. Urusan ini cukup gawat, menyangkut soal tuduhan mata-mata. Ikatan antara Paduka dan pemuda itu hanyalah sebagai paman dan keponakan luar. Kurang kuat untuk mematahkan belenggu persangkaan itu. Akan tetapi ikatan antara calon suami isteri tentu lebih kuat dan Gusti Pangeran tentu lebih mempercayai puteri keponakan Paduka."   Ki Patih tetap termenung penuh keraguan. Dan Ki Durgakelana menggunakan kesempatan itu untuk mendesak, "Saya kira, paling tepat kalau puteri keponakan Paduka itu sekarang juga menghadap Gusti Pangeran di istananya sebelum ada keputusan dijatuhkan atas diri pemuda itu. Dan sebaiknya di waktu menghadap ditemani saja oleh seorang dayang. Saya sudah bicara terlalu banyak, terdorong oleh rasa iba, Gusti Patih. Nah, saya mohon diri." Kakek Raksasa itu memberi hormat lalu meninggalkan tempat itu, diantar oleh ucapan terima kasih dari Ki Patih Nambi yang masih ragu-ragu.   Ketika Ki Patih Nambi memasuki ruangan dalam, dia disambut oleh tangis isterinya dan tangis Dyah Wulandari. Mendengar kepoanakan ditangkap, tentu saja isteri Ki Patih merasa khawatir dan berduka sekali. Demikian pula Dyah Wulandari, karena dara cantik jelita ini sejak kecil telah mengenal Sarjitowarman dan setelah menjadi tunangannya, dia jatuh cinta kepada pemuda calon suaminya itu.   Ki Patih Nambi duduk dengan penuh kegelisahan, lalu dia menceritakan usul yang disampaikan oleh Ki Durgakelana tadi. Mendengar ini, Dyah Wulandari lalu bangkit dan berkata, "Kalau begitu, saya akan menghadap Gusti Pangeran, Kanjeng Paman!" Wajah yang cantik itu agak pucat dan kedua pipinya basah air mata.   "Akan tetapi....ah, hatiku khawatir kalau aku menghadap Beliau, Wulan!" kata Ki Patih.   "Apa yang dikhawatirkan?" isterinya membantah. "Kalau memang hanya itu jalannya untuk membebaskan Warman, biarlah Wulan pergi menghadap. Sudah selayaknya seorang calon isteri membuktikan darma baktinya kepada suami."   "Akan tetapi..... Gusti Pangeran itu terkenal mata keranjang dan......"   "Ahhh, mana dia berani mengganggu keponakan Paduka?"   Akhirnya setelah Wulandari dan isterinya mendesak, Ki Patih Nambi menyetujui juga, melepaskan keponakannya itu pergi dengan diantar oleh seorang dayang tua, dengan hati tidak enak. Akan tetapi dia masih berharap bahwa Sang Pangeran tidak akan berani mengganggu dara itu dan memandang kepadanya.   Ketika Wulandari dan dayang yang mengantarnya tiba di istana Pangeran Kolo Gemet, dia segera dipersilakan masuk dan seketika tiba di ruangan dalam, dayang itu tidak diperkenankan masuk terus dan Dyah Wulandari diantar oleh pengawal sampai ke depan sebuah kamar yang pintunya tertutup.   "Kanjeng Gusti Pangeran menanti di dalam kamar ini, harap Andika masuk saja," kata Ki Sarpo Kencono yang menjaga di depan kamar itu bersama Ki Warok jinggo. Keduanya menyeringai penuh arti dan dyah Wulandari merasa seram terhadap dua orang kakek raksasa yang kasar dan buruk rupa itu. Maka dia lalu membuka daun pintu dan bergegas memasuki kamar itu. Sebuah kamar yang besar sekali.   "Klik!" Dyah Wulandari terkejut dan menengok, kiranya daun pintu itu telah ditutupkan kembali oleh tangan-tangan raksasa di luar tadi. Dia membalik lagi dan memandang ke dalam kamar.   Kamar itu besar dan mewah sekali, juga berbau harum seperti kamar pengantin. Di sudut kamar itu terdapat sebuah pembaringan yang amat indah bertilam sutera merah muda yang tersulam bunga-bunga kuning dan daun-daun hijau. Lantainya terhias permadani tebal dan semua perabot kamar itu merupakan benda-benda yang mahal dan indah. Di atas sebuah meja dekat pembaringan tersedia minuman-minuman dalan guci dan cawan-cawan terbuat daripada emas dan perak. Pendeknya, belum pernah selama hidupnya Dyah Wulandari melihat kamar semewah dan seindah itu biarpun kamar-kamar di istana kepatihan juga merupakan kamar-kamar yang mewah bagi ukuran rakyat biasa. Akan tetapi Wulan jadi tidak begitu memperhatikan segala keindahan itu. Jantungnya berdebar-debar penuh ketegangan, kegelisahan dan ketakutan dan kedua kakinya menggigil, tidak lagi dapat digerakkan ketika dia melihat seorang pemuda dengan pakaian sarung tipis menyelimuti tubuhnya yang telanjang, sedang duduk di atas pembaringan itu. Pemuda itu bukan lain adalah Sang Pangeran Kolo Gemet yang memandang kepadanya dengan mulut tersenyum dan sepasang mata yang seolah-olah menelannya bulat-bulat!   "Ahhh... Si Dewi Kahyangan...... Dyah Wulandari! Akhirnya kau datang juga kepadaku, bocah denok ayu?" Sang Pangeran bangkit berdiri dan menyambutnya dengan kata-kata yang membuat Wulandari makin ketakutan itu.   Saking takutnya, Wulandari tidak dapat lebih lama lagi berdiri, dia lalu mendeprok dan duduk di atas lantai sambil menyembah. "Mohon.... mohon belas kasihan Paduka, Gusti...." dia berkata dengan suara gemetar.   "Ah, jangan begitu, cah ayu. Jangan duduk di bawah, mari kita duduk di sini dan bicara dengan baik dan enak. Marilah....." Sang Pangeran menggapai.   Wulandari memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak ketakutan lalu menggeleng kepala dan berkata lebih lirih, "Hamba.... hamba.....biar hamba duduk di sini saja........"   "Ah mana bisa begitu? Tidak enak bicara begini. Marilah, sayang kita bicara sambil duduk di sini. Marilah!" Pangeran Kolo Gemet menghampiri dara itu yang menggigil ketakutan, memegang tangannya dan menariknya berdiri. Karena takut, Dyah Wuladari terpaksa bangkit berdiri. Sukar kakinya melangkah, akan tetapi dengan sikap halus dan mesra pangeran itu menggandengnya dan merangkul pinggangnya, menarik ke depan dan diajak menghampiri pembaringan yang lebar dan indah itu.   "Nah, duduklah di sini dan mari kita bicara seenaknya." Dia memaksa Dyah Wulandari duduk di tepi pembaringan. Pembaringn itu lunak dan halus, akan tetapi terasa oleh dara itu seperti ada bara api membakar pinggulnya atau ada ujung-ujung keris tajam menusuk pinggulnya ketika dia duduk sehingga duduknya mepet di sudut dan hanya menempelkan pinggulnya di tepi pembaringan, mukanya menunduk, sebentar pucat sebentar merah, jantungnya berdebar-debar sehingga terdengar olehnya bunyi debur jantungnya yang makin mengencang.   Melihat dara itu ketakutan, Pangeran Kolo Gemet melepaskan pegangan tangannya, kemudian dia pun duduk di samping dara itu, bertanya dengan halus, "Diajeng Wulandari yang manis, yang cantik jelita, yang membuat aku seperti gila dalam beberapa hari ini, sungguh aku merasa kejatuhan bulan melihat engkau masuk ke dalam kamarku. Diajeng, sekarang katakanlah, apa yang membawa Diajeng datang ke sini menemui aku? Apakah karena engkau merasakan desakan rindu hatiku, jeritan hatiku setiap malam di waktu aku bermimpi dan bertemu denganmu?"   Dyah Wulandari merasa kepalanya pening karena jantungnya yang berdebar keras itu sehingga semua ucapan itu seperti terdengar amat jauh baginya. Kata-kata yang amat asing baginya, kata-kata rayuan yang belum pernah didengarnya semula. Bahkan tunangannya sendiripun Sarjitowarman, belum pernah mengeluarkan kata-kata merayu seperti itu. Sarjitowarman hanya menyampaikan rasa cinta kasihnya melalui senyum dan pandang mata, Sarjitowarman! Untuk tunangannya itulah dia kini berada di kamar ini! Teringat akan tunangannya yang ditangkap, timbul pula keberanian di hati Wulandari dan kini dia mengangkat muka, memadang wajah pangeran yang tampan dan mengerikan baginya itu.   Pangeran..."Dia berhenti lagi, kerongkongannya terasa tersumbat ketika dia melihat pandang mata pemuda itu demikian liar dan seperti hendak menelanjanginya, maka dia terpaksa menundukkan mukanya lagi. "Hamba datang menghadap Paduka karena hamba hendak mengajukan permohonan....."   "Ah, gembira sekali hatiku bahwa orang seperti engkau suka minta sesuatu dariku, Diajeng Wulandari. Permintaan apakah itu?"   "Hamba mohon agar Paduka suka mengampunkan.... Kakangmas Sarjitowarman. Dia bukanlah mata-mata Lumajang, Pangeran. Dia datang ke mojopahit karena memang mempunyai keperluan pribadi, yaitu..... untuk mengunjungi hamba. Hamba adalah tunangannya, calon isterinya, maka sudah sepantasnya kalau dia kadang-kadang untuk mengunjungi hamba, dan juga mengunjungi Kanjeng Paman Nambi, karena Kakangmas Sarjitowarman adalah keponakan dari Kanjeng Bibi. Maka, hamba mohon kebijaksanaan dan belas kasihan Paduka, sudilah kiranya Paduka membebaskan Kakangmas Sarjiowarman." Setelah berbicara, dara itu merasa tenang dan dapat bicara dengan lancar.   "Ah, tentu saja.... tentu saja....! Dengan senang hati aku akan menolongmu dan memenuhi permintaanmu. Apa lagi baru permintaan seringan itu, biar engkau minta bulan pun akan kulaksanakan, Diajeng Wulandari. Akan tetapi tentu saja tidak ada kebaikan tanpa dibalas, dan aku yakin engkau adalah seorang yang mengenal budi."   Dara itu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah. "Terima kasih atas kebijaksanaan Paduka. Budi Paduka tidak akan hamba lupakan selama hidup..."   "Ah, tidak perlu begini, manis. Aku cinta padamu asal engkau bersikap manis dan suka melayaniku dengan suka rela dan manis, kuanggap budi ini sudah cukup terbalas. Marilah, sayang, aku cinta padamu.... ah, betapa rinduku kepadamu, wulansari." Pangeran itu mendekat dan merangkul.   "Ihhhh......!" Dyah Wulandari menjerit kecil. "Jangan..... jangan, Kanjeng Pangeran, jangan.......!" Dia meronta dan bangkit berdiri lalu melangkah mundur, dadanya berombak, mukanya pucat dan matanya terbelalak, seperti mata seekor kelinci menghadapi seekor harimau yang akan menubruknya dan mencabik-cabik dagingnya.   Alis pangeran itu berkerut. "Wulandari, baru saja kau mengakatakan bahwa sampai mati kau tidak akan melupakan budiku, akan tetapi sekarang agaknya sudah kau lupakan!" Aku cinta padamu dan aku ingin engkau melayani cintaku dengan suka rela tanpa paksaan..... Diajeng, percayalah, aku sungguh tergila-gila kepadamu....." Pangeran itu menghampiri, menangkap pergelangan tangan dara itu, menariknya dan mendekapnya lalu mendekatkan mukanya hendak mencium.   "Tapi.... tapi hamba akan menjunjung tinggi Paduka sebagai seorang sesembahan yang bijaksana....... bukan untuk bersikap seperti.... itu....."   "Wulandari, pemuda Lumajang itu mestinya harus mati, akan tetapi demi melihatmu aku suka mengampuninya dan mengembalikan nyawanya kepadamu. Dan untuk pengganti nyawanya, aku hanya minta agar engkau suka melayaniku dengan manis budi. Bukankah itu sudah adil? Aku cinta padamu dan aku ingin engkau melayani cintaku dengan suka rela tanpa paksaan..... Diajeng, percayalah, aku sungguh tergila-gila kepadamu....." Pangeran itu menghampiri, menangkap pergelangan tangan dara itu, menariknya dan mendekapnya lalu mendekatkan mukanya hendak mencium.   "Tidak... eh, jangan....ampunkan hamba... jangan......!" Wulandari meronta-ronta, dan sukar bagi pangeran itu untuk dapat mencium bibirnya karena dara itu mengelak terus dan mendorong-dorong sehingga akhirnya Pangeran Kolo Gemet melepaskan rangkulannya. Mukanya menjadi merah, matanya liar dan napasnya mendengus-dengus, tanda bahwa dia marah dan nafsu berahinya sudah membuat matanya galap.   "Engkau menolak? Sungguh-sungguh engkau berani menolak cintaku?"   Wulandari menangis terisak-isak dan menjatuhkan dirinya di atas lantai, menyembah-nyembah. "Ampunkan hamba, Gusti..... hamba akan menjunjung Paduka sebagai seorang sesembahan yang bijaksana, yang pemurah, akan tetapi jangan Paduka menghendaki yang itu.... karena hamba sudah bertunangan, hamba sudah mempunyai seorang calon suami...."   "Kalau begitu kau ingin melihat tunanganmu itu mampus?"   "Ampun, Gusti.... ampunkan hamba, ampunkan dia.... demi para dewata yang agung, ampunkan hamba dan dia...." Wulandari meratap.   "Wulandari, jawablah pertanyaanku yang terakhir ini. Maukah engkau melayaniku dengan suka rela? Kalau mau, ke sinilah dan duduklah di pembaringan ini. Kalau tidak mau jawab saja sejujurnya!" suara Pangeran itu lantang dan penuh kemarahan.   Dyah Wulandari menyembah, suaranya tergagap karena terganggu tangisnya, "Ampunkan....hamba.... hamba....... tidak mungkin dapat melakukan hal itu, biar sampai mati sekalipun...., harap Paduka suka mengampuni hamba..."   "Keparat!" Pangeran Kolo Gemet lalu bertepuk tangan tiga kali dan daun pintu kamar itu terbuka cepat dari luar dan dua orang kakek raksasa itu sudah meloncat ke dalam. Mereka memandang kepada Sang Pangeran, hatinya merasa lega melihat Sang Pangeran tidak apa-apa hanya kelihatan marah, lalu mereka memandang kepada dara yang menangis dan berlutut di atas lantai itu.   "Bawa mata-mata Lumajang itu ke sini!" bentak Pangeran Kolo Gemet dengan penuh kegeraman.   "Baik, Gusti Pangeran!" jawab Warak Jinggo dan dia lalu meloncat keluar, sedangkan Sarpo Kencono masih berdiri di situ.   "Sarpo Kencono siapkan tali untuk meringkus mata-mata itu!"   Sarpo Kencono menyembah lalu keluar dari dalam kamar. Seluruh tubuh Dyah Wulandari menggigil penuh ketegangan dan kegelisahan. Dia maklum bahwa dia telah membikin marah pangeran, dan dia tidak dapat membayangkan apa yang hendak dilakukan oleh pangeran itu kepada tunangannya.   Tak lama kemudian terdengar langkah-langkah kaki menghampiri pintu kamar dan muncullah Warak Jinggo yang mendorong tubuh Sarjitowarman memasuki kamar, diikuti Sarpo Kencono yang membawa tali. Kedua tangan pemuda Lumajang itu sudah dibelenggu ke belakang tubuhnya, mukanya pucat dan rambut serta pakaiannya kusut awut-awutan. Ketika dia melihat bahwa Dyah Wulandari berada di dalam kamar itu, berlutut sambil menangis, dia terkejut bukan main.   "Diajeng....!" teriaknya lirih tertahan karena Warak Jinggo sudah menekan pundaknya sehingga dia menjatuhkan diri berlutut.   Jilid 61   "Kakangmas....!" Dyah Wulandari juga menjerit lalu menangis sesenggukan.   "Ikat dia di tiang pojok itu kuat-kuat, hadapkan ke sini!" Sang Pangeran membantak dan dua orang pengawalnya lalu menyeret tubuh Sarjitowarman ke pojok di mana terdapat tiang besar berukir indah, kemudian dengan kasar pemda itu ditelikung pada tiang itu. Tali yang kuat dan panjang itu dilibat-libatkan tubuhnya dari kaki sampai ke dada sehingga pemuda itu sama sekali tidak mampu bergerak lagi, hanya memandang ke arah tunangannya dengan penuh kekhawatiran. Sementara itu, Dyah Wulandari menangis makin hebat, mencoba untuk lari menghampiri tunangannya, akan tetapi Pangeran Kolo Gemet menghadang dan mendorongnya sehingga dara itu terhuyung dan jatuh ke atas pembaringan. Dia cepat turun lagi dan menyembah-nyembah sambil menangis sesenggukan.   "Gusti Pangeran, Paduka boleh menyiksa hamba, boleh membunuh hamba, akan tetapi janganlah Paduka mengganggu Diajeng Wulandari!" Sarjitowarman berteriak dengan marah, matanya terbelalak berapi-api ditujukan kepada Pangeran Kolo Gemet.   Pangeran itu meloncat dan menampar pipi pemuda itu. "Plakkk!" Dan darah mengalir dari ujung bibir yang pecah.   "Tutup dan ikat mulutnya yang lancang dengan kain agar tidak mampu mengeluarkan suara!" bentak Sang Pangeran dengan geram. Warak Jinggo lalu mempergunakan sehelai kain hitam untuk mengikat mulut Sarjitowarman sehingga pemuda itu kini selain tubuhnya terbelenggu, juga mulutnya tertutup ikatan yang erat sehingga sama sekali tidak mampu bersuara, hanya matanya saja yang masih dapat memandang dengan marah.   "Sekarang keluarlah kalian, jaga di depan pintu, jangan perkenankan siapapun masuk ke kamar ini!"   Dua orang kakek itu saling pandang, tersenyum lalu menyembah dan mengundurkan diri ke luar kamar, menutupkan daun pintu dan menjaga di luar kamar itu.   Pangeran Kolo Gemet lalu menghampiri Dyah Wulandari yang masih berlutut sambil menangis itu. "Nah, Wulandari, bagaimana sekarang? Apakah engkau masih bersikeras tidak mau memenuhi permintaanku?"   "Ampunkan, Gusti..... hu-hu-huhhh....... ampunkan hamba berdua...., lebih baik Paduka bunuh saja hamba berdua..... hu-huhhhhh......." Dara itu menangis tersedu-sedu.   Kolo Gemet menjadi semakin penasaran dan marah. "Baik, kalau begitu kaulihat dia ini tersiksa!" Dengan langkah lebar dia menghampiri Sarjitowarman yang terbelenggu di tiang.   "Brettt......!" Sekali renggut, robeklah baju pemuda itu sehingga dadanya nampak telanjang. Pangeran Kolo Gemet lalu mencabut kerisnya.   "Aku akan membunuhnya perlahan-lahan di depan matamu. Lihat baik-baik.....!" Pangeran itu lalu menggunakan ujung kerisnya menggurat kulit dada pemuda itu. Darah mengucur dari luka memanjang dan Sarjitowarman memejamkan mata menahan nyeri, hanya alisnya saja yang berkerut.   "Pangeran......!" Dyah Wulandari yang tadi memandang terbelalak, kini menjerit dan menubruk kaki pangeran itu, menyembah-nyembah, "Ampunkan dia.... ampunkan hamba.... demi para Dewata Yang Agung ampunkan dia....."   Pangeran Kolo Gemet tersenyum mengejek. "Ampun? Mudah saja, manisku. Tentu saja aku akan mengampunkan kalian kalau saja engkau tidak keras kepala seperti itu. Nah, kau duduklah di pembaringan itu, hentikan tangismu dan bersiaplah untuk melayaniku dengan manis."   "Tapi.... tapi..."   "Apa kau ingin melihat dadanya kurobek-robek?" pangeran itu membentak dan dengan muka pucat Dyah Wulandari lalu bangkit dan melangkah manuju ke pembaringan, akan tetapi tiba-tiba dia menoleh dan memandang kepada Sarjitowarman Pemuda ini tidak mampu bersuara atau bergerak, akan tetapi dia masih dapat menggeleng-gelengkan kepalanya, memberi isyarat yang jelas agar tunangannya itu tidak memenuhi kehendak Sang Pangeran.   "Hamba......hamba tidak dapat....." Akan tetapi kata-kata itu terhenti dan berubah menjadi jeritan lalu dia lari dan menubruk kaki pangeran itu ketika ujung keris itu kini dengan gerakan kasar dan marah menyambar dan mencoret-coret di atas dada yang telanjang itu sehingga dada itu kini belepotan darah dengan guratan-guratan merah malang melintang.   "Engkau masih berani membantah?" Pangeran itu membentak.   "Baik... baik.... Gusti, akan tetapi jangan...... jangan siksa dia....." Dengan ketakutan dan hati penuh kengerian melihat tunangannya disiksa seperti itu, Dyah Wulandari lalu setengah berlari menuju ke pembaringan dan duduk di situ dengan mata terbelalak dan muka pucat ketakutan terdengar rintih tangis Dyah Wulandari bersama rintih yang keluar dari kerongkongan Sarjitowarman yang hanya dapat memejamkan matanya rapat-rapat, akan tetapi air matanya menetes membasahi kedua pipinya.   "Ha-ha-ha, nah, begitu baru baik dan manis." Dia lalu menyimpan kerisnya dan memandang wajah Sarjitowarman. "Dan kau! Berani benar kau ya? Nah, untuk keberanianmu itu, hendak kulihat apakah engkau cukup berani untuk menonton apa yang akan terjadi!"   Sepasang mata Sarjitowarman kini memandang tanpa mengenal takut, tanpa rasa hormat, dan dia seolah-olah hendak mencekik pangeran itu dengan pandang matanya. Akan tetapi pangeran Kolo Gemet hanya tertawa lalu dengan langkah lebar menghampiri pembaringan.   "Gusti.... jangan.... jangan....!" Keluhan Wulandari itu makin menghebat keika pangeran itu menubruknya sehingga dia roboh terjengkang dan terlentang di atas pembaringan dan dia meronta-ronta berusaha melepaskan diri, namun tentu saja dia kalah tenaga dan dia pun agaknya takut kalau-kalau pangeran itu akan menyiksa tunangannya lagi. Akhirnya, keluhannya itu berubah menjadi jeritan-jeritan menyayat hati, kemudian di dalam kamar itu hanya terdengar rintih tangis Dyah Wulandari bersama rintih yang keluar dari kerongkongan Sarjitowarman yang hanya dapat memejamkan matanya rapat-rapat, akan tetapi air matanya menetes membasahi kedua pipinya.   Selama sehari itu, berkali-kali Dyah Wulandari roboh pingsan dan kalau tidak pingsan, terdengarlah rintihan dan tangisnya, keluhan dan sambatnya minta mati akan tetapi yang hanya dijawab dengan suara ketawa dan bujuk rayu Sang Pangeran. Karena asyik dengan pelampiasan nafsu-nafsu kotornya, Sang Pangeran tidak tahu betapa di luar pintu muncul Resi Mahapati yang berbisik-bisik dengan dua orang kakek pengawalnya, dan Resi Mahapati mengangguk-angguk tersenyum puas ketika mendengar suara rintihan-rintihan yang mengenaskan dari Dyah Wulandari di dalam kamar itu. Lalu kakek itu cepat meninggalkan istana pangeran dan bergegas mengunjungi kepatihan, di mana Patih Nambi masih menanti kembalinya keponakannya dengan hati gelisah.   Ki Patih Nambi menerima kunjungan Resi Mahapati yang kelihatan gugup dan gelisah itu dengan hati tidak enak. Dan sebelum Ki Patih dapat bertanya, Resi Mahapati telah mendahuluinya dengan suara gugup, "Celaka, Adimas Patih! Paduka harus cepat-cepat bertindak, kalau tidak maka celakalah....."   Biasanya, menghadapi segala macam persoalan, Ki Patih Nambi selalu bersikap tenang, akan tetapi sekarang karena hatinya sejak pagi tadi sudah gelisah memikirkan Dyah Wulandari yang tak kunjung pulang, dia menjadi pucat mendengar ini. "Kakang Resi Mahapati! Apakah yang telah terjadi?   "Saya baru saja mendengar bahwa keponakan Paduka, Dyah Wulandari, telah ditangkap oleh Sang Pangeran!"   Ki Patih Nambi mengerutkan alisnya. Dia memang sudah mengkhawatirkan hal ini, akan tetapi dia ingin mendengar lebih banyak dari resi yang dia tahu memiliki hubungan akrab dan dekat dengan Sang Pangeran itu. "Apa dosanya, Kakang Resi? Keponakan saya itu hanya pergi menghadap Sang Pangeran untuk mohon dibebaskannya tunangannya."   Resi Mahapati menarik napas panjang, kelihatan bingung dan khawatir sekali. "Saya sendiri hanya mendengar dari para pengawal Gusti Pangeran bahwa keponakan Paduka itu di tangkap dan dituduh membantu mata-mata dari Lumajang. Saya harap Paduka cepat-cepat pergi mendatangi pangeran untuk menolong keponakan Paduka itu, Dimas Patih."   Ki Patih Nambi adalah seorang yang bijaksana. Dia tahu bahwa kalau dia menuruti nasihat ini, dia hanya akan membuat suasana menjadi tambah panas dan keruh. Dia menggeleng kepalanya. "Gusti Pangeran berhak untuk menahan siapa pun yang dia curigai, Kakang Resi. Saya tidak berhak mencampuri, biarpun hal ini menyangkut urusan keponakan saya sendiri."   "Apa?" Resi Mahapati terbelalak. "Paduka maksudkan bahwa Paduka akan tinggal berpeluk tangan saja mendengar keponakan Paduka terancam? Ahh..... saya kira....ah, maafkan, kalau begitu tidak ada artinya saya bersusah payah melaporkan kepada Paduka..."   "Bukan begitu, Kakang Resi. Saya berterima kasih sekali atas pemberitahuan Andika ini, akan tetapi saya hanya dapat mengharapkan kebijaksanaan Kanjeng Gusti Sinuhun. Mendatangi Sang Pangeran sendiri hanya akan menimbulkan suasana yang makin panas saja."   "Ah, benar sekali, Adimas Patih! Sebaiknya sekarang juga Paduka pergi melapor kepada Sang Prabu!"   Akan tetapi Ki Patih Nambi kembali menggelengkan kepalanya. "Tidak sekarang, Kakang Resi, saya tidak berani mengganggu Sang Prabu di waktu hampir malam begini. Biarlah besok pagi saya akan mohon kebijaksanaan Sang Prabu."   Resi Mahapati mengangguk-angguk kemudian meninggalkan kepatihan. Di dalam hatinya dia merasa girang sekali. Biar pun pada lahirnya patih itu tidak kelihatan menaruh dendam, namun dia tahu bahwa di dalam hatinya tentu Ki Patih Nambi merasa sakit hati sekali. Tunggulah kau, Nambi, pikirnya, tunggulah sampai kau mendengar sendiri betapa keponakanmu telah diperkosa oleh Sang Pangeran! Dia menggosok-gosok kedua tangannya, membayangkan bentrokan antara Ki Patih Nambi dan Pangeran Kolo Gemet dan kalau hal itu terjadi, makin terbukalah kesempatan baginya untuk mengangkat diri sendiri memperoleh kedudukan patih yang diidam-idamkannya.   Keputusan Ki Patih Nambi untuk menunda permohonannya kepada Sang Prabu sampai besok pagi itu memperpanjang penderitaan batin Dyah Wulandari. Dia tidak berdaya dan dipermainkan sepuasnya oleh Pangeran Kolo Gemet dan sehari semalam, itu dia tidak pernah dilepaskan oleh Sang Pangeran. Kalau Dyah Wulandari mengalami penderitaan dan penghinaan yang lebih hebat menimpa jasmaninya, adalah Sarjitowarman yang mengalami sisaan batin amat hebatnya. Pemuda ini harus melihat dan mendengar semua penderitaan kekasihnya, penghinaan yang paling hebat yang dapat diderita oleh seorang wanita. Biarpun dia dapat memejamkan matanya agar tidak melihat kekasihnya meronta-ronta seperti seekor kelinci yang dicabik-cabik oleh seekor harimau buas, namun dia tidak dapat menutupi telinganya dan terpaksa harus harus mendengarkan rintihan dan ratap tangis yang terulang-ulang keluar dari mulut dara yang tidak berdaya itu.   Kalau selama sehari semalam itu Sang Pangeran mau melapaskan Dyah Wulandari sebentar saja, tentu dara itu akan menggunakan kesempatan ini untuk membunuh diri dengan cara apa pun. Akan tetapi, pangeran itu sama sekali tidak pernah mau melepaskannya. Dan pada keesokan harinya, dalam keadaan tertidur, pangeran itu memeluknya erat-erat dan setiap kali Wulandari bergerak hendak melepaskan diri, pelukannya makin diperkuat.   Hari telah agak siang ketika Sang Pangeran terbangun karena pintu kamar itu diketok orang dari luar. Dia bangkit duduk, memandang kepada Dyah Wulandari yang menangis terisak-isak ketika dia melepaskan pelukannya.   "Manis, sudah jangan menangis Aku cinta kepadamu, Wulandari. Engkau telah menjadi milikku, dan aku akan membebaskan dia itu."   Dyah Wulandari tidak menjawab, hanya menutupi mukanya dengan bantal dan menangis sesenggukan. Ketukan pintu terulang dan Sang Pangeran turun dari pembaringan, mengenakan pakaiannya sambil berseru, "Siapa?"   "Hamba, Gusti. Ada utusan dari Gusti Sinuwun untuk paduka."   Pangeran Kolo Gemet mengerutkan alisnya dan tanpa membuka pintu dia bertanya dari dalam, "Ada urusan apakah? Hayo katakan saja dari luar!"   Terdengar suara lain, bukan suara Warak Jinggo yang tadi, "Ampun, Gusti Pangeran. Hamba diutus oleh Kanjeng Gusti Sinuhun yang minta agar Paduka suka datang menghadap sekarang juga di ruang persidangan di mana Kanjeng Gusti Sinuhun menanti Paduka."   "Hemm baik, aku segera pergi. Warak Jinggo, kau masuklah!"   Pintu terbuka dan Warak Jinggo memasuki kamar itu, melirik ke arah Sarjitowarman yang masih terbelenggu di tiang dalam keadaan lemas lahir batinnya, kemudian melirik ke arah Dyah Wulandari yang masih menangis di atas pembaringan dan menutupi tubuhnya dengan selimut.   "Kau ikat kaki tangan wanita itu agar dia jangan lari atau melakukan hal yang buruk, akan tetapi awas, jangan sakiti dia dan jangan ganggu dia, dia adalah kekasihku!"   Warak Jinggo menyembah, lalu menghampiri pembaringan, Dyah Wulandari yang sudah kehabisan tenaga itu diam saja ketika kaki dan tangannya diikat dengan hati-hati oleh kakek itu, menggunakan ikat pinggang dara itu sendiri yang berada di atas lantai di bawah pembaringan. Setelah berganti pakaian dan membereskan rambutnya, pangeran itu lalu meninggalkan kamar dan memesan kepada Warak Jinggo agar menjaga dua orang tawanan itu dengan hati-hati. Kemudian dia lalu pergi menghadap Sang Prabu, dikawal oleh Sarpo Kencono bersama Ki Dugakelana yang juga sudah datang pagi itu untuk menghadap Sang Pangeran seperti biasa setiap hari.   Ketika Sang Pangeran tiba di ruang persidangan, dia melihat Sri Baginda lengkap dengan para pengawal telah berada di situ. Yang membuat hatinya merasa tidak enak adalah ketika dia melihat hadirnya Ki Patih Nambi di situ. Ki Patih duduk bersila dengan kepala tunduk dan wajah muram. Heran dia melihat Resi Mahapati juga hadir pula di situ. Dia tidak tahu bahwa Sang Resi itulah yang menemani Ki Patih menghadap ayahnya untuk melaporkan perbuatannya!   Setelah melihat pangeran itu menghadap, Sang Prabu mengerutkan alisnya, lalu dia menegur, "Puteraku, apakah artinya pelaporan dari Patih Nambi bahwa Andika telah menangkap keponakannya yang bernama Dyah Wulandari?"   Pangeran itu menyembah lalu berkata, "Harap Kanjeng Rama ketahui bahwa Dyah Wulandari telah membela seorang mata-mata Lumajang yang hamba tangkap. Karena itu, hamba menganggap bahwa Dyah Wulandari itu membantu mata-mata, keadaannya mencurigakan dan perlu ditahan pula untuk pemeriksaan lebih lanjut."   "Hemm, siapakah orang yang kau anggap mata-mata Lumajang itu?" tanya Sang Prabu.   "Namanya Sarjitowarman, Kanjeng Rama."   "Sarjitowarman adalah keponakan luar dari Ki Patih Nambi, dan Dyah Wulandari masih keponakannya sendiri. Mereka bukan mata-mata Lumajang, dan pula, tidak ada permusuhan, tidak ada persoalan antara Mojopahit dan Lumajang, maka bagaimana kau mengatakan ada mata-mata dari sana? Ki Patih Nambi telah menanggung bahwa dua orang keponakannya itu sama sekali bukan mata-mata, oleh karena itu kuperintahkan kepadamu agar kau suka membebaskan mereka berdua sekarang juga. Mengerti?"   Pangeran Kolo Gemet terkejut. Tak di sangkanya ayahnya akan marah dan tahulah dia bahwa ayahnya mempunyai kepercayaan besar sekali terhadap Ki Patih Nambi. Maka dia tidak berani membantah. Betapapun juga, dia telah dapat mencapai maksud hati dan keinginannya, dia telah berhasil menguasai diri Dyah Wulandari selama sehari semalam. Dia telah merasa puas!   "Baiklah, Kanjeng Rama. Hamba akan menjalankan perintah Paduka sebaiknya."   Pangeran itu menyembah, bangkit dan hendak pergi, akan tetapi Sang Prabu berkata lagi kepadanya dengan suara lantang, "Pangeran, hayo kau minta maaf kepada Ki Patih atas perlakuanmu terhadap para keponakannya!"   Pangeran Kolo Gemet mengerutkan alisnya, akan tetapi dia lalu tersenyum dan membungkuk kepada Ki Patih Nambi sambil berkata, "Paman Patih Nambi, saya harap Paman suka memaafkan saya atas apa yang saya lakukan terhadap Sarjitowarman dan Dyah Wulandari, Paman Patih!"   Ki Patih Nambi cepat memberi hormat dan berkata, "Tidak apa, Gusti Pangeran. Semua kejadian itu terjadi karena kesalahpahaman, tentu saja hamba sudah melupakan semua itu dan sudah merasa girang dan berterima kasih kalau Paduka sudi membebaskan mereka berdua."   "Benarkah Paman Patih tidak akan menaruh hati dendam kepada saya karena urusan itu?"   "Ah, mana berani hamba menaruh dendam. Pula, perbuatan Paduka itu hanya terdorong oleh keinginan menyelamatkan kerajaan. Hamba tidak akan menaruh hati dendam, Gusti Pangeran."   "Paduka baik sekali, Paman Patih, dan saya amat berterima kasih atas kebijaksanaan Paduka itu."   Sang Prabu girang sekali mendengar percakapan antara patihnya dan puteranya itu, dia mengangguk-angguk dan memberi ijin dengan isyarat tangan ketika puteranya berpamit mengundurkan diri. Sang Prabu lalu membubarkan persidangan dan yang pulang dengan hati penasaran dan kecewa adalah Resi Mahapati. Semua jerih payahnya ternyata telah gagal! Dia tidak membakar api permusuhan dan dendam di antara patih dan pengeran. Mereka telah maaf-maafkan dan menyatakan tidak menaruh dendam di depan Sang Prabu sendiri!   Betapa pun juga hati Resi Mahapati masih penasaran dan dia cepat menghubungi Ki Durgakelana untuk selalu memberi kabar kepadanya mengenai perkembangan urusan itu lebih jauh. Dengan wajah murung dia lalu pulang ke rumah, menanti berita dari Durgakelana. Dan pada sore hari itu dia mendengar berita yang mengejutkan dari Ki Durgakelana tentang dua orang keponakan Ki Patih Nambi itu. Apakah yang telah terjadi?   Ternyata bahwa setelah menerima perintah dari ayahnya, Sang Pangeran tidak berani membangkang, apalagi dia telah mendapatkan maaf dari Ki Patih di depan ayahnya, di depan Sang Prabu bahwa Ki Patih tidak akan menaruh dendam dan telah memaafkannya. Betapapun juga, biar dia tidak dapat menahan Dyah Wulandari, namun dia telah menikmati gadis itu selama sehari semalam sepuasnya!   "Bebaskan mereka dan antarkan mereka pulang dengan kereta ke kepatihan, serahkan kepada Paman Patih," demikian perintahnya kepada Warak Jinggo ketika pangeran itu kembali ke istananya.   Ketika dibebaskan dari belenggu, Sarjitowarman yang lemas lahir batinnya itu terguling roboh. Dyah Wulandari menjerit dan lari menubruk kekasihnya itu, menangis tersedu-sedan. Sarjitowarman hanya menghela napas perlahan-lahan, menggosok-gosok pergelangan tangan dan kakinya, kemudian dia merangkul tunangannya dan memapahnya keluar dari istana itu memasuki kereta yang sudah dipersiapkan.   "Tenanglah, Diajeng....betapapun juga kita telah bebas...."   "Aduh, kakangmas... akan tetapi aku..... aku.....ah, lebih baik aku mati saja..."   "Bukan salahmu, Diajeng. Mari kita hadapi semua ini bersama..." Pemuda itu pun tidak dapat bicara banyak karena dia maklum betapa hebat penderitaan lahir batin dari kekasihnya itu.   "Kakangmas....!" Dyah Wulandari menangis tersedu-sedu dalam pelukan tunangannya. Makin hancur rasa hatinya melihat tunangannya itu bahkan menghiburnya, padahal dia tahu betapa tunangannya itu terhina secara hebat sekali, dipaksa menyaksikan ketika dia diperkosa dan dipermainkan oleh pangeran jahanam itu.   Setibanya kereta itu di gedung kepatihan, Dyah Wulandari turun dan sambil terisak-isak dia lari terhuyung-huyung ke dalam gedung, langsung memasuki kamarnya. Ki Patih Nambi beserta isterinya dan keluarganya merasa terkejut sekali, dan Ki Patih segera bertanya kepada Sarjitowarman yang masih berlepotan darah bajunya, "Apakah yang terjadi, Sarjitowarman?"   Pemuda itu menjatuhkan diri berlutut, mukanya pucat dan terengah-engah menahan tangisnya, kemudian dengan suara tersendat-sendat dia berkata. "Saya.... saya..... tidak dapat bercerita di sini... Kanjeng Paman...."   Ki Patih Nambi maklum bahwa tentu telah terjadi sesuati yang amat hebat. Dia cepat maju dan membuka baju pemuda itu. Para wanita itu menjerit ketika melihat dada yang penuh luka gurat-guratan itu dan Ki Patih Nambi lalu menarik tangan Sarjitowarman, diajaknya pemuda itu memasuki kamarnya karena keponakannya it tidak dapat bercerita di depan banyak anggota keluarganya.   Setelah mereka tiba di dalam kamar dan Ki Patih menutupkan daun pintu, patih itu berkata, "Nah, sekarang ceritakanah apa yang telah teradi."   Dengan suara terputus-putus dan diseling tangisnya, Sarjitowarman lalu menceritakan kepada pamannya itu betapa dia ditawan oleh pangeran, kemudian betapa dia dibawa ke sebuah kamar di mana dia diikat pada tiang, ditutup mulutnya dan disiksa oleh pangeran untuk memaksa Dyah Wulandari, kemudian betapa tunangannya itu diperkosa, dihina dan dipermainkan selama sehari semalam oleh pangeran itu di depan matanya! Sarjitowarman mengakhiri ceritanya itu sambil menangis dan berkata, "Kanjeng paman.... harap Kanjeng Paman jangan menyalahkan Diajeng Wulan.... dia sudah menderita hebat sekali, Kanjeng Paman... dan jangan sampai berita ini terdengar oleh siapa pun, biarlah saya yang akan mencuci aib yang menimpanya, saya akan segera mengawininya...."   "Bedebah....!" Ki Patih Nambi mengepal tinju dan mengatupkan giginya kuat-kuat sampai terdengar bunyi giginya berkerotan. Matanya terbelalak merah penuh kemarahan terhadap Pangeran Kolo Gemet, akan tetapi alisnya segera berkerut ketika dia teringat akan janjinya memaafkan pangeran itu. Janjinya memaafkan dan tidak mendendam yang telah diucapkan di depan Sang Prabu sendiri! Dia tidak berdaya lagi!   Tiba-tiba terdengar jerit melengking dari kamar sebelah dalam. Ki Patih Nambi terkejut bukan main dan dia segera meloncat dan lari ke dalam, diikuti oleh Sarjitowarman. Terdengar tangis riuh-rendah di kamar Dyah Wulandari. Ketika Ki Patih meloncat masuk, dia berdiri terpaku dengan mata terbelalak, memandang isteri-isterinya dan para keluarga merubuh tubuh yang menggeletak di atas pembaringan itu, tubuh yang sudah tidak bergerak lagi, tubuh Dyah Wulandari yng terlentang dengan sebatang cundrik menancap di ulu hatinya. Dara itu telah tewas dengan jalan membunuh diri, suduk selira {menusuk diri sendiri}. Darah masih mengalir dari dadanya, darah yang dimaksudkan untuk mencuci darah kehormatannya yang menodainya akibat perkosaan yang dilakukan oleh Sang Pangeran!   "Diajeng Wulan.....!!" Sarjitowarman menubruk mayat itu, meratap tangis dan dengan beringas tangannya menyambar keris di dada kekasihnya, mencabutnya dan hendak ditusukannya di dadanya sendiri. Akan tetapi dengan sigapnya, Ki Patih Nambi sudah menangkap lengannya, merampas keris dan berkata dengan suara berwibawa,   "Sarjitowarman! Seorang ksatria pantang membunuh diri! Apakah engkau bukan ksatria? Bukan laki-laki?"   Sarjitowarman yang masih dipegang lengannya itu hendak meronta, lalu menoleh dan melihat wajah pamannya, mendengar ucapan itu, dia menjadi lemas. "Paman....!" Dia menjatuhkan diri berlutut dan menangis, merangkul kedua kaki pamannya.   Ki Patih Nambi memejamkan matanya, menahan napas memulihkan kembali ketenangannya, lalu dia meraba kepala pemuda itu dan berkata, "Sarjitowarman, kurasa Wulandari telah melakukan hal yang benar dan patut dihormati. Dia tidak ingin menyiksamu dengan kenangan buruk itu maka dia melakukan suduk salira agar kau terlepas dari ikatanmu bersama dia. Kalau dipikirkan dengan masak-masak, memang sebaiknya begitu, karena sebagai seorang puteri, tentu saja peristiwa itu akan menghantui kehidupannya selanjutnya. Sekarang, sebaiknya engkau pulang ke Lumajang agar tidak terjadi sesuatu atas dirimu."   "Tidak, Kanjeng Paman, saya ingin menunggui jenazah Diajeng Wulandari sampai selesai pemakamannya."   "Jangan, Warman. Aku merasa tidak enak, dan tentu ada ekornya semua peristiwa ini. Sebaiknya kalau engkau malam ini juga pulang ke Lumajang."   Dengan suara sayau karena bercampur tangis, isteri Sang Patih, yaitu bibi dari Sarjitowarman berkata, "Betapa kejamnya kalau memaksa dia pulang sekarang Kakangmas. Biarlah dia menunggu jenazah Wulan semalam ini dan besok pagi-pagi dia berangkat ke Lumajang. Saya kira kalau hanya semalam ini tidak akan terjadi sesuatu."   Akhirnya Ki Patih yang merasa kasihan sekali kepada pemuda itu, menyetujui dan pemuda itu diperkenankan menjaga jenazah kekasihnya itu di dalam kamar, membakar dupa dan duduk bersamadhi.   Demikianlah berita yang didengar oleh Resi Mahapati. Tentu saja pembawa berita itu hanya memberitakan bahwa Dyah Wulandari telah mati membunuh diri dan bahwa Sarjitowarman besok pagi-pagi akan kembali ke Lumajang. Juga bahwa di kepatihan tidak terjadi hal-hal lain, tidak nampak sikap marah atau sakit hati berhubung dengan peristiwa itu.   Di samping terkejut mendengar berita itu, perasaan girang yang mula-mula terasa di dalam hatinya berubah menjadi kekecewaan ketika mendengar bahwa Ki Patih agaknya sama sekali tidak terpengaruh oleh peristiwa kematian keponakannya itu. Celaka, dia telah gagal menanam bibit permusuhan antara Ki Patih dan Sang Pangeran. Bahkan kini Sang Pangeran tentu merasa menyesal sekali atas perbuatannya itu dan merasa amat berterima kasih bahwa Ki Patih tidak memperpanjang urusan itu. Juga Sang Parbu sendiri tentu makin memuji kesetiaan dan kebijaksanaan KI Patih Nambi. Gagallah usahanya memburukkan nama Ki Patih.   Kemurungannya karena kegagalan itu dibawanya ke dalam kamarnya malam itu. Lestari, seperti biasa menyambut suaminya dengan ramah dan sikap yang menarik. Ketika dia melepaskan jubah luar suaminya yang duduk di kursi, mencuci kakinya yang berdebu, dia melihat sikap suaminya yang murung. Lestari tersenyum. Mudah saja baginya untuk melenyapkan kemurungan suaminya yang tua ini. Dia lalu memperlihatkan sikap manja, lalu duduk di atas pangkuan Resi Mahapati dan merangkul lehernya. Kehangatan tubuhnya merayap keluar dan mempengaruhi Resi Mahapati yang segera memeluk selirnya terkasih yang amat pandai merayu dan menyenangkan hatinya itu, mengambung pipi halus itu dengan penuh kasih sayang. Melihat gairah sudah timbul di dalam hati Sang Resi, Lestari lalu bartanya manja, "Kakangmas Resi, awan mendung apakah gerangan yang menggelapkan matahari kegembiraan Paduka? Wajah Paduka muram, pandang mata Paduka penuh geram, urusan apakah gerangan yang menyusahkan hati dan memusingkan pikiran Paduka?"   Sang Resi menarik napas panjang dan jari-jari tangan yang tadi menelusuri leher wanita muda cantik itu berhenti karena gairahnya lenyap lagi ketika dia teringat akan kegagalannya. "Aahhh....., hasil baik dan memuaskan yang hampir tercapai tangan telah gagal hanya karena sikap pengecut KI Patih Nambi."   Mendengar ini, Lestari menjadi tertarik sekali. "Patih Nambi? Ada apakah, Kakangmas?"   Resi Mahapati lalu menceritakan tentang siasat yang telah diaturnya bersama Ki Durgakelana, Warak Jinggo dan Sarpo Kencono untuk memancing permusSang Resi menarik napas panjang dan jari-jari tangan yang tadi menelusuri leher wanita muda cantik itu berhenti karena gairahnya lenyap lagi ketika dia teringat akan kegagalannya. "Aahhh....., hasil baik dan memuaskan yang hampir tercapai tangan telah gagal hanya karena sikap pengecut KI Patih Nambi."   Jilid 62   Mendengar ini, Lestari menjadi tertarik sekali. "Patih Nambi? Ada apakah, Kakangmas?"   Resi Mahapati lalu menceritakan tentang siasat yang telah diaturnya bersama Ki Durgakelana, Warak Jinggo dan Sarpo Kencono untuk memancing permusuhan antara Sang Pangeran dan Ki Patih Nambi, melalui diri Dyah Wulandari yang dikorbankan kepada Sang Pangeran. Dia menceritakan semua hasil siasatnya yang sudah hempir berhasil, betapa Dyah Wulandari telah menjadi korban nafsu pangeran dan diperkosa oleh pangeran di depan mata tunangannya, keponakan dari isteri Ki Patih. Pendeknya, telah terjadi hal-hal yang pasti akan membangkitkan kemarahan dan dendam di hati Ki Patih sehingga dapat diharapkan akan timbul peristiwa hebat antara Ki Patih dan pangeran yang akan menjatuhkan kedudukan Ki Patih sehingga dia memperoleh lowogan dan kesempatan baik sekali.   "Akan tetapi, Patih Nambi ternyata penakut dan pengecut. Keponakannya telah dipermainkan orang, diperkosa kehormatannya sampai sehari semalam, bahkan lalu membunuh diri. Akan tetapi dia tidak mau melakukan apa-apa, bahkan di depan Sang Prabu dia telah memaafkan Sang Pangeran. Dengan begini, derajat Ki Patih akan meningkat di mata pangeran dan Sang Prabu! Siasatku tidak menjatuhkannya, bahkan mengangkatnya! Celaka!"   Lestari turun dari atas pangkuan resi itu, lalu mengambilkan minuman untuk Sang Resi. Setelah menaruh minuman di atas meja, dia lalu duduk di tepi pembaringannya yang selalu dijaga dan dirawat sehingga nampak bersih selalu, bersih dan menyenangkan, berbau harum. Memang pembaringan inilah merupakan modal utama dari Lestari dalam menjatuhkan hati resi tua itu!   "Kakangmas Resi, mengapa Kakangmas menjadi murung? Kegagalan itu terjadi akibat kesalahan dan kelengahan Paduka sendiri!"   Resi Mahapati memandang wajah selirnya itu dengan alis terngkat, lalu alisnya dikerutkan dan matanya memancarkan kemarahan. "Tari, apa yang kaukatakan itu? Engkau tidak menghibur hatiku yang sedang kecewa dan susah, malah engkau mengejekku?"   "Maaf, Kakangmas. Mana berani Lestari yang mencintai Kakangmas dengan sepenuh jiwa raga ini mengejek Paduka? Sama sekali saya tidak mengejek, hanya memperingatkan Kakangmas yang sekali ini memang salah dan lengah."   "Hemm, coba jelaskan di mana letak kesalahan dan kelengahanku?"uhan antara Sang Pangeran dan Ki Patih Nambi, melalui diri Dyah Wulandari yang dikorbankan kepada Sang Pangeran. Dia menceritakan semua hasil siasatnya yang sudah hempir berhasil, betapa Dyah Wulandari telah menjadi korban nafsu pangeran dan diperkosa oleh pangeran di depan mata tunangannya, keponakan dari isteri Ki Patih. Pendeknya, telah terjadi hal-hal yang pasti akan membangkitkan kemarahan dan dendam di hati Ki Patih sehingga dapat diharapkan akan timbul peristiwa hebat antara Ki Patih dan pangeran yang akan menjatuhkan kedudukan Ki Patih sehingga dia memperoleh lowogan dan kesempatan baik sekali.   "Akan tetapi, Patih Nambi ternyata penakut dan pengecut. Keponakannya telah dipermainkan orang, diperkosa kehormatannya sampai sehari semalam, bahkan lalu membunuh diri. Akan tetapi dia tidak mau melakukan apa-apa, bahkan di depan Sang Prabu dia telah memaafkan Sang Pangeran. Dengan begini, derajat Ki Patih akan meningkat di mata pangeran dan Sang Prabu! Siasatku tidak menjatuhkannya, bahkan mengangkatnya! Celaka!"   Lestari turun dari atas pangkuan resi itu, lalu mengambilkan minuman untuk Sang Resi. Setelah menaruh minuman di atas meja, dia lalu duduk di tepi pembaringannya yang selalu dijaga dan dirawat sehingga nampak bersih selalu, bersih dan menyenangkan, berbau harum. Memang pembaringan inilah merupakan modal utama dari Lestari dalam menjatuhkan hati resi tua itu!   "Kakangmas Resi, mengapa Kakangmas menjadi murung? Kegagalan itu terjadi akibat kesalahan dan kelengahan Paduka sendiri!"   Resi Mahapati memandang wajah selirnya itu dengan alis terngkat, lalu alisnya dikerutkan dan matanya memancarkan kemarahan. "Tari, apa yang kaukatakan itu? Engkau tidak menghibur hatiku yang sedang kecewa dan susah, malah engkau mengejekku?"   "Maaf, Kakangmas. Mana berani Lestari yang mencintai Kakangmas dengan sepenuh jiwa raga ini mengejek Paduka? Sama sekali saya tidak mengejek, hanya memperingatkan Kakangmas yang sekali ini memang salah dan lengah."   "Hemm, coba jelaskan di mana letak kesalahan dan kelengahanku?"   "Kakangmas lengah karena Kakangmas telah melupakan saya. Kakangmas mengatur rencana dan menjalankan siasat sendiri tanpa saya. Itulah letak kesalahan Kakangmas sehingga mengalami kegagalan!"   "Ahh.....! Akan tetapi bukan maksudku untuk melupakanmu, sayang. Aku tahu akan kecerdikanmu dan betapa sudah banyak engkau berjasa dengan siasat-siasatmu yang berhasil dan amat hebat. Akan tetapi, urusan dengan Ki Patih Nambi adalah urusan kami kaum pria dan aku sudah mengatur siasat bersama siasat bersama Ki Durgakelana, Warak Jinggo dan Sarpo Kencono."   "Yang ternyata gagal, bukan? Hemm, orang-orang seperti Ki Durgakelana, Warak Jinggo dan Sarpo Kencono itu hanyalah orang-orang kasar yang hanya pandai menggunakan otot dan kaki tangan untuk membunuh orang, mana bisa mempergunakan otak? Sekarang setelah Paduka gagal, apa yang dapat mereka lakukan dan bagaimana pula siasat mereka?"   Resi Mahapati menghampiri selirnya, duduk di samping selirnya dan merangkulkan lengannya ke pundak selirnya itu. "Manisku, apakah engkau mempunyai siasat baru? Apakah engkau mempunyai akal untuk menebus kegagalanku ini?"   Dengan sikap manja dan "jual mahal" Lestari melepaskan dirinya, bangkit dan melangkah menjauhi Sang Resi dengan langkah lemah gemulai sehingga nampak buah pinggulnya yang manari-nari ketika dia melangkah meninggalkan resi itu, membuat Sang Resi yang tak pernah merasa bosan terhadap Lestari itu menelan ludahnya. Lalu Lestari membalikkan tubuh, berpegang kepada sandaran kursi dan memandang suaminya itu. "Apakah Paduka mau berjanji bahwa semenjak saat ini, Paduka tidak akan pernah meninggalkan saya dalam mengatur siasat Paduka menghadapi musuh-musuh Paduka? Ingatlah, hanya Lestari yang setia dan yang dapat membantu Paduka dan hendaknya Paduka tidak lupa bahwa semenjak semula kita berdua telah bekerja sama demi tercapainya cita-cita Paduka."   "Baik-baik, sayang.... maafkan aku bahwa aku telah meninggalkanmu dalam siasat memancing permusuhan antara Ki Patih dan Sang Pangeran yang ternyata gagal total itu! Sekarang, aku berjanji akan selalu mengajakmu serta, Lestari. Maaf, aku telah lupa dan selalu memandang rendah kepadamu."   Lestari menghampiri suaminya, lalu merangkul leher suaminya itu dan mencium mulut yang sebagian tertutup kumis tebal itu. "Ah, Kakangmas, saya hanyalah isterimu yang setia, yang selalu akan berusaha demi untuk tercapainya cita-cita Paduka..."   "Cita-cita kita berdua, sayang. Sekarang ceritakan, apakah siasatmu itu untuk menembus kegagalanku?"   "Kakangmas, karena tadinya Paduka hanya mengatur siasat bersama Ki Durga- kelana, Warak Jinggo dan Sarpo Kencono saja, maka sekarang saya minta agar meraka bertiga Paduka panggil ke sini agar mereka mendengarkan siasat saya dan selanjutnya agar mereka itu tunduk kepada perintah saya seperti juga kepada perintah Paduka."   Resi Mahapati mengerti akan maksud permintaan selirnya ini. Tentu karena tadinya ditinggalkan, kini Lestari ingin agar terpandang dan dihormati oleh tiga orang pembantunya itu.   "Adinda Tari, permintaanmu tidak mungkin dapat dilaksanakan semua. Ki Durgakelana dapat kupanggil, akan tetapi Warak Jinggo dan Sarpo Kencono kini menjadi pengawal-pengawal pribadi Sang Pangeran, tidak mungkin meninggalkan pangeran. Akan tetapi mereka adalah anak buah Ki Durakelana, sehingga kehadiran KI Durgakelana sudah cukup mewakili meraka."   "Kalau begitu, biarlah dia saja yang dipanggil bersama Resi Harimurti yang menjadi pembantu utama Paduka, Kakangmas Resi."   "Baiklah, memang semestinya demikian sehingga kita dapat berkumpul dan saling bertukar pikiran sehingga rencana kita menjadi lebih masak. Besok akan kupanggil mereka berdua."   "Bukan Besok, Kakangmas, melainkan sekarang juga! Siasat saya harus dijalankan sekarang dan besok tentu sudah akan terlambat."   "Ah, begitukah?" Resi Mahapati segera memanggil dua orang pembantunya yang setia, yaitu Reksosuro si jangkung bermata juling dan Darumuko. Si Bibir Tebal. Mereka ini lalu diperintahkan untuk mengundang Resi Harimurti dan Ki Durgakelana agar mereka datang malam ini juga.   Tak lama kemudian, muncullah dua orang tokoh yang diundang itu dan mereka diterima oleh Resi Mahapati dan Lestari di ruangan tamu di mana telah disediakan minuman dan makanan untuk mereka. Melihat bahwa yang menyambut kedatangannya adalah Resi Mahapati yang ditemani oleh selir muda yang cantik menggiurkan itu, Resi Harimurti dan juga Ki Durgakelana memandang dengan wajah berseri. Dua orang kakek ini memang selalu merasa gembira kalau berhadapan dengan seorang wanita muda yang cantik, apalagi berhadapan dengan Lestari yang denok ayu itu.   Setelah saling memberi hormat, Resi Harimurti berkata sambil tersenyum lebar, "Ah, tumben sekali Adi Resi Mahapati mengundang saya datang melam-malam begini."   "Benar, saya pun terkejut ketika Darumuko datang menyampaikan undangan Adimas Resi yang tiba-tiba, tentu ada urusan yang amat penting untuk dibicarakan," sambung Ki Gurdakelana sambil menyandarkan tongkatnya yang hitam panjang bengkok-bengkok seperti ular itu di dinding belakang tempat dia duduk.   "Memang saya memanggil Kakang berdua untuk berunding setelah kita mengalami kegagalan dalam urusan Ki Patih," kata Resi Mahapati.   "Ki Patih Nambi memang pengecut sehingga dihina seperti itu dia diam dan enak saja," kata Ki Durgakelana yang ikut menyesal behwa semua kesukaran yang mereka lakukan itu tidak behasil menyalakan api permusuhan antara Ki Patih dan Sang Pangeran.   "Ah, setidaknya peristiwa itu telah merupakan pukulan hebat kepada Ki Patih yang begitu menjila-jilat terhadap Sang Prabu," kata Resi Harimurti.   "Kakang Resi, pukulan itu tidakah penting karena yang kita kehendaki adalah permusuhan antara Ki Patih dan Sang Pangeran agar mempengaruhi kedudukan Ki Patih. Sekarang, setelah kita sama sekali gagal, bahkan peristiwa itu telah mengangkat derajat Ki Patih dalam mata Sang Pangeran dan Sang Prabu, apakah Andika berdua mempunyai siasat lagi untuk dapat dipergunakan menebus kegagalan kita itu?"   Resi Harimurti mengertkan alisnya dan menundukkan muka. Ki Durgakelana menggosok-gosok kedua tangan. Mereka merasa tidak enak dan akhirnya mereka berdua saling pandang lalu menggeleng kepala.   "Saya tidak mempunyai siasat lain, Adimas Resi," kata Ki Durgakelana.   "Saya pun belum menemukan jalan yang baik, Adi resi," kata Resi Harimurti.   "Nah, kalau begitu, hendaknya Andika berdua suka mendengarkan siasat yang akan diatur oleh selirku ini, isteriku yang tersayang ini!"   "Ahhh....., begitukah?" Harimurti dan Durgakelana berseru hampir berbareng dan mereka kini memandang wajah yang manis itu penuh perhatian dan kekaguman.   "Paman Resi Harimurti dan Paman Durgakelana, saya telah mendengar akan semua kegagalan dari suami saya, Kakangmas Resi Mahapati. Kegagalan itu terjadi karena rencana yang mentah, dan juga karena Kakangmas Resi telah lupa untuk mengajak saya dalam perundingan itu. Setelah mendengar akan semua peristiwa itu, saya hanya melihat suatu jalan untuk menebus kegagalan itu sehingga apa yang tadinya gagal menjadi berhasil baik sekali. Kalau siasat saya ini dijalankan dengan baik, maka saya kira Ki Patih tidak akan dapat menahan kemarahannya lagi dan pasti terjadi pertikaian dan permusuhan antara Ki Patih dan Sang Pangeran."   "Hebat! Siasat bagaimanakah itu?" Resi Harimurti tertarik sekali dan diam-diam dia merasa betapa untungnya Resi Mahapati memilikiselir yang begini denok montok, ayu dan cerdik, sedangkan Ki Durgakelana juga memandang bengong.   "Diajeng Tari, kekasih hatiku, lekas ceritakan apa siasat itu, sudah berdebar jantungku ingin mendengarnya."   "Menurut penuturan Paduka tadi, keponakan Ki Patih itu telah suduk selira mem- bunuh diri, bukan?"   "Benar demikian, sayang."   "Dan pemuda yang bernama Sarjitowarman itu besok pagi akan kembali ke Lumajang, dengan demikian Ki Patih menghabiskan perkara itu dan tidak akan menuntut sesuatu?"   "Benar, dan itulah yang mengesalkan hatiku."   "Kalau begitu, mengapa tidak kita atur agar hatinya menjadi semakin sakit dan memaksanya untuk melakukan tindakan terhadap Sang Pangeran sehingga permusuhan di antara mereka terjadi juga?"   Resi Mahapati saling pandang dengan Resi Harimurti dan Ki Durgakelana. Kemudian Resi Mahapati berkata, "Kalau bisa begitu, alangkah baiknya. Akan tetapi apalagi yang dapat kita lakukan?"   Lestari tersenyum. "Hal itu mudah saja dilakukan. Menurut pendapat saya, sudah pasti sekali pemuda itu menaruh hati dendam yang amat hebat kepada Sang Pangeran, hanya dia tidak dapat berbuat sesuatu karena tidak terdapat kesempatan, maka dia mengalah dan menurut nasihat pamannya, yaitu Ki Patih, untuk kembali ke Lumajang tanpa melakukan sesuatu. Akan tetapi, kalau besok pagi-pagi dia pergi ke Lumajang, lalu seorang di antara Paduka dapat menemuinya, menghasut dan memanaskan hatinya, mengatakan bahwa Paduka ikut merasa sakit hati dan penasaran, dan menunjukkan bahwa terbuka kesempatan baik bagi pemuda itu untuk melampiaskan dendam dan sakit hatinya untuk membunuh Sang Pangeran, untuk membalas kematian tunangannya, saya rasa pemuda itu tidak akan menolak kesempatan yang amat baik itu."   Resi Mahapati dan dua orang pembantunya masih tidak mengerti dan mereka memandang dengan heran. "Mana mungkin hal itu dilaksanakan?" Resi Mahapati berkata penuh keraguan. "Untuk menghasut pemuda itu, tentu saja amat mudah dan memang sudah pasti bahwa dia menaruh dendam sakit hati yang amat hebat terhadap Sang Pangeran. Akan tetapi tentu dia segera akan melihat bahwa hal itu tidak mungkin."   "Mengapa tidak mungkin?" Lestari mempermainkan anak rambutnya yang berjuntai ke bawah, di atas dahinya yang berkulit halus dan berbentuk indah. "Kalau diusahan dengan cerdik, tentu mungkin saja memberi kesempatan agar pemuda itu dapat bertemu dengan Sang Pangeran berdua saja dan memberi kesempatan kepadanya untuk menyerang Sang Pangeran."   "Eh, apa maksudmu?" Resi Mahapati terbelalak memandang selirnya dengan kaget. "Kau..... kau... mengusulkan agar pemuda itu membunuh Sang Pangeran?"   Lestari tersenyum, seperti seorang dewasa tersenyum menghadapi kebodohan seorang anak kecil. "Kakangmas Resi, saya belum gila dan tak begitu bodoh untuk meng- usulkan hal seperti itu."   "Akan tetapi kau tadi.... sudahlah, Nimas, coba kaubeberkan sejelasnya siasatmu itu dan jangan membuat kami menjadi bingung," kata Resi Mahapati.   "Begini, Kakangmas. Kita hasut pemuda itu sehingga dia mau melakukan percobaan untuk menyerang dan membunuh Sang Pangeran, besok pagi-pagi kalau dia hendak pergi meninggalkan Mojopahit. Dan di samping itu, kita harus dapat membujuk Sang Pangeran, tentu saja melalui Paman Warak Jinggo dan Paman Sarpo Kencono, agar Sang Pangeran suka keluar dari istana pagi hari besok dan berada di dalam tamansari seorang diri saja. Dengan demikian, tentu Sarjitowarman itu akan mencoba untuk menyerang dan membunuh Sang Pangeran. Nah, pada saat itu, Sarjitowarman ditangkap dengan tuduhan menyerang dan hendak membunuh Sang Pangeran. Kalau Sang Prabu mendengar ini, tentu Beliau tidak akan sangsi lagi bahwa Sarjitowarman memang mata-mata Lumajang dan kalau keponakannya melakukan dosa seperti itu, bukankah pamannya, Ki Patih, juga akan terbawa-bawa? Dengan berhasilnya siasat itu, bukankah kegagalan Kakangmas dapat tertebus dan berbalik menjadi suatu hasil yang amat gemilang di mana Ki Patih menjadi rusak namanya oleh perbuatan keponakan isterinya itu dan Kakangmas sekalian berjasa karena mencegah Sang Pangeran terbunuh dan berhasil menagkap mata-mata yang hendak membunuh Sang Pangeran?"   "Ahhh.......!" Ki Durgakelana berseru kagum.   "Akal yang hebat....!" Seru Resi Harimurti.   Resi Mahapati meloncat dari kursinya, langsung merangkul leher kekasihnya dan hendak menciumnya tanpa memperdulikan dua orang pembantunya itu, akan tetapi Lestari menolak dengan dorongan tangannya. Melihat wajah isterinya cemberut, Resi Mahapati membatalkan niatnya lalu duduk kembali sambil berkata, "Hebat! Engkau memang hebat, Diajeng hebat sekali! Takkan pernah terpikirkan olehku siasat sehebat itu. Benar-benar luar biasa!" Resi Mahapati mengepal tinjunya. "Dan sekali ini pasti akan berhasil!"   "Nanti dulu, Adi Resi," kata Resi Harimurti kepada Resi Mahapati. "Memang harus saya akui bahwa siasat itu amat halus dan hebat, dan tentu akan berhasil baik. Akan tetapi ada suatu hal yang membuat saya bersangsi, yaitu bagaimana caranya membuat Sang Pangeran dapat berada seorang diri di dalam taman besok pada hari, pagi-pagi itu?"   "Benar, hal itu sukar juga," kata Ki Durgakelana sambil menggosok-gosok dahinya. "Kanjeng Pangeran biasanya bangun dari tidur setelah matahari naik tinggi, dan tentu saja beliau tidak pernah pergi ke taman sendirian saja."   Mendengar ucapan dua orang pembantunya itu, Resi Mahapati mengerutkan alisnya dan menoleh kepada selirnya yang terkasih, bertanya, "Nah, kalau sudah begini, bagaimana, Lestari?"   "Ah, hal itu mudah saja, Kakangmas Resi. Gusti Pangeran harus dapat dibuat agar besok di taman, dan saya kira untuk tugas ini, Paduka sendirilah yang paling tepat untuk melaksanakannya. Kalau Paduka malam ini menghadap Sang Pangeran, mengatakan bahwa Paduka melihat adanya perasaan dendam di hati Sarjitowarman, betapa pemuda itu mengeluarkan ancaman untuk membunuh beliau, dan Paduka nasihati beliau untuk bertindak sebagai umpan agar pemuda itu berani mencoba untuk menyerang beliau kemudian dia ditangkap basah."   Sang Resi mengangguk-angguk dan berkata perlahan, "Hemm, hal itu memang dapat dilaksanakan....., tentu dapat...."   "Bagus kalau begitu, Kakangmas. Nah, sekarang tinggal membagi-bagi tugas saja. Seorang bertugas menghadang Sarjitowarman besok pagi-pagi untuk menghasut pemuda itu. Siapakah yang ditugaskan untuk ini?" tanya Lestari.   "Saya dapat melakukannya," kata Ki Durgakelana.   Lestari menggeleng kepalanya. "Kalau Paman Durgakelana yang melakukannya, mungkin tidak akan berhasil baik. Paman telah dikenal sebagai pengawal Gusti Pangeran, maka kalau Paman yang menghasut, tentu pemuda itu menjadi curiga dan menduga akan perangkap yang sengaja diatur. Tidak, sebaiknya bukan Paman melainkan seorang yang tidak dikenal oleh pemuda itu, seorang yang dapat diterima kalau menyatakan bahwa dia juga merasa penasaran dan marah terhadap Sang Pangeran."   "Kalau begitu biarlah saya yang melakukan tugas itu," kata Resi Harimurti. "Pemuda itu tidak mengenal saya."   "Saya kira itulah yang terbaik," kata Lestari menganggu-angguk.   "Akan tetapi, sebaiknya kalau Kakang Resi Harimurti menyamar. Kalau kelak pemuda itu setelah tertangkap lalu mengaku dan menyeret Kakang Resi sebagai penghasutnya, maka Sang Prabu akan menaruh curiga dan dapat menduga adanya siasat yang diatur ini," kata Resi Mahapati.   "Hal itu memang benar sekali dan membuktikan bahwa Kakangmas Resi memang cerdik bukan main," Lestari memuji. "Kemudian setelah tugas menghasut pemuda itu akan dilakukan oleh Paman Resi Harimurti dan tugas membujuk Sang Pangeran dilakukan oleh Kakangmas Resi Mahapati sendiri, maka tugas untuk menangkap pemuda itu di waktu dia menyerang Sang Pangeran sebaiknya dilakukan oleh Paman Durgakelana, Paman Warak Jinggo, dan Paman Sarpo kencono."   "Ha-ha-ha, untuk menghadapi seorang pemuda seperti dia itu, seorang di antara kami bertiga saja sudah cukup," kata Ki Durgakelana sambil tertawa.   "Akan tetapi dalam hal ini kita harus berlaku hati-hati, Paman. Sebaiknya kita dapat yakin bahwa pemuda itu harus dapat ditangkap hidup-hidup agar dia dapat mengaku bahwa memang dia bermaksud membunuh pangeran. Itulah pokok persoalan yang kita hendak pergunakan untuk memukul Ki Patih," kata Lestari dan kembali tiga orang kakek itu merasa kagum bukan main.   Setelah berunding masak-masak, maka pada malam itu juga Resi Mahapati pergi mengunjungi Sang Pangeran dan mohon untuk menghadap. Resi Mahapati adalah tangan kanan Pangeran Kolo Gemet, maka tentu saja sewaktu-waktu dia boleh saja datang menghadap, apalagi untuk menyampaikan hal yang amat penting lebih mudah lagi baginya karena pengawal-pengawal pangeran itu adalah anak buahnya sendiri, yaitu Warak Jinggo dan Sarpo Kencono. Sebelum menjumpai pangeran itu Resi Mahapati lebih dulu menemui dua orang kakek pengawal ini dan secara singkat menceritakan tentang siasat yang akan dilaksanakan besok pagi dan minta agar dua orang itu suka berunding dengan Ki Durgakelana.   Memang perhitungan Lestari tepat sekali. Karena mendengar pelaporan dari mulut Resi Mahapati sendiri bahwa Sarjitowarman menaruh dendam sakit hati dan bermaksud membunuhnya jika ada kesempatan, Sang Pangeran percaya dan menjadi marah sekali.   "Si keparat itu! Biar kusuruh pasukan menangkapnya sekarang juga!" bentak Pangeran Kolo Gemet sambil bangkit dari tempat duduknya dan mengepal tinju.   Akan tetapi Resi Mahapati cepat mengakat kedua tangan ke atas. "Harap Paduka suka bersabar, Gusti Pangeran. Menangkapnya adalah mudah, akan tetapi mana buktinya bahwa dia hendak membunuh Paduka? Dia harus diberi kesempatan dulu, dan kita harus dapat menangkap basah pemuda pemberontak itu."   "Hemm, apa maksudmu, Paman Resi?"   "Sarjitowarman hanya menyebar desas-desus untuk menyatakan sakit hatinya terhadap Paduka, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat melaksanakan ancamannya itu karena tidak mungkin ada kesempatan baginya untuk menyerang Paduka. Oleh karena itu, sebaiknya Paduka membuka kesempatan itu agar dia berani turun tangan menyerang Paduka......"   "Resi Mahapati apa maksudmu?" Pangeran itu bertanya dengan terkejut sehingga suaranya membentak-bentak.   "Ampunkan hamba, Gusti Pangeran. Itulah satu-satunya jalan untuk menangkap orang yang membenci Paduka. Paduka bertindak sebagai umpan agar dia berani melakukan perbuatan terkutuk itu, dan tentu saja pengawal-pengawal Paduka yang sakti telah siap untuk menangkapnya apabila dia berani melakukan penyerangan. Dengan demikian, dia akan tertangkap basah dan untuk menghukumnya tentu tidak akan ada larangan dari Kanjeng Gusti Sinuhun."   Sang Pangeran mengangguk-angguk dengan alis berkerut. Akan tetapi.... apakah tidak berbahaya itu, Paman?"   "Ah, tidak, Gusti Pangeran. Sebelumnya, kita memberi tahu kepada Ki Durgakelana, Warak Jinggo dan Sarpo Kencono agar mereka bersembunyi dan bersiap melindungi Paduka dan menangkap pemuda itu. Selain itu tentu hamba sendiri juga selalu menjaga agar jangan sampai Paduka terancam bahaya. Kalau pemuda itu didiamkan saja, berarti Paduka selalu terancam bahaya, sebaliknya kalau dia diberi kesempatan sehingga berani turun tangan, hamba dan teman-teman akan menangkapnya dan kalau dia sudah dihukum mati, berarti Paduka terbebas daripada ancaman bahaya maut."   Kembali Sang Pangeran mengangguk-angguk. "Lalu bagaimana caranya untuk membuka kesempatan agar dia mau turun tangan itu, Paman Resi?"   Sang Resi menoleh ke kanan kiri, lalu berbisik, "Besok pagi-pagi sekali sebaiknya Paduka berada di tamansari seorang diri dan...." Resi itu berbisik-bisik mengatur siasat yang didengarkan oleh pangeran itu dengan penuh perhatian sambil mengangguk-angguk.   ***   Pagi itu sunyi sekali. Cuaca masih gelap karena sang surya belum nampak, sungguhpun langit di timur mulai terang dan kokok ayam jantan saling bersautan menggugah semua mahluk yang telah beristirahat dan tidur semalam. Jalan-jalan masih sunyi karena mereka yang baru saja terbangun masih segan meninggalkan rumah.   Di jalan yang sunyi itu, di luar pintu gerbang kepatihan, berjalan seorang pemuda. Wajahnya muram, pandang matanya sayu dengan sepasang mata yang membengkak kemerahan bekas tangis, kedua pipinya pucat, rambutnya kusut dan pakaiannya kumal. Langkahnya satu-satu dan lesu, sama sekali tidak bersemangat.   Pemuda ini adalah Sarjitowarman yang dengan hati berat meninggalkan kepatihan, meninggalkan jenazah kekasihnya yang masih membujur di atas pembaringan. Atas nasihat Ki Patih, suami bibinya, dia terpaksa harus meninggalkan Mojopahit secepat mungkin di pagi hari itu agar jangan sampai terjadi hal yang berlarut-larut dengan pangeran. Pangeran iblis! Demikian hatinya mengumpat dan dia mengepal tinju. Dadanya yang penuh luka guratan keris yang dilakukan oleh pangeran pada kemarin dulu, masih terasa perih, akan tetapi lebih perih lagi rasa hatinya mengingat akan semua hal yang telah dilakukan oleh pangeran itu kepada mendiang Dyah Wulandari, kekasih dan tunangannya yang kini telah membunuh diri untuk mengakhiri kehidupan penuh iab dan noda! Pangeran keparat! Pangeran iblis! Demikian bisik hatinya dengan penuh geram.   Jilid 63   Para penjaga pintu gerbang di timur membiarkan pemuda ini lewat tanpa mengganggunya karena mereka telah menerima perintah dari Ki Patih untuk membiarkan keponakan Ki Patih itu keluar dari pintu gerbang, kembali ke Lumajang. Berita tentang pemuda ini yang ditangkap oleh pangeran, tentang tunangannya, yaitu keponakan Ki Patih yang telah mati membunuh diri, tentu saja telah terdengar oleh mereka, maka ketika pemuda itu lewat, para penjaga memandang dengan sinar mata mengandung perasaan iba, sungguhpun di antara mereka ada pula yang tersenyum mengejek.   Setelah tiba di luar benteng Mojopahit, Sarjitowarman lalu mempercepat langkahnya. Ingin di cepat-cepat sampai di Lumajang di mana dia dapat menumpahkan perasaan hatinya kepada ayah bundanya dan kepada semua tokoh di Lumajang. Ingin dia menceritakan siapa saja di Lumajang tentang kekejaman dan kejahatan pangeran iblis itu! Lumajang harus bangkit dan memberontak terhadap pangeran laknat calon Raja Mojopahit itu!   Akan tetapi ketika dia tiba di tepi sungai, dia menghentikan langkahnya karena hatinya tertarik oleh alunan suara orang yang bertembang dengan suara yang memilukan. Suara seorang laki-laki yang bertembang dengan tembang Asmaradana, suaranya jelas terdengar di pagi hari itu dan karena tertarik, Sarjitowarman menghentikan langkahnya lalu memperhatikan kata-kata dalam tembang itu. Tembang itu mengandung kata-kata yang memilukan dan suar orang itu seperti mengandung isak tangis, sesuai benar dengan keadaan hatinya di saat itu.   "Duhai para Dewata di Suralaya   dengarlah ratapan hambamu ini   Hyang Komajaya Dewa Asmara   Sang Hyang Wisnu Dewa Kebijaksaan   Hyang Jagat Girinata Dewa Keadilan   mengapa hamba mengalami siksa ini?   Kekasih terbunuh, Si Laknat bebas dari hukuman   duhai Hyang Yamadipati Dewa Maut   cabutlah nyawa hamba untuk menghentikan derita!"   Sarjitowarman terkejut. Betapa tepatnya isi tembang itu dengan keadaan dirinya! Demikianlah bisikan hatinya semenjak kemarin, semenjak dia menagisi kematian Dyah Wulandari! Dia cepat menghampiri dan akhirnya dia melihat penembang, seorang kakek tua berpakaian seperti seorang nelayan sedang duduk seorang diri di bawah pohon, di tepi sungai memegang tangkai pancing memancing ikan!   Melihat kedatangan pemuda itu, kakek ini menancapkan gagang pancingnya dan bangkit berdiri. Tubuhnya kurus jangkung dan pandang matanya tajam.   "Maaf, Paman, kalau saya mengganggu. Pamankah tadi yang bertembang?" tanya Sarjitowarman sambil membungkuk.   Kakek itu memandang kepada Si Pemuda dengan penuh perhatian, lalu mengangguk. "Benar, mengapakah orang muda?"   "Kalau saya boleh bertanya, siapakah orang yang mengeluh dalam nyanyian itu, Paman?"   Kakek itu menarik napas panjang. "Ah, siapa yang mengeluh seperti itu? Entah berapa banyak di dunia ini yang mengeluh seperti itu? Akan tetapi, aku menembang menggambarkan keluhan Dyah Anggraini yang menangisi kematian suaminya, Sang Prabu Palgunadi yang tewas dalam pertempuran melawan Sang Arjuna karena perebutan wanita itu."   Sarjitowarman tentu saja pernah mendengar cerita tentang Dyah Anggraini itu. Memang cocok. Dyah Anggraini, isteri Sang Prabu Palgunadi digoda dan di rayu oleh Sang Arjuna, akan tetapi isteri yang setia itu tidak mau melayani, lalu melaporannya kepada suaminya. Terjadi perang tanding antara dua orang sakti itu dan akhirnya Sang Palgunadi tewas. Sang Arjuna melanjutkan niatnya yang buruk mengejar Dyah Anggraini. Akhirnya wanita ini membunuh diri pula dan nyawanya melayang bersama-sama nyawa suaminya ke Sorgaloka.   "Paman, mengapa Paman menembangkan tangis Dyah Anggraini itu di pagi hari seperti ini?"   "Ah, pertanyaanmu aneh sekali, orang muda. Aku menembang karena iseng, karena sunyi, akan tetapi mungkin juga karena aku tahu betapa banyaknya orang yang terlanda malapetaka dalam cinta mereka, yang membuat cinta meraka terputus. Dan betapa banyaknya terjadi di dunia ini perbuatan sewenang-wenang tanpa dapat dibalas oleh korbannya."   Mendengar betapa suara kakek itu menjadi gemetar dan melihat mata itu basah air mata, Sarjitowarman makin tertarik. "Paman, agaknya Paman sendiri juga tertimpa malapetaka seperti itu?"   Kakek itu menarik napas panjang, lalu mengangguk. "Di waktu aku masih muda, kekasihku dirampas oleh lurah dusun kami, dipaksa menjadi selirnya. Kekasihku tak dapat lama bertahan dan mati karena sakit beberapa bulan kemudian, meninggalkan aku yang hidup merana. Aku berhasil menuntut balas dan membunuh lurah jahanam itu."   "Kalau begitu, mengapa Paman kelihatan masih penasaran?"   "Aah, urusan pribadiku memang telah terbalas. Akan tetapi semenjak itu, aku melihat betapa banyaknya terjadi peristiwa yang sama tanpa si Korban mampu membalas. Seperti misalnya Pangeran Pati yang sekarang ini, kabarnya suka sekali mengganggu wanita. Hal itu membuat hatiku seperti dibakar dan ditusuk. Kalau saja aku masih muda, tentu akan kubunuh pangeran itu, akan tetapi aku sudah tua dan.... heii, kau kenapa, orang muda?"   Sarjitowarman tak dapat menahan tangisnya dan dia mengusap air matanya. "Apakah daya kita, Paman? Aku pun menjadi korban pangeran itu, kekasihku.... kekasihku....." pemuda itu menangis lagi.   "Apa yang terjadi?"   Dengan suara tersendat-sendat, Sarjitowarman lalu menceritakan tentang kematian tunangannya oleh perbuatan keji Pangeran Kolo Gemet.   "Krekk!" Gagang pancing itu patah di tangan kakek itu. "Jahanam, memang sudah banyak kudengar tentang dia. Orang muda, mengapa engkau diam saja? Engkau masih muda dan kuat! Kalau aku menjadi engkau, sudah kucekik batang leher pangeran itu!"   "Paman, apakah dayaku? Seperti juga Paman, aku tidak berdaya. Apa yang dapat kulakukan terhadap seorang seperti pangeran itu yang selalu dikawal kuat?"   "Tidak selalu, orang muda. Tidak selalu! Dengar baik-baik, sudah lama aku menyelidiki karena aku membencinya. Aku mengintai dan melihat kebiasaan-kebiasaannya, maka aku tahu belaka bahwa pangeran itu suka sekali mengganggu wanita. Dia mempunyai kebiasaan untuk berjalan-jalan seorang diri saja di pagi hari dalam tamannya. Dan aku tahu pintu rahasia di antara semak-semak di belakang taman. Sudah kukatakan tadi, andaikata aku masih muda, tentu sudah kucekik dia! Mengapa engkau seorang pengecut yang membiarkan kekasihnya dihina sampai membunuh diri seperti itu?"   "Paman!" Sarjitowarman bangkit semangatnya dan membentak, mukanya merah. Lalu disambungnya, "Maukah engkau menjadi petunjuk jalan bagiku?"   "Untuk membunuh dia? Tentu saja! Sekaranglah saatnya yang baik sekali. Mari kuantar engkau sampai dapat berhadapan sendiri dengan dia di taman yang sunyi."   "Baik, Paman. Marilah dan sebelumnya terima kasih saya haturkan," kata Sarjitowarman penuh semangat.   Mereka kembali ke kota raja melalui pintu gerbang timur dan para penjaga yang sudah mengenal Sarjitowarman ketika berangkat tadi, hanya memandang heran akan tetapi tidak berani menegur atau mengganggu. Kakek nelayan itu pun berjalan sambil tunduk, akan tetapi setelah melewati penjagaan, dia mengajak pemuda itu bergegas menuju ke istana pangeran. Dengan jalan memutar lewat belakang, benar saja kakek itu dapat membawa Sarjitowarman ke dalam taman melalui sebuah pintu tersembunyi di antara semak-semak. Mereka menyelinap di antara pohon-pohon di dalam taman dan tak lama kemudian kakek itu berbisik, "Sssttttt....... lihat itu....."   Sarjitowarman memandang dan jantungnya berdebar tegang. Benar saja! Dia melihat Sang Pangeran berjalan-jalan seorang diri di dalam taman, kemudian pangeran itu duduk di depan kolam ikan, termenung memandangi ikan-ikan yang berenang di dalam kolam. Sarjitowarman mengepal tinjunya ketika dia melihat musuh besarnya itu. Menurut gejolak nafsunya, ingin dia sekali tubruk mencekik leher pangeran itu.   Melihat sikap pemuda itu, kakek nelayan itu lalu menyentuh lengannya. "Sst, sekaranglah saatnya untuk turun tangan, orang muda. Akan tetapi kasihanilah aku, aku orang tua yang tidak berdaya, aku harus pergi dulu dari sini."   Sarjitowarman yang sudah dikuasai nafsu amarah itu hanya mengangguk-angguk. Dia maklum bahwa kakek ini yang telah membantunya dan memberi jalan, jangan sampai terlambat kalau usahanya gagal. Kakek itu menyelinap pergi di antara kegelapan pagi itu dan setelah melihat kakek itu menyingkir. Sarjitowarman lalu berindap-indap menghampiri tempat pangeran itu duduk seorang diri.   Dengan tangan gemetar pemuda ini mencabut kerisnya, kemudian dia meloncat ke depan sambil membentak, "Manusia keji, terimalah pembalasanku!" Dia langsung menyerang dengan menusukkan kerisnya ke arah leher Sang Pangeran yang masih duduk termenung itu.   Akan tetapi, tiba-tiba nampak sesosok bayangan berkelebat dan Sarjitowarman merasa betapa tubuhnya terlempar ke belakang, terpelanting dan terhuyung ke atas tanah sebelum kerisnya menemui sasaran. Dia terkejut bukan main, melompat bangun dan melihat pangeran itu pun sudah bangkit berdiri dan di dekat pangeran itu terdapat tiga orang kakek yang berada di tempat itu entah sejak kapan.   Sarjitowaran sudah menjadi mata gelap, maka tanpa memperdulikan tiga orang kakek itu, tanpa menyelidiki mengapa tubuhnya tadi dapat terlempar seperti terdorong oleh angin yang dahsyat, dia telah meloncat lagi dan menyerang Sang Pangeran dengan kerisnya.   "Hemm, pemberontak rendah!" terdengar Ki Durgakelana membentak, sedangkan dua orang kakek yang lain menjaga di kanan kiri pangeran, hanya menonton sambil tersenyum lebar.   "Plak! Brukkk......!" Serangan Sarjitowarman ke arah pangeran itu dihalangi oleh Ki Durgakelana yang menggunakan tangan kiri menangkis dari samping disusul tamparan tangan kanannya yang mengenai pundak pemuda itu, membuat Sarjitowarman kembali terpelanting ke atas tanah.   Kini terbukalah mata Sarjitowarman. Maklumlah dia bahwa usahanya gagal dan keselamatannya terancam. Dia tidak akan mungkin mampu membunuh Sang Pangeran, tidak mungkin pula melarikan diri. Melawan pengawal-pengawal yang sakti itu pun percuma saja. Dia akan tertangkap dan akan mengalami siksaan dan penghinaan lagi. Mati baginya bukan apa-apa, apalagi kini tunangannya telah tiada, akan tetapi dia tidak mau tertangkap dan tersiksa. Digerakkannya keris itu menusuk ke arah ulu hatinya sendiri.   "Plak! Desss.....!!" Kerisnya terpental dan Sarjitowarman kembali terpelanting dalam keadaan pingsan. Ki Durgakelana yang dapat bergerak cepat sekali itu telah mencegah pemuda ini membunuh diri dan memukulnya roboh pingsan, lalu cepat membelenggunya.   Pangeran Kolo Gemet berdiri memandang tubuh Sarjitowarman. Mukanya merah dan dia marah sekali. "Si Bedebah! Berani sekali menyerang aku! Paman Durgakelana, bunuh saja jahanam ini!"   Ki Durgakelana cepat menyembah. "Maaf, Kanjeng Gusti Pangeran. Hamba kira mudah saja membunuh anjing ini, akan tetapi apakah hal itu bijaksana? Harap Paduka ingat bahwa dia ini adalah keponakan Ki Patih Nambi, dan mengingat akan apa yang terjadi kemarin dulu antara Paduka dengan dia ini dan Ki Patih, tidak baiklah kiranya kalau dia dibunuh begitu saja di sini. Tentu hal itu akan menimbulkan dugaan buruk di dalam hati Ki Patih. Sebaiknya kalau keparat ini diseret ke pangadilan di mana dia akan mengakui semua perbuatannya sehingga tidak ada kecurigaan di pihak Ki Patih bahwa Paduka sengaja membunuh dia tanpa dosa."   Pangeran Kolo Gemet mengangguk-angguk. Tentu saja dia tidak tahu bahwa semua ini sudah diatur, dan bahwa ucapan Ki Durgakelana itu adalah ucapan yang dihafalnya dari Resi Mahapati.   Gegerlah keluarga istana dan juga keluarga kepatihan ketika mendengar berita bahwa pagi hari tadi, hampir saja Sarjitowarman membunuh Sang Pangeran! Ki Patih Nambi yang mendengar bahwa keponakannya itu ditangkap dengan tuduhan hendak membunuh Sang Pangeran, menjadi terkejut setengah mati dan bergegas mendatangi ruangan pengadilan istana di mana pemuda itu sedang diperiksa dan diadili.   Persidangan itu dihadiri oleh Sang Prabu sendiri, juga Sang Pangeran, para pembesar seperti Resi Mahapati dan para nayaka praja. Persidangan yang mendapatkan perhatian penuh oleh para pembesar karena peristiwa itu benar-benar menggegerkan. Sang Pangeran hampir terbunuh oleh keponakan isteri Ki Patih! Semua orang memandang kepada Ki Patih ketika Patih Nambi memasuki persidangan, menyembah kepada Sang Prabu lalu mengambil tepat duduk. Pangeran Kolo Gemet membuang muka dan Sang Prabu juga melontarkan pandang mata penuh selidik kepada Ki Patih yang menundukkan mukanya yang agak pucat.   Sarjitowarman melihat ini semua dan tiba-tiba saja dia dapat menduga akan hal yang sebenarnya. Pamannya telah tersudut oleh perbuatannya itu! Teringatlah dia akan kakek nelayan yang membangkitkan semangatnya untuk membunuh Sang Pangeran. Kini mengertilah dia bahwa memang ada pihak yang hendak menjerumuskan dia. Bukan, bukan dia yang menjadi sasaran pihak yang mengutus orang menyamar sebagai kakek nelayan itu, pihak yang mengatur agar Sang Pangeran kelihatan sendirian saja di taman padahal diam-diam di situ terdapat pengawal-pengawal sakti yang melindunginya. Jelaslah kini bahwa Sang Pangeran itu kelihatan sendirian dipergunakan sebagai umpan untuk memancingnya. Bukan dialah yang menjadi sasaran pihak itu, melainkan pamannya, Ki Patih! Akan tetapi tidak mungkin dia menuduh yang bukan-bukan kepada pihak yang tidak diketahuinya siapa itu, karena tidak ada bukti. Yang jelas terbukti, dia hendak membunuh pangeran. Dia harus berhati-hati, harus tidak melibatkan pamannya!   "Siapkah yang menyuruhmu mencoba untuk melakukan pembunuhan atas diri Gusti Pangeran?" terdengar lagi pertanyaan dari hakim yang berwenang memeriksanya. Sarjitowarman berlutut di atas lantai dengan kedua tangan dibelenggu ke belakang.   "Tidak ada siapa pun yang menyuruh hamba melakukan itu," jawab Sarjitowarman dengan suara tegas.   "Iangat, kalau dosamu itu hanya sebagai pesuruh saja, maka akan jauh lebih ringan hukumannya. Maka sebaiknya engkau mengaku terus terang," kata pula hakim sambil melirik ke arah tempat duduk Ki Patih. Tentu saja hakim ini telah lebih dulu dihubungi oleh Resi Mahapati maka berusaha untuk melibatkan diri Ki Patih. "Katakan sejujurnya, siapa yang membujukmu, siapa yang memberimu semangat, dan siapa yang menyuruhmu? Apakah ada yang menyuruhmu dan yang mejadi sebab dari perbuatanmu itu?"   "Memang ada yang menjadi sebabnya, ada yang menyuruh hamba melakukan hal itu." Tiba-tiba pemuda itu berkata dan suasana di dalam ruangan itu menjadi berisik karena para pendengarnya menjadi terkejut sekali. Hamir semua mata kini ditujukan ke arah Ki Patih Nambi yang juga mengangkat mukanya, memandang sebentar ke arah Sarjitowarman dan ketika melihat betapa semua orang memandangnya, Ki Patih menundukkan mukanya lagi.   "Ha, benarkah demikian? Nah, ceritakanlah dengan jelas, apa sebabnya dan siapa yang menyuruhmu."   Hening sejenak. Semua orang menahan napas dan memasang telinga penuh perhatian. Keheningan yang mencekam sekali, di mana setiap orang seperti dapat mendengar bunyi degup jantungnya sendiri. Pemuda yang berlutut itu mengangkat mukanya, memandang kepada Sang Pangeran dengan sinar mata penuh kebencian,kemudian dia berkata, suaranya tegas dan lantang sekali, sedikitpun tidak gemetar padahal semua mata memandangnya dan dia berada di dalam ruangan yang dihadiri oleh semua pembesar Mojopahit, bahkan Sang Prabu sendiri juga hadir.   "Yang menyuruh hamba adalah perasaan dendam sakit hati yang meracuni batin hamba! Hamba disuruh oleh perasaan benci yang mendalam terhadap Sang Pangeran, karena dendam sakit hati terhadap perbuatannya yang telah dilakukannya kepada hamba dan mendiang tunangan hamba, Dyah Wulandari. Hamba hendak membunuh Sang Pangeran untuk membalas kematian Diajeng Wulandari. Itulah sebabnya!"   Kembali suasana menjadi berisik karena jawaban itu sama sekali jauh daripada dugaan semua orang yang hadir. Resi Mahapati dan kaki tangannya merasa kecewa sekali mendengar jawaban ini. Hakim yang telah dipengaruhi Sang Resi itu masih mencoba untuk mendesak Sarjitowarman.   "Ah, mana mungkin hanya itu saja yang menggerakkan perbuatanmu yang jahat itu? Andika adalah seorang dari Lumajang! Sudah pasti ada orang atau pihak lain yang menyuruhmu untuk melakukan percobaan pembunuhan itu. Lebih baik Andika mengaku saja terus terang di depan Kanjeng Gusti Sinuhun dan para pembesar yang hadir!"   Sarjitowarman mengangkat mukanya dan memandang ke kanan kiri dengan sinar mata penuh ketabahan, lalu menatap wajah hakim itu dan menjawab lantang, "Agaknya ada pihak yang hendak mendorong dan mendesak hamba untuk mengakui hal-hal yang tidak semestinya! Akan tetapi pihak ini harp jangan mimpi untuk dapat mencapai maksudnya yang keji. Hamba adalah seorang laki-laki sejati, berani berbuat berani bertanggung jawab. Hamba tidak disuruh oleh siapa pun, Hamba mencoba untuk membunuh Sang Pangeran karena dendam pribadi. Sekarang hamba telah ditangkap, silahkan kalau hendak menghukum hamba. Akan tetapi janganlah hamba didorong untuk mengakui hal-hal yang bukan-bukan!"   Ucapan yang dikeluarkan dengan nada lantang dan marah kembali membuat mereka yang hadir tertegun. Sang Prabu sendiri diam-diam merasa kagum dan diam-diam merasa menyesal mengapa puteranya membuat gara-gara dengan menangkap pemuda ini dan tunangannya sehingga terjadi peristiwa ini. Akan tetapi tentu saja Sang Prabu tidak mau menyalahkan dan merendahkan puteranya sendiri dalam persidangan itu.   Sinar mata Resi Mahapati yang ditujukan kepada pembesar yang mengadili pemuda itu memandang tajam ke arah hakim. Hakim agaknya menerima isyarat pandang mata itu, maka untuk yang terakhir dia mendesak lagi, "Sarjitowarman! Mungkin Andika merupakan kaki tangan yang setia dari mereka yang menyuruhmu melakukan perbuatan itu, akan tetapi bagi Mojopahit Andika adalah seorang pengkhianat, seorang kaki tangan pemberontak. Namamu akan menjadi rusak dan seluruh keluargamu akan akan tertimpa bencana oleh perbuatanmu itu! Akan tetapi kalau Andika mengaku siapa yang menyuruhmu, pengadilan akan mempertimbangkan dosamu dan mengajukan permohonan kepada Kanjeng Gusti Sinuhun untuk meringankan hukuman!"   Wajah Sarjitowarman menjadi merah sekali. Dia marah bukan main karena dia melihat komplotan yang ingin sekali menyeret nama pamannya di dalam persidangan ini, di depan kehadiran Sang Prabu, maka dia lalu membentak dengan suara nyaring, "Paduka hendak memaksa hamba mengaku? Nah, harap Paduka sekalian yang hadir di sini sudi mendengarkan pengakuan hamba ini. Yang menyuruh hamba melakukan percobaan pembunuhan terhadap diri Sang Pangeran bukan lain adalah......... Paduka sendiri!" Dia menudingkan telunjuknya kepada hakim itu! Tentu saja hakim menjadi pucat wajahnya, matanya terbelalak, kemudian mukanya berubah merah ketika mendengar suara ketawa ditahan dari beberapa orang yang hadir.   "Andika melakukan fitnah pula!" bentaknya dan dengan lancar dan dengan suara lantang dia lalu membacakan hukuman bagi Sarjitowarman. Hukuman mati tentu saja.   Semua orang ramai membicarakan persidangan itu setelah persidangan dibubarkan, Sang Prabu dan pangeran telah lebih dulu meninggalkan sidang, kemudian orang hukuman itu diseret pergi untuk menerima hukuman yang dijatuhkan atas dirinya yang diterimanya dengan senyum karena Sarjitowarman merasa yakin bahwa kematiannya berarti bahwa dia akan bertemu kembali dengan tunangannya.   ***   "Maafkan saya, Kakang Resi. Akan tetapi saya tidak mau lagi membicarakan urusan Sajitowarman yang telah berdosa terhadap Gusti Pangeran dan telah menjalani hukuman mati. Saya kira memang sebaiknya begitu." Ki Patih Nambi berkata sambil mengerutkan alisnya, memandang kepada tamunya, Resi Mahapati yang duduk di depannya.   "Akan tetapi, Adimas Patih. Siapa lagi kalau bukan kita yang memikirkan keadaan di Mojopahit? Apakah kita kan membiarkan saja calon r"Maafkan saya, Kakang Resi. Akan tetapi saya tidak mau lagi membicarakan urusan Sajitowarman yang telah berdosa terhadap Gusti Pangeran dan telah menjalani hukuman mati. Saya kira memang sebaiknya begitu." Ki Patih Nambi berkata sambil mengerutkan alisnya, memandang kepada tamunya, Resi Mahapati yang duduk di depannya.   "Akan tetapi, Adimas Patih. Siapa lagi kalau bukan kita yang memikirkan keadaan di Mojopahit? Apakah kita kan membiarkan saja calon raja kita melakukan penyelewengan-penyelewengan itu? Sang Pangeran memang telah bersikap keterlaluan, bukan hanya kepada Paduka dan keponakan Paduka, bahkan terhadap puteri-puteri istana beliau melakukan penghinaan. Kabarnya malah beliau bersikap kurang baik terhadap saudara-saudara tirinya, yaitu puteri-puteri keturunan langsung dari mendiang Sang Prabu Kertanegara, yaitu Gusti Puteri Sri Gitarya dan Gusti Puteri Dyah Wiyat...."   "Cukup, Kakang Resi!" Kini Ki Patih bangkit berdiri dengan alis berkerut dan pandang mata marah. "Saya tidak mau lagi melayani percakapan seperti ini! Ketahuilah, Kakang Resi, bahwa saya adalah seorang ponggawa yang setia, yang bersedia mengorbankan apa saja, sampai keluarga dan nyawa saya, untuk mengabdi kepada Sang Prabu Kertarajasa Jayawardana dan tidak ada apa pun di dunia ini yang akan membuat kesetiaan saya terguncang!"   Wajah Resi Mahapati menjadi merah sekali. Dia cepat minta maaf lalu berpamit pergi meninggalkan kepatihan. Hatinya merasa kecewa dan mendongkol sekali. Sia-sia saja semua usahanya selama ini. Siasat selirnya yang dijalankan dengan amat baik itu, yang mangakibatkan terhukumnya keponakan isteri Ki Patih, hukuman mati, ternyata tidak pernah mengguncangkan hati Ki Patih yang amat setia kepada Sang Prabu! Jadi percuma sajalah semua itu. Dia tetap tidak dapat mengadu domba antara Ki Patih dan Sang Pangeran!   Dengan murung dia pulang ke gedungnya sendiri. Dia mulai putus harapan. Jelaslah bahwa kesetiaan Ki Patih tidak mungkin dapat dia guncangkan. Sebaliknya mencari kesalahan Ki Patih untuk dilaporkan, untuk menghasut hati Sang Prabu atau Sang Pangeran, juga sukar sekali karena memang patih itu amat setia dan tidak pernah melakukan sesuatu yang dapat dijadikan bahan hasutan.   Lestari menyambut kedatangan resi itu dengan manis dan selir itu segera mengerti akan kemurungan suaminya. Dia sudah mendengar bahwa siasatnya dijalankan dengan baik, akan tetapi dia juga dapat menduga bahwa tentu siasat yang dijalnkan dengan baik itu ternyata tidak mengakibatkan hasil yang mereka idam-idamkan, yaitu permusuhan antara Ki Patih dan Sang Pangeran. Dia kini menduga pula, dari wajah suaminya yang muram, bahwa usaha suaminya menghasut dan memanaskan hati Ki Patih tentu gagal pula.   "Apakah Ki Patih tidak dapat dibakar hatinya?" tanyanya perlahan sambil mendekati resi itu.   Resi Mahapati menggeleng kepala dengan kening berkerut. "Dia tidak mungkin dapat dihasut dan mencari kesalahannya pun amat sukar. Dia berlindung kepada kesetiaannya terhadap Sang Prabu maka menjadi kebal dan sukar sekali diserang."   "Kalau dia sukar ditembus, mengapa tidak mengalihkan sasaran saja, Kakangmas?" kata Lestari tersenyum.   Kakek itu mengangkat muka memandangnya. "Maksudmu?"aja kita melakukan penyelewengan-penyelewengan itu? Sang Pangeran memang telah bersikap keterlaluan, bukan hanya kepada Paduka dan keponakan Paduka, bahkan terhadap puteri-puteri istana beliau melakukan penghinaan. Kabarnya malah beliau bersikap kurang baik terhadap saudara-saudara tirinya, yaitu puteri-puteri keturunan langsung dari mendiang Sang Prabu Kertanegara, yaitu Gusti Puteri Sri Gitarya dan Gusti Puteri Dyah Wiyat...."   "Cukup, Kakang Resi!" Kini Ki Patih bangkit berdiri dengan alis berkerut dan pandang mata marah. "Saya tidak mau lagi melayani percakapan seperti ini! Ketahuilah, Kakang Resi, bahwa saya adalah seorang ponggawa yang setia, yang bersedia mengorbankan apa saja, sampai keluarga dan nyawa saya, untuk mengabdi kepada Sang Prabu Kertarajasa Jayawardana dan tidak ada apa pun di dunia ini yang akan membuat kesetiaan saya terguncang!"   Wajah Resi Mahapati menjadi merah sekali. Dia cepat minta maaf lalu berpamit pergi meninggalkan kepatihan. Hatinya merasa kecewa dan mendongkol sekali. Sia-sia saja semua usahanya selama ini. Siasat selirnya yang dijalankan dengan amat baik itu, yang mangakibatkan terhukumnya keponakan isteri Ki Patih, hukuman mati, ternyata tidak pernah mengguncangkan hati Ki Patih yang amat setia kepada Sang Prabu! Jadi percuma sajalah semua itu. Dia tetap tidak dapat mengadu domba antara Ki Patih dan Sang Pangeran!   Dengan murung dia pulang ke gedungnya sendiri. Dia mulai putus harapan. Jelaslah bahwa kesetiaan Ki Patih tidak mungkin dapat dia guncangkan. Sebaliknya mencari kesalahan Ki Patih untuk dilaporkan, untuk menghasut hati Sang Prabu atau Sang Pangeran, juga sukar sekali karena memang patih itu amat setia dan tidak pernah melakukan sesuatu yang dapat dijadikan bahan hasutan.   Lestari menyambut kedatangan resi itu dengan manis dan selir itu segera mengerti akan kemurungan suaminya. Dia sudah mendengar bahwa siasatnya dijalankan dengan baik, akan tetapi dia juga dapat menduga bahwa tentu siasat yang dijalnkan dengan baik itu ternyata tidak mengakibatkan hasil yang mereka idam-idamkan, yaitu permusuhan antara Ki Patih dan Sang Pangeran. Dia kini menduga pula, dari wajah suaminya yang muram, bahwa usaha suaminya menghasut dan memanaskan hati Ki Patih tentu gagal pula.   "Apakah Ki Patih tidak dapat dibakar hatinya?" tanyanya perlahan sambil mendekati resi itu.   Resi Mahapati menggeleng kepala dengan kening berkerut. "Dia tidak mungkin dapat dihasut dan mencari kesalahannyapun amat sukar. Dia berlindung kepada kesetiaannya terhadap Sang Prabu maka menjadi kebal dan sukar sekali diserang."   "Kalau dia sukar ditembus, mengapa tidak mengalihkan sasaran saja, Kakangmas?" kata Lestari tersenyum.   Kakek itu mengangkat muka memandangnya. "Maksudmu?"   "Kita alihkan kepada sasaran yang lebih lunak, yaitu Sang Pangeran. Kalau Sang Pangeran sudah dapat paduka kuasai dan pengaruhi, tentu apa pun yang paduka minta akan dilaksanakan olehnya."   "Akan tetapi, hubunganku dengan Sang Pangeran sudah cukup baik, beliau, bahkan Kanjeng Gusti Puteri sudah menaruh kepercayaan besar kepadaku."   "Masih belum cukup, Kakangmas. Saya kira, kita harus mempergunakan kelemahan Sang Pangeran untuk benar-benar menundukkan beliau itu. Beliau adalah calon raja, maka alangkah akan baiknya dan menguntungkan kalau Paduka dapat menguasai sepenuhnya. Saya kira, jalan satu-satunya adalah menyerang kelemahannya, yaitu terhadap wanita."   Resi Mahapati mengangguk-angguk. Memang tepat sekali, pikirnya. Mengapa dia tidak memikirkan hal ini? Kalau Sang Pangeran dapat ditundukkan oleh seorang wanita, tentu segala permintaan wanita itu akan diturutinya belaka! Dan satu-satunya wanita yang akan mampu melakukan hal ini adalah Lestari! Selirnya yang tercinta! Dia mencintai Lestari, akan tetapi dia lebih cinta kepada cita-citanya. Terbayang di benaknya betapa Lestari mempermainkan pangeran sampai Sang Pangeran tunduk benar-benar di bawah telapak kaki wanita yang dia tahu amat hebat dalam menyenangkan hati pria ini. Mungkin saja Lestari akan berhasil sedemikian jauhnya sehingga kelak dapat mengangkat diri menjadi permaisuri kalau Sang Pangeran telah menjadi raja!   Jilid 64   "Ah, benar sekali!" Tiba-tiba Sang Resi berseru girang dan dia memandang kepada selirnya itu dengan wajah berseri mata bercahaya. "Itulah jalan satu-satunya, dan engkau tentu suka melakukannya untuk aku, Lestari!"   Wanita yang usianya dua puluh enam tahun namun masih kelihatan muda dan cantik manis itu memandang kepada Resi Mahapati dengan mata terbelalak, setengah dibuat-buat karena sesungguhnya otaknya yang cerdik sudah dapat menduga-duga apa yang dimaksudkan oleh suaminya, akan tetapi dia bertanya, "Apa yang Paduka maksudkan, Kakangmas Resi?"   "Maksudku tidak lain adalah agar engkau sendiri yang melakukan pendekatan kepada Sang Pangeran dan berusaha untuk menundukkan hatinya dengan kejelitaanmu, Lestari."   Sepasang mata yang jeli itu terbelalak makin lebar, mulut yang berbibir merah dengan rongga mulut lebih merah lagi itu terbuka, lalu kedua tangannya menutupi muka itu, "Ohhhh.... oh, uhhhhhhuuuuuuhhh......!" Dan wanita itu menangis sesenggukan!   "Kakangmas..... uh-huuuuh....... Paduka kejam sekali...., sudah tahu bahwa saya adalah milik Paduka, jiwa raga ini adalah milik Paduka........ mengapa Paduka menyuruh saya melakukan hal itu..... hu-huuu, nyuruh saya melakukan hal itu menandakan bahwa Paduka tidak lagi mencintai saya......"   Resi Mahapati cepat merangkul wanita itu. Hatinya girang bukan main karena sikap wanita itu jelas membuktikan betapa besar cinta wanita ini terhadap dirinya! "Tenanglah, manis, tenanglah kekasih hati pujaanku. Ingatlah bahwa untuk mengangkat derajat kita berdua engkau harus berani berkorban sedikit."   "Sedikit kata Paduka? Sedikitkah itu kalau saya harus merendahkan diri merayu Sang Pangeran kemudian menyerahkan diri saya kepadanya? Ah, Paduka minta terlalu banyak dari saya...."   "Tidak, tidak, Lestari. Ingatlah bak-baik. Engkau memang harus menggunakan kecantikan dan keindahan tubuhmu, akan tetapi aku tahu bahwa hatimu tetap milikku! Nah, sedikit pengorbanan itu apa artinya kalau dibandingkan dengan hasilnya?"   "Paduka mengingat kepentingan sendiri saja. Berarti Paduka tidak lagi cinta kepada saya."   "Siapa bilang begitu? Justeru aku minta kepadamu melakukan hal itu adalah karena besarnya cintaku kepadamu, Lestari. Dengar baik-baik. Kalau engkau berhasil menundukkan hatinya, dan aku yakin engkau pasti akan berhasil, bukankah kelak engkau ada harapan untuk diangkat menjadi permaisuri kalau beliau telah menjadi raja? Nah, bukankah hal itu akan mengangkat dirimu ke tempat yang paling tinggi bagi seorang wanita? Lebih tinggi dari semua wanita di Mojopahit? Dan tentu saja, kalau engkau sudah menjadi permaisuri, mudah saja bagimu mengulurkan kepadaku, menarik aku ke atas kursi kepatihan, bahkan lebih tinggi lagi!"   Memang sesungguhnya hati Lestari sudah girang sekali dengan usul itu, maka kiranya tidak usah dibujuk pun dia sudah setuju sekali. Hanya dia berpura-pura saja untuk membuat Sang Resi makin percaya dan makin cinta kepadanya. Setelah berhasil membalas dendam atas kematian ayah bundanya terhadap diri Progodigdoyo dan melampiaskan dendamnya pula kepada para ponggawa Mojopahit yang dibencinya semua, kini timbul nafsu lain dalam diri Lestari yang telah menjadi hamba dari nafsu kebencian itu.Dia ingin memperoleh kedudukan tertinggi agar dapat menguasai semua orang yang dibencinya! Tentu saja, sebagai selir yang tercinta dari Resi Mahapati, dia tak berani mendekati Sang Pangeran, namun dia sudah lama tahu bahwa jalan satu-satunya untuk mencapai cita-cita itu hanyalah mendekati Pangeran Pati itu, dan tadi dia sudah memancing-mancing dan memberi jalan untuk melakukan pendekatan kepada Sang Pangeran. Dia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa resi itu akan memperkenan dia, bahkan menyuruh, untuk merayu sendiri Sang Pangeran. Hal itu sungguh merupakan hal yang amat menyenangkan hatinya. Memancing teri memperoleh kakap namanya!   Maka bujukan-bujukan Sang Resi itu hanya menambah kebesaran hatinya karena kepura-puraannya telah behasil pula mengelabui mata Sang Resi yang menganggap wanita ini amat mencintainya dan telah menerima tugas dengan hati "berat". Maka mereka lalu mengatur rencana untuk mulai menjebak Sang Pangeran ke dalam perangkap yang mereka atur bersama.   Tentu saja perangkap ini dipasang dengan kerja sama para pembantu resi itu, terutama sekali Resi Harimurti, Ki Durgakelana, Ki Warak Jinggo dan Sarpo Kencono. Empat orang kakek inilah yang membantu terlaksananya siasat itu karena mereka mempunyai kepentingan yang sama dengan Resi Mahapati, yaitu memperoleh kedudukan setinggi-tingginya di Mojopahit kelak setelah Pangeran Kolo Gemet naik tahta.   Demikianlah pada suatu pagi, dengan diantar oleh tiga orang kakek pengawal, yaitu Ki Durgakelana, Warak Jinggo dan Sarpo Kencono, Pangeran Pati itu pergi berburu ke hutan di dekat kota raja. Hutan ini memang merupakan hutan yang istimewa diperuntukkan keperluan Sang Prabu kalau pergi berburu. Rakyat tidak boleh berburu di hutan ini, bahkan banyak binatang dari luar sengaja dilepas di dalam hutan ini untuk kesenangan raja sekeluarganya.   Setelah matahari naik tinggi dan berhasil merobohkan seekor kijang dengan anak panahnya, atas bujukan para pengawal itu, Sang Pangeran pergi ke sebuah telaga di tepi hutan untuk beristirahat di tempat yang teduh dan nyaman itu, dengan maksud untuk mandi karena menyusup-nyusup ke dalam semak belukar tadi membuat tubuh menjadi penat dan juga gatal-gatal.   Ketika mereka tiba di tepi telaga, dari jauh Ki Durgakelana sudah berbisik kepada Sang Pangeran sambil menuding ke depan, ke pinggir telaga, "Ah, Gusti Pangeran..... harap suka memeriksa ke sana itu.... agaknya Paduka telah didahului orang yang mandi di telaga..."   "Ah, benar! Dan dia seorang wanita....!" kata Ki Warak Jinggo/.   "Wanita muda yang mandi seorang diri di telaga! Jangan-jangan dia itu peri....!" kata pula Sarpo Kencono.   Sang Pangeran tertarik sekali, lalu dia berkata, "Kalian tunggu di sini, biar aku yang mendekati dan melihat siapa dia." Sikap pangeran itu seperti tadi ketika dia melihat bayangan kijang dan hendak merobohkannya sendiri kijang itu. Tiga orang kakek itu menyembah lalu duduk di bawah pohon tak jauh dari telaga itu sambil saling lirik dan mengulum senyum penuh arti.   Berindap-indap Sang Pangeran menghampiri telaga. Dari jauh dia memang melihat seorang wanita muda sedang mandi berkecipung di pinggir telaga. Di mana air telaga yang jernih itu dalamnya hanya sampai di dada. Ketika tiba di tepi telaga, dia melihat tumpukan pakaian wanita itu dan jantungnya berdebar. Wanita itu mandi telanjang bulat! Dan makin berdebar lagi jantung pangeran muda yang mata keranjang ini melihat rambut yang hitam panjang dan halus, kulit yang kuning bersih dan bentuk tubuh yang padat menggairahkan. Akan tetapi dia belum melihat wajah orang itu karena wanita itu berdiri di dalam air membelakanginya   Setelah puas menikmati keindahan bentuk tubuh dan kulit punggung dan leher yang kuning langsat dan halus itu, Sang Pangeran mendehem. Wanita itu terkejut, membalikkan tubuhnya dan..... Sang Pangeran terpesona! Dia memandang dengan mata terbelalak penuh kegum, menikmati kecantikan wajah itu dan keindahan dada yang tidak tertutup itu. Sejenak wanita itu seperti berubah menjadi patung, agaknya saking kagetnya melihat ada seorang laki-laki muda di tepi telaga, di dekat pakaiannya, lalu agaknya dia teringat dan cepat membenamkan tubuhnya ke dalam air sampai sebatas lehernya. Mukanya berubah merah sekali menambah keayuannya.   Sampai lama barulah Sang Pangeran mampu mengeluarkan suara yang agak gemetar, "Aihhh, siapakah Andika? Bidadarikah? Perikah? Siapakah Andika, wanita cantik jelita, yang telah mendahului aku yang hendak mandi di telaga?"   Sepasang tangan dengan jari-jari yang meruncing terpelihara muncul dari dalam air, lalu membuat sembah ke arah pangeran, dan terdengar suara yang halus lembut dan merdu, "Hamba mohon Paduka sudi mengampunkan hamba, Kanjeng Gusti Pangeran. Karena hamba tidak tahu bahwa Paduka hendak mandi di sini, maka hamba berani lancang turun mandi."   Sang Pangeran tersenyum bangga. "Ha-ha, Andika telah mengenal aku, manis?"   "Hamba adalah kawula Mojopahit, tentu saja mengenal Paduka Kanjeng Gusti Pangeran yang mulia." Wanita muda itu berhenti sebentar, mengerling dengan manis sekali, lalu berkata lagi, "Akan tetapi Paduka belum menyatakan bahwa Paduka mengampuni hamba......"   Kembali pangeran itu tersenyum. "Tidak, engkau harus dihukum!"   Wanita itu membelalakkan matanya yang lebar dan bagus, kelihatan takut. "Harap Paduka sudi mengampuni hamba....... karena hamba tidak sengaja....."   "Engkau harus dihukum berat! Ha-ha, jangan takut, sayang, engkau terlalu cantik untuk dihukum. Pula, apa salahnya engkau mandi di sini? Aku pun hendak mandi, apa salahnya kita mandi bersama?"   Setelah berkata demikian, Sang Pangeran tanpa malu-malu dan tanpa ragu-ragu lagi lalu menanggalkan pakaiannya di tepi telaga itu, menumpuk pakaiannya di dekat tumpukan pakaian wanita itu. Melihat ini, wanita muda itu memalingkan mukanya dan tidak berani memandang. Baru setelah mendengar bunyi air ketika pangeran itu turun ke dalam telaga, dia menoleh dan berkata dengan suara memohon, "Gusti harap...harap perkenankan hamba keluar dulu...."   "Eh, apa salahnya kita mandi bersama?"   "Jangan Gusti....... hamba.... hamba...."   "Kau kenapa?"   "Hamba malu...."   "Malu? Malu kepada siapa?"   "Hamba takut...."   Pangeran itu masih muda dan masih hijau, maka melihat sikap ini, dia makin tertarik dan dia sudah mendekat, lalu memegang lengan Lestari yang pura-pura meronta dan menjauhkan diri, akan tetapi tidak cukup kuat sehingga lengannya masih terpegang oleh tangan pangeran itu.   "Bocah ayu, engkau malu dan takut kepada siapa? Kepadaku?"   Lestari mengerling dengan manisnya lalu menundukkan mukanya, senyum malu-malu yang membuat wajahnya menjadi semakin menarik. "Paduka..... Paduka adalah seorang Pangeran dan hamba..... hamba takut berdosa....."   Pangeran itu sudah menarik lengan Lestari dan dicobanya untuk merangkul leher itu. "Jangan malu-malu, jangan takut. Aku adalah Pangeran Pati, aku berkuasa dan tidak akan ada orang yang berani menggangguku atau mengganggumu. Aku cinta padamu, manis. Siapakah namamu?"   "Hamba..... hamba Lestari...."   "Ah, namamu semanis wajahmu." Pangeran itu mendekatkan mukanya dan mencium.   "Hamba..... hamba takut...." Lestari mengelak dan miringkan mukanya, akan tetapi tidak cukup jauh sehingga membiarkan bibir pangeran itu menyentuh sedikit ujung bibirnya yang lembut dan basah. Dia sudah berpengalaman dan banyak menerima ajaran dari Resi Mahapati tentang permainan cinta. Dia tahu bahwa memberi sedikit-sedikit dengan sikap jinak-jinak merpati merupakan bahan bakar yang amat baik untuk makin mengobarkan api nafsu berahi. Tentu saja kalau menolaknya sama sekali juga berbahaya, dapat memadamkan api yang mulai menyala itu. Kalau memberinya terlalu murah dan mudah, akan menimbulkan kebosanan. Pengatahuan ini sekarang dipraktekannya atas diri pangeran yang masih hijau itu. Dan memang hasilnya baik sekali. Sang Pangeran yang hanya dapat menyentuh sedikit ujung bibir Lestari, menjadi bergairah.   "Jangan takut, cah ayu. Aku tidak akan membikin sudah padamu, aku cinta padamu, manis." pangeran itu membujuk lagi dan merangkul.   "Benarkah, Gusti? Benarkah Paduka cinta kepada hamba? Kalau begitu jangan.... jangan di sini, Gusti. Hamba bukanlah wanita rendah dan murahan..... kalau memang Paduka cinta kepada hamba, hamba..... hamba bersedia melayani Paduka dengan segala senang hati. Hamba suka menyerahkan jiwa raga hamba kepada Paduka junjungan hamba, akan tetapi bawalah hamba ke istana Paduka, jangan di sini....." Lestari meronta halus.   Pangeran itu membelalakkan matanya, lalu tertawa. "Ha-ha-ha, aku senang sekali. Itulah yang amat baik." Dia lalu mencium dan kini Lestari menggunakan kepandaiannya membalas ciuman itu sehingga Sang Pangeran makin tergila-gila.   "Marilah kita naik ke darat dan kita berangkat pulang ke.... kamarku...." Pangeran itu menggandeng tangan Lestari dan meraka keluar dari dalam air. Sang Pangeran makin kagum dan makin tergila-gila ketika dia melihat wanita itu mengenakan pakaian dengan gaya yang amat memikat, malu-malu akan tetapi juga menantang. Setelah mereka berdua berpakaian, Sang Pangeran lalu memanggil dua orang pengawalnya dan tergesa-gesa dia mengajak Lestari yang diboncengnya naik kuda pulang ke istananya. Dua orang pengawalnya itu, Ki Warak Jinggo dan Ki Sarpo Kencono, pura-pura tidak mengenal Lestari, sungguhpun mereka berdua girang sekali bahwa siasat yang dilakukan oleh Lestari itu telah berhasil dengan amat baik.   Setelah berada di dalam kamar istana pangeran, Lestari mempergunakan seluruh kepandaiannya untuk menjatuhkan hati Sang Pangeran. Dia berhasil baik sekali karena pada keesokkan harinya, setelah semalam lamanya dipermainkan oleh Lestari, Sang Pangeran benar-benar telah terpikat sehingga dia menyatakan bahwa Lestari diangkat sebagai selirnya terbaru.   Akan tetapi,Lestari tiba-tiba menangis sehingga pangeran itu terkejut dan heran. Dipeluknya wanita itu dan dihiburnya. "Ah, kenapa engkau menangis Lestari? Apakah engkau tidak senang menjadi selirku, setiap hari berdampingan dengan aku di dalam kamar ini?"   Lestari merangkul pinggang pangeran itu dan menangis di atas dada orang muda itu. "Mohon Paduka sudi mengampuni hamba..... sebenarnya hamba....hamba adalah selir dari seorang resi...."   Sang Resi terkejut, akan tetapi mempererat rangkulannya. "Eh?? Resi mana? Siapa dia?"   "Dia adalah Resi.... Resi Mahapati......"   Bukan main kagetnya Sang Pangeran mendengar nama ini. Rangkulannya terlepas dan dia bergerak mundur di atas pembaringan itu, menatap wajah yang cantik itu. Wajah itu agak pucat, air matanya membasahi pipi, rambutnya masih kusut bekas belaiannya semalam. Tubuh itu demikian padat dan bagus bentuknya, dengan kulit yang halus dan putih kuning.   Jantung Sang Pangeran berdebar tegang. Selir Resi Mahapati? Sejenak timbul kecurigaannya. "Lestari, benarkah engkau selir dari Paman Resi Mahapati?"   Wanita itu mengangguk dan menghapus air matanya dengan ujung kain.   "Kalau begitu..... mengapa engkau tidak berada di istana Paman Resi, melainkan di dalam hutan itu, mandi di telaga? Dan kenapa engkau tidak mengaku demikian sebelum kubawa ke sini?" Di dalam pertanyaan pangeran ini terkandung kecurigaan besar.   Lestari terisak, kelihatan bersedih sekali. "Paduka.... Paduka tidak tahu.... betapa hamba menderita batin yang hebat semenjak menjadi selir Sang Resi...."   Sang Pangeran mengerutkan alisnya. Ini merupakan berita baru baginya! "Eh, apa yang telah terjadi, Nimas? Apakah dia berlaku kejam kepadamu?"   Wanita itu mengeleng kepalanya, lalu menjawab sambil menunduk. "Baru beberapa bulan semenjak hamba diambil sebagai selir, dia..... dia... jatuh sakit...."   "Eh? Sepanjang pengetahuanku, Paman Resi tidak pernah sakit, melainkan sehat saja. Apa maksudmu?"   "Tubuhnya memang sehat dan tidak kelihatan sakit, Gusti, akan tetapi.... dia.... sakitnya itu....eh..." Lestari masih mengeluarkan air mata, akan tetapi bibirnya menahan senyum malu-malu dan dia menundukkan mukanya. Tentu saja Sang Pangeran menjadi makin tertarik dan heran. Dia lalu merangkul wanita yang telah membuatnya tergila-gila semalam itu dan mencium pipinya yang masih basah air mata.   "Lestari, jangan takut-takut, jangan malu-malu. Katakanlah segalanya kepadaku dan aku akan menolongmu sedapat mungkin. Apa sebenarnya yang terjadi antara engkau dan Paman Resi?"   "Ampun, Gusti..... dia itu terkena penyakit dan..... dia tidak lagi dapat melakukan tugas sebagai seorang suami.... dia....eh, dia telah menjadi lemah....."   "Ahh......?" Sang Pangeran terbelalak, mulutnya ternganga, kemudian dia tertawa bergelak dan mencubiti paha dan pipi wanita itu, lalu merangkul menciumi sambil tertawa-tawa. "Ha-ha-ha, sudah berapa lama semenjak itu sampai sekarang?"   "Sudah bertahun-tahun, Gusti, maka dapat Paduka bayangkan betapa saya merasa tersiksa dan menderita...."   "Ha-ha-ha! Kau bocah nakal! Pantas saja engkau begitu..... begitu kehausan semalam!"   "Ah, Pangeran....!" Lestari menyembunyikan mukanya dengan sikap malu-malu.   "Kiranya begitukah? Dan.... mengapa pula engkau berada di dalam hutan itu?"   "Begini, Gusti. Hamba dalah seorang anak yang dahulu biasa hidup di dusun dan suka bermain-main di dalam hutan. Hamba suka menyendiri dalam hutan dan mandi sepuasnya untuk menghibur hati hamba. Karena hutan itu hamba tahu tidak boleh dimasuki orang lain, maka hamba berani memasukinya dan mandi seorang diri di dalam telaga."   "Tanpa pengawal dan pengiring?"   "Hamba sudah biasa ketika kecil bermain-main seorang diri di hutan."   "Dan Paman Resi boleh saja kau pergi sendirian, bahkan sampai semalam tidak pulang?"   "Ahhh..... semenjak dia.... sakit itu, dia tidak lagi memperdulikan hamba, Gusti. Agaknya kalau hamba pada suatu hari menggeletak mati di depan kakinya pun ia tidak akan tahu atau peduli. Hamba diberi kebebasan seluasnya, dan biarpun dia tidak pernah berlaku buruk terhadap hamba, namun hamba tidak diperdulikannya lagi. Oleh karena itu, hamba berani ikut dengan Paduka kemarin ke istana Paduka ini."   "Bagus, kalau begitu engkau tidak usah kembali ke sana. Engkau tinggal di sini sebagai selirku yang tercinta!"   Lestari menggeleng kepalanya. "Hamba kira hal itu tidaklah baik, Gusti. Hamba tahu betapa baiknya hubungan antara Paduka dengan Kakangmas Resi, maka janganlah kiranya soal diri hamba yang tidak berharga ini akan menjadi pemisah atau penghalang hubunga baik itu."   "Akan tetapi katamu tadi, Paman Resi sudah tidak peduli lagi kepadamu."   "Benar, akan tetapi sebetulnya dia mencintai hamba, Gusti. Dan semua orang tahu bahwa hamba adalah selirnya yang dahulu amat dicintainya. Maka, apabila hamba pindah ke sini ikut dan mengabdi Paduka, tentu hal itu akan merupakan pukulan hebat bagi kehormatannya dan dapat mengganggu kesetiaannya kepada Paduka. Oleh karena itu, hamba mohon pertimbangan dan kebijaksaan Paduka agar hamba diperkenankan pulang ke gedung Kakangmas Resi."   Pangeran itu mengerutkan alisnya. "Lestari, apakah kau tidak cinta kepadaku?"   Ditanya demikian, tiba-tiba Lestari menjatuhkan diri menelungkup dan menyembunyikan mukanya di atas pangkuan pangeran itu sambil menangis. "Aduh Pangeran......., tidak terasakah oleh Paduka betapa hamba telah menyerahkan seluruh jiwa raga hamba kepada Paduka semalam? Tidak terasakah oleh Paduka getaran cinta kasih hamba kepada Paduka? Hamba rela.... mati demi untuk Paduka yang hamba junjung tinggi, hamba puja-puja dan hamba cinta. Belum pernah hamba mencinta seorang pria seperti terhadap Paduka."   Pangeran itu tersenyum dan mengelus rambut halus di atas pangkuannya. "Kalau begitu, mengapa engkau memperdulikan benar bagaimana Paman Resi akan tersinggung kalau kau tinggal di sini?"   Lestari bangkit duduk kembali dengan muka basah. "Gusti, Paduka salah tampa! Hamba sama sekali bukan memikirkan kepentingan Sang Resi, melainkan kepentingan Paduka sendiri! Sang Resi adalah pembantu dan orang kepercayaan Paduka, kalau sampai terjadi rasa tidak enak, maka Padukalah yang menderita rugi. Andaikata dia bukan orang kepercayaan Paduka yang setia, ah, tentu saja hamba tidak sudi kembali ke sana, lebih baik mati hidup di sini bersama Paduka!"   Pangeran itu lalu mencium bibir yang pandai mengeluarkan kata-kata dengan lancar dan menyenangkan itu. "Akan tetapi, cah ayu, kalau engkau kembali ke sana..... apakah kau tega membiarkan aku merindukanmu setiap hari?"   Lestari menggunakan ujung jari-jari tangannya mengusap dagu pangeran itu. "Sudah hamba katakan tadi bahwa Sang Resi tidak lagi memperdulikan hamba, maka dia tentu tidak akan marah mendengar hamba.... eh, di sini bersama Paduka. Maka, biarpun hamba masih tinggal di sana, setiap waktu Paduka..... eh, rindu kepada hamba, apa sukarnya? Paduka tinggal menyuruh pengawal Paduka menjemput hamba,dan hamba akan datang berlarilari memenuhi panggilan Paduka dengan hati penuh kerinduan!"   "Benarkah begitu? Paman Resi tidak akan berkeberatan?"   "Hamba tanggung, Gusti. Dia memang sudah tidak membutuhkan hamba lagi, dan kiranya dia akan merasa senang sekali kalau hamba melayani Paduka yang juga menjadi junjungannya. Percayalah kepada hamba."   Sang Pangeran merasa girang sekali dan dia lalu menyuruh Ki Warak Jinggo untuk mengawal Lestari pulang ke gedung Resi Mahapati, mempergunakan keretanya sendiri Sama sekali Sang Pangeran tidak tahu betapa setibanya di rumah, Resi Mahapati memuji-muji kepandaian Lestari dan dia menuntut agar Lestari menceritakan semua pengalaman selirnya itu ketika melayani Sang Pangeran!   Lestari adalah seorang wanita yang cerdik sekali. Dia bukan hanya berhasil menundukkan hati pangeran, bahkan dengan siasatnya jinak-jinak merpati dia telah benar-benar membuat hati Sang Pangeran tergila-gila. Dia tahu bahwa kalau mau tinggal di istana, lebih banyak lagi harapannya untuk mempermainkan pangeran dan mencari kedudukan yang lebih baik. Akan tetapi dia tahu bahwa Sang Pangeran masih amat muda, dan kalau dia berada di situ, berarti dia terlalu banyak memberi kesempatan kepada Sang Pangeran untuk bercinta dengannya. Hal ini terdapat bahayanya, yaitu bahaya kebosanan. Sebaliknya, kalau dia tetap tinggal di gedung Resi Mahapati, berarti bahwa tidaklah semudah itu Sang Pangeran memuaskan hasrat hatinya sehingga Sang Pangeran akan selalu kehausan. Makanan yang diberi sedikit-sedikit akan selalu terasa enak dan lezat, akan tetapi kalau diberikan terlalu banyak dapat membosankan, demikian pendapat Lestari. Selain itu, dia juga belum mau kehilangan pengaruh dan kekuasaan Sang Resi yang dapat diboncengnya.   Kini, ketika Sang Resi menuntut kepadanya agar dia menceritakan semua pengalamannya ketika dia melayani Sang Pangeran, Lestari bersungut-sungut dan merangkul leher resi tua yang masih kuat itu. "Aahhh, kalau tidak demi Paduka, mana saya sudi melakukannya?" Dan dia pun menangis! Memang Lestari berbakat sekali untuk bermain sandiwara. Air matanya dapat dipanggilnya secara tiba-tiba.   "Hushhh, kenapa menangis? Aku tahu bahwa engkau telah melakukan semua itu demi untukku, manis, dan aku berterima kasih sekali. Sudah, jangan menangis dan ceritakan bagaimana engkau melayani dia."   "Ahh, kalau tidak ingat betapa saya dapat tugas melaksanakan perintah Paduka, tentu saya sudah menangis karena merasa tersiksa sekali di depan beliau, Kakangmas."   "Ehh? Kenapakah? Apakah dia berlaku kasar? Apakah dia kejam terhadapmu?"   Jilid 65   "Sama sekali tidak! Sebaliknya malah. Kalau dia kasar, setidaknya saya tidak akan begitu menderita. Akan tetapi, sangat lemah. Beliau seorang pemuda yang masih hijau dan ingusan dibandingkan dengan Paduka yang kuat dan berpengalaman. Ah, saya kecewa sekali....."   Tentu saja hati Sang Resi menjadi bangga dan senang. Demikianlah, dengan pandainya Lestari dapat mengambil hati kedua pihak. Di depan pangeran, dia mengatakan bahwa Resi Mahapati adalah seorang kakek yang sudah mati gairahnya, sebaliknya di depan Sang Resi dia mengatakan bahwa Sang Pangeran adalah seorang pemuda hijau yang masih ingusan dan mengecewakan! Di depan Sang Resi dia memmuji kakek ini, di depan Sang angeran di memuji-muji pemuda itu. Dan itulah kelemahan setiap orang pria! Kalau seorang pria sudah dipuji-puji oleh wanita kekasihnya bahwa dia adalah seorang yang kuat dan memuaskan, kepala pria itu menjadi sebesar gentong kosong dan apa pun yang dikehendaki oleh kekasihnya itu pasti akan ditaati! Hanya wanita bodoh sajalah yang mencela "kejantanan" kekasihnya atau suaminya! Kalau setiap orang wanita mengidamkan pujian kecantikannya dan "awet mudanya", maka sebaliknya setiap orang pria mengidamkan pujian tentang "kejantanannya" !   Mulailah Lestari menanam bibit kekuasaannya melalui diri Sang Pangeran, makin mendekati tujuannya yang terakhir, yaitu kekuasaan di kerajaan Mojopahit!   Pada keesokan harinya, Sang Pangeran yang sudah tergila-gila kepada Lestari itu sengaja mengunjungi Resi Mahapati untuk melihat keadaan. Begitu bertemu, Sang Resi menyambutnya dengan penuh kegembiraan dan kehormatan sehingga legalah hati Sang Pangeran. Dan ketiak mereka berdua saja tanpa ada orang lain, Sang Resi berkata lirih, "Hamba girang sekali mendengar laporan Lestari bahwa Paduka telah berjumpa dengan dia dan bahwa Paduka berkenan memberi kehormatan kepadanya untuk menghibur hati Paduka."   Betapa pun halusnya ucapan itu, wajah Sang Pangeran menjadi merah juga. Akan tetapi hatinya girang mendengar ucapa yang sama sekali tidak mengandung kemarahan itu, maka dia menjawab, "Sesungguhnyalah, hati saya yang amat tertarik oleh Lestari, Paman. Saya akan merasa berterima kasih sekali kalau Paman suka merelakan dia untuk kadang-kadang ke istana saya untuk....eh, melayani saya....."   Sang Resi membungkuk-bungkuk sambil tersenyum dan mengelus jenggotnya. "Tentu......, tentu sekali, dengan segala kerendahan dan kerelaan hati, Gusti. Sebetulnya....... hem, Lestari itu adalah sudah seperti...... anak hamba sendiri. Kapan saja Paduka membutuhkan, dia boleh pergi menghadap Paduka dan hamba akan merasa terhormat sekali."   Tentu saja Sang Pangeran merasa girang dan menganggap bahwa resi itu benar-benar amat setia kepadanya! Dan memang inilah yang dikehendaki oleh resi itu. Dia harus dapat memikat hati pangeran pati, calon raja ini, karena hanya melalui pangeran inilah jalan satu-satunya baginya untuk mencapai kedudukan tertinggi!   Sang Prabu Kertarajasa Jayawardana jatuh sakit! Memang beberapa tahun ini kesehatan Sang Prabu terus-menerus terganggu dan keadaannya lemah sekali. Semenjak pemberontakan yang dilakukan oleh Adipati Ronggo Lawe, maka Sang Prabu terus-menerus mengalami tekanan batin secara bertubi-tubi dalam beberapa tahun ini. Mula-mula pemberontakan Ronggo Lawe, disusul matinya Ronggo Lawe dan Kebo Anabrang, lalu dilanjutkan dengan pemberontakan Lembu Sora, Juru Demung, Gajah Biru dan banyak para senopatinya dahulu terkenal gagah dan setia. Hal ini membuat hati Sang Prabu menjadi tertekan dan prihatin. Semua itu ditambah lagi dengan kenyataan betapa dalam keluarganya sendiri terjadi perpecahan yang biarpun dilakukan secara diam-diam namun makin menghebat saja. Perpecahan antara para isterinya dan kedua pihak tentu saja menarik para pengikut masing-masing sehingga diam-diam terjadi pula perpecahan antara ponggawa dan senopati. Hal ini membuat Sang Prabu merasa prihatin sekali kesehatannya makin lama makin mundur.   Setelah Sang Prabu jatuh sakit, kemelut di Mojopahit makin terasa. Kini persaingan dan permusuhan itu behkan mulai nampak secara terang-terangan. Kadang-kadang terjadi bentrok secara tebuka antara pengikut golongan Sri Indreswari, yaitu Dyah Dara Petak ibu Pangeran Pati Kolo Gemet di satu fihak dan pengikut golongan para isteri Sang Prabu dari keturunan Sang Prabu Kertanegara di lain Fihak. Bahkan kedua fihak sudah menyebar mata-mata untuk saling menyelidiki kelemahan dan kalau mungkin kesalahan masing-masing.   Sementara itu, Sang Pangeran sendiri makin dalam tenggelam ke dalam pelukan dan rayuan Lestari yang telah menjadi kekasihnya hampir satu tahun lamanya. Wanita itu pandai sekali merayu, "jual mahal" sehingga ada kalanya sampai beberapa minggu dia tidak melayani panggilan Sang Pangeran dengan bermacam-macam alasan sakit dan sebagainya, padahal semua itu dilakukan dengan sengaja untuk membuat Sang Pangeran menjadi semakin terbakar!   Bau yang busuk sukar sekali untuk ditutup-tutupi, seperti juga keharuman tentu akan semerbak sampai jauh. Perbuatan buruk mau pun baik, lambat laun tentu akan ketahuan orang juga, betapapun hendak ditutup-tutupi oleh yang melakukannya. Demikian pula hubungan antara pangeran dan selir Resi Mahapati, lambat laun diketahui orang dan bukan merupakan rahasia lagi. Berita itu terdengar sampai di telinga Sri Indreswari, ibu dari Pangeran pati itu. Segera Sang Ibu memanggil puteranya dan memberinya nasihat.   "Puteraku, ingatlah akan kedudukanmu sebagai seorang Pangeran Mahkota, sebagai calon raja! Mengapa engkau menyeret nama baikmu serendah itu? Kalau engkau ingin dihibur seorang atau lebih banyak lagi wanita, apa sukarnya bagimu untuk mencari wanita-wanita yang muda lagi cantik jelita? Mengapa harus selir Sang Resi yang kaupilih? Sang Resi Mahapati adalah seorang di antara mereka yang setia kepada kita!"   Pangeran itu mengerutkan alisnya. Bagaikan seorang panghisap madat, dia sudah kecanduan terhadap rayuan maut Lestari sehingga tak mungkin dia dilepaskan dari kesenangan itu. "Akan tetapi, Kanjeng Ibu. Paman Resi sendiri sudah merelakan Lestari kepada saya."   Betepapun sangat Sang Puteri membujuk puteranya, namun sia-sia belaka. Maka setelah mereka sampai berbantahan, akhirnya Sang Puteri berkata, "Puteraku, engkau bukan anak-anak lagi, tentu sudah dapat berpikir sampai matang akan semua persoalan dan dapat mawas diri, dapat mengerti keadaan yang gawat dalam di kerajaan kita. Tidakkah engkau tahu betapa fihak sana sedang mati-matian berusaha untuk mencari-cari kesalahanmu? Bukankah kita harus menjaga agar kedudukanmu jangan sampai terguncang?´"   "Ah, Ibu mengapa terlalu mengkhawatirkan yang bukan-bukan? Kanjeng Rama Prabu sudah mengangkat saya menjadi Pangeran Pati. Sudah jelas diterima oleh semua menteri dan ponggawa bahwa saya yang kelak akan menggantikan beliau. Selain itu, juga Kolonadah telah berada di tangan kita, maka apalagi yang perlu kita khawatirkan?"   Ibunya menarik napas panjang. "Itulah, puteraku yang selalu mendatangkan was-was di dalam hati Ibumu ini. Baru saja yang mendengar pelaporan seorang petugas yang kuutus menyelidiki ke Lumajang sebelum Sang Resi Mahapati menyerahkan keris pusaka Kolonadah kepada kita, dan tahukah engkau apa yang dilakukannya?"   Pangeran itu memandang ibunya dengan mata penuh pertanyaan. "Laporan apakah mengenai keris pusaka ini, Kanjeng Ibu?" Tangan kiri pangeran itu meraba keris di pinggangnya.   "Bahwa keris pusaka Kolonadah masih dicari-cari oleh kadipaten Lumajang, bahwa mungkin saja keris yang didapatkan oleh Resi Mahapati itu adalah keris pusaka yang palsu."   "Palsu....?" Sang Pangeran mencabut kerisnya dan mengamatinya dengan penuh perhatian.   "Kemungkinan besar begitu, dan engkau harus menanyakan hal ini sebenar-benarnya kepada Sang Resi. Kalau benar demikian, kita harus berusaha mendapatkan yang asli, agar jangan sampai terjatuh ke tangan orang Lumajang. Nah, kaulihat, betapa banyak dan pentingnya persoalan yang kita hadapi dan sekarang Kanjeng Ramamu sedang menderita sakit agak parah, bagaimana engkau hanya bersenang-senang dengan selir orang saja dan menjadi buah tertawaan para kawula?"   Dengar mengacung keris pusaka Kolonadah yang selama ini dianggapnya asli itu, Sang Pangeran berkata menantang, "Siapa berani menertawakan saya dan Lestari? Akan dihirup darahnya oleh KolSang Resi membungkuk-bungkuk sambil tersenyum dan mengelus jenggotnya. "Tentu......, tentu sekali, dengan segala kerendahan dan kerelaan hati, Gusti. Sebetulnya....... hem, Lestari itu adalah sudah seperti...... anak hamba sendiri. Kapan saja Paduka membutuhkan, dia boleh pergi menghadap Paduka dan hamba akan merasa terhormat sekali."   Tentu saja Sang Pangeran merasa girang dan menganggap bahwa resi itu benar-benar amat setia kepadanya! Dan memang inilah yang dikehendaki oleh resi itu. Dia harus dapat memikat hati pangeran pati, calon raja ini, karena hanya melalui pangeran inilah jalan satu-satunya baginya untuk mencapai kedudukan tertinggi!   ***   Sang Prabu Kertarajasa Jayawardana jatuh sakit! Memang beberapa tahun ini kesehatan Sang Prabu terus-menerus terganggu dan keadaannya lemah sekali. Semenjak pemberontakan yang dilakukan oleh Adipati Ronggo Lawe, maka Sang Prabu terus-menerus mengalami tekanan batin secara bertubi-tubi dalam beberapa tahun ini. Mula-mula pemberontakan Ronggo Lawe, disusul matinya Ronggo Lawe dan Kebo Anabrang, lalu dilanjutkan dengan pemberontakan Lembu Sora, Juru Demung, Gajah Biru dan banyak para senopatinya dahulu terkenal gagah dan setia. Hal ini membuat hati Sang Prabu menjadi tertekan dan prihatin. Semua itu ditambah lagi dengan kenyataan betapa dalam keluarganya sendiri terjadi perpecahan yang biarpun dilakukan secara diam-diam namun makin menghebat saja. Perpecahan antara para isterinya dan kedua pihak tentu saja menarik para pengikut masing-masing sehingga diam-diam terjadi pula perpecahan antara ponggawa dan senopati. Hal ini membuat Sang Prabu merasa prihatin sekali kesehatannya makin lama makin mundur.   Setelah Sang Prabu jatuh sakit, kemelut di Mojopahit makin terasa. Kini persaingan dan permusuhan itu behkan mulai nampak secara terang-terangan. Kadang-kadang terjadi bentrok secara tebuka antara pengikut golongan Sri Indreswari, yaitu Dyah Dara Petak ibu Pangeran Pati Kolo Gemet di satu fihak dan pengikut golongan para isteri Sang Prabu dari keturunan Sang Prabu Kertanegara di lain Fihak. Bahkan kedua fihak sudah menyebar mata-mata untuk saling menyelidiki kelemahan dan kalau mungkin kesalahan masing-masing.   Sementara itu, Sang Pangeran sendiri makin dalam tenggelam ke dalam pelukan dan rayuan Lestari yang telah menjadi kekasihnya hampir satu tahun lamanya. Wanita itu pandai sekali merayu, "jual mahal" sehingga ada kalanya sampai beberapa minggu dia tidak melayani panggilan Sang Pangeran dengan bermacam-macam alasan sakit dan sebagainya, padahal semua itu dilakukan dengan sengaja untuk membuat Sang Pangeran menjadi semakin terbakar!onadah!"   "Pangeran!!"   "Maaf, Kanjeng Ibu. Tentang keris ini, saya tidak percaya bahwa ini adalah pusaka yang palsu. Pusaka ini amat mapuh dan mempunyi wibawa yang kuat sehingga tidak ada sebuahpun pusaka lain di kerajaan yang mampu menandingi getarannya yang amat kuat. Dan andaikata benar bahwa ada lagi yang aslinya, sebelum yang asli didapatkan orang, inilah yang asli, Ibu! Betapapun juga, sewaktu-waktu saya akan menanyakannya kepada Paman Resi."   Demikianlah, dengan hati berduka Dyah Dara Petak atau Sri Indreswari, isteri Sang Prabu yang berasal dari tanah Melayu ini segera menghubungi dua orang pengawal pribadinya. Dia mengambil keputusan bahwa selir resi itu, yang mempermainkan puteranya dan membuat puteBranya tergila-gila, harus dilenyapkan dari permukaan bumi ini! Puteranya terlalu penting untuk merendahkan diri sedemikian rupa bersama seorang wanita yang menjadi selir Resi Mahapati itu! Jalan satu-satunya hanyalah melenyapkan wanita itu! Akan tetapi dia tidak mau pula menghadapi resiko bahwa perbuatan itu akan membuat puteranya merasa sakit hati, atau membuat Resi Mahapati tidak senang hatinya. Oleh karena itu, dia memesan kepada dua orang pengawal pribadinya itu, yang amat setia dan yang mengawalnya semenjak dia dahulu dibawa dari tanah Malayu oleh senopati Kebo Anabrang ke Mojopahit, agar pelaksanaan itu diserahkan kepada segerombolan orang yang biasa bekerja sebagai penjahat-penjahat di laur kota raja. Dengan demikian maka tidak akan ada yang menyangka bahwa dialah yang bersembunyi di balik layar usaha pembunuhan itu.   Tentu saja dua orang pengawal ini melakukan tugas yang diperintahkan itu sebaik-baiknya. Mereka telah menyebar mata-mata untuk menyelidiki Sang Pangeran dan Lestari sehingga mereka dapat mengetBahui semua setiap panggilan yang dilakukan oleh Sang Pangeran, dan bagaimana caranya wanita itu datang memenuhi panggilan. Segala persiapan untuk melaksanakan tugas itu telah diatur sebaik-baiknya dan dua belas orang jagoan yang biasanya berkeliaran di dalam hutan-hutan di sebelah barat tapal batas Mojopahit, orang-orang kasar yang tidak tahu menahu tentang urusan kerajaan, hanya melakukan apa saja kalau diberi hadiah besar, telah siap untuk melakukan penghadangan dan pembunuhan atas diri Lestari.   "Ha-ha-ha! Untuk membunuh seorang perempuan muda dibutuhkan tenaga kami dua belas orang?" Suro Bargolo berkata sambil tertawa bergelak ketika mendengar permintaan seorang utusan dua pengawal Sri Indreswari. Utusan ini tentu saja sama sekali tidak tahu akan urusannya, hanya menerima perintah saja dari atasannya dan dalam jaman sekalut itu, perintah membunuh orang, siapa saja, tidak menimbulkan keheranan dan harus dilaksanakan tanpa banyak bertanya!   Suro bargolo adalah seorang warak yang memiliki kepandaian dan kekutan luar biasa, disegani oleh semua orang. Dia bersama sebelas orang anak buahnya, merupakan dua belas orang yang dianggap sebagai raja-raja dalam hutan-hutan itu. Baru melihat bentuk tubuh dan wajah saja, orang sudah merasa gentar terhadap warok ini. Suro Bargolo berusia empat puluhan tahun, pakaiannya sederhana, serba hitam, dengan celana sebatas betis, baju sederhana dan ikat pinggang yang amat besar dari lawe merah. Di pinggangnya selalu terselip sebatang golok yang amat tajam mengkilap. Tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, otot-ototnya menonjol di lengan, leher dan dadanya terbuka, dada yang dihias bulu lebat. Mukanya berkulit hitam kasar, matanya lebar dan mulutnya selalu menyeringai lebar dan sikapnya memandang rendah kepada siapapun juga!   "Suro Bargolo," kata utusan itu yang sudah mengenal kepala jagoan ini, "Pekerjaan itu tidaklah semudah yang kau kira. Perempuan muda yang harus dibunuh itu, pada besok pagi-pagi akan lewat dalam kereta di jalan raya dalam kota raja. Dan jangan kira bahwa dia tidak akan dikawal! Sedikitnya tentu ada seorang atau du orang pengawal yang berkepandaian tinggi. Nah, apakah kau sanggup?   "Ha-ha-ha, sanggup atau tidak tergantung dari imbalan pekerjaan itu!"   Tanpa banyak cakap, utusan itu membuka sebuah buntalan yang terisi emas dan perak berkilauan! Sepasang mata Suro bargolo terbelalak dan teman-temannya juga mengilar ketika melihat harta sebanyak itu. Mereka akan dapat minum arak, makan segala yang mahal-mahal, dan bermain perempuan sepuas-puasnya sampai beberapa hari lamanya kalau harta itu dibagi-bagi untuk mereka!   "Ha, kalau begitu boleh!" kata Suro Bargolo sambil mengulur tangan meraih ke arah buntalan itu. Utusan itu memegang tangannya dan berkata dengan suara tegas.   "Sura Bargolo, engkau sudah mengenal siapa aku! Aku mewakili pengawal-pengawal dari kerajaan! Maka kalau sampai engkau dan teman-temanmu melanggar janji dan tidak sampai berhasil, tentu tempat ini akan diobrak-abrik oleh pasukan-pasukan kerajaan dan mereka tidak akan berhenti sebelum dapat menggantung kalian dua belas orang sampai mampus!"   "Ha-ha-ha! Kapankah Suro Bargolo melanggar janji? Pasti beres! Sekarang ceritakan semua penjelasannya."   Utusan itu lalu menceritakan semua, betapa wanita yang akan dijadikan korban itu pada saat tertentu akan melalui jalan ini, kemudian melalui jalan itu menuju ke arah istana pangeran. "Nah, di tempat yang sunyi di sini, kalian dapat turun tangan," akhirnya dia berkata.   Suro Bargolo memeluk buntalan emas dan perak itu, didekapnya di dadanya yang lebar. "Baik, cukup jelas. Jangan khawatir, semua akan beres. Akan tetapi sebuah pertanyaan lagi."   "Tanyalah!"   "Perempuan muda itu.... heh-heh, bolehkah kalau sebelum kubunuh, kubawa dulu ke dalam hutan? Ha-ha, tahu sendiri kawan, dia merupakan hadiah tambahan bagi kita yang kesepian!"   "Ha-ha-ha!"   "Semua anak buah Suro Bargolo tertawa-tawa dan saling siku. Utusan itu mengerutkan alisnya dan bangkit berdiri berkata tak acuh, "Sesukakamulah, pokoknya, wanita itu harus mati, kalau sampai gagal, tahu sendiri!" Dia lalu pergi meninggalkan dua belas orang kasar itu sambil meludah.   Memang pada hari itu Lestari menerima panggilan Sang Pangeran dan mereka sudah berjanji bahwa besok pagi-pagi sekali Lestari akan naik kereta menuju ke istana pangeran seperti biasa. Karena kini mulai terdengar desas-desus tentang hubungan mereka, maka semalam Lestari sudah berunding dengan Resi Mahapati bahwa dia akan minta "ditarik" ke dalam istana pangeran. Waktu bagi Sang Pangeran untuk naik tahta sudah semakin dekat, dan dia harus sudah "siap-siap" di samping pangeran itu kalau Sang Pangeran naik tahta menjadi raja sehingga dia akan lebih banyak mempunyai kesempatan untuk mempengaruhi Sang Pangeran agar memberi kedudukan setinggi-tingginya kepada Sang Resi.   Pagi-pagi sekali, Lestari sudah berdandan sebaik-baiknya, berkemas sehingga rambutnya yang hitam halus dan panjang itu mengkilap karena bersihnya, berbau harum karena sari bunga, dan dia mandi mandi air mawar sehingga kulitnya menjadi makin halus dan berbau harum pula. Melihat ini, Resi Mahapati hampir saja tidak kuat bertahan dan dia sudah memeluk selirnya dan membelainya. Lestari cemberut dan menolak tubuh resi itu sambil berkata, "Ingat, saya akan berangkat menemui pangeran, apakah Paduka ingin agar saya mengecewakan Beliau? Kelak masih banyak waktu bagi kita untuk bersenang-senang, Kakangmas Resi."   Resi Mahapati sadar dan dia menjauh. "Sudah banyak orang membicarakan hubunganmu dengan Sang Pangeran," katanya sambil memandang jauh ke luar jendela kamar itu. "Bahkan sudah ada yang secara halus menyindir-nyindir aku. Maka memang sebaiknya kalau engkau tinggal di sana. Dan pagi ini lebih baik tirai keretamu kaututup saja, tidak perlu kelihatan ada pengawal. Kusirnya saja biar diganti oleh seorang pengawal yang dapat dipercaya, untuk menjaga keselamtanmu."   "Baiklah, Kakangmas, terserah kepada Paduka. Lagi pula, di kota raja ini, siapa sih yang akan mengganggu saya? Mereka mengenal saya sebagai selir Paduka, hal itu saja sudah membuat orang merasa gentar untuk mengganggu saya apalagi kalau diketahui bahwa saya....." Lestari tidak melanjutkan.   Resi Mahapati mengangguk-angguk. "Semua orang tahu engkau kekasih Gusti Pangeran, siapa berani mengganggumu? Kau benar, biarlah Darumuko saja yang menggantikan kusir kereta dan mengawalmu!"   Darumuko segera dipanggil menghadap. Perwira setia yang sejak dahulu membantu Resi Mahapati ini merasa girang ketika ditugaskan untuk menggantikan kusir kereta dan mengantarkan Lestari ke istana pangeran. Dari para kusir dia memperoleh keterangan bahwa setiap kali kusir mengantar Lestari ke istana pangeran, tentu mereka dan para pengawal memperoleh hadiah yang cukup banyak dari Sang Pangeran. Dan kini, dia harus mengantar, menjadi kusir sekaligus menjadi pengawal. Dia sudah membayangkan betapa banyaknya hadiah yang akan diterimanya. Semua hadiah akan diborongnya! Bibirnya yang tebal sudah menjilat-jilat lidahnya sendiri, matanya yang liar makin kocak dan mukanya yang bulat itu berseri-seri.   Setelah kereta disiapkan di depan gedung, Lestari memasuki kereta dan berangkatlah kereta itu, ditarik oleh dua ekor kuda, diikuti pandang mata Resi Mahapati yang mengepal-ngepal tinjunya. Pengorbanan yang dilakukannya amat besar. Dia merelakan selirnya yang amat dicintainya itu menjadi permainan Sang Pangeran. Kadang-kadang dia merasa cemburu dan panas hatinya, akan tetapi semua ini dapat ditekan dengan bayangan kedudukan tinggi yang akan diperolehnya sebagai hasil pengorbanan selirnya itu. Diam-diam dia merasa "kasihan" kepada Lestari yang harus "menderita" dalam pelukan pangeran yang masih ingusan itu!   Memenuhi pesan Resi Mahapati, Darumuko menjalankan kereta itu lambat-lambat saja agar tidak menarik perhatian orang, dan tirai di jendela dan pintu kereta ditutup rapat-rapat agar Lestari tidak nampak dari luar. Ketika kereta meluncur melalui jalan sunyi di sebuah tikungan, dari depan nampak sepasukan perajurit yang bertubuh tinggi besar dan berpakaian seragam. Seorang di antara mereka mengangkat tangan ke atas memberi tanda kepada Darumuko agar kereta dihentikan.   "Siapa kalian? Ada apa?" Darumuko menegur sambil menahan kendali kudanya.   Orang tinggi besar yang memimpin pasukan perajurit itu tidak menjawab, melainkan dengan sigapnya meloncat dan telah duduk di sebelah Darumuko, di atas bangku depan.   "Kami adalah pasukan pengawal Gusti Pangeran, diutus untuk menjemput. Gusti Pangeran menanti di luar kota." Tanpa menanti jawaban lagi, laki-laki tinggi besar bermuka hitam yang bukan lain adalah Suro Bargolo ini merampas kendali dan mecambuk kuda, membelokkan kereta ke kiri, diikuti oleh sebelas orang anak buahnya yang mengiringkan kereta dengan naik kuda. Tentu saja semua ini sudah diatur oleh utusan Sri Indreswari yang menyediakan kuda dan pakaian pengawal untuk mereka.   Darumuko merasa bingung, akan tetapi menghadapi para pengawal pangeran, tentu saja dia tidak berani banyak membantah, sungguhpun diam-diam dia merasa penasaran mengapa pengawal-pengawal pangeran bersikap begini kasar-kasar terhadapnya. Akan tetapi segera dia teringat bahwa pada saat itu dia bertugas sebagai kusir, maka tentu saja kerbau-kerbau ini menganggap dia sebagai kusir biasa, bukan seorang perwira pengawal jagoan dan kepercayan Resi Mahapati!   Para penjaga pintu gerbang barat juga tidak mengganggu ketika mereka melihat pasukan yang berpakaian sebagai pengawal-pengawal pangeran itu melarikan kereta bersama Darumuko yang dikenalnya. Kereta dilarikan kencang dan ketika kereta memasuki sebuah hutan, dari dalam kereta terdengar bentakan Lestari, "Heii, bagaimana ini? Ke mana kereta ini dibawa?"   Darumuko juga menoleh ke kiri dengan pandang mata penuh pertanyaan. "Apakah artinya ini? Di mana Kanjeng Gusti Pangeran?"   Mendengar pertanyaan Darumuko ini, Lestari menjadi makin terkejut. Dibukanya tirai jendela dan melihat bahwa mereka telah berada di dalam hutan, ia berseru, "Eh, aku dibawa ke mana?"   "Ha-ha-ha, mungkin ke sorga, mungkin juga ke neraka, manis!" kata Suro Bargolo sambil tertawa bergelak dan meloncat turun dari atas bangku depan kereta setelah kereta itu dihentikan. Juga sebelas orang temannya sudah meloncat turun dari atas kuda masing-masing sambil tertawa-tawa.   Darumuko terkejut bukan main. Cepat dia bangkit berdiri dan membentak dengan suara nyaring, "Kalian bukan pasukan Kanjeng Gusti Pangeran!"   "Ha-ha-ha,baru sekarang kau mengetahuinya? Terlambat, kawan, terlambat!" Suro Bargolo tertawa sambil memelintir kumis yang tebal.   "Heiii, kalian jangan main-main! Apakah kalian tidak tahu siapa aku?" Darumuko membentak pula dengan marah, matanya yang lebar itu melotot.   "Ha-ha-ha, engkau kusir berbau tahi kuda!" Jawab seorang anak buah Suro Bargolo sehingga kembali mereka tertawa-tawa geli, menudingkan telunjuknya ke arah mua Darumuko yang memang kelihatan lucu pada saat itu. Darumuko merasa heran, kaget, khawatir dan marah menjadi satu.   "Hu-hu-huh, lihat, bibirnya sudah berubah menjadi bibir kuda!"   "Matanya seperti mata monyet ketakutan!"   "Eh, lihat lututnya sudah menggigil!"   Ejekan-ejekan ini membikin Darumuko menjadi marah. Dengan sigap dia meloncat turun dari atas kereta dan berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, lalu menggunakan tangannya untuk menumbuk-numbuk dadanya sendiri.   "Buk-buk-buk! Kalian tidak tahu siapa aku, ya?" Akulah Darumuko, jagoan tanpa tanding, pengawal kepercayaan Sang Resi Mahapati! Kalian tidak tahu sudah beberapa ratus orang yang telah roboh menjadi korban pukulan dan keris pusakaku? Hayo cepat kalian berlutut minta ampun sebelum aku menghancurkan kepala kalian semua!"   Akan tetapi orang-orang itu hanya tertawa-tawa, agaknya sikap dan lagak Darumuko itu nampak amat lucu bagi mereka, seolah-olah mereka melihat seorang pelawak sedang beraksi di atas panggung.   "Eh, kalian masih nekat? Tahukah, kalian siapa Sang Resi Mahapati? Beliau adalah tangan kanan Sang Pangeran, dia adalah kepercayaan Sang Prabu!"   Kini Suro Bargolo tertawa bergelak dan melangkah maju menghadapi perwira itu. "Ha-ha-ha, tidak perlu engkau menggunakan nama Sang Prabu atau Sang Pangeran, juga Sang Resi Mahapati untuk menakut-nakuti kami, kerbau dungu! Aku Suro Bargolo tidak takut kepada siapapun juga!"   Darumuko dalah seorang yang biasa bertindak keras, biasa ditakuti orang lain, biasa ditaati perintahnya oleh orang-orang bawahannya, maka dia menjadi makin marah. "Babo-babo, keparat! Kau sudah bosan hidup kiranya!" bentaknya dan dengan kemarahan meluap dia lalu menerjang maju, menghantam ke arah dada yang telanjang, bidang dan di tumbuhi rambut itu dengan sekuat tenaganya. Darumuko adalah seorang perwira yang sudah banyak mengalami pertempuran, dan sedikitnya di telah memiliki kepandaian yang lumayan dan tenaga yang terlatih. Maka dalam hantamannya terkandung kekuatan yang cukup berbahaya dan dia sudah memastikan bahwa seperti biasa, pukulannya tentu akan meremukkan tulang-tulang iga orang yang dihantamnya. Akan tetapi, sambil menyeringai, Suro Bargolo sama sekali tidak mengelak dan menerima pukulan itu dengan dada dibusungkan.   "Bukkk....!" Hantaman itu dengan kerasnya melanda dada Suro Bargolo dan akibatnya keduanya terkejut setengah mati. Suro Bargolo yang tadinya mengira bahwa Darumuko hanyalah seorang kusir biasa saja, terkejut ketika merasa betapa pukulan itu cukup antep dan membuat dia sampai terhuyung ke belakang. Di lain pihak, Darumuko yang sudah merasa yakin akan meremukkan tulang dada orang tinggi besar itu, menyeringai ketika pukulan itu membuat tangannya terasa panas dan sakit-sakit karena dada orang itu amat keras seperti baja!   "Uhhh........keparat!" Suro Bargolo memaki.   "Hemm, aku agaknya kuat juga, ya? Nah, makanlah pusakaku ini! Darumuko sudah melolos kerisnya, akan tetapi Suro Bargolo juga sudah mencabut golok yang terselip di pinggangnya. Ketika Darumuko menerjang ke depan, Suro Bargolo juga menubruk dan mengayun goloknya.   "Cring...... taranggg....!!" Bunga api berpijar dan keduanya meloncat ke belakang untuk memeriksa senjata masing-masing yang tergetar hebat oleh pertemuan tadi. Ternyata senjata mereka tidak rusak dan keduanya lalu saling menyerang lagi. Terjadilah pertandingan yang amat seru, dan mulailah Darumuko merasa gelisah. Kiranya lawannya ini amat tangguh. Baru seorang ini saja sudah sukar dikalahkan, apalagi kalau lainnya maju. Akan tetapi, para anak buah Suro Bargolo tidak ada yang maju. Kalau tidak ada aba-aba dari pemimpin mereka, mereka tidak berani maju dan kini mereka hanya menonton sambil tertawa-tawa.   "Mampuslah!" Darumuko berteriak dan tubuhnya sudah meloncat ke depan, didahului kerisnya yang menyerang dengan dahsyat. Sesungguhnya demikian dahsyat dan gerakan- nya cukup cepat sehingga mengejutkan Suro Bargolo. Kepala gerombolan penyamun ini terkejut, menangkis dengan goloknya, akan tetapi terjangan hebat itu membuat dia terjengkang dan roboh. Kesmpatan ini dipergunakan oleh Darumuko untuk menubruk ke depan dengan keris ditusukkan.   "Wuuuuttt.... desss..... aughhh....!!" Tubuh Darumuko terpelanting, kerisnya mencelat dan dia roboh dengan kepala pecah kena disambar senjata kolor {ikat pinggang} dari lawe yang merupakan senjata ampuh dari Suro Bargolo itu. Ketika tadi dia terjengkang dan melihat lawan menubruknya, Suro Bargolo sudah memutar kolornya dan memapaki tubuh lawan dengan sabetan kolor yang tepat mengenai kepala lawan dan memecahkan kepala itu. Darumuko roboh dan tewas seketika.   "Ha-ha-ha, anjing macam ini berani melawan Suro Bargolo!" Kepala gerombolan itu menyombong dan menyimpan goloknya, membereskan kolornya. Kemudian, diikuti oleh para anak buahnya, dia menghampiri kereta dengan penuh kegembiraan.   Lestari sejak tadi mengintai dari dalam kereta dengan tubuh menggigil. Melihat sikap belasan orang kasar itu, dia merasa ngeri sekali dan tahulah dia telah dilarikan oleh gerombolan yang kasar dan ganas seperti sekelompok binatang buas. Maka, ketika melihat Darumuko melawan kepala gerombolan, dia merasa agak lega. Dia tahu bahwa Darumuko adalah orang kepercayaan Resi Mahapati yang telah memiliki kepandaian tinggi, maka dia mengharapkan Darumuko akan berhasil menundukkan dan mengusir mereka. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya dan gelisahnya ketika dia melihat Darumuko roboh dan tewas, sedangkan kini tiga belas orang itu sambil menyeringai lebar menghampiri kereta! Wanita lain dalam keadaan seperti itu tentu akan menangis atau mungkin bisa pingsan. Akan tetapi Lestari adalah seorang wanita yang amat cerdik. Dia tahu bahwa kalau dia tidak dapat mepergunakan kecerdikannya, dia tentu akan celaka, akan mengalami nasib yang amat mengerikan, penghinaan yang lebih hebat daripada maut sendiri.   Terperanjatlah Suro Bargolo dan anak buahnya ketika mereka menghampiri kereta tiba-tiba saja tirai pintu kereta itu terbuka dan muncul seorang wanita yang membuat mereka terbelalak penuh kagum. Bahkan mereka seperti terpesona oleh kecantikan wanita yang berdiri di ambang pintu kereta itu, yang menghadap dan memandang mereka dengan sikap agung, dengan sinar mata penuh wibawa, dengan mulut yang tersenyum manis sekali.   "Aduhai..... demi para dewata! Bidadarikah kiranya......?" Suro Bargolo berseru kagum setelah dia mampu mengeluarkan suara.   "Bukan main cantiknya...."   "Mau akan mampus sepuluh kali setelah mendapatkannya!"   "Yang begini disuruh bunuh? Gila!"   "Sayang donggg....!"   Sejenak Lestari membiarkan orang-orang itu terpesona dan mengagumi wajahnya dan bentuk tubuhnya, kemudian dia menggerakkan tangan kanan ke atas dan berkata, suaranya amat halus dan merdu, akan tetapi juga mengandung bujukan di samping mengandung ancaman dan amat berwibawa pula, "Kisanak, hendaknya kalian ketahui bahwa aku adalah kekasih dari Gusti Pangeran. Oleh karena itu, harap kalian jangan menggangguku, karena kalau kalian melakukan hal itu, Gusti Pangeran tentu akan menjadi marah sekali dan akan mengirim pasukan yang kuat untuk menghukum kalian. Sebaliknya, kalau kalian suka mengantar aku kembali dengan selamat sampai ke istana Gusti Pangeran, kalian akan menerima hadiah yang amat besar." Lestari sengaja hendak mempergunakan nama Sang Pangeran untuk menakut-nakuti mereka.   Akan tetapi yang dihadapinya adalah gerombolan orang-orang kasar yang tidak pernah merasa takut kepada siapapun juga selama mereka berada di dalam hutan yang menjadi tempat kekuasaan mereka itu. Sejenak mereka mendengarkan, akan tetapi kemudian mereka tertawa-tawa. Sikap mereka amat mengejutkan hati Lestari.   "Aduh wong ayu....! Pantas saja seorang seperti Sang Pangeran pun tergila-gila kepadamu, karena memang engkau amat cantik jelita, amat manis, denok montok, menarik dan menggairahkan. Ha-ha-ha! Sekarang engkau telah berada di tengah-tengah kami, engkau harus menjadi milik Suro Bargolo, ha-ha-ha! Aduhh, sungguh beruntung sekali aku mendapatkan wanita seperti ini....!"   Jilid 66   "Eh, jangan lupakan kami, Kakang Suro!"   "Benar, harus dibagi rata!"   "Kita sehidup semati, kelaparan sama diderita, kenyang sama dinikmati!"   "Ha-ha-ha, kalian tunggu saja, sampai aku puas dan bosan, ha-ha!" Suro Bargolo kini melangkah maju dengan kedua lengan dibentangkan sehingga bukan hanya bulu dadanya yang nampak melainkan juga bulu-bulu yang tebal di bawah ketiaknya. "Mari kupondong, manis, mari kita bersenang-senang!"   Wajah Lestari menjadi pucat. Akan tetapi dia masih mencoba untuk mengancam, "Engkau bernama Suro Bargolo? Suro Bargolo, ingatlah bahwa aku adalah selir dari Resi Mahapati! Engkau tentu sudah tahu betapa saktinya Resi Mahapati, bukan? Dan suamiku mempunyai banyak pembantu, di antaranya adalah Resi Harimurti dan banyak orang-orang sakti lain. Kau bebaskan aku, kalau tidak engkau tentu akan menyesal kelak....!"   "Ha-ha-ha, lihat dia itu!" Suro Bargolo menunjuk ke arah mayat Darumuko. "Dia menggertak dan mengancamku menggunakan nama Sang Prabu sendiri. Akan tetapi aku tidak takut. Mari, jangan kau banyak gertak, manis. Mari kaulayani aku, kemudian anak buahku. Ha-ha, kami semua sudah mengilar dan rindu kepadamu. Ha-ha-ha!"   Kini Lestari benar-benar merasa takut dan kehabisan akal. Matanya terbelalak dan bulu tengkuknya meremang. Orang yang tinggi besar seperti raksasa bermuka hitam itu makin mendekat dan dalam jarak dua meter saja dia sudah mencium bau keringatnya yang apek seperti bau kambing bendot. Hampir dia pingsan saking ngerinya. Lalu sambil menjerit, Lestari meloncat turun dari pintu kereta dan berusaha untuk lari.   "Ha-ha-ha, lari ke mana?"   "Heh-heh-heh!"   "Ha-ha-ha!"   Lestari terkejut sekali. Suara ketawa itu berada di mana-mana dan ketika dia mengangkat muka memandang, ternyata dia telah dihadang oleh anak buah Suro Bargolo yang mengejarnya dari belakang.   "Lepaskan aku....!" Dia menjerit dan hendak menerobos ke depan, akan tetapi sepasang tangan yang kuat menangkap kedua lengannya, lalu dia didorong lagi ke belakang.   "Aduh, kulit lengannya halussss..... heh-heh!" kata orang yang tadi memegangnya.   Lestari terhuyung, hendak lari ke kiri, namun dia ditangkap dan dipeluk oleh seorang anak buah lain yang mencium kepalanya dan mendorongnya lagi ke belakang, ke arah Suro Bargolo yang menghampiri sambil tertawa-tawa.   "Wah, rambutnya wangi seperti kembang setaman.....!" kata yang mencium rambutnya tadi sambil tertawa dan menyedot-nyedot hidungnya.   Lestari seperti seekor kelinci di antara segerombolan harimau, terhuyung ke kanan dan dia didekap lagi oleh seorang laki-laki lain, dekapan kasar yang mengerayangi tubuhnya dan hidung yang berkumis tebal telah mencium kulit lehernya, membuat dia menjerit dan hampir saja dia pingsan. Dia didorong dan kini tubuhnya terlempar ke belakang, diterima oleh kedua lengan yang amat kuat, lengan Suro Bargolo yang segera memondongnya!   "Aduhh, kulitnya sedap seperti kayu cendana......!" kata orang yang mencium lehernya tadi.   "Ha-ha-ha, kawan-kawan. Kalian sabarlah, biar aku lebih dulu menikmatinya. Baru kalian boleh mendapatkannya. Aku tanggung semua kebagian kalau tidak keburu dia....eh, mati! Ha-ha-ha!" Suro Bargolo memondong tubuh yang meronta-ronta itu dan membawanya masuk ke dalam sebuah pondok terbuat dari kayu dan bambu yang berdiri tidak jauh dari situ.   Baru sekali ini selama hidupnya Lestari mengalami rasa ngeri yang sedemikian hebatnya. Dulu pernah dia mengalami rasa takut ketika rumahnya dibakar oleh Progodigdoyo, ketika dia dilarikan orang itu, kemudian ketika dia hendak diperkosa. Akan tetapi rasa takutnya ketika itu tidaklah sengeri sekarang ini. Dia maklum akan nasibnya. Dia akan dipermainkan dan diperkosa oleh kepala berandal ini, kemudian akan diserahkan kapada anak buahnya dan akan dipaksa harus melayani mereka. Dia takut sekali, wajahnya pucat matanya terbelalak. Masih dicobanya untuk menggunakan akal.   "Suro Bargolo..... kasihanilah aku.... aku akan menyerahkan diri kepadamu, aku akan melayanimu dengan senang.... akan tetapi untukmu sendiri saja.... biar aku menjadi milikmu selamanya, biar aku menjadi hambamu.... jangan berikan aku kepada mereka...."   Akan tetapi Suro Bargolo tertawa dan mencium mulut itu sehingga tidak dapat bicara lagi. Setelah melepaskan ciumannya, Suro Bargolo berkata, "Apa? Ha-ha-ha, engkau tidak boleh hidup terus manis. Dan aku selamanya membagi-bagi apa pun juga dengan para anak buahku yang setia."   Habislah harapan Lestari ketika dia dipondong masuk ke dalam pondok itu dan dilemparkan ke atas sebuah pembaringan kayu yang kasar. Sambil tertawa bergelak, Suro Bargolo menanggalkan bajunya lalu menubruk ke atas pembaringan.   "Jangan....! Ah, jangan....!!" Lestari meronta dan mempertahankan diri. Akan tetapi Suro Bargolo seperti seekor harimau menerkam kelinci. Sekali renggut saja robeklah pakaian Lestari dan semua perlawanan Lestari sia-sia belaka. Pukulan dan cakaran kuku tangan wanita itu sama sekali tidak dirasakannya dan dia sudah menekan tubuh Lestari ke atas pembaringan sambil tertawa terbahak-bahak.   "Keparat lepaskan dia!" Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan nampak seorang laki-laki muda bertubuh tinggi kurus berada di dalam pondok itu, mendekati pembaringan.   Akan tetapi,Suro Bargolo yang sudah dimabok nafsu berahi itu tidak mendengar bentakan ini. Lestari hampir tidak kuat mempertahankan diri lagi, maka melihat berkelebatnya orang dia menjerit, "Tolong.....tolonglah saya.....!"   "Keparat busuk!" Orang itu membentak lagi dan tangannya diayun.   "Desss....!"   Tamparan itu keras sekali, mengenai tengkuk Suro Bargolo dan raksasa ini mengeluh, tubuhnya terpelanting ke bawah pembaringan. Dia nanar sejenak. Suro Bargolo memiliki kekebalan yang amat hebat. Kalau hanya tusukan dan bacokan senjata tajam saja belum tentu akan dapat memecahkan kulit dagingnya! Karena itulah maka ketika tadi dia dipukul oleh Darumuko, dia tidak menangkis melainkan mengandalkan kekebalannya. Tamparan yang baru diterimanya dari pemuda tinggi kurus itu hebat bukan main, dan tepat mengenai tengkuknya, akan tetapi dia hanya terpelanting saja biapun menjadi nanar sebentar.   Sambil terisak dan terbelalak, Lestari bangkit duduk di atas pembaringan, berlutut dan menyambar kainnya yang tersobek tadi, lalu menutupi tubuhnya yang telanjang. Dia makin ketakutan dan merasa ngeri ketika melihat betapa Suro Bargolo kini sudah bangkit berdiri sambil mengeluarkan gerengan yang seolah-olah menggetarkan seluruh pondok.   "Jahanam, siapa kau berani mengganggu kesenangan Suro Bargolo?" bentak kepala penyamun itu sambil menyambar goloknya yang tadi diletakkannya di atas lantai ketika dia menggulat Lestari.   Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, bertubuh tinggi agak kurus, wajahnya muram seperti orang berduka, sikapnya tenang sekali dan pandang matanya tajam. Menghadapi sikap mengancam raksasa itu, dia menjawab tenang," Tak peduli siapapun juga aku, namun perbuatanmu yang jahat itu layak dihukum seberat-beratnya!"   "Babo-babo keparat! Nyawamu seperti rangkap saja maka bicaramu demikian sombong. Makan golok ini!" Suro Bargolo menerjang dengan sambaran goloknya yang mengeluarkan suara berdesing, mengarah leher pemuda itu.   Lestari menutupi muka dengan kedua tangannya, ngeri melihat betapa leher itu tentu akan putus dan darahnya akan muncrat-muncrat. Akan tetapi dia mendengar perkelahian berlangsung terus maka dibukanya lagi kedua matanya dan biarpun kedua tangan masih menutupi muka, namun dia mengintai dari celah-celah jari tangannya. Dia melihat hal yang amat luar biasa. Bayangan pemuda itu berkelebatan seperti berubah menjudi banyak, dan betapapun golok itu berdesing menyambar-nyambar, namun tidak pernah dapat menyentuhnya! Tiba-tiba pemuda itu berseru keras, kakinya menendang dan tepat mengenai perut Suro Bargolo.   "Bukkk!!" Tandangan yang keras sekali dan tepat mengenai perut, akan tetapi akibatnya Suro Bargolo hanya terhuyung dan dia tertawa, terus menerjang lagi dengan hebatnya. Pemuda itu terbelalak kaget, maklum bahwa lawannya memiliki kekebalan yang amat kuat, maka dia pun cepat mengelak dan mempergunakan kecepatan gerakannya untuk menghindarkan diri dari serangan golok itu yang selain ganas juga amat kuat. Diam-diam pemuda itu mengerahkan seluruh kekuatannya pada telapak tangan kanannya, dan ketika dia melihat kesempatan baik, begitu golok itu menyambar dengan bacokan maut dari atas ke bawah, dengan maksud untuk membelah tubuhnya menjadi dua dari atas ke bawah, dia cepat miringkan tubuhnya ke samping kiri. Begitu tangan yang memegang golok itu berdesing menyambar di samping kanan tubuhnya, dia memutar tumit kakinya dan tangan kanannya menghantam dengan seluruh tenaganya dari atas ke bawah, mengarah pergelangan tangan kanan lawan yang memegang golok.   "Dessss...... ahhhh! Syuuuuttt..... desss!!" Tubuh pemuda itu terlempar ke balakang seperti sehelai daun kering tertiup angin. Sedangkan Suro Bargolo menyeringai dan tangan kanannya tergantung seperti lumpuh. Kiranya ketika pergelangan tangan kanannya dihantam, pergelangan tangannya seperti dihantam palu godam dari baja yang amat berat sehingga goloknya terlempar dan dia berteriak, akan tetapi berbareng pada saat itu, tangan kiri kepala perampok ini sudah mengayun kolornya, senjata mautnya itu menyambar dada pemuda itu, membuat tubuh pemuda itu terjengkang dan terlempar keluar dari pintu pondok itu!   "Keparat...... jahanam....!" Suro Bargolo memaki-maki karena marahnya. Tangan kanannya seperti lumpuh dan dengan kemarahan meluap dia mengejar, melompat keluar dari pintu pondok dengan tangan kiri mengayun-ayun kolornya yang ampuh itu.   Sementara itu, dua belas orang anak buah Suro Bargolo tadinya menyeringai dan terkekeh-kekeh mendengar hiruk-pikuk di dalam pondok itu. Mereka membayangkan betapa kepala mereka itu sedang menggumuli wanita cantik tadi dan mereka mengira bahwa Si Wanita tadi tentu melawan agaknya maka terjadi pergumulan yang hiruk-pikuk. Mereka membayangkan segala penglihatan cabul yang membuat mereka terkekeh-kekeh dan mengeluarkan ucapan-ucapan kotor pula. Maka, dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya hati mereka ketika mereka melihat tubuh seorang pemuda tinggi kurus yang terlempar dari dalam pondok, terbanting ke atas tanah dan berguling-guling, kemudian disusul meloncatnya Suro Bargolo yang memutar-mutar kolornya dengan muka marah sekali!   Ketika pemuda itu kena dihantam kolor, Lestari yang melihat pertempuran itu dengan menahan napas, mengeluarkan jerit ngeri. Dia mengira bahwa pemuda yang menolongnya itu tentu tewas pula seperti yang terjadi pada diri Darumuko, apalagi melihat pemuda itu terlempar keluar pondok dan dikejar oleh Suro Bargolo yang menyeramkan itu. Biarpun kedua kakinya menggigil dan napasnya sesak saking ngeri dan gelisahnya, Lestari memaksa dirinya turun dari pembaringan dan mengintai dari balik pintu, selain untuk melihat apa jadinya dengan pemuda itu, juga untuk mencari kesempatan melarikan diri selagi Suro Bargolo mengejar Si Pemuda yang terlempar keluar.   Akan tetapi, tidak seperti yang dikhawatirkan oleh Lestari, biarpun dia telah terkena pukulan kolor yang ampuh itu dan sudah terlempar keluar, terbanting dan jatuh bergulingan, pemuda itu ternyata masih dapat melompat bangun lagi dengan sigapnya! Hanya mukanya yang muram itu kini berubah agak pucat, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar maut! Sesungguhnya, tingkat kepandaian pemuda ini masih jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Suro Bargolo yang kasar. Pemuda itu memiliki dasar ilmu pembelaan diri yang amat kuat, baik dan teratur. Hanya karena dia tidak mengira bahwa lawannya memiliki senjata kolor yang demikian ampuhnya, maka dia menjadi lengah dan terpukul senjata kolor yang merupakan senjata mujijat para warok, senjata yang bukan sembaranga karena senjata itu telah ditapai, di manterai, dan mengandung jimat-jimat yang mujijat! Betapapun juga, pemuda itu memang hebat. Lain orang, terkena hantaman simpul di ujung kolor pada dadanya seperti itu, tentu akan remuk-remuk tulang iganya. Akan tetapi pemuda itu hanya terlempar saja dan merasa betapa dadanya ampek dan agak nyeri, namun dengan mengerahkan tenaga dari pusar dan menghirup hawa murni, dia dapat memulihkan lagi kekuatannya dan begitu lawannya amat marah itu menerjang dengan kolornya diayun mengarah kepalanya, pemuda yang juga marah itu sudah waspada dan dapat mengelak cepat.   Suro Bargolo penasaran bukan main. Tangan kanannya masih lumpuh, mungkin patah tulangnya atau terlepas sambungan sendi tulangnya. Dia tadinya mengira bahwa tentu pemuda itu telah mampus dan dia mengejar keluar untuk menghancurkan kepala pemuda itu. Siapa kira, pemuda itu bangkit kembali dan bahkan mampu mengelak dari hantaman kolornya dengan mudah. Maka, dengan mata merah, cuping hidung berkembang-kempis, ujung mulut berbuih saking marahnya, bagaikan seekor kerbau gila dia mengamuk, menyerang dengan ganasnya.   Pemuda itu juga sudah mengambil keputusan untuk mengadu nyawa. Begitu melihat lawannya menubruk, didahului sambaran kolor yang berubah menjadi segulung sinar merah, dia miringkan tubuhnya, secepat kilat tangan kanannya menyambar ujung kolor yang dibuat simpul besar itu, lalu dia meoncat dan....kolor itu membelit leher Suro Bargolo! Si Warak Sakti itu terkejut, meronta dan hendak merenggut kolornya, namun pemuda itu sudah membelitkan dua kali dan kini berada di belakang tubuhnya, menarik ujung kolor yang mencekik leher itu sekuat tenaganya!   Tubuh Suro Bargolo meronta-ronta, kedua kakinya menyepak-nyepak, kedua tangannya tadinya hendak merenggut kolornya yang mencekiki leher, namun tak mungkin lagi karena kolor itu telah menggigit kulit lehernya maka kini kedua tangannya seperti dua ekor ular gila, bahkan tangan kanan yang lumpuh itu ikut juga bergerak, berusaha untuk mencengkeram ke arah lawannya yang berada di belakangnya.   Namun, pemuda itu menarik dan terus menarik. Kolor itu mencekik makin dalam. Semua anak buah Suro Bargolo memandang dengan mata terbelalak, tercengang dan bingung. Kini muka Suro Bargolo menjadi merah sekali, matanya melotot sepeti hendak keluar dari rongga matanya, mulutnya terbuka dan mengeluarkan busa, lidahnya menjulur keluar, dari tenggorokannya keluar suara yang aneh. Cekikian makin menghebat, sekali lagi tubuh itu meronta keras untuk yang terakhir kali, sedemikian kuatnya tubuh itu meronta sampai pemuda itu terbawa dan keduanya jatuh teguling. Namun cekikan itu tidak pernah mengendur sedikitpun juga dan tubuh Suro Bargolo terkulai. Pemuda itu menarik lagi dengan pengerahan tenaga terakhir sampai terdengar "krekkk" dari leher kepala perampok itu, tanda bahwa tulang tengkuknya patah! Tewaslah Suro Bargolo dengan mata mendelik dan lidah terjulur keluar!   Pemuda itu bangkit berdiri, terhuyung-huyung dan dari ujung bibirnya menetes darah. Kiranya dia telah mempergunakan seluruh tenaganya ketika mencekik tadi, padahal dia telah menderita luka di sebelah dalam tubuhnya akibat hantaman kolor. Kini, melihat kepalanya tewas, dua belas orang perampok itu berteriak-teriak dan bagaikan kerbau-kerbau gila terlepas mereka menerjang Si Pamuda yang masih terhuyung!   Pemuda itu terkejut, cepat bergerak menangkis dan mengelak, akan tetapi tetap saja pundak kirinya terkena bacokan golok sehingga berdarah. Pemuda itu pulih kembali tenaganya karena marah, sekali dia menampar, penyerang ini roboh terpelanting goloknya terampas dan kini pemuda itu mengamuk! Dalam sinar golok yang tergulung-gulung, terdengar teriakan-teriakan dan berturut-turut robohlah empat orang pengeroyok! Manyaksikan kehebatan ini, para pengeroyok itu menjadi gentar dan mereka melangkah mundur.   Pemuda itu berdiri tegak dengan golok berlumuran darah di tangannya, sikapnya gagah dan menyeramkan. "Hayo, majulah kalau kalian sudah bosan hidup! Kalau tidak, pergilah dan bawalah bangkai-bangkai ini dari sini! Hayo cepat!!"   Sisa tujuh orang perampok itu maklum bahwa pemuda itu bukan orang sembarangan. Kepala mereka yang amat sakti itu telah di bunuhnya, dan dalam beberapa gebrakan saja lima orang kawan mereka tewas pula. Maka mereka lalu membungkuk-bungkuk, menyeret mayat-mayat teman-teman mereka dan kepala mereka, lalu melarikan diri dari tempat itu.   Pemuda itu masih berdiri tegak dengan golok berlumuran darah di tangan. Dia memandang sampai mereka itu kabur dan tak nampak lagi, barulah dia mengeluh, goloknya terlepas. Dia mencoba untuk melangkah, lalu mengeluh lagi, memegangi kepalanya yang menjadi pusing, lalu terhuyung dan roboh terguling!   "Ksatria yang gagah perkasa..... ahh, pendekar yang berhati mulia......ohh, orang muda yang budiman....!"   Pemuda itu membuka matanya. Mula-mula dia heran sekali melihat bahwa dia telah berada di atas pembaringan dalam sebuah pondok yang morat-marit keadaannya, dan ada lampu teplok remang-remang di sudut, lalu suara bisikan itu! Dan dia merasa ada jari-jari tangan yang lembut meraba dahinya, mengelus rambut kepalanya.   "Kasihan orang muda yang gagah perkasa....." kembali suara itu berbisik lembut dan kini jari-jari tangan itu membuka bajunya, mencuci luka di pundaknya dengan sehelai saputangan yang dibasahi air. Perih rasanya dan dia menyeringai, merintih lirih.   "Aduhhh...."   "Ah, engkau telah sadar? Syukurlah, ah, aku sudah takut kalau-kalau engkau mati...." Suara bisikan lembut itu mengandung isak. "Ya, Tuhan, terima kasih! Ternyata engkau masih hidup, pahlawanku, ksatria yang telah menyelamatkan hamba daripada malapetaka yang lebih hebat daripada maut....." Dan wanita itu menangis perlahan sambil masih mencuci luka itu.   Kini wajah itu mulai nampak jelas tertimpa sinar redup lampu teplok. Wajah yang amat manis, amat cantik jelita. Wajah yang sudah lama dikenalnya dari jauh, yang sudah lama mendebarkan jantungnya, akan tetapi juga wajah yang telah lama membuatnya risau, membuatnya penasaran, membuatnya penuh penyesalan.   "Cukup.... besarkah lukanya....?" Dia berbisik   Wanita itu mengangguk. "Tidak berapa besar, akan tetapi darahnya mengalir terus.... ah, aku khawatir sekali....."   "Tolong carikan sarang laba-laba....merupakan obat yang baik untuk sementara menghentikan darah....." pemuda itu berkata lemah karena dadanya terasa sakit. Luka di pundaknya itu bukan apa-apa. Dia adalah seorang ksatria yang sudah sering bertempur, maka luka di kulit dan daging bukanlah apa-apa, dapat cepat sembuh. Akan tetapi luka akibat pukulan kolor tadi benar-benar hebat dan memerlukan pengobatan lebih teliti lagi. Dia lalu bengkit duduk dan bersila, mengatur pernapasan untuk menghirup sebanyak mungkin hawa murni, mengumpulkan di pusar dan kemudian mengerahkan tenaga dalam yang bangkit dari pusar. Hawa yang panas menjalar naik dan berputar-putar di dalam dadanya. Itulah cara pengobatannya yang pertama sementara wanita itu membawa lampu teplok dan mulai mencari sarang laba-laba dan mengumpulkannya di tangan yang berjari kecil-kecil mungil dan berkulit halus putih itu.   Lestari sudah kembali lagi membawa sarang laba-laba yang merupakan kapas putih. Melihat pemuda itu duduk bersila, cepat dia mendekatkan lampu teplok dan berkata lirih, "Inilah obatnya....."   "Tolong tutupkan pada luka dan balut....." pemuda itu berkata singkat karena dia tahu bahwa dalam keadaan seperti itu, dia tidak boleh banyak bicara. Kemudian dia mengatur kembali pernapasannya sementara Lestari lalu menaruh sarang laba-laba itu memanjang di atas luka yang masih meneteskan darah. Benar saja, begitu tertutup oleh benda seperti kapas itu, darah berhenti menetes dan dia lalu membalut pundak itu dengan robekan sabuk suteranya. Dibalutnya dengan hati-hati sekali dan dia kadang-kadang melirik ke arah wajah pemuda yang bersahaja dan tidak terlalu tampan, namun membayangkan kegagahan, membayangkan kedukaan, membayangkan sesuatu yang menimbulkan perasaan iba di dalam hati wanita itu, perasaan yang selama ini belum pernah dirasakannya.   Setelah membalut, Lestari melihat betapa pemuda itu masih bersila, kedua matanya terpejam, alisnya berkerut, napasnya panjang-panjang. Dia tidak berani mengganggu, maklum bahwa pemuda itu adalah seorang yang sakti, mungkin sedang melakukan sesuatu yang bertalian dengan luka-lukanya. Dia sendiri tahu bahwa suaminya, Resi Mahapati, sama sekali tidak mau diganggu kalau sedang duduk bersila seperti itu, sedang bersamadhi. Lestari lalu menggodok air dengan alat-alat sederhana yang terdapat di dalam pondok itu.   Akan tetapi, air sudah lama mendidih, apinya sudah lama padam dan air mendidih itu sudah lama menjadi dingin kembali, dan pemuda itu masih juga bersila seperti arca, sama sekali tidak bergerak. Bahkan tengah malam telah lewat dan pemuda itu masih juga duduk bersila di atas pembaringan. Melihat ini, Lestari merasa khawatir sekali. Didekatinya pemuda itu, dipandangnya dan dirabanya dahinya. Duduknya begitu diam! Begitu diam seperti arca, seperti... seperti mayat! Jantungnya berdebar tegang dan muka Lestari tiba-tiba pucat.   "Kisanak.....! Kisanak.....! Raden....! Raden.... bangunlah....!" Dia menggoyang-goyang tubuh itu dengan sentuhan pada pundaknya, pahanya, namun yang duduk besila itu seperti sudah menjadi kaku, seperti mayat duduk!   Jangan-jangan sudah mati! Raksasa itu memang sakti sekali. Jangan-jangan pemuda ini juga sudah tewas seperti Darumuko! Pikiran yang menyelinap di dalam benaknya ini membuat Lestari terbelalak, mukanya makin pucat menatap wajah itu dan tak terasa lagi dia menjerit dan menubruk tubuh yang duduk bersila itu lalu menangis sejadi-jadinya!   "Jangan tinggalkan aku..... hu-huuuuh....... raden, jangan mati.... oh, jangan...!" Lestari menangis tersedu-sedu dan memeluki tubuh itu, menyembunyikan mukanya di dada dan di atas pangkuan pemuda itu yang masih duduk bersila seperti telah tidak bernyawa lagi. Baru satu kali ini selama hidupnya Lestari benar-benar menangis sungguh-sungguh, benar-benar merasa hancur hatinya, merasa berduka karena kematian seseorang. Peristiwa tadi benar-benar mengguncangkan seluruh batin Lestari. Ancaman yang amat mengerikan hatinya, keadaannya yang sudah berada di ambang malapetaka dan kehancuran, di mana dia sudah menjadi putus harapan. Kemudian meunculnya pemuda ini yang sama sekali tidak pernah disangka-sangkanya, muncul dan sekaligus menyelamatkan dirinya dari malapetaka. Wajah pemuda ini yang kelihatan demikian muram seperti mengandung kedukaan hebat, kegagahan pemuda yang selain menyelamatkannya juga telah mengorbankan dirinya sampai terluka hebat, semua ini membangkitkan perasaan aneh di dalam hatinya. Padahal, semenjak dia diculik oleh Pragodigdoyo, kemudian semenjak dia terpaksa harus menyerahkan dirinya kepada Resi Mahapati, hati wanita itu menjadi beku dan tertutup begi perasaan cinta kasih terhadap seorang pria. Namun peristiwa siang hari ini seperti mendobrak semua kebekuannya dan perasaan wanitanya tergugah, membuat dia memandang pemuda itu seperti seorang pria yang amat berjasa, yang patut diserahi cinta kasihnya, jiwa raganya! Maka, kini melihat pria itu duduk seperti arca, kemudian disangkanya telah mati, Lestari mengalami kehancuran hati yang selama ini belum pernah dirasakannya, bahkan belum pernah dimimpikannya.   Tiba-tiba Lestari menghentikan sedu-sedannya. Ada jari-jari tangan mengelus rambut kepalanya, lalu jari-jari itu merayap ke bawah, membelai kedua pipinya, dan lehernya. Dan suara berbisik-bisik lirih, "Engkua sungguh cantik jelita....engkau sungguh agung....engkau wanita yang patut dibela dengan nyawa......"   Lestari cepat mengangkat mukanya yang tadinya menelungkup di atas pangkuan pemuda itu dan dia melihat betapa pemuda itu telah membuka matanya dan memandang kepadanya dengan sinar mata mesra, sungguhpun wajah itu masih nampak muram berduka.   "Kau.... kau tidak mati....? Kau masih hidup, Raden? Akh, terima kasih kepada para dewata....!" Lestari menangis lagi sambil merangkul.   Pemuda itu juga merangkulnya, mereka saling berpelukan. Dengan air mata bercucuran Lestari mengangkat muka, mereka saling berpandangan dan muka mereka saling berdekatan.   "Kau.... kau menangis....? Kau.... menangisi aku....?" Pemuda itu bertanya, suaranya gemetar. "Mengapa...? Mengapa...?"   Suara yang penuh getaran ini seperti meremas-remas hati Lestari, dia menggunakan tangannya menutupi mulut itu agar tidak bicara lagi dan dia lalu memperketat dekapannya dan mencium pemuda itu dengan sepenuh perasaan hatinya. Pemuda itu kelihatan terkejut, akan tetapi tak kuasa menolak, bahkan lalu membalas sehingga mereka berpelukan dan berciuman dengan penuh kemesraan.   Akhirnya, pemuda itu dapat bernapas dan berkata terengah-engah dan gagap, "Maafkan...., hamba....hamba adalah...."   "Ssshhhh.... Kakang mas..... perlukah kita bicara....?" Lestari memotong dan kembali jari-jari tangannya menutupi mulut itu yang kemudian diciuminya dan mereka berdua lalu berguling di atas pembaringan. Hanya ada satu dorongan terasa oleh mereka, yaitu pencurahan kasih sayang mereka. Bukan, sama sekali bukan dorongan nafsu berahi semata. Ada sesuatu terasa oleh mereka, sesuatu yang melebihi pengaruh nafsu berahi belaka.   Lampu teplok itu kehabisan minyak, beredip-kedip dan nyalanya tiba-tiba mengecil, seperti mata berkedip-kedip, kemudian padam dan pondok itu menjadi gelap pekat. Namun hal ini sama sekali tidak terasa oleh dua orang itu. Mereka telah lupa segala, yang ada hanya mereka berdua dan perasaan cinta yang menggelora.   ***   Sinar matahari yang masih amat muda, kemerahan bagaikan sinar emas, menerobos masuk melalui celah-celah bilik ke dalam pondok itu. Sunyi sekali di dalam dan di luar pondok. Hanya bunyi kicau burung di pohon-pohon di luar pondok yang menyemarakkan suasana pagi hari yang cerah dan indah itu.   Mereka masih berbaring di atas balai kayu di depan pondok. Pemuda itu terlentang dan matanya manatap ke atas ke atap rumput alang-alang dari pondok itu. Tangannya yang kanan mengelus-elus rambut yang panjang itu, rambut dari kepala yang rebah telentang, kepalanya berbantal dada pemuda itu, rambutnya yang hitam dan panjang, halus mengkilap karena kemarin pagi sebelum berangkat telah dikeramasinya, kini terlepas dari sanggulnya dan menyelimuti dada pemuda itu yang tak berbaju. Wajah wanita ini seperti mengeluarkan cahaya, gemilang dan berseri biarpun agak pucat dan membayangkan kelelahan. Bulu matanya yang panjang lentik itu masih digenangi dua butir air mata, dan bibirnya yang tipis merah itu tersenyum penuh kebahagiaan. Sinar matanya sayu melamun, juga menerawang ke atas. Ketika merasa jari-jari tangan itu membelai rambutnya, dia tersadar, menoleh sedikit sehingga bertemu pandang mata dengan pemuda itu, dia tersenyum, lalu menggerakkan tangan sehingga jari-jari tangan kirinya bertemu dengan jari-jari tangan kanan pemuda itu, mereka saling cengkeram dan jari-jari mereka saling dekap. Getaran mesra terasa oleh mereka melalui sentuhan antara jari-jari tangan itu. Dua butir air mata yang tergenang di bulu mata itu bertitik jatuh ke atas pipi yang halus dan agak pucat.   "Mengapa baru sekarang kita saling bertemu....? Mengapa tidak sejak dulu....?" Lestari berbisik seperti orang yang menyalahkan nasibnya. Ketika dia merasa betapa dada yang ditidurinya itu bergerak sedikit, Lestari menoleh dan kini menatap wajah itu. Wajah yang masih kelihatan muram, akan tetapi sinar mata yang memandangnya itu demikian tajam, demikian penuh pernyataan cinta yang mesra. Lalu Lestari berbisik nadanya menegur, "Mengapa tidak dari dulu-dulu engkua menemui aku?"   Pemuda itu menarik napas panjang, jari-jari tangannya melepaskan tangan Lestari dan kini menelusuri pipi dan dagu itu. "Mengapa? Ah, engkau begini cantik jelita, dan engkau selama ini.... ah, tempatmu begitu tinggi...." Dia tidak melanjutkan kata-katanya, untuk sejenak hanya melamun, kemudian berkata lagi, "sungguhpun telah lama aku mengagumimu, merindukanmu dari jauh...."   Tangan Lestari membelai dada yang telanjang itu, digurat-guratnya dengan kuku telunjuknya. "Siapakah engkau? Siapakah namamu?"   "Aku? Namaku Harwojo dan aku hanya seorang abdi biasa saja, aku..."   "Tak mungkin! Engkau memailiki kesaktian, engkau gagah perkasa."   "Itulah pekerjaanku, mengandalkan sedikit kemampuan untuk berkelahi! Aku adalah seorang pengawal dan kepercayaan dari Gusti Ratu Sri Indreswari......"   "Ahh...!" Lestari terkejut akan tetapi tidak bangkit dari dada pemuda itu, hanya kini dia rebah miring sehingga mereka dapat saling berpandangan. "Dan bagaimana engkau dapat menolongku di tempat ini, Kakangmas Harwojo?"   "Kebetulan saja.... kebetulan saja aku dapat melihat keretamu dilarikan keluar dari pintu gerbang. Aku merasa curiga. Aku sudah mengenak betul keretamu, sudah terlalu lama mengenalmu, Diajeng Lestari, mengenalmu secara diam-diam. Hanya menyesal diriku sendiri..... akan tetapi, akan tetapi......" Tiba-tiba dia bangkit duduk dan mendorong Lestari sehingga wanita itu bangkit duduk pula. Mereka duduk berhadapan di atas pembaringan itu. Wajah Harwojo nampak makin keruh dan sinar matanya berkilat, seperti orang marah.   "Kenapa, Kakangmas Harwojo....?" Lestari bertanya, khawatir melihat orang itu seperti marah, merangkulnya.   Harwojo menarik napas panjang, lalu balas merangkul dan ada sedu sedan naik dari dadanya.   "Eh, kau.... kau menangis?" Lestari bertanya kaget, merangkul leher.   Harwojo menunduk, menyembunyikan mukanya dan dengan punggung kepalan tangannya, dia mengusir dua titik air mata yang tadi meloncat keluar. Kemudian dia mengangkat mukanya, menggunakan kedua tangannya untuk memegang kedua pipi Lestari, dipandang wajah itu dan dia berkata, suaranya mengandung penasaran, "Diajeng Lestari, engkau begini cantik, begini ayu..... begini manis....." Tangan itu membelai seluruh muka yang amat mengagumkan hatinya itu, "akan tetapi mengapa.... mengapa engkau membiarkan orang mempermainkan dirimu? Mengapa engkau membiarkan orang lain memperalat dirimu, memperalat kecantikanmu?"   "Maksudmu, Kakangmas Harwojo?"   "Aku tahu bahwa engkau sengaja dipergunakan orang untuk memikat Sang Pangeran....." Harwojo berhenti sebentar, lalu melepaskan kedua tangannya, membuang muka dan mengepal tinjunya. "Ah, aku cinta padamu...... Diajeng Lestari, demi iblis! Biar terkutuk aku! Aku cinta padamu....!!"   Jilid 67   Lestari memandang wajah itu dan iar mukanya membayangkan kelembutan, membayangkan rasa sayang penuh iba. "Kakangmas Harwojo, aku pun cinta padamu..... sungguh, langit dan bumi menjadi saksi, para dewata mendengarkan pengakuanku ini, baru sekarang ini selama hidupku, aku mencintai orang. Aku cinta padamu, Kakangmas Harwojo."   "Plak!" Harwojo menghantam telapak tangan kirinya sendiri. Nyeri sekali rasanya, kiut miut rasanya pundak yang terluka, akan tetapi lebih nyeri lagi rasa hatinya. "Setan!" Kalau benar, mengapa engkau menjadi selir Resi Mahapati? Mengapa engkau menjadi kekasih Sang Pangeran? Aku ingin sekali percaya kepadamu, akan tetapi betapa mungkin??"   Tiba-tiba Lestari menangis menutupi mukanya. Tangis sungguh-sungguh, bukan seperti biasa kalau dia menangis di depan Resi Mahapati atau Sang Pangeran. Sudah terbiasa dia menagis secara palsu, tangis buatan sehingga kini tangis yang sungguh-sungguh membuat jantungnya terasa seperti akan putus!   Mendengar suara tangis yang demikian memilukan, melihat wanita itu sedemikian sedihnya, Harwojo menjadi terharu akan tetapi pandang matanya masih penuh selidik, hampir dia tidak percaya. "Diajeng Lestari, seorang seperti engkau ini.... dengan kedudukan begitu tinggi dan mulia, penuh kesenangan, mana mungkin dapat merasakan penderitaan batin seperti aku? Semanjak kecil aku hidup sebatangkara, tidak pernah mengenal kebahagiaan. Kemudian, aku bertemu dengan engkau, Diajeng dan mulailah semua penderitaan kutanggung! Aku jatuh cinta, akan tetapi aku tidak berani bertemu denganmu, bahkan memandang pun sudah merupakan suatu hal yang lancang bagiku. Engkau adalah selir terkasih dari Resi Mahapati, seorang yang berkudukan tinggi, dan engkau adalah Kakak kandung dari Adimas Sutejo, ksatria yang memiliki kesaktian luar biasa. Sedangkan aku...."   "Engkau adalah seorang ksatria yang gagah perkasa pula, Kakangmas Harwojo, engkau seorang laki-laki sejati, engkau seorang pria yang kucintai, satu-satunya pria yang pernah kucinta."   "Jangan kau berkata demikian!" tiba-tiba Harwojo membentak marah. "Ah, Diajeng Lestari, engkau yang begini cantik seperti dewi kahyangan, engkau yang begini kucinta, janganlah kaulontarkan kata-kata yang menyakitkan hatiku itu....yang mengiangatkan aku betapa.... palsu hatimu..... betapa engkau setelah menjadi selir tercinta Resi Mahapati, engkau rela dijadikan umpan, menjadi kekasih Sang Pangeran, dan tadi..... bersamaku.... engkau...." Harwojo tidak dapat melanjutkan, menutupi mukanya dan kini pria yang gagah perkasa ini menangis benar-benar!   Lestari memandang dengan mata terbelalak. Kini dia mengerti dan persangkaan pamuda yang secara aneh telah menjatuhkan hatinya itu, menyakitkan hati sekali. Dia belum pernah mencintai seorang pria, bahlkan belum pernah dia merasa benar-benar hidup seperti ketika berada dalam pelukan pemuda itu tadi. Belum pernah dia merasakan kesenangan sedemikian besarnya, yang membuat dia menangis dalam pelukan itu, yang membuat dia terheran-heran betapa berdekatan dengan seorang pria dapat membuat dia merasa betapa hidup ini seolah-olah berubah sama sekali, betapa segalanya nampak indah, segalanya terasa nikmat, semua terasa bahagia!   "Kakangmas Harwojo, kaupandanglah aku dan kaudengarkanlah kata-kataku! Aku bersumpah, selama hidupku baru sekali ini aku mengeluarkan isi hatiku, aku mengakui keadaanku." Ucapan itu dikeluarkan dengan penuh semangat sehingga Harwojo mengangkat mukanya yang basah air mata dan enjadi pucat sekali.   Kini Lestari yang memegangi kedua pipi pemuda itu dan dengan mesra dikecupnya mulut pemuda itu,lalu berkata, "Dengarlah baik-baik. Jangan sekali-kali engkau mengira bahwa aku pernah merasakan cinta kasih, pernah merasakan kebahagiaan dengan pria lain. Sama sekali belum pernah dan baru tadi aku merasa benar-benar hidup, merasa benar-benar jatuh cinta Hanya padamu seoranglah aku jatuh cinta, Kakangmas. Kau tahu mengapa aku menjadi selir Resi Mahapati? Karena dendam! Aku dipaksa menjadi selirnya, dan aku lalu menyerah untuk dapat melampiaskan dendamku, dendam keluargaku. Kemudian, kau tahu mengapa aku mau dijadikan umpan untuk menjadi kekasih Sang Pangeran? Karena keinginan mengejar kedudukan! Nah, sama sekali tidak ada cinta di situ. Aku muak! Kau tidak tahu betapa menderita batinku kalau aku terpaksa harus melayani Sang Resi dan Sang Pangeran! Aku ingin membunuh mereka karena benciku! Aku muak, aku mau muntah kalau mengingatnya, Kakangmas!"   Harwojo memandang wajah wanita itu dengan alis berkerut, penuh kasih sayang dan penuh rasa iba. "Kalau begitu, mengapa engkau menyiksa diri sedemikian rupa, Diajeng? Mengapa masih kau kukuhi kedudukanmu itu kalau memang engkau tidak menemukan bahagia di situ?"   "Apa dayaku, Kakangmas? Apa pilihanku? Hanya tadi, setelah bertemu denganmu, setelah merasa betapa engkau benar-benar amat mencintaiku, setelah..... setelah tadi.... aku tahu bahwa selama ini aku hidup seperti dalam alam mimpi, tidak melihat kenyataan. Kini aku tahu bahwa semua itu, dendam dan pengejaran kedudukan, hanya kosong belaka dan makin dituruti makin membuatku kosong. Hanya dengan cintamu maka aku merasa penuh, aku merasa hidup, Kakangmas. Karena itu, mari kita tinggalkan segala kepalsuan dan kekosongan itu, mari kita hidup bersama, jauh dari segala kericuhan ini....kaubawalah aku pergi, Kakangmas, biar kita hidup miskin dan papa biar harus makan dua hari sekali, biar harus tinggal di gubuk dan memakai pakaian kasar...., aku akan bekerja, aku akan melayanimu, aku akan membahagiakan hidupmu karena kebahagianmu berarti kebahagiaanku pula....."   Harwojo menggeleng kepala. "Tidak..... tidak....! Tidak mungkin!" Dia lalu meloncat turun dari pembaringan, mengenakan pakaiannya kembali dan berjalan hilir mudik di dalam pondok. Pikirannya kacau dan bingung sekali.   Seperti kita ketahui, Harwojo ini pernah menjadi mata-mata Sang Ratu Sri Indreswari dan bertugas di Lumajang. Bersama dengan dengan Sulastri, Joko Handoko dan yang lain-lain, dia berhasil memasuki sayembara, lulus dan menjadi panglima. Dia menjadi mata-mata ini untuk menyelidiki tentang hilangnya keris pusaka Kolonadah. Kemudian, seperti telah diceritakan di depan, dia telah membantu Murwendo dan Murwanti menawan Joko Handoko dan Roro Kartiko yang dianggap sebagai anak-anak pemberontak yang patut dihukum, dan juga hal itu dilakukannya karena dia ingin agar orang kembar itu akan membantunya kelak dalam tugasnya mencari Kolonadah. Akan tetapi, selain itu dia pun hendak mencegah gadis yang dikaguminya itu menjadi kaki tangan pemberontak Lumajang. Akan tetapi, ketika dia berhasil menawan Sulastri, muncul Sutejo yang mengalahkannya. Akhirnya, setelah tahu bahwa dia adalah utusan Sang Ratu, Sutejo membebaskannya dan dari pemuda perkasa dan dara itu tahulah Harwojo bahwa keris pusaka Kolonadah tidak berada di tangan orang-orang Lumajang dan masih lenyap. Maka dia kembali ke Mojopahit untuk memberi pelaporan kepada Sang Ratu sehingga Sang Ratu menjadi curiga bahwa keris pusaka yang oleh Resi Mahapati diserahkan kepadanya itu adalah Kolonadah yang palsu!"   Sebenarnya telah lama Harwojo tergila-gila kepada Lestari. Dalam suatu pertemuan, di pesta yang diadakan seorang ponggawa, di mana Resi Mahapati dan Lestari hadir, Harwojo melihat wanita ini dan pada saat itu pun dia telah jatuh cinta. Akan tetapi, mengingat bahwa wanita itu adalah selir terkasih dari Sang Resi, tentu saja dia segera menjauhkan diri dan makan hati sendiri. Tidak mungkin dia dapat dan berani mendekati selir terkasih dari resi yang sakti itu. Pula, dia tidak ingin mengganggu isteri orang lain. Akan tetapi, hatinya selalu gandrung dan baru terobati rasa nyeri hatinya kalau di sudah dapat melihat wajah wanita itu sewaktu-waktu, birapun hanya sebentar saja. Maka, telah lama Harwojo kadang-kadang membayangi dan mencari Lestari, hanya untuk memandang wajahnya dari jauh.   Untuk melaksanakan rencananya membunuh wanita yang dianggapnya menggoda puteranya, Sang Ratu Sri Indreswari tidak mau mengutus Harwojo karena dia tahu bahwa Harwojo adalah seorang ksatria yang mengutamakan kesetiaannya terhadap Mojopahit, jadi bukan seperti ponggawa atau pengawal bayaran yang mau melakukan apa saja demi uang atau hadiah. Maka, apa yang dilakukan oleh pengawal utusan ratu yang menghubungi Suro Bargolo, sama sekali tidak diketahui oleh Harwojo dan ketika dia secara kebetulan melihat Lestari dilarikan, tentu saja dia cepat menolong dan menentang Suro Bargolo, tidak tahu sama sekali bahwa di balik semua peristiwa ini berdiri Sang Ratu kepada siapa dia sendiri menghambakan diri!   "Kakangmas Harwojo, mengapa tidak mungkin?" Lestari berkata sambil memandang pria yang telah merebut hatinya itu dengan pandang mata penuh permohonan. "Tadinya, tidak pernah termimpi olehku bahwa aku akan dapat meninggalkan semua kedudukanku, semua cita-citaku. Akan tetapi setelah bertemu denganmu, Kakangmas, setelah aku menyerahkan segala-galanya kepadamu, aku yakin bahwa kebahagiaanku hanyalah berada di sampingmu. Aku seperti baru tergugah dari mimpi buruk dan baru terbuka mataku. Marilah, Kakangmas, mari kita pergi yang jauh, meninggalkan semua ini meninggalkan Mojopahit, di tempat sunyi.... jauh dari segala macam persoalan...."   Harwojo membalik dan menghampiri Lestari, memeluknya. Lestari terisak dan menyambunyikan muka di dada orang yang dicintainya itu. Sejenak mereka diam dan hanya merasakan betapa getaran yang terasa di antara mereka adalah getaran yang amat kuat, yang selama ini belum pernah mereka rasakan.   "Diajeng Lestari, aku cinta padamu, Hyang Wisesa mengetahui akan hal ini. Aku rela mengorbankan nyawa dan apa saja demi untuk dirimu, Diajeng. Akan tetapi, jangan minta aku melakukan hal itu. Kita tidak boleh melarikan diri, karena hal itu tentu akan membangkitkan kemarahan Resi Mahapati, bahkan Sang Pangeran sendiri akan menjadi marah. Kita tentu akan dicari-cari, dikejar-kejar...."   "Kakangmas, pujaan hatiku yang gagah perakasa, jangan katakan bahwa aku takut..."   "Engkau tahu bahwa aku tidak takut, kekasihku, tidak takut menghadapi apa pun demi untukmu. Akan tetapi aku tidak mau melihat engkau terancam bahaya......"   "Aku tidak takut! Mereka boleh mengejar, mencari, boleh menghukum, menyiksa dan membunuhku, aku tidak takut! Apa pun yang terjadi atas diriku, asal aku berada bersamamu, Kakangmas, akan kuhadapi dengan senyum di bibir!"   Harwojo mencium mulut yang mengeluarkan kata-kata yang amat menyenangkan hatinya itu, kemudian dia mengelus rambut yang hitam mulus dan panjang halus itu. "Bukan begitu, Dewiku. Aku tidak takut mati, akan tetapi aku amat takut melihat engkau sengsara. Aku tidak takut dianggap pemberontak akan tetapi aku ngeri kalau namamu disebut sebagai seorang pengkhianat dan pemberontak. Sampai mati pun aku akan terus menyesal dan rohku akan menjadi setan penasaran kalau sampai menyebabkan engkau dikejar dan dihukum sebagai pemberontak. Tidak, Yayi, aku tidaklah sejahat itu. Tidak, Diajeng Lestari, engkau adalah selir Resi Mahapati yang mulia dan terhormat. Engkau bukan seorang wanita yang bebas. Sudah nasib kita begini....."   "Kakangmas Harwojo....!" Lestari merangkul sambil menangis. "Setelah pertemuanku denganmu, apa kaukira aku akan sanggup lagi menyerahkan diriku kepada Resi Mahapati, kepada Pangeran, kepada siapapun juga? Aku adalah milikmu, Kakangmas, lahir batin....."   Akan tetapi Harwojo tidak dapat dibujuk lagi. Setengah memaksa dia membantu Lestari menganakan pakaiannya yang robek, kemudian dia mengajak Lestari kembali ke Mojopahit di dalam kereta itu. Di sepanjang perjalanan itu, Lestari menangis terisak-isak. Terbayanglah semua pengalaman hidupnya dan dia menyesal bukan main. Dia merasa betapa dia telah menyia-nyiakan semua waktu hidupnya hanya dengan dendam dan sakit hati. Sekarang, setelah dia bertemu dengan orang yang dicintainya, semua telah terlambat. Harwojo tidak mau menyeret dia ke dalam kesengsaraan dan nama busuk. Seolah-olah hidupnya yang sekarang ini penuh kebahagiaan! Harwojo tidak tahu betapa hidupnya yang kelihatan senang dan mewah itu merupakan racun baginya! Ingin dia membunuh diri saja. Kalau saja Harwojo tidak telah menjanjikan bahwa pria yang dikasihaninya itu akan mau mengadakan pertemuan sewaktu-waktu, tentu dia sudah membunuh diri ketika Harwojo tidak mau memenuhi permintaannya untuk minggat berdua.   Sementara itu, di Mojopahit, Resi Mahapati dan Sang Pangeran telah menjadi bingung dan khawatir. Kereta yang membawa Lestari lenyap tak meninggalkan bekas! Pangeran yang memanggil kekasihnya itu, yang telah penuh kerinduan menanti kedatangan wanita yang amat memikat hatinya itu, menjadi makin penasaran karena belum juga Lestari tiba. Padahal biasanya, setiap menerima panggilannya, wanita itu bergegas datang. Maka dia lalu mengirim utusan untuk menanyakan ke istana Resi Mahapati. Tentu saja Resi Mahapati terkejut bukan main mendengar penuturan utusan itu bahwa selirnya belum tiba di istana Pangeran. Padahal sudah sejak pagi tadi Lestari berangkat. Maka dengan jantung berdebar penuh kekhawatiran, dia sendiri lalu meninggalkan rumahnya pergi ke istana Pangeran. Benar saja, tidak ada Lestari di sana dan wanita itu telah menghilang!   Baik Resi Mahapati maupun Pangeran lalu mencari, mengutus orang-orang untuk mencari. Namun hasilnya sia-sia belaka. Semua rumah dan semua sudut kota raja telah diperiksa, namun sampai malam tiba, mereka tidak berhasil. Sang Resi menjadi resah sekali. Pada waktu itu, persaingan antara dua kelompok di Mojopahit sudah menjadi makin sengit dan sudah berubah menjadi pertentangan kelompok dan permusuhan secara terbuka. Dalam waktu beberapa bulan ini terjadi ketegangan-ketegangan, kematian-kematian yang aneh, pembunuhan-pembunuhan terselubung. Oleh karena itu, Resi Mahapati mulai menaruh curiga bahwa jangan-jangan selirnya itu diculik orang dengan maksud untuk memukul dia, ataukah memukul Sang Pangeran? Masih menjadi teka-teki yang takkan terjawab sebelum dia dapat menemukan kembali Lestari! Hanya Sang Ratu Sri Indreswari dan pengawal utusannya saja yang tahu apa yang terjadi. Sang Ratu Sri Indreswari tersenyum puas di dalam kamarnya. Siasatnya berhasil. Wanita tak tahu malu itu telah diculik dan tentu kini telah dibunuh. Puteranya bebas, bebas dari bahaya aib dan malu. Kini puteranya dapat menghadapi semua orang yang tidak menyukainya dengan dada dibusungkan, tanpa khawatir dihubungkan dengan wanita rendah itu!   Dapat dibayangkan betapa gelisah rasa hati Resi Mahapati dan Sang Pangeran. Mereka berdua telah terikat oleh wanita itu dan sukarlah membayangkan hidup tidak dilengkapi adanya Lestari di samping mereka! Bagi Sang Pangeran, dia seperti seorang anak-anak yang memperoleh sebuah mainan baru yang tak dapat membosankan, amat mengasikkan dan menyenangkan. Maka tentu saja dia menjadi gelisah dan murung, takut kalau sampai kehilangan mainan yang disenanginya itu. Resi Mahapati lebih parah lagi. Dia amat khawatir. Dia tidak hanya amat mencinta Lestari yang dianggapnya amat cinta dan patuh kepadanya, juga amat setia. Semua rahasianya telah diketahui belaka oleh wanita itu sehingga kalau sampai Lestari terjatuh ke tangan orang lain, apalagi kalau terjatuh ke tangan musuh, sungguh amat berbahaya baginya. Dan kini dia memperoleh dua macam kesenangan dari diri Lestari. Kesenangan pertama yang tak pernah membosankan tentu saja pelayanan wanita itu terhadap dirinya. Dan ke dua, yang kini merupakan kesenangan tersendiri baginya, adalah mendengar penuturan Lestari tentang tingkah laku Sang Pangeran dalam bercinta setelah wanita itu kembali dari pertemuannya dengan Pangeran! Dan sekarang, dia terancam akan kehilangan semua itu! Tentu saja Resi Mahapti menjadi gelisah. Dia minta bantuan Resi Harimurti dan para jagoannya untuk mencari Lestari sampai dapat. Di lain pihak, Pangeran juga mengutus Ki Durgakelana, Ki Warak Jinggo dan Ki Sarpo Kencono untuk mencari Lestari sampai dapat.   Akan tetapi, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ketika mereka sedang sibuk mengatur pasukan untuk mulai mencari keluar Mojopahit, mereka melihat kereta milik Resi Mahapati memasuki kota raja, dikusiri oleh Harwojo! Kereta itu langsung menuju ke rumah gedung Resi Mahapati dan berhenti di depan pekarangan depan. Harwojo dengan sigapnya lalu meloncat turun, membuka pintu kereta. Tirai tersingkap dan..... Lestari muncul dari dalam kereta, langsung lari memasuki rumah itu sambil menangis!   Resi Mahapati dan Sang Pangeran yang sepagi itu sudah berada pula di situ, menegur, akan tetapi Lestari tidak memperdulikan sama sekali kapada mereka, langsung saja lari menangis memasuki kamarnya! Resi Mahapati terkejut bukan main. Belum pernah Lestari bersikap seperti itu terhadapnya, apalagi terhadap Sang Pangeran yang hadir di situ. Seolah-olah dia dan Pangeran tidak dianggap apa-apa oleh Lestari!   Resi Mahapati sudah melangkah ke depan menyambut Harwojo. Pemuda itu kelihatan murung dan tenang.   "Anakmas Harwojo! Apa yang telah terjadi? Bagaimana Andika dapat membawanya pulang?" tanya Resi Mahapati dan Sang Pangeran juga berlari keluar. Melihat Sang Pangeran berada pula di situ, hati Harwojo seperti ditusuk rasanya. Lestari telah menjadi permainan dua orang laki-laki ini! Resi Mahapati yang tak tahu malu, yang menjual selirnya kepada Sang Pangeran demi untuk mencari kedudukan dan untuk menjilat Sang Pangeran! Dan Sang Pangeran, orang muda yang tak tahu malu, yang mau saja menerima hubungan itu di depan mata Resi Mahapati. Dan betapa Lestari merasa tersiksa harus melayani dua orang pria yang sama sekali tidak dicintanya. Kalau menurutkan hasrat hatinya, ingin rasanya dia menyerang dan membunuh dua orang pria yang telah menyiksa batin kekasihnya itu. Akan tetapi Harwojo tahu diri, dia cepat berlutut dan menyembah ketika melihat Sang Pangeran.   "Ahh, kiranya Kakang Harwojo! Bagaimana engkau dapat membawa Lestari pulang, Kakang Harwojo? Ke mana saja dia pergi?" Kalimat terakhir ini mengandung kecurigaan dan cemburu besar, dan sepasang mata Sang Pangeran ditujukan kepada Harwojo dengan tajam.   "Maaf, apakah boleh hamba bercerita di dalam saja?" jawab Harwojo ketika melihat betapa banyak orang ponggawa dan pengawal merubung pendopo itu untuk melihat kembalinya Lestari dan apa yang sebenarnya terjadi. Juga mereka ingin sekali tahu ke mana perginya Darumuko yang tadinya mengusiri kereta itu.   Resi Mahapati maklum bahwa tentu telah terjadi sesuatau yang amat hebat, maka dia lalu mengangguk dan mempersilakan Sang Pangeran memasuki ruangan dalam, diikuti oleh dia dan Harwojo. Setelah tiba di dalam, Resi Mahapati mempersilakan Sang Pangeran duduk, dan Harwojo yang agak pucat mukanya juga dipersilakan duduk.   "Nah, sekarang ceritakan, apa yang telah terjadi?" tanya lagi Sang Pangeran dengan tidak sabar dan matanya berkali-kali menengok ke dalam di mana Lestari tadi lari memasuki kamarnya.   "Kemarin pagi, selagi hamba berjalan di dekat pintu gerbang sebelah barat, hamba melihat kereta milik Paman Resi yang dikusiri oleh Kakang Darumuko lewat gerbang. Di samping Kakang Darumuko hamba melihat ada seorang laki-laki tinggi besar yang berpakaian seperti pengawal kerajaan, akan tetapi sikapnya amat mencurigakan. Juga di belakang kereta terdapat dua belas orang pengawal yang menunggang kuda, namun hamba sama sekali tidak mengenal seorang pun di antara mereka. Kecurigaan hamba makin keras, maka hamba lalu mencoba untuk mengejar kereta itu." Harwojo berhenti sebentar sedangkan dua orang pendengarnya mendengarkan penuh perhatian.   "Karena kereta itu dan para penunggang kuda itu melarikan kuda amat cepat, sedangkan hamba hanya berjalan kaki, maka hamba tertinggal jauh. Hamba tetap mengejar dan akhirnya hamba melihat bekas tapak roda kereta memasuki hutan. Tentu saja hamba mekin curiga dan terus mengikuti jejak roda kereta itu. Akhirnya dari jauh hamba melihat kereta itu di tengah hutan....."   "Apa yang terjadi? Siapa mereka?" Resi Mahapati betanya dengan keinginan tahu yang memuncak.   "Ketika hamba tiba di sana," kata Harwojo yang menunjukkan cerita itu kepada Sang Pangeran maka sikapnya masih terus menghormat. "Hamba melihat Kakang Darumuko telah rebah dan tewas....."   "Ahh....!!" Resi mahapati berseru dan mengepal tinju saking marahnya mendengar betapa orang kepercayaannya itu tewas.   "Teruskan..... teruskan....!" Sang Pangeran mendesak, makin tertarik.   "Selain Kakang Darumuko yang sudah menggeletak tak bernyawa, di situ terdapat belasan orang kasar itu, sedangkan kepalanya yang bernama Suro Bargolo berada di dalam pondok bersama.... bersama di.......eh, bersama selir Paduka, Paman Resi!" Harwojo masih ingat untuk mengurungkan sebutan "diajeng" terhadap Lestari.   "Lalu bagaimana? Apa yang dilakukan oleh si keparat jahanam itu?" Sang Pangeran bertanya dengan mata terbelalak dan di dalam hati Harwojo terasa kenyerian yang membuat dia muak. Selir orang yang terancam malapetaka, Sang Pangeran ini yang kebingungan seperti monyet kebakaran jenggot!   "Tidak apa-apa, atau belum, Gusti. Memang keparat itu hendak melakukan perbuatan terkutuk terhadapdi.... tarhadap selir Paman Resi, akan tetapi hamba keburu datang dan mencegah perbuatannya itu. Hamba bertempur melawan dia dan akhirnyam hamba berhasil membunuh Suro Bargolo."   "Hemm, si kaparat! Sayang engkau telah membunuhnya, Harwojo. Kalau tidak, tanganku sendiri yang akan mencokel keluar sepasang matanya, merobek dadanya dan mencabut keluar jantungnya, memecahkan kepalanya dan mengorek keluar otaknya!" Resi Mahapati berteriak, marah sungguh-sungguh.   "Bagus, Harwojo, bagus sekali engkau telah dapat membunuhnya. Ha-ha, aku pasti akan memberi hadiah besar kepadamu, Kakang Harwojo?" Sang Pangeran berkata sambil tersenyum girang, puas dan lega hatinya mendengar bahwa kekasihnya selamat nyawanya, juga selamat pula kehormatannya.   Harwojo menghaturkan terima kasih dengan sembah. Di dalam batinnya terjadi perang hebat. Di satu pihak, dia adalah seorang hamba yang setia dari Mojopahit dan dia harus menjunjung tinggi Sang Pangeran Pati yang menjadi sesembahannya setlah Sang Prabu dan Sang Ratu Sri Indreswari. Akan tetapi di pihak lain dia melihat Pangeran ini sebagai seorang di antara pria yang telah menyiksa batin kekasihnya!   "Anakmas Harwojo, aku pun amat berterima kasih kepadamu. Lalu, bagaimana selanjutnya?"   "Ya, bagaimana lanjutannya, Harwojo?" Sang Pangeran bertanya pula dengan suara halus dan ramah, suara seorang yang berterima kasih.   "Anak buah Suro Bargolo lalu mengeroyok hamba. Akan tetapi hamba berhasil membunuh beberapa orang di antara mereka dan mereka lalu melarikan diri sambil membawa mayat Suro Bargolo dan teman-teman mereka."   "Ah, kenapa tidak kaubunuh semua atau kautangkap seorang di antara mereka hidup-hidup?" Resi Mahapati bertanya. "Kita harus mengetahui siapa yang menyuruh mereka Pasti ada yang menyuruh, kalau tidak, masa mereka berani memusuhi aku?"   "Hamba tidak dapat..... hamba terluka parah dan hamba terus pingsan, kata Harwojo sambil menundukkan mukanya.   Kini Resi Mahapati menggunakan pandang matanya yang waspada, memandang wajah orang muda itu. "Hemm, agaknya Andika terkena pukulan yang ampuh, Anakmas Harwojo. Jangan khawatir, aku akan mengobatimu."   "Terima kasih, Paman Resi. Tidak perlu kiranya, sudah hampir sembuh. Memang hamba terkena pukulan ampuh dari senjata kolor Suro Bargolo."   Tiba-tiba Sang Pangeran berseru heran, "Akan tetapi bukankah peristiwa itu terjadi kemarin pagi? Lalu kemarin siang, sore dan malam tadi...., mengapa kau tidak segera mengajak pulang Lestari?"   Mendengar pertanyaan Pangeran ini, Resi Mahapati juga memandang penuh kecurigaan. Harwojo menundukkan mukanya. Sukar baginya untuk menjawab. Semalam? Dia bermain cinta dengan Lestari! Apa yang harus dijawabnya?   Pada saat itu, terdengar suara Lestari, "Kakangmas Resi Mahapati! Gusti Pangeran! Harwojo telah mempertaruhkan nyawa untuk hamba, akan tetapi mengapa Paduka sekalian masih mencurigainya?"   Tiga orang itu memandang dan melihat Lestari muncul dari pintu dalam. Dia telah berganti pakaian bersih dan indah. Rambut yang disisir rapi dan biarpun wajahnya masih agak pucat, matanya sayu, mata orang yang kurang tidur, namun dia sudah kelihatan segar kembali. Tadi dia diam-diam mendengarkan dari balik pintu dan mendengar Pangeran mendesak Harwojo dan bersikap mencurigai, dia cepat muncul dan mengeluarkan kata-kata itu.   "Dia hampir mati oleh luka-lukanya, pundaknya robek berdarah kena senjata, dia nyaris mati dan baru tadi pagi tadi dia sadar dari pingsannya terus mengantar hamba pulang. Kalau tidak ada dia, entah apa saja jadinya dengan hamba!"   Sang Pangeran benagkit dari tempat duduknya, melihat sinar matanya dan gerak-geriknya, ingin sekali dia menghampiri Lestari. Kalau tidak ada orang lain di situ, tentu sudah ditubruknya wanita itu. Akan tetapi dia malu terhadap Harwojo, maka dia duduk kembali.   "Hamba.... hamba luka parah, pukulan kolor itu amat dahsyat, hamba terluka di sebelah dalam dada, dan bacokan golok melukai pundak hamba..... harap ampunkan hamba yang tidak dapat mengantarnya kemarin....."   "Dia rebah pingsan, hampir mati,mana bisa mengantar hamba?" Lestari berkata lagi.   Resi Mahapati mengangguk-angguk. "Sungguh besar jasamu, Anakmas Harwojo. Kami berterima kasih sekali."   "Kau pulanglah, Harwojo, dan nanti akan kukirim hadiah untukmu," kata Pangeran.   Harwojo menghaturkan terima kasih menyembah dan mengundurkan diri tanpa berani melirik ke arah Lestari. Sang Pangeran juga berpamit dan berpesan agar setelah lenyap kagetnya, Lestari suka datang ke istananya. "Untuk menceritakan semua pengalamannya yang hebat itu", kata Sang Pangeran.   ***   Akan tetapi, Sang Pangeran terpaksa harus mengalami kekecewaan besar. Semenjak terjadinya peristiwa penculikan atas dirinya itu, Lestari tidak pernah lagi memenuhi panggilannya! Ada saja alasan yang dikemukakan oleh Lestari, sedang tidak enak badan dan sebagainya. Bahkan ketika secara terpaksa sekali, karena bujukan Resi Mahapati yang merasa khawatir sekali menyaksikan sikap selirnya itu, Lestari datang juga memenuhi panggilan ke istana Pangeran, dia tidak bersedia melayani gelora cinta Sang Pangeran, dengan alasan bahwa badannya tidak enak. Dia menerima cumbuan Sang Pangeran, akan tetapi hanya terbatas sampai di situ saja, dan minta tempo sampai lain kali kalau tubuhnya terasa sehat dan hatinya tidak dilanda ketakutan.   "Gusti, harap ampunkan hamba. Peristiwa tempo hari itu membuat hamba menjadi ketakutan setiap kali menghadapi rayuan pria. Kepala perampok itu amat kejam, amat mengerikan...." Katanya sambil menangis dan terpaksa Sang Pangeran "melepaskannya".   Bukan hanya terhadap Sang Pangeran Lestari menghindarkan diri. Juga terhadap Sang Resi Mahapati sendiri! Dia tidak pernah mau melayani Sang Resi dengan alasan-alasan yang sama! Dan kini dia lebih sering keluar dari rumah dan memang dia selalu memperoleh kebebasan dari Sang Resi. Kemanakah dia pergi yang hampir dilakukan setiap hari dan paling lama dua hari sekali itu?   Kemana lagi kalau bukan mengadakan pertemuan dengan Harwojo! Dan pemuda itu tidak mampu menolak permintaan Lestari untuk mengadakan pertemuan dan saling mencurahkan kasih sayang mereka. Di dalam hutan itu! Di dalam pondok bekas sarang Suro Bargolo itu, di mana mereka memadu kasih! Makin dalam Lestari terbenam ke dalam kasih sayangnya terhadap pemuda itu. Perasaan yang belum pernah dirasakannya dan yang membuatnya tersiksa setengah mati!   "Kakangmas, bawalah aku pergi.... tidak tahan lagi aku hidup di rumah Sang Resi. Ketahuilah, semenjak pertemuan kita itu, aku selalu menghindarkan diri, aku selalu menolak kasih sayang Sang Resi maupun Sang Pangeran..... dan aku takut bahwa aku tidak akan mungkin dapat menolak terus-menerus, Kakangmas...."   Harwojo mengelus rambut dari kepala yang bersandar pada dadanya. Diciumnya dahi yang basah oleh keringat itu, di mana menempel anak-anak rambut dahi melingkar dengan indahnya, seperti dilukis. "Lestari, mengapa engkau menolak mereka? Bukankah Sang Resi adalah suamimu dan bukankah sudah lama Sang Pangeran menguasai dirimu?"   "Kakangmas.....!" Lestari menjerit kecil dan menangis sedih.   Harwojo merangkulnya. "Maafkan aku, sayang. Bukan maksudku untuk menyakiti hatimu, melainkan aku mengucapkan hal yang memang menjadi kenyataan, betapapun kenyataan itu selalu mengiris jantungku."   Lestari mengusap air matanya. "Kakangmas, telah kuceritakan betapa dahulu aku menerima semua itu dengan batin tertekan. Betapa hanya tubuhku saja yang dapat mereka miliki, akan tetapi hatiku selalu kosong. Kemudian, setelah aku bertemu denganmu, Kakangmas, setelah aku menyerahkan badan dan hatiku kepadamu seorang, betapa mungkin lagi aku dapat melayani mereka atau siapapun juga di dunia ini? Tidak, aku lebih baik mati daripada harus membiarkan diriku dijamah oleh orang laki-laki lain!! Karena itu, bawalah aku pergi, Kakangmas......!"   Harwojo menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Sukar bagiku untuk mengkhianati Mojopahit, Diajeng. Dan kalau aku membawamu pergi, melarikanmu, sudah pasti sekali aku akan dianggap sebagai seorang pengkhianat dan pemberontak."   "Aku tidak takut!" bentak Lestari.   "Aku pun tidak takut, Diajeng, aku tidak takut akan hukuman. Akan tetapi aku ngeri membayangkan bahwa aku telah menjadi pengkhianat dan pemberontak. Tidak, aku mau mati untukmu, akan tetapi jangan minta aku menjadi pengkhianat. Biarlah kita menyambung hubungan cinta kita sementara ini secara begini, sayang........."   "Akan tetapi engkau tidak tahu betapa hebat penderitaanku setelah aku harus berpisah darimu, setelah aku harus kembali ke rumah Sang Resi. Dan setiap waktu terancam bahaya! Aku tidak sudi lagi dijamah Sang Resi atau Sang Pangeran! Kakangmas, kasihanilah diriku."   "Aku cinta padamu, Diajeng, akan tetapi hal itu tidak mungkin....."   "Kalau begitu, dekaplah aku, peluklah aku sampai mati......!" Lestari memeluk kekasihnya dan sambil menangis dan merintih dia dan Harwojo kembali saling mencurahkan cinta mereka dengan penuh kemesraan.   Matahari telah condong ke barat ketika keduanya terdengar bicara lagi, setelah untuk waktu yang agaknya tanpa batas itu mereka terlena setengah tidur dan setengah sadar, dalam ketenangan dan kedaimaian yang amat nikmat sehingga mereka lupa akan diri, lupa akan keadaan, lupa akan waktu dan lupa segalanya.   "Nimas, hari telah sore. Engkau harus kembali......" kata Harwojo, suaranya mengandung penuh perasaan sesal dan duka, seperti yang selalu dirasakannya kalau dia herus berpisah dengan kekasihnya itu biarpun hampir setiap hari dia dapat mengadakan pertemuan asyik dan masyuk dengan Lestari.   "Apa....? Hemmmmm....!" Lestari menutupi mulutnya untuk menahan kuap dan kantuk. "Sudah sore..... ahhh, biar saja, Kakangmas...." Dia malah merangkul leher dan membenamkan mukanya di samping dada Harwojo.   "Eh, sudah menjelang senja, Jangan sampai kemalaman engkau pulang." Harwojo mencoba hendak bangun, akan tetapi Lestari mempererat dekapannya, bahkan dia menarik leher pemuda itu dan mencium dengan penuh kemesraan. Perasaan sayang yang amat besar datang mengakun, memenuhi dada Harwojo dan dia pun balas merangkul dan kembali keduanya tenggelam ke dalam buaian kasih sayang. Mereka tidak sadar bahwa malam telah tiba, bahwa di luar sudah amat gelap dan lebih-lebih lagi, mereka tidak tahu betapa ada bayangan-bayangan banyak orang memasuki hutan itu dan menyelinap di antara pohon-pohon, mengurung pondok itu! Sudah hampir dua bulan mereka sering mengadakan pertemuan di tempat ini dan merasa bahwa tempat itu amat aman dan bahwa tidak ada seorang pun yang tahu akan pertemuan itu.   Mereka tidak tahu bahwa peritiwa pulangnya Lestari dari hutan, lolosnya wanita ini dari malapetaka dan dari cengkeraman maut di tangan Suro Bargolo dan anak buahnya, disambut dengan tangan terkepal dan mata bersinar marah oleh Sang Ratu Sri Indreswari! Apalagi ketika mendengar bahwa penyelamat wanita itu adalah pengawal kepercayaannya sendiri, Harwojo! Akan tetapi tentu saja puteri ini tidak dapat melampiaskan kemarahannya secara terbuka. Dia lalu memanggil pengawal yang diutusnya untuk membunuh Lestari itu, memarahinya karena kegagalannya, lalu memerintahkan untuk mencari jalan lain agar wanita itu dapat dilenyapkan dari muka bumi.   Pengawal itu menjadi ketakutan dan juga diam-diam dia marah kepada Harwojo yang telah menggagalkan rencana itu sehingga dia yang menerima kemarahan dari Sang Ratu. Maka dia lalu menyebar para pembantunya untuk memata-matai Lestari, mencari kesempatan untuk melakukan siasat lain agar wanita itu dapat dibunuh sesuai dengan perintah Sang Ratu. Dan ketika kaki tangannya membayangi Lestari itu, dengan sendirinya mereka melihat pertemuan-pertemuan mesra yang diadakan oleh Lestari dan Harwojo! Cepat-cepat mereka lalu melapor kepada utusan Sang Ratu dan utusan itu menjadi girang sekali, cepat pula menyampaikan berita yang tak tersangka-sangka itu kepada Sang Ratu, yaitu bahea Lestari dan Harwojo telah saling jatuh cinta dan hampir setiap hari mengadakan pertemuan di dalam pondok bekas sarang Suro Bargolo itu!   "Ah, begitu ya?" Sang Ratu Sri Indreswari mengosok-gosok kedua tangannya dengan girang sekali. "Bagus, kalau begitu tidak perlu kita sendiri yang turun tangan melanyapkan wanita tak tahu malu itu. Biar pangeran sendiri melihat bepata perempuan hina yang memikat hatinya itu bukan lain hanyalah seorang pelacur! Dan biarlah Si Harwojo itu menerima bagiannya pula karena dialah yang telah menggagalkan rencana pertama kita!"   Ratu Indreswari yang cerdik itu lalu menyuruh orang-orangnya untuk menyampaikan berita ini kepada Resi Mahapati dan juga kepada Pangeran Kolo Gemet. Menerima berita ini, baik Resi mahapati maupun Pangeran Kolo Gemat menjadi marah bukan main. Kalau bukan utusan Sang Ratu yang menyampaikan berita itu, pasti telah mereka bunuh. Mereka lalu mengadakan pertemuan dan keraguan mereka lenyap, kecurigaan mereka timbul karena mereka teringat betapa semenjak peristiwa penculikan itu, tidak satu kali pun Lestari pernah mau melayani Sang Resi maupun Sang Pangeran!   Demikianlah pada hari itu, ketika seperti biasa Lestari meninggalkan istana Sang Resi, sepasukan pengawal diam-diam membayanginya. Mereka ini adalah utusan dari Pangeran Kolo Gemet. Para pengawal itu bersembunyi dan melihat bepata Lestari memasuki hutan dan pergi ke pondok sunyi di tengah hutan itu. Dan mereka melihat betapa di situ telah menanti Harwojo, betapa mereka berdua yang bertemu di depan pondok itu saling peluk, saling cium, kemudian sambil masih berpelukan meraka memasuki pondok! Diam- diam pemimpin pasukan segera mengutus anak buahnya melapor kepada pangeran dan seorang anak buah lain disuruh melapor kepada Resi Mahapati. Dua orang itu memang sedang menanti hasil penyelidikan para pasukan itu maka begitu menerima laporan, mereka lalu meninggalkan istana masing-masing dan bertemu di dalam hutan itu pada senja hari itu. Kemudian, pangeran dan Sang Resi memimpin pasukan untuk mengepung pondok di mana dua orang yang sedang dibuai asmara itu sedang mencurahkan kasih sayang mereka dan melupakan dunia!   Jilid 68   "Manis, malam telah datang..... ah, lihatlah betapa gelapnya...." Harwojo berkata, suaranya mengandung kekhawatiran.   "Ehmmmm......" Lestari mengeliat, seperti seekor kucing malas bangun tidur dan jari tangannya meraba-raba wajah pemuda itu. "Biar gelap, aku dapat mengenalmu, Kakang mas.."   "Hush, sudah gelap benar-benar...."   "Apa bedanya? Sejak tadi aku pun tidak pernah membuka mata...." Lestari kini membuka matanya dan berkata, "Ah, benar. Mengapa sudah gelap begini dan engkau belum menyalakan lampu?"   "Kau tidak ingat, minyak di lampu itu habis."   "Kalau begitu, biar gelap. Kita tidur...., aku lelah sekali.... hemmm...."   "Eh, jangan. Kita harus bangun, dan kau harus pulang. Mari kuantar....."   "Tidak, aku tidak mau pulang, Kakang mas. Aku ingin begini selamanya....."   "Diajeng...." Tiba-tiba Harwojo menghentikan kata-katanya dan dia bangkit duduk, memasang telinga memperhatikan suara yang didengarnya di luar pondok.   "Kakang...."   "Sstttttt......!" Harwojo mendekap mulut kekasihnya dan mendekatkan mulut ke telinga Lestari sambil berbisik, "Aku mendengar suara.... kau jangan bergerak, biar kuselidiki......"   Lestari juga terkejut, bangkit duduk, matanya terbelalak mencoba menembus kegelapan dan melihat remang-remang bayangan kekasihnya menuju ke pintu pondok. Sunyi sekali, sunyi yang amat menegangkan hati Lestari. Tak lama kemudian dia melihat bayangan kekasihnya menyelinap masuk dan langsung merangkulnya. Dada kekasihnya itu berombak, napasnya memburu dan kedua lengan yang memeluknya itu agak menggigil.   "Ada apakah....?" Lestari berbisik.   "Sejenak Harwojo tidak menjawab, kemudian berbisik kembali, "Kita celaka.... pondok sudah dikurung...."   "Siapa mereka, Kakangmas?"   "Agaknya para pengawal....."   Wajah Lestari menjadi pucat sekali, dia mencengkeram lengan pemuda itu. "Kakangmas Harwojo, engkau adalah seorang yang mepunyai kepandaian, engkau tangkas dan gagah. Lekas kau melarikan diri, lekas....! Jangan sampai kau tertangkap...."   Ratu Indreswari yang cerdik itu lalu menyuruh orang-orangnya untuk menyampaikan berita ini kepada Resi Mahapati dan juga kepada Pangeran Kolo Gemet. Menerima berita ini, baik Resi mahapati maupun Pangeran Kolo Gemat menjadi marah bukan main. Kalau bukan utusan Sang Ratu yang menyampaikan berita itu, pasti telah mereka bunuh. Mereka lalu mengadakan pertemuan dan keraguan mereka lenyap, kecurigaan mereka timbul karena mereka teringat betapa semenjak peristiwa penculikan itu, tidak satu kali pun Lestari pernah mau melayani Sang Resi maupun Sang Pangeran!   Demikianlah pada hari itu, ketika seperti biasa Lestari meninggalkan istana Sang Resi, sepasukan pengawal diam-diam membayanginya. Mereka ini adalah utusan dari Pangeran Kolo Gemet. Para pengawal itu bersembunyi dan melihat bepata Lestari memasuki hutan dan pergi ke pondok sunyi di tengah hutan itu. Dan mereka melihat betapa di situ telah menanti Harwojo, betapa mereka berdua yang bertemu di depan pondok itu saling peluk, saling cium, kemudian sambil masih berpelukan meraka memasuki pondok! Diam- diam pemimpin pasukan segera mengutus anak buahnya melapor kepada pangeran dan seorang anak buah lain disuruh melapor kepada Resi Mahapati. Dua orang itu memang sedang menanti hasil penyelidikan para pasukan itu maka begitu menerima laporan, mereka lalu meninggalkan istana masing-masing dan bertemu di dalam hutan itu pada senja hari itu. Kemudian, pangeran dan Sang Resi memimpin pasukan untuk mengepung pondok di mana dua orang yang sedang dibuai asmara itu sedang mencurahkan kasih sayang mereka dan melupakan dunia!   "Manis, malam telah datang..... ah, lihatlah betapa gelapnya...." Harwojo berkata, suaranya mengandung kekhawatiran.   "Ehmmmm......" Lestari mengeliat, seperti seekor kucing malas bangun tidur dan jari tangannya meraba-raba wajah pemuda itu. "Biar gelap, aku dapat mengenalmu, Kakangmas.."   "Hush, sudah gelap benar-benar...."   "Apa bedanya? Sejak tadi aku pun tidak pernah membuka mata...." Lestari kini membuka matanya dan berkata, "Ah, benar. Mengapa sudah gelap begini dan engkau belum menyalakan lampu?"   "Kau tidak ingat, minyak di lampu itu habis."   "Kalau begitu, biar gelap. Kita tidur...., aku lelah sekali.... hemmm...."   "Eh, jangan. Kita harus bangun, dan kau harus pulang. Mari kuantar....."   "Tidak, aku tidak mau pulang, Kakangmas. Aku ingin begini selamanya....."   "Diajeng...." Tiba-tiba Harwojo menghentikan kata-katanya dan dia bangkit duduk, memasang telinga memperhatikan suara yang didengarnya di luar pondok.   "Kakang...."   "Sstttttt......!" Harwojo mendekap mulut kekasihnya dan mendekatkan mulut ke telinga Lestari sambil berbisik, "Aku mendengar suara.... kau jangan bergerak, biar kuselidiki......"   Lestari juga terkejut, bangkit duduk, matanya terbelalak mencoba menembus kegelapan dan melihat remang-remang bayangan kekasihnya menuju ke pintu pondok. Sunyi sekali, sunyi yang amat menegangkan hati Lestari. Tak lama kemudian dia melihat bayangan kekasihnya menyelinap masuk dan langsung merangkulnya. Dada kekasihnya itu berombak, napasnya memburu dan kedua lengan yang memeluknya itu agak menggigil.   "Ada apakah....?" Lestari berbisik.   "Sejenak Harwojo tidak menjawab, kemudian berbisik kembali, "Kita celaka.... pondok sudah dikurung...."   "Siapa mereka, Kakangmas?"   "Agaknya para pengawal....."   Wajah Lestari menjadi pucat sekali, dia mencengkeram lengan pemuda itu. "Kakangmas Harwojo, engkau adalah seorang yang mepunyai kepandaian, engkau tangkas dan gagah. Lekas kau melarikan diri, lekas....! Jangan sampai kau tertangkap...."   "Kau....?"   "Aku? Biarlah, jangan memikirkan aku, Kakangmas. Yang penting, engkau harus dapat melarikan diri....."   "Hemmm, kaukira aku dapat hidup tanpa engkau?"   "Jangan mengkhawatirkan aku..... mereka sayang padamu....., aku dapat menjaga diri dan diriku tidak penting.... ah, cepatlah kaularilah, Kakangmas, jangan pedulikan aku....."   "Tidak! Kalau aku dapat lari, engkau pun harus dapat lolos."   "Kalau begitu, mari kita terjang mereka! Mari kita keluar bersama, Kakangmas!" kata Lestari dengan suara gagah sedikit pun tidak merasa takut.   Bangkit semangat Harwojo oleh suara kekasihnya ini. Dia membantu Lestari mengencangkan sabuk yang membelit pinggangnya, kemudian dia merangkul wanita itu dengan lengan kiri sedangkan tangan kanannya sudah menghunus kerisnya, siap untuk menerjang keluar. Akan tetapi pada saat itu, nampak cahaya terang menerobos memasuki pondok. Ketika dua orang di dalam pondok itu terkejut dan melihat dari celah-celah pintu bahwa cahaya itu adalah banyak obor yang dinyalakan orang, tiba-tiba mereka makin dikejutkan oleh suara yang amat mereka kenal.   "Harwojo pengkhianat dan pemberontak laknat! Hayo kau keluar dan merangkak di depan kakiku!" Itulah suara Sang Pangeran! Lemaslah seluruh tubuh Harwojo mendengar suara junjungannya ini, tangannya yang merangkul pinggang Lestari menggigil.   "Lestari, perempuan rendah! Keluarlah engkau!" Dan itu adalah suara Resi Mahapati!"   "Celaka.... Diajeng.... matilah kita..."   Melihat kekasihnya menggigil, Lestari segera merangkulnya. "Engkau takut mati, Kakangmas?"   "Engkau tahu, aku tidak takut itu.... hanya.... ah, Gusti Pangeran di sana.... ah, aku menjadi pengkhianat..." Pemuda itu terhuyung dan cepat Lestari merangkul dan menariknya kembali ke atas pembaringan. Lestari mengambil keris dari tangan pemuda itu karena tangan itu menggigil. Pemuda itu duduk di atas pembaringan, napasnya memburu dan tubuhnya lemas.   Lestari merangkulnya makin ketat, lalu berbisik di telinganya, "Kakangmas Harwojo, apakah engkau cinta padaku, Kakangmas?"   "Masih tidak percayakah engkau, Nimas? Aku cinta padamu."   "Engkau mau mati untukku?"   "Setiap saat!"   Lestari menciumnya. "Aku tidak minta kau mati untukku, Kakangmas, akan tetapi aku minta kepadamu, untuk penghabisan kali... harap kau jangan menolak..."   "Kau minta apa? Asal jangan menyuruh aku memberontak terhadap Gusti Pangeran."   "Aku tahu, aku sudah mengenal watakmu, Kakangmas, dan watakmu itu menambah kekagumanku kepadamu. Tidak, aku tidak minta agar kau meberontak. Aku hanya minta agar engkau suka menciumku....ah, Kakangmas, untuk yang terakhir kali, cintailah diriku..."   Lestari sudah merangkul dan memaksa Harwojo rebah di atas pembaringan, menciumnya dan mebelainya, tanpa memberi kesempatan kepada Harwojo untuk membantah lagi. Dan Harwojo maklum bahwa pada saat terakhir itu, di mana keduanya pasti akan ditangkap, pasti akan saling berpisah, mungkin akan dihukum mati, kekasihnya ingin agar dia membuktikan cinta kasihnya. Maka dia pun mengusir semua pikiran, merangkul wanita yang dicintainya itu sepenuh perasaan hatinya.   Di luar Sang Pangeran dan Sang Resi membentak-bentak menyuruh dua orang itu keluar dan menyerahkan diri. Akan tetapi, Lestari dan Harwojo tidak memperdulikan, bahkan tidak mendengar suara mereka. Terdengar Lestari terisak, merintih lalu merangkul ketat. Harwojo terkejut, merasa dadanya basah. Dia meraba dadanya, meraba dada kekasihnya dan dia hampir menjerit. Di situ, di tengah-tengah dada Lestari, di antara sepasang bukit dada itu, tepat di ulu hati menancap keris tadi, menancap sampai ke gagangnya! Dan yang basah-basah itu adalah darah yang masih mengalir keluar dari dada kekasihnya itu!   "Diajeng...!" Dia berbisik, lehernya seperti dicekik rasanya.   Lestari merintih lirih. "Aku rela mati..... Kakangmas, aku mati dalam keadaan bahagia dan puas.... aku....aku telah membuang semua dendam dan cita-cita... aku mati dalam cinta... ah, aku... aku mati bahagia, Kakangmas....ahhh..."   "Diajeng Lestari...!!" Kini Harwojo menjerit, suaranya menyeramkan, terdengar sampai keluar pondok.   Resi Mahapati menyerbu ke dalam, menendang pintu pondok sampai roboh. Dia dan pangeran lalu masuk, didahului oleh beberapa orang pengawal yang memegang obor diatas kepala. Banyak obor menerangi dalam pondok. Resi Mahapati dan Pangeran Kolo Gemet menghampiri pembaringan di mana mereka melihat dua sosok tubuh itu dan mereka terbelalak!   "Jagat Dewa Bathara...!" Resi Mahapati menggumam.   "Keparat jahanam.....!" Sang Pangeran memaki penuh cemburu dan iri hati.   Mereka masih berpelukan, berselimutkan kain panjang Lestari yang penuh darah, mulut mereka saling berdekatan seperti tertidur karena kelelahan dan penuh kepuasan. Lengan mereka saling rangkul penuh kemesraan, bahkan kaki kanan Lestari menggait kaki Harwojo seolah-olah dia tidak ingin melepaskan kekasihnya itu. Dan keduanya telah tak berdaya lagi! Keris yang menancap di dada kiri Harjowo masih dialiri darah yang memancur melalui gagangnya.   "Bakar pondok ini! Bakar semua!" perintah pengeran itu dengan penuh kegeraman, lalu ia melangkah keluar diikuti ileah Resi. Mahapati setelah resi ini memeriksa dan mendapat kenyataan bahwa kedua orang itu memang telah mati. Bahkan ia mencoba menarik lengan Lestari yang merangkul leher Harjowo, dan menarik lengan Harjowo yang merangkul pinggang Lestari, namun lengan-lengan itu ternyata telah menjadi kaku!   Resi Mahapati tidak berani membantah kehendak pangeran yang marah itu, maka dengan hati penuh duka dia melihat pondok itu dibakar dengan obor-obor para pengawal dan sebentar saja menjadi kobaran api yang menjulang tinggi, membakar semua yang berada di dalam pondok! Namun diam-diam Resi Mahapati dapat menikmati kelegaan hatinya karena bersama matinya lestari, bersama lenyapnya wanita yang dicintainya itu, lenyap pula bahaya bahwa semua rahasianya akan diketahui orang lain karena Lestari merupakan satu-satunya orang didunia ini yang tahu akan semua rencana hidupnya yang dirahasiakan.   Pada saat api berkobar membakar pondok dimana terdapat jenazah Harwojo dan Lestari itu, tiba-tiba datang sepasukan pengawal utusan dari istana yang membawa kabar bagi sang Pangeran. Tenyata bahwa penyakit yang diderita oleh Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana menjadi mekin berat dan kini keadaaan Sri Baginda menjadi gawat sehingga para isteri Beliau perlu untu memberi tahu kepada seluruh keluarga dan tentu saja Sang Pangeran Pati merupakan orang pertama yang diberitahu dan dipanggil oleh ibu kandungnya.   Mendengar berita dan panggilan ini, Sang Pangeran terkejut dan cepat dia meninggalkan tempat itu diiringkan para pengawal menuju langsung ke istana Kerajaan Mojopahit. Sedangkan Resi Mahapati juga cepat pergi meninggalkan hutan itu setelah meninggalkan pesan kepada beberapa orang pengawal untuk melanjutkan dan menjaga pembakaran pondok dan dua buah jenazah itu sampai habis. Hatinya berdebar tegang. Saat yang dinanti-nantinya agaknya telah mendekat. Sang Prabu Kertarajasa Jayawardana sakit gawat! Akan tetapi ketika tiba di dalam gedungnya, Resi Mahapati merasakan sesuatu kekosongan yang mencekam hatinya. Kekosongan hidup tanpa adanya Lestari di sampingnya. Ketika dia memasuki kamarnya, melihat pembaringan di mana biasanya Lestari menyambutnya dengan kedua lengan terbuka dan senyum menggairahkan, Sang Resi mengeluarkan keluhan lirih dan menjatuhkan diri menelungkup di atas pembaringan itu. Sudah terlalu kuat dia mengikatkan diri kepada wanita itu sehingga kehilangan yang tiba-tiba ini amat berat dirasakannya. Bukan hanya merasa kehilangan seorang wanita yang dapat menghibur hatinya, melainkan juga kehilangan seorang kawan seperjuangan, seorang pembantu yang mempunyai kecedikan yang dapat diandalkan!   Akan tetapi, kesedihan yang menggerogoti hati Sang Resi ini segera diusirnya. Dia memiliki tugas yang lebih penting, cita-citanya belum terlaksana dan atau tidak adanya Lestari di sampingnya tidak akan merubah dilanjutkannya cita-cita itu! Dia bangkit duduk, dan memanggil pengawal dan memerintahkan pengawal itu untuk segera memanggil Resi Harimurti yang menjadi pembantu utamanya.   Tak lama kemudian Resi Harimurti datang dan kedua orang resi itu lalu mengadakan perundingan di ruangan dalam, merundingkan keadaan Sang Prabu yang sakit gawat, dan tentang segala kemungkinan yang dapat terjadi apabila Sang Prabu meninggal dunia dan Sang Pangeran Pati menggantikan kedudukan Sang Prabu, kemungkinan tentang pergeseran dalam kedudukan-kedudukan para menteri dan senopati. Mereka berdua sependapat bahwa satu-satunya orang yang memegang kekuasaan besar dalam pemerintahan adalah Ki Patih Nambi, oleh karena itu, mengingat bahwa Ki Patih Nambi tidak mungkin dijadikan sekutu mereka, maka harus dicari jalan untuk menyingkirkan Sang Patih itu.   "Dengan adanya Ki Patih Nambi, Andika tidak akan dapat leluasa bergerak, Adi Resi," kata Resi Harimurti.   "Benar," jawab Resi Mahapati sambil mengepal tinjunya. "Hanya melalui mayat Si Nambi sajalah maka kita akan dapat memperoleh kedudukan yang paling tinggi dan dekat dengan Pangeran Kolo Gemet."   Dua orang resi yang memiliki kesaktian ini namun lemah terhadap nafsu keinginan mereka sendiri untuk memperolah kemuliaan dan kedudukan setingginya, mengadakan perundingan sampai jauh malam.   Semantara itu, menjelang tengah malam, terdengar jerit tangis di dalam istana. Jerit tangis para wanita yang terdengar dari dalam kamar Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana telah meninggal dunia! Pesan terakhir yang diucapkan oleh Sang Prabu itu kepada para isteri, anak dan para pembesar tinggi yang hadir adalah bahwa Sang Pangeran Kolo Gemet harus menggantikannya menjadi raja di Mojopahit, dan dia memesan kepada puteranya itu agar tetap mempertahankan kedudukan Ki Patih Nambi sebagai patih dan penasihat! Pesan ini disaksikan oleh para isteri dan para ponggawa yang hadir sehingga biarpun di dalam hatinya Sang Pangeran tidak setuju untuk mempertahankan Ki Patih Nambi sebagai patihnya, namun tentu saja dia tidak berani membantah.   Seluruh Mojopahit berkabung atas kematian Sri Baginda Raja Kertarajasa Jayawardhana yang meninggal pada tahun saka 1231{Masehi 1309}. Jenazahnya dimakamkan di dalam sebuah pura yang dinamakan Antahpura dan sebagai peringatan didirikanlah arca Jina di dalam pura dan arca Sang Bathara Shiwa di samping. {Baca tentang peristiwa ini dalam buku Menuju Puncak Kemegahan, sejarah Kerajaan Mojopahit tulisan Prof. Dr. Slamet Mulyono yang mengomentari tentang catatan-catatan dalam Kidung Ronggo Lawe, Kidung Sorandaka, Pararaton, Negarakretagama dan lain-lain, dari mana catatan sejarah dalam cerita ini diambil.}   Akan tetapi di dalam perkabungan itu, terdapat pula banyak orang bergembira karena pengangkatan Pangeran Pati Kolo Gemet menjadi Raja Mojopahit menggantikan Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana telah mendatangkan keuntungan bagi mereka. Mereka adalah para ponggawa yang tetap dalam kedudukan mereka, dan ponggawa-ponggawa baru yang diangkat atas pilihan Sang Pangeran dan tentu saja atas nasihat ibundanya, yaitu Sri Indreswari yang kini menjadi ibu suri! Tentu saja banyak pula yang merasa kecewa, yaitu mereka yang tidak tercapai cita-citanya. Di antara mereka yang kecewa ini terdapat Resi Mahapati. Biarpun dia masih menjadi orang yang dipercaya oleh Sang Pangeran dan ibundanya, namun kedudukan yang diidam-idamkannya, yaitu menjadi patih, tidak dapat terlaksana oleh karena Ki Patih Nambi masih tetap menjadi patih, sesuai dengan pesan terakhir dari Sang Prabu yang telah meninggal dunia itu.   Pangeran Kolo Gemet kini menjadi raja di Mojopahit dengan julukan Sang Prabu Jayanagara. Tentu saja, pengangkatan ini menimbulkan pertentangan yang diam-diam terjadi di antara keluarga kerajaan dan juga di antara para pembesar. Para pembesar yang tua, mereka yang setia kepada darah keturunan Sang Prabu Kertanegara, diam-diam menentang pengangkatan Pangeran Kolo Gemet menjadi Raja Mojopahit. Bagi mereka ini, raja yang sekarang diangkat ini bukanlah merupakan keturunan murni dari Sang Prabu Kertanegara, melainkan keturunan yang bercampur dengan darah Negara Melayu! Dan hal ini benar-benar tak dapat mereka terima dengan senang hati! Di samping itu, para ponggawa yang setia kepada darah keturunan murni dari Prabu Kertanegara tentu saja mengharapkan agar raja di Mojopahit adalah keturunan dari empat orang ratu yang lain, yaitu Sang Permaisuri sendiri, Dyah Tribuana, atau tiga orang saudaranya, yaitu Dyah Nara Indraduhita, Dyah Gayatri atau Dyah Jaya Indera Dewi. Keturunan keempat orang puteri ini sajalah yang menurut mereka patut menduduki Mojopahit dan menjadi sesembahan mereka, bukan keturunan puteri dari Melayu!   Setelah Sang Prabu Jayanagara naik tahta, segera raja yang muda ini, atas nasihat dan desakan ibudannya, Sang Ibu Suri, mulai menjalankan "pembersihan" di kalangan ponggawa dan senopati! Mereka yang dianggap berbahaya dan tidak setia terhadap kelompok mereka, segera digeser kedudukan mereka, bahkan banyak yang dibebas tugaskan! Maka terjadilah geger akibat tindakan Sang Prabu Jayanagara ini! Pemerintahan dilakukan dengan tangan besi dan siapa menentang tentu dibasmi! Hal ini tentu saja membuat Ki Patih Nambi merasa bingung dan gelisah sekali. Hanya berkat kebijaksanaan Ki Patih Nambi saja maka tindakan Sang Prabu yang masih muda itu tidak sampai berlarut-larut. Dengan berani Ki Patih Nambi berusaha melunakkan perintah Sang Prabu dan karena KI Patih Nambi masih "diakui" dan pengangkatannya merupakan pesan terakhir dari mendiang Sang Prabu Kertarajasa Jayawardana, maka Sang Prabu yang muda itu tidak berani menekannya. Betapapun juga, semenjak Sang Prabu Jayanagara naik tahta, Ki Patih ini mengalami guncangan-guncangan batin yang hebat sehingga tubuhnya menjadi kurus dan dia kelihatan lebih tua daripada usianya.   Dan harus diakui bahwa tanpa adanya Ki Patih Nambi yang bijaksana, agaknya perang saudara sudah pecah di Mojopahit setelah kematian Sang Prabu Kertarajasa, perang saudara memperebutkan kekuasaan. Namun pengaruh dam kewibawaan Ki Patih Nambi masih terasa sehingga dialah yang dapat meredakan semua kemarahan dan dapat memadamkan api sebelum berkobar. Betapapun juga, selalu terasa adanya ketegangan-ketegangan di Mojopahit dan agaknya Mojopahit masih belum terhindar dari kemelut yang masih selalu mengancamnya semenjak terjadinya pemberontakan Adipati Ronggo Lawe.   ***   Atas usul Ki Patih Nambi pula, yang amat bijaksana dan yang ingin mencegah terjadinya pecah perang saudara yang pecah karena perebutan kekuasaan dari para keturunan raja dan juga atas persetujuan Ibu Suri Sri Indreswari, akhirnya dua orang puteri dari isteri-isteri mendiang Sang Prabu, keturunan dari Sang Prabu Kertanegara, oleh Sang Prabu Jayanagara diberi kedudukan. Yaitu, puteri dari permaisuri, Dyah Tribuana, yang bernama puteri Tribuawanatunggaldewi, diangkat menjadi rani aiatu ratu di Kahuripan. Sedangkan yang ke dua adalah Rajadewi Mahrajasa, puteri dari Sang Dyah Gayatri yang diangkatnya menjadi rani atau ratu di Daha. Gelar atau julukan bagi kedua orang puteri ini adalah Bhreng Kahuripan dan Bhreng Daha.   Biarpun dengan cara demikian Ki Patih Nambi berhasil agak meredakan rasa penasaran, namun betapapun juga, Kahuripan dan Daha masih berada di dalam kekuasaan Mojopahit, dan Sang Prabu Jayanagara dengan jelas sekali memperlihatkan kekuasaannya yang mutlak atas kedudukan kedua orang saudara tirinya itu.   Ibu suri Sri Indreswari juga mempunyai banyak penasihat dan kaki tangan, di antara mereka terdapat pula Resi Mahapati yang dalam hal ini bertindak secara tidak resmi menjadi penasihatnya, melainkan hanya bertindak seolah-olah menjadi orang penengah, padahal Resi Mahapati inilah yang paling banyak memberi nasihat dan siasat kepada Sri Indreswari yang masih mengendalikan puteranya yang muda.   "Puteraku, kita harus melanjutkan cita-cita Kanjeng Ramamu yang ingin melihat Mojopahit tidak sampai terpecah-belah," pada suatu hari Ibu Suri berkata kepada Sang Prabu Jayanagara, "Dan hal itu baru dapat terlaksana kalau di antara keluarga keturunan Kanjeng Ramamu tidak sampai terpecah belah. Aku mendengar bahwa saudara-saudaramu yang menjadi rani di Kahuripan dan Daha, oleh ibu kandung masing-masing akan ditunangkan dengan orang lain. Hal ini berbahaya sekali, puteraku,karena kalau sampai ada orang lain yang menjadi suami mereka duduk di samping mereka, banyak terdapat bahaya perpecahan karena mereka tentu akan berdiri sendiri, dan kalau sampai Mojopahit terpecah belah, hal itu amat berbahaya."   Mendengar ini, Sang Prabu Jayanagara lalu cepat-cepat menemui dua orang saudara tirinya itu, dan dengan terang-terangan dia melarang mereka itu dijodohkan dengan dua orang lain dan menuntut agar rencana pertunangan itu dibatalkan! Tentu saja Dyah Tribuana dan Dyah Gayatri mambantah.   "Perjodohan anak-anak kami berada sepenuhnya dalam tanggung jawab dan kewajiban kami yang menjadi ibu-ibunya," kata Dyah Gayatri yang labih berani karena sesungguhnya Dyah Gayatri inilah yang menjadi kekasih mendiang Sang Prabu Kertarajasa sebelum Beliau tergila-gila kepada puteri Melayu Dyah Dara Petak atau Sri Indreswari yang kini menjadi ibu suri.   "Tidak demikian, Kanjeng Ibu. Kalau Paduka dan puteri Paduka itu bukan termasuk keluarga kerajaan kita, tentu saja sepenuhnya berada di tangan Paduka berdua yang menjadi ibu-ibu mereka. Akan tetapi, kedua orang puteri Paduka itu adalah keluarga kerajaan! Maka perasaan pribadi harus dikorbankan demi kebaikan keluarga kerajaan! Semua keluarga herus tunduk kepada peraturan kerajaan, dan sayalah yang berkuasa menentukan siapa-siapa yang boleh menjadi suami mereka! Saya melakukan ini pun bukan karena kepentingan pribadi, melainkan demi keutuhan Kerajaan Mojopahit!"   Betapapun mereka membantah, Sang Prabu Jayanagara akhirnya menang dan dua orang puteri itu tidak jadi ditunangkan. Hal ini tentu saja menimbulkan perasaan tidak senang dan penasaran di kalangan mereka yang mendukung keturunan Raja Kertanegara. Terdengarlah desas desus bahwa Sang Prabu Jayanagara melakukan perbuatan yang tidak senonoh terhadap kedua orang puteri yang menjadi saudara tirinya tunggal ayah lain ibu itu, bahwa Sang Prabu Jayanagara melarang perjodohan mereka karena Sang Prabu sendiri ingin memperisteri mereka! Memang tuduhan semacam itu tidaklah terlalu berlebihan mengingat akan watak Sang Prabu yang masih muda dan yang terkenal suka mengejar wanita cantik itu. Namun sesungguhnya, dasar yang kuat bagi keputusan Sang Prabu itu adalah karena seperti nasihat ibu kandungnya, dia tidak ingin melihat kelak akan terjadi perang saudara kalau dua orang saudara perempuan itu menikah dengan orang-orang lain dan kemudian kelak ingin berdiri sendiri terlepas dari wilayah dan kekuasaan Mojopahit.   Permusuhan terselubung dan kebencian makin memuncak. Mojopahit mulai dilanda kemelut kembali, berupa pertentangan yang makin lama makin meruncing. Semua ponggawa yang dipecat atau digeser oleh Sang Prabu Jayanagara, kini membanjiri Kahuripan dan Daha untuk menghambakan diri kepada Rani Kahuripan dan Rani Daha! Dan keadaan Kahuripan dan Daha menjadi makin kuat saja.   Setiap malam, para pengawal yang mendukung Sang Prabu, mengadakan penjagaan ketat karena suasana yang tegang itu sehingga baik keadaan di Mojopahit sendiri, maupun di Daha dan Kahuripan, selalu seperti dalam persiapan perang! Hal ini adalah karena terjadinya beberapa kali pembunuhan di waktu malam, tanpa diketahui siapa pembunuhnya dan yang mudah diduga bahwa tentu hal itu menjadi akibat daripada permusuhan antara para pengikut dua golongan yang diam-diam saling membenci itu.   Jilid 69   Yang paling hebat menderita batin sebagai akibat keadaan ini adalah Ki Patih Nambi! Sebagai orang tengah dia merasa seperti berdiri di antara du api! Di dalam lubuk hatinya dia memihak kepada para puteri Raja Kertanegara, akan tetapi karena kenyataannya yang menjadi Raja Mojopahit adalah Sang Prabu Jayanagara jeturunan Malayu, maka terpaksa dia harus setia kepada kerajaan, sebagai seorang patih yang berkedudukan tinggi! Dia menjadi serba salah, dia tidak ingin mengkhianati Mojopahit, namun dia pun tidak ingin menentang keturunan Raja Kertanegara!   Berkat kepandaiannya mengambil hati, Sang Resi Mahapati dapat juga mengangkat dirinya sendiri ke tempat yang lebih tinggi. Oleh Sang Prabu Jayanagara yang mengingat akan jasa-jasanya, terutama sekali mengingat akan mendiang Lestari, Resi Mahapati dinaikkan pangkatnya menjadi pendeta istana, menggantikan Pendeta Brahmorojo yang telah meninggal dunia karena tua. Biarpun Resi Mahapati adalah seorang penyembah syiwa, namun kini dia menjadi kepala pendeta dan dialah yang mengatur dan menguasai semua pura-pura dan tempat-tempat sembahyang dan kekuasaannya makin besar saja di kalangan para pendeta, dan juga dalam istana. Hanya satu orang saja selain Sang Prabu yang masih lebih tinggi kekuasaannya dari pada dia, yaitu Ki Patih Nambi.   Malam hari itu amat sunyi. Seperti malam-malam yang lalu selama ini, suasananya amat tegang karena semua penjaga di Kerajaan Mojopahit selalu siap dan mangkhawatirkan terjadinya huru-hara. Bukan hanya di Mojopahit, juga di Kahuripan dan Daha suasananya selalu tegang karena semua ponggawa maklum betapa di tempat mereka itu selalu penuh dengan mata-mata dari Mojopahit yang mengikuti gerak-gerik semua ponggawa di Kahuripan atau di Daha.   Hal itu bukanlah hanya dugaan semata. Memang Ibu Suri Sri Indreswari selalu memperingatkan puteranya agar jangan lengah dan jangan melepaskan kedua orang puteri itu dari pengawasan yang ketat. Oleh karena itu, Sang Prabu selalu memasang mata-mata di luar dan dalam keraton kedua orang saudara tirinya itu. Di Kahuripan, yang menjadi kepala dari para penyelidik dan mata-mata adalah Resi Harimurti, sedangkan di Daha dipimpin oleh Ki Durgakelana. Mereka ini selain menempatkan banyak pengawal untuk memata-matai dua tempat itu dan segala kegiatannya, juga mereka masih dibantu oleh orang-orang yang memiliki ilmu kesaktian.   Enam sosok berkelebat dengan gerakan cepat pada malam hari itu setelah mereka berhasil melewati penjagaan pintu gerbang di Kahuripan. Mereka itu terdiri dari empat orang laki-laki setengah tua yang bersikap gagah perkasa, dan dua orang laki-laki muda yang tampan dan gesit gerak-gerik mereka.   Mereka berenam menyelinap di belakang sebuah pondok gelap dan berunding sambil berbisik-bisik. "Harap Andika berdua hati-hati, kami berempat akan membayangi Andika berdua dari empat jurusan. Kami akan selalu menjaga dan melindungi," bisik seorang di antara kakek gagah perkasa yang empat orang itu. "Dan setelah berhasil, kita semua berkumpul di sini. Ingat, yang terpenting adalah Andika berdua harus berhasil dan tanpa ketahuan siapa pun. Rahasia itu harus kita lindungi dengan nyawa."   Lima orang itu mengangguk dan seorang di antara dua orang pemuda tampan itu berkata kepada pemuda ke dua, "Marilah, Dimas. Engkau di depan, aku yang melindungimu." Pemuda ke dua mangangguk dan mereka berdua lalu menyelinap di antara rumah-rumah penduduk, menuju ke istana Rani Kahuripan. Sedangkan empat orang laki-laki setengah tua itu lalu berpencar, membayangi perjalanan dua orang muda itu dengan hati-hati dan waspada.   Siapakah mereka itu dan apa artinya sikap mereka yang penuh rahasia itu? Mereka berenam itu datang dari Lumajang! Mereka adalah utusan pribadi dari Sang Adipati Wirorojo di Lumajang. Empat orang laki-laki setengah tua yang dipimpin oleh kakek berkumis tebal itu adalah bekas-bekas senopati Mojopahit yang kini menghambakan diri di Lumajang. Kakek berkumis tebal itu adalah Panji Wironagari, sedangkan tiga orang temannya adalah Aryo Jangkung, Panji Samara, dan Aryo Teguh. Dua orang pemuda itu adalah Sulastri yang berpakaian pria dan Raden Turonggo atau Raden Kuda Anjampiani, putera dari mendiang Adipati Ronggo Lawe, atau cucu dari Adipati Wirorojo di Lumajang!   Seperti telah diceritakan di bagian depan, keris pusaka Kolonadah akhirnya terdapat kembali oleh Sulastri yang merampasnya dari saudara kembar Murwendo dan Murwanti yang tewas dalam keributan ketika terjadi "pernikahan" antara Sulastri dan Joko Handoko. Kemudian Sulastri menyerahkan keris pusaka itu kepada Sang Adipati di Lumajang. Setelah itu dia bersama "suaminya", Joko Handoko dan Roro Kartiko tinggal di Kadipaten Puger, di mana Joko Handoko dan Roro Kartiko tinggal di Kadipaten Puger, di mana Joko Handoko dan Roro Kartiko diangkat anak oleh Sang Adipati di Puger, yaitu Sang Prabu Bandardento.   Ketika berita tentang meninggalnya Sang Prabu Kertarajasa Jayawardana sampai di Kadipaten Lumajang, berita itu diterima dengan tangis dan perkabungan oleh Adipati Wirorojo, dan para senopati yang dahulu menjadi pembantu-pembantu Sang Pabu itu ketika masih menjadi Raden Wijaya. Kemudian, Adipati Wirorojo mengambil keputusan untuk menyerahkan keris pusaka Kolonadah kepada keturunan yang dianggapnya sebagai orang yang berha menjadi Ratu Mojopahit, yaitu puteri mendiang Sang Prabu Kertarajasa yang lahir dari permaisuri, Dyah Tribuana, yaitu Sang Dyah Tribuwanatunggadewi! Tentu saja seluruh tokoh Lumajang yang merasa penasaran dan tidak setuju pula dengan pengangkatan Pangeran Kolo Gemet menjadi Raja Mojopahit.   Maka Sang Adipati di Lumajang lalu mengutus cucunya sendiri, putera mendiang Adipati Ronggo Lawe, yaitu Raden Turonggo atau Kuda Anjampiani, untuk membawa keris pusaka peninggalan ayahnya itu, keris pusaka yang diperuntukan calon raja besar, untuk menyerahkan keris pusaka itu kepada keturunan langsung dari Sang Prabu dan mendiang Raja Kertanegara yaitu Sang Dyah Ayu Tribuwanatunggadewi yang kini menjadi Rani Di Kahuripan!   Mengingat bahwa penemu keris pusaka itu adalah Sulastri, dan mengingat pula akan kesaktian wanita perkasa itu, maka Sang Adipati Wirorojo lalu mengirim utusan ke Puger, memanggil Sulastri yang pernah menjadi perwira pengawal hasil sayembara dari Lumajang itu, dan minta bantuannya untuk menemani Raden Turonggo ke Kahuripan. Selain Sulastri, juga Sang Adipati menunjuk empat orang pembantunya yang dipercaya, bekas senopati-senopati Mojopahit yang digdaya, yaitu Panji Samara, Panji Wironagari, Aryo Jangkung dan Aryo Teguh.   Demikianlah, malam hari yang sunyi itu, enam orang dari Lumajang ini memasuki Kahuripan dan dengan hati-hati mereka menuju ke istana Rani Kahuripan. Mereka terpaksa mengambil jalan malam untuk memasuki tempat itu karena mereka tahu bahwa Kahuripan, seperti juga daerah lain, dijaga ketat dan penuh mata-mata dari Mojopahit. Maka, mengunjungi tempat itu di siang hari amatlah berbahaya dan mengingat bahwa Raden Turonggo dan Sulastri membawa benda keramat yang amat berharga, maka mereka berlaku hati-hati agar benda itu jangan sampai dilihat orang lain dan dapat dengan selamat disampaikan kepada Rani Kahuripan.   Ketika Sulastri dan Raden Turonggo sedang menyelinap di antara bayangan-bayangan rumah dan pohon, tiba-tiba Sulastri melihat bayangan berkelebat di sebelah belakang, kanan dan kiri. Dia terkejut. Itulah bayangan orang-orang pandai, pikirnya. Dan mereka telah tiba di dekat istana Rani di Kahuripan. Karena curiga, Sulastri menggunakan kepandaiannya, menyusul Raden Turonggo yang berjalan di depan, menyentuh lengan pemuda itu dan memberi isyarat untuk bersembunyi di balik batang pohon yang gelap.   "Sttt, Dimas Turonggo... hati-hati, ada orang membayangi. Biarlah aku memancing mereka semua dan membikin ribut, agar para penjaga di pintu gerbang istana itu tertarik perhatian mereka pula. Setelah semua penjaga lari dan menyerbu ke tempatku, barulah Andika menyelinap masuk. Hati-hati, belum tentu para pengawal istana itu adalah orang-orang yang setia kepada Gusti Puteri. Sebaiknya Andika jangan sembarangan mempercaya orang dan menangkap seorang dayang saja, memaksanya agar membawa Andika menghadap sendiri kepada Gusti Puteri."   Raden Turonggo mengangguk maklum dan Sulastri berbisik-bisik memberi petunjuk kepada pemuda itu di mana dia harus bersembunyi dan menanti saat dan kesempatan baik untuk menyelinap masuk ke dalam istana tanpa diketahui orang lain. Setelah pemuda itu mengerti dengan jelas dan sudah siap, Sulastri lalu meninggalkan tempat persembunyian itu, dengan sengaja dia melompat ke arah lain, bahkan sengaja pula memperlihatkan diri di bawah sinar penerangan bintang-bintang di angkasa. Dia melihat bayangan dari kanan berkelebat, lalu terdengar bunyi bersuit nyaring, susul-menyusul. Sulastri tersenyum, lalu dia mempergunakan kepandaiannya untuk bergerak cepat sekali, berkelebat beberapa kali di depan gardu penjagaan pintu gerbang istana.   "Hordah! Siapa itu?" bentak Si penjaga yang bertugas menjaga di depan gardu, sambil melintangkan tombaknya. Akan tetapi, tanpa menjawab Sulastri sudah berlari pergi.   Terdengar suara gaduh di dalam gardu penjagaan itu dan enam orang penjaga yang tadinya berada di dalam gardu kini keluar semua dengan tombak di tangan dan golok di pinggang. Akan tetapi, Sulastri sudah berlari jauh, sengaja menjauhi pohon di mana Raden Turonggo bersembunyi.   Dara perkasa itu maklum bahwa ada bayangan yang gerakannya amat cepat kini membayanginya dari dekat, maka sambil berlari, Sulastri menyambar beberapa buah batu di bawah kakinya, kemudian setelah melihat bahwa selain bayangan yang amat cepat itu di belakangnya itu ada pula bayangan beberapa orang di sebelah kiri, dia lalu menggerakkan tangan sambil membalikkan tubuhnya. Beberapa sinar hitam dari batu-batu yang disambitkannya itu menyambar ke arah belakangnya dan ke sebelah kirinya.   "Aduh...!" Terdengar suara orang memekik, tanda bahwa sebuah di antara batu-batu itu mengenai sasarannya.   "Hai keparat, berhenti kau!" terdengar bentakan orang dan tahu-tahu ada bayangan berkelebat cepat sekali disusul suara ledakan nyaring.   "Tar-tar-tarrr...!   Sulastri terkejut sekali, cepat dia melempar tubuh ke belakang sambil berjungkir balik dan ketika dia sudah berdiri tegak lagi, dia melihat seorang kakek yang gagah berdiri di depannya. Seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih namun masih nampak gagah, pakaiannya indah, kumis dan jenggotnya terpelihara rapi, tangan kanan memegang sebatang pecut sapi yang panjang dan tangan kirinya memegang kipas bambu bundar, kakek yang dikenalnya karena kakek ini bukan lain adalah Resi Harimurti yang sakti!   Resi Harimurti memandang tajam dan dia segera mengenal "pemuda" itu dan teringatlah dia akan penuturan Resi Mahapati bahwa pemuda ini yang pernah dia tandingi sesungguhnya adalah seorang wanita. Maka dia lalu tertawa, karena dia sudah mendengar pula bahwa wanita perkasa yang menyamar sebagai pemuda ini kabarnya telah menjadi seorang pembantu Adipati Lumajang.   "Ha-ha-ha, kiranya engkau, bocah keparat! Sekarang engkau muncul sebagai mata-mata Lumajang, ya? Ha-ha, sayang sekali, engkau cantik manis dan gagah perkasa, kalau engkau suka menyerah kepadaku, hemm... aku suka menarikmu menjadi pembantuku dan teman baikku. Bukankah namamu Sulastri dan engkau murid mendiang Empu Supamandrangi di puncak Bromo?"   Sejak tadi Sulastri sudah memandang dengan sepasang mata yang bernyala-nyala. Inilah musuhnya! Inilah dia orang yang telah membunuh gurunya di Bromo! Dan kini jahanam ini masih berani menyebut-nyebut nama gurunya yang telah dibunuhnya secara keji! Dendam dan kemarahan yang berkobar di dalam dada Sulastri membuat dia lupa akan tugasnya sebagai utusan Lumajang yang harus menemani Raden Turonggo menyerahkan keris pusaka kepada Dyah Tribuwanatunggadewi, Rani Kahuripan. Kini yang nampak di depan mata dan di dalam hatinya hanyalah Resi Harimurti pembunuh gurunya yang harus dibalasnya, yang harus dibunuhnya!   "Resi Harimurti keparat jahanam engkau! Engkau telah membunuh guruku secara curang dan licik! Terimalah pembalasanku, keparat!" Sulastri mencabut kerisnya.   "Ha-ha-ha, sedangkan gurumu sendiri mampus di tanganku, apalagi engkau yang hanya muridnya, dan seorang gadis muda pula! Ha-ha, Sulastri, bukankah lebih baik engkau menyerah saja dan bersenang-senang dengan aku?"   "Resi cabul yang jahat!" Sulastri memaki dan dia sudah meloncat dengan terjangan dahsyat menggunakan keris di tangan kanan untuk menusuk ke arah dada Sang Resi. Hebat bukan main terjangan Sulastri ini, karena kemarahan telah membuat dia buas seperti seekor harimau betina diganggu anaknya. Dia melompat dengan aji kesaktian Turonggo Bayu, kecepatannya seperti kilat menyambar dan tahu-tahu dia telah menerjang dan keris itu telah menyambar ke arah dada lawan.   "Uhhh!!" Resi Harimurti mengenal gerakan sakti yang amat berbahaya, maka dia cepat menggerakkan tubuhnya mengelak miring dan kipasnya menyambar dari samping untuk menangkis tusukan keris itu.   "Wuuuttt... plak... wirrr...!"   "Ehhh...?" Resi Harimurti kini terkejut bukan main. Kipasnya memang berhasil menangkis keris itu, akan tetapi secara cepat bukan main, tangan kiri dara itu sudah menyambar ke arah kepalanya dengan tamparan yang mengandung hawa panas sekali. Memang tamparan ini bukan tamparan biasa dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan, karena dara itu telah mengerahkan ajinya Hasto Nogo yang berada di tangan kirinya. Tamparan itu ampuh sekali dan biarpun Resi Harimurti merupakan seorang yang sakti, namun kalau kepalanya sampai terkena tamparan itu, agaknya dia tidak mampu menyelamatkan nyawanya. Dia pun maklum akan hal ini, maka dia cepat melempar tubuh ke belakang sehingga dia seperti orang terjengkang lalu dia menggelundung ke belakang dan melihat dara itu mendesaknya, dia cepat menggerakkan cambuknya.   "Tar-tar-tarrrr...!" Pecut sapi yang panjang meledak-ledak dan menyambar-nyambar, dan Sulastri terpaksa mengelak dan berusaha untuk menangkap ujung pecut itu. Resi Harimurti menarik kembali pecutnya sambil meloncat berdiri. Mereka berhadapan seperti dua ekor ayam aduan saling menaksir kekuatan lawan, mata mereka menembus kegelapan remang-remang yang hanya diterangi oleh bintang-bintang di langit dan sedikit cahaya penerangan dari samping istana yang dapat mencapai tempat itu. Keduanya tidak mengeluarkan kata-kata, maklum bahwa saat bagi mereka untuk bertempur mati-matian telah tiba. Resi Harimurti maklum bahwa murid dari mendiang Empu Supamandrangi ini tentu akan berusaha keras untuk membunuhnya, untuk membalas kematian gurunya itu. Dan dia pun maklum bahwa dia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk membunuh wanita ini, kalau sekiranya dia tidak mampu menawannya, hal yang dia tahu bukannya mudah.   Wanita ini hebat, pikir Resi Harimurti. Sayang kalau Cuma dibunuh begitu saja. Memang Sang Resi ini mempunyai kelemahan, yaitu mata keranjang. Belum pernah dia mendapatkan seorang wanita gagah perkasa seperti dara yang kini berdiri di depannya seperti seekor singa betina ini, dan timbul keinginannya untuk memperoleh dara ini, untuk menawannya dalam keadaan hidup-hidup agar dia dapat mempermainkannya dan dapat melampiaskan gairah keinginannya! Maka diam-diam dia lalu mengerahkan aji kesaktiannya, pandang matanya mencorong seperti mata harimau, mulutnya berkemak-kemik membaca mantera, seluruh kekuatan batinnya dikerahkan kepada pandang matanya dan kepada suaranya ketika dia berkata, "Sulastri, bocah ayu, berlututlah kau, mengapa kita harus saling bertempur? Kita adalah sahabat baik, aku tidak akan memusuhimu, sayang, berlututlah dan aku akan menyenangkan dirimu...." Suara itu mengandung bujukan yang luar biasa manisnya, bukan bujukan biasa melainkan bujukan yang didorong oleh aji kesaktian, kekuatan guna-guna. Kepandaian ini didapatnya dari Ki Durgakelana, khusus dipelajarinya untuk menundukkan wanita! Karena Resi Harimurti memang seorang gemblengan, seorang pertapa yang memiliki kekuatan batin yang sudah hebat, maka aji guna sakti itu dengan mudah saja dapat dia kuasai setelah dia belajar dari temannya, yaitu Ki Durgakelana yang kini juga menjadi anak buah Resi Mahapati dan diangkat menjadi tangan kanan Sang Pangeran yang kini telah menjadi raja itu.   Akan tetapi, betapa kaget dan herannya ketika dia melihat wanita muda itu tersenyum mengejek, dan terdengar Sulastri berkata,"Resi dukun lepus, hentikan badutanmu! Neraka jahanam sudah terbuka untukmu, dan kau masih hendak membadut?" Setelah berkata demikian, gadis itu menerjang lagi, bagaikan seekor burung garuda menyambar-nyambar dia menerjang resi itu secara bertubi-tubi, dengan keris di tangan kanan dan pukulan Hasto Nogo di tangan kiri! Resi Harimurti terkejut dan cepat dia mengelak atau menangkis dan mereka bertempur dengan amat seru dan hebatnya. Tubuh mereka sampai lenyap ditelan kegelapan remang-remang itu dan yang terdengar hanya bentakan-bentakan mereka dan suara keris di tangan Sulastri bertemu dengan kipas lawan atau suara ledakan-ledakan pecut di tangan Resi Harimurti.   Sesungguhnya, bukan karena aji kesaktian berupa guna-guna yang dikerahkan Resi Harimurti tadi kurang kuat. Andaikata Sulastri masih seperti dulu, mungkin saja dia akan celaka oleh kekuatan guna-guna itu. Tadi pun Sulastri sudah merasa betapa seluruh tubuhnya menjadi lemas ketika Sang Resi menyerangnya dengan ilmu sihir itu. Akan tetapi, dia cepat mengerahkan aji penolakan yang telah dipelajarinya selama dia berada di Kadipaten Pager! Sang Prabu Bandardento adalah seorang yang ahli dalam hal ilmu-ilmu seperti itu, dan Sang Prabu Bandardento telah mengajarkan ilmu-ilmu ini kepada kedua orang anak angkatnya dan tentu saja Sulastri yang dianggap sebagai "mantunya" juga menerima pelajaran itu. Karena Sulastri memiliki kekuatan batin yang lebih unggul daripada Joko Handoko dan Roro Kartiko, maka Sulastri dapat lebih dulu menguasai ilmu-ilmu itu sehingga ketika dia diserang oleh Resi Harimurti dengan ilmu sihir, dia dapat menolaknya dengan mudah.   Pertempuran antara kedua orang sakti ini hebat bukan main. Sulastri mengamuk seperti seekor naga sakti, gerakannya dan terjangannya amat kuat dan mendatangkan angin menyambar-nyambar sehingga daun-daun pohon di sekeliling tempat pertempuran itu bergoyang-goyang. Dia kini menggabungkan ilmu-ilmu yang pernah dipelajarinya dari Empu Supamandrangi dengan ilmu-ilmu aneh yang pernah dipelajarinya dari gurunya yang pertama, yaitu Ki Jembros. Dan selama di Puger, setiap hari dia melatih diri, bukan hanya untuk membimbing Roro Kartiko, akan tetapi terutama sekali untuk mematangkan kepandaiannya sendiri, untuk memperkuat dirinya karena dia telah mempersiapkan diri untuk menghadapi musuh-musuhnya yang tangguh, di antaranya adalah Resi Harimurti ini yang telah membunuh gurunya. Dia sudah mendengar pula akan kematian gurunya yang pertama, yaitu Ki Jembros yang mati dalam pengeroyokan tiga orang kakek itu, Resi Mahapati, Resi Harimurti, dan Empu Tunjungpetak yang tewas sampyuh bersama Ki Jembros. Maka, tidak pernah terlupa dalam hati Sulastri untuk sewaktu-waktu menghadapi Resi Mahapati, Resi Harimurti, dan... Sutejo! Kini, ketika dia melaksanakan tugas yang diserahkan oleh Adipati Lumajang kepadanya, secara tak terduga-duga dia telah bertemu dengan Resi Harimurti di tempat ini, maka tentu saja kemarahannya berkobar dan dia lupa segala, yang diingatnya hanyalah bahwa resi ini adalah seorang di antara musuh-musuhnya yang harus dia binasakan untuk membalas kematian dua orang gurunya!   Resi Harimurti adalah seorang pertapa yang tinggi sekali ilmu kepandaiannya. Dibandingkan dengan Resi Mahapati sendiri, agaknya tingkat kepandaiannya tidak akan kalah. Akan tetapi, resi ini seperti juga Resi Mahapati, telah menjadi hamba dari nafsu-nafsunya sendiri, selalu mengejar kesenangan sehingga kekuatan mereka banyak berkurang. Apalagi, usia mereka juga makin tua dan hal ini tentu saja juga mengurangi daya tahan mereka. Terlalu banyak pelesir dan bersenang-senang membuat mereka lengah dan lalai, membuat mereka malas untuk berlatih sehingga mereka berdua pun banyak kehilangan kegesitan mereka. Selain itu, juga tadinya Resi Harimurti memandang rendah kepada Sulastri yang dianggap hanya seorang perempuan muda yang betapa pun pandainya tidak mungkin dapat menandinginya. Maka, kini setelah Sulastri menyerangnya dengan dahsyat, bertubi-tubi dan dengan semangat penuh, dia terkejut sekali dan terdesak hebat!   Memang hebat sekali sepak terjang gadis itu. Dia mengamuk, gerakannya makin cepat, setiap tusukan kerisnya dan tamparan tangan kirinya merupakan serangan-serangan maut yang amat dahsyat, bahkan sambaran kakinya juga amat berbahaya, selalu tertuju kepada bagian-bagian tubuh yang berbahaya dari lawannya. Kini Resi Harimurti terpaksa memutar pecutnya lebih gencar dan lebih cepat sehingga senjatanya ini berubah menjadi segulung sinar yang luas, yang melindungi tubuhnya, akan tetapi senjata ini lebih banyak menjadi senjata pelindung diri dan penahan daripada menjadi senjata penyerang.   "Resi keparat, mampuslah!" bentak Sulastri dan dia menerjang dengan lompatan seperti seekor harimau. Cambuk panjang itu memapakinya, meledak dan menyambar ke arah mukanya. Sulastri tidak membatalkan serangannya, tubuhnya masih menerjang, tangan kirinya diangkat menangkis cambuk.   "Tarrrr...!" Cambuk itu meledak, tertangkis tangan kiri dan ujungnya mematuk pundak Sulastri.   "Brettt...!" Baju gadis itu robek tertusuk atau terpatuk ujuang cambuk, akan tetapi aji kekebalan Trenggiling Wesi melindungi kulitnya sehingga ujung cambuk membalik ketika merobek baju dan bertemu dengan kulit pundak yang halus putih itu. Resi Harimurti terkejut sekali melihat gadis itu tidak apa-apa terkena hantaman ujung cambuknya, bahkan keris di tangan gadis itu terus meluncur ke arah ulu hatinya.   "Aihhhh... prakkkk!!" Kipasnya menangkis cepat dan tangannya terasa gemetar, kipasnya pecah di tengah-tengah tubuhnya terhuyung ke belakang. "Majuuu...! Serbuuuuu...!" pekiknya ketika dia melihat lawannya masih mendesak terus, sambil memutar cambuknya melindungi dirinya.   Para pengawal yang tadi hanya menonton saja, ketika melihat Sang Resi terdesak dan mendengar aba-aba itu cepat bergerak maju dengan tombak dan golok mereka, mengeroyok Sulastri! Gadis ini marah sekali, keris dan tangannya bergerak, disusul gerakan kakinya menendang. Tendangannya hebat, kakinya dapat menyentuh dagu lawan dan dalam segebrakan saja, seorang pengeroyok roboh tertusuk keris, dua orang roboh terpelanting tersambar pukulan Hasto Nogo dan dua orang lain terpelanting karena dicium tumit kakinya yang halus namun sekuat baja itu!   Akan tetapi, Resi Harimurti sudah menyerangnya lagi dibantu oleh para anggauta pasukannya dan tentu saja Sulastri kini terdesak hebat. Pada saat itu, kepungan ketat itu membuyar dan terdengar teriakan-teriakan keras. Empat orang laki-laki yang gagah perkasa sudah menyerbu masuk membantu Sulastri. Mereka ini bukan lain adalah Panji Wironagari, Panji Samara, Aryo Jangkung, dan Aryo Teguh!   Melihat mereka ini, Resi Harimurti membentak keras, "Pemberontak-pemberontak hina! Kalian berani mengacau di sini!" Tidak lekas berlutut dan menyerah?"   Panji Wironagari tertawa lebar, "Ha-ha-ha, Resi keparat! Engkau adalah pendatang baru kaki tangan Mahapati, engkau adalah penjilat kotor yang hendak mencari kedudukan dengan kecuranganmu. Manusia macam engkau yang baru saja masuk Mojopahit berani mengatakan kami pemberontak? Bedebah, engkaulah yang harus mati sebagai seorang pengacau Mojopahit!"   Empat orang bekas senopati Mojopahit itu kini mengamuk dengan hebatnya, bahkan mereka berusaha untuk mengeroyok Resi Harimurti. Akan tetapi, kini semua anak buah Resi Harimurti yang berada di Kahuripan telah berdatangan, jumlah mereka amat banyak sehingga Sulastri dan empat orang tokoh Lumajang itu menjadi kewalahan, menghadapi pengeroyokan yang banyak sekali dan mereka terkepung secara ketat!   Sementara itu Raden Turonggo atau Kuda Anjampiani telah menyelinap masuk ketika Sulastri mulai bertanding melawan Resi Harimurti tadi. Munculnya gadis perkasa itu menarik perhatian para penjaga sehingga dengan mudah Raden Turonggo meloncat masuk, menyelinap di antara bayang-bayang pohon menuju ke istana Rani Kahuripan. Dia melihat banyak pengawal berlari keluar, maka dia menyelinap melalui pinggir istana, kemudian terus menuju ke belakang melalui taman sari dari istana itu. Di belakang, dia melihat seorang dayang sedang lewat, maka dia meloncat dan tahu-tahu telah berdiri di depan dayang itu. Wanita ini terkejut, akan tetapi sebelum sempat menjerit, Raden Turonggo telah menggerakkan tangan mendekap mulut wanita itu, lalu berbisik, "Manis, harap jangan berteriak. Aku bukanlah penjahat, aku adalah Raden Turonggo, cucu Sang Adipati di Lumajang. Aku datang untuk menghadap Gusti Rani, maka harap kau suka mengantarkan aku menghadap Beliau. Lihat di luar terjadi pertempuran. Mereka adalah sahabat-sahabatku, orang-orang Lumajang bertempur dengan mata-mata dari Mojopahit. Maka, cepatlah antar aku menghadap."   Wanita dayang itu memandang wajah yang tampan itu. Dia adalah seorang pelayan yang setia maka tentu saja dia tahu bahwa orang-orang Lumajang adalah pendukung-pendukung yang setia dari Gustinya, maka dia mengangguk. Raden Turonggo melepaskan dekapan tangannya, lalu dia mengikuti dayang ini memasuki pintu menuju ke dalam istana dari pintu belakang.   Dayang itu membisikkan kepada dayang-dayang lain yang bertugas di dalam. Tak lama kemudian, Raden Turonggo dipersilakan masuk ke dalam sebuah ruangan di mana Rani Kahuripan, yaitu Sang Dyah Ayu Tribuwanatunggadewi telah duduk menanti. Ketika pemuda itu melihat Sang Ratu yang masih muda dan amat cantik jelita dan agung, dia cepat menjatuhkan diri berlutut dan menyembah dengan penuh khidmat.   Terdengar olehnya suara halus Sang Puteri, "Apakah Andika datang dari Lumajang? Siapakah Andika dan ada keperluan apakah mohon menghadap padaku di saat malam begini?"   Raden Turonggo menyembah lagi. "Mohon beribu ampun atas kelancangan hamba. Hamba adalah utusan dari Lumajang, hamba bernama Turonggo dan hamba adalah cucu dari Sang Adipati di Lumajang..."   "Ahh...? Cucu Sang Adipati di Lumajang? Masih terhitung apakah dengan mendiang Paman Ronggo Lawe?"   "Beliau adalah Ayah hamba..."   "Ohh...! Kalau begitu, majulah mendekat, Turonggo," kata Sang Puteri, suaranya terdengar makin ramah dan halus.   Raden Turonggo lalu merangkak mendekat, lalu duduk bersila di depan ratu itu. Sejenak Sang Ratu yang masih muda dan seorang dara itu memandang wajah yang menunduk itu, kemudian dia menarik napas panjang dan berkata, "Betapa sedih hatiku kalau teringat kepada Paman Ronggo Lawe. Dan Andika adalah puteranya! Tahukah Andika betapa dahulu, di waktu aku masih kecil, Paman Ronggo Lawe sering mengajakku bermain-main, bahkan dia yang mengajarku menunggang kuda? Ahh... semua itu hanya tinggal kenangan. Turonggo, engkau menjadi utusan Sang Adipati di Lumajang? Apakah tugas yang kau bawa?"   Raden Turonggo menyembah. "Pertama-tama, hamba menjunjung perintah Kakek Adipati untuk menyampaikan sembah sungkemnya dan doa restunya kepada Paduka..."   "Terima kasih... sungguh dia seorang tua yang amat baik dan setia..."   "Dan kedua kalinya, Beliau mengutus hamba untuk menyerahkan sebuah pusaka kepada Paduka, yaitu pusaka Kolonadah ..."   Sang Puteri terkejut dan terbelalak. "Keris pusaka Kolonadah yang diperebutkan itu? Aku sudah mendengar akan keributan yang terjadi karena keris itu, Turonggo. Bukankah itu keris peninggalan Ayahmu sendiri?"   "Benar, Gusti," kata Turonggo sambil menyerahkan bungkusan kuning yang terisi keris Kolonadah kepada Sang Puteri.   Sang Dyah Tribuwanatunggadewi menerima keris itu dengan keraguan, membuka kain kuning itu dan memandang keris pusaka yang bersarung kayu cendana dan terletak di atas pangkuannya itu dengan alis berkerut. "Akan tetapi... mengapa diberikan kepadaku? Bukankah... Sang Prabu sendiri menghendaki keris ini... dan bukankah keris ini dahulunya milik mendiang Ayahmu sehingga sudah sepatutnya kalau Andika yang menjadi ahli warisnya, Turonggo?"   Raden Turonggo menyembah. "Gusti, pusaka ini diciptakan oleh Eyang Empu Supamandrangi di Gunung Bromo, khusus untuk calon raja terbesar. Karena itu, setelah pusaka ini terdapat oleh Eyang adipati di Lumajang, Beliau menganggap bahwa satu-satunya junjungan yang patut memegangnya adalah Paduka, karena Padukalah keturunan langsung dari mendiang Sang Prabu Kertanegara dari pihak ibu dan Paduka adalah puteri permaisuri dari mendiang Sang Prabu Kertarajasa. Eyang Adipati di Lumajang bersama segenap rakyat Lumajang menyatakan setia kepada Paduka, dan hanya mengakui Paduka sebagai satu-satunya junjungan di Mojopahit, oleh karena itu pusaka ini hamba persembahkan kepada Paduka."   Sang Puteri memejamkan kedua mata yang indah itu penuh keharuan, lalu katanya dengan suara sedih, "Terima kasih atas kesetiaan semua kawula di Lumajang. Akan tetapi, sesungguhnya aku sendiri tidak menghendaki adanya permusuhan antara saudara sendiri, antara bangsa sendiri. Permusuhan antara bangsa di Mojopahit hanya akan melemahkan negara. Demikian mendiang Rama Prabu selalu memberi nasihat. Oleh karena itu, kepentingan pribadi harus dikesampingkan, dan keperluan untuk negara didahulukan."   Raden Turonggo tercengang juga mendengar ucapan yang penuh dengan kebijaksanaan itu keluar dari mulut Rani Kahuripan, wanita yang masih muda ini! Ucapan yang sekaligus menghancurkan semua cita-cita para pendukung keturunan Sang Prabu Kertanegara!   "Harap Paduka suka mengampuni hamba. Bukan hamba berani membantah sabda Paduka, akan tetapi di Mojopahit dan di Lumajang terutama, rakyat mendukung Paduka yang sepatutnya menjadi Raja di Mojopahit, bukan keturunan dari Melayu..."   "Hushh, Turonggo, jangan ulangi lagi kata-kata seperti itu! Kita harus ingat bahwa semua yang terjadi adalah kehendak mendiang Kanjeng Romo Prabu. Yang menentangnya, berarti bukan memberontak terhadap raja yang sekarang, melainkan terhadap mendiang Kanjeng Romo. Sudahlah, sampaikan kepada Sang Adipati di Lumajang bahwa pusaka ini kuterima dengan ucapan terima kasih dan akan kusimpan sebagai kenang-kenangan dan tanda bakti dan setia dari rakyat Lumajang, akan tetapi sampaikan pula pesanku bahwa mengingat akan mendiang Kanjeng Romo, hendaknya rakyat tidak akan bertindak terlalu jauh dan tidak akan terjadi perang saudara lagi. Ingat betapa pemberontakan-pemberontakan yang lalu telah menjatuhkan banyak sekali korban di antara saudara dan bangsa sendiri. Kalau hanya untuk aku seorang, untuk memenangkan kedudukan bagiku seorang, untuk memenangkan kedudukan bagiku seorang, harus mengorbankan laksaan jiwa rakyat, aku tidak sudi! Lebih baik aku menjadi kawula biasa saja! Aku akan selalu merasa berdosa, karena demi kedudukankulah maka banyak orang dikorbankan, dan aku tidak menghendaki hal ini terjadi. Pergilah, Turonggo, pulanglah kembali ke Lumajang disertai salamku untuk semua!"   Raden Turonggo benar-benar terpukau oleh omongan itu dan tidak berani menjawab, lalu menyembah dan mengundurkan diri. Akan tetapi pada saat itu, seorang dayang masuk dengan muka pucat dan melapor bahwa di luar istana terjadi pertempuran hebat.   Sang Puteri terkejut sekali. "Hati-hatilah, Turonggo!" katanya melihat pemuda itu mundur dengan cepat dan segera berlari-lari melalui jalan belakang darimana dia datang tadi. Dengan keris pusaka terbungkus kain kuning, Sang Puteri lalu masuk dan menutupkan pintu kamarnya.   Pertempuran yang terjadi di luar istana itu masih berlangsung dengan hebatnya. Kini, Sulastri seorang diri menghadapi Resi Harimurti, sedangkan empat orang tokoh Lumajang dikeroyok oleh puluhan orang perajurit Mojopahit yang menjadi mata-mata dan kaki tangan Resi Harimurti. Mereka ini rata-rata terdiri dari perajurit-perajurit pilihan yang memiliki kepandaian tinggi, maka empat orang itu harus mengerahkan seluruh kepandaian dan kekuatan mereka. Empat orang senopati itu mengamuk seperti banteng-banteng terluka, dan biarpun tubuh mereka semua sudah menderita luka-luka, namun amukan mereka berhasil merobohkan belasan orang lawan.   Sementara itu, Sulastri sudah mengamuk dengan amat hebatnya. Tentu saja kalau diukur tingkat ilmu kepandaian antara Sulastri dan Resi Harimurti, tingkat Sang Resi itu lebih tinggi dan tentu saja lebih matang latihannya. Namun, Sang Resi yang selalu berkecimpung dalam gelombang nafsu, menghambakan diri kepada nafsu-nafsunya sendiri itu, telah menjadi lemah. Dia kalah tenaga, kalah kuat pernapasannya dan kalah cepat gerakannya. Memang dengan gerakan aneh dari ilmu-ilmunya, dia beberapa kali berhasil memecut tubuh Sulastri dengan cambuknya atau menghantam dengan kipasnya. Namun, Aji Trenggiling Wesi yang membuat tubuh dara perkasa itu kebal, melindungi Sulastri sehingga pecutan dan pukulan itu hanya membuat kulitnya lecet dan tubuhnya terpelanting. Dan secepat kilat, setelah terguling, Sulastri setiap kali meloncat bangun kembali dan menyerang lagi dengan makin dahsyat! Beberapa kali sudah dara ini berhasil pula mendaratkan pukulan Hasto Nogo dengan tangan kirinya. Resi Harimurti juga melindungi tubuhnya dengan aji kekebalan, namun hantaman-hantaman yang mengandung tenaga sakti itu membuat dia terengah-engah dan getaran hebat dari pukulan itu seolah-olah merontokkan isi dada dan perutnya.   Resi Harimurti merasa pensaran sekali. Masa dia, seorang pertapa yang amat terkenal dan ditakuti banyak tokoh, kini menghadapi seorang dara muda saja sampai ratusan jurus belum juga mampu mengalahkannya? Tiba-tiba dia mengeluarkan suara bentakan nyaring dan cambuknya meledak-ledak di angkasa, lalu ujung cambuk itu menyambar ke bawah dengan kecepatan kilat. Sulastri maklum bahwa kalau dia tidak nekat, akan sukarlah baginya untuk mengalahkan Sang Resi ini, maka dia tidak memperdulikan sambaran cambuk itu, melainkan membarengi serangan lawan untuk menubruk ke depan dengan keris di tangan kanan menusuk lambung dan tangan kirinya menghantam ke arah kepala Sang Resi.   "Brettt...!" Sulastri terpekik kaget. Tidak sangka sama sekali dia bahwa Sang Resi akan menggunakan kecurangan seperti itu. Kiranya ujung cambuk tadi tidak menyerang tubuhnya melainkan menyerang bajunya dan merobek bajunya bagian depan sehingga dadanya terbuka dan menjadi telanjang sehingga nampak sepasang bukit dadanya!   Sementara itu, Sang Resi terbelalak kagum dan tersenyum menyeringai, cambuknya digerakkan dan tahu-tahu cambuk itu telah menyerang ke arah pakaian Sulastri bagian bawah! Dara itu tadi terkejut dan tentu saja membatalkan serangannya, kini sibuk hendak menutupi dadanya. Akan tetapi dia melihat cambuk yang menyambar ke bawah, maka tangan kirinya menangkap ujung pecut itu dan dipegangnya kuat-kuat, lalu dia melangkah maju, tanpa mempedulikan dadanya yang terbuka dan kerisnya sudah menusuk dengan kuatnya.   "Prakkk...!" Kipas yang menangkis amat kuatnya itu bertemu dengan keris dan kipas itu patah, keris di tangan Sulastri pun patah!   Sulastri membuang gagang kerisnya dan tangan kanannya memukul. Namun Sang Resi telah siap dan dia menangkap pergelangan kanan gadis itu, lalu menariknya sampai tubuh Sulastri menubruk tubuhnya. Kini tangan Sulastri yang kiri masih memegang ujung cambuk dan tangannya yang kanan sudah dipegang lawan yang menariknya sehingga dadanya yang terbuka itu merapat ke dada Sang resi.   "Ha-ha-ha, manis... lebih baik kau bersenang-senang dengan aku..."   Merasa betapa tubuh yang muda dan mulus itu merapat ke dadanya, seketika bangkitlah nafsu dan gairah di hati Sang Resi. Dia sudah merasa menang, tangan kanan gadis itu telah ditangkapnya dan tangan kiri Sulastri pun sedang memegang ujung cambuknya. Dan dada yang terbuka itu, bau kewanitaan yang begitu dekat dengan dia, semua ini membangkitkan nafsu berahinya dan membuat Sang Resi lengah. Dia tidak tahu bahwa tangan kiri Sulastri telah melepaskan ujung cambuk dan kini tangan kiri itu, dengan pengerahan aji kesaktian Hasto Nogo sepenuhnya, bergerak seperti kilat, menghantam ke arah dadanya di bawah tulang iga.   "Hekkk...!" Sepasang mata Sang Resi terbelalak, tubuhnya terhuyung ke belakang dan otomatis pegangannya terlepas, lalu kedua tangan mendekap dada yang terpukul. Karena tadi diamuk nafsu berahinya yang bangkit, maka dia menjadi lengah dan aji kekebalannya untuk sementara punah. Tentu saja pukulan Hasto Nogo yang amat ampuh itu tidak dapat tertahan oleh tubuhnya yang sudah mulai tua tanpa dilindungi aji kekebalannya, maka pukulan itu biarpun di luarnya tidak melukai kulit, namun getaran hawa sakti yang dibawa pukulan itu telah meremukkan segala yang berada di rongga dadanya, termasuk jantungnya!   "Aughhhh...!" Jerit terakhir Resi Harimurti terdengar mengerikan sekali, tubuhnya roboh dan untuk yang terakhir kali, dia masih mampu mengerakkan cambuknya sehingga terdengar bunyi "tarrr!" nyaring sekali. Seperti lenyapnya bunyi itu, lenyap pula nyawanya dan meninggalkan tubuhnya yang sudah terkapar menjadi sesosok mayat mati!   Sulastri cepat membungkuk, menanggalkan baju dari seorang mayat perajurit dan memakai baju itu untuk menutupi ketelanjangan dadanya, kemudian dia mengamuk lagi membantu empat orang tokoh Lumajang yang sudah mulai lelah dan menderita luka-luka. Amukan Sulastri ini membuat kepungan membuyar, akan tetapi seperti rombongan semut para perajurit sudah mengeroyoknya pula.   Pada saat itu muncul Raden Turonggo yang tanpa banyak cakap lagi telah terjun ke dalam medan pertempuran membantu teman-temannya yang dikeroyok. Melihat pemuda ini, Panji Wironagari bertanya, "Bagaimana, Raden?" Sudah beres?.   "Sudah, Paman...!" jawab Turonggo sambil menendang roboh seorang pengeroyok yang menusukkan tombaknya dari kanan dan yang dapat dielakkannya. Dia merampas tombak itu dan mengamuk dengan hebat.   "Raden, cepat lari...!" kata Panji Wironagari. "Cepat pulang memberi laporan, biar kami yang menahan mereka!"   "Akan tetapi, Paman...!" Raden Turonggo membantah. Mana mungkin dia melarikan diri dan meninggalkan empat orang itu bersama Sulastri dalam kepungan musuh dan terancam bahaya maut?   "Raden, ingat, ini tugas! Dan saya yang memimpin. Saya perintahkan engkau untuk pergi secepatnya! Dan Nini Sulastri yang harus melindungimu!"   Melihat Raden Turonggo meragu, tiga orang tokoh Lumajang lainnya juga membujuk sambil mereka terus mengamuk. Akhirnya Sulastri yang mendengar ini semua mengerti bahwa memang sebaiknya demikian. "Marilah, Dimas Turonggo!" katanya dan tanpa menanti jawaban, dia menyambar tangan pemuda itu dan diajaknya melompat jauh, merobohkan orang-orang yang berusaha menghadang dan mereka lalu melarikan diri di dalam kegelapan malam. Empat orang bekas senoapati Mojopahit itu mengamuk terus, menghadang dan mencegah mereka untuk mengejar Turonggo dan Sulastri.   Keributan itu segera terdengar oleh para penjaga dan kini makin banyaklah perajurit yang datang mengeroyok. Empat orang bekas senopati Mojopahit itu mengamuk sampai titik darah terakhir, akan tetapi akhirnya mereka itu roboh seorang demi seorang, roboh dan tewas di bawah keroyokan banyak senjata sehingga tubuh mereka hancur lebur, kematian seorang perajurit yang gagah berani.   Betapa banyaknya manusia-manusia yang berwatak gagah berani harus tewas secara sia-sia seperti empat orang tokoh Lumajang ini. Betapa nyawa manusia menjadi tidak berharga kalau sudah dicengkeram oleh permusuhan dan dipermainkan oleh semangat bermusuhan dan saling membunuh demi apa yang biasa dinamakan perjuangan, demi negara, demi bangsa, demi kerajaan dan demi apa pun yang dianggapnya sebagai perbuatan mulia! Mati dalam perang dalam usaha bunuh-membunuh di antara manusia, oleh kita yang menamakan diri sebagai manusia-manusia beradab, dinamakan dengan sebutan muluk, yaitu mati sebagai kusuma bangsa, mati gagah perkasa, mati mulia, mati sebagai pahlawan dan sebagainya! Kalau berhasil membunuh lawan sebanyaknya, lupa bahwa lawan itu pun manusia juga seperti kita, maka sang pahlawan dipuja-puja. Kalau dia yang tewas dalam perang itu, juga namanya dipuja-puja dan disanjung-sanjung! Dia yang banyak membunuh sesama manusia dianggap pahlawan. Mengapa kita yang merasa beradab dan berkebudayaan menjadi sekejam ini? Mengapa sejak kecil kita dilolohi kepalsuan dan kebohongan ini? Sehingga tertanam di dalam benak kita bahwa dalam bunuh-membunuh sesama manusia dalam perang itu adalah sesuatu yang patut dibanggakan dan dipuja-puja? Mengapa kita menanamkan benih kejahatan ini ke dalam anak-anak kita sehingga setiap orang manusia ingin sekali menjadi seorang pahlawan yang aakhirnya nanti menjadi pembunuh banyak manusia atau juga terbunuh?   Jilid 70   Siapa pun yang berjuang untuk membunuh atau dibunuh ini, terdorong oleh semangat yang ditanamkan sejak ribuan tahun yang lalu tentang betapa mulianya seorang pahlawan. Dia berjuang untuk mendapatkan sebutan pahlawan di samping pamrih lainnya seperti memperoleh kedudukan, nama besar, kemuliaan dan sebagainya. Perjuangan seperti itu pada umumnya, di dunia manapun juga, disebut sebagai perbuatan gagah perkasa, perjuangan demi negara, demi bangsa, demi tanah air, bahkan ada pula yang berani membawa-bawa nama Tuhan di dalam urusan bunuh-membunuh antara manusia ini! Membunuh sesama manusia demi Tuhan! Perang demi Tuhan! Betapa palsu dan munafiknya kita ini. Padahal siapakah yang sesungguhnya yang untung, siapakah sesungguhnya yang menjadi biang keladi semua permusuhan, semua perang yang telah melanda seluruh dunia selama ribuan tahun ini? Jawabannya sudah terdapat di situ. Kalau kita mempelajari sejarah di dunia manapun juga, jelaslah siapa yang menjadi biang keladi perang, siapa pula yang jatuh bangun oleh perang. Tiada lain hanyalah manusia-manusia yang bercita-cita untuk duduk di tempat teratas.   Yang patut disebut seorang pemimpin rakyat adalah dia yang tidak menjerumuskan rakyat ke dalam perang! Yang hanya mencurahkan segala daya upaya untuk ketenteraman dan kemakmuran hidup rakyat yang dipimpinnya. Yang memajukan pembangunan lahir batin untuk rakyat. Yang menjauhkan rakyat daripada permusuhan, dendam-mendendam, dan pertikaian. Yang mengarahkan seluruh kekuatan yang ada untuk perbaikan-perbaikan taraf kehidupan rakyat. Kalau ada pemimpin yang menyeret rakyat ke dalam perang, itu berarti bahwa dia bukanlah seorang pemimpin, melainkan seorang pembesar yang membesarkan ambisi dan keinginan diri pribadi untuk enak, untuk senang, untuk menang! Seorang yang demikian itu biasanya tentu seorang yang berjiwa pengecut! Sejarah telah membuktikan semua itu. Mereka yang mengaku pemimpin-pemimpin rakyat yang mengobarkan perang, yang menjerumuskan rakyat dalam peperangan, adalah orang-orang yang ingin menang dan ingin senang, ingin mempertahankan kedudukannya dan sebagainya. Dan orang-orang macam begini, dapat tersenyum bangga jika dapat memenangkan peperangan sehingga kedudukannya menjadi makin baik dan makin tinggi, sungguhpun untuk "kemenangan" itu telah dikorbankan nyawa ratusan ribu orang manusia, baik yang termasuk sebagai rakyat bangsanya maupun rakyat bangsa lawannya. Akan tetapi bagaimana kalau perang itu, perang yang dikobarkan demi kepentingan mereka-mereka itu dengan diselubungi istilah-istilah muluk-muluk "Demi bangsa", "Demi negara" , "Demi tanah air" dan sebagainya itu sampai kalah? Kalau sampai kalah, dan ini sudah banyak terbukti dalam catatan sejarah, maka dia atau mereka ini yang paling dulu melarikan diri! Sambil membawa harta benda yang telah dikumpulkannya, tentu saja! Siapakah yang dapat membantah kenyataan ini?   Dapatkah "peradaban" dan "kebudayaan" macam sekarang ini berubah sama sekali? Dapatkah manusia di dunia ini hidup tanpa terpecah-pecah, tanpa permusuhan, tanpa senjata pembunuh, tanpa perang? Kiranya baru akan terdapat kemungkinan berubahnya dunia kalau kita masing-masing ini sudah berubah! Karena kitalah yang membentuk keadaan di dunia ini! Kitalah yang membentuk masyarakat dan kita pula yang membentuk negara. Kalau kita sendiri, setiap orang, masih dikuasai oleh kekerasan, masih mengandung kebencian, mengandung permusuhan, masih iri hati, masih ingin menang sendiri, ingin senang dan enak sendiri, maka tak dapat dicegah lagi sudah tentu masyarakat kita pun demikian pula sifatnya, dan seluruh dunia pun demikian pula. Dan kalau seperti itu keadaannya, anehkah kalau di sana-sini berkobar perang? Jadi, kuncinya adalah pada diri kita sendiri masing-masing! Kitalah yang harus berubah, bukan dirubah, karena dirubah berarti bentuk pemaksaan. Dan semua yang dipaksa itu adalah palsu dan setiap waktu akan terbuka kepalsuannya. Perubahan harus terjadi dalam diri sendiri, bukan dirubah karena undang-undang, oleh propaganda-propaganda, oleh hukum dan sebagainya. Seorang akan terus-menerus melakukan pencurian biarpun dia sudah dihukum beberapa kali karena mencuri! Akan tetapi, kalau orang itu sudah berubah di sebelah dalam batinnya, berubah karena sudah tidak ada lagi keinginan mencuri itu, maka tanpa ada ancaman hukuman pun dia tidak akan sudi melakukan pencurian!   Karena itu, yang terpenting adalah mengenal diri sendiri lahir batin, mengenal kepalsuan dan kekotoran diri sendiri, segala macam kebusukan yang memenuhi batin sendiri haruslah dikenal dan diketahui baik, bukan hanya untuk diketahui belaka lalu habis. Sama sekali tidak! Haruslah dipelajari setiap saat, yaitu diawasi, diamati, dipandang setiap saat penuh kewaspadaan! Pengamatan tanpa pamrih inilah yang mendatangkan kebijaksanaan. Pengamatan tanpa pamrih apa pun ini yang akan mendatangkan perubahan, yang akan mendatangkan kebebasan. Dan hanya yang bebas sajalah yang akan mengenal apa artinya cinta kasih, dan di mana ada cinta kasih, tidak ada permusuhan, tidak ada kebencian, tidak ada iri hati, tidak ada perang!   Dalam keadaan perang, gembar-gembor tentang perdamaian adalah omong kosong belaka! Jangan perang, maka tak perlu lagi bicara tentang perdamaian! Akan tetapi anehnya, semua orang ingin bicara tentang perdamaian! Kita adalah manusia-manusia lemah yang menjadi korban dari konflik dalam batin kita sendiri. Kita begini, itu kenyataannya, namun kita ingin begitu. Kita perang, itu kenyataannya, akan tetapi kita ingin damai. Kita pemarah, akan tetapi kita ingin sabar, dan demikian selanjutnya sehingga kita hidup dalam alam keinginan belaka. Mengapa kita tidak menghadapi kenyataan, membuka mata mempelajari dan mengenal keadaan kita sendiri, membuka mata dan melihat bahwa kita ini pemarah, kita ini gila perang, kita penuh kebencian dan sebagainya? Kita membayang-bayangkan yang bersih-bersih bagi kita sehingga kita tidak melihat bahwa kita ini sesungguhnya kotor. Dan dalam keadaan kotor begini, membayangkan kebersihan adalah sia-sia, menutupi kekotoran dengan pakaian bersih pun percuma, hal itu tidak akan melenyapkan kekotoran itu. Akan tetapi kalau kita meneliti diri sendiri, membuka mata dan melihat kenyataan, maka kewaspadaan inilah yang akan mendatangkan perubahan, yang akan membebaskan kita dari segala kotoran, segala ikatan, segala bayangan-bayangan dan khayal. Dan ini jauh lebih penting daripada mengkhayalkan kebersihan.   Karena bantuan Sulastri, akhirnya Raden Turonggo dapat lolos dari Kahuripan dan ketika mereka menanti di luar batas kota dan belum juga melihat kembalinya empat orang senopati itu, Raden Turonggo menangis terisak-isak. Mereka berdua maklum bahwa empat orang teman mereka itu sudah pasti tidak dapat lolos lagi dari kepungan yang demikian ketatnya, dan tentu telah menemui kematian mereka.   Sulastri menghibur Raden Turonggo dan berkata, "Sudahlah, Adimas. Ditangisi pun tidak ada gunanya lagi. Sebaiknya kita cepat kembali ke Lumajang dan melapor kepada Sang Adipati."   Raden Turonggo mengangguk dan dengan muka pucat dan mata merah, dia mengikuti Sulastri melanjutkan perjalanan menuju ke Lumajang.   Raden Turonggo menubruk kaki eyangnya ketika dia dan Sulastri tiba di Lumajang dan menghadapa Sang Adipati bersama para tokoh Lumajang lainnya. Pemuda ini menangis dengan sedihnya.   "Kulup, tenangkan hatimu. Apakah yang terjadi? Apakah tugasmu gagal dan pusaka itu tidak berhasil engkau haturkan kepada Gusti Puteri?" tanya Adipati Wirorojo sambil mengelus kepala cucunya.   "Sudah saya haturkan... Eyang, akan tetapi... eh, keempat Paman... mereka... tertinggal dan..." pemuda itu menangis lagi.   Melihat keadaan pemuda itu, Sulastri lalu menceritakan dengan tenang semua peristiwa yang terjadi di waktu mereka berenam pergi ke Kahuripan, betapa Raden Turonggo berhasil menyerahkan keris pusaka Kolonadah kepada Puteri Tribuwanatunggadewi, akan tetapi betapa mereka ketahuan oleh Resi Harimurti dan pasukannya sehingga terjadi perkelahian dan empat orang tokoh Lumajang itu, Panji Wironagari, Panji Samara, Aryo Jangkung, dan Aryo Teguh telah tertinggal untuk menahan pasukan yang hendak mengejar. Dia sendiri melarikan Raden Turonggo untuk menyelamatkannya atas permintaan dan perintah empat orang gagah itu.   Mendengar ini, Sang Adipati mengerutkan alisnya dan merasa gelisah sekali. Kegelisahan yang berubah menjadi kedukaan ketika datang laporan dari mata-mata Lumajang yang bertugas di Kahuripan bahwa keempat orang gagah itu benar-benar telah tewas oleh pengeroyokan banyak sekali perajurit dan pengawal.   Keadaan di Kadipaten Lumajang masih dalam suasana berkabung ketika datang utusan dari Kadipaten Puger yang mengabarkan bahwa Kadipaten Puger diserang oleh pasukan-pasukan dari Nusabarung yang amat kuat sehingga mengalami kerugian besar. Ketika utusan ini datang menyampaikan berita itu kepada Sulastri, wanita perkasa ini masih menghadap Sang Adipati di Lumajang, maka semua orang mendengar akan malapetaka yang menimpa Puger itu. Sulastri terkejut bukan main dan cepat dia menyembah kepada Sang Adipati dan berpamit. Tanpa menanti jawaban, dia lalu melesat keluar dan berlari cepat menuju ke selatan, ke Puger!   Sang Adipati Wirorojo lalu memerintahkan kepada Maesa Pawagal, seorang tokoh Lumajang bekas senopati Mojopahit, untuk memimpin seribu orang perajurit dan membawa pasukan ini ke selatan untuk membantu Puger. Tentu saja Sang Adiapti ini membantu Puger hanya karena mengingat kepada Sulastri, Joko Handoko dan Roro Kartiko yang sudah banyak berjasa terhadap Lumajang dan kini menjadi keluarga Prabu Bandardento di Puger. Terutama sekali Sulastri telah banyak berjasa, maka Sang Adipati merasa sudah selayaknya kalau dia membantu Puger. Andaikata tidak ada tiga orang muda itu di Puger, agaknya dia tidak akan mau mencampuri urusan antara Puger dan Nusabarung, karena Lumajang sendiri harus memperkuat diri untuk menghadapi Mojopahit yang kini dikuasai oleh keturunan Melayu itu.   Dengan kecepatan luar biasa, Sulastri tiba di Puger. Hatinya prihatin sekali menyaksikan keadaan Puger, di mana jelas nampak orang-orang berkabung, berduka, dan juga gelisah. Cepat dia menemui Sang Prabu yang sedang berunding dengan dua orang putera puterinya, yaitu "suaminya" Joko Handoko dan Roro Kartiko bersama para senopati. Padas Gunung dan Pragalbo yang kelihatan luka-luka lengan mereka juga hadir. Suasana di dalam persidangan itu jelas nampak suram diliputi ketegangan.   Kedatangan Sulastri disambut oleh mereka semua dengan gembira dan ada sekilas cahaya harapan nampak di wajah Sang Prabu yang tadinya muram. Bahkan Sang Prabu Bandardento segera bangkit berdiri menyambut kedatangan Sulastri, sedangkan Roro Kartiko segera memeluknya.   "Syukur Andika telah datang, Anakku! Kami amat mengharapkan bantuanmu untuk dapat menyelamatkan Puger!"   Sulastri mengerutkan alisnya, bergantian dia memandang kepada para senopati, kepada Padas Gunung, Pragalbo, kemudian kepada Roro Kartiko dan Joko Handoko, lalu berkatalah dia dengan penasaran, "Kita telah memiliki pasukan yang kuat dan banyak senopati yang digdaya, bagaimanakah kita sampai dapat terpukul oleh pasukan musuh dari Nusabarung? Paman Padas Gunung, demikian hebatkah kekuatan musuh?"   "Ah, engkau tidak tahu, Anakku. pihak musuh dipimpin oleh seorang senopati baru yang amat sakti. Lihat, Padas Gunung dan Pragalbo sendiri sampai terluka olehnya, dan banyak senopati yang terluka atau tewas," kata Sang Prabu dengan sedih. "Sekarang, agaknya harus aku sendiri yang memimpin pasukan menghadapi senopati Nusabarung itu!" Sang Prabu yang sudah tua itu mengepal tinju dan sinar matanya berapi karena marahnya.   "Dan kalian... Kakangmas Handoko dan Diajeng Kartiko? Apakah kalian tidak turun tangan bersama para pembantu kalian?"   Joko Handoko menarik napas panjang. "Mereka itu dua kali menyerang dan untuk kedua kalinya, aku dan Roro Kartiko, dibantu oleh para anggota Sriti Kencana, memperkuat pasukan, akan tetapi... ah, musuh terlampau kuat..." Dan Joko Handoko lalu menundukkan mukanya. Sikapnya ini amat mengherankan hati Sulastri, maka dia menoleh kepada Roro Kartiko dan memandang dengan sinar mata penuh pertanyaan.   Roro Kartiko memegang lengan Sulastri, lalu berkata kepada Sang Prabu, "Kanjeng Romo, perkenankan kami bicara di dalam..."   Sang Prabu Bandardento mengangguk dan Roro Kartiko lalu menarik tangan Sulastri, diajaknya masuk ke dalam kamar, Roro Kartiko berkata,"Ah, engkau tidak tahu apa yang telah terjadi, Mbakayu Sulastri. Ada peristiwa yang amat aneh dan hebat. Kau tahu, ketika kami membantu pasukan mengamuk, muncullah senopati muda yang menggemparkan itu dan dapat kau bayangkan betapa kaget rasa hati kami ketika mengenal senopati itu!"   "Hemm, siapa dia?" Sulastri bertanya dengan alis berkerut.   "Dia... dia adalah... Kakangmas Sutejo..."   "Ehhh...??" Sulastri terlonjak kaget dan mengepal tinju. "Dia? Dia menjadi senopati di Nusabarung?"   "Benar, Mbakayu Sulastri, dan agaknya dia... dia tidak mau mengenal kami lagi..., bahkan ketika kami menegurnya, dia seperti bingung dan tidak kenal kami, dan... nyaris kami tewas pula di tangannya. Akan tetapi... agaknya dia pun tidak mau terlalu mendesak kami dan membiarkan kami melarikan diri. Akan tetapi pasukan menjadi kacau dan hancur sehingga terpaksa untuk kedua kalinya, pasukan Puger harus ditarik mundur."   "Hemm, keparat!" Sulastri mengepal kedua tinjunya. Sudah bertahun-tahun dia tidak pernah bertemu dengan Sutejo dan biarpun tidak ada seorang lain yang tahu, diam-diam dia harus mengaku bahwa dia tidak pernah dapat melupakan Sutejo. Betapa di waktu malam, setelah Roro Kartiko tidur nyenyak, dia bersila dan berusaha untuk bersamadhi, namun selalu gagal karena wajah Sutejo selalu terbayang dan betapa seringnya dia terisak-isak penuh kerinduan terhadap pemuda itu. Dia sudah hampir melepaskan harapannya untuk dapat bertemu kembali dengan pemuda itu. Dan kini, seperti halilintar menyambar, secara tiba-tiba saja pemuda itu muncul sebagai senopati musuh! Dan begitu mendengar pemuda itu menjadi senopati musuh, seketika timbul kemarahannya! Dia tidak tahu apakah kemarahan itu karena Sutejo menjadi senopati musuh, ataukah karena bertahun-tahun lamanya pemuda itu tidak pernah mengabarkan diri dan tidak pernah mencarinya.   Roro Kartiko terkejut juga melihat betapa wajah Sulastri menjadi marah sekali dan dia cepat mengejar ketika melihat Sulastri sudah lari keluar lagi ke ruang persidangan.   "Kanjeng Romo, perkenankan hamba memimpin pasukan untuk menghajar pasukan Nusabarung itu!" Sulastri berkata kepada Sang "mertua".   "Engkau baru saja datang, Nini. Biarlah aku sendiri yang akan menghajar mereka yang kini menghaturkan barisan di perbatasan, di pantai laut. Biar mereka melihat bahwa Prabu Bandardento yang sudah tua ini masih sanggup untuk menghancurkan orang-orang Nusabarung!"   "Tidak, Kanjeng Romo, selama masih ada hamba, tidak selayaknya kalau Paduka yang harus turun tangan sendiri. Pula, hamba mengenal senopati keparat itu dan biarkan hamba yang menghadapinya. Kakangmas, harap kau suka atur barisan, kita berangkat sekarang juga!"   Melihat sikap Sulastri yang gagah perkasa, diam-diam Sang Prabu menjadi girang dan dia mengangguk memberi persetujuannya. Dengan cekatan Sulastri mengajak suaminya dan adik iparnya keluar dan mengumpulkan para senopati untuk memimpin pasukan. Tak lama kemudian, berangkatlah pasukan itu menuju ke selatan, ke pantai laut di mana pasukan dari Nusabarung telah membuat persiapan untuk menyerang Puger lagi.   Di tengah perjalanan, Sulastri mendengar penuturan Roro Kartiko yang telah mempelajari keadaan Nusabarung dari Ayahnya, yaitu ayah angkatnya, Sang Prabu di Puger. "Nusabarung merupakan pulau yang dikuasai oleh Sang Adipati Menak Dibyo yang merupakan raksasa berkenpanadian tinggi," dia mulai bercerita. "Adipati Menak Dibyo mempunyai dua orang anak, yang laki-laki bernama Bandupati dan yang perempuan bernama Sariwuni, juga kedua orang anaknya itu memiliki kepandaian tinggi dan terkenal sakti mandraguna. Akan tetapi, karena Kadipaten Puger lebih besar, memiliki pasukan yang lebih kuat dan juga dalam hal kesaktian, para senopati Puger tidak kalah oleh tokoh-tokoh Nusabarung, maka selama belasan tahun Nusabarung tidak pernah berani menganggu Puger, setelah dahulu setiap serbuan dari Nusabarung selalu digagalkan dan pasukannya dipukul mundur kembali menyeberang laut ke pulau mereka. Akan tetapi sekarang, setelah kedua orang anak itu dewasa, mereka berani lagi, malah Kakangmas Sutejo tahu-tahu telah berada di antara mereka sebagai senopati, sungguh hal ini amat aneh dan juga mendatangkan rasa penasaran."   "Dia bukan seorang yang setia, sungguh menjengkelkan!" Sulastri berkata dan di dalam suaranya terkandung kemarahan yang mengejutkan hati Roro Kartiko. Dara perkasa ini maklum bahwa kakak iparnya ini sampai sekarang masih belum juga mau menjadi isteri kakaknya, dalam arti kata yang sesungguhnya. Kakaknya dan Sulastri jarang sekali bicara, bahkan seperti saling menghindari, apalagi berada berdua saja di dalam kamar. Diam-diam dia merasa kasihan kepada kakaknya, akan tetapi dia juga tidak dapat menyalahkan Sulastri karena dia tahu bahwa adanya Sulastri mau menjadi isteri kakaknya adalah untuk menyelamatkan mereka semua. Dan dia menduga dengan hati berat bahwa kakak iparnya ini masih mencinta Sutejo, hal yang makin menyakitkan hatinya karena dia sendiri pun tidak pernah dapat melupakan Sutejo.   "Mbakayu Sulastri, kalau... kalau engkau berjumpa dengan dia... apa yang hendak kaulakukan?" Tiba-tiba Roro Kartiko bertanya.   Sulastri yang sedang melamun itu terkejut dan otomatis menarik kendali kudanya sehingga binatang itu mengangkat kedua kaki depan ke atas. Setelah berhasil menenangkan kudanya yang kaget itu, Sulastri menoleh, memandang kepada Roro Kartiko, lalu menjawab dengan sikap dingin,"Akan kuperingatkan dia agar meninggalkan pasukan Nusabarung, mengingat akan... persahabatan kami yang lalu."   "Ah, aku dan Kakangmas Handoko juga sudah memperingatkan hal itu, Mbakayu, akan tetapi sia-sia belaka, bahkan dia seperti tidak mau mengenal kami lagi."   "Hemm, kalau dia berani bersikap demikian kepadaku, akan... kubunuh dia!" Di dalam suara ini terkandung ancaman yang mengerikan hati Roro Kartiko, akan tetapi gadis ini pun merasa ragu-ragu apakah Sulastri akan mampu menandingi Sutejo yang benar-benar amat digdaya itu.   Sementara itu, Joko Handoko yang menjalankan kudanya di belakang dua orang wanita itu, hanya mendengarkan saja. Wajahnya muram dan memang semenjak dia menjadi "suami" Sulastri, pemuda ini berubah sekali menjadi seorang yang tak pernah bergembira, wajahnya sering kali muram dan dia nampak lebih tua daripada usianya. Dia menanggung derita batin yang hebat, akan tetapi hal ini tidak pernah diperlihatkan kepada "isterinya", dan tidak pernah pula dia membicarakan hal itu kepada orang lain. Dia amat mencinta Sulastri, dan dia tidak dapat menyalahkan isterinya yang bersikap dingin terhada dia. Betapa setiap malam dia merindukan isterinya itu dan biarpun dia merasa yakin bahwa agaknya selama hidupnya Sulastri yang masih mencinta Sutejo itu tidak akan mau nyerahkan diri kepadanya, namun Joko Handoko tetap setia dan tidak pernah dia mau mengambil selir. Padahal kedudukannya pada waktu itu adalah putera adipati!   Kita tinggalkan dulu pasukan Lumajang yang berbaris rapi menuju ke selatan itu dan mari kita tengok keadaan pasukan Nusabarung yang membentuk barisan di pantai Laut Selatan sebagai daerah perbatasan antara Puger dan Nusabarung. Pantai ini tentu saja masih termasuk wilayah Puger, akan tetapi pasukan Nusabarung kini telah menguasainya dan menggunakan dusun pantai yang telah mereka rampok habis itu sebagai markas mereka.   Di dalam ruangan sebuah rumah besar di tengah dusun itu, yaitu bekas rumah kepala dusun yang telah mereka bunuh, duduklah dua orang laki-laki muda dan seorang wanita muda cantik jelita bercakap-cakap. Mereka ini adalah Sutejo, Bandupati, dan Sariwuni. Di atas meja di depan mereka nampak hidangan dan mereka makan minum sambil bercakap-cakap.   "Ha-ha-ha, orang-orang Puger lari cerai-berai, sungguh senang hati melihatnya! Besok kita harus terus menyerbu ke utara dan membumihanguskan Kadipaten Puger!" kata Bandupati, orang muda tampan bertubuh raksasa, brewok dan gagah seperti Raden Werkudoro itu.   "Kita harus menanti berita dari Paman Menak Srenggo, Kakang Bandupati. Kita tidak boleh ceroboh karena Puger merupakan kekuatan yang tak boleh dipandang ringan. Apalagi menurut kabar, ada seorang lagi jagonya yang datang, yaitu anak mantu Sang Adipati yang kabarnya adalah seorang wanita yang sakti mandraguna," kata Sariwuni.   "Ha-ha, takut apa? Setelah ada Adimas Bromatmojo bersama kita, biar mereka itu mempunyai jago dewata, kita tak usah takut!"   Sutejo mendengarkan dengan sikap tenang, akan tetapi dia mengerutkan alisnya. Melihat ini, Sariwuni berkedip kepada Kakaknya lalu menggeser bangkunya, duduk di dekat suaminya itu dan membelai lengan suaminya dengan sikap mesra dan manja.   "Kakangmas Bromatmojo, engkau memang hebat sekali! Putera dan puteri angkat dari Sang Adipati Puger itu ternyata tangguh sekali, akan tetapi menghadapimu, mereka lari ketakutan!" Setelah berkata demikian, di depan kakaknya, secara terang-terangan Sariwuni lalu mendekatkan mukanya dan mengecup pipi suaminya. Hal seperti ini selalu tidak menyenangkan hati Sutejo dan kini pun dia menarik mundur mukanya untuk mengelak. Dia tidak senang melihat isterinya itu memperlihatkan kasih sayang di depan orang lain, biarpun orang lain itu kakaknya sendiri.   "Ah, kenapa harus ada perang ini? Kenapa harus ada bunuh-membunuh? Sesungguhnya, aku tidak suka melihat perang..." katanya, lalu dia menoleh kepada isterinya. "Diajeng Sulastri, kenapa kita tidak pulang saja ke Nusabarung? Apa sih perlunya menyerang Puger?"   "Ah, Kakangmas, engkau tidak tahu. Puger adalah kadipaten yang selalu menghina Nusabarung dan baru sekarang kita mempunyai kesempatan untuk membalas dendam," jawab Sariwuni yang oleh Sutejo dianggap bernama Sulastri.   "Dan telah lama aku mengidamkan seorang puteri yang cocok untuk menjadi isteriku, menjadi calon permaisuriku kalau kelak aku menggantikan Kanjeng Romo menjadi adipati di Nusabarung. Aku melihat puteri Adipati Puger itu cantik sekali, cantik dan gagah perkasa, pantas kalau menjadi calon isteriku," kata pula Bandupati.   Seperti kita ketahui, Sutejo berada di bawah pengaruh racun Lalijiwo. Karena racun itu diberikan kepadanya setiap hari, maka setelah lewat dua tahun saja dia sudah lupa akan segala riwayatnya yang lampau. Yang diingatnya adalah semenjak dia bertemu dengan putera-puteri Adipati Nusabarung itu sampai sekarang. Dan dia sudah menganggap pasti bahwa dirinya adalah Bromatmojo dan bahwa wanita yang menjadi isterinya itu adalah Sulastri, satu-satunya wanita yang memenuhi hatinya, satu-satunya wanita yang dicintanya, bahwa Bandupati adalah Kakak Sulastri. Bahkan setelah melihat dia benar-benar melupakan asal-usulnya, Sariwuni berani menceritakan bahwa selain nama Sulastri, dia mempunyai nama lain, yaitu Sariwuni.   Setelah melihat keadaan Sutejo benar-benar berada di bawah pengaruh mereka, mulailah keluarga Adipati Nusabarung mengatur pasukan untuk menyerbu ke seberang daratan, ke Puger yang menjadi musuh sejak dahulu. Dan tepat seperti yang mereka harapkan dan perhitungkan, di dalam pertempuran itu, Sutejo yang mereka kenal sebagai Bromatmojo itu telah berjasa besar, sepak terjangnya hebat sekali sehingga semua senopati dari Puger tidak kuat menghadapinya, bahkan putera dan puteri Adipati Puger yang terkenal digdaya itu pun tidak tahan melawannya dan sampai dua kali pasukan-pasukan Puger mereka pukul mundur! Akan tetapi, untuk terus menyerbu ke Puger mereka masih belum berani, mengingat bahwa Puger memiliki pasukan yang jauh lebih kuat dan lebih besar. Maka setelah memperoleh kemenangan sebanyak dua kali pertempuran, Bandupati yang memimpin penyerbuan itu lalu mengutus Pamannya, yaitu Menak Srenggo, untuk memimpin sepasukan mata-mata untuk melakukan penyelidikan ke Puger, untuk melihat perkembangan dan persiapan musuh.   Ketika tiga orang muda ini sedang merayakan kemenangan mereka dengan pesta, tiba-tiba muncul seorang kakek tinggi besar yang bercambang bauk dan bermuka merah. Melihat tiga orang muda itu, kakek ini segera memberi hormat dengan menekuk sebelah kakinya dan menyembah lalu berdiri lagi.   "Ah, Paman Menak Srenggo, engkau sudah kembali? Duduklah dan ceritakan bagaimana keadaan fihak musuh? Tentu Puger sedang berkabung dan berduka? Ha-ha-ha!" Bandupati tertawa bergelak.   Kakek ini adalah Menak Srenggo, bekas senopati Puger. Seperti telah diceritakan di bagian depan Menak Srenggo ini adalah kakak misan dari Retno Sami, selir Adipati Puger yang bersekongkol dengan mendiang Murwendo dan Murwanti untuk memberontak kepada Adipati Puger dan akhirnya dua orang muda itu berikut selir yang tidak setia itu terbunuh. Akan tetapi Menak Srenggo berhasil melarikan diri.   Menak Srenggo adalah adik misan dari Adipati Menak Dibyo, adipati dari Nusabarung, ayah kandung Bandupati dan Sariwuni. Dan memang dia bersama Retno Sami dahulu sengaja menyelundup sebagai orang-orang taklukan ke Puger untuk memata-matai dan menghancurkan Puger dari dalam. Maka setelah Menak Srenggo berhasil meloloskan diri dari Puger, dia langsung saja kembali ke Nusabarung untuk membantu kakak misannya memusuhi Puger.   "Raden, kita harus cepat bertindak! Pihak musuh telah mengirim pasukan yang besar jumlahnya, dipimpin oleh Puteri mantu Sang Adipati sendiri! Kalau kita berhasil menghancurkan pasukan ini, maka kita dapat terus menyerbu ke Puger, karena sekali ini pihak Puger mengerahkan seluruh kekuatan kepada pasukannya ini."   "Besar sekalikah jumlah pasukan mereka?" tanya Bandupati dengan jantung berdebar tegang.   "Kurang lebih dua kali lipat dari jumlah pasukan kita, Raden. Akan tetapi, semangat mereka sudah runtuh sedangkan semangat anak buah pasukan kita sedang berkobar."   "Kita tidak perlu takut, suamiku akan menghancurkan nyali mereka setelah berhasil merobohkan semua senopatinya. Kakangmas Bromatmojo, sekali ini kami benar-benar mengharapkan bantuanmu," kata Sariwuni dengan sikap manja.   "Jangan khawatir, aku akan menghadapi semua senopati mereka. Akan tetapi apakah tidak ada jalan lain untuk menghentikan perang ini? Bagaimana kalau berdamai saja dan secara baik-baik Kakang Bandupati melamar puteri Adipati Puger? Bukankah dengan demikian, Puger dan Nusabarung menjadi keluarga dan dapat hidup dalam perdamaian?"   "Wah, mana bisa mereka menerima itu sebelum mereka dikalahkan!" kata Bandupati, sedangkan Menak Srenggo yang merasa sakit hati sekali terhadap Puger juga diam-diam tidak setuju dengan usul perdamaian itu.   "Puger selalu menghina Nusabarung, kalau sekali ini tidak dipukul hancur, selamanya tentu akan memandang rendah Nusabarung. Padahal, Nusabarung memiliki orang-orang sakti mandraguna, akan cemarlah nama kita sebagai orang-orang gagah kalau sampai harus tunduk kepada Kadipaten Puger tanpa menunjukkan kegagahan kita."   Sutejo hanya menarik napas panjang dan Menak Srenggo bersama Bandupati segera meninggalkan ruangan itu untuk mengatur barisan. Menak Srenggo yang merupakan ahli perang itu mengatur pasukannya yang hanya setengah jumlah pasukan musuh dengan gaya barisan Kala Kroda yang membentuk seperti seekor kalajengking sedang marah. Seperlima bagian pasukan menjadi kepala kalajengking yang menyambut musuh dari depan, lalu masing-masing seperlima bagian lagi membentuk bagian sapit kalajengking yang akan menyerang dari kanan kiri, kemudian sisanya, yang dua perlima bagian bersembunyi di atas pohon-pohon dengan busur dan anak panah lengkap. Mereka ini diumpamakan bagian ekor yang mengandung sengatan kalajengking yang menyerang musuh dari atas secara menggelap.   Bagian kepala dipimpin langsung oleh Sutejo yang diharapkan akan dapat langsung menghadapi para senopati lawan dan merobohkan mereka, bagian kedua capit kanan kiri dipimpin masing-masing oleh Sariwuni dan Bandupati, sedangkan bagian ekor yang bersembunyi di pohon-pohon dan di balik semak-semak dipimpin oleh Menak Srenggo. Demikianlah, dalam keadaan segar setelah beristirahat dan makan kenyang, penuh semangat karena sudah mengalami dua kali kemenangan, pasukan Nusabarung siap menanti kedatangan musuh.   Lewat tengah hari, pasukan Puger sudah mulai tiba di daerah pantai yang berhutan itu. Debu mengebul tinggi diterjang kuda dan manusia yang berbondong datang menyerbu ke dusun yang menjadi markas besar pasukan Nusabarung. Setibanya di depan pintu gerbang dusun yang terjaga ketat itu, dalam jarak puluhan meter, pasukan Puger berhenti. Sulastri yang berpakaian pria, bersama Joko Handoko, Roro Kartiko, Padas Gunung, Pragalbo dan empat orang anak buah Sriti Kencana, telah meloncat turun dari atas kuda masing-masing dan berdiri dengan berjajar siap untuk menghadapi musuh. Sulastri memberi isyarat kepada Pragalbo. Demit Kinang yang berkulit hitam ini, meludahkan air sirih yang merah ke atas tanah, kemudian mengangkat dada dan mengeluarkan bentakan yang amat nyaring, ditujukan ke arah dusun yang menjadi benteng musuh, suaranya bergema sampai jauh.   "Haiiii...! Orang-orang kasar dari Nusabarung! Keluarlah untuk menerima kematian!"   Baru saja gema suara ini lenyap, terdengar sorak-sorai gegap-gempita dan dari dalam pintu gerbang dusun yang tiba-tiba terbuka, berbondong-bondong menyerbulah pasukan Nusabarung yang sepak terjangnya seperti gerombolan raksasa ganas dan buas itu. Pasukan yang buas ini dipimpin oleh seorang pemuda yang bukan lain adalah Sutejo, yang kelihatan menyolok sekali di antara gerombolan raksasa itu karena berbeda sekali dengan mereka yang bersorak dan bergerak dengan liar, pemuda ini nampak tenang dan halus gerak-geriknya.   "Lihat, itulah dia, Mbakayu...!" Roro Kartiko berseru, akan tetapi Sulastri memang telah melihatnya dan dara ini berdiri dengan muka pucat sekali, kedua kakinya menggigil dan jantungnya berdebar tegang. Tak salah lagi, itulah Sutejo! Akan tetapi, dia melihat Sutejo mulai mengamuk dan dengan kedua tangan dan kaki, tanpa mempergunakan senjata, pemuda itu mulai menampar dan menendangi para perajurit Puger, sedangkan para perajurit Nusabarung juga sudah menyerbu bagaikan harimau-harimau buas, dengan pekik-pekik dan gerengan-gerengan dahsyat, ke tempat mereka berdiri. Timbullah kemarahan di hati Sulastri yang tadinya tersentuh keharuan hatinya melihat Sutejo. Dia pun bergerak dan mengamuk, di samping "suaminya" yaitu Joko Handoko, Roro Kartiko dan teman-teman lain. Terjadilah perang campuh yang kacau balau, tidak memilih lawan, sehingga agak sukar bagi Sulastri untuk dapat mendekati Sutejo. Namun dia merobohkan setiap orang penghalang dalam usahanya mendekati pemuda yang kini menjadi senopati lawan itu. Hal ini tidaklah mudah karena para perajurit Nusabarung benar-benar merupakan manusia-manusia raksasa yang sepak terjangnya seperti segerombolan binatang buas, yang bertempur dengan nekat dan kasar sekali.   Pada saat itu, terdengar sorak-sorai dari arah kanan dan kiri, dan ternyata muncul pasukan-pasukan dari kanan kiri yang tadinya sudah bersembunyi di luar dusun yang kini menghimpit pasukan Puger untuk membantu pasukan yang dipimpin oleh Sutejo itu. Melihat siasat lawan ini, Padas Gunung segera membunyikan tanda untuk memecah pasukannya menjadi barisan segitiga yang menghadap ke depan, kanan dan kiri. Mendengar isyarat ini, para perwira yang memimpin pasukan-pasukan kecil masing-masing lalu cepat memberi aba-aba dan berubahlah gerakan pasukan Puger, terpecah menjadi tiga sehingga perang campuh terjadi di tiga bagian dengan hebatnya.   Biarpun jumlah pasukan pihak Nusabarung jauh kalah banyak, akan tetapi karena sepak terjang mereka yang nekat, berkelahi penuh semangat seperti harimau-harimau kelaparan, maka perang campuh itu hebat dan seru sekali. Setiap orang perajurit Nusabarung menghadapi pengeroyokan dua tiga orang lawan, namun mereka itu berkelahi seperti raksasa mabok, tidak mempedulikan keselamatan diri sendiri sehingga menggiriskan pihak Puger.   Akhirnya Sulastri dan suaminya serta adik iparnya dapat berhadapan dengan Sutejo! Kini Sutejo telah bergabung dengan isterinya, yaitu Sariwuni, dan Bandupati. Melihat Roro Kartiko, Bandupati segera berteriak kepada para perajurit yang mengeroyok, "Jangan bunuh dara itu, jangan lukai dia! Tangkap hidup-hidup!"   "Kakangmas Sutejo...!" tiba-tiba Roro Kartiko menjerit ketika berhadapan dengan Sutejo.   Orang muda itu kelihatan terkejut dan memandang dengan mata terbelalak. "Sutejo...? Aku... aku mengenal nama itu..."   "Ah, Kakangmas Sutejo, apakah Andika tidak ingat lagi kepada Mbakayu Sulastri?" kembali Roro Kartiko berseru dan Sulastri yang kini tak dapat menahan dua titik air mata membasahi pipinya, mengambil sikap tidak perduli dan merobohkan seorang raksasa Nusabarung dengan tamparan Hasto Nogo tangan kirinya.   "Dessss...!" Raksasa itu terguling dan tak dapat bangkit kembali karena kepalanya sudah pecah.   "Sulastri? Dia isteriku... eh, Sulastri, apa yang dikatakan wanita ini? Apa artinya ini?" Sutejo memandang kepada Sariwuni yang cepat mendekatinya.   "Kakangmas Bromatmojo, jangan dengarkan dia, jangan pedulikan mereka. Hantam terus, hancurkan musuh Nusabarung!"   Kini pihak Sulastri dan dua orang kakak beradik itu yang terkejut bukan main. Sutejo disebut Bromatmojo oleh Sariwuni, dan Sariwuni disebut Sulastri oleh Sutejo. Apa artinya itu? Apakah Sutejo sudah gila, ataukah mereka yang linglung?   "Dimas Sutejo, apakah artinya ucapan Andika itu?" Joko Handoko membentak marah. "Diajeng Sulastri itulah Bromatmojo, dan...!" Akan tetapi dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena dia sudah diterjang oleh Bandupati yang berteriak nyaring.   "Plak-plak-plak...!" Tiga kali Bandupati menyerang dan tiga kali pula Joko Handoko menangkis, akan tetapi Joko Handoko terhuyung saking kuatnya serangan yang dilakukan oleh Bandupati. Mereka segera bertanding dengan hebat dan mati-matian, menggunakan keris masing-masing dan segera terpisah dari yang lain.   Sutejo makin bingung. Dia memandang kepada Sulastri, kemudian kepada Roro Kartiko, dan kepada Sariwuni. "Aku... akulah Bromatmojo dan isteriku ini Sulastri... kalian bicara apakah...?"   Sulastri tidak dapat menahan kemarahannya lagi. "Keparat yang menjadi pengkhianat! Engkau tidak mengenal lagi Bromatmojo atau Sulastri? Baiklah, akan tetapi tentu engkau mengenal ini!" Dan langsung dia menggunakan gerakan Turonggo Bayu, secepat kilat tubuhnya sudah meluncur dan tangannya menyambar ke arah kepala Sutejo dengan pukulan Hasto Nogo yang amat dahsyat!   "Syuuuuuuttt... duk-duk-desss...!!"   Sutejo dapat menangkis dan pertemuan kedua lengan terakhir sedemikian hebatnya sehingga tubuh mereka terpental ke belakang dan agak terhuyung, Sulastri merasa betapa seluruh tubuhnya tergetar. Dia maklum bahwa memang dalam hal kesaktian, dia masih kalah setingkat oleh pemuda itu. Akan tetapi perasaan sakit hati dan marah membuat dia nekat dan dia sudah menerjang lagi sambil berseru, "Engkau atau aku yang akan mati saat ini!" Dan dia sudah menggerakkan tubuhnya dengan cepat, menyerang dengan Aji Hasto Bairowo yang amat dahsyat. Sutejo dengan bingung dan bimbang menandinginya, akan tetapi lebih banyak menangkis atau mengelak daripada menyerang. Juga berkali-kali dia meneriaki Sariwuni dan Bandupati agar jangan membunuh lawan mereka. Dia merasa bingung, merasa seperti mengenal tiga orang lawan ini, akan tetapi tidak dapat mengingat lagi kapan dan di mana. Dia makin bingung mendengar nama Sutejo!   "Sulastri, jangan bunuh dia...! Kakang Bandupati, jangan membunuh dia, aku seperti... seperti mengenal mereka dengan baik...!" Berkali-kali dia berteriak sambil tetap menghadapi Sulastri yang menyerangnya dengan mati-matian. Mendengar ini, Sulastri menjadi makin marah. Kiranya Sutejo telah menikah dengan wanita cantik itu, dan wanita itu bernama... Sulastri! Ataukah hanya berpura-pura bernama Sulastri? Buktinya, Sutejo kini beralih nama menjadi... Bromatmojo!   "Tak perlu pura-pura dan banyak cakap, kau jahanam busuk!" bentaknya dengan suara nyaring dan dia sudah menerjang lagi dengan hebat.   "Wuuuttt... dessss!" Biarpun Sutejo sudah berusaha menangkis, namun pukulan itu sedemikian hebatnya sehingga tetap saja pundak Sutejo kena pukulan Hasto Nogo sehingga dia terlempar dan terbanting.   "Kakangmas Bromatmojo...!" Sariwuni menjerit dan meninggalkan lawannya, menubruk ke arah suaminya. Namun Sutejo yang memiliki kedigdayaan luar biasa itu hanya merasa pening saja dan dia sudah meloncat bangkit kembali.   Jilid 71   "Mari kita mundur saja...!" Sutejo berkata, "Mereka... mereka itu..." Dia bingung dan pada saat itu, Sulastri yang melihat Sutejo berangkulan mesra dengan Sariwuni yang menolongnya, sudah menerjang lagi dengan dahsyat dan dengan hati yang amat panas.   "Desss...!" Sutejo menangkis dan keduanya terpental. Sariwuni juga terpaksa harus melawan lagi Roro Kartiko yang sudah menerjangnya dengan keris di tangan. Pertempuran berlangsung terus dengan hebatnya.   Kini pihak Nusabarung mulai terdesak juga karena memang kalah banyak. Akan tetapi tiba-tiba terdengar teriakan mengerikan dan banyak perajurit Puger roboh disambar anak panah dari atas. Itulah ekor atau sengat kalajengking yang sudah mulai bergerak! Barisan yang bersembunyi di atas pohon-pohon dan di balik semak-semak telah mulai bergerak menghujankan anak panak ke arah para perajurit Puger. Karena mereka itu bersembunyi di atas pohon, maka mereka yang memang terdiri dari ahli-ahli panah itu dapat menujukan anak-anak panah mereka ke arah tubuh para perajurit musuh. Tentu saja bantuan yang tak tersangka-sangka ini membuat pasukan Puger menjadi panik dan mereka terpaksa harus menggunakan perisai untuk melindungi diri dari serangan anak panah dari atas. Dan dengan cara begini, tentu saja mereka menjadi kurang kuat untuk menghadapi serangan lawan yang berdepan. Maka mulailah pasukan Puger terdesak dan banyak jatuh korban.   Melihat keadaan ini, Sulastri dan kawan-kawannya menjadi khawatir juga. Sulastri merasa makin jengkel karena dia masih belum berhasil merobohkan Sutejo, sedangkan Roro Kartiko yang dibantu oleh Ayu Kunti dan Ambar, dua orang anak buah Sriti Kencana, dan Joko Handoko yang dibantu oleh Tarmi dan Cempaka, dua orang anak buah Sriti Kencana lainnya, juga belum berhasil menjatuhkan Sariwuni dan Bandupati. Bahkan Joko Handoko dan dua orang anak buahnya mulai terdesak oleh Bandupati yang amat tangguh itu dan baru setelah Padas Gunung turun tangan membantu, Bandupati menjadi berbalik kena didesak dan terpaksa dibantu oleh dua orang pengawalnya. Juga Pragalbo masih bertanding melawan Menak Srenggo yang sudah turun dari atas pohon dan membantu putera dan puteri adipati itu.   Melihat betapa pasukannya mulai terdesak hebat, Pragalbo cepat berlari ke belakang, menyelinap di antara perajurit-perajurit meninggalkan Menak Srenggo dan membunyikan tanda untuk menarik mundur pasukannya. Akan tetapi tiba-tba Sulastri meloncat dan merampas terompet yang ditiupnya.   "Kita melawan terus, Paman, sampai titik darah terakhir!" kata Sulastri dan dia langsung menerjang Sutejo lagi dengan kemarahan yang sudah meluap-luap! Pragalbo tercengang, bingung akan tetapi terdengar suara ketawa dan Menak Srenggo telah menerjangnya lagi.   "Ha-ha, Pragalbo, wanita itu lebih gagah daripadamu yang takut mampus. Ha-ha, bersiaplah untuk mati dan kucekik lehermu!"   "Manusia rendah, pengkhianat terkutuk!" Pragalbo membentak dan dia pun melawan dengan hebatnya. Kini tidak ada lagi sekelumit pun niat di hatinya untuk mundur.   Akan tetapi sekali ini benar-benar pihak Puger terdesak dan terhimpit. Korban yang jatuh makin banyak dan semangat bertempur mereka pun mulai menurun, berbeda dengan semangat bertempur pihak Nusabarung yang makin menggelora. Agaknya, sebelum senja terganti malam, pasukan Puger sudah akan dapat dihancurkan dan dibinasakan sebagian besar perajuritnya dan mereka akan terpaksa melarikan diri atau menyerah, matahari telah condong ke barat namun perang campuh itu masih berlangsung terus. Debu mengebul tinggi memenuhi udara bercampur dengan pekik dan sorak mereka yang mengantar nyawa mereka yang tewas dalam perang yang haus darah itu. Mereka itu seperti bukan manusia lagi, melainkan sekelompok binatang buas yang haus darah. Darah berceceran di mana-mana, kilatan keris, pedang dan tombak yang berlumur darah menyilaukan mata, peluh bercucuran bersama dengan darah, dan sinar mata yang mencorong penuh nafsu membunuh sungguh mengerikan untuk dipandang. Yang ada hanyalah membunuh atau terbunuh inilah yang membuat mereka menjadi nekat. Naluri untuk menyelamatkan diri bercampur dengan nafsu untuk menang, yang membuat manusia lupa akan segala sesuatu, membuat manusia menjadi kejam luar biasa. Yang penting hanya menang, menang, dan untuk mencapai kemenangan itu, membunuh sesama manusia bukan apa-apa, bahkan merupakan hal yang terhormat dan tinggi nilainya! Itulah "kebudayaan" perang dan celakanya, kebudayaan macam ini menjadi bagian penting dari "peradaban" manusia!   Kini kedua pihak sudah sama lelah sehingga teriakan-teriakan tidak bergitu terdengar lagi. Yang meramaikan suasana hanyalah bunyi dencing bertemunya senjata-senjata dibarengi dengus napas mereka dan kadang-kadang diseling teriakan mengerikan kalau ada manusia yang roboh dan tewas. Pihak Puger makin terdesak.   Pertempuran antara Sulastri dan Sutejo juga nampak perubahan ketika Sutejo mempercepat gerakannya. Dalam benturan tenaga sakti, Sutejo mengeluarkan suara bentakan nyaring dan Sulastri terpental sampai beberapa meter lalu roboh terbanting. Melihat ini, Sariwuni yang sejak tadi mendesak Roro Kartiko namun belum berhasil mengalahkannya karena dara ini dibantu dua orang, cepat meloncat dan mengayun kerisnya menikam ke arah leher Sulastri. Sariwuni yang menyaksikan sikap Sutejo kini diam-diam mengerti bahwa gadis berpakaian pria inilah yang selalu disebut-sebut oleh suaminya. Pantas saja suaminya yang baru sekarang diketahui bernama Sutejo itu hanya mengenal dua nama, yaitu Sulastri dan Bromatmojo, yaitu nama dari dara itulah! Baru dia dapat menduga akan duduknya perkara. Tentu "ada apa-apa" antara suaminya dan dara berpakaian pria yang sakti mandraguna itu, maka kini melihat Sulastri roboh, dia sudah menerjang untuk membunuhnya.   "Isteriku, jangan...!" Sutejo melompat dan cepat menangkis tusukan itu. Lengannya berdarah karena kulitnya lecet oleh tusukan keris Sariwuni, akan tetapi Sulastri lolos dari bahaya maut. Dara ini sudah meloncat lagi, mukanya pucat dan matanya memandang dengan kemarahan meluap-luap. Akan tetapi dia tidak merasa bahwa ada dua titik air mata menempel di atas kedua pipinya, di bawah mata.   Pada saat tentara Puger terdesak hebat, tiba-tiba terdengar sorak-sorai gegap gempita dan nampaklah pasukan baru yang datang menyerbu, langsung menyerang pasukan Nusabarung! Itulah pasukan bantuan dari Lumajang yang dipimpin oleh Maeso Pawagal! Seperti kita ketahui, melihat Sulastri meninggalkan Lumajang dan mendengar betapa Puger diserang oleh Nusabarung, Sang Adipati di Lumajang lalu mengutus Maeso Pawagal, seorang senopatinya, untuk memimpin seribu orang perajurit pilihan dan pergi ke selatan membantu Puger. Ketika tiba di Puger, Maeso Pawagal mendengar bahwa bala tentara Puger telah menyerang ke selatan, maka dia segera membawa pasukannya mengejar. Akhirnya, menjelang senja itu, dia tiba di pesisir dan melihat betapa pasukan Puger sedang terdesak hebat, maka dia lalu mengerahkan pasukannya untuk menyerbu. Kini gemparlah keadaan di medan perang itu dan pasukan Nusabarung menjadi panik.   Kekuatan pasukan Lumajang masih segar dan tentu saja bantuan pasukan Lumajang ini membangkitkan kembali semangat pasukan Puger yang tadi sudah terdesak dan terhimpit itu. Sebaliknya, pasukan Nusabarung menjadi geger dan nyali mereka menyempit. Melihat gelagat yang tidak baik ini, apalagi karena senja telah mulai gelap, Menak Srenggo cepat membunyikan tanda untuk menarik mundur tentaranya. Mereka segera mundur dan lari berserabutan ke laut, di mana telah siap perahu-perahu mereka. Mereka berloncatan ke dalam perahu, dikejar-kejar oleh pasukan Puger dan Lumajang, meninggalkan mereka yang tewas dan terluka. Juga Sutejo, Sariwuni, dan Bandupati telah lebih dulu mengundurkan diri dan kembali ke Nusabarung. Sekali ini, biarpun tadinya pihak Nusabarung telah hampir merebut kemenangan, akhirnya mereka harus mengakui kekalahan karena bantuan dari Lumajang itu.   "Keparat! Aku akan membujuk Kakang Adipati Menak Dibyo untuk sewaktu-waktu menyerbu dan menghajar Lumajang!" Menak Srenggo mengepal tinjunya di atas perahu ketika luka di paha kirinya dirawat oleh seorang ahli pengobatan.   Sementara itu, Sutejo duduk termenung di perahu, membiarkan saja isterinya merangkulnya. Dia masih bingung dan betapapun dia memutar otaknya, dia tidak dapat mengingat siapa adanya tiga orang muda yang menjadi senopati Puger tadi. Dia merasa sudah mengenal baik dengan mereka itu, terutama sekali gadis berpakaian pria yang gagah perkasa tadi. Ada sesuatu yang aneh tergerak di dalam dadanya ketika dia bertemu dan bertanding dengan dara itu, sesuatu yang menyentuh perasaan dan amat mengharukan hatinya. Akan tetapi juga membuat dia bingung sekali. Apalagi mendengar nama Sutejo disebut orang, dia menjadi makin bingung karena nama ini pun amat dikenalnya!   "Kakangmas, mereka itu menggunakan ilmu hitam untuk membikin bingung padamu. Sudahlah, jangan memikirkan mereka lagi. Untuk kekalahan ini, Ayah tentu akan membalas dendam." Sariwuni menghibur, biarpun hatinya sendiri merasa tidak enak, penuh dengan kegelisahan dan rasa cemburu mengingat akan sikap suaminya terhadap dara berpakaian pria tadi.   Akan tetapi Sutejo diam saja dan menghadapi belaian dan rayuan wanita yang dianggapnya Sulastri dan yang menjadi isterinya itu dengan sikap dingin. Perahu-perahu itu membawa perajurit-perajurit Nusabarung, melaju karena layar-layarnya menerima hembusan angin sepenuhnya menuju ke Nusabarung. Hampir sepertiga jumlah pasukan mereka menjadi korban dalam perang itu.   Biarpun pihaknya sendiri mengalami banyak korban yang jatuh, namun pasukan Puger kembali ke Puger dengan hati besar. Sang Adipati lalu mengadakan pesta untuk menghormati kedatangan pasukan Lumajang yang membantu dan untuk merayakan kemenangan. Beginilah perang! Perang dikobarkan oleh manusia yang memperebutkan kemenangan, karena kemenangan dianggap sebagai jalan menuju ke kemuliaan dan kesenangan. Demikian kejamnya perang, kejam dan palsu. Manusia menjadi tidak ada artinya sama sekali, dipermainkan oleh nafsu-nafsu beberapa orang yang berada di atas yang menghendaki kemenangan di pihaknya karena kemenangan ini akan memperkuat kedudukannya, akan mempertahankan kemuliaan dan kehormatannya, akan menjamin keselamatan dan kesenangannya. Dan untuk itu, semua rakyat dikerahkan untuk saling bunuh dengan musuh, yaitu manusia-manusia lain yang dianggap menghalangi kesenangannya atau membahayakan kedudukannya. Dan kalau perang sudah selesai, kemenangan dirayakan dengan pesta pora. Perajurit-perajurit yang masih hidup diberi hadiah, sekedar hiburan. Yang sakit dirawat dan diberi hadiah pula, sekedar hiburan. Yang mati akan dihormati namanya dan diingat untuk suatu saat tertentu, sekedar hiburan. Mereka ini hanya alat cukup dipelihara sekedarnya agar sewaktu-waktu dapat dipergunakan lagi apabila perlu. Dan yang benar-benar merayakan kemenangan ini adalah mereka yang benar-benar menang, mereka yang dapat mempertahankan kedudukan dan kesenangan bagi diri sendiri. Penderitaan rakyat atau para perajurit hanya diingat sewaktu-waktu saja, lalu dilupakan. Para keluarga perajurit yang tewas, kehilangan suami, ayah atau anak, dan sebagai gantinya menerima sekedar hiburan itu, juga hiburan batin bahwa mereka mengorbankan nyawa ayah, suami atau anak demi ini, demi itu yang muluk-muluk. Akan tetapi, betapa banyaknya di keheningan malam di kala mereka merindukan dia yang telah "gugur sebagai bunga", mereka bertanya-tanya kepada diri-sendiri mengapa terjadi ini semua? Mengapa nyawa manusia dikorbankan secara demikian sia-sia? Dapatkah kebahagiaan diperoleh dengan cara saling sembelih? Dapatkah kebenaran diraih dengan cara saling bunuh? Hati nurani bertanya-tanya. Mengapa kita suka perang? Mengapa kita suka bermusuhan? Mengapa kita membenci?   Semua orang mengatakan ingin damai. Semua orang mengatakan ingin baik. Semua orang mengatakan ingin bersahabat, ingin dicinta. Betapa mungkin bicara tentang damai kalau kita masih suka bermusuhan? Hentikan permusuhan dan tanpa dicari perdamaian pun akan muncul. Betapa mungkin bicara tentang kebaikan kalau kita masih suka melakukan kejahatan. Hentikan perbuatan jahat dan tanpa dicari lagi kebaikan pun akan timbul. Yang penting adalah meneliti diri sendiri, mengenal diri sendiri, mengerti diri sendiri. Hal ini baru mungkin terlaksana kalau kita mengawasi diri sendiri setiap saat, memandang dan mendengarkan segala gerak-gerik diri sendiri lahir batin setiap saat, mengamati jalan pikiran sendiri, suara hati sendiri, sehingga akan nampaklah semua kepalsuan dan kebusukan diri sendiri. Kita selalu ingin merubah kedudukan, padahal keadaan itu adalah kenyataan, sedangkan keinginan merubah itu hanyalah khayal belaka. Kita pemarah, akan tetapi kita ingin menjadi penyabar. Mana mungkin ini? Nanti hanya akan muncul paksaan, sabar pura-pura dan palsu, dan itu bukanlah sabar namanya. Kesabaran akan ada kalau kemarahan sudah tidak ada. Jadi yang penting bukan mengkhayalkan kesabaran yang tidak ada, melainkan mempelajari kemarahan yang berada di dalam batin sendiri itulah! Aku marah! Aku adalah kemarahan itu sendiri adalah pikiran, dan pikiran adalah kemarahan itu sendiri. Kemarahan timbul karena pikiran mengingat-ingat hal yang merugikan Si aku lahir batin. Si aku juga Si pikiran itulah, pikiran membentuk aku dan kalau aku dirugikan, maka aku menjadi kemarahan!   Aku marah, kemarahan itu tiada bedanya dengan aku, Si pikiran. Lalu aku tidak marah, pikiran yang sesungguhnya adalah kemarahan itu ingin lain, ingin sabar, ingin tidak marah. Mana mungkin? Sebaliknya tanpa ingin apa-apa, hanya mengamati diri-sendiri, yaitu kemarahan itu, maka kita akan mengenal diri sendiri. Pengenalan diri sendiri ini akan menimbulkan kewaspadaan dan pengertian, dan mendatangkan perubahan yang tidak dipaksakan oleh Si aku, yaitu pikiran itu sendiri pula. Kalau sudah terjadi perubahan, kalau sudah tidak ada kemarahan, maka tidak lagi dibutuhkan kesabaran yang dicita-citakan itu tadi.   Demikian pula dengan perdamaian. Perdamaian yang dicita-citakan hanyalah permainan dari pikiran, permainan dari Si aku yang sedang berada dalam keadaan perang. Dalam keadaan perang mengkhayalkan perdamaian adalah omong kosong besar. Perang di dunia merupakan bentrokan keinginan yang berbeda-beda dan berlawanan dari bangsa-bangsa, dan bangsa-bangsa adalah masyarakat-masyarakat, dan masyarakat adalah kita, saya dan anda dan dia. Selama kita menjadi hamba dari keinginan-keinginan kita, mengejar keinginan yang diperluas dengan sebutan cita-cita dan sebagainya, maka sudah pasti akan terjadi bentrokan-bentrokan, konflik-konflik yang berupa bentrokan antar manusia, kemudian bentrokan antar ras, antar kelompok, antar suku, kemudian antara bangsa dan antara negara, juga antara agama dan politik! Hal ini sudah jelas sekali bagi siapa yang sudi membuka mata dan telinga dan tidak menutup mata terhadap kenyataan, lalu hanya ikut-ikutan saja kepada ajaran-ajaran lapuk yang diulang-ulang.   Di Puger sedang dirayakan pesta, tentu saja mereka yang pulang dengan badan utuh saja yang dapat bersenang-senang. Mereka yang terluka rebah merintih di atas pembaringan, ditangisi sanak keluarganya. Mereka yang tewas dan bahkan jenazahnya saja tidak dapat dibawa pulang, juga hanya tinggal nama yang diratap tangisi oleh anak isterinya.   Sulastri juga menangis. Sepanjang perjalanan pulang ke Puger, dia sudah menangis dan kini dia menangis di dalam kamarnya. Semua ucapan hiburan dari Roro Kartiko tidak didengarnya dan dia masih menangis terisak-isak. Hatinya sakit bukan main. Sutejo telah berpihak kepada Nusabarung! Bukan itu saja. Sutejo tidak lagi mengenalnya atau mungkin memang tidak lagi sudi mengenalnya! Dan lebih dari itu lagi. Sutejo memanggil isterinya itu dengan Sulastri, yaitu namanya, bahkan Sutejo menggunakan nama Bromatmojo! Bukankah semua itu ditujukan untuk mengejeknyam untuk memukul batinnya? Sakit sekali hatinya!   "Sudahlah, Mbakayu, jangan terlalu berduka. Saya yakin bahwa tentu ada apa-apa yang luar biasa terjadi pada diri Kakangmas Sutejo. Kalau tidak begitu, tidak mungkin rasanya dia bersikap seaneh itu. Mbakayu Sulastri," Roro Kartiko berkata untuk ke sekian kalinya, akan tetapi Sulastri hanya menggeleng kepala sambil sesenggukan, bahkan menjambaki rambutnya sendiri seperti seorang anak kecil yang mengambek.   Dengan air mata membasahi kedua matanya Roro Kartiko lalu meninggalkan Sulastri seorang diri dan diam-diam dia mendatangi Kakaknya, Joko Handoko yang juga sedang duduk bermuram durja dan termenung di dalam kamarnya.   "Kakangmas, kasihan sekali Mbakayu Sulastri. Tak dapat aku menghiburnya..." Roro Kartiko menangis.   Joko Handoko menarik napas panjang. "Aku tahu, Adikku, aku tahu..., memang terlalu sekali Dimas Sutejo...."   "Jangan menyalahkan dia, Kakangmas. Aku tidak percaya bahwa Kakangmas Sutejo akan sengaja bersikap seperti itu. Tentu ada apa-apanya, ada rahasianya... dan aku akan pergi menyelidiki ke sana, Kakangmas."   "Tidak, jangan, Diajeng. Akulah yang akan pergi menyelidiki ke sana dan mengingatkan Adimas Sutejo. Sebelum kau datang memang aku sudah merencanakan itu. Aku harus melakukan itu demi Sulastri..."   "Tidak, aku harus pergi juga. Kakangmas, lupakah kau siapa adanya orang yang kucinta sepenuh hatiku di dunia ini? Selain engkau dan Mbakayu Sulastri, aku... aku hanya dapat mencinta seorang pria saja di dunia ini...."   Joko Handoko menunduk. "Hemm, sungguh kasihan sekali engkau, Adikku. Kenapa nasib kita serupa benar? Engkau mencinta Sutejo dan aku mencinta Sulastri, akan tetapi mereka berdua tidak dapat membalas cinta kita karena mereka itu saling mencinta. Apalagi yang dapat kita lakukan untuk membalas budi mereka itu selain mempertemukan mereka? Marilah, Adikku, mari kita pergi bersama."   "Kita harus menyamar sebagai Sriti Kencana dan mengajak empat orang pembantu kita yang paling setia, yaitu Ayu Kunti, Ambar, Tarmi dan Cempaka. Urusan ini harus dilakukan dengan sembunyi. Kalau kita berhasil menyelundup ke Nusabarung dan dapat bertemu dengan Kakangmas Sutejo, aku rasa dia tidak akan melupakan kita. Tadi pun sikapnya terhadap kita sudah menunjukkan bahwa dia masih ingat kepada kita."   "Baik Adikku, mari kita mengadakan persiapan."   "Demikianlah, tanpa diketahui seorang pun, kakak beradik ini bersama empat orang anak buahnya, mengenakan pakaian Sriti Kencana dan mereka berenam lalu lolos dari Puger, meninggalkan orang-orang yang masih dalam suasana pesta kemenangan itu, menuju ke selatan. Tak lama kemudian, enam orang yang berpakaian serba hitam ini sudah berlayar dalam sebuah perahu kecil menuju ke Nusabarung. Untung bagi mereka bahwa ombak laut di waktu itu sedang surut sehingga mereka dapat berlayar tanpa banyak kesukaran. Bulan sepotong di langit menerangi permukaan laut dan mereka dapat melihat Pulau Nusabarung yang seperti seekor ikan raksasa sedang timbul di permukaan air, kelihatan menyeramkan.   Sementara itu, Sulastri yang ditinggalkan seorang diri di dalam kamarnya, menangis sepuas hatinya. Makin dia mengenangkan Sutejo, makin hancurlah hatinya, membuat hatinya merasa merana dan lenyaplah segala harapannya. Selama ini, masih ada sedikit harapan yang bernyala semacam dian kecil di hatinya bahwa sekali waktu dia akan dapat bertemu dengan pemuda itu dan mungkin segala hal akan dibikin terang. Selama ini dia merasa betapa telah bersikap terlalu terburu nafsu terhadap Sutejo. Kini dia dapat menduga apa yang telah terjadi di puncak Bromo. Mengingat akan watak Sutejo yang sudah-sudah, memang tidaklah mungkin kalau pemuda itu melakukan pembunuhan terhadap Gurunya. Tentu semua itu adalah perbuatan Resi Harimurti dan dia merasa gembira bahwa dia telah dapat membalas kematian Gurunya dan telah berhasil membunuh Resi Harimurti. Mengapa dia tidak pernah mau mendengarkan pembelaan diri dan penjelasan Sutejo?   Akan tetapi, pertemuannya dengan Sutejo sebagai senopati Nusabarung ini menghapus semua harapan, memadamkan sedikit api harapannya. Sutejo telah menikah dengan puteri Adipati Nusabarung! Bahkan Sutejo telah mengejek dan mempermainkannya, dengan menggunakan namanya, nama aselinya yang diberikan kepada isterinya dan nama samarannya dipakainya sendiri! Betapa anehnya!   Sulastri bangkit duduk, teringat kepada Roro Kartiko. Dia menoleh ke sana-sini mencari-cari, namun tidak melihat Roro Kartiko. Roro Kartiko tadi menghiburnya dan menyatakan berkali-kali bahwa tentu ada tersembunyi rahasia yang membuat Sutejo bersikap demikian tidak wajar. Tidak wajar? Memang! Kini dia teringat akan pandang mata pemuda itu. Memang ada sesuatu yang aneh pada pemuda itu. Ada sesuatu yang tidak wajar, seolah-olah Sutejo menjadi berubah wataknya, berubah ingatannya, seperti orang lupa segala. Dia tahu, dalam perang tanding siang tadi, kalau Sutejo menghendaki, tentu dia sudah roboh dan tewas oleh pemuda yang amat sakti mandraguna itu. Sutejo banyak mengalah dalam pertandingan tadi, bahkan Sutejo menyelamatkan dia ketika dia hendak dibunuh oleh Sariwuni! Apa artinya semua itu? Kini baru dia teringat bahwa dia tadi tidak pernah mempedulikan Roro Kartiko dan kini dia membutuhkan dara itu untuk diajak bicara tentang sikap Sutejo yang amat aneh itu.   Cepat dia turun dari pembaringan dan keluar dari kamar itu, mencari-cari Roro Kartiko. Akan tetapi di luar pun tidak ada. Dia lalu menuju ke kamar suaminya dan ternyata kamar itu pun kosong. Dia merasa heran dan hatinya mulai merasa curiga dan tidak enak. Apalagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa para anggauta Sriti Kencana yang paling dekat dengan kakak beradik itu pun tidak nampak. Akhirnya dia bertemu dengan Sriwanti, seorang di antara anak buah Sriti Kencana.   "Sriwanti, katakan, di mana adanya Kakangmas Handoko dan Diajeng Kartiko?" dia bertanya.   Sriwanti telah dipesan untuk tidak membocorkan kepergian enam orang itu, akan tetapi terhadap Sulastri tentu saja dia tidak berani menyangkal. Bukankah wanita ini adalah isteri Joko Handoko dan bahkan telah banyak berjasa terhadap Sriti Kencana sehingga tidak ada rahasia lagi baginya? Dengan sinar mata terheran-heran Sriwanti memandang wanita itu dan merasa heran mengapa isteri Joko Handoko sendiri sampai tidak tahu ke mana perginya rombongan Sriti Kencana itu.   "Mereka berdua telah pergi bersama Ambar, Tarmi, Cempaka, dan Ayu Kunti. Berpakaian sebagai Sriti Kencana, sudah sejak tadi...."   "Eh, ke mana mereka?"   "Hamba-hamba tidak diberi tahu, hanya dipesan agar tidak mengatakan kepada siapa pun akan kepergian mereka. Akan tetapi terhadap Paduka hamba tidak berani menyembunyikan. Hamba tidak tahu ke mana mereka pergi...."   Sulastri merasa terkejut sekali, alisnya berkerut dan dia termenung. Kemudian tiba-tiba dia teringat dan dia mengepal kedua tangannya, kemudian sekali berkelebat dia sudah lenyap dari depan Sriwanti, membuat wanita ini menjadi bengong dan kagum bukan main. Juga dia tidak mengerti mengapa kalau lain orang merayakan kemenangan perang itu, dua orang Gustinya dan wanita perkasa yang baru saja menghilang itu kelihatan sama sekali tidak gembira.   Sementara itu, enam orang Sriti Kencana yang telah berlayar dengan perahu menuju ke Nusabarung, telah berhasil mendarat di pulau itu. Untung bagi mereka bahwa keadaan pulau itu tidak terjaga terlalu kuat, bahkan para penjaga sudah pergi tidur karena selain mereka itu semua letih setelah melakukan perang selama beberapa hari ini, juga mereka mengira bahwa setelah terjadi perang itu, tidak mungkin pihak musuh akan dapat menyerbu, karena betapapun juga, pihak musuh telah kehilangan banyak korban dan juga tentu telah berada dalam keadaan letih sekali.   Enam orang itu mendarat dan menyembunyikan perahu, meninggalkan dua orang menjaga perahu agar mempersiapkan perahu kalau-kalau mereka nanti membutuhkan untuk melarikan diri dengan secepatnya. Kemudian Joko Handoko dan Roro Kartiko mengajak dua orang pembantunya, yaitu Ayu Kunti dan Cempaka yang memiliki kepandaian paling tinggi di antara empat orang anggauta Sriti Kencana, untuk menyelundup ke dalam pulau dan melakukan penyelidikan. Mereka berpencar menjadi dua, Roro Kartiko dan kakaknya membelok ke kiri dan kedua orang anggauta Sriti Kencana itu disuruh menyelidiki ke kanan dan mereka berjanji untuk kembali ke perahu sebelum fajar menyingsing.   Roro Kartiko dan Joko Handoko melakukan perjalanan cepat memasuki pulau itu, berlindung di kegelapan bayangan-bayangan pohon dan akhirnya mereka tiba di bangunan-bangunan besar di tengah pulau. Karena malam itu di atas Pulau Nusabarung terdapat awan yang bergumpal-gumpal sehingga sering kali bulan sepotong tidak nampak, maka keadaannya cukup gelap bagi dua orang yang berpakaian hitam ini untuk menyelinap tanpa dicurigai oleh para penjaga yang bermalas-malasan itu. Karena kegelapan itu, maka akhirnya tanpa banyak kesulitan mereka dapat menemukan gedung kadipaten yang cukup besar dan megah. Juga di tempat ini penjagaan tidak begitu ketat. Memang Kadipaten Nusabarung merupakan sebuah pulau, maka tentu saja tidak memerlukan penjagaan ketat di sekitar kadipaten karena musuh hanya bisa datang dari luar pulau, sedangkan di dalam pulau itu semua adalah perajurit atau anak buah Kadipaten Nusabarung.   Joko Handoko dan Roro Kartiko maklum bahwa kalau Sutejo telah menjadi mantu Adipati Nusabarung, maka dia tentu tinggal di dalam gedung kadipaten atau di dekatnya, maka mereka berdua lalu menyelinap ke dalam taman istana atau gedung besar kadipaten itu, lalu memasukinya melalui pintu belakang. Dengan kepandaian mereka, kedua orang kakak beradik ini akhirnya dapat mengintai ke dalam ruangan belakang di mana mereka melihat dua orang putera dan puteri Adipati Nusabarung, yaitu Bandupati dan Sariwuni, sedang sibuk bercakap-cakap dengan suara lirih.   "Sari, perlukah itu? Aku khawatir kalau terlalu banyak engkau memberi sari akar Lalijiwo kepada Dimas Bromatmojo, hal itu akan merusak kesehatannya kelak. Sudah lama dia menjadi suamimu, perlukah engkau dibantu oleh Lalijiwo lagi?"   "Kakang Bandu, melihat sikapnya di medan perang siang tadi, sungguh hatiku merasa khawatir sekali. Kiranya itulah wanita yang bernama Sulastri, dan agaknya nama Bromatmojo adalah nama samaran wanita itu pula! Dan nama Kakangmas Bromatmojo sesungguhnya adalah Sutejo! Ah, kalau dalam keadaan lupa segala dia masih teringat akan nama Sulastri dan nama samaran wanita itu, agaknya dahulu... dia amat mencinta Sulastri. Kini mereka saling berjumpa dan kulihat wanita itu memang selain cantik juga amat sakti mandraguna, maka aku khawatir sekali, Kakang. Dia harus diberi minum lebih banyak lagi."   "Ah. Sari adikku yang manis. Dia telah menjadi suamimu, andaikata dia teringat akan masa lalu sekalipun, apa gunanya baginya? Dia adalah suamimu yang sah dan dia telah menerima banyak budi kebaikan dari kita, tentu dia tidak akan melupakan begitu saja. Pula aku mendengar bahwa senopati wanita yang ternyata adalah Sulastri itu adalah anak mantu Adipati Puger. Andaikata mereka berdua dulu memang saling mencinta, akan tetapi kalau keduanya telah menikah dengan orang-orang lain, mereka akan dapat berbuat apakah?"   Sariwuni menarik napas panjang akan tetapi dia melanjutkan kesibukannya membuat ramuan obat, cairan jamu berwarna hijau dari perasan akar Lalijiwo dan rempah-rempah lainnya. "Biarpun begitu, hatiku merasa tidak enak, Kakang. Aku melihat dia sekarang termenung dan jelas kelihatan berduka dan murung. Agaknya, kalau dia sampai teringat masa lalu, tentu dia akan jatuh cinta kembali kepada wanita itu. Kalau saja kami mempunyai anak, tentu tidak begini khawatir hatiku. Akan tetapi semenjak dahulu, dia tidak pernah bersikap mesra yang sedalamnya terhadap diriku, seolah-olah ada jurang pemisah di antara kami. Kakang, aku... aku sudah terlanjur jatuh cinta kepadanya, dan aku takut kehilangan dia...."   "Hemm, kita semua juga tidak ingin kehilangan dia, Adikku. Dia merupakan tenaga bantuan yang amat hebat dan amat berharga bagi Nusabarung. Akan tetapi, alangkah baiknya kalau dia menjadi adik iparku dan menjadi senopati Nusabarung dalam keadaan sadar, tidak seperti yang sudah-sudah, seperti patung hidup karena pengaruh Lalijiwo...."   "Kakang, apakah kau berani tanggung kalau dia tidak kuberi Lalijiwo, lalu dia teringat akan segala hal dan kemudian lari meninggalkan aku dan meninggalkan Nusabarung?"   "Ah, memang bahayanya terlalu besar... sudahlah terserah kepadamu, Adikku. Dia adalah suamimu."   "Justru sekarang ini dia harus minum lebih banyak lagi sari Lalijiwo untuk membuat dia melupakan perempuan jahanam itu!" Sariwuni lalu membawa cawan terisi jamu itu memasuki sebuah pintu yang berada di sebelah kiri ruangan di mana dia tadi bercakap-cakap dengan Bandupati. Pemuda raksasa tampan ini menarik napas panjang, menggeleng-geleng kepala lalu pergi dari situ.   Roro Kartiko menyentuh lengan kakaknya, kemudian mereka menanti sampai Bandupati pergi dan tidak terdengar lagi langkahnya, mereka lalu cepat memasuki ruangan yang sunyi itu dan berindap-indap memasuki pintu di mana mereka tadi melihat Sariwuni pergi membawa cawan berisi jamu. Jantung kakak dan adik ini berdebar keras. Sekarang mereka berdua mengerti apa yang terjadi dengan diri Sutejo. Kiranya pemuda itu telah diberi minum racun yang bernama Lalijiwo sehingga Sutejo lupa segala-galanya, bahkan agaknya telah lupa akan namanya sendiri dan yang diingatnya hanyalah dua nama, yaitu Sulastri dan Bromatmojo. Nama Sulastri kemudian dipakai oleh Sariwuni dan nama Bromatmojo dipakai sendiri oleh Sutejo. Melihat kenyataan ini, jantung kedua orang kakak beradik ini seperti ditusuk ujung keris berkarat. Jelaslah betapa Sutejo tetap mencinta Sulastri!   Sebetulnya, penyelidikan mereka telah berhasil. Mereka telah dapat membongkar rahasia keanehan yang meliputi diri Sutejo. Akan tetapi mendengar dan melihat Sariwuni hendak mencekoki Sutejo dengan sari akar Lalijiwo yang lebih kuat lagi, tentu saja mereka berdua tidak dapat tinggal diam. Keduanya lalu menyelinap dan mengejar dengan niat untuk menyelamatkan Sutejo, sungguhpun mereka berdua maklum bahwa perbuatan mereka ini amat berbahaya sekali.   Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,"Mata-mata hina, sungguh berani mati mengantarkan nyawa!" Dan secara tiba-tiba saja muncullah Menak Srenggo dari sebuah pintu dan menghadang kakak beradik itu!   Joko Handoko dan Roro Kartiko terkejut bukan main melihat kakek raksasa ini menghadang di depan mereka. Mereka berdua cepat mencabut keris dan hendak menyerang, akan tetapi dengan tertawa Menak Srenggo bertepuk tangan tiga kali dan dari semua penjuru muncullah belasan orang pengawal yang bertubuh tinggi besar. Dengan sikap mengancam dan menyeramkan belasan orang itu, dipimpin oleh Menak Srenggo, telah mengurung kakak beradik ini yang berdiri saling membelakangi dan siap untuk membela diri.   "Ha-ha-ha, kiranya Joko Handoko dan Roro Kartiko yang berani datang di sini. Bukan main! Sungguh berani sekali! Heran, mengapa Adipati Puger mengutus putera dan puteri angkatnya sendiri menjadi mata-mata? Apakah Puger sudah kehabisan jago? Hayo kurung dan bunuh mereka!"   Akan tetapi sebelum para pengawal bergerak, terdengar seruan nyaring, "Tahan!"   Semua orang berhenti bergerak dan ternyata yang muncul adalah Bandupati. Ketika Bandupati mendengar suara ribut-ribut itu, dan cepat menghampiri dan alangkah kaget dan juga girang serta heran rasa hatinya ketika dia mengenal putera dan puteri Adipati Puger! Terutama sekali melihat Roro Kartiko yang telah menggerakkan hatinya itu, dia benar-benar merasa girang sekali. Tanpa dicari, ternyata dara yang membuatnya tergila-gila itu telah datang sendiri!   "Jangan bunuh mereka! Jangan sampai lukai mereka. Tangkap mereka hidup-hidup, mereka adalah putera dan puteri Adipati Puger, calon tawanan-tawanan kita yang amat berharga!" teriak Bandupati.   Munculnya Bandupati ini menyelamatkan nyawa Joko Handoko dan Roro Kartiko, akan tetapi tetap saja mereka tidak sudi kalau dijadikan tawanan maka ketika Bandupati dibantu oleh Menak Srenggo menyerang, mereka membela diri dan menyambut dengan keris di tangan.   Bandupati menubruk untuk menangkap Roro Kartiko, akan tetapi dara ini dengan cekatan menyambut tubrukan itu dengan kerisnya yang menyambar ke arah dada. Karena mereka berdua merasa tidak ada gunanya lagi menyembunyikan wajah mereka, maka mereka sudah merenggut lepas kain hitam yang menutupi muka. Tadinya mereka bersama empat orang anak buah mereka mengenakan pakaian Sriti Kencana dan muka mereka sebagian besar, dari bawah mata ke bawah, ditutupi kain hitam. Sungguh tidak mereka sangka bahwa mereka akan terlihat oleh Menak Srenggo dan tentu saja Menak Srenggo yang pernah menjadi senopati Puger itu segera mengenal mereka.   "Eh... hebat juga Andika, puteri yang manis!" Bandupati berseru dan cepat dia mengelak dari sasaran keris. "Bukankah namamu Dyah Roro Kartiko? Wong ayu, lebih baik engkau dan kakakmu menyerah saja. Sayang sampai kalau lecet kulitmu yang halus. Daripada bermusuhan, bukankah lebih baik kita bersahabat?" Bandupati berkata sambil tersenyum dan memandang kagum.   "Siapa sudi bersahabat dengan orang macam engkau?" Roro Kartiko memaki dan dia cepat menerjang lagi. Namun Bandupati yang memiliki kepandaian tinggi itu sudah mengelak dengan mudahnya. Di lain pihak, Joko Handoko juga sudah diserang oleh Menak Srenggo yang dia tahu memang amat digdaya itu, akan tetapi orang muda ini tidak merasa gentar dan mengamuk seperti banteng terluka.   "Pergunakan tali! Tangkap mereka hidup-hidup!" Bandupati berseru dan kini para pengawal sudah mempersiapkan tali-tali yang dibuat seperti laso. Dikepunglah Joko Handoko dan Roro Kartiko dan tali-tali itu beterbangan dari semua penjuru, merupakan laso-laso yang menyambar ke arah kepala mereka. Dua orang kakak beradik itu tentu saja menjadi sibuk sekali. Mereka berusaha mengelak, menangkis dan merobohkan para pengeroyok, akan tetapi kesibukan ini membuka kesempatan kepada Bandupati dan Menak Srenggo untuk menerkam ke depan. Kedua lengan Joko Handoko dan Roro Kartiko dapat ditangkap, ditelikung dan di lain saat para pengawal telah menubruk dan mengikat kaki tangan mereka dengan tali sehingga mereka tak mampu bergerak pula.   Para pengawal lalu diperintahkan untuk mundur. Bandupati memondong tubuh Roro Kartiko dan Menak Srenggo menyeret tubuh Joko Handoko, keduanya lalu memasuki sebuah ruangan dalam di mana duduk Sariwuni dan Sutejo.   "Kakang Bandu, apakah ribut-ribut itu? Eh, bagaimana mereka ini dapat kau tangkap?" Sariwuni berseru heran sambil memandang dua orang tawanan itu yang sudah diturunkan oleh Bandupati dan Menak Srenggo. Biarpun kaki tangan mereka dibelenggu, Joko Handoko dan Roro Kartiko berdiri dan memandang dengan mata mendelik penuh kemarahan, dan mereka memandang kepada Sutejo dengan sinar mata penuh rasa penasaran, akan tetapi juga mengandung kegelisahan dan kasihan karena mereka berdua maklum betapa pemuda yang gagah perkasa ini sama sekali tidak berdaya, seperti patung hidup dan kehilangan ingatan di bawah pengaruh racun yang dilolohkan kepadanya oleh putera-puteri Adipati Nusabarung yang kejam itu.   Ketika Sutejo melihat dua orang tawanan itu, dia memandang seperti orang linglung dan bingung, akan tetapi dia mengerutkan alisnya dan bangkit berdiri sejenak memandang bergantian kepada Roro Kartiko dan Joko Handoko. Lalu bertanya, "Siapakah mereka ini? Mengapa mereka ditangkap dan dibelenggu?"   Adimas Bromatmojo, apakah engkau lupa lagi? Mereka adalah putera dan puteri Adipati Puger. Mereka datang ke sini sebagai mata-mata Puger yang hendak menyelidiki keadaan kita, akan tetapi untung Paman Menak Srenggo melihat mereka sehingga mereka dapat ditangkap. Ha-ha, Adimas Bromatmojo, inilah puteri Puger yang cantik dan mengagumkan hatiku itu. Aku jadi ingat akan usulmu untuk berdamai dengan Puger dan melamar puteri Sang Adipati. Dan ternyata dia sendiri telah datang ke sini sebelum kulamar, ha-ha-ha!"   "Kakangmas Sutejo! Ingatlah, Kakangmas, sadarlah! Engkau adalah Kakangmas Sutejo! Lupakah engkau akan namamu sendiri? Ingatlah betapa Mbakayu Sulastri selalu menanti-nantimu! Dan nama Bromatmojo adalah nama Mbakayu Sulastri kalau menyamar sebagai pria. Ingatlah, Kakangmas Sutejo!" tiba-tiba Roro Kartiko berseru nyaring. Dua orang putera dan puteri Adipati Nusabarung itu tidak mencegah. Memang mereka hendak menguji Sutejo dan mereka memandang kepada orang muda itu penuh perhatian.   Sutejo kelihatan makin bingung. Dia memandang dara yang bicara itu dengan alis berkerut. "Apa... apa artinya kata-katamu itu? Siapa Sutejo? Aku seperti mengenal nama itu, dan Sulastri...? Sulastri...?" Dia memandang kepada Sariwuni, kepada isterinya yang selalu dikenalnya sebagai Suastri.   Sariwuni mendekati suaminya yang kembali duduk dengan alis berkerut dan dengan jari tangan memijit-mijit pelipis kepalanya itu. Sariwuni datang membawa secawan jamu yang tadi belum sempat diminum oleh Sutejo karena terjadi keributan tadi. "Kakangmas Bromatmojo, perlu apa mendengarkan ocehan pihak musuh? Mereka ini datang sebagai mata-mata dan sengaja hendak mengacaukan pikiran. Nah, kauminumlah jamu ini, Kakangmas. Jamu ini akan menghilangkan pening di kepalamu dan membuat pikiranmu tenang kembali."   Tanpa memperdulikan dua orang tawanan itu, dengan sikapnya yang manja, dengan langkah yang lemah gemulai dan lenggang yang membuat pinggulnya yang penuh montok itu menonjol dan bergerak-gerak hidup, Sariwuni menghampiri Sutejo sambil membawa jamu dalam cawan terbuat daripada emas itu.   "Perempuan iblis! Terkutuklah engkau! Kakangmas Sutejo, jangan mau minum! Itu adalah racun Lalijiwo dan karena minuman itulah maka engkau kehilangan ingatanmu!" Setelah berkata demikian, dengan nekat Roro lalu mengerahkan seluruh tenaganya dan biarpun kedua kaki dan tangannya terikat, tiba-tiba tubuhnya sudah mencelat ke atas dan dengan kedua kakinya dia telah menerjang Sariwuni! Kejadian ini sama sekali tidak disangka-sangka oleh semua orang. Bagaimana mungkin dalam keadaan terbelenggu kaki dan tangannya itu, dara Puger ini masih berani melakukan serangan senekat itu? Banduapti dan Menak Srenggo juga sama sekali tidak pernah menyangkanya, maka mereka tidak sempat mencegah. Sariwuni sendiri juga tidak menyangka, maka ketika tiba-tiba tubuh Roro Kartiko itu menerjang ganas, dia terkejut bukan main.   "Ehhh...!" Dia berteriak, mencoba menghindar akan tetapi gerakannya itu membuat cawan jamu itu miring dan isinya tumpah keluar, sedangkan kedua kaki Roro Kartiko tetap saja mengenai pundaknya sehingga Sariwuni roboh terguling! Bersama robohnya tubuh Sariwuni, tubuh Roro Kartiko juga terguling karena dengan kedua kakinya terbelenggu tentu saja dia tidak dapat bergerak leluasa.   Semua orang terkejut, akan tetapi tidak merasa khawatir karena biarpun tendangan tadi amat keras, namun tidak membahayakan keselamatan Sariwuni dan hanya menumpahkan obat di dalam cawan. Akan tetapi, Sariwuni menjadi marah bukan main. Mukanya merah dan matanya mengeluarkan sinar berapi-api. Dia meloncat bangun, memandang kepada Roro Kartiko yang tak dapat bangun kembali itu dengan mata mendelik.   "Perempuan jahanam, kau sudah bosan hidup!" Secepat kilat Sariwuni menubruk dengan tangan mencabut kerisnya.   "Sari..., jangan...!" Banduputi mencoba untuk mencegah, akan tetapi terlambat karena Sariwuni sudah menubruk dan sekali ayun, kerisnya menancap ke ulu hati Roro Kartiko.   "Plakk...!" Sariwuni terhuyung ke belakang ketika lengannya ditampar oleh Sutejo, akan tetapi kerisnya tertinggal di dada Roro Kartiko dan menancap sampai ke gagangnya.   "Kenapa... kenapa kau membunuh dia...?" Sutejo bertanya gagap dan menjadi bingung. Ucapan Roro Kartiko tadi benar-benar mendatangkan kebingungan di dalam hatinya, seolah-olah angin badai yang menggoyahkan akar-akar yang telah lama terpedam. Akan tetapi dia masih belum dapat menerobos awan gelap yang menyelimuti pikirannya. Karena tadi dia termangu-mangu dan termenung bingung, maka dia juga tidak sempat mencegah Sariwuni menyerang Roro Kartiko. Dengan bingung Sutejo berlutut dan mengangkat leher Roro Kartiko, memandang dada yang sudah menjadi sarung keris itu.   Roro Kartiko mengeluh akan tetapi ketika memandang wajah Sutejo, dia tersenyum. Teriakan Joko Handoko memanggil namanya tidak diperdulikannya.   "Adikku... Roro..." Joko Handoko hanya dapat berseru dengan hati seperti ditusuk rasanya, matanya terbelalak dan mukanya pucat.   Sutejo masih memandang wajah dara itu, lalu perlahan-lahan dia berkata,"Andika adalah puteri Adipati Puger, kenapa datang ke sini seperti ini...? Ah, Andika terluka parah, tak mungkin dapat tertolong lagi..."   Roro Kartiko masih tersenyum. "Kakangmas Sutejo, aku datang untuk menyelamatkanmu... ingatlah, aku Roro Kartiko yang pernah kau bantu berkali-kali, aku dan Kakangmas Handoko adalah putera-puteri bekas Bupati Progodigdoyo. Ingat? Ayahku berdosa besar kepadamu, kepada keluargamu, biarlah aku mati dalam membelamu, Kakangmas. Ingatlah, engkau adalah Kakangmas Sutejo, dan Mbakayu Sulastri menanti-nantimu di Puger. Kau berada dalam cengkeraman orang-orang Nusabarung..."   "Tutup mulutmu, perempuan rendah!" Sariwuni membentak dan menerjang maju, akan tetapi Sutejo memalangkan lengannya dan pada saat itu Roro Kartiko tersenyum dan menghembuskan napas terakhir. Agaknya dara ini rela mati di dalam rangkulan Sutejo. Sutejo merebahkan tubuh itu di atas lantai, lalu bangkit berdiri memandang isterinya, dan menarik napas panjang.   Jilid 72   "Sulastri, isteriku, sungguh aku tidak mengerti mengapa seringkali engkau melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan hatiku?"   Sariwuni merangkul suaminya dan menarik tangan suaminya itu untuk duduk kembali, lalu dia duduk di atas pangkuan suaminya dan mencium pipinya, lalu berkata merengek manja, "Suamiku, Kakangmas Bromatmojo, kenapa kau berkata demikian? Apakah kau tidak melihat betapa tadi dia menyerangku dan hampir membunuhku? Bahkan dia telah menumpahkan obat untukmu. Siapa yang tidak marah?"   Sutejo menarik napas panjang, menoleh kepada Joko Handoko yang memandang kepada mayat Adiknya dengan air mata bercucuran. "Ah, permusuhan yang tiada habisnya ini sungguh tidak menyenangkan. Tadinya Kakang Bandupati berniat memperisteri puteri Puger, kini telah kau bunuh."   "Dimas Bromatmojo, dia menang cantik dan aku suka kepadanya. Akan tetapi perbuatannya tadi memang keterlaluan dan setelah dia dibunuh adikku, sudahlah. Itu adalah salahnya sendiri. Kita masih mempunyai putera Adipati Puger untuk sandera dan dapat kita pergunakan untuk menekan Sang Adipati di Puger agar supaya takluk."   "Kalian pengecut-pengecut hina!" Tiba-tiba Joko Handoko berteriak dengan air mata masih mengalir di kedua pipinya. "Kalian membunuh adikku setelah adikku tidak berdaya dan terbelenggu! Kalian manusia-manusia berhati iblis! Sutejo, dahulu engkau kami anggap sebagai seorang satria utama yang gagah perkasa, dan kami merasa berdosa kepadamu karena ayah kami telah mencelakakan keluarga Ibimu. Akan tetapi sekarang, ternyata engkau hanyalah menjadi permainan perempuan cabul yang hina dina ini! Sungguh engkau mengecewakan sekali!"   "Desss...! Plak-plak-plakk!" Sariwuni sudah meloncat dan menendang lalu menampari muka Joko Handoko sehingga orang muda ini tidak dapat melanjutkan makiannya dan kalau saja Bandupati tidak mencegah Sariwuni, tentu wanita ini sudah membunuhnya pula.   "Manusia hina! Berani engkau memaki suamiku?" Sariwuni memaki-maki.   "Sudahlah, Adikku yang manis. Sudahlah, kalau kau membunuhnya pula, tidak ada artinya lagi kita berhasil menangkap mereka."   "Kakang Bandu benar, isteriku. Kita tidak boleh membunuh tawanan yang telah tidak berdaya," Sutejo berkata dan alisnya selalu berkerut karena dia sekarang mulai merasa aneh dan menduga tentu terjadi hal-hal yang luar biasa sehingga orang-orang muda dari Puger itu menyebutnya Sutejo dan bicara seperti itu.   Pada saat itu, terdengar suara gaduh dan empat orang pengawal memasuki ruangan sambil menyeret tubuh dua orang wanita yang luka-luka. Joko Handoko makin terkejut melihat bahwa yang diseret masuk dalam keadaan terbelenggu pula itu bukan lain adalah Ayu Kunti dan Cempaka. Tubuh kedua orang pembantunya itu luka-luka dan pakaian mereka robek-robek sehingga nampak kulit tubuh mereka yang putih di balik pakaian robek. Joko Handoko memejamkan mata dengan ngeri, dapat membayangkan betapa tangan-tangan kurang ajar dari para perajurit pengawal Nusabarung tentu telah mempermainkan tubuh kedua orang pembantunya yang masih muda dan cantik itu.   Sementara itu, Ayu Kunti dan Cempaka ketika melihat Joko Handoko terbelenggu, sedangkan Roro Kartiko menggeletak dalam keadaan terbelenggu, mandi darah dan agaknya telah tewas, juga menjadi terkejut bukan main dan seketika mereka menangis sesenggukan. Ketika tadi ketahuan, dikeroyok, ditangkap dan banyak tangan mencomoti tubuh mereka, dua orang anggauta Sriti Kencana yang gagah ini sama sekali tidak pernah mengeluh. Akan tetapi kini menyaksikan Roro Kartiko telah tewas, mereka benar-benar tak dapat menahan lagi kesedihan mereka.   "Raden... harap maafkan kami... kami telah ketahuan dan gagal..." Ayu Kunti berkata kepada Joko Handoko, akan tetapi Joko Handoko tidak menjawab, hanya memejamkan matanya. Memang sudah disengaja dari Puger untuk datang ke Nusabarung dengan maksud menolong Sutejo. Kalau gagal, sudahlah. Memang dia dan adiknya sudah siap untuk mengorbankan nyawa demi Sutejo dan terutama sekali demi Sulastri! Dia ikut bersama adiknya mencoba untuk mengingatkan dan menyelamatkan Sutejo demi Sulastri. Kini mereka telah gagal, adiknya telah tewas, maka dia pun tidak mempunyai keinginan lain kecuali tewas pula seperti adiknya. Hidup pun sudah tidak ada artinya lagi baginya. Kehidupannya telah sia-sia, kebahagiaannya telah kandas semenjak dia menikah dengan Sulastri!   Melihat tertangkapnya lagi dua orang wanita muda, Sutejo berkata, "Kakang Bandu, kuharap engkau suka memaafkan mereka dan membebaskan mereka demi mencapai perdamaian dengan Puger."   "Ha-ha, tentu saja, Dimas Bromatmojo. Sudah kukatakan bahwa kematian Roro Kartiko ini adalah kesalahannya sendiri. Tadinya pun kami sama sekali tidak ingin membunuhnya. Kami akan menggunakan tiga orang ini sebagai sandera untuk menekan Adipati Puger agar suka menyerah saja dan..."   Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar jendela yang besar dari ruangan itu. "Hei, tahan...! Tahan..., aduh... ahhh...!"   Terdengar suara gedubrakan dan nampak dua orang pengawal terlempar masuk, menabrak daun jendela yang menjadi runtuh. Dua orang pengawal itu roboh terbanting ke dalam ruangan itu dengan kepala pecah! Dan seperti kilat menyambar, sesosok bayangan berkelebat masuk dan tahu-tahu di situ telah berdiri Sulastri yang berpakaian wanita dengan sikap gagah perkasa, sepasang mata berkilat-kilat dan kedua tangan terkepal, kedua kaki terpentang lebar, sikapnya seperti seekor naga betina yang sedang mengamuk.   Dengan sepasang mata tajam bersinar-sinar dan penuh keberanian, Sulastri memandang ke kanan kiri, menatap wajah setiap orang yang hadir. Akan tetapi ketika pandang matanya bertemu dengan wajah Roro Kartiko, seketika matanya terbelalak, mukanya agak pucat dan dia cepat menoleh ke arah wajah suaminya, Joko Handoko!   "Dia... dia telah tewas... dibunuh secara pengecut oleh perempuan iblis itu, dan... dan Dimas Sutejo tidak sempat menolongnya... ah, dia telah sengaja mengorbankan diri untuk kalian..." kata Joko Handoko yang tak dapat melanjutkan kata-katanya karena dia terisak menangis.   Perlahan-lahan kepala Sulastri bergerak, menoleh sampai dia bertemu pandang mata dengan Sutejo. Sesaat dua pasang pandang mata itu bertemu, bertaut dan Sutejo merasa jantungnya tergetar hebat, akan tetapi tetap saja dia tidak dapat mengingat siapa adanya wanita yang demikian hebat mempengaruhi batinnya. Melihat betapa kedua orang itu saling pandang sedemikian lamanya, timbul kekhawatiran di dalam hati Sariwuni dan dia cepat merangkul pundak Sutejo dan berkata, "Kakangmas, inilah wanita yang mengaku bernama Sulastri, dan karena dia bernama seperti itu, maka sejak saat ini biarlah aku membuang nama Sulastri dan memakai namaku yang ke dua saja, yaitu Sariwuni. Kakangmas, dia adalah isteri mata-mata itu, isteri putera Adipati Puger. Agaknya dia datang untuk menolong suaminya."   Sulastri sudah marah sekali mendengar penuturan Joko Handoko tadi bahwa Roro Kartiko dibunuh oleh wanita ini. Kini mendengar ucapan wanita itu dan sikapnya yang merangkul pundak Sutejo dengan mesra, kemarahannya sudah tak tertahankan lagi.   Terdengar suara lengking menyeramkan keluar dari tenggorokan wanita perkasa itu dan tiba-tiba tubuhnya sudah melesat bagaikan seekor burung walet saja, dia sudah menerjang ke arah Sariwuni yang masih merangkul leher suaminya.   "Dukk... dess!!" Tubuh Sariwuni tergelimpang, akan tetapi tubuh Sulastri juga terpental karena tadi ketika Sariwuni menangkis, Sutejo juga mengangkat tangannya menangkis. Tangkisan Sutejo inilah yang membuat dia terhuyung ke belakang.   "Sutejo, engkau membela perempuan sesat itu? Bagus, majulah!" Sulastri membentak marah.   "Dia... dia isteriku... harap kau jangan membikin kacau di sini," kata Sutejo bingung.   Sariwuni telah bangkit berdiri. "Kakangmas Bromatmojo, cepat kau bunuh perempuan itu!" teriaknya.   Mendengar ini, Sulastri marah bukan main. "Inilah Bromatmojo! Akulah Bromatmojo, murid puncak Bromo! Kalian semua boleh maju!"   "Tangkap dia!" Bandupati sudah memberi perintah dan belasan orang pengawal yang sudah berkumpul di situ serentak maju menyerang, menggunakan senjata masing-masing. Namun, dengan menggerakkan kaki tangannya, dalam sekejab mata saja Sulastri telah merobohkan empat orang pengeroyok. Kemudian, dia mengeluarkan suara teriakan dahsyat dan tubuhnya seperti lenyap dan kadang-kadang nampak di sana-sini, seperti telah berubah menjadi banyak orang. Demikian cepat gerakannya, menyambar-nyambar dan terdengar pekik kesakitan berganti-ganti disusul robohnya para pengawal yang mengepung itu sehingga dalam waktu singkat saja belasan orang pengawal telah roboh dan tak dapat bangun kembali! Ruangan itu penuh dengan mayat dan tubuh mereka yang terluka, malang melintang dan berserakan!   Bandupati, Sariwuni, dan Menak Srenggo memandang dengan mata terbelalak. Menak Srenggo maklum akan kesaktian wanita itu, akan tetapi sungguh tak pernah disangkanya betapa dalam keadaan marah, Sulastri menjadi makin dahsyat sehingga menggiriskan hatinya.   "Hayo serbu, keroyok, maju semua!" Menak Srenggo berteriak keras untuk menyembunyikan perasaan girisnya.   "Hamuk-hamuk suramrata jayamrata! Orang-orang Nusabarung, majulah semua. setapak pun Sulastri tidak akan mundur! Inilah Bromatmojo, anak Bromo!" Sulastri berteriak menantang, suaranya nyaring dahsyat sehingga Joko Handoko sendiri yang duduk terbelenggu dan bersandar dinding merasa ngeri. Dia tahu bahwa hati "isterinya" itu tertindih dan merasa berduka sekali, bukan hanya karena kematian Roro Kartiko, akan tetapi terutama sekali karena keadaan Sutejo, maka diam-diam dia merasa terharu dan kasihan di samping perasaan khawatir akan keselamatan wanita yang menjadi isterinya dalam sebutan saja itu.   Melihat kesaktian wanita itu, Bandupati dan Sariwuni, dibantu Menak Srenggo dan belasan orang pengawal yang sudah masuk ke dalam ruangan menggantikan belasan orang yang sudah roboh, mulai mengurung. Di luar ruangan itu masih terdapat banyak sekali pengawal, akan tetapi tentu saja mereka tidak dapat masuk semua karena ruangan itu terbatas sekali. Mayat-mayat dan tubuh-tubuh terluka para pengawal yang maju lebih dulu telah ditarik keluar, demikian pila meja kursi telah disingkirkan sehingga ruangan itu kini menjadi luas dan yang tinggal di situ hanya jenazah Roro Kartiko yang berada di sudut dan di dekat jenazah ini, Joko Handoko duduk bersandar tembok. Sedangkan Ayu Kunti dan Cempaka yang hanya terbelenggu kedua tangan mereka, sudah mendekati Joko Handoko dan duduk mepet tembok sambil memandang dengan mata terbelalak kepada Sulastri.   "Serbuuuu...! Bunuh dia...!!" Sariwuni kini berteriak. Wanita ini khawatir sekali melihat sikap suaminya terhadap dara ini. Tahulah dia kini dengan yakin bahwa memang gadis inilah pujaan hati suaminya dahulu, maka kini gadis ini harus dibunuhnya! Kalau tidak, akan sukarlah menguasai suaminya yang biarpun masih terpengaruh Lalijiwo namun begitu berhadapan dengan gadis ini menjadi bingung dan ragu. Tadi pun dia sudah membujuk suaminya untuk menandingi gadis ini, akan tetapi suaminya hanya duduk bengong memandang Sulastri dan sama sekali tidak mau bergerak.   Atas teriakan Sariwuni itu, semua pengawal bergerak dan mulailah pengeroyokan lagi atas diri Sulastri. Karena kini Sariwuni, Bandupati dan Menak Srenggo sendiri maju mengeroyok, maka Sulastri mengamuk dengan hebatnya. Tiga orang lawan ini bukan merupakan orang biasa, melainkan memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, maka tidak mudah bagi Sulastri untuk merobohkan mereka seperti yang telah dilakukannya tadi terhadap para anggauta pengawal Nusabarung. Akan tetapi, biarpun keris di tangan Sariwuni, pedang di tangan Bandupati dan golok di tangan Menak Srenggo menghujankan serangan yang ditujukan untuk membunuh, dan dibantu dengan belasan batang golok atau tombak para pengawal Sulastri dapat selalu menghindarkan diri dengan baiknya dan setiap kali dia menangkis dengan jari tangannya, keris, pedang atau golok itu terpental karena tangannya dilindungi oleh aji kekebalan Trenggiling Wesi! Bahkan setiap kali dia menangkap golok itu atau tombak yang dipakai seorang pengawal untuk menyerangnya, dia terus membetot senjata itu, menarik pemegangnya dan dengan sekali tendangan, tamparan atau lontaran senjata rampasan, dia merobohkan pengawal itu!   Pertempuran di dalam ruangan itu memang hebat dan seru bukan main. Sulastri mengamuk bagaikan seekor singa yang buas sedang marah. Rambutnya yang panjang awut-awutan, beterbangan ketika dia bergerak, sanggulnya terlepas dan kadang-kadang rambutnya itu menutupi sebagian mukanya. Gerakan kakinya membuat kain yang dipakainya mengeluarkan bunyi seperti akan robek, kedua tangannya bergerak sedemikian cepatnya sehingga bagi pandangan mata biasa, kedua lengan gadis itu berubah menjadi lebih dari enam buah! Tubuhnya berloncatan, berkelebatan dan setiap kali dia bergerak dan mengeluarkan pekik dahsyat, robohlah seorang pengawal!   Sepak terjang yang amat menggiriskan dari dara itu benar-benar membuat para pengawal menjadi gentar bukan main. Mereka ini, para pengawal pilihan dari Nusabarung yang bertugas sebagai pengawal-pengawal di kompleks istana kadipaten, merupakan orang-orang yang memiliki kepandaian, banyak pengalaman berkelahi dan memiliki keberanian hebat, juga kejam dan sewenang-wenang, apalagi terhadap wanita. Akan tetapi kini, menghadapi seorang wanita seperti Sulastri yang demikian gagah perkasa, yang dalam waktu kurang dari satu jam telah merobohkan lebih dari dua puluh orang pengawal, mereka benar-benar menjadi gentar bukan main.   Karena gentar, maka kini para pengawal itu mundur dan hanya mengurung sambil mengancam dengan tombak yang bergagang panjang sambil berteriak-teriak, membiarkan tiga orang yang berkepandaian lebih tinggi itu, yaitu Sariwuni, Bandupati, dan Menak Srenggo untuk mengeroyok dara itu.   Sebenarnya, setelah mengamuk sejam lebih itu, Sulastri yang semalam suntuk melakukan perjalanan yang melelahkan, menyeberangi laut menuju ke Nusabarung menggunakan sebuah perahu, padahal dia bukanlah ahli mengemudikan perahu, Sulastri merasa lelah bukan main. Akan tetapi, kemarahannya membuat dia memperoleh kekuatan yang berlipat ganda, dan biarpun dia kini dikeroyok oleh tiga orang yang pandai, dia sama sekali tidak terdesak, sebaliknya tamparan-tamparan Hasto Nogo tangan kirinya seperti sambaran-sambaran kilat di musim hujan yang selalu mengancam kepala tiga orang lawannya itu.   Tiga orang lawannya menjadi penasaran sekali. Mereka adalah orang-orang pandai, dan di Nusabarung, mereka merupakan orang-orang yang sukar dicari tandingannya. Kini, mengeroyok seorang gadis saja, mereka sama sekali tidak mampu mendesak, apalagi merobohkannya.   Menak Srenggo, jagoan dari Blambangan itu menjadi penasaran sekali. Dia mengeluarkan suara gerengan seperti seekor biruang marah, lalu goloknya diputar menerjang ke arah Sulastri. Gerakannya ini diikuti oleh Bandupati yang juga menggerakkan pedangnya dengan cepat. Melihat serangan dua orang ini dipercepat, Sulastri lalu mengerahkan ilmunya meringankan tubuh, dengan Aji Turonggo Bayu, tubuhnya seperti menunggang angin berkelebatan dan tidak tersentuh oleh gulungan sinar pedang dan golok. Pada saat yang dianggapnya tepat dan baik sekali, tiba-tiba Sariwuni membentak, "Mampuslah kau!" Dan dengan keris di tangan, wanita ini meloncat dari belakang dan menghunjamkan kerisnya ke arah punggung Sulastri.   Ketika itu, Sulastri sedang menghadapi serangan pedang dan golok yang amat cepat, maka tentu saja bagian belakang punggungnya terbuka dan tidak terjaga, maka serangan dari belakang itu amat berbahaya. Namun, Sulastri yang sudah marah dan nekat itu seolah-olah tidak melihat serangan ini, sungguhpun diam-diam dia mengerahkan Aji Trenggiling Wesi sambil menanti tusukan.   "Dukkk...!"   Ketika itu, Sulastri sudah berhasil menghindarkan diri dari ancaman pedang dan golok, dan tepat keris yang dihunjamkan Sariwuni itu tepat mengenai punggungnya. Akan tetapi keris itu seperti mengenai benda dari karet yang ulet dan keras saja, tidak dapat menembus dan dengan dan dengan perhitungan yang tepat, tangan kiri Sulastri sudah menyambar dibarengi tubuhnya yang berputar ke belakang.   "Wuuuutttt...!" Tangan berkulit halus berjari kecil runcing yang mengandung tenaga dahsyat dan ampuh dari Hasto Nogo itu menyambar ke arah kepala Sariwuni!   "Sulastri, awas...!" Terdengar Sutejo tiba-tiba berseru keras. Sulastri terkejut dan cepat mencurahkan perhatiannya ke belakang dan kanan kiri, akan tetapi dia tidak melihat sesuatu yang mengancam dirinya. Karena perhatiannya terbagi, maka pukulan Hasto Nogo itu kurang terarah. Sebaliknya, mendengar seruan suaminya itu, Sariwuni sudah cepat membuang diri ke belakang. Namun, tetap saja pundaknya kena disambar hawa pukulan Hasto Nogo dan dia merasa tulang pundaknya nyeri seperti retak-retak dan dia terhuyung ke belakang.   Sekarang tahulah Sulastri bahwa seruan yang dikeluarkan oleh mulut Sutejo tadi sama sekali bukan ditujukan kepadanya, melainkan kepada Sariwuni yang bagi Sutejo bernama Sulastri. Marahlah dia!   Sementara itu, Sariwuni sudah merangkul leher Sutejo sambil merengek, "Kakangmas, benarkah engkau tega melihat aku terancam bahaya dan tidak mau membantu? Dia itu mata-mata musuh, dia hendak mencelakai kita, bahkan dia hampir saja tadi membunuhku."   "Biarkan aku menangkapnya!" Tiba-tiba Sutejo berseru. Tadi dia merasa bingung dan serba salah. Tentu saja dia harus membantu isterinya dan para pengawal Nusabarung. Akan tetapi ada sesuatu pada diri wanita itu yang membuat dia bingung dan ragu-ragu. Kini, melihat isterinya hampir celaka, pula, karena dia tidak ingin melihat wanita perkasa itu akhirnya tewas oleh pengeroyokan, dia mengambil keputusan untuk menangkap wanita itu hidup-hidup.   Begitu dia berseru demikian, tubuhnya sudah melesat ke depan dan tahu-tahu tangannya telah mencengkeram ke arah pundak kiri Sulastri. Inilah serangan yang sekaligus mengarah kelemahan lawan! Patut diketahui bahwa pukulan yang paling diandalkan oleh Sulastri adalah Hasto Nogo, aji pukulan ampuh yang menjadi inti dari ilmu berkelahi Hasto Bairowo, dan Hasto Nogo dipusatkan di dalam tangan kiri. Maka kini secara langsung Sutejo menyerang dengan cengkeraman ke arah pundak kiri Sulastri, tentu saja serangan ini merupakan serangan berbahaya yang ditujukan kepada bagian paling lemah dari pemilik Ilmu Hasto Nogo! Cara Sutejo menyerang ini sama sekali bukan karena dia teringat kepada Aji Hasto Nogo, melainkan karena memang dia cerdas sekali dalam menangkap inti gerakan ilmu dan aji kesaktian. Maka setelah menyaksikan sepak terjang Sulastri beberapa lamanya, dia sudah tahu bagaimana harus menghadapi wanita ini.   "Aihhh...!" Sulastri memekik dan cepat dia melempar tubuh ke depan, kemudian dia membalik dan kakinya melayang cepat, menendang ke arah pusar lawan. Ketika melihat bahwa yang menyerangnya adalah Sutejo, hatinya menjadi makin panas dan dia pun menyusuli tendangannya dengan tamparan Hasto Nogo ke arah kepala orang muda itu. "Kau maju? Bagus, mari kita bertanding mati-matian!"   Sutejo dapat menghindarkan diri dan dari belakang, Bandupati dan Menak Srenggo kembali telah menggerakkan padang dan goloknya. Namun Sulastri tidak menjadi gentar. Cepat dia mengelak dan balas menyerang, bahkan melihat Sariwuni berdiri di pinggir dia sudah menantang, "Perempuan hina, hayo kau majulah sekalian untuk kubunuh!"   Akan tetapi Sariwuni tersenyum mengejek dan duduk di atas lantai sambil tersenyum dan menonton. Setelah Sutejo maju, dia merasa yakin bahwa wanita itu pasti akan dapat ditundukkan, karena ketika berada di medan perang pun dia sudah tahu bahwa suaminya lebih sakti daripada wanita itu.   Memang kini telah berlangsung pertandingan yang hebat luar biasa antara Sulastri dan Sutejo. Gerakan dua orang ini sedemikian cepatnya sehingga Bandupati dan Menak Srenggo tertinggal dan kedua orang ini hanya membantu sedikit saja, yaitu sewaktu mereka dapat membedakan mana kawan mana lawan. Kalau dua orang muda itu sedang berputaran cepat, mereka tidak berani menyerang, takut kalau-kalau senjata mereka mengenai tubuh kawan sendiri. Makin lama, makin cepatlah gerakan Sutejo dan Sulastri. Akan tetapi Sulastri yang memang kalah setingkat kepandaiannya itu, kini makin lelah. Lelah dan pening. Akhirnya, Sutejo berhasil menampar tengkuknya dan robohlah Sulastri, terguling dan cepat Bandupati dan Menak Srenggo menubruk dan mengikat kaki tangannya sehingga Sulastri yang sudah hampir tidak sadar karena hebatnya tamparan di tengkuknya itu, kini tidak dapat bergerak lagi.   "Sutejo, engkau benar-benar kejam dan terkutuk!" Joko Handoko berteriak memaki dengan marah sekali.   "Lepaskan dia!" Tiba-tiba Sutejo membentak kepada Bandupati dan Menak mundur. Mereka tadinya sudah merah sekali kepada Sulastri yang telah membunuh banyak pengawal, maka setelah membuat gadis itu tidak berdaya, mereka bermaksud untuk menghina Sulastri dan merobek dan menanggalkan pakaiannya agar gadis itu telanjang bulat dan disaksikan oleh semua pengawal. Akan tetapi, siapa duga, baru saja mereka menyentuh pakaian gadis itu, Sutejo telah menghardik mereka.   Sariwuni meloncat dan dengan keris di tangan dia sudah menyerang Sulastri yang sudah terbelenggu dan yang hanya dapat memandang kepadanya dengan mata mendelik. Akan tetapi, tiba-tiba Sutejo meloncat dan menghadang di depan Sulastri. "Sulastri, jangan kau membunuhnya!" Sutejo berkata kepada Saiwuni.   "Kakangmas! Dia telah membunuh banyak pengawal, dan telah memukulku. Dia adalah musuh besar kita, orang yang sangat berbahaya, mengapa engkau membelanya?"   Melihat sikap Sutejo ini, selain Sariwuni, juga Bandupati dan Menak Srenggo menjadi tidak senang dan dengan senjata di tangan mereka pun menghampiri.   "Tidak! Tidak boleh dia dibunuh!" Sutejo berseru keras, sikapnya kaku dan tegas. "Dia seorang yang amat gagah, dan amat memalukan membunuh lawan yang sudah tak berdaya. Tidak. Sulastri, sebagai suamimu aku berhak melarang engkau untuk membunuh lagi seorang tawanan seperti yang kaulakukan kepadanya itu!" Dia menuding ke arah mayat Roro Kartiko.   Melihat ini, Sariwuni tersenyum. Hatinya lega karena pembelaan suaminya itu bukan berarti bahwa suaminya sudah ingat lagi kepada Sulastri, melainkan karena suaminya tidak kehilangan watak satrianya. Maka dia lalu menggerakkan tangan menyuruh mundur kakaknya dan pamannya.   "Baiklah, Kakangmas. Yang penting, musuh telah tertangkap. Kakang Bandupati, harap segera memberi laporan kepada Kanjeng Romo. Paman Menak Srenggo, sebaiknya para pengawal dibubarkan dan suruh singkirkan semua mayat itu. Biarkan para tawanan itu di dalam tahanan dan jaga yang kuat jangan sampai lolos sambil menanti keputusan Kanjeng Romo.   Sariwuni lalu merangkul leher Sutejo. "Jangan khawatir, Kakangmas, kami tidak akan mengganggu musuh yang gagah mengagumkan itu sebelum ada keputusan dari Kanjeng Romo. Marilah, kubuatkan jamu agar kepeningan kepalamu dan kekacauan pikiranmu dapat hilang. Marilah sayang...!" Sariwuni menggandeng tangan Sutejo dan sebelum meninggalkan ruangan itu, dia mengerling dengan senyum mengejek kepada Sulastri yang rebah dalam keadaan terbelenggu. Sulastri membuang muka dan hatinya seperti dibakar. Dia kini tahu sungguh-sungguh bahwa Sutejo berada dalam keadaan kehilangan ingatan, bahwa Sutejo tidak sengaja dan tidak sadar membantu Nusabarung, bahkan mungkin sekali Sutejo tidak sadar menjadi isteri Sariwuni yang dianggapnya Sulastri! Hal itu saja sudah membuktikan bahwa Sutejo tidak pernah dapat melupakan nama Sulastri sehingga dalam keadaan linglung itu diperdaya dan menikah dengan seorang wanita bernama Sulastri. Namun, biar dia tahu akan semua ini, bahwa Sutejo tidak sengaja, tetap saja hatinya terasa panas sekali dan marah kepada Sutejo, marah dan benci! Benci karena cemburu tentu saja!   Dia masih mendelik marah ketika dia bersama Joko Handoko, Ayu Kunti dan Cempaka diseret oleh para pengawal dan dimasukkan ke dalam sebuah kamar besar yang amat kuat dan beruji besi. Tempat tahanan itu kuat bukan main, dan di sebelah luarnya, di luar pintu baja itu, masih terdapat puluhan orang perajurit yang menjaga! Namun Sulastri tidak menjadi putus asa. Dalam keadaan rebah telentang, dia mengumpulkan hawa murni, mengembalikan semua tenaganya dan bersiap-siap untuk melawan sampai hembusan napas terakhir. Joko Handoko dan juga dua orang pembantunya juga mencontoh perbuatan Sulastri ini, mereka menghimpun hawa murni dan tidak mau secara ceroboh untuk membuka belenggu yang amat kuat itu.   Sariwuni telah membuatkan secawan jamu sari akar Lalijiwo lagi untuk Sutejo. Dia memasuki ruangan di mana Sutejo sedang duduk termenung itu membawa secawan jamu sambil tersenyum dan pada saat itu, kebetulan Bandupati dan Menak Srenggo juga datang.   "Ah, Kanjeng Romo girang sekali mendengar bahwa kita telah menangkap mata-mata musuh, apalagi ketika mendengar itu adalah putera dan mantu Sang Adipati di Puger. Besok Kanjeng Romo akan mengirim utusan ke Puger dan menuntut agar Sang Adipati Puger, yaitu Sang Prabu Bandardento sendiri, suka datang menghadap ke sini untuk membebaskan putera dan mantunya. Ha-ha, tak kusangka semudah ini kita dapat menundukkan Puger! Dan menurut Kanjeng Romo, kalau Puger sudah jatuh dan pasukannya dapat kita kuasai, kita akan sewaktu-waktu menggempur Lumajang!"   "Bagus!" Menak Srenggo tertawa. "Memang sudah lama sekali aku ingin untuk menggempur Lumajang, dan setelah itu, Mojopahit!"   "Ah, mimpimu terlalu jauh, Paman. Menggempur Mojopahit bukanlah hal yang mudah. Untuk itu kita harus menghimpun tenaga yang amat kuat. Mojopahit terkenal pula dengan para senopatinya yang sakti mandraguna," bantah Bandupati.   "Hemm, betapapun digdayanya senopati Mojopahit, kalau ada suamiku di sini, kita takut apa?" Sariwuni berkata sambil mendekati Sutejo yang hanya memandang dan mendengarkan tanpa mengeluarkan kata-kata. "Kakangmas, ini obatmu. Minumlah dan nanti kutemani tiduran agar hatimu tenteram dan pikiranmua tenang."   "Obat? Mengapa aku harus sering minum obat, Diajeng? Aku tidak sakit," Sutejo menjawab sambil memandang cawan yang dipegang oleh wanita itu.   "Ah, engkau menderita sakit yang cukup lama, Kakangmas. Sampai pernah engkau lupa segala-galanya, bahkan isterimu ini pun pernah kaulupakan. Obat ini telah menolongmu, sekarang minumlah, tentu pikiranmu yang bingung itu akan mejadi tenang."   Sutejo menerima cawan emas itu. "Memang pikiranku agak bingung..." dia mengakui, lalu dia mengangkat cawan itu, ditempelkan di bibirnya dan hendak diteguk.   "Tringgg...!" tiba-tiba cawan yang dipegang oleh Sutejo itu terpental, terlepas dari pegangannya, jamunya tumpah, sebagian membasahi bajunya. Sutejo terkejut bukan main, memandang kepada cawan emas yang terbanting di atas lantai, mengeluarkan bunyi nyaring dan menggelinding sampai ke sudut ruangan itu. Lalu di memandang ke kiri, ke arah pintu, dengan mata terbelalak.   Sariwuni, Bandupati dan Menak Srenggo juga terkejut sekali. Mereka tadi melihat sinar putih menyambar dari kiri dan kini mereka kini juga menengok. Kiranya di ambang pintu telah berdiri seorang kakek yang tua sekali, rambut, kumis dan jenggotnya telah putih semua, wajahnya membayangkan kesabaran dan kehalusan budi, pakaiannya sederhana sekali, dari kain berwarna kuning yang dilibat-libatkan tubuhnya, pakaian seorang pendeta atau pertapa, tangan kanannya memegang sebatang tongkat bambu yang panjang.   Sariwuni, kakaknya, dan pamannya memandang heran. Dari mana datangnya kakek ini? Semenjak terjadi penyelundupan orang-orang Puger, penjagaan telah diperketat, bahkan Menak Srenggo sendiri yang memerintahkan kepada para perwira penjaga untuk mengerahkan pasukannya menjaga agar jangan sampai ada lagi mata-mata musuh dapat menyelundup masuk pulau. Akan tetapi tiba-tiba saja kakek ini muncul dan kemunculannya, juga sikapnya yang tenang itu membuat mereka bertiga tertegun dan sejenak mereka tidak dapat bergerak atau mengeluarkan kata-kata. Juga Sutejo tidak dapat berkata-kata dan tidak bergerak, padahal biasanya, setelah cawan berisi jamu dipukul jatuh dari tangannya seperti itu, sudah pasti dia akan bergerak menyambut penyerangnya. Dia pun seperti terpesona, pandang matanya lekat dan tidak dapat terlepas dari sinar mata kakek itu yang memandangnya penuh kasih sayang.   Akhirnya kakek itu yang bersuara, suaranya lirih namun jelas terdengar oleh mereka dan wajah yang lembut itu ramah sekali, "Kulup, Sutejo, sudah terlalu lama engkau menderita sebagai akibat dari penyelewenganmu, aku kasihan kepadamu, maka jauh-jauh aku datang untuk menyelamatkanmu, kulup."   Mendengar ucapan itu, Sariwuni membentak nyaring, "Darimana datangnya pengemis tua ini? Apa kau sudah bosan hidup?" Wanita ini tiba-tiba saja merasa bahwa kehadiran kakek ini merupakan ancaman bagi Sutejo, atau lebih tepat, baginya, dan dia amat takut untuk kehilangan suaminya itu. Maka sambil membentak itu, dia sudah meloncat ke depan dan mencabut keris, lalu menusuk dada kakek itu.   "Cusss...!" Keris di tangannya itu mengenai kulit daging dan rasanya menembus ke dalam. Akan tetapi mata Sariwuni terbelalak kaget ketika dia melihat kakek itu masih tetap tersenyum seolah-olah tidak merasakan apa-apa.   Melihat keanehan itu, Bandupati dan Menak Srenggo juga menerjang dengan senjata pedang dan golok mereka. Mereka menusuk dan membacok.   "Wuttt, cap-capp!" Pedang dan golok itu pun mengenai sasaran, akan tetapi sama sekali tidak mendatangkan bekas bacokan atau tusukan sungguhpun rasanya tidak seperti mengenai benda keras seperti kalau mengenai tubuh yang dilindungi kekebalan.   "Hemm, orang-orang muda. Menggunakan kekerasan berarti memancing kekerasan yang akan memukul diri sendiri," kakek tua renta itu berkata dengan tenang ketika melihat tiga orang itu mundur-mundur dengan mata terbelalak.   Akan tetapi, tiga orang ini memang sudah biasa dengan kekerasan. Biarpun mereka dapat menduga bahwa kakek yang berdiri di depan mereka ini merupakan seorang manusia yang luar biasa, namun karena kakek ini dianggapnya menentang mereka, maka mereka kini sudah menerjang lagi dengan lebih hebat daripada tadi.   Kakek itu menghela napas dan tersenyum. "Kalian memang keras kepala!" katanya dan sekali ini, begitu senjata mereka mendekati tubuh kakek itu, ada semacam hawa yang luar biasa kuatnya keluar dari tubuh kakek itu dan mendorong mereka sehingga mereka bertiga berteriak kaget dan terjengkang jatuh!   Melihat kakek itu merobohkan isterinya, kakak iparnya dan paman isterinya, Sutejo merasa bahwa dia berkewajiban untuk membela, maka dia lalu bergerak, dengan pekik dahsyat dia menerjang maju dan menghantamkan tangan kanannya ke arah dada kakek tua renta yang dia tahu memiliki kesaktian luar biasa itu.   "Plakk!" Pukulan yang dilakukan oleh Sutejo itu hebat sekali karena orang muda ini mengerahkan seluruh kekuatannya, akan tetapi ketika mengenai dada kakek itu, kepalan tangannya seperti mengenai benda lunak dan tenaganya amblas seperti sepotong batu dilempar ke dalam air dan tangannya tergetar hebat, seperti melekat pada dada itu. Dan sebelum Sutejo dapat mengelak, tepat pada saat pukulannya mengenai dada lawan, kakek itu telah menggunakan tangan kanannya meraba dan mengusap muka Sutejo.   "Sutejo, pandanglah baik-baik, aku adalah Gurumu, Panembahan Ciptaning!"   Sutejo terbelalak. Setelah mukanya diusap, dia merasa seperti ada hawa dingin sekali diulaskan ke mukanya, rasa dingin yang memenuhi kepalanya dan terus menyusup ke dalam dadanya. Dia memandang kakek itu dan tiba-tiba dia menjatuhkan dirinya berlutut, menyembah dan bertanya dengan suara gemetar, "Eyang Panembahan...!!" Dia kini mengenal kakek itu, Panembahan Ciptaning, eyang gurunya, pertapa di lereng Gunung Kawi, kakek yang dulu menyelamatkannya dari dalam kobaran api yang membakar rumah ibunya dan yang selama bertahun-tahun mendidik dan menggemblengnya di lereng Gunung Kawi. "Eyang..., mengapa... mengapa hamba menyerang Eyang...?" Suaranya gemetar penuh penyesalan dan ketakutan. Ngeri dia memikirkan bagaimana dia tadi berani menyerang gurunya itu dengan aji pukulan yang dipelajarinya dari kakek ini!   "Sutejo, sayang sekali bahwa engkau melupakan pesanku dan telah menyeleweng, bukan hanya menghambakan diri kepada orang-orang yang tersesat seperti Resi Mahapati, akan tetapi juga engkau telah melanggar pesanku agar tidak melakukan pembunuhan. Kekerasan hanya akan mendatangkan kekerasan pula dan segala perbuatan sudah pasti akan mendatangkan hasil yang sama sifatnya dan akan menimpa diri sendiri. Karena perbuatanmu sendirilah maka engkau merasakan penderitaan sampai hampir dua tahun, ingatanmu hilang karena pengaruh racun. Karena melihat engkau sudah cukup terhukum, maka hari ini aku sengaja datang untuk menyelamatkanmu, Kulup."   Pada saat itu, Sariwuni, Bandupati dan Menak Srenggo sudah bangkit dan mendengar ucapan kakek itu, mereka terkejut bukan main. Apalagi Sariwuni, dia merasa kaget karena melihat suaminya agaknya sudah mendapatkan kembali ingatannya, maka untuk mencegah kakek itu bicara lebih jauh, dia sudah menerjang pula, diikuti oleh kakaknya dan pamannya.   "Heiiii..., jangan kurang ajar!" Sutejo berseru ketika melihat tiga orang itu menyerang gurunya, atau juga kakek gurunya. Akan tetapi, kakek itu hanya tersenyum, membiarkan dirinya diserang dari belakang.   "Dess! Dess! Desss...!" Serangan tiga orang itu mengenai tubuh Si Kakek aneh, akan tetapi akibatnya, tiga orang itu menjerit dan memegangi tangan masing-masing karena senjata mereka terlempar dan terlepas, sedangkan tangan mereka yang tadi memegang senjata terasa nyeri bukan main. Akan tetapi, memang mereka adalah orang-orang yang tidak biasa menerima kekalahan. Mereka masih merasa penasaran karena kakek itu sama sekali tidak membalas. Mereka berteriak dan menubruk maju, menyerang dengan kepalan tangan.   "Bukk! Bukk! Bukk!!"   Jilid 73   Sekali ini, karena mereka memukul dengan tangan, akibatnya hebat. Pukulan-pukulan itu seperti membalik dan memukul diri mereka sendiri, membuat mereka tergelimpang dan roboh pingsan!   Sutejo memandang heran. "Eyang... mereka... mereka ini siapa dan saya berada di mana...?"   "Selama hampir dua tahun ini, wanita ini kauanggap sebagai isterimu, dia itu kauanggap sebagai kakak iparmu dan yang ini adalah Menak Srenggo, kauanggap Pamanmu karena dia adalah saudara misan Menak Dibyo, Adipati di Nusabarung. Mereka berdua itu adalah putera dan puteri Adipati Nusabarung dan engkau berada di Nusabarung."   Sutejo terbelalak. "Apa... apa yang telah terjadi dengan saya...?"   "Engkau selama ini tidak sadar, engkau berada di bawah pengaruh racun Lalijiwo. Baru-baru ini engkau malah menjadi senopati Nusabarung dan menyerang Kadipaten Puger."   Tiba-tiba Sutejo berseru, "Sulastri...!" Dia terkejut bukan main. Teringatlah dia akan Sulastri, dan Roro Kartiko, dan Joko Handoko...! "Ah, di mana Sulastri? Dan Joko Handoko? Dan... dan... ah, Roro Kartiko...?" Dia memejamkan mata, karena kini dia membayangkan Roro Kartiko telah tewas!   Kakek itu mengangguk-angguk. "Mereka memang datang ke pulau ini, tadinya berniat menolongmu, Sutejo. Akan tetapi mereka tertawan, dan Roro Kartiko telah tewas oleh Sariwuni. Engkau harus menyelamatkan mereka dan hal itu dapat kau lakukan karena di sini engkau dikenal sebagai senopati dan mantu Sang Adipati."   "Saya... saya akan menolong mereka, eyang. Lalu selanjutnya, apa yang harus saya lakukan? Ah, kepala saya menjadi pening dan saya bingung sekali, Eyang..."   Kakek itu mengeluarkan dua butir obat pulung yang bundar dan macamnya seperti kotoran kambing. "Kau telahlah ini untuk mengusir semua racun itu. Ingatlah, semua belum terlambat kalau kau suka mengubah sikapmu, Sutejo. Setelah engkau menyelamatkan mereka, jauhkanlah dirimu dari segala permusuhan dan perang. Sebaiknya kalau engkau kembali ke Gunung Kawi, hidup tenang dan penuh damai bersamaku. Akan tetapi, segalanya terserah kepadamu Cucuku, karena nasib setiap orang berada di dalam genggaman tangannya sendiri. Dialah yang akan menentukan apa yang dilakukannya, dan kelakuannya sendirilah yang akan menentukan bagaimana keadaan selanjutnya. Nah, aku pergi, selanjutnya segala sesuatu tergantung dari dirimu sendiri."   "Eyang...!" Sutejo berseru memanggil, akan tetapi kakek itu telah menghilang.   Hanya sejenak Sutejo termangu. Kini telah pulih kembali ingatannya dan telah kembali pula ketangkasannya sebagai seorang satria yang sakti dan cerdas. Tanpa ragu-ragu lagi ditelannya dua butir obat pemberian eyang gurunya itu, kemudian dia memandang kepada tiga orang yang masih pingsan itu. Kini teringatlah dia setelah tadi mendengar penuturan singkat dari eyang gurunya. Selama ini dia menganggap wanita ini sebagai isterinya, orang muda tinggi besar itu sebagai kakak iparnya dan kakek raksasa itu sebagai pamannya! Padahal dia tidak mengenal siapa mereka ini! Dan Sulastri, Joko Handoko dan Roro Kartiko telah mengalami bencana karena hendak menolongnya. Bahkan Roro Kartiko telah tewas! Ah, Roro Kartiko...! Sulastri...! Jantungnya berdebar. Dia harus menyelamatkan merka. Cepat dia meloncat dan mengikat kaki tangan tiga orang yang masih pingsan itu dengan ikat pinggang mereka sendiri, lalu menggunakan ujung baju mereka untuk menutupi mulut dan mengikatnya ke belakang kepala. Dia harus bekerja cepat. Dia adalah mantu adipati! Tentu mudah baginya untuk menolong mereka!   Dia lalu cepat menutupkan pintu ruangan itu dan keluar. Tentu saja dia ingat di mana adanya tempat tahanan, maka dengan sikap biasa dan tenang dia menuju ke tempat itu. Ketika para penjaga melihatnya, mereka semua memberi hormat dan tidak ada yang berani mencegah dia memasuki tempat itu. Bahkan seorang perwira memberi hormat dan berkata sambil tersenyum, "Raden, mereka diam saja di sebelah dalam, tidak ada yang menimbulkan keributan. Eh..., Raden Bromatmojo, kalau... kalau boleh... harap paduka nanti hadiahkan seorang di antara mereka, wanita-wanita anggota Sriti Kencana itu, kepada saya... heh-heh."   Sutejo menahan keheranan dan kemarahannya. Dia disebut Raden Bromatmojo oleh perwira ini! Dan mendengar tentang disebutnya anggauta Sriti Kencana, dia menduga bahwa tentu ada di antara mereka yang tertawan pula. Dia dapat membayangkan. Tentu Joko Handoko dan Roro Kartiko menyelundup ke tempat ini dibantu oleh para anggautanya, dengan niat menolongnya. Juga dibantu oleh Sulastri tentu saja. Sulastri! Terakhir kalinya dia bertemu dengan Sulastri adalah di dalam hutan, ketika Sulastri marah-marah kepadanya, menuduhnya membunuh Guru gadis itu, yaitu Empu Supamandrangi!   "Keluarlah semua, aku harus membawa mereka keluar!" katanya singkat. Para perwira merasa heran, akan tetapi tidak ada yang berani menghalangi ketika Sutejo memasuki kamar tahanan itu. Mereka semua berkumpul di luar dan saling bicara, menduga-duga apa yang akan dilakukan oleh mantu adipati itu. Mereka semua merasa segan dan hormat kepada mantu adipati ini yang mereka tahu memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat.   Dengan langkah lebar Sutejo memasuki kamar tahanan setelah pintunya dibuka dari luar. Dia melihat Sulastri dan jantungnya berdebar tidak karuan.   "Diajeng Sulastri...!" Dia menahan jeritnya dan yang keluar hanyalah bisikan penuh keharuan melihat Sulastri rebah terlentang dalam keadaan terbelenggu itu. Sulastri mendengar bisikan ini dan membuka matanya. Ketika melihat bahwa yang memanggilnya adalah Sutejo, dia terbelalak. Kemudian teringatlah dia bahwa Sutejo sekarang bukanlah Sutejo dahulu lagi, melainkan suami Sariwuni yang telah kehilangan ingatan. Maka karena tidak ingin menghadapi siksaan batin lebih lama lagi, dia berkata dengan suara mengandung isak.   "Kau bunuhlah aku sekarang juga...!"   "Tidak... tidak...! Diajeng, lihatlah aku... aku kini sudah ingat lagi... berkat pertolongan Eyang Guru...!" Sutejo lalu menghampiri dara itu dan mulai membuka ikatan kaki dan tangannya.   Sulastri yang tadinya sudah memejamkan matanya lagi, lalu membuka matanya, memandang terbelalak seperti tidak percaya. Akan tetapi dia melihat sinar mata yang lembut penuh duka itu, melihat dua titik air mata membasahi bawah mata pemuda itu, dan tak tertahankan lagi air matanya sendiri bercucuran. Setelah kaki tangannya terlepas, dia berbisik, "Kakang Tejo...!"   Tanpa dapat dicegah oleh apapun juga, keduanya lalu saling tubruk dan saling merangkul! Rasa rindu yang bertahun-tahun terpendam, kini jebol dan Sulastri menangis mengguguk dalam pelukan Sutejo, terisak-isak dan hanya dapat menyebut nama pemuda itu berulang kali. Tidak ada kata-kata keluar dari mulut mereka kecuali menyebut nama masing-masing dengan suara penuh kemesraan, kerinduan dan cinta kasih yang amat besar. Seketika lenyaplah seluruh perasaan marah dan dendam, yang ada hanyalah cinta kasih yang mengharukan.   "Dimas Sutejo, engkau sudah ingat kembali? Syukurlah...!" Suara ini adalah suara Joko Handoko. Mendengar suara ini, seketika Sulastri melepaskan pelukannya, merasa seolah-olah ada halilintar menyambar kepalanya karena dia teringat bahwa dia adalah isteri dari Joko Handoko! Dia melepaskan pelukan dan cepat dia menghampiri Ayu Kunti dan Cempaka untuk melepaskan ikatan kedua tangan mereka, sedangkan Sutejo juga cepat membebaskan kaki tangan Joko Handoko.   "Kakangmas Handoko, baru saja aku sembuh oleh pertolongan Eyang guruku. Akan tetapi kita harus berhati-hati. Mari kuantar kalian semua keluar dan kalian pura-pura tunduk kepadaku, sebagai tawanan-tawanan. Kita mencari perahu untuk lari dari pulau ini," Sutejo berbisik.   "Akan tetapi... Adikku... jenazah Adikku Roro Kartiko..." Joko Handoko terisak.   "Aku sudah tahu bahwa Diajeng Roro Kartiko telah tewas. Berarti kita tidak dapat menolongnya lagi, Kakangmas. Maka biarlah nanti kalau kita kembali bersama pasukan, kita akan mencarinya. Sekarang, paling penting adalah agar kita dapat keluar dari pulau ini dengan selamat. Hayolah!"   Empat orang tawanan itu lalu berjalan keluar dengan kepala menunduk, digiring oleh Sutejo yang mengangkat muka dan mengangkat dada dengan gagahnya. Ketika mereka tiba di luar, para perwira dan penjaga memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan. Akan tetapi Sutejo segera berkata, "Mereka telah tunduk kepadaku dan aku menjalankan perintah Kanjeng Rama Adipati untuk membawa mereka ke suatu tempat. Kalian semua harus tetap menjaga di sini, seorang pun tidak boleh meninggalkan tempat ini sampai ada perintah lain. Berjaga-jagalah terhadap musuh yang berusaha memasuki tempat ini dengan usaha mereka untuk menolong tawanan yang sudah kukeluarkan ini."   Para perwira mengangguk, dan Sutejo cepat menggiring empat orang itu keluar dan menghilang ke dalam kegelapan cuaca yang mulai remang-remang karena fajar mulai menyingsing di ufuk timur.   "Kami mempunyai perahu di pantai, dijaga oleh Ambar dan Tarmi," kata Joko Handoko dan bergegas mereka pergi ke arah pantai itu. Di tengah jalan, mereka bertemu dengan dua orang penjaga yang sedang meronda, akan tetapi tanpa banyak cakap lagi Sutejo merobohkan mereka, membuat mereka pingsan dan dia mengajak teman-temannya untuk mempercepat langkah.   Ternyata perahu yang dijaga oleh Ambar dan Tarmi masih ada di tempat semula. Kedua orang wanita pengikut Sriti Kencana itu bersembunyi di dalam semak-semak dan mereka berdua sudah merasa khawatir bukan main karena semalam suntuk teman-teman mereka tidak juga kembali, padahal fajar telah mulai mendatang. Kini dengan girang mereka melompat keluar melihat bayangan lima orang itu, akan tetapi mereka terkejut ketika melihat Sulastri dan Sutejo, dan mereka tidak melihat adanya Roro Kartiko. Mereka cepat bertanya, akan tetapi Joko Handoko menjawab, "Tidak ada waktu banyak bicara, mari kita cepat pergi!"   Perahu didorong ke air, mereka meloncat dan mendayung perahu ke tengah, kemudian dengan bantuan layar terkembang, perahu meluncur cepat meninggalkan Nusabarung. Setelah perahu meluncur pergi, barulah hati mereka merasa lega, akan tetapi hal ini justru mengingatkan mereka kembali akan tewasnya Roro Kartiko dan hal-hal lain. Terdengar isak tangis dan ternyata Sulastri telah menangis lagi. Sutejo cepat duduk mendekati gadis itu, memegang lengannya dan berkata halus,"Diajeng, sudahlah harap jangan berduka. Diajeng Roro Kartiko tewas sebagai seorang wanita gagah perkasa, dan selama hidup kita harus selalu teringat akan pengorbanan dan pembelaannya itu. Karena dialah maka kita dapat bertemu dan berkumpul kembali..."   Akan tetapi, mendengar ucapan ini, Sulastri bukannya terhibur, bahkan menangis makin sedih. Joko Handoko menghela napas dan hanya menundukkan muka, sedangkan empat orang anggauta Sriti Kencana saling pandang dengan bingung. Sikap Sutejo yang demikian mesra terhadap Sulastri mendatangkan perasaan tidak senang dan heran dalam hati mereka. Bagimana Sutejo berani bersikap demikian mesra dan lancang terhadap Sulastri, di depan suami mereka itu pula? Dan mengapa pula Joko Handoko juga kelihatan tidak peduli, bahkan berduka? Juga Ambar dan Tarmi terisak menangis ketika mendengar bahwa Roro Kartiko telah tewas dalam penyelundupan mereka ke pulau itu.   Sunyi di perahu. Yang terdengar hanyalah isak tangis para wanita, karena melihat Sulastri, Ambar dan Tarmi menangis, tak tertahankan lagi Ayu Kunti dan Cempaka juga terisak-isak. Hanya tinggal Joko Handoko dan Sutejo berdua yang diam, menundukkan muka dan tidak berkata-kata, semua tenggelam ke dalam kedukaan yang memberatkan hati. Namun, Joko Handoko tidak pernah lengah untuk mengemudikan perahu, sedangkan Ambar dan Tarmi yang pandai berlayar itu mengatur layar dengan cermatnya.   Setelah matahari naik tinggi, dari jurusan daratan nampaklah banyak sekali perahu besar berlayar menuju ke Nusabarung.   "Itu adalah perahu-perahu kita!" Joko Handoko berseru girang dan memang benar. Setelah dekat, perahu-perahu besar itu ternyata adalah perahu-perahu yang membawa pasukan Puger. Seperti kita ketahui, para anggauta Sriti Kencana yang dipimpin oleh Joko Handoko dan Roro Kartiko meninggalkan Puger tanpa pamit, kemudian disusul pula oleh Sulastri. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali barulah para dayang mengetahui hal itu dan dengan bingung mereka lalu melapor. Mendengar pelaporan ini, tahulah Sang Prabu bahwa putera-puteri mereka tentu melakukan penyelidikan ke Nusabarung, maka pagi-pagi sekali Sang Prabu sendiri lalu memimpin pasukan besar, juga minta bantuan Maeso Pawagal untuk mengerahkan pasukan dari Lumajang, untuk melakukan penyeberangan ke Nusabarung untuk menyerbu musuh itu!   Pertemuan antara Joko Handoko dan Sang Prabu Bandardento amat mengharukan. Sang Prabu Bandardento yang sudah tua itu tak dapat menahan linangan air matanya ketika mendengar akan tewasnya Roro Kartiko, puteri angkatnya yang amat disayangnya itu. Saking berduka, Sang Adipati menjadi marah sekali. Andaikata Roro Kartiko berada bersama mereka yang berhasil lolos dari Nusabarung, agaknya Sang Adipati akan membatalkan niatnya menyerbu Nusabarung. Akan tetapi mendengar bahwa puterinya tewas oleh orang-orang Nusabarung, dia lalu dengan marah memerintahkan armadanya melanjutkan pelayaran menuju ke Nusabarung!   Sutejo belum sempat banyak bicara dengan Sulastri karena mereka berdua tidak memperoleh kesempatan untuk bicara berdua saja. Namun, Sulastri melihat betapa sinar mata pemuda itu selalu ditujukan kepadanya dengan penuh kasih sayang, penuh rindu dan juga penuh penyesalan, membuat hatinya terharu sekali. Dia ingin bicara banyak dengan pemuda itu dan dia merasa makin terharu kalau mengingat bahwa Sutejo tentu belum tahu bahwa dia kini telah bersuami! Di lain pihak, Sutejo yang melihat sinar mata Sulastri kadang-kadang ditujukan kepadanya, dapat menangkap kesedihan besar di dalam sinar mata wanita yang dicintanya itu. Dia pun ingin sekali bicara banyak dengan Sulastri, ingin mohon maaf dan ingin menjelaskan bahwa dia sungguh-sungguh tidak membunuh guru gadis itu, dan juga bahwa kalau benar dia telah menikah dengan puteri Adipati Nusabarung, hal itu terjadi karena dia telah kehilangan ingatan! Hatinya gelisah melihat betapa gadis itu masih memandang kepadanya dengan sinar mata penuh duka, seolah-olah banyak sekali hal-hal yang mengganjal di hati gadis yang amat dicintanya itu   Nusabarung menjadi geger ketika secara tiba-tiba pasukan Puger yang besar sekali jumlahnya, dibantu pasukan Lumajang yang kuat, datang menyerbu pulau dan melakukan pendaratan di sepanjang pantai utara. Adipati Menak Dibyo, dibantu oleh Menak Srenggo dan putera-puterinya, sudah membantu para perwira melakukan penjagaan. Pagi tadi baru ada penjaga mengetahu"Itu adalah perahu-perahu kita!" Joko Handoko berseru girang dan memang benar. Setelah dekat, perahu-perahu besar itu ternyata adalah perahu-perahu yang membawa pasukan Puger. Seperti kita ketahui, para anggauta Sriti Kencana yang dipimpin oleh Joko Handoko dan Roro Kartiko meninggalkan Puger tanpa pamit, kemudian disusul pula oleh Sulastri. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali barulah para dayang mengetahui hal itu dan dengan bingung mereka lalu melapor. Mendengar pelaporan ini, tahulah Sang Prabu bahwa putera-puteri mereka tentu melakukan penyelidikan ke Nusabarung, maka pagi-pagi sekali Sang Prabu sendiri lalu memimpin pasukan besar, juga minta bantuan Maeso Pawagal untuk mengerahkan pasukan dari Lumajang, untuk melakukan penyeberangan ke Nusabarung untuk menyerbu musuh itu!   Pertemuan antara Joko Handoko dan Sang Prabu Bandardento amat mengharukan. Sang Prabu Bandardento yang sudah tua itu tak dapat menahan linangan air matanya ketika mendengar akan tewasnya Roro Kartiko, puteri angkatnya yang amat disayangnya itu. Saking berduka, Sang Adipati menjadi marah sekali. Andaikata Roro Kartiko berada bersama mereka yang berhasil lolos dari Nusabarung, agaknya Sang Adipati akan membatalkan niatnya menyerbu Nusabarung. Akan tetapi mendengar bahwa puterinya tewas oleh orang-orang Nusabarung, dia lalu dengan marah memerintahkan armadanya melanjutkan pelayaran menuju ke Nusabarung!   Sutejo belum sempat banyak bicara dengan Sulastri karena mereka berdua tidak memperoleh kesempatan untuk bicara berdua saja. Namun, Sulastri melihat betapa sinar mata pemuda itu selalu ditujukan kepadanya dengan penuh kasih sayang, penuh rindu dan juga penuh penyesalan, membuat hatinya terharu sekali. Dia ingin bicara banyak dengan pemuda itu dan dia merasa makin terharu kalau mengingat bahwa Sutejo tentu belum tahu bahwa dia kini telah bersuami! Di lain pihak, Sutejo yang melihat sinar mata Sulastri kadang-kadang ditujukan kepadanya, dapat menangkap kesedihan besar di dalam sinar mata wanita yang dicintanya itu. Dia pun ingin sekali bicara banyak dengan Sulastri, ingin mohon maaf dan ingin menjelaskan bahwa dia sungguh-sungguh tidak membunuh guru gadis itu, dan juga bahwa kalau benar dia telah menikah dengan puteri Adipati Nusabarung, hal itu terjadi karena dia telah kehilangan ingatan! Hatinya gelisah melihat betapa gadis itu masih memandang kepadanya dengan sinar mata penuh duka, seolah-olah banyak sekali hal-hal yang mengganjal di hati gadis yang amat dicintanya itu   Nusabarung menjadi geger ketika secara tiba-tiba pasukan Puger yang besar sekali jumlahnya, dibantu pasukan Lumajang yang kuat, datang menyerbu pulau dan melakukan pendaratan di sepanjang pantai utara. Adipati Menak Dibyo, dibantu oleh Menak Srenggo dan putera-puterinya, sudah membantu para perwira melakukan penjagaan. Pagi tadi baru ada penjaga mengetahui bahwa Menak Srenggo, Sariwuni dan Bandupati dibelenggu di ruangan itu dan ditutup mulut mereka. Setelah memperoleh pertolongan dan mereka itu bercerita kepada Sang Adipati Menak Dibyo tentang Sutejo yang memberontak, adipati ini marah sekali. Apalagi ketika menerima laporan bahwa Sutejo yang mereka kenal sebagai Bromatmojo itu telah membawa pergi empat orang tawanan, Sang Adipati marah-marah dan segera memerintahkan para pengawal untuk mencari dan melakukan pengejaran.   Akan tetapi hasil pengejaran itu adalah berita yang amat mengejutkan, yang dibawa oleh para pengejar itu bahwa kini armada yang amat besar telah datang menuju ke pulau mereka, yaitu pasukan-pasukan dari Puger! Tentu saja hal ini menimbulkan kegemparan. Penjagaan dilakukan serentak, dan ketika pasukan-pasukan Puger mendarat, mereka ini disambut hangat oleh para pasukan Nusabarung yang sudah membuat persiapan secara tergesa-gesa sehingga pada pagi hari itu, terjadilah perang campuh yang amat hebat di pantai Pulau Nusabarung!i bahwa Menak Srenggo, Sariwuni dan Bandupati dibelenggu di ruangan itu dan ditutup mulut mereka. Setelah memperoleh pertolongan dan mereka itu bercerita kepada Sang Adipati Menak Dibyo tentang Sutejo yang memberontak, adipati ini marah sekali. Apalagi ketika menerima laporan bahwa Sutejo yang mereka kenal sebagai Bromatmojo itu telah membawa pergi empat orang tawanan, Sang Adipati marah-marah dan segera memerintahkan para pengawal untuk mencari dan melakukan pengejaran.   Akan tetapi hasil pengejaran itu adalah berita yang amat mengejutkan, yang dibawa oleh para pengejar itu bahwa kini armada yang amat besar telah datang menuju ke pulau mereka, yaitu pasukan-pasukan dari Puger! Tentu saja hal ini menimbulkan kegemparan. Penjagaan dilakukan serentak, dan ketika pasukan-pasukan Puger mendarat, mereka ini disambut hangat oleh para pasukan Nusabarung yang sudah membuat persiapan secara tergesa-gesa sehingga pada pagi hari itu, terjadilah perang campuh yang amat hebat di pantai Pulau Nusabarung!   Akan tetapi, kini semangat bertempur para pasukan Nusabarung menjadi menyempit, apalagi ketika mereka melihat betapa Sutejo yang tadinya menjadi landasan semangat mereka itu kini berpihak kepada musuh! Melihat Sutejo mengamuk di samping Sulastri, senopati wanita dari Puger yang hebat itu, merobohkan lawan dengan mudah saja, hati para perajurit Nusabarung menjadi kecil sekali.   Sariwuni dan Bandupati yang melihat betapa Sutejo kini berfihak kepada musuh, bertanding bahu-membahu bersama wanita perkasa yang menjadi senopati Puger, menjadi marah sekali. Dengan senjata di tangan mereka memapaki dua orang ini dan Sariwuni segera menudingkan telunjuknya kepada Sutejo, "Kakangmas Bromatmojo! Aku adalah isterimu, apakah kini engkau hendak mencelakakan isterimu sendiri?"   Di dalam hatinya, Sutejo sudah marah sekali. Wanita ini sungguh tak tahu malu, pikirnya. Menguasai dirinya melalui racun Lalijiwo dan dalam keadaan lupa diri itu dia telah dibujuk untuk menjadi suaminya! Apalagi ketika di dalam perahu dia memperoleh kesmpatan mendengar penuturan singkat Joko Handoko betapa di dalam keadaan kehilangan ingatan itu dia mengaku bernama Bromatmojo dan Sariwuni mengaku kepadanya sebagai Sulastri, hatinya terasa sakit sekali! Wanita tak tahu malu ini mempergunakan kesempatan selagi dia tidak ingat apa-apa lagi, menggunakan cinta kasihnya terhadap Sulastri, wanita itu mengaku sebagai Sulastri sehingga dia mau saja dijadikan suaminya.   Akan tetapi saking marahnya, dia sampai tidak dapat mengeluarkan kata-kata, dan adalah Sulastri yang menjawab, "Perempuan hina! Akulah yang bernama Bromatmojo, dan aku pula yang bernama Sulastri! Tanpa racun Lalijiwo, jangan harap kau akan dapat mempengaruhi lagi kepada Kakang Tejo. Akulah lawanmu, iblis betina!" Dan Sulastri sudah mnerjang maju, mengirim tamparan Hasto Nogo kepada Sariwuni. Sekali ini Sulastri marah bukan main, kemarahan yang didasari oleh hati penuh cemburu bahwa wanita ini telah menggunakan namanya dan berhasil mempersuami Sutejo!   Melihat adiknya terdesak oleh segebrakan serangan itu, Bandupati hendak membantu, akan tetapi tiba-tiba Sutejo membentak dan sudah menyerangnya sehingga terpaksa Bandupati meninggalkan adiknya dan menghadapi terjangan Sutejo yang juga menyerang dengan kemarahan meluap-luap.   Sementara itu, Menak Srenggo kembali telah berhadapan dengan Padas Gunung dan Pragalbo, dua orang tokoh Puger yang amat membenci Menak Srenggo yang berkhianat itu. Sedangkan Adipati Menak Dibyo memperoleh lawan yang setingkat, yaitu Sang Prabu Bandardento sendiri yang selalu dibayangi dan dilindungi oleh Joko Handoko.   Hebat bukan main perang campuh yang terjadi di pantai Pulau Nusabarung itu. Makin lama, perang itu makin ke tengah pulau karena pihak Nusabarung terdesak dan terus mundur. Teriakan-teriakan mereka menggegerkan seluruh pulau. Burung-burung beterbangan dengan ketakutan, mengungsi ke pulau lain. Ombak Lautan Kidul juga ikut mengamuk dan mendebur dahsyat ke pantai selatan Pulau Nusabarung, seolah-olah Sang Ratu Kidul sendiri menjadi marah menyaksikan kekejaman manusia yang saling sembelih itu!   Pertandingan antara Sariwuni dan Sulastri berjalan singkat saja. Tidak sampai tiga puluh jurus, Sariwuni roboh terkena tamparan tangan kiri Sulastri. Tamparan itu tepat mengenai pelipisnya, tak tetahankan oleh Sariwuni dan wanita ini roboh dengan kepala retak, tewas seketika. Sebelum menghembuskan napas terakhir, dia memekik, "Kakangmas Bromatmojo...!!"   Hampir bersamaan waktunya, Bandupati juga roboh, kena didorong dadanya oleh telapak tangan kanan Sutejo. Tidak ada luka di dadanya, namun getaran hawa sakti yang mendorong dada itu merusakkan isi dadanya dan Bandupati roboh tak berkutik lagi, juga tewas seketika.   Perang menjadi makin kacau. Setelah akhirnya Adipati Menak Dibyo juga roboh oleh Sang Adipati Puger, dan juga Menak Srenggo tidak kuat menghadapi keroyokan Padas Gunung dan Pragalbo, akhirnya roboh dengan leher berlubang dan dada berlubang terkena tusukan keris Pragalbo dan suling Padas Gunung, pasukan Nusabarung menjadi kacau-balau dan berserabutan melarikan diri. Akan tetapi, mereka terus dikejar oleh pasukan-pasukan Puger yang mulai melakukan pembasmian. Istana diserbu dan terjadilah pembunuhan besar-besaran yang amat mengerikan. Setelah Sang Prabu Bandardento melalui para perwiranya mengumumkan isyarat, barulah pembunuhan berhenti dan para sisa pasukan Nusabarung tunduk kepada Puger dan Sang Prabu Bandardento lalu mengangkat Padas Gunung untuk menjadi penguasa setempat di Nusabarung, sebagai hadiah atas jasa-jasa senopati yang sudah lama menghambakan diri di Puger itu.   Sang Prabu Bandardento menangisi jenazah Roro Kartiko yang masih berada di Nusabarung. Jenazah ini lalu diurus dengan penuh penghormatan, lalu dibakar sebagaimana mestinya, diiringkan tangis kakaknya dan semua keluarga kadipaten Puger. Juga Sulastri menangis terisak-isak, sedangkan Sutejo berdiri dengan kepala tunduk, mukanya pucat karena dia tahu bahwa Roro Kartiko tewas karena membela dia! Sampai saat itu dia tidak tahu bahwa sebenarnya Roro Kartiko diam-diam amat mencintanya, dan gadis itu seolah-olah putus harapan dan sengaja membelanya dengan taruhan nyawa setelah melihat kenyataan bahwa biarpun telah menjadi isteri kakaknya, Sulastri masih tetap mencinta Sutejo.   Setelah semua selesai, Sang Prabu Bandardento kembali ke Puger, menyerahkan kekuasaan atas Pulau Nusabarung kepada Padas Gunung yang dibantu oleh para perwira yang sudah takluk. Tentu saja kemenangan perang ini menghasilkan barang-barang berharga yang menjadi rampasan, termasuk puteri-puteri Nusabarung. Mereka ini dibawa keluar dari Nusabarung menuju ke Puger di mana, baik barang-barang berharga maupun para puteri dan wanita cantik itu akan dibagi-bagikan kepada mereka yang berjasa, tentu saja dimulai dari para perwira tinggi. Dan sudah barang tentu, orang Pertama yang berhak memilih adalah Sang Prabu Bandardento sendiri!   Memang demikianlah yang menjadi kenyataan, yang terjadi semenjak dahulu sampai sekarang pun di dunia ini! Manusia saling bermusuhan, saling berperang hanya untuk memperebutkan keuntungan yang pada hakekatnya hanyalah kesenangan belaka yang berselubung, karena bukankah keuntungan itu berarti kesenangan? Keuntungan yang menyenangkan dan kerugian adalah menyusahkan. Keuntungan berupa kedudukan, kehormatan, kemenangan, harta benda, puteri-puteri dan wanita-wanita rampasan yang menjadi syarat pemuasan kesenangan nafsu berahi, nama besar, dan sebagainya, yang semua itu menjamin datangnya kesenangan dan kepuasan. Tentu saja tidak ada orang atau bangsa yang mau melihat kenyataan ini, tidak ada yang mau mengatakan bahwa mereka berperang demi keuntungan atau kemenangan yang menjamin kesenangan. Mereka menyelimuti keuntungan itu dengan kata yang sudah makin menjadi kotor saja, yaitu kebenaran! Mereka berjuang demi kebenaran! Mereka berperang demi kebenaran! Sungguh merupakan lelucon yang sama sekali tidak lucu. Bagaimana mungkin kebenaran diperebutkan dengan saling membunuh? Bagaimana mungkin kebenaran diperoleh dengan jalan saling bermusuhan? Bermusuhan, berperang, saling membunuh, ini sudah jelas tidak benar. Mana mungkin mencapai kebenaran melalui cara yang tidak benar?   Yang jelas, setiap peperangan mendatangkan kesengsaraan dan penderitaan, terutama bagi yang kalah, sedangkan pada akhirnya, yang menang menikmati kemenangan dan memperoleh kesenangan yang dinamakan kebenaran! Semua ini demikian jelas, demikian sederhana dan demikian mudah. Akan tetapi sungguh aneh. Semua manusia di dunia ini tidak mau melihatnya! Tidak mau memandangnya sebagai kenyataan hidup. Terjadilah kepincangan-kepincangan, kejanggalan-kejanggalan yang demikian nyata, namun sama sekali tidak dapat menyadarkan manusia daripada kepalsuan itu. Yang kalah dikutuk sebagai yang salah, yang menang dipuja sebagai yang benar. Demikianlah kenyataan hidup manusia, di manapun juga tidak ada kecualinya. Semenjak jaman dahulu sampai sekarang pun, yang tetap berlaku adalah hukum rimba, yaitu siapa kuat dia menang dan siapa menang dia benar dan dia kuasa! Lihatlah di sekeliling kita, lihatlah di dunia ini. Hukum rimba yang liar, dan pada hakekatnya kita ini masih hidup di jaman purba, seperti binatang di dalam hutan. Hanya hukum rimba kita sekarang diperhalus, berselubung, terhias dengan segala macam peradaban, kebudayaan, politik, agama dan sebagainya. Namun pada intinya, masih jelas nampak hukum rimba itu. Tentu saja siapa pun boleh saja menyangkalnya, namun bagi siapa yang suka membuka mata dan telinga, melihat kenyataan hidup sehari-hari, tentu akan melihat kenyataan itu.   Dalam suasana gembira karena menang perang, akhirnya Sang Prabu Bandardento menerima mereka yang telah berjasa besar itu di dalam ruangan persidangan. Semua senopati yang telah berjasa hadir, tidak ketinggalan Pragalbo, Joko Handoko, Sulastri, Sutejo, dan para bekas anak buah Sriti Kencana yang kini kehilangan kepalanya itu. Setelah memuji-muji kesetiaan dan kegagahan para senopatinya, akhirnya dengan muka sedih Sang Adipati berkata, "Amat disesalkan bahwa kedatangan kita terlambat sehingga puteri kami tercinta, Roro Kartiko, telah menjadi korban dan tewas di tangan musuh. Akan tetapi, pengorbanannya itu tidak sia-sia karena pengorbanannya itu membawa kemenangan bagi Puger sehingga Nusabarung dapat kita taklukkan! Biarlah, kami takluk terhadap kehendak para dewata yang telah mengambil puteri kami. Kami masih mempunyai putera kami, Handoko dan mantu kami, Sulastri. Dengan adanya putera dan mantu kami ini, Puger akan selalu kuat dan jaya...."   "Ohhhh...!" Semua orang terkejut mendengar suara ini dan mereka menoleh. Mereka melihat Sutejo menjadi pucat sekali mukanya dan pemuda itu menundukkan mukanya, tubuhnya gemetar seperti orang sakit.   "Anakmas Sutejo, Andika telah berjasa besar dan tanpa bantuan Andika, kiranya akan sukarlah menundukkan Nusabarung! Juga Andika yang telah menyelamatkan putera dan mantu kami... eh, Andika kenapakah, Anakmas?"   Seluruh tubuh Sutejo menggigil dan dia memejamkan matanya. Sulastri menoleh dan wanita ini menjadi pucat sekali, akan tetapi dia segera menundukan muka kembali, tidak berani memandang kepada Sutejo. Memang selama ini, belum pernah dia berani mengatakan kepada Sutejo bahwa dia telah menikah dengan Joko Handoko. Kini, mendengar disebutnya namanya sebagai mantu Sang Adipati, tentu saja Sutejo menjadi terkejut dan mengalami pukulan batin yang amat hebat.   Joko Handoko maklum akan keadaan Sutejo ini, maka cepat dia menghampiri dan berkata kepada Sang Adipati, "Kanjeng Romo, agaknya Dimas Sutejo kambuh kembali penyakitnya, karena memang selama ini dia kurang sehat, harap Kanjeng Romo suka memaafkannya dan biarlah hamba mengantarkannya ke dalam kamarnya."   Sutejo maklum bahwa dia bersikap tidak sopan, maka dia pun membungkuk dengan hormat tanpa berani mengeluarkan kata-kata, kemudian setelah melihat Sang Adipati mengangkat tangan tanda menyetujui, dia bangkit dan dipapah oleh Joko Handoko, pergi meninggalkan ruangan sidang dan menuju ke dalam kamarnya.   "Aduh, Adimas... Adimas Sutejo, Kau ampunkan aku..." Setibanya di dalam kamar, Joko Handoko berkata dan memandang wajah pemuda yang duduk di atas pembaringan itu dengan hati penuh rasa iba.   Sutejo yang tadinya memejamkan mata, kini membuka matanya, memandang kepada Joko Handoko. Mata itu seperti mata orang yang kehilangan semangat, layu dan sama sekali tidak ada gairah hidup lagi sehingga Joko Handoko merasa terkejut bukan main.   "Dimas Sutejo, harap kau suka maafkan aku, maafkan kami berdua..." kembali dia berkata dengan suara tersendat-sendat. "Sudah semenjak kita bertemu, ingin aku menyampaikan hal ini kepadamu, akan tetapi... ah, ketika itu engkau masih belum sadar, dan kemarin... kemarin ini, aku tidak mendapatkan kesempatan dan... dan agaknya aku ngeri untuk menyampaikan kepadamu, Adimas...." Joko Handoko lalu menggunakan kedua tangannya menutupi mukanya. Betapa dia merasa amat menyesal bahwa dia pernah menikah dengan Sulastri, pernikahan yang hanya mendatangkan kepahitan dan kedukaan di dalam hatinya, di dalam hati Sulastri, dan kini menghancurkan pula hati Sutejo.   Sunyi kembali dalam kamar itu setelah Joko Handoko mengeluarkan kata-kata itu. Sampai lama mereka hanya duduk diam, Joko Handoko masih menutupi muka dengan kedua tangannya, sedangkan Sutejo termangu-mangu memandang wajah yang ditutupi jari-jari tangan itu. Akhirnya terdengar dia berkata dengan suara halus, namun ketenangan sikapnya itu masih berlawanan dengan suaranya yang gemetar.   "Kakangmas Joko Handoko, mengapa engkau minta maaf kepadaku? Sudah sepatutnya kalau... kalau Diajeng Sulastri menjadi isterimu. Engkau kini adalah seorang putera adipati yang terhormat, engkau masih muda, tampan, sakti dan amat baik. Engkau patut menjadi suaminya, dan tidak ada yang harus disesalkan, Kakangmas... aku... aku malah ikut merasa girang bahwa kalian saling mencinta..."   "Tidak... ah, kalau saja demikian keadaannya, Dimas...."   Sutejo memandang tajam. Alisnya berkerut. "Apa maksudmu, Kakangmas?"   Joko Handoko menurunkan kedua tangannya dan mukanya kini sama pucatnya dengan muka Sutejo, bahkan matanya basah, membuat Sutejo memandang khawatir dan heran.   "Kuakui saja bahwa memang aku amat mencinta Diajeng Sulastri, Dimas. Akan tetapi semenjak aku mengetahui bahwa dia mencinta dirimu seorang, aku sudah tahu diri dan tidak berani mengharapkan cintanya. Aku cinta padanya, sampai detik ini juga, akan tetapi dia... dia sama sekali tidak pernah mencintaku, Dimas. Hanya engkau seoranglah yang dicintanya sampai sekarang..."   Sutejo bangkit berdiri saking kagetnya mendengar pengakuan itu. "Akan tetapi kalau begitu... mengapa... mengapa kalian menikah?" tanyanya dengan suara agak keras karena merasa penasaran.   Joko Handoko menarik napas panjang. "Terjadi hampir dua tahun yang lalu, Adimas. Kami menikah karena terpaksa dan itu pun atas desakan Diajeng Sulastri yang tidak melihat jalan lain untuk menyelamatkan diri kami bertiga dari bahaya maut." Joko Handoko lalu menceritakan pengalamannya bersama Roro Kartiko dan Sulastri, betapa mereka terancam maut di tangan saudara kembar Murwendo dan Murwanti dan betapa mereka melihat jalan keluar untuk menyelamatkan diri, yaitu pernikahan antara Sulastri dan Joko Handoko seperti yang dikehendaki oleh Sang Prabu Bandardento untuk menghadapi tuduhan Murwendo.   "Demikianlah, Dimas Sutejo. Dan sampai... sampai sekarang..., setelah hampir dua tahun lamanya, kami... kami berdua, sungguhpun semua orang menganggap kami suami isteri, akan tetapi kami... kami tidak pernah tidur sekamar... kami tidak pernah menjadi suami isteri dalam arti kata yang sesungguhnya. Aku bersumpah demi para Dewata, Adimas."   Sutejo makin terheran-heran dan alisnya berkerut makin dalam. "Akan tetapi, mengapa kalian berdua begitu gila? Mengapa melakukan hal seperti itu hanya untuk menyelamatkan diri? Itu bukanlah perbuatan satria utama!"   "Maafkan aku, Dimas. Sesungguhnya, jalan itu kutempuh karena dua hal. Pertama, seperti kuceritakan tadi, kami menikah untuk menyelamatkan nyawa kami bertiga, ke dua, karena... karena aku hendak memberi peluang dan kesempatan kepada Adikku... ah, kasihan Adikku Roro Kartiko, agar... dia dapat melaksanakan apa yang menjadi cita-cita hidupnya...."   Sutejo memandang dan tidak mengerti. "Apa maksudmu?"   "Dia cinta kepadamu, Dimas Sutejo. Adikku yang malang itu, setelah gagal cintanya terhadap... Bromatmojo, lalu dia mendapatkan kenyataan bahwa dia sesungguhnya mencintamu, Dimas. Dia cinta kepadamu, dan dapat kaubayangkan betapa hancurnya ketika dia mendengar pengakuan Sulastri yang hanya mencintamu seorang. Sama hancurnya dengan hatiku yang mendengar Sulastri mencintamu. Kami berdua kakak beradik seperti menerima kutukan Dewata, mungkin karena dosa-dosa Ayah kami. Aku ingin memberi peluang kepadanya. Kalau Sulastri menikah denganku dan akhirnya dapat belajar mencintaku, tentu terbuka kesempatan baginya untuk menjadi jodohmu. Akan tetapi... ahh, segala sesuatu berjalan serba tidak kebetulan dengan kami...."   "Ah, kenapa begitu? Kenapa kalian begitu bodoh...??"   "Semuanya telah terjadi, Dimas Sutejo. Aku pun menyadari kesalahan itu setelah terlanjur. Aku tahu bahwa cinta kasih di hati Diajeng Sulastri hanya untukmu, oleh karena itulah, maka malam tadi Diajeng Roro Kartiko dan aku nekat menyelundup ke Nusabarung dengan maksud untuk mengingatkanmu. Semua itu kami lakukan demi engkau dan demi Sulastri. Diajeng Kartiko bertindak demi untukmu, dan aku bertindak demi Diajeng Sulastri. Kami tahu bahwa kami telah bertepuk tangan sebelah, bahwa cinta kasih kami tidak terbalas, oleh karena itu, kami ingin mengisi sisa hidup kami untuk membahagiakan kalian berdua, orang-orang yang kami cinta. Akan tetapi, Diajeng Roro Kartiko telah mengorbankan nyawanya dan aku menyesal mengapa aku seorang yang masih hidup...." Setelah berkata demikian, Joko Handoko lalu meninggalkan kamar itu dengan muka pucat dan langkah kaki terhuyung.   Sutejo tidak mencegahnya dan dia sendiri duduk termenung dengan hati bingung. Baru dia mengangkat muka ketika dia mendengar langkah kaki yang ringan dan merasa bahwa ada orang lain di situ. Kiranya yang berdiri di depannya adalah... Sulastri! Wanita ini tadi merasa tidak enak ketika melihat suaminya pergi bersama Sutejo. Dia khawatir kalau-kalau terjadi hal-hal yang tidak baik, maka diam-diam dia lalu berpamit dari depan ayah mertuanya dan cepat menyusul suaminya ke kamar itu. Dia masih dapat mendengarkan percakapan mereka yang terakhir dan dia pun merasa terharu sekali akan keadaan Joko Handoko dan Roro Kartiko. Memang telah diduganya hal itu, akan tetapi sungguh tak diduganya betapa rela hati kakak beradik itu demi cinta kasih mereka, cinta kasih yang murni, yang tidak mementingkan diri sendiri.   Sejenak kedua orang itu hanya berpandangan. Perlahan-lahan Sutejo bangkit berdiri tanpa mengalihkan pandang matanya dari mata Sulastri. Dua pasang sinar mata itu saling pandang, saling menyelami, saling bicara dan akhirnya terdengar Sulastri bertanya,"Kau mau memaafkan kami?"   Sutejo seperti terkejut mendengar pertanyaan itu, lalu menundukkan mukanya dan menjawab lirih, "Apa yang harus dimaafkan? Kalian tidak bersalah apa-apa, bahkan bertindak benar. Hanya sayang bahwa engaku menghancurkan hati Kakangmas Joko Handoko... dengan... dengan... menyia-nyiakan kasih sayangnya kepadamu..."   "Kakang Tejo!" Sulastri berkata keras. "Kau tahu bahwa kami hanya... pura-pura saja menikah! Mana bisa aku membalas cintanya?"   "Tidak mungkin! Sebelum kami menikah, kami telah saling berjanji bahwa pernikahan itu hanya pura-pura saja, hanya untuk menyelamatkan nyawa kami. Dia pun mengerti bahwa aku tidak sengaja untuk menghancurkan hatinya. Tak mungkin aku mencintanya, tidak mungkin aku mencinta pria lain, dan hal ini kau tentu sudah tahu!" Sulastri berhenti sejenak, kemudian melanjutkan, nadanya menyesal sekali, "Tidak tahu bahwa engkau telah hidup mulia dan senang, menjadi mantu seorang adipati, menjadi senopati terhormat...."   "Diajeng Sulastri! Kau tahu bahwa aku tidak sadar melakukan itu semua! Bahwa aku berada dalam pengaruh racun Lalijiwo dan agaknya masih akan terus dalam keadaan seperti itu kalau tidak muncul Eyang Guru yang menyembuhkan aku!"   Sulastri menarik napas panjang. "Aku tahu, Kakang Tejo. Aku tahu dan tentu saja aku juga tidak dapat menyalahkan kau. Kau lihat, banyak hal-hal terjadi di luar kemauan kita, terjadi tanpa kita sengaja, seperti halnya pernikahanku dengan Kakangmas Joko Handoko. Sekarang, apa yang hendak kaulakukan selanjutnya, Kakang Tejo?"   Hati Sutejo merasa terharu sekali, terutama mendengar sebutan "Kakang Tejo", sebutan yang hanya dapat keluar dari mulut dara ini. Begitu mesra, begitu sederhana, namun begitu menggugah perasaan hatinya!   "Aku tidak tahu, aku sudah kehilangan pegangan semenjak pertemuan kita yang terakhir itu. Diajeng Sulastri, apakah engkau masih membenciku dan menganggap aku membunuh gurumu, Eyang Empu Supamandrangi?"   Sulastri menggeleng kepala. "Aku tidak tahu apa yang terjadi di sana, akan tetapi aku menduga bahwa tidak mungkin engkau mencampuri urusan khianat itu, dan aku sudah berhasil membunuh Resi Harimurti dalam pertandingan di Kahuripan. Aku sudah puas, karena aku mendapatkan perasaan bahwa dialah biang keladi kematian Guruku."   Sutejo mengangguk. "Memang semua adalah akal yang diatur oleh Kakang Resi Mahapati yang ingin memperoleh sebatang keris pusaka Kolonadah tiruan untuk dihaturkan kepada Gusti Pangeran. Resi Harimurti memaksa Eyang Empu dan akhirnya Eyang Empu Supamandrangi membuatkan keris itu." Sutejo lalu menceritakan tentang syarat menekuk bahan baja untuk keris itu yang dapat dilakukannya sehingga akhirnya Empu Supamandrangi mau membuatkannya.   Jilid 74   "Ketika itu, aku sedang duduk seorang diri di puncak. Ketika aku turun, aku sudah melihat Eyang Empu menggeletak dengan keris di tangan menusuk dada sendir. Nampaknya seperti membunuh diri. Akan tetapi aku pun merasa curiga, di dalam hatiku aku menduga bahwa tentu Resi Harimurti yang membunuhnya. Akan tetapi, tidak ada saksinya dan bukti menunjukkan pembunuhan diri, maka aku pun tidak dapat berbuat apa-apa kecuali membantu pengurusan jenazah Gurumu."   Teringat akan kematian gurunya, Sulastri menghapus beberapa titik air matanya dan berkata, "Betapa banyaknya korban-korban yang jatuh akibat dari pertikaian antara keluarga raja di Mojopahit. Sampai-sampai orang-orang seperti Guru-guruku yang selama hidupnya mengasingkan diri dan tidak turut bermusuhan, menjadi korban pula. Keluarga-keluarga kita berantakan dan betapa banyaknya korban di antara rakyat jelata..."   Sutejo menarik napas panjang, teringat akan ucapan gurunya ketika hendak meninggalkan Nusabarung. "Engkau benar, Diajeng dan kini aku teringat akan pertanyaanmu tadi apa yang akan kulakukan selanjutnya. Aku akan meninggalkan semua ini, meninggalkan semua peperangan, semua permusuhan, semua kekerasan, aku akan hidup sebagai petani di lereng Pegunungan Kawi, tidak mau lagi mencampuri urusan pertikaian di dunia."   Sulastri memandang dengan sinar mata mesra. "Ah... Kakang Tejo, kau... kaubawalah aku... bersamamu!" Di dalam sinar matanya itu timbul rasa cinta kasih yang mendalam, pengharapan yang setinggi gunung, bibir itu terbuka sedikit mengarah senyum namun terbayang pula kekhawatiran kalau-kalau pemuda itu menolak permintaannya. Dan memang penolakan itu tiba-tiba dengan langsung dan mengejutkan hatinya.   "Tidak...!! Sekali lagi tidak! Sama sekali tidak boleh!" Sutejo berkata seperti orang berteriak marah sehingga Sulastri memandang dengan mata terbelalak dan muka berubah pucat sekali. "Kau kira aku ini orang macam apa, Diajeng Sulastri? Engkau... engkau adalah isteri orang! Dan bukan orang biasa yang menjadi suamimu itu, melainkan Kakangmas Joko Handoko! Bagaimana engkau dapat menyuruh aku melakukan perbuatan sekeji itu, membawa isteri Kakangmas Joko Handoko? Ah, lebih baik aku mati saja!"   "Akan tetapi... kami... kami tidak..."   "Apa bedanya? Diajeng Sulastri, lihatlah baik-baik. Engkau adalah isteri Kakangmas Joko Handoko, tidak perduli apa pun yang terjadi di antara kalian. Semua orang tahu belaka bahwa engkau adalah isterinya, dan engkau adalah anak mantu Sang Prabu Bandardento! Mana mungkin engkau pergi bersama aku? Ah, jangankan melakukannya, membicarakannya saja, bahkan memikirkannya saja sudah merupakan hal yang sama sekali tidak patut!"   Perlahan-lahan, air mata turun dari sepasang mata itu, membasahi kedua pipinya. Sulastri tidak terisak, melainkan menggigit bibirnya dengan hati seperti ditusuk-tusuk rasanya. Harapannya selama ini hancur berantakan seperti sebuah kendi jatuh dan pecah, isinya tumpah dan tak dapat diharapkan akan utuh kembali. Sutejo telah menolaknya! Menolaknya walaupun dia tahu bahwa pemuda itu masih amat mencintanya. Hal itu dapat diketahui dari pandang mata pemuda itu. Karena dia adalah isteri Joko Handoko! Untuk memperoleh keyakinan, maka sambil menahan rasa nyeri di hatinya, Sulastri bertanya, suaranya agak gemetar namun masih jelas terdengar satu-satu.   "Kakang Tejo, jawablah. Apakah engkau masih mencintaku seperti dahulu? Apakah engkau menolak karena engkau telah beristeri dan cintamu kepadaku telah menipis dan lenyap? Ataukah karena engkau merasa kecewa mendapatkan diriku telah menikah dengan orang lain, tanpa memperdulikan apa pun alasan pernikahanku itu? Jawablah agar tidak ada rasa penasaran yang akan mencekik dan membunuhku!"   Sutejo yang tadinya sudah menjatuhkan diri duduk di atas pembaringan, kini bangkit berdiri lagi dan dengan suara sungguh-sungguh namun kering dan dingin dia berkata, "Aku cinta padamu, Diajeng, aku cinta padamu semenjak dahulu sampai sekarang, sampai selama hidupku. Tentang aku sudah pernah beristeri dengan Sariwuni, hal itu terjadi di luar kemauanku, bahkan di luar kesadaranku sehingga sama sekali tidak pernah kuanggap. Apalagi sekarang dia telah meninggal, andaikata dia masih hidup sekalipun, aku akan memberontak terhadap pernikahan itu dan aku akan meninggalkannya, karena pernikahan seperti itu bukanlah pernikahan namanya! Berbeda dengan pernikahanmu. Apa pun yang menjadi alasannya, apa pun yang memaksa kalian menikah, namun kalian melakukannya dalam keadaan sadar. Pernikahan kalian itu adalah sah, dan disaksikan oleh orang-orang sekadipaten Puger! Karena itu, mana mungkin aku mementingkan diri sendiri saja, membawa kau pergi sehingga terjadi tiga hal yang amat mengerikan, pertama nama baikmu akan menjadi tercemar, nama keluarga Sang Adipati di Puger akan menjadi kotor dan rusak, sedangkan hati Kakangmas Joko Handoko akan menjadi hancur. Yang terakhir inilah yang aku tidak akan melakukannya, Diajeng, biar aku mati sekali pun. Mana bisa aku merusak hati Kakangmas Joko Handoko? Ah, kau mengajukan permintaan yang sama sekali tidak mungkin..." Sutejo lalu meloncat dan lari meninggalkan kamar itu di mana Sulastri masih berdiri dengan muka pucat dan pandang mata kosong termenung.   Sementara itu terjadi hal-hal yang juga amat menarik di Mojopahit. Kemelut Mojopahit bukan makin mereda, bahkan kini seolah-olah berkumpul awan gelap yang makin menebal, yang menggelapkan Mojopahit dan mengancam ketenangan negara itu. Setelah Sang Prabu yang sepuh meninggal dunia, setelah kini kekuasaan pemerintahan berada di tangan Pangeran Kolo Gemet yang telah menjadi raja dengan gelar Sang Prabu Jayanagara. Raja yang masih amat muda ini masih diembani oleh Ki Patih Nambi yang bijaksana dan pandai mengatur pemerintahan. Akan tetapi, adanya Ki Patih Nambi yang masih dipertahankan kedudukannya hanyalah berkat pesanan terakhir dari mendiang Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana saja. Dalam kenyataannya, Sang Prabu Jayanagara yang masih muda itu lebih percaya dan lebih bergantung kepada ibunya, yaitu yang kini menjadi ibu suri, Sang Dyah Sri Indreswari dan juga kepada para ponggawa lain yang setia kepadanya semenjak dia masih menjadi pangeran, yaitu mereka yang mendukungnya terhadap pihak lawan yang menjadi saingan. Mereka ini antara lain adalah Sang Resi Mahapati yang mempunyai banyak kaki tangan orang-orang pandai, Tumenggung Singosardulo, dan yang lain-lain.   Biarpun dia masih menjadi patih yang resmi, namun di dalam hatinya, Ki Patih Nambi merasa gelisah dan tidak tenteram. Juga dia merasa tidak senang, karena memang pada hakekatnya dia tidak suka melihat sepak terjang Sang Prabu Jayanagara semenjak raja ini masih menjadi pangeran mahkota. Apalagi setelah terjadi peristiwa pembunuhan keponakan isterinya, Dyah Wulandari dan Sarjitowarman. Hanya karena terpaksa sajalah dia masih menjadi patih, terpaksa karena sudah kepalang tanggung, karena dia adalah seorang senopati yang amat setia kepada Mojopahit.   Apalagi melihat perlakuan Raja Jayanagara terhadap para puteri dari mendiang Prabu Kertarajasa Jayawardhana, yaitu terutama sekali Puteri Tribuwanatunggadewi, dan Puteri Raja Dewi Maharajasa. Oleh ibu mereka, kedua orang puteri ini ditunangkan dengan pangeran-pangeran dari kerajaan lain yang lebih kecil. Akan tetapi, dengan cara yang amat kasar Raja Jayanagara telah menentang dan menolaknya!   "Dalam keluarga kerajaan, kepentingan pribadi tidaklah ada lagi, semua harus dilakukan menurut hukum kerajaan!" Demikianlah antara lain dia berkata, kata-kata yang dihafalnya menurut ajaran para pembesar durna yang membisikinya. "Karena Ayunda Tribuwanatunggadewi dan Ayunda Rajadewi adalah puteri-puteri dari mendiang Kanjeng Rama, maka mereka adalah keluarga terdekat dari kerajaan, dan urusan jodoh mereka merupakan urusan kerajaan yang harus diputuskan oleh hukum. Dan karena pada saat ini, sayalah yang menjadi raja, maka sayalah pula yang berhak menentukan perjodohan mereka! Oleh karena itu, saya menuntut agar pertunangan di luar kehendak saya itu dibatalkan sekarang juga agar kedua ayunda tidak melanggar hukum kerajaan! Ingat, semua ini kita lakukan demi kepentingan kerajaan, urusan pribadi harus kita singkirkan sejauhnya!"   Alasan yang dikemukakan oleh Raja Jayanagara ini hanya untuk menyelimuti kehendak hatinya yang penuh pamrih. Pertama, dia memang tidak rela melihat kedua orang ayundanya yang cantik jelita seperti bidadari itu terjatuh ke dalam pelukan pria-pria lain dan dia mengandung maksud untuk memperisteri sendiri mereka itu! Hal ini bukan hanya karena dia memang haus akan wajah cantik dan tubuh wanita yang indah menggairahkan, akan tetapi juga di baliknya terkandung niat untuk dapat menguasai Mojopahit seluruhnya secara mutlak. Kalau kedua orang Ayundanya itu menikah dengan pria lain, maka tentu saja terbukalah kemungkinan bagi pihak lain untuk menentang kekuasaannya. Sebaliknya kalau kedua orang puteri itu tetap berada di dalam kekuasaannya, maka boleh dibilang semua kedaulatan yang berasal dari mendiang Raja Kertanegara berada sepenuhnya di dalam tangannya.   Semua hal ini amat tidak menyenangkan hati Ki Patih Nambi. Biarpun dia masih tidak mau meninggalkan tugasnya, namun hatinya telah merasa tawar dan dingin, dan hal ini tercermin di wajahnya yang kelihatan tua dan muram selalu. Kesempatan ini tentu saja tidak disia-siakan oleh Resi Mahapati yang selalu awas akan terbukanya kesempatan baik untuk menumbangkan orang-orang yang dianggap menjadi penghalang bagi kemajuannya. Kesedihan hatinya karena kehilangan selirnya yang tercinta, kini telah mulai sembuh dan tentu saja tidaklah sukar baginya untuk mencari pengganti wanita-wanita muda lainnya, sungguhpun sampai selama itu belum pernah dia menemukan seorang wanita yang mampu menggantikan Lestari, baik dalam pelayanan di dalam kamar maupun bantuannya dalam mengatur siasat yang amat cerdik dalam segala urusan yang penting. Maka tentu saja Mahapati merasa kehilangan sekali.   Namun, Resi Mahapati masih merupakan seorang yang amat cerdik dan banyak akal, sungguhpun dia telah kehilangan Lestari, bahkan akhir-akhir ini dia kehilangan Resi Harimurti yang tewas di tangan Sulastri. Ketika dia melihat sikap Ki Patih Nambi, maka pada suatu hari, menjelang senja, dia mengunjungi Ki Patih Nambi di istana kepatihan.   Mendengar bahwa tamunya adalah Sang Resi Mahapati, biarpun di dalam hatinya dia merasa segan untuk menemui orang yang tak disukanya itu, namun karena dia maklum bahwa kakek itu memiliki kedudukan penting dan menjadi orang kepercayaan Sang Prabu, maka terpaksa Ki Patih Nambi keluar juga menemui tamunya di ruangan tamu.   Setelah mempersilakan tamunya dan minuman dihidangkan oleh pelayan sebagai layaknya orang menerima tamu, Ki Patih Nambi lalu berkata, "Sungguh merupakan kehormatan besar dan juga merupakan hal yang mengherankan bahwa Paman Resi Mahapati datang mengunjungi saya pada saat ini. Tentu membawa keperluan yang amat penting maka Paman membuang waktu yang amat berharga untuk mengadakan kunjungan ini."   Sang Resi tersenyum lebar. "Ah, tidak keliru pendapat Andika, Ki Patih. Selain merasa rindu dan ingin bercakap-cakap, juga saya selalu merasa kurang enak hati, tidak nyenyak tidur dan tidak enak makan sebelum hal ini saya sampaikan kepada Andika. Sesungguhnya, sudah lama sekali saya mendengar desas-desus kalau Sang Prabu mengadakan pembicaraan di luar kehadiran Andika. Saya yang ikut mendengarnya merasa kurang enak sekali. Maklumlah, saya dengan Andika merupakan rekan sepekerjaan yang telah bertahun-tahun mengabdi Mojopahit, senasib sependeritaan, berjuang bahu membahu. Kini, mendengar hal-hal yang tidak menyenangkan bagi Andika, tentu saja saya ikut merasa tidak enak maka makin lama urusan ini makin menghimpit hati dan tidak akan membebaskan hati saya sebelum saya sampaikan kepada Andika."   Ki Patih Nambi mengerutkan alisnya. Dia tidak terlalu mempercaya omongan orang seperti Sang Resi ini, akan tetapi kalau ada persoalan penting tentang Sang Prabu yang hendak disampaikan, tentu saja dia merasa tertarik sekali. Dia membungkuk sebagai tanda hormat lalu berkata, "Terima kasih atas kebaikan hati Paman yang masih mengingat akan hubungan sesama rekan. Saya bersedia untuk mendengarkan, berita apakah kiranya yang membuat hati Paman merasa tidak enak itu?"   Sang Resi menarik napas panjang. "Aihh, bagaimana saya harus menyampaikannya? Hal ini amat pahit bagi pendengaran Andika."   Dengan wajah sungguh-sungguh Ki Patih Nambi menjawab. "Saya bersiap untuk menerima berita yang paling pahit sekalipun. Berita pahit yang benar jauh lebih berharga daripada berita manis yang palsu, Paman Resi."   "Hemm, Andika benar bijaksana, Ki Patih. Baiklah, saya akan berterus terang saja bahwa dalam beberapa kali persidangan ini, di waktu Andika tidak hadir, Sang Prabu selalu membayangkan rasa tidak sukanya kepada Andika. Saya merasa tidak enak sekali, karena saya tahu betapa Andika adalah seorang yang amat setia, seorang ponggawa yang sudah mengorbankan segala-galanya untuk Mojopahit dan kini, Sang Prabu memperlihatkan sikap tidak menghargai dan kurang terima, bahkan kelihatan kurang suka kepada Andika."   "Paman Resi saya tidak ingin mendengarkan pendapat siapa pun tentang sikap Sang Prabu, kalau Paman memang ingin menyampaikan berita kepada saya, harap suka menyampaikan berita yang nyata saja, bukan pendapat-pendapat yang kosong!" jawab Ki Patih Nambi dengan suara tegas.   Wajah pendeta itu menjadi merah, akan tetapi dia masih tidak malu-malu untuk tertawa dan berkata, "Maaf..., maaf, memang berita yang hendak saya sampaikan ini nyata, hanya betapa sukarnya membuka mulut, karena amat tidak enak bagi Andika. Begini, dalam beberapa kali persidangan, dengan terang-terangan Sang Prabu Jayanagara menyatakan bahwa sesungguhnya Beliau terpaksa saja mempertahankan kedudukan Paduka sebagai patih hamangkubumi, bahwa sesngguhnya Beliau tidak ingin lagi melihat Andika membantunya karena Beliau masih merasa tidak senang dengan peristiwa keponakan Andika tempo dulu. Nah, semua itu saya dengar sendiri keluar dari mulut Beliau, maka tidak enaklah hati saya selama ini sebelum saya sampaikan kepada Andika, karena dengan berdiam diri saja saya merasa seolah-olah mengkhianati hubangan persahabatan antara kita."   Merah kedua telinga Ki Patih Nambi dan terasa panas pula mukanya. Dia bukan tidak percaya kepada omongan Sang Resi Mahapati ini karena memang dia sudah tahu bahwa Sang Prabu tidak suka kepadanya, apalagi semenjak peristiwa kematian Dyah Wulandari itu. Dia termenung dan sampai Sang Resi Mahapati berpamit, dia masih termenung, hanya mengucapkan beberapa perkataan yang menyatakan terima kasihnya kepada Sang Resi itu. Dan semalam itu Ki Patih tidak dapat tidur sama sekali. Ketika isterinya bertanya, dengan terus terang Ki Patih Nambi mengakui akan berita yang didengarnya itu.   "Memang semenjak peristiwa Dyah Wulandari dan Sarjitowarman, antara aku dan Pangeran Kolo Gemet terdapat perasaan yang tidak baik, maka setelah Beliau menjadi raja dan aku terpaksa menjadi patih atas kehendak mendiang Sang Prabu yang sepuh, perasaan itu makin menjadi-jadi. Aku memang sudah mencari jalan untuk mengundurkan diri saja."   Sebagai seorang wanita tentu saja amat mengagungkan kedudukan dan kemuliaan, isteri Ki Patih terkejut dan berkata, "Akan tetapi, Paduka telah mengerahkan seluruh kemampuan Paduka, seluruh kesetiaan Paduka untuk kerajaan, mana mungkin sekarang Paduka akan melepaskan begitu saja?"   Ki Patih Nambi menarik napas panjang dan memandang langit-langit kamarnya dengan termenung, kemudian dia berkata, "Kita turun-temurun bersetia kepada keturunan Sang Prabu Kertanegara, bersetia semenjak Mojopahit didirikan! Untuk Mojopahit, aku selalu siap dan rela untuk mengorbankan apapun juga, bahkan nyawaku tak kuragukan demi Mojopahit. Akan tetapi, agaknya Sang Prabu yang sekarang ini hendak menyeleweng dari anggeran yang diutamakan oleh para raja yang bijaksana dari nenek moyangnya. Perlakuannya terhadap para puteri keturunan Sang Prabu Kertanegara sungguh tidak adil, dan sikapnya terhadap para ponggawa yang setia juga tidak semestinya. Beliau terlalu mendengarkan bisikan-bisikan beracun dari para pembesar durna dan penjilat sehingga dengan pimpinan Beliau ini dikhawatirkan Mojopahit akan menghadapi keruntuhannya. Inilah yang menjadikan kedukaan hatiku, dan yang mendorong aku untuk mengundurkan diri saja agar di waktu Mojopahit runtuh, aku bukan lagi bertanggung jawab sebagai seorang nara praja."   Biarpun dihibur oleh isterinya, namun keputusan hati Ki Patih Nambi sudah tetap. Hanya dia belum dapat menemukan cara bagaimana dia harus mengundurkan diri. Kalau hanya menghadap Sang Prabu dan terang-terangan mohon berhenti, hal itu juga amat tidak enak dan dapat menimbulkan kesan bahwa dia tidak suka membantu raja yang baru itu.   Akan tetapi secara kebetulan sekali, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali datang utusan dari Lumajang yang mengabarkan bahwa ayah Ki Patih Nambi, yaitu Aryo Pranorojo, sedang menderita sakit keras! Tentu saja hal ini amat mengejutkan hati Ki Patih Nambi. Ayahnya memang telah tua dan memang akhir-akhir ini sering kali menderita sakit. Kini, mendengar bahwa ayahnya menderita sakit keras, pagi hari itu juga Ki Patih Nambi lalu pergi menghadap Sang Prabu Jayanegara, mohon ijin untuk pergi ke Lumajang dan mengunjungi ayahnya yang menderita sakit. Permohonan ini diijinkan oleh Sang Prabu.   Maka dengan tergesa-gesa Ki Patih dan sekeluarganya berkemas-kemas, lalu bersama-sama keluarganya berangkatlah Ki Patih Nambi menuju ke Lumajang untuk menengok ayahnya yang dikabarkan sakit keras itu. Dia memang mohon diberi cuti yang agak lama, yaitu satu bulan dari Sang Prabu, selain untuk menengok dan menjaga ayahnya, juga untuk menenteramkan batinnya yang banyak terguncang akhir-akhir ini. Maka diajaknyalah semua keluarganya sehingga nampaknya Ki Patih Nambi seolah-olah melakukan boyongan.   Sesampainya di dusun Ganding, yaitu di dekat tapal batas antara wilayah Mojopahit dan wilayah Lumajang, dia disambut oleh pasukan Lumajang yang diutus oleh Sang Adipati Lumajang untuk menyambut Ki Patih Nambi dan rombongan Ki Patih Nambi ini dikawal dan diantar sampai ke Lumajang.   Berita ini memang tidak bohong. Aryo Pronorojo memang sedang menderita sakit keras. Akan tetapi selain menjaga ayahnya yang sakit dan prihatin melihat keadaan ayahnya, juga Ki Patih Nambi yang sering kali bercengkerama dengan Adipati Lumajang, menuturkan keadaan di Mojopahit dan mereka semua bersepakat bahwa tindakan-tindakan Sang Prabu memang tidak tepat.   "Tidak patutlah kalau Gusti Puteri keturunan Sang Prabu Kertanegara direndahkan seperti itu, dijadikan ratu-ratu di Kahuripan dan Daha seperti boneka saja! Bahkan urusan perjodohan saja hendak ditentukan oleh Sang Prabu Jayanegara yang hanya menjadi adik kedua Beliau itu! Betapapun juga, yang berhak menjadi Ratu di Mojopahit sebetulnya adalah keturunan langsung dari Sang Prabu Kertanegara, bukan keturunan Melayu!" Adipati Wirorojo berkata dengan muka merah. Kemudian dia melanjutkan, "Sudah sejak dahulu kita mendengar kelaliman Pangeran Kolo Gemet, akan tetapi karena ketika itu kita memandang muka ayahnya, yaitu Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana yang menjadi junjungan kita bersama, kita hanya menahan diri dan tidak berani menentang. Sekarang, anak Melayu itu telah dinobatkan menjadi Raja Mojopahit, kalau kita tidak turun tangan, Mojopahit akan dibawa kepada keruntuhan! Sang Puteri Tribuwanatunggadewi yang berhak atas Kerajaan Mojopahit, bukan anak Melayu itu.   Pendapat pikiran para bekas Senopati Mojopahit yang berkumpul di Lumajang sama benar dengan pendapat Ki Patih Nambi, maka hatinya makin panas seperti dibakar rasanya. Dan hati yang panas ini ditimpa kedukaan hebat ketika ayahnya yang menderita sakit itu akhirnya meninggal dunia, hanya beberapa hari setelah dia tiba di Lumajang.   Lumajang berkabung. Berita tentang kematian Aryo Pronarojo itu terdengar sampai ke Mojopahit. Atas nasehat Resi Mahapati yang selalu mengikuti peristiwa itu, dan juga para penasehat lainnya, Sang Prabu Jayanagara mengirim utusan ke Lumajang untuk menyatakan berbela sungkawa. Para utusan ini terdiri dari Resi Mahapati, Pamandana, Lasem, Jaran Lejong dan beberapa orang pembesar lagi.   Kesempatan melayat atas nama Sang Prabu ini dipergunakan oleh Resi Mahapati sebaik-baiknya. Banyak dia menemui Ki Patih Nambi dan menyebar hasutan-hasutannya, mengatakan bahwa keadaan, kedudukan bahkan keselamatan Ki Patih akan terancam karena Sang Prabu benar-benar masih menaruh dendam karena Dyah Wulandari tidak mau melayani beliau dengan baik, dan bahwa penolakan dara itu dihubungkan dengan sikap memberontak dari Ki Patih sehingga kini Sang Prabu ingin sekali menyingkirkan Ki Patih.   "Oleh karena itu, menurut pendapat saya, jauh lebih aman kalau Andika berada dulu di sini, Ki Patih. Terutama sekali untuk keselamatan para keluarga Andika. Nanti, kalau Sang Prabu sudah mereda kemarahannya, barulah Andika kembali ke Mojopahit.   Karena pikirannya sendiri sedang ruwet dan bingung, pula dihimpit kedukaan, lama-kelamaan hasutan-hasutan itu termakan juga oleh hati Ki Patih Nambi yang menjadi makin panas.   "Memang saya belum mempunyai ingatan untuk kembali ke Mojopahit, Paman Resi. Oleh karena itu, sekalian mumpung Paman Resi berada di sini, saya mohon bantuan Paman untuk menyampaikan permohonan saya kepada Sang Prabu agar saya diberi ijin tinggal lebih lama di Lumajang berhubung dengan kematian ayah, sedikitnya sampai seratus hari." Permintaan ini diterima dengan senang hati oleh Sang Resi.   Akan tetapi, permintaan Ki Patih Nambi itu dipergunakan oleh Sang Resi Mahapati untuk menjalankan siasatnya mengadu domba. Begitu menghadap Sang Prabu, sepulangnya dari pelayatannya ke Lumajang, dia cepat memberi tahu kepada Sang Prabu bahwa di Lumajang telah dibuat persiapan untuk memberontak!   "Si Nambi itulah biang keladinya, Gusti!" antara lain dia berkata sambil menyembah. "Dialah yang menganjurkan kepada Adipati Lumajang untuk membuat benteng pertahanan, dan dengan alasan kematian Ayahnya dia minta perpanjangan izin tinggal di Lumajang, padahal jelas bahwa dia tidak akan kembali ke Mojopahit. Bahkan hamba sendiri dibujuknya untuk ikut bersekutu dengan mereka!"   Tentu saja Sang Prabu yang masih muda itu marah sekali mendengar pelaporan   ini.   "Dan banyak hamba lihat punggawa Mojopahit yang datang melayat ke Lumajang tanpa perkenan Paduka. Mereka itu harus dicurigai karena siapa tahu bahwa mereka itu datang ke Lumajang memang bermaksud untuk bersekutu dengan Si Nambi. Mereka adalah para pengikut ibu-ibu tiri Paduka yang memang sejak dahulu telah mempunyai hati khianat!"   "Keparat! Kalau begitu biar kusuruh tangkap mereka semua!"   Resi Mahapati mengangkat kedua tangannya. Sudah cukuplah siasatnya untuk membakar hati Sang Prabu. "Harap Paduka bersabar, Gusti. Saat sekarang ini, sebaiknya kalau Paduka mengerahkan segenap perhatian, tenaga dan pikiran untuk menghadapi Lumajang. Urusan dalam negeri adalah urusan kecil dan biarlah hamba dan para pembantu hamba selalu memperhatikan gerak-gerik mereka dan turun tangan kalau perlu. Paduka percayalah kepada kesetiaan hamba."   "Lalu bagaimana baiknya, Paman Resi? Apakah kita membuat pertahanan dan menanti datangnya penyerbuan dari Lumajang?"   "Oooo, keliru, Gusti. Siasat menanti musuh menggempur merupakan siasat yang lemah dan tidak menunjukkan kewibawaan Paduka. Sudah jelas bahwa pihak Lumajang adalah pihak kawula dari Mojopahit. Semenjak dahulu, adipatinya tidak pernah datang menghadap ke Lumajang, hal itu saja sudah cukup menjadi alasan menggempur Lumajang dengan tuduhan memberontak. Apalagi sekarang Si Nambi berada di sana dan mengobarkan pemberontakan. Tidak, Paduka harus lebih dulu turun tangan, Gusti. Harap persiapkan semua senopati dan hamba yang sanggup untuk mengatur siasat agar Lumajang dapat dibumihanguskan dan ditundukkan dengan mudah.   Sang Prabu menjadi girang sekali. Segera semua senopati dipanggil, persidangan darurat diadakan dan dibentuk serta disusunlah komandan-komandan pasukan yang kesemuanya diperbantukan kepada Resi Mahapati. Mulailah Resi Mahapati menjalankan peranannya yang penting di dalam pemerintahan raja yang masih muda ini. Persiapan-persiapan dilakukan dengan cepat dan siasat perang telah diatur.   Tentu saja berita ini segera dapat ditangkap oleh para mata-mata Lumajang dan oleh mereka yang dalam hatinya memang condong kepada Lumajang. Juga mata-mata yang setia dari para puteri keturunan Sang Prabu Kertanegara tidak tinggal diam, cepat melaporkan kepada junjungan masing-masing yang di lain pihak juga mengutus kepercayaan mereka ke Lumajang untuk memberi kabar kepada Adipati Lumajang.   Maka dalam waktu singkat, pihak Lumajang sudah mendengar bahwa Mojopahit telah siap untuk menyerbu Lumajang! Tentu saja mereka terkejut dan cepat membuat persiapan perang pula. Awan gelap yang berkumpul di atas Mojopahit kini berkumpul ke timur, ke atas Lumajang dan sebentar lagi hujan berupa perang saudara pasti akan pecah pula!   Geger tentang persiapan perang yang akan terjadi antara Mojopahit dan Lumajang juga menggemparkan Puger. Sang Adipati di Puger tentu saja membela Lumajang. Begitu mendengar akan kegawatan keadaan, bahwa Lumajang akan diserang oleh Mojopahit, Sang Adipati sudah mempersiapkan pasukan dan dia lalu mengutus Pragalbo untuk memimpin pasukan ini dan membawa pasukan ke Lumajang untuk membantu Lumajang menghadapi penyerbuan dari Mojopahit.   Mendengar ini, segera Joko Handoko juga mengajukan diri untuk memimpin pasukan, bahkan Sulastri juga segera mengajukan diri untuk membela Lumajang. Tentu saja Joko Handoko dan Sulastri tidak dapat membiarkan Lumajang diserang Mojopahit tanpa membantu, mengingat betapa baiknya Adiapti Lumajang terhadap mereka. Yang serba bingung adalah Sutejo.   Pemuda ini sebetulnya ingin menjauhkan diri dari segala pertikaian. Dia teringat akan nasehat eyang gurunya dan dia ingin sekali pergi meninggalkan semua itu, hidup dengan tenang dan damai di lereng Gunung Kawi bersama eyang gurunya, menjauhkan diri dari segala keributan dan permusuhan. Akan tetapi betapapun juga, hatinya tidak dapat meninggalkan Sulastri! Dia tahu bahwa Sulastri masih mencinta dia, dan dia pun mencinta Sulastri, akan tetapi mereka tidak mungkin dapat melanjutkan cinta kasih mereka itu mengingat betapa Sulastri telah menjadi isteri Joko Handoko. Padahal dia pun tahu bahwa hubungan antara Sulastri dan Joko Handoko sama sekali tidak ada, yang ada hanya nama mereka sebagai suami isteri saja. Jadi serba salah dan serba membingungkanlah keadaannya di Puger itu. Ketika dia mengambil keputusan untuk pergi hari itu dengan hati berat, tiba-tiba saja terdengar berita tentang perang yang akan meletus antara Mojopahit dan Lumajang.   Joko Handoko, Sulastri dan Sutejo bercakap-cakap di dalam taman. Mereka bertiga sengaja mengadakan pertemuan itu tanpa diketahui orang lain. Wajah Joko Handoko kurus dan masih pucat, sinar matanya layu dan mukanya muram. Semua orang menduga bahwa pria muda ini tentu masih berkabung dan berduka karena kematian adiknya. Memang hal ini ada benarnya juga, akan tetapi kedukaan tentang kematian adiknya ini menjadi makin berat terasa olehnya melihat keadaan isterinya, Sulastri dan Sutejo. Dia sengaja menemui Sulastri dan dengan terang-terangan dia menyatakan kerelaannya kalau Sulastri "kembali" kepada Sutejo. Malam itu dia sengaja menemui Sulastri dan mengajak wanita ini bicara empat mata.   "Diajeng, harap kau suka memaafkan kalau kata-kataku menyinggungmu. Akan tetapi aku bicara dari balik lubuk hatiku. Aku tahu bahwa semenjak dahulu Diajeng selalu mencinta Dimas Sutejo dan selalu mengharapkan akan dapat bertemu dengan dia. Dan sekarang, dengan cara yang amat aneh, agaknya Hyang Widhi Wasesa telah mengabulkan harapan Diajeng dan Diajeng telah dapat bertemu dan berkumpul kembali dengan Dimas Sutejo. Oleh karena itu, Diajeng Sulastri, aku masih selalu memegang teguh janji kita dan aku selalu memberi kesempatan kepadamu untuk bersatu kembali dengan Dimas Sutejo. Aku merelakan Diajeng untuk pergi dan berjodoh dengan Dimas Sutejo..."   Bukan main terharu rasa hati Sulastri mendengar ucapan Joko Handoko itu yang dikeluarkan dengan suara gemetar. Saking terharunya, dia memegang kedua tangan pemuda itu dan menekan jari-jari tangan itu dengan lembut, lalu dilepaskan tangan itu dan dia pun berkata, "Kakangmas Handoko, betapa mulia hatimu, Kakangmas. Ah, kalau kuingat, betapa mulia engkau dan betapa tak kenal budi adanya aku ini. Dan sampai sekarang... ah, entah bagaimana, belum juga ada kata sepakat antara aku dan Kakang Tejo. Entahlah, apa akan jadinya dengan kami nanti..."   Joko Handoko terkejut dan memandang penuh perhatian. "Mengapa, Diajeng...?" Dia bertanya penuh perhatian.   Sulastri menggeleng kepalanya. "Jangan tanyakan hal itu, Kakangmas Handoko. Jangan tanyakan hal itu...!" Dan hanya sekianlah percakapan antara mereka karena Sulastri segera meninggalkannya dan Joko Handoko tahu betul bahwa "isterinya" itu pergi meninggalkannya sambil menangis.   Demikianlah, sejak malam itu, Joko Handoko mengandung kedukaan besar, bukan hanya duka karena kematian adiknya, melainkan juga duka memikirkan keadaan Sulastri. Dia tadinya menghibur diri bahwa dia akan merasa ringan hatinya kalau melihat Sulastri hidup bahagia di samping Sutejo. Akan tetapi, ternyata harapannya itu kosong belaka dan kini dia melihat Sutejo dan Sulastri tetap kelihatan murung dan berduka. Sebagai seorang yang cerdas, dia lalu mengerti bahwa tentu kehadirannya yang menjadi sebab. Dia mengenal Sutejo sebagai seorang satria sejati, maka sudah tentu Sutejo tidak akan mau merampas Sulastri yang telah menjadi isterinya! Sungguhpun dia percaya bahwa Sulastri tentu telah menceritakan keadaan mereka sebagai suami isteri pura-pura itu.   "Dimas Sutejo," demikianlah katanya ketika mereka bertiga mengadakan pertemuan setelah terdengar berita menggegerkan bahwa Lumajang akan diserang oleh Mojopahit. "Kita telah mendengar akan ancaman Mojopahit terhadap Lumajang. Karena Lumajang merupakan tempat yang telah menampung kami sekeluarga, dan aku telah banyak berhutang budi kepada Adipati Lumajang, pila mengingat bahwa Mojopahit dipimpin oleh orang-orang yang lalim, dan betapa semenjak kematian Sang Prabu sepuh maka kini Mojopahit berada dalam kekuasaan orang-orang Melayu, maka sudah semestinya kalau aku ikut pula berjuang membela Lumajang." Dia berhenti sebentar dan kesempatan ini dipergunakan oleh Sulastri untuk berkata pula,   "Aku pun harus membantu Lumajang dan menghadapi musuh-musuh besarku, orang-orang lalim yang berkuasa di Mojopahit!"   Melihat Sutejo diam saja, Joko Handoko berkata, "Kami tentu saja tidak dapat mengharapkan Adimas Sutejo untuk ikut berperang, mengingat bahwa Adimas pernah membantu Mojopahit dan Adimas mempunyai kakak perempuan yang...."   "Cukuplah, Kakangmas Handoko. Aku telah menerima nasihat Eyang Guru, aku tidak mau lagi melibatkan diriku dalam perang antara siapapun juga. Aku sudah bosan dengan semua permusuhan ini, dengan semua kekerasan ini karena kekerasan yang kita lakukan hanya akan menimpa diri kita sendiri. Aku tidak akan mencampuri perang, Kakangmas. Dan tentang Diajeng Sulastri... jika boleh aku nasehatkan, apakah tidak lebih baik kalau Diajeng juga tidak mencampuri perang?"   Sulastri menggeleng kepala. "Tidak mungkin, Kakang Tejo. Engkau tentu tahu sendiri akan riwayatku. Guruku yang pertama, Adipati Ronggo Lawe, tewas, oleh Mojopahit, kemudian Guruku yang ke dua, Ki Jembros, tewas pula oleh Mojopahit, bahkan Guruku yang ke tiga, Eyang Empu Supamandrangi, tewas pula oleh Mojopahit. Mereka semua adalah orang-orang yang kucinta, Kakang, dan mereka semua tewas oleh ulah orang-orang lalim yang kebetulan berkuasa di Mojopahit. Aku bukan membenci Mojopahit, melainkan orang-orang lalim yang menguasainya. Aku sudah membantu sampai keris pusaka Kolonadah terjatuh ke tangan yang berhak, yaitu Gusti Puteri Tribuwanatunggadewi. Kalau Beliau kelak yang menjadi Ratu di Mojopahit, barulah aku akan mencuci tagan. Akan tetapi sekarang, tidak, Kakang, aku harus membantu Lumajang."   Sutejo menghela napas panjang. "Kalau begitu, aku akan ke Mojopahit, bukan untuk membantu Mojopahit berperang, melainkan untuk menengok Mbakayu Lestari, kemudian aku akan pergi ke Kawi mencari Eyang Guru. Sekali lagi, Diajeng Sulastri, apakah tidak lebih baik kalau engkau tidak ikut perang?"   Tiba-tiba Sulastri bangkit dan memandang pemuda itu dengan sinar mata tajam, kemudian dengan kepala dan dada terangkat dia bertanya terang-terangan di depan "suaminya" kepada Sutejo, "Dan kau akan mengajak aku pergi bersama ke Kawi?"   Sutejo bangkit dan undur selangkah, mukanya berubah merah sekali dan dia menoleh kepada Joko Handoko yang hanya menunduk. Sutejo merasa tidak enak sekali mendengar betapa Sulastri berani bicara tentang hal itu demikan terang-terangan di depan Joko Handoko. "Ahh... tentang itu... tidak mungkin... Diajeng..."   Kini Joko Handoko dan Sutejo saling pandang, kemudian Sutejo menarik napas panjang dan duduk kembali. Sampai lama keduanya hanya diam saja, ditelan keheningan yang menyelimuti hati masing-masing,   "Dimas Sutejo, apakah... apakah yang terjadi antara Dimas dan Sulastri...?" akhirnya Joko Handoko bertanya.   Sutejo terkejut, mengangkat muka memandang. "Apa yang terjadi? Tidak apa-apa, Kakangmas Handoko. Seperti kau dengar sendiri, aku hanya mencegah dia ikut perang akan tetapi dia tidak mau, memang sejak dahulu hatinya keras sekali."   "Akan tetapi dia amat berbudi, Dimas, biarpun keras akan tetapi dia selalu membela kebenaran, setia, dan gagah perkasa!"   "Ya, mungkin benar, hanya dia keras hati dan keras kepala, tidak pernah mau menurut kata-kata orang..." Sutejo menghela napas panjang, lalu tersenyum, senyum masam kepada Joko Handoko. "Tidak pernah ada kecocokan antara dia dan aku, Kakangmas. Mungkin aku terlalu bodoh, atau aku pun keras hati. Betapapun juga, dia adalah isterimu, Kakangmas..."   "Dimas Sutejo! Kita berdua tahu apa artinya ikatan suami isteri antara kami yang hanya pura-pura itu. Dan engkau sudah datang, Dimas. Engkaulah yang ditunggu-tunggunya selama ini. Kalau aku menjadi penghalang...!"   Tiba-tiba Sutejo memegang tangannya. "Jangan mengira yang bukan-bukan, Kakangmas! Jangan mengira bahwa aku Sutejo adalah seorang yang hanya memikirkan diri pribadi belaka! Tidak! Aku tahu jalan pikiranmu. Engkau agaknya akan rela mengorbankan diri, akan sengaja berlaku nekat agar engkau tewas dalam perang ini, bukan?"   Bukan main kagetnya hati Joko Handoko. Mukanya seketika menjadi pucat dan dia meloncat berdiri, "Kau... kau tahu?"   Sutejo kembali memegang lengannya dan mengajaknya duduk kembali. "Aku dapat menduga dengan melihat sinar matamu, Kakangmas Handoko. Aihhh... apa saja yang takkan dilakukan orang demi cinta kasihnya! Aku tahu bahwa engkau sengaja akan menghilang agar Sulastri dapat kembali kepadaku. Akan tetapi, kalau engkau sengaja membunuh diri seperti itu, Kakangmas, engkau akan membuat kami berdua menjadi manusia-manusia yang serendah-rendahnya, sehina-hinanya kalau kami bersenang-senang di atas mayatmu, di atas kematianmu. Oleh karena itu, jangan melakukan hal yang bukan-bukan...."   Joko Handoko memandang wajah pemuda di depannya itu dengan mata terbelalak dan sinar mata bingung. Sungguh dia tidak mengerti. "Akan tetapi... kalau begitu, hubunganmu dengan dia... menjadi terhalang dan aku ingin melihat dia berbahagia, Adimas."   "Justeru kebahagian datang secara wajar, tidak mungkin dapat dibuat atau dipaksakan," Kakangmas. Biarkanlah segala hal berjalan sewajarnya. Aku sekarang mulai melihat bahwa selama ini kita semua hanya mengingatkan diri pribadi belaka, hanya ingin mendapatkan kesenangan lahir batin untuk diri sendiri, sehingga semua yang kita lakukan adalah untuk menaruh diri sendiri di tempat yang benar dan tinggi. Biarkanlah segala sesuatu berkembang sewajarnya dan nanti kita sama-sama lihat bagaimana kesudahannya, Kakangmas. Sekarang aku akan pergi, menengok Mbakayuku di Mojopahit."   "Akan tetapi... ingatlah Sulastri, Adimas Sutejo!"   "Siapa yang tidak ingat kepadanya? Aku cinta kepadanya, seperti juga engkau mencintanya, Kakangmas Handoko. Dan pesanku, jangan melakukan hal yang bukan-bukan!" Setelah berkata demikian, Sutejo lalu meninggalkan Joko Handoko yang masih nampak bingung.   Joko Handoko adalah seorang yang benar-benar menaruh cinta kasih kepada Sulastri, isterinya yang sesungguhnya hanya menjadi isteri sebutan saja itu. Dia rela berkorban apapun juga, rela melakukan apapun juga, bahkan tidak memperdulikan perasaan hatinya sendiri yang sakit demi untuk kebahagiaan wanita itu. Rasa kehilangan di hatinya kalau dia sampai berpisah dari Sulastri tentu akan terobati kalau mengingat bahwa wanita itu hidup berbahagia di samping Sutejo, pria yang menjadi pujaan hati Sulastri. Akan tetapi, kini dia melihat betapa hubungan antara Sulastri dan Sutejo merenggang, bahkan terdapat pertentangan pendapat antara keduanya itu. Dia tahu bahwa hal itu mendatangkan duka dalam hati Sulastri dan juga dalam hati Sutejo. Dia tadinya rela untuk mengorbankan diri saja, karena dialah yang agaknya menjadi hambatan atau halangan bagi bersatunya kedua orang yang saling mencinta itu. Bahkan dia sudah mengambil keputusan untuk mati saja, seperti adik kandungnya, dan dengan kematiannya itu dia merasa yakin bahwa penghalang bagi bersatunya Sutejo dan Sulastri sudah hilang. Akan tetapi, kiranya Sutejo, pemuda yang luar biasa itu, telah mengetahui rencana hatinya untuk tewas saja dalam perang! Bahkan pemuda itu berpesan agar dia jangan melakukan rencana yang nekat untuk mengorbankan nyawa demi kebahagian Sulastri. Maka bingunglah pemuda ini setelah Sutejo pergi.   Dia tidak dapat menyalahkan mereka, karena dia melihat kebenaran dalam pendapat mereka masing-masing. Sutejo yang hendak menjauhkan diri dari perang tidak dapat dipersalahkan karena memang perang merupakan suatu hal yang amat buruk, bahkan terkutuk sekali karena dalam perang manusia menjadi lebih buas daripada binatang yang paling buas, haus darah akan tetapi kalau binatang haus darah terdorong oleh lapar atau menyelamatkan diri dari maut, adalah manusia haus darah karena terdorong oleh kebencian dan dendam, oleh nafsu membunuh! Sebaliknya dia pun tidak dapat menyalahkan isterinya. Sulastri ingin terjun ke dalam perang menghadapi para pembesar lalim di Mojopahit yang telah membunuh guru-gurunya, dan juga untuk membela Lumajang yang telah melimpahkan banyak kebaikan kepadanya.   Akhirnya Joko Handoko yang bingung memikirkan bagaimana agar Sulastri dapat berbahagia itu lalu mencari isterinya, mendapatkan Sulastri sedang rebah menelungkup di atas pembaringan di dalam kamarnya, sedang menangis lirih tanpa mengeluarkan suara, hanya tubuhnya saja kadang-kadang terguncang oleh isak.   "Diajeng...." tegurnya halus.   Sulastri bangkit lalu duduk di tepi pembaringan menghadapi suaminya. Wajahnya pucat dan matanya merah, bantal di mana tadi dia menelungkupkan mukanya sudah basah, bahkan kedua pipinya yang pucat masih basah air mata. Joko Handoko merasa terharu dan kasihan sekali.   "Boleh aku duduk untuk bicara denganmu, Diajeng?" Belum pernah selama menjadi suami Sulastri, pemuda ini memasuki kamar Sulastri yang tadinya ditempati oleh isterinya itu berdua dengan Roro Kartiko. Dan baru sekarang dia memasuki kamar itu dan mendengar betapa suaminya minta diijinkan duduk, Sulastri merasa terharu juga.   Jilid 75   "Tentu boleh, duduklah, Kakangmas..." kata Sulastri sambil menghapus air matanya dan memandang kepada suaminya itu.   Sejenak mereka saling berpandangan. Hampir sama pandang mata mereka itu. Joko Handoko memandang penuh rasa kasihan, dan sebaliknya Sulastri memandang suaminya dengan perasaan kasihan dan tidak enak. Dia merasa betapa suaminya itu mengalami banyak kepahitan dan tekanan batin karena dia.   "Diajeng Sulastri, baru saja Adimas Sutejo telah pergi, katanya hendak menengok Mbakayunya di Mojopahit."   "Biarlah, biar dia membantu Mojopahit sekali agar kami dapat saling berhadapan sebagai lawan dan musuh!"   Mendengar suara isterinya itu mengandung penasaran dan kemarahan, Joko Handoko menarik napas panjang. "Diajeng, harap kau suka berpikir panjang dan jangan terburu nafsu. Aku dapat mengerti akan pandangan Dimas Sutejo. Dia melihat kesia-siaan perang yang hanya merupakan bunuh-membunuh antara sesama manusia belaka, karena itu maka dia hendak mengundurkan diri dan menjauhi perang."   Sulastri bersungut-sungut, "Kalau dia ingin begitu, biarlah!"   Joko Handoko menarik napas panjang. Betapa dia amat mengenal watak isterinya ini! Segala isi hati dan gerak-gerik pikiran Sulastri seperti telah berada di telapak tangannya! Dia mengenal betul semua pandangan hidup isterinya ini yang berwatak gagah perkasa, seorang satria wanita yang amat hebat!   "Diajeng, aku tahu benar betapa Dimas Sutejo amat mencintamu, dan aku tahu pula betapa Diajeng juga... selalu mencinta Dimas Sutejo. Oleh karena itu, mengapa kalian berdua tidak dapat saling mengalah? Mengapa...."   "Kakangmas Joko Handoko! Engkau tentu telah mendengar sendiri ketika aku bicara dengan Kakang Tejo. Ketika dia membujuk agar aku tidak ikut perang, aku minta ketegasan darinya apakah dia mau mengajakku ikut ke Gunung Kawi bersamanya dan apakah jawabannya? Dia menolak! Nah, apalagi yang harus kuperbuat? Tak mungkin aku merengek-rengek mengharapkan... kasihan dan cintanya...!" Sulastri kembali menangis.   "Ahhh... semua karena aku!" Joko Handoko berkata dengan hati pedih. "Diajeng, tidak tahukah engkau bahwa jawaban Dimas Sutejo itu membuktikan kebesaran hatinya? Sudah tentu dia tidak mungkin mengajakmu, mengingat bahwa engkau... menurut pendapat umum... adalah isteri orang lain! Kalau... kalau aku sudah tidak ada...."   "Kakangmas Joko...!" Sulastri berseru dan menurunkan kedua tangan dari depan mukanya, memandang kepada "suaminya" itu dengan mata terbelalak penuh kengerian.   Joko Handoko tersenyum dan menggeleng kepala sambil menarik napas panjang. "Jangan salah sangka, Diajeng. Memang terus terang saja, tadinya timbul dalam pikiranku suatu keinginan gila, yaitu bahwa aku sengaja akan maju perang sampai mati, agar aku tewas dalam perang sehingga engkau dapat bebas dan tidak ada penghalang lagi antara engkau dan Dimas Sutejo...."   "Kakangmas...!" Kembali Sulastri berseru kaget.   "Jangan khawatir, Diajeng. Keinginan gila itu sebelum terlaksana, bahkan sebelum ada yang mendengar dari mulutku, ternyata telah diketahui oleh Dimas Sutejo yang arif bijaksana! Dia telah dapat mengetahuinya dan menegurku sehingga dia telah mengusir pikiran yang bukan-bukan itu dari dalam kepalaku. Maka nampaklah kemungkinan lain daripada ingatan gila itu. Kalau kita lebih dulu bercerai dalam keadaan hidup, bukankah ini juga berarti bahwa engkau telah bebas dari ikatan pernikahan dengan aku, Diajeng? Dan aku rela untuk membebaskanmu dari ikatan itu agar..."   "Sudahlah, Kakangmas, jangan perpanjang lagi urusan itu. Ucapanmu hanya menambah bingung hatiku saja."   "Akan tetapi, aku tidak mau melihat engkau menderita, Diajeng... aku... aku..."   Sulastri memandang kepada suaminya itu melalui air mata yang mengembang di pelupuk matanya. Betapa mulianya pria yang menjadi suami pura-pura ini! "Kakangmas Joko Handoko, terima kasih atas segala budi kebaikanmu itu..., ah, entah bagaimana dan kapan aku dapat membalas segala budi kebaikanmu kepadaku. Akan tetapi, sudahlah, jangan kita singgung lagi soal antara aku dan Kakangmas Tejo, biarlah terserah kepada kehendak Hyang Agung saja bagaimana nanti jadinya dengan kami...."   Ketika Joko Handoko hendak membantah lagi, tiba-tiba datang seorang pengawal yang menyampaikan berita bahwa suami isteri itu dipanggil menghadap oleh Sang Adipati. Mendengar panggilan ayah angkatnya, Joko Handoko lalu cepat pergi menghadap bersama Sulastri. Sang Adipati di Puger ternyata telah mendengar tentang persiapan perang di Lumajang dan untuk membantu Lumajang itulah maka dia dipanggil putera angkatnya dan mantunya.   "Agaknya perang sewaktu-waktu dapat meletus antara Lumajang dan Mojopahit," kata Sang Prabu Bandardento kepada mantu dan puteranya. "Oleh karena itu, sebaiknya kalau kalian berdua sekarang juga pergi ke Lumajang membawa pasukan dan menghadap Sang Adipati di Lumajang, menyampaikan salam hormatku dan menyerahkan pasukan sebagai bantuan dari Puger untuk Lumajang," demikian antara lain pesan Sang Adipati itu. "Kelak kalau perang sudah meletus, aku sendiri akan memimpin sisa pasukan untuk membantu."   "Baik, Kanjeng Romo. Memang hamba berdua sudah bersiap-siap," jawab Joko Handoko.   Demikianlah, pada keesokan harinya pagi-pagi sekali, berangkatlah Joko Handoko dan Sulastri, memimpin pasukan dari Puger menuju ke Lumajang untuk membantu Lumajang menghadapi ancaman Mojopahit.   Kedatangan suami isteri ini disambut dengan gembira dan hormat oleh Sang Adipati di Lumajang dan mereka berdua langsung dipersilakan menghadap ke ruangan persidangan di mana Sang Adipati sedang berunding dengan semua senopatinya. Joko Handoko dan Sulastri memasuki ruangan itu dan disambut oleh Sang Adipati dan semua senopati Lumajang yang kagum akan kesaktian dara perkasa yang sudah banyak berjasa terhadap Lumajang ini.   Akan tetapi berkerutlah alis yang hitam kecil di atas sepasang mata yang memandang marah ketika Sulastri melihat kehadiran Ki Patih Nambi di dalam ruangan itu. Ki Patih Nambi juga merasa akan pandang mata yang mengandung kemarahan itu. Dia tidak tahu mengapa dara ini marah kepadanya. Sebelum Sulastri memasuki ruangan itu, dia mendengar dari para senopati bahwa Sulastri adalah mantu Adipati Puger yang amat sakti dan gagah, yang sudah banyak jasanya terhadap Lumajang karena pernah menjadi tokoh Lumajang. Dan Patih ini merasa tidak pernah bertemu muka dengan Sulastri, maka tentu saja pandangan marah yang ditujukan kepadanya oleh sepasang mata yang jeli itu membuat dia terheran-heran. Juga para senopati lain yang melihat betapa Sulastri memandang kepada Ki Patih Nambi dengan alis berkerut dan mata marah itu menjadi heran.   Suasana di dalam ruangan itu menjadi sunyi dan tegang. Biar tidak ada seorang pun yang mengeluarkan suara, namun suasana yang tegang mencekam itu menyatakan kepada Sulastri bahwa sikap dan kemarahannya diketahui oleh semua orang. Maka dia pun lalu bertanya kepada Sang Adipati Wirorojo, "Mohon maaf kalau hamba bertanya kepada Paduka apakah persidangan ini untuk membicarakan tentang kemunafikan dan kelaliman para pembesar Mojopahit yang mengancam keselamatan Lumajang, Paman Adipati?"   Adipati Lumajang tersenyum dan mengangguk-angguk. "Benar Sulastri."   "Akan tetapi hamba melihat hadirnya seorang pembesar Mojopahit di sini, seorang pembesar yang paling menonjol dalam wataknya yang sewenang-wenang di Mojopahit dan kehadirannya di sini sudah pasti tidak akan membawa kebaikan untuk Lumajang"   Semua orang terkejut dan Sang Adipati yang tua itu pun tersenyum maklum. Dia sudah dapat menduga yang dimaksudkan oleh dara perkasa yang keras hati itu, namun dia tidak mau menyatakan ini, bahkan bertanya, "Sulastri, apakah yang Andika maksudkan?"   "Kiranya Paman Adipati sendiri tentu sudah maklum. Lupakah Paman akan kematian mendiang Adipati Ronggo Lawe ketika Beliau memberontak terhadap Mojopahit karena kelaliman pembesar Mojopahit? Justru biang keladi pemberontakan yang mengakibatkan gugurnya putera Paduka itu kini berada di sini dan hendak ikut berbincang tentang perlawanan kita terhadap Mojopahit! Bukankah hal ini amat ganjil?"   "Ah, kiranya yang kaumaksudkan adalah kematian mendiang puteraku Ronggo Lawe dan kehadiran Ki Patih Nambi ini. Begitukah?" Sang Adipati bertanya dan semua orang mendengarkan dengan hati penuh diliputi ketegangan.   "Maaf, Paman Adipati. Biarlah saya yang menjawab persoalan itu dan menghadapi Puteri perkasa ini!" Tiba-tiba Ki Patih Nambi memotong ucapan Sang Adipati. Sang Adipati tersenyum, mengangguk dan Ki Patih Nambi lalu memutar tubuhnya menghadapi Sulastri yang memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kebencian.   "Maafkan, lebih dulu saya ingin bertanya, apakah gerangan hubungan Andika dengan mendiang Kakang Ronggo Lawe sehingga Andika merasa penasaran dan sakit hati atas kematiannya?"   Dengan sinar mata masih bernyala marah, Sulastri menjawab sambil menekan perasaannya, karena di depan Sang Adipati dan para senopati Lumajang, di dalam persidangan agung itu, tentu saja dia tidak berani bersikap kasar, "Ki Patih Nambi, ketahuilah bahwa mendiang Adipati Ronggo Lawe adalah Guruku. Semua orang tahu belaka bahwa pemberontakan Beliau adalah karena Andika, dan kematian Beliau juga membawa kematian Mbakayuku yang berbela pati. Oleh karena itu, kematian Adipati Ronggo Lawe dan Mbakayuku berada di tanganmu!"   Ki Patih Nambi menghela napas panjang dan mengangguk-angguk. "Begitulah keadaan perang, selalu membawa korban. Akan tetapi kalau ada pihak yang lalim dan tersesat, bagaimana kita mungkin dapat menghindarkan perang?" Ucapan ini dikeluarkan dari mulutnya sambil menunduk, seolah-olah bicara kepada diri sendiri. Kemudian Ki Patih Nambi mengangkat muka memandang kepada Sulastri dan suaranya terdengar penuh wibawa ketika dia berkata,   "Kematian Kakang Ronggo Lawe adalah karena kesalahannya sendiri karena dia telah berani memberontak terhadap mendiang Sang Prabu Kertarajasa yang sama-sama kita hormati dan cinta. Ketika itu, saya sebagai seorang senopati Mojopahit tentu saja menentang siapa pun juga yang memberontak terhadap Mojopahit. Bahkan Paman Wirorojo sendiri, sebagai ayah kandung Kakang Ronggo Lawe, juga melihat kekeliruan tindak dari Kakang Ronggo Lawe maka beliau tidak mau mencampuri. Memang semua orang tahu bahwa Kakang Ronggo Lawe marah dan memberontak terhadap Sang Prabu Kertarajasa oleh karena saya diangkat menjadi patih, akan tetapi apakah hal itu dapat dipersalahkan kepada saya?"   Sulastri mengerutkan alisnya dan berkata dengan nada mengejek, "Kalau Andika benar merupakan seorang ponggawa yang sedemikian setianya terhadap Mojopahit, mengapa saat ini Andika berada di sini bersama-sama merundingkan pemberontakan terhadap Mojopahit?" Pertanyaan ini luar biasa keras dan tajamnya sehingga semua orang terkejut memandang ke arah Ki Patih Nambi.   Akan tetapi Ki Patih Nambi hanya tersenyum pahit, lalu menjawab, "Wahai puteri yang gagah perkasa! Agaknya Andika memang belum mengerti benar akan duduknya perkara. Ketahuilah bahwa seluruh senopati Mojopahit adalah satria-satria utama yang tidak ragu sedetikpun juga untuk membela keturunan Sang Prabu Kertanegara dengan taruhan nyawa! Mojopahit dibangun oleh Sang Prabu Kertarajasa semenjak Beliau masih kami sebut sebagai Raden Wijaya! Kepada Beliau kami setia sampai mati, dan karena itulah maka ketika Kakang Ronggo Lawe memberontak terhadap Beliau, kami semua menentangnya. Akan tetapi sekarang? Andika bertanya mengapa kita semua kini hendak memberontak? Kami bukan memberontak terhadap Mojopahit, melainkan terhadap rajanya dan kaki tangannya yang lalim. Raja sekarang adalah keturunan Melayu, itulah sebabnya saya ikut berada di sini untuk bersama-sama menentang raja keturunan Melayu!"   Mendengar uraian panjang lebar ini, Sulastri yang memang tadinya sama sekali tidak begitu memperhatikan tentang urusan kerajaan, menjadi bingung dan dia lalu memandang kepada Sang Adipati Lumajang. Adipati yang tua itu mengangguk dan tersenyum lalu berkata, "Semua ucapan Ki Patih Nambi benar belaka, Sulastri. Kita bukan menentang Mojopahit, melainkan menentang rajanya. Seharusnya, pengganti dari mendiang Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana adalah puteri Beliau, keturunan langsung dari mendiang Sang Prabu Kertanegara, bukan keturunan Melayu itu."   Sulastri menundukkan mukanya, lalu mengerling ke arah Ki Patih Nambi. "Karena saya kurang pengertian tentang itu semua, maka harap Ki Patih Nambi sudi memaafkan semua kelancangan saya."   Ki Patih Nambi tersenyum dan berkata, "Andika sungguh hebat, gagah perkasa dan jujur. Memang seharusnya setiap orang gagah mengemukakan pendapat dan ganjalan pikirannya secara terang-terangan daripada menyimpan dendam dan sakit hati."   Kini perundingan dilanjutkan. Siasat perang diatur dan dalam persidangan itu diputuskan bahwa mengingat akan kuatnya pasukan-pasukan Mojopahit, maka harus dilakukan siasat memancing musuh menyerbu Lumajang dan menyembunyikan pasukan-pasukan kuat di luar Lumajang yang kemudian akan menyergap musuh dari belakang. Untuk keperluan ini, ditentukan dua tempat penting sebagai benteng di mana pasukan-pasukan penyergap itu bersembunyi, yaitu di Pajarakan sebagai benteng pertama dan di Ganding sebagai benteng ke dua. Pasukan yang berada di Pajarakan dipimpin oleh beberapa orang senopati dan dibantu oleh Sulastri. Sedangkan Joko Handoko diperbantukan kepada pasukan yang berada di Ganding. Tentu saja Ki Patih Nambi sendiri yang memimpin langsung pasukan inti yang berada di Lumajang. Adapun Adipati Wirorojo sendiri yang sudah tua hanya bertindak sebagai penasehat saja. Banyak senopati setia yang ikut dalam persiapan perang melawan Mojopahit ini. Di antaranya adalah Pamandana, Maesa Pawagal. Panji Anengah, Jaran Bangkal, Semi, Lasem, Patih Emban dan masih banyak lagi senopati-senopati perkasa yang memperkuat pasukan Lumajang.   Sulastri berpisah dari suaminya dan ketika dia menunggang kuda bersama para senopati lainnya, memimpin pasukan yang menuju ke Pajarakan, diam-diam dia memikirkan suaminya ini. Setelah Roro Kartiko meninggal, setelah dia berjumpa kembali dengan Sutejo, makin menonjol dan makin nampaklah kebaikan-kebaikan Joko Handoko dan diam-diam dia harus mengakui bahwa jarang di dunia ini terdapat seorang yang demikian mulia hatinya seperti Handoko yang benar-benar mencintanya dengan sepenuh jiwa raganya. Ngeri dia membayangkan betapa suaminya itu akan sengaja bertempur sampai mati hanya agar dia bebas dan dapat kembali kepada Sutejo. Teringat akan ini, jantungnya berdebar tegang penuh kekhawatiran. Akan tetapi agak lega hatinya ketika dia teringat akan penuturan suaminya betapa Sutejo telah mengetahui akan niat rahasia itu dan telah mencegah suaminya berbuat nekat seperti itu. Demikianlah, ketika melakukan perjalanan ini, Sulastri merasa gelisah, merasa kesepian, merasa nelangsa dan dia menghadapi peretempuran dengan semangat kendur dan tubuh lemas.   Sementara itu Sang Prabu di Mojopahit yang marah mendengar hasutan Resi Mahapati bahwa Ki Patih Nambi mempersiapkan pemberontakan di Lumajang, segera memerintahkan untuk mempersiapkan pasukan untuk menggempur Lumajang yang dianggapnya memberontak. Karena kepercayaan Sang Prabu terhadap Resi Mahapati makin membesar, apalagi karena Ibu suri, yaitu Puteri Sri Indreswari juga menaruh kepercayaan kepada Sang Resi, maka Resi Mahapati diberi kekuasaan oleh Sang Prabu untuk mengatur siasat menghadapi Lumajang.   Resi Mahapati adalah seorang yang amat pandai mengatur siasat. Dengan cerdik sekali Sang Resi ini berhasil menyelundupkan mata-matanya ke Lumajang dan dari mata-mata inilah dia berhasil memperoleh keterangan tentang keadaan di Lumajang dan tentang pasukan Lumajang yang disembunyikan di Pajarakan dan Ganding.   Setelah mendengar laporan ini, Mahapati lalu mengatur siasat. Dia mengerahkan pasukan besar, memecah pasukan menjadi dua, yang dua pertiga bagian dikerahkan untuk menyerbu Pajarakan sedangkan yang sepertiga bagian menyerbu Ganding. Penyerbuan kedua tempat itu dilakukan di waktu malam hampir serentak!   Malam itu sunyi saja di Pajarakan. Akan tetapi tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh bunyi hiruk-pikuk dan dari sekeliling tempat pertahanan itu menyambar anak panah ke dalam benteng. Malam itu Pajarakan telah diserbu oleh pasukan Mojopahit yang amat besar jumlahnya!   Para senopati yang memimpin Pajarakan bersama Sulastri adalah senopati tua yang gagah perkasa, yaitu Pamandana, Maeso Pawagal, dan Panji Anengah. Mereka bertiga lalu melakukan perundingan kilat dengan Sulastri, kemudian mereka memecah menjadi empat kelompok yang mempertahankan benteng itu di empat penjuru. Malam itu terjadilah perang anak panah dari dalam dan luar benteng Pajarakan. Akan tetapi tentu saja pihak pasukan Lumajang yang banyak mengalami rugi karena kalau pihak musuh dapat mengarahkan anak panah mereka ke tempat tertentu, yaitu di dalam benteng pertahanan itu, sebaliknya mereka yang tidak dapat melihat musuh hanya melepaskan anak panah keluar secara ngawur saja. Akan tetapi, tentu saja Pasukan Lumajang juga tidak mau membiarkan diri mereka menjadi sasaran anak panah yang datang bagaikan hujan. Mereka berlindung sedapat mungkin sehingga tidak begitu banyak jatuh korban hujan anak panah ini.   Pada keesokan harinya, pihak musuh menyerbu dan menggempur pintu gerbang. Pihak Pasukan Lumajang segera membuat perlawanan dan terjadilah perang campuh yang amat seru dan mati-matian di depan empat pintu gerbang benteng pertahanan Pajarakan. Dalam perang ini, Sulastri mengamuk seperti harimau betina. Sepak terjangnya menggiriskan lawan dan banyaklah perajurit pihak musuh yang roboh oleh hantaman tangan kirinya atau sambaran keris di tangan kanannya. Akhirnya, tidak ada lagi perajurit yang berani mendekatinya dan mereka itu terpaksa mundur. Juga tiga orang senopati Lumajang mengamuk penuh semangat sehingga pihak musuh, biarpun jumlah mereka lebih banyak, dapat diusir mundur dan pintu-pintu gerbang benteng dapat ditutup rapat dan dijaga ketat. Malam tiba dan pertempuran dihentikan. Kedua pihak mengambil kesempatan ini untuk beristirahat dan merawat yang luka, menyusun kekuatan kembali untuk menghadapi pertempuran selanjutnya.   Tiga orang senopati Lumajang kembali berunding dengan Sulastri. Mereka semua maklum bahwa jumlah pasukan musuh jauh lebih besar dan bahwa Pajarakan sudah dikurung sehingga berada dalam keadaan berbahaya. Mereka lalu mengambil keputusan untuk mengirim utusan yang harus dapat menerobos keluar dari kepungan untuk menyampaikan berita ke Lumajang dan mohon bala bantuan.   Akan tetapi, tiga kali mereka mengirim utusan, memilih perajurit-perajurit yang pandai untuk menerobos keluar dan hasilnya, mayat-mayat para utusan itu digantung di depan pintu gerbang, tanda bahwa usaha mereka itu sia-sia belaka dan para utusan itu menjadi korban penghadangan musuh! Ternyata Pajarakan telah dikurung rapat sekali sehingga tidak ada seorang dari dalam benteng itu dapat keluar tanpa diketahui oleh musuh!   Tentu saja hal ini membuat tiga orang senopati itu menjadi panik. Dalam keadaan berbahaya ini, Sulastri mengajukan diri untuk menerobos keluar.   "Ah, jangan...!" Senopati Pamandana yang memegang kekuasaan dalam benteng itu mencegat kaget. "Tenagamu amat dibutuhkan di sini untuk mempertahankan benteng ini! Menerobos keluar amat berbahaya!"   Sulastri tersnyum. "Paman, kiranya Andika bertiga tidak perlu mengkhawatirkan saya. Dalam perang seperti ini, siapa sih yang takut akan kematian? Kalau sudah tiga kali utusan kita gagal, berarti bahwa keadaan di luar amat kuat, maka kiranya hanya saya seoranglah yang wajib menerjang keluar. Kalau saya gagal, yah sudahlah. Akan tetapi, tanpa datangnya bala bantuan dari Lumajang, agaknya kita semua tentu akan tewas juga. Harap Paman bertiga suka bertindak bijaksana dan membiarkan saya menyerbu keluar untuk minta bala bantuan ke Lumajang."   Akhirnya tiga orang senopati itu menyetujui juga, dan menjelang fajar, Sulastri menyelinap keluar dari pintu gerbang sebelah timur seorang diri saja dengan keris di tangan. Masih gelap di luar dan dengan kecepatan kilat dia lalu meloncat dan berlari secepatnya menuju ke timur.   Akan tetapi setelah agak jauh dia meninggalkan pintu gerbang itu, tiba-tiba saja muncullah banyak orang dari balik pohon-pohon dan semak-semak dan tahu-tahu dia dihadang oleh belasan orang yang bersenjata tombak dan yang segera mengurung dan dikeroyok!   "Tangkap mata-mata!"   "Bunuh...!"   "Ah, dia Si Panglima wanita itu!"   Ramailah para pengeroyok itu berteriak-teriak, akan tetapi teriakan itu mereka segera disusul oleh jerit-jerit mengerikan ketika beberapa orang di antara mereka roboh oleh tamparan tangan kiri Sulastri atau sambaran keris di tangan kanannya. Karena maklum bahwa dia tidak boleh lengah atau terlambat di tempat itu kalau ingin selamat, maka Sulastri sudah mempergunakan segala kepandaiannya, mengerahkan Ilmu Pukulan Hasto Bairowo dan bergerak dengan Aji Turonggo Bayu, mengamuk untuk dapat cepat meloloskan diri dari kepungan. Akan tetapi, teriakan-teriakan itu memancing datangnya lebih banyak perajurit dan tiba-tiba terdengar suara tertawa mengejek dan muncullah Resi Mahapati bersama beberapa orang senopati Mojopahit yang berkepandaian tinggi!   "Ha-ha-ha, kiranya Si Pemberontak Cilik, Si Perempuan Liar ini lagi! Ha-ha-ha, engkau sudah terkurung, lebih baik menyerah, mungkin nyawamu masih dapat diselamatkan daripada harus mati dengan tubuh hancur di tempat ini!"   Melihat orang yang amat dibencinya ini, sepasang mata Sulastri terbelalak, mukanya menjadi merah dan dia membentak, "Si Keparat Mahapati! Aku datang untuk membalas kematian Eyang Jembros dan Eyang Empu Supamandrangi!" Setelah berkata demikian, tangan kirinya melayang dan dia menubruk ke arah resi itu.   "Dukk!" Mahapati menangkis dan keduanya terdorong ke belakang. Mahapati menjadi marah sekali.   "Serbu! Bunuh perempuan liar ini!"   Maka mengamuklah Sulastri. Kerisnya merupakan kilat yang menyambar-nyambar seperti maut yang haus nyawa, sedangkan tangan kirinya dengan pukulan-pukulan Hasto Nogo tidak kurang berbahaya.   Akan tetapi, pihak pengeroyok terlalu banyak baginya. Dia hampir tidak mempunyai kesempatan untuk balas menyerang ketika para senopati yang dipimpin oleh Resi Mahapati itu, dibantu oleh banyak perajurit pilihan, mulai menyerangnya dan senjata mereka itu seperti hujan saja menyambar ke arah tubuhnya. Dia hanya dapat menangkis atau mengelak dan hanya sekali-kali kerisnya atau tangan kirinya merobohkan seorang pengeroyok yang kurang kuat. Biarpun demikian, sama sekali Sulastri tidak menjadi gentar, bahkan dia ingin merobohkan sebanyak mungkin lawan, lupa bahwa dia adalah seorang utusan yang harus dapat meloloskan diri dari tempat itu untuk menyampaikan berita ke Lumajang.   Yang menjadi lawan terberat bagi Sulastri adalah Resi Mahapati sendiri. Resi ini maklum bahwa wanita muda ini amat sakti dan berbahaya, maka tidak seharusnya dibiarkan meloloskan diri. Karena itulah maka Sang Resi ini sendiri turun tangan, ikut mengeroyok, bahkan dia selalu menyerang dengan dahsyatnya. Tidak seperti biasanya, kini menghadapi lawan yang dia tahu amat kuat, Sang Resi telah mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang keris pusaka yang mengeluarkan cahaya kehijauan di tangan kiri sedangkan tangan kanannya dia mempergunakan sebatang tongkat kayu cendana yang juga merupakan sebuah senjata yang ampuh sekali, senjata yang telah ditapai dan dimantrainya sehingga mengandung kekuatan mujijat.   Terdengar teriakan ganas ketika seorang senopati melakukan serangan berbareng dengan seorang perajurit pilihan Mojopahit, menyerang dari kanan kiri dengan senjata golok dan tombak mereka. Serangan ini hebat sekali karena tubuh Sulastri sedang terhuyung ketika dia menangkis tongkat Mahapati sehingga dia terdorong ke belakang, maka tubrukan dua orang itu benar-benar berbahaya baginya.   "Yaaaaaahhhh...!" Tiba-tiba Sulastri mengeluarkan jerit melengking yang amat mengejutkan ini, lengan kirinya menangkis senopati itu dilanjutkan dengan tamparannya sedangkan kerisnya dia lontarkan ke depan, menancap ke dada perajurit yang sedang menombaknya!   "Prakk! Cepp...!" Senopati itu roboh dengan kepala pecah dan perajurit itu roboh pula dengan dada tertembus keris! Sulastri meloncat ke atas ketika ada dua orang senopati menerjangnya dari belakang, memutar tubuhnya dan menggunakan kakinya menendang. Senopati yang kena tendang itu berteriak kesakitan dan tulang pundaknya patah tercium ujung kaki Sulastri!   Akan tetapi pada saat itu, keris bercahaya hijau dari Mahapati menyambar perutnya dengan kecepatan kilat. Sulastri merasa ada hawa panas menyambar, dia cepat membuang tubuh ke belakang sehingga tusukan itu luput. Akan tetapi ketika dia menggulingkan tubuhnya, pundak kirinya kena disambar tongkat kayu cendana dari Mahapati.   "Desss...!" Tubuh Sulastri yang sudah akan bangkit itu kembali rebah berguling-guling dan ketika dia meloncat bangun, dia menggigit bibir karena pundaknya terasa ngilu dan nyeri bukan main. Kini teringatlah Sulastri bahwa dia harus pergi ke Lumajang, maka sambil menggeram dan mengeluarkan lengking panjang, tubuhnya menerjang ke belakang, merobohkan dua orang perajurit, lalu dia meloncat lagi dan tubuhnya menyelinap di antara para pengepungnya. Di sana-sini terdengar teriakan para perajurit yang diamuknya dan roboh.   "Kejar! Tangkap! Bunuh dia!" Mahapati berteriak marah dan dia sendiri melakukan pengejaran. Akan tetapi kini ternyata bahwa pengepungan yang amat rapat itu, dengan terlalu banyak anggauta pasukan yang memenuhi tempat itu, bahkan merupakan penghalang baginya untuk dapat menyusul buronannya.   Dengan menyelinap dan mengamuk di antara para perajurit yang menjadi panik karena wanita yang melarikan diri di tengah-tengah mereka itu menyebar maut, akhirnya Sulastri berhasil lolos dari kepungan dan menghilang di keremangan cuaca pagi yang masih gelap, menahan rasa nyeri di pundaknya yang kena pukul tongkat Resi Mahapati, melanjutkan perjalanannya sambil berlari cepat menuju Lumajang.   Sang Adipati di Lumajang dan Ki Patih Nambi yang memimpin pasukan pemberontak, menjadi marah mendengar betapa Pajarakan telah diserbu musuh. Cepat Ki Patih Nambi mengerahkan pasukan yang ditugaskan cepat menuju ke Pajarakan untuk membantu. Melihat bahwa Sulastri terluka pundaknya, Ki Patih Nambi mempersilakan Sulastri mengaso dan diangkatlah Ki Lasem dan Ki Jaran Bangkal untuk memimpin pasukan bala bantuan ini. Akan tetapi baru saja pasukan itu berangkat dengan tergesa-gesa, datang pula seorang utusan yang luka-luka parah dari Ganding, mengabarkan bahwa Ganding juga diserbu dan dikepung musuh. Dia berhasil lolos, akan tetapi dalam keadaan luka-luka parah dan begitu menyampaikan berita ini, utusan itu pun roboh dan tewas!   Mendengar ini, Sulastri terkejut sekali. Dia mengkhawatirkan keselamatan suaminya di Ganding. Maka dia melupakan luka di pundaknya dan mengajukan diri memimpin pasukan yang akan membantu Ganding. Karena keadaan terdesak, dan melihat betapa luka di pundak Sulastri tidak payah benar, Ki Patih Nambi meluluskan permintaan itu. Dia sendiri harus memimpin sisa pasukan untuk mempertahankan Lumajang.   Tanpa mengaso berangkatlah Sulastri memimpin pasukan bantuan menuju ke Ganding. Benar saja, Ganding sedang dikepung dan sedang terjadi perang tanding mati-matian antara pasukan Lumajang yang mempertahankan Ganding dan pasukan musuh dari Mojopahit yang dipimpin banyak senopati yang kuat. Melihat ini, Sulastri lalu mengerahkan pasukan untuk membantu dan terjadilah perang campuh yang amat hebat dan mati-matian. Sulastri sendiri menyerbu ke tengah dan akhirnya dia melihat Joko Handoko sedang dikeroyok oleh banyak perajurit. Melihat ini, Sulastri membentak marah dan mengamuk. Biarpun pundak kirinya terluka sehingga dia tidak lagi dapat mengerahkan Aji Hasto Nogo yang ampuh, akan tetapi dia masih dapat menggerakkan tangan kirinya dengan leluasa dan dia sudah menggerakkan kerisnya yang baru, yang dibawanya dari Lumajang, untuk mengamuk dan mendekati suaminya.   "Diajeng...!" Joko Handoko berseru girang melihat isterinya masih dalam keadaan selamat dan munculnya wanita ini memperlipatgandakan tenaga dan semangatnya sehingga sepak terjang satria ini benar-benar menggiriskan musuh.   Akan tetapi Joko Handoko tidak tahu bahwa isterinya itu semalam suntuk telah bertanding melawan musuh-musuh yang amat tangguh, bahkan telah menderita luka, kemudian lari secepatnya ke Lumajang dan tanpa istirahat kini datang untuk membantunya!   "Syukur bahwa kau... kau masih selamat..." Ucapan ini keluar dari mulut Sulastri dan wanita itu tiba-tiba saja merasa lemas. Kiranya kalau tadi dia seperti lupa akan segala rasa lelah dan rasa nyeri adalah karena dorongan rasa gelisah memikirkan keadaan Joko Handoko. Akan tetapi kini setelah melihat suaminya itu selamat dan hatinya menjadi lega, tiba-tiba saja dia merasa betapa dia telah kehabisan tenaga! Dia terhuyung dan tidak mampu lagi mempertahankan diri ketika banyak musuh menerjangnya.   "Wirrr..., ceppp... aughhh...!" Tiba-tiba tubuh Sulastri terguling roboh ketika sebatang anak panah meluncur dan menancap di dadanya sebelah kanan! Kiranya ada seorang senopati yang mengenal Sulastri, tahu akan kesaktian wanita ini maka diam-diam dia telah menyerang dengan anak panah selagi wanita itu terhuyung karena kelelahan.   "Diajeng...!!"   Joko Handoko yang sejak tadi tidak pernah lengah memperhatikan isterinya, berseru kaget, menggunakan tendangan dan hantaman merobohkan dua orang perajurit yang sudah akan menubruk Sulastri, kemudian menyambar tubuh isterinya yang pingsan itu, mengamuk dan menyelinap mundur, kemudian melarikan diri meninggalkan gelanggang pertempuran sambil memanggul tubuh isterinya yang masih pingsan!   Biarpun Pajarakan dan Ganding memperoleh bala bantuan dari Lumajang, namun kekuatan pihak Mojopahit terlalu besar. Setelah dikurung dan diserbu terus-menerus, akhirnya pihak Lumajang tidak kuat bertahan dan terpaksa sisa pasukannya mengundurkan diri ke Lumajang. Pajarakan dan Ganding dapat dijatuhkan. Kini dengan seluruh kekuatan pasukannya, Resi Mahapati menuju ke Lumajang!   Oughhhh...!" Bibir itu bergerak lemah, mulut itu terbuka sedikit dan terengah-engah. Joko Handoko meneteskan air di mulut isterinya. Sulastri yang sudah setengah sadar itu menelan air itu sedikit demi sedikit, kemudian membuka matanya. Segera ditutupnya kembali matanya karena begitu dibuka, segala sesuatu yang dilihatnya berputaran. Tubuhnya panas sekali.   "Diajeng... harap kau tahankan... panah itu beracun dan aku harus mengeluarkan racun dari lukanya..."   Sulastri dapat mendengar suara Joko Handoko ini. Kini kesadarannya telah berangsur-angsur kembali dan ketika dia menghentikan keluhannya. Kegagahannya timbul kembali dan dia membuat gerakan dengan kepalanya tanda setuju.   Ketika merasa betapa mulut suaminya menempel dan menyedot luka di dada kanannya, Sulastri menggigit bibirnya. Tak terasa lagi air matanya bertitik turun ketika dia miringkan kepala membuang muka. Hatinya diliputi keharuan besar. Suaminya selalu amat baik kepadanya, amat hormat, dan amat sayang kepadanya. Sampai lima kali Joko Handoko mengecup luka itu dan meludahkan darah yang mengandung racun.   "Mudah-mudahan saja racunnya sudah habis, akan tetapi... kau harus beristirahat dan berobat, Diajeng..." suara Joko Handoko jelas mengandung kegelisahan hebat.   Sulastri membuka matanya. Kini melihat dia dapat menatap wajah suaminya dengan jelas. Agaknya matahari telah naik tinggi. Pandang matanya tidak berputar lagi, kepalanya masih berdenyut pening, tubuhnya masih panas, pundak kirinya masih ngilu dan dadanya yang terluka panas sekali, akan teapi pikirannya terang. Sejenak mereka berpandangan dan Sulastri melihat wajah suaminya pucat, matanya penuh dengan kegelisahan dan ada bekas air mata di bawah mata suaminya. Suaminya menangis.   "Kakangmas... kau... kau tadi menangis?" tanyanya heran.   Joko Handoko menundukkan muka untuk menghindarkan pandang mata isterinya, kelihatan gugup dan malu, kemudian memandang lagi dan mengangguk. menyerbu ke Lumajang. "Aku khawatir sekali melihat keadaanmu, Diajeng. Kau pingsan, tidak mau sadar saja, badanmu panas sekali, dan ketika anak panah kucabut, keluar darah hitam tanda keracunan dan kau... ah, aku khawatir sekali, tak terasa lagi air mataku tumpah... dan..."   Jilid 76 (TAMAT)   Sulastri meraih tangan suaminya dan bergerak untuk bangun. Joko Handoko cepat membantunya sehingga dia dapat duduk. Kembali mereka saling berpandangan dan ada sinar aneh keluar dari tatapan mata Sulastri. Joko Handoko merasa kikuk oleh tatapan aneh ini, maka untuk membuyarkan perasaan kikuk itu, dia berkata lagi, "Mari, Diajeng Sulastri, mari kita mencari tempat di mana engkau dapat mengaso dan berobat."   Sulastri seperti tidak mendengar ucapan itu, melainkan menatap wajah pria itu dengan pandang mata aneh. "Kakangmas... kau... kau baik sekali kepadaku..."   Joko Handoko mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang. "Ahhh, Diajeng, dalam keadaan begini, mengapa engkau masih bersikap sungkan dan bicara tentang kebaikan? Engkau tahu, seluruh hidupku adalah untukmu, Diajeng, untuk kebahagianmu seorang. Apa pun akan kulakukan demi kebahagianmu, dan melihat engkau tadi pingsan seperti... seperti hampir mati..." Joko Handoko terisak, lalu menekan perasaan hatinya, "... melihat engkau seperti itu, tentu saja aku gelisah sekali...."   Sulastri tersenyum! Dan wajahnya berseri! Dan sinar matanya bercahaya aneh! "Selama ini aku buta, Kakangmas...!"   Joko Handoko memandang wajah isterinya dengan khawatir. "Sudahlah, jangan banyak bicara. Sejak pingsan tadi engkau mengigau yang bukan-bukan. Hayo kita pergi dari sini. Biar kau kupondong dan kucarikan tempat yang baik untuk mengaso."   Sulastri menggeleng kepala. "Kau kembalilah ke Ganding, Kakangmas. Kau harus melanjutkan perjuangan, membantu Lumajang. Tinggalkan aku di sini, aku dapat menjaga dan merawat diri...."   "Tidak! Sampai mati pun tidak! Ketahuilah, Diajeng. Sesungguhnya, aku pun sudah muak terhadap perang dan bunuh-membunuh itu! Aku hanya ingin membantumu dan sekarang aku tidak akan meninggalkanmu sebelum engkau mendapat perawatan yang layak."   "Akan tetapi Pajarakan dan Ganding..."   "Kiranya tak mungkin dapat dipertahankan lagi. Sebaiknya kita kembali saja ke Lumajang di mana engkau dapat beristirahat dan memperoleh perawatan yang baik."   Sulastri tidak membantah lagi dan dengan susah payah mereka melakukan perjalanan menuju ke Lumajang. Akan tetapi segera terdengar berita oleh mereka betapa Pajarakan dan Ganding sudah jatuh ke tangan musuh dan betapa kini musuh sedang menyerbu ke Lumajang.   "Kalau begitu, kita pergi saja ke Turen, di sebelah timur Gunung Kawi," kata Sulastri. "Di sana ada seorang kenalanku yang baik, namanya Paman Kaloka. Kita mengaso di sana dan melihat perkembangan keadaan."   Melihat keadaan isterinya yang lemah dan mengkhawatirkan, Joko Handoko tidak banyak membantah. Keadaan mereka memang tidak aman. Kalau mereka bertemu pasukan Mojopahit, tentu mereka akan ditangkap dan dengan keadaan isterinya seperti itu, tak mungkin dia dapat melakukan perlawanan dengan baik. Maka dia lalu memutar haluan dan cepat pergi menuju ke dusun Turen di dekat Gunung Kawi. Kadang-kadang dia memondong tubuh Sulastri, dan kadang-kadang wanita itu berjalan dengan dipapahnya.   Kaloka bersama anak angkatnya, yaitu Warsini, menerima kedatangan Sulastri dengan gembira, akan tetapi juga khawatir ketika melihat betapa penolong mereka itu dalam keadaan luka dan sakit. Dengan cepat Kaloka lalu berusaha mencarikan obat dan dengan amat teliti ayah dan anak pungut itu merawat Sulastri. Seperti kita ketahui, Warsini adalah gadis yang telah diselamatkan oleh Sulastri dan Sutejo ketika gadis ini hendak dipaksa menjadi isteri ke lima dari seorang lurah di dusun Jati, dijual oleh Paman dan bibinya. Sedangkan Kaloka adalah kakek yang hampir menjadi gila karena kematian anak perempuannya yang bernama Katmi, dan yang kemudian hidup berbahagia lagi setelah Warsini diserahkan kepada kakek ini sebagai anak angkat pengganti anaknya yang mati dan yang kini hidup berdua sebagai ayah dan anak di Turen.   Dua hari kemudian, di bawah perawatan yang amat tekun dari Kaloka dan Warsini, keadaan Sulastri sudah mendingan. Biarpun tubuhnya masih lemah, namun dia tidak lagi demam dan luka di dadanya sudah mengempis.   "Kakangmas, harap kau suka menyelidiki keadaan di Lumajang. Biarpun aku sendiri masih lemah dan tidak dapat membantu Lumajang, akan tetapi sudah selayaknya kalau engkau berangkat membantu Lumajang, Kakangmas. Sungguh tidak enak hatiku mendengar betapa Lumajang diserang musuh dan kita tinggal enak-enak saja di sini, padahal para sahabat di Lumajang terancam bahaya maut."   Sebetulnya, di dalam hatinya Joko Handoko merasa enggan untuk meninggalkan isterinya yang belum sembuh betul. Dia ingin terus melayani dan merawat Sulastri sampai sembuh betul. Selama Sulastri sakit, dia tidak pernah meninggalkan isterinya ini dan membantu ayah dan anak angkat itu merawat isterinya, menjaga dan melayani segala keperluannya. Akan tetapi dia mengenal kekerasan hati isterinya. Isterinya merasa kecewa tidak dapat membantu Lumajang, maka mewakilkannya dan isterinya akan terhibur kalau dia dapat mewakilinya membantu Lumajang.   Aku cinta padamu, isteriku, atau suamiku, atau tunanganku! Aku cinta padamu dan kata ini disambung dalam hatiku, berbisik kepada diri sendiri, akan tetapi, engkau harus menjadi milikku seorang, engkau harus selalu menyenangkan hatiku, engkau harus tunduk kepadaku, engkau harus melayaniku, engkau harus ini harus itu demi untuk menyenangkan hatiku. Beginikah cinta? Ingin disenangkan, ingin menguasai, ingin dihibur, ingin dipuaskan, ingin mengikat? Dan tidaklah aneh kalau pada suatu hari si "dia" yang kucinta itu berpaling kepada orang lain, aku lalu membencinya! Mengapa membenci? Karena dia mengecewakan, karena dia tidak lagi menyenangkan hatiku, karena dia tidak lagi mau menjadi milikku seorang, pendeknya, karena dia tidak menyenangkan hatiku. Ah, jelaslah sekarang! Yang kunamakan cinta itu pada hakekatnya hanyalah nafsu keinginanku untuk senang saja! Dan orang yang kucinta itu kujadikan alat untuk mencapai kesenangan itu! Maka kalau alat itu tidak berhasil memberi kesenangan kepadaku, aku lalu membencinya, dan tentu aku akan mencari alat lain!   Tidak ada pula bedanya dengan kata "cinta" yang kita tujukan kepada anak kita, kepada sahabat kita, kepada apa saja yang kita cinta! Semua itu kita cinta karena mereka memberi kesenangan kepada kita. Karena cinta kita didasarkan atas kesenangan yang kita dapatkan dari apa yang kita cinta, maka sekali kesenangan itu tidak kita peroleh lagi, sudah pasti cinta itu pun buyar dan lenyap! Karena itu, selama ada si aku yang ingin disenangkan, maka sudah jelas bahwa di situ tidak mungkin ada cinta! Yang ada hanyalah nafsu keinginan untuk memperoleh kesenangan yang diberi etiket "cinta"! Sudah pasti bahwa "cinta" macam ini selalu menimbulkan konfilk dan kesengsaraan, seperti halnya semua nafsu keinginan. Nafsu keinginan timbul karena adanya si aku yang ingin senang, dan si aku yang ingin senang adalah pikiran yang mengenangkan hal-hal lalu, mengenangkan hal-hal yang menyenangkan dan menyusahkan maka muncullah si aku yang ingin mengulang hal-hal yang menyenangkan tadi dan ingin menghindarkan hal-hal yang menyusahkan. Si aku adalah nafsu, si aku adalah pikiran si aku adalah keinginan, dan si aku adalah "cinta" yang berdasarkan pamrih kesenangan itu tadi!   Perang! Puncak kebuasaan mahluk yang dinamakan manusia! Hal yang paling terkutuk yang dapat dilakukan oleh kita manusia! Peristiwa menyedihkan yang tidak terlepas dari kita semua, dari setiap orang manusia karena perang adalah persoalan kita manusia sehingga tak seorang pun dapat melepaskan tanggung jawab dari persoalan ini. Semua orang tahu apa yang diakibatkan oleh perang! Kesengsaraan apa, kekejaman bagaimana, penderitaan hebat macam apa yang diakibatkan oleh perang. Namun, sejak ribuan tahun yang lalu, sejak sejarah manusia dikenal, manusia terus-menerus mengulang permainan kotor yang dinamakan perang ini. Manusia melihat akibat yang mengerikan ini, maka manusia melakukan bermacam jalan untuk mencipta perdamaian, usaha-usaha ke arah perdamaian selalu diusahakan manusia sepanjang masa karena ngeri melihat akibat perbuatan mereka sendiri. Akan tetapi apa hasilnya? Perang masih terus berjalan, berhenti, meletus lagi, berhenti lagi, meletus lagi. Dan usaha damai masih terus juga diakukan, tanpa hasil yang nyata. Mana mungkin ada perdamaian kalau penyebab perang masih terus ada? Dan penyebabnya adalah diri kita sendiri, pada diri setiap orang! Perang hanyalah merupakan kelanjutan dari konflik yang pada diri setiap manusia. Konflik dalam diri mencetus keluar, menjadi konflik antar manusia, konflik antar manusia ini menyeret orang lain menjadikan konflik antar kelompok, lalu antar ras, antar golongan baik agama, politik, kepercayaan dan lain-lain yang menjadi membesar lagi, menjadi konflik antar bangsa, antar negara dan sebagainya! Perang terjadi karena masing-masing merasa benar, dan kebenaran yang diperebutkan sudah pasti adalah kebenaran yang didasarkan atas kesenangan! Kesenangan untukku, untuk negaraku, untuk bangsaku! Kesenanganku diganggu, maka terjadilah permusuhan, masing-masing yang merasa kesenangannya terganggu itu merasa diri masing-masing benar pula. Setelah meletus perang yang timbul dari memperebutkan kebenaran masing-masing, maka banyak faktor menyelinap di dalamnya. Dendam, iri, benci, dan sebagainya yang mendorong kepada kita untuk ingin menang, ingin mengalahkan musuh sebagai pemuasan rasa dendam dan benci.   Tidakkah perang antar bangsa itu sama saja dengan perang yang ada pada diri kita masing-masing sebagai perorangan? Kita masing-masing pun mengejar kesenangan, ingin enak sendiri, ingin senang sendiri, maka kalau ada yang menghalangi kesenangan kita, maka kita lalu marah dan benci.   Akibat perang memang mengerikan. Ketika Sulastri melakukan perjalanan dari Turen ke timur, ke Lumajang, maka nampaklah olehnya akibat perang itu. Akibat dari penyerbuan bala tentara Mojopahit ke Lumajang. Di sepanjang perjalanan itu dia melihat rakyat di dusun-dusun menderita dilanda oleh perang. Terjadilah perbuatan-perbuatan biadab. Perampokan harta benda, perkosaan terhadap wanita-wanita, pembunuhan-pembunuhan. Mengerikan! Ah, betapa mengerikan semua itu. Dan kalau kita mau jujur, membuka mata kepada diri-sendiri, apakah bedanya semua itu dengan kita? Dalam pikiran kita terdapat hal-hal yang jahat dan keji seperti semua itu. Betapa kita mengejar-ngejar harta benda, haus akan harta benda sehingga di dalam batin kita ini sudah menjadi perampok besar yang ingin menguasai seluruh harta benda sebanyaknya tanpa memperdulikan orang lain kelaparan dan miskin! Apa bedanya kita dengan para perampok itu? Dan betapa kita menjadi hamba dari nafsu berahi kita, membayangkan wanita-wanita cantik, betapa mata kita menelan wanita-wanita cantik dan kita juga pemerkosa-pemerkosa dalam pikiran. Betapa kita ini membenci kepada siapa saja yang merugikan kita, merugikan lahir batin, membenci kepada siapa saja yang menghalangi kesenangan kita, betapa kita sudah menjadi pembunuh-pembunuh dalam batin! Semua kekejian yang mengotori dan membebani batin kita itu tercetus keluar menjadi perbuatan-perbuatan di waktu ada perang karena perang membuka kesempatan untuk pelaksanaan semua beban pikiran itu! Betapa kita tiada bedanya dengan mereka! Dapatkah kita berubah? Tanpa adanya perubahan pada diri kita, mana mungkin ada perubahan pada bangsa dan dunia? Karena tanpa kita tidak akan ada bangsa, tanpa kita tidak akan ada kemanusiaan di dunia ini.   Pada waktu Sulastri tiba di perbatasan kota Kadipaten Lumajang, tempat itu sudah terkepung oleh pasukan-pasukan Mojopahit, sudah mengalami gempuran-gempuran hebat. Perang telah terjadi dan pihak Lumajang masih mempertahankan Lumajang dengan mati-matian. Akan tetapi seluruh dusun di sekitar Lumajang sudah menjadi korban, hampir setiap hari, setiap malam terjadi hal-hal yang menjijikkan dan mengerikan.   Para perajurit Mojopahit adalah terkenal sebagai perajurit-prajurit gemblengan lahir batin. Perajurit-perajurit yang segagah ini hanya mempunyai satu tekad, yaitu membela pasukannya sampai mati. Perajurit-perajurit seperti ini tentu saja tidak mau melakukan hal-hal yang tidak patut seperti merampok, memperkosa, membunuh secara sewenang-wenang tanpa sebab. Perajurit-perajurit juga manusia dan mereka yang baik seperti ini sungguh amat patut disayangkan bahwa mereka hanya menjadi alat-alat untuk memperebutkan kebenaran yang tidak benar sehingga nyawa mereka dikorbankan secara sia-sia belaka.   Akan tetapi, di antara anak buah pasukan, ada pula perajurit-perajurit gadungan yang tidak mementingkan pembelaan terhadap pasukannya, melainkan mementingkan kesenangan diri sendiri belaka. Orang-orang yang hanya berpakaian perajurit namun sebenarnya adalah orang-orang tersesat yang jahat inilah yang berpesta pora setiap kali terjadi perang karena terbuka kesempatan selebarnya bagi mereka untuk memuaskan nafsu-nafsu mereka. Mereka merampok sesuka hati, memperkosa sepuasnya dan membunuh orang seenaknya.   Apalagi pasukan yang dipimpin oleh Warak Jinggo dan Sarpo Kencono. Dua orang pembantu Ki Durga Kelana ini memang dahulunya adalah perampok-perampok yang kejam. Kini setelah mereka memperoleh kedudukan yang agak tinggi, menjadi perwira-perwira yang diperbantukan dan memimpin pasukan kecil, tentu saja melihat kesempatan yang terbuka lebar mereka lalu berpesta-pora mengumpulkan harta dan menculik wanita-wanita muda yang cantik untuk mereka permainkan bersama pasukan kecil mereka. Apalagi di waktu malam di waktu pasukan diberi kesempatan beristirahat setelah penyerbuan-penyerbuan ke Lumajang, kesempatan ini mereka pergunakan untuk memuaskan nafsu-nafsu mereka.   Malam hari itu tidak begitu gelap karena bulan sepotong muncul di angkasa. Namun, kalau biasanya di waktu malam terang bulan suasana menjadi teduh gembira, malam itu terasa dingin menyeramkan bagi para penghuni dusun-dusun di sekeliling Lumajang yang telah dihantui oleh perang sejak beberapa hari yang lalu. Berbagai macam penderitaan mereka alami, penderitaan lahir dan batin akibat perbuatan orang-orang jahat yang menyelundup ke dalam pasukan-pasukan itu.   Di dalam sebuah hutan kecil yang sunyi sebelah selatan Lumajang, malam itu nampak beberapa orang yang kelihatan sibuk, sungguhpun pada malam hari itu perang dihentikan untuk sementara seperti pada malam-malam yang lalu. Di antara kesibukan mereka kadang-kadang terdengar isak tangis wanita. Mereka itu adalah anak buah dari Warak Jinggo dan Sarpo Kencono yang mempergunakan hutan itu sebagai tempat mereka berkumpul dan menyimpan harta rampokan mereka. Para anak buah itu mengumpulkan harta rampokan dari pelbagai dusun di sekitar itu dan membawanya ke dalam hutan di mana Warak Jinggo dan Sarpo Kencono sudah menanti, dan di antara harta rampokan itu terdapat pula beberapa orang tangkapan, ada dua orang laki-laki setengah tua yang mereka seret ke tempat itu dan terdapat pula belasan orang gadis muda yang menangis ketakutan ketika digiring ke dalam hutan itu secara kasar oleh para perajurit yang menjadi anak buah dua orang perampok itu.   Sarpo Kencono dan Warak Jinggo duduk di atas bangku kasar dalam sebuah pondok darurat yang mereka buat sebagai tempat penyimpanan harta rampokan. Mereka berdua tertawa girang ketika melihat gadis-gadis yang diseret masuk dan dihadapkan kepada mereka, akan tetapi mereka memandang dengan sikap keren kepada dua orang laki-laki setengah tua yang ikut pula diseret masuk.   "Hemm, untuk apa kalian menangkap monyet-monyet tua ini? Kenapa tidak cepat dibunuh saja mereka?" Sarpo Kencana yang bermata lebar itu bertanya, matanya melotot bengis. Dua orang laki-laki setengah tua itu menjadi ketakutan mendengar ini dan mereka menyembah-nyambah minta ampun.   Anak buah Warak Jinggo dan Sarpo Kencono memberitahu kepada dua orang kepala mereka itu bahwa seorang di antara mereka adalah hartawan dusun yang menyembunyikan simpanan hartanya, sedangkan orang ke dua telah menyembunyikan anak gadisnya yang menjadi kembang dusun. Mendengar ini, Warak Jinggo mengerutkan alisnya. "Kenapa repot-repot? Telanjangi mereka dan hajar punggung mereka dengan cambukan, cabik-cabik kulitnya kalau mereka tidak mau mengaku!"   Sambil tertawa-tawa para anak buah itu lalu merobek baju dua orang laki-laki setengah tua itu dan terdengarlah suara pecut meledak-ledak ketika mereka menyiksa dua orang laki-laki itu. Para gadis yang hadir di situ hanya dapat memandang lalu menyembunyikan muka mereka sambil menangis. Siksaan hebat yang diderita oleh kedua orang itu membuat mereka tidak kuat bertahan dan akhirnya mereka berdua mengaku.   "Harta itu... saya sembunyikan... di tepi sungai... di bawah pohon asem..." kata Si Hartawan.   "Mereka... mereka... menyamar sebagai pria dan sembunyi di rumah Bibi mereka..." kata Ayah yang mempunyai dua orang anak perempuan yang terkenal sebagai kembang dusun.   "Ha-ha-ha!" Warak Jinggo tertawa girang. "Buktikan omongan mereka dan seret mereka keluar. Cepat bawa dua orang dara itu ke sini!"   Dua orang laki-laki itu diseret keluar dalam keadaan setengah pingsan. Dua orang kepala perampok yang kini menjadi perwira-perwira Mojopahit itu lalu meneliti para gadis yang diculik, akan tetapi mereka merasa kecewa karena gadis-gadis itu adalah gadis-gadis dusun yang berkulit kasar dan hitam, tidak menarik bagi mereka. Akan tetapi, Warak Jinggo adalah seorang yang haus akan wanita, maka dia memilih seorang di antara mereka yang termuda, menarik tangan gadis itu dan merangkulnya. Gadis itu menjerit ketakutan ketika muka penuh cambang bauk itu mencium pipinya. Warak Jinggo tertawa lalu bertanya kepada kawannya, "Adi Sarpo, engkau memilih yang mana?"   Sarpo Kencono sedang asyik memeriksa barang-barang rampokan. Dia menoleh dan tertawa. "Ah, silakan kaupilih dua orang untukmu, Kakang, aku akan melihat-lihat ini saja, lebih menyenangkan daripada bocah-bocah dusun itu."   Warak Jinggo lalu menoleh kepada belasan orang anak buahnya. "Bawa mereka keluar dan bagi rata antara kalian!"   Anak buah mereka itu tertawa girang dan segera terdengar sorak-sorai mereka disusul jerit tangis wanita-wanita yang mereka seret keluar dan menjadi korban kebuasan mereka. Di dalam pondok itu sendiri, Warak Jinggo masih memangku, merangkul dan mencium gadis dusun yang menggigil ketakutan dan menangis dengan rintihan memilukan. Tak lama kemudian, muncul dua orang anak buah mereka, masing-masing menyeret seorang gadis yang cukup manis dan cantik, sedangkan dua orang anak buah lain memanggul sebuah peti. Itulah hasil penyiksaan terhadap dua orang laki-laki tadi. Dua orang gadis itu adalah dua orang kakak beradik yang menjadi kembang dusun, sedangkan peti itu adalah harta yang disembunyikan oleh hartawan tadi. Dua orang laki-laki itu setelah mengaku dan ternyata bahwa pengakuan mereka benar, telah dibunuh oleh para perampok ganas itu!   Warak Jinggo dan Sarpo Kencono girang bukan main setelah membuka peti melihat banyak barang dari emas dan memang cukup berharga. Dan melihat dua orang gadis cantik itu, Warak Jinggo mendorong gadis yang dipangkunya ke arah anak buahnya. "Nah, ambil dia ini!" dan dia sudah menangkap tangan seorang di antara dua orang gadis manis itu yang menjerit kesakitan dan juga ketakutan. Kini Sarpo Kencono tidak menolak setelah melihat gadis ke dua yang cukup manis.   Akan tetapi pada saat itu, ketika empat orang anak buah itu menyeret gadis yang didorong oleh Warak Jinggo itu keluar pondok, mereka disambut oleh tendangan dan pukulan seorang pemuda tampan. Serangan pemuda itu hebat sekali, pukulannya membuat seorang anak buah perampok roboh tak dapat bangun kembali dan dua orang ke dua yang kena ditendang dadanya, juga roboh dengan tulang iga patah. Pemuda ini bukan lain adalah Joko Handoko!   Mendengar teriakan-teriakan anak buahnya, Warak Jinggo dan Sarpo Kencono terkejut, cepat mereka melepaskan gadis yang mereka geluti itu dan mereka berdua lari keluar. Marahlah dua orang ini melihat betapa seorang pemuda tampan sedang mengamuk dan dikeroyok oleh enam orang anak buah mereka yang sudah datang ke tempat itu tertarik oleh teriakan-teriakan kawan-kawan mereka. Joko Handoko dikeroyok, akan tetapi dia mengamuk terus, sungguhpun gerakannya tidak leluasa karena paha pemuda ini sudah terluka. Pemuda ini telah beberapa kali mencoba untuk menembus kepungan dan memasuki Lumajang, akan tetapi usahanya gagal bahkan siang tadi dia ketahuan dan dikeroyok dan akhirnya dia dapat melarikan diri akan tetapi pahanya telah terluka oleh bacokan golok. Dia dapat menyembunyikan diri di dalam dusun tak berjauhan dari situ.   Tadi, ketika dia sedang merawat luka di pahanya sambil bersembunyi di belakang pondok seorang petani, dia mendengar ribut-ribut dan jerit dua orang wanita. Biarpun dia sendiri terluka, namun mendengar suara jerit wanita itu, Joko Handoko tidak dapat menahan hatinya dan dengan keris di tangan dia sudah keluar dari tempat sembunyinya dan bertanya kepada janda pemilik pondok apa yang telah terjadi. Sambil menangis janda itu mengatakan bahwa dua orang gadis keponakannya yang bersembunyi di dalam kamarnya telah dilarikan oleh perajurit-perajurit Mojopahit ke dalam hutan. Mendengar ini, Joko Handoko lalu melakukan pengejaran sampai ke pondok dalam hutan itu dan karena tidak dapat menahan kemarahannya, dia lalu menerjang para perajurit yang sedang keluar dari pondok menyeret seorang gadis itu.   Menghadapi pengeroyokan itu, repot jugalah Joko Handoko. Warak Jinggo dan Sarpo Kencono adalah dua orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Melawan seorang di antara mereka saja dia tidak akan menang, apalagi kini dia yang sudah terluka pahanya dikeroyok oleh belasan orang anak buah mereka, dan dua orang kakek raksasa itu sendiri hanya mempermainkan dia. Kalau dikehendaki oleh mereka berdua, tentu dengan mudah saja Joko Handoko dapat dirobohkan.   "Ha-ha-ha, Adi Sarpo, jangan kita bunuh dia. Bukankah dia ini putera Si Progodigdoyo yang memerontak itu dan pernah menjadi senopati Lumajang yang menjaga benteng Ganding?" kata Warak Jinggo sambil tertawa-tawa.   "Benar... benar... dan kabarnya dia mempunyai adik kandung yang cantik sekali!"   "Heh, pemberontak hina, lebih baik kau menyerah saja!" Warak Jinggo berkata lagi.   Joko Handoko tidak menjawab, melainkan menyerang makin hebat dan agaknya dia sudah mengambil keputusan untuk melawan sampai mati, karena melarikan diri pun tidak akan ada gunanya. Dengan pahanya yang terluka, tentu dia tidak akan dapat lari jauh. Kerisnya menyambar dan dia sudah berhasil merobohkan seorang perajurit lagi. Akan tetapi pada saat itu, kaki kanan Warak Jinggo juga telah menendangnya, mengenai pinggang dan tubuh Joko Handoko terguling!   Dua orang perajurit menubruk untuk menangkapnya, akan tetapi tiba-tiba tubuh mereka sendiri yang terlempar dan tak dapat bangun kembali! Kiranya mereka itu telah kena ditampar oleh seorang yang baru muncul, yang gerakannya tangkas seperti seekor harimau menubruk. Kalau Warak Jinggo dan Sarpo Kencono terkejut menyaksikan sepak terjang orang yang baru datang ini, adalah Joko Handoko yang menjadi girang sekali, akan tetapi juga khawatir ketika melihat yang muncul adalah isterinya yang beberapa hari yang lalu masih lemah dan sakit.   "Diajeng...!"   "Kau tidak apa-apa, Kakangmas?"   Joko Handoko sudah meloncat bangun. Kini di dalam cuaca yang remang-remang itu, Sarpo Kencono dan Warak Jinggo dapat mengenal Sulastri maka keduanya berseru heran dan juga girang. "Ah, kiranya dia! Bagus, hayo kita tangkap dua orang mata-mata Lumajang ini hidup-hidup! Mereka merupakan tawanan-tawanan yang amat berharga! Sang Resi tentu akan girang sekali kalau kita bawa mereka ini menghadap sebagai tawanan!" kata Warak Jinggo dan bersama Sarpo Kencono dia sudah menubruk maju dan menyerang Sulastri, sedangkan anak buah mereka telah mengepung dan menyerang Joko Handoko.   Melihat gerakan suaminya kaku dan kakinya agak terpincang, Sulastri merasa khawatir sekali. "Kau terluka, Kakangmas?" tanyanya sambil mengelak dari tubrukan Warak Jinggo, kemudian membalas dengan tamparan tangan kirinya yang juga dapat dihindarkan oleh lawan.   "Tidak apa-apa, Diajeng, cuma luka sedikit di paha..." Kata Joko Handoko, akan tetapi ketika dia menangkis tusukan tombak dengan kerisnya, dia terhuyung. Luka di pahanya bukan hanya luka sedikit, melainkan luka yang cukup parah dan luka yang baru itu kini pecah lagi dan mengeluarkan banyak darah karena dipakai bertempur. Untung dia masih sempat menggulingkan dirinya ketika tombak ke dua melayang dan ketika dia berusaha meloncat bangun, dia terhuyung lagi.   Kau... kau luka parah...!" Sulastri kaget bukan main akan tetapi dia sendiri kini menghadapi pengeroyokan Warak Jinggo dan Sarpo Kencono yang amat digdaya sehingga dia tidak berhasil mendekati Joko Handoko yang makin payah menghadapi pengeroyokan perajurit itu.   Sulastri yang merasa amat khawatir melihat keadaan suaminya, kini menjadi marah bukan main. "Keparat jahanam! Aku akan bunuh kalian semua...!" bentaknya dan gerakannya menjadi dahsyat sekali sehingga dua orang pengeroyoknya terpaksa mundur karena dari kedua tangan dara perkasa itu menyambar hawa maut yang mengerikan. Dua orang kakek raksasa ini sudah tahu akan kehebatan gadis dari puncak Bromo ini, maka mereka pun bertempur dengan hati-hati sekali. Pertandingan itu ramai bukan main, seru dan mati-matian karena Sulastri tentu saja ingin lekas-lekas dapat menolong suaminya yang makin payah. Beberapa kali Joko Handoko roboh, akan tetapi setiap kali ditubruk dan akan diringkus, dia dapat meronta dan melepaskan diri lalu mengamuk terus pantang menyerah.   Selagi Sulastri bingung karena tidak dapat menolong suaminya dan dua orang raksasa yang mengeroyoknya itu benar-benar tangguh, tiba-tiba muncul seorang kakek lain yang mengejutkan hati Sulastri. Kakek yang muncul ini bertubuh tinggi besar, membawa sebatang tongkat ular hitam dan kakek ini bukan lain adalah Ki Durga Kelana, kakek cabul yang pernah menyamar sebagai wanita mengelabuhi dan menyesatkan orang-orang dusun dengan penyembahan Sang Bathari Durga itu! Malam itu, Ki Durga Kelana mengunjungi dua orang pembantunya tentu saja dengan harapan untuk memperoleh "bagian" dari keuntungan yang didapatkan oleh dua orang pembantunya itu. Ketika melihat ribut-ribut dan mendekat lalu mengenal Sulastri, dia terkejut. Akan tetapi melihat Sulastri terdesak dan Joko Handoko juga sudah hampir tertawan, dia tertawa mengejek.   "Heh-heh, kuda betina ini makin liar saja! Betapa akan senangnya menjinakkan kuda betina liar ini! Adi Warak dan Adi Sarpo, lihat aku menaklukkannya!" Setelah berkata demikian, Ki Durga Kelana melontarkan tongkat hitamnya ke udara. Tongkat itu melayang dan tiba-tiba Sulastri melihat betapa tongkat hitam itu berubah menjadi seekor naga hitam yang dahsyat, dengan matanya berkilauan dan mulutnya ternganga menyemburkan api kepadanya, menubruk secara dahsyat dan mengerikan sekali!   Akan tetapi, Sulastri adalah dara perkasa gemblengan seorang sakti di puncak Bromo, dan dia tahu siapa adanya Ki Durga Kelana ini. Dia tahu bahwa kakek ini selain digdaya juga pandai ilmu sihir, maka tahulah dia bahwa naga hitam itu adalah hasil permainan sihir kakek itu. Maka dia lalu mengerahkan seluruh tenaga batinnya, menahan napas dan ketika naga itu menyambar, dia mengeluarkan pekik dahsyat.   "Haiiihhhhhh...!!" Sambil melengking nyaring, Sulastri menghantam ke arah naga hitam itu dengan pengerahan tenaga dan Aji Hasto Nogo. "Dukkk!" Tongkat hitam itu terlempar ke atas tanah dan naga hitam itu pun lenyap! Melihat betapa ilmu sihirnya dipunahkan orang, Ki Durga Kelana marah sekali. Dia menyambar tongkatnya yang terlempar itu lalu memutar tongkatnya dan maju ke depan, ikut mengeroyok Sulastri yang tentu saja menjadi makin repot. Menghadapi pengeroyokan Warak Jinggo dan Sarpo Kencono saja sudah amat berat, apalagi kini ditambah dengan Ki Durga Kelana yang lebih tangguh daripada dua orang kakek raksasa itu!   Ketika melihat keadaan Joko Handoko dan Sulastri sudah amat repot dan berbahaya sekali, tiba-tiba Sulastri meloncat ke belakang, berjungkir balik dan tahu-tahu dia telah berada di dekat suaminya, lalu dia berdiri saling mengadu punggung dengan suaminya, berbisik lirih, "Kakangmas, jangan khawatir, kita mati bersama..."   "Diajeng, larilah selagi ada kesempatan..."   "Tidak, lebih baik mati bersamamu, Kakangmas..."   Ucapan Sulastri ini mendatangkan perasaan girang yang amat besar dalam hati Joko Handoko sehingga dia seolah-olah memperoleh tenaga baru. Dia membentak keras dan kembali kerisnya menghunjam dan merobohkan seorang perajurit. Akan tetapi, dua pukulannya yang keras dari samping membuat dia terhuyung dan hampir roboh!   "Kakangmas...!" Sulastri akan menolong akan tetapi sinar hitam menyambar ke arah kepalanya. Itulah tongkat ular dari Ki Durga Kelana yang tak boleh dipandang ringan, maka terpaksa dia mengelak dan menghadapi lawan tangguh ini dan dia sudah dikurung lagi oleh tiga orang kakek itu.   Pada saat itu, nampak berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu empat orang perajurit yang sudah menubruk tubuh Joko Handoko, mencelat ke kanan kiri dan di situ telah berdiri Sutejo!   "Kakang Tejo...!" Sulastri berseru girang bukan main.   "Tenanglah, dan hati-hati menghadapi lawan-lawanmu!" Tejo berkata dan dia sudah melindungi tubuh Joko Handoko yang ternyata telah roboh pingsan. Kini Sulastri dan Sutejo mengamuk, menandingi tiga orang kakek raksasa yang dibantu oleh anak buah mereka yang kini tinggal delapan orang itu.   Sutejo kini menghadapi Ki Durga Kelana, sedangkan Sulastri yang marah melihat suaminya roboh tak bergerak, menerjang dua orang kakek raksasa lainnya dengan sambaran keris dan pukulan tangan kirinya yang ampuh. Munculnya Sutejo amat mengejutkan tiga orang kakek itu. Mereka sudah mengenal Sutejo dan tahu akan kesaktian pemuda ini.   "Sutejo, apakah kau hendak memberontak terhadap Mojopahit?" bentak Ki Durga Kelana sambil memutar tongkatnya.   "Hemm, manusia sesat, jangan bawa-bawa nama Mojopahit dalam kejahatanmu!" jawab Sutejo dan dia sudah menyambut serangan Ki Durga Kelana dengan kedua tangan kosong.   Pertempuran berjalan makin hebat. Gerakan Sutejo dan Sulastri demikian cepat dan kuatnya sehingga kini tidak ada lagi perajurit yang berani maju, hanya menonton pertempuran antara kedua orang muda perkasa melawan tiga orang kakek raksasa itu. Kalau Sutejo bertempur dengan tenang dan hanya mengimbangi terjangan-terjangan Ki Durga Kelana, tidak demikian dengan Sulastri. Wanita ini merasa khawatir sekali melihat suaminya yang menggeletak seperti telah tak bernyawa lagi, maka saking sedihnya dia menjadi marah bukan main dan sepak terjangnya, tidak mungkinlah untuk menangkapnya hidup-hidup, seperti orang harus menangkap hidup-hidup seekor harimau yang buas saja!   Bagaimanakah Sutejo dapat muncul demikian kebetulan? Pemuda ini tadinya pergi ke Mojopahit untuk menjumpai mbakayunya, yaitu Lestari. Akan tetapi betapa kaget dan duka hatinya ketika dia mendengar berita tentang mbakayunya yang telah mati membunuh diri bersama seorang kekasihnya! Diam-diam dia merasa kasihan sekali kepada mbakayunya yang diracuni dendam sehingga akhirnya menuruti hati penuh dendam berubah menjadi orang yang kejam sekali dan akhirnya ketika menemui cintanya, harus menebus semua itu dengan nyawanya.   Ketika Sutejo yang hendak pergi ke Gunung Kawi menyusul gurunya itu mendengar bahwa Lumajang diserbu oleh pasukan Mojopahit, dia segera menuju ke Lumajang. Sama sekali bukan untuk membantu perang, baik membantu Mojopahit maupun Lumajang, melainkan karena dia teringat kepada Sulastri dan ingin menyelamatkan wanita yang dicintanya itu. Akan tetapi ketika melihat Lumajang dikepung, dia menjadi bingung dan akhirnya dalam usahanya memasuki Lumajang dan mencari tempat yang agak lemah penjagaannya, dia melihat Sulastri dan Joko Handoko dikeroyok dan cepat membantu mereka.   Sepak terjang Sulastri yang dahsyat itu membingungkan Warak Jinggo dan Sarpo Kencono, juga membuat mereka penasaran sekali. Mereka adalah jagoan-jagoan yang digdaya dan jarang ada lawan yang mampu menandingi mereka, akan tetapi sekarang, mengeroyok seorang wanita muda saja mereka tidak mampu menang! Karena penasaran dan marah, tiba-tiba Warak Jinggo mengeluarkan gerengan dahsyat dan dengan sikap buas dia menubruk ke depan, seperti seekor beruang menyerang, tangan kirinya membentuk cengkeraman ke arah kepala Sulastri, sedangkan golok di tangan kanannya yang sudah dicabut untuk menghadapi lawan yang tangguh itu kini membacok ke arah pinggang Sulastri. Pada saat yang sama pula, Sarpo Kencono juga menusukkan kerisnya ke arah perut gadis itu dan tangan kirinya mencengkeram ke arah dada!   Melihat serangan yang amat hebat ini, Sulastri mengeluarkan teriakan melengking nyaring, tubuhnya mencelat ke atas karena dia sudah menggunakan ajinya Turonggo Bayu dan ketika kedua lawannya itu tercengang melihat serangan mereka luput dan tubuh dara itu melayang ke belakang dan ke atas, tiba-tiba saja Sulastri mengayun tangan kanannya yang memegang keris, menyambitkan kerisnya ke arah Sarpo Kencono. Malam itu biarpun ada bulan, akan tetapi bulan hanya sepotong dan tempat itu agak gelap oleh bayang-bayang pohon, sedangkan sambitan keris ini dilakukan secara mendadak dan sama sekali tidak terduga-duga.   "Crepp... aduhhhhh...!" Sarpo Kencono menjerit dan tangan kanannya mencengkeram ke arah lehernya di mana keris yang disambitkan oleh Sulastri tadi menancap sampai ke gagang sehingga ujung keris menembus leher itu. Dia terhuyung lalu roboh menelungkup, tewas seketika!   Bukan main kagetnya hati Warak Jinggo melihat kawannya roboh dengan tiba-tiba itu dan pada saat itu, tubuh Sulastri dari atas sudah menyambar turun ke arahnya! Cepat Warak Jinggo lalu menyambutnya dengan bacokan goloknya, akan tetapi Sulastri yang sudah marah sekali itu tidak mengelak, sebaliknya dia malah menerima sambaran golok itu dengan tangkisan lengan kirinya, sedangkan tangan kanannya menampar ke arah kepala lawan. Warak Jinggo girang sekali melihat wanita itu menangkis golok pusakanya dengan lengan kiri karena dia merasa yakin bahwa lengan wanita itu tentu akan terbabat buntung. Senjata pusaka yang kuat saja akan patah bertemu goloknya, apalagi lengan halus seorang wanita.   "Dukkk! Plakk... aughhh...!" Warak Jinggo terkejut setengah mati ketika merasa betapa goloknya bertemu dengan lengan yang kerasnya melebihi baja murni! Dan pada saat itu, tamparan tangan Sulastri telah menyambar ke arah kepalanya. Untung dia masih mengelak dan menjatuhkan diri ke belakang sehingga tamparan itu mengenai pundaknya, akan tetapi cukup hebat untuk membuat dia terhuyung ke belakang! Dan Sulastri yang penasaran itu seperti seekor hariamau haus darah sudah menubruk maju!   Warak Jinggo masih berusaha menyambut serangan itu dengan tusukan golok dan hantaman tangan kiri. Namun Sulastri benar-benar sudah nekat. Dengan mengandalkan ilmu kekebalannya Trenggiling Wesi, dia tidak menangkis maupun mengelak sehingga tusukan golok itu mengenai perutnya sedangkan hantaman lawan mengenai lehernya, akan tetapi aji kekebalannya melindungi tubuhnya. Andai kata Warak Jinggo tidak sekaget itu melihat lawannya menerima serangannya dengan tubuh, agaknya aji kekebalan dari Sulastri belum tentu cukup kuat untuk menandingi kekuatan Warak Jinggo. Akan tetapi kakek ini terlalu heran dan kaget maka tenaganya tidak sepenuhnya dan pada saat itu kedua tangan Sulastri sudah menyambar dari kanan kiri tepat mengenai kedua pelipis kepala Warak Jinggo.   "Prakkk...!" Warak Jinggo terguling roboh dan tewas seketika tanpa sempat mengeluh. Kalau tadi ilmu kekebalan Sulastri tidak kuat menerima serangan lawan, biarpun andaikata Sulastri tewas oleh serangan itu, agaknya Warak Jinggo juga tidak akan dapat terbebas dari pukulan Hasto Nogo yang ampuh itu dan tentu mereka akan mati sampyuh. Akan tetapi karena kakek itu terkejut dan terheran, maka aji kekebalan Trenggiling Wesi cukup kuat untuk melindungi tubuh Sulastri.   Sulastri menjadi makin beringas, seperti harimau kelaparan mencium darah segar. Dia cepat mencabut kerisnya dari leher Sarpo Kencono dan kini dia menubruk ke arah Ki Durga Kelana dengan dahsyat. Ki Durga Kelana sedang sibuk melawan Sutejo yang amat tangguh itu. Dia sudah merasa repot menghadapi pemuda itu dan dia sudah merasa gentar melihat robohnya dua orang pembantunya, maka kini ketika Sulastri secara tiba-tiba menerjangnya, dia makin gugup sehingga ketika tongkatnya menyambar, lengan kanannya kena dipukul oleh tangan Sutejo yang terbuka.   "Desss...!" Tongkat ular hitam itu terlepas dari pegangannya dan pada saat itu Sulastri sudah datang menubruk. Ki Durga Kelana terkejut bukan main, berusaha meloncat akan tetapi gerakannya jauh kalah cepat oleh gerakan Sulastri yang menubruk seperti seekor harimau itu.   "Crep-crep-crottt...!" Tiga kali keris di tangan Sulastri menikami perut dan dada kakek raksasa itu. Kakek itu mengeluarkan suara gerengan menyeramkan dan kedua tangannya masih berusaha mencekik leher Sulastri, akan tetapi dengan gesit dara itu menendang sehingga perut lawan kena tendang dan terjengkanglah tubuh kakek raksasa itu, berkelojotan di atas tanah dalam genangan darahnya sendiri!   Sementara itu, Sutejo mengerutkan alisnya dan cepat melompat ke dekat Joko Handoko. Hatinya lega melihat bahwa pemuda itu tidak tewas, hanya pingsan saja. Ketika dia mengangkat muka memandang, dia melihat betapa Sulastri yang baru saja menewaskan tiga orang kakek sakti itu, masih mengamuk dengan buasnya!   "Adi Bromatmojo!" bentaknya nyaring.   Mendengar Sutejo menyebutnya seperti itu, Sulastri terkejut dan menghentikan amukannya, membalikkan tubuh memandang ke arah Sutejo. Sejenak mereka saling pandang di bawah sinar bulan yang remang-remang.   "Adi Bromo, engkau ternyata masih belum meninggalkan sifatmu yang keras dan ganas! Kuharap engkau insyaf dan menjauhkan diri dari segala kekerasan yang tidak artinya ini!"   Tiba-tiba Sulastri merasakan sesuatu yang aneh dalam hatinya terhadap Sutejo. Nampak jelas olehnya betapa antara dia dan Sutejo tidak akan ada kecocokan. Sutejo memang baik sekali, gagah perkasa dan sakti mandraguna. Akan tetapi dia melihat kelemahan dalam diri orang muda ini. Berbeda dengan Joko Handoko... teringat akan suaminya, tiba-tiba dia mengeluh dan cepat dia memandang ke arah tubuh yang membujur itu. Naik sedu-sedan dari tenggorokannya dan dia segera menubruk ke arah tubuh itu sambil menangis. Melihat ini, diam-diam Sutejo tersenyum. Dia seperti melihat cahaya terang dalam sikap Sulastri terhadap Joko Handoko ini.   "Dia tidak tewas, sudah kuperiksa, hanya pingsan dan tidak berbahaya. Akan tetapi kita harus cepat membawanya pergi dari sini sebelum pasukan musuh datang!" kata Sutejo.   Sulastri tidak menjawab, hanya cepat dia memondong tubuh suaminya. Sutejo lalu bergerak di depan, merobohkan setiap orang perajurit lawan yang berani menghadang sehingga para perajurit itu menjadi gentar dan akhirnya dengan mudah mereka dapat lolos dari kepungan dan meninggalkan hutan itu.   Setelah mereka berada jauh dari musuh dan melihat bahwa Joko Handoko benar hanya pingsan saking lelah dan karena luka-lukanya, Sulastri menurunkan tubuh suaminya di dalam sebuah gubuk di tengah sawah yang sunyi, kemudian dia membalik menghadapi Sutejo. Sampai beberapa lamanya kedua orang ini hanya berdiri di dekat gubuk swah itu, saling pandang dan saling berhadapan, tanpa kata-kata. Akhirnya terdengar Sutejo menarik napas panjang dan terdengar dia berkata lirih, "Diajeng Sulastri, rawatlah suamimu baik-baik, dan sadarlah engkau betapa Kakangmas Joko Handoko adalah seorang suami yang teramat baik, seorang pria yang amat mencintaimu. Dia dan mendiang Roro Kartiko, adiknya itu, telah berbuat banyak terhadap kita. Oleh karena itu, tidak semestinya kalau engkau melupakan budinya itu, Diajeng. Akan tetapi, aku tidak membujuk apa-apa, tidak memaksamu. Aku tetap berada di Gunung Kawi, tidak mengharapkan kedatanganmu, Diajeng, akan tetapi engkau tahu bahwa aku tidak akan pernah menolak kalau engkau datang. Nah, selamat tinggal!"   Sulastri merasa heran sekali mengapa hatinya ringan saja melepas Sutejo pergi. Bahkan dia dapat berkata, "Selamat jalan, Kakang Tejo!"   Setelah bayangan Sutejo lenyap, dia lalu mulai merawat suaminya. Sedikit pun dia tidak ingat lagi kepada Sutejo. Setelah melihat suaminya sadar sebentar, mengeluh dalam keadaan tidak sadar kemudian tertidur, Sulastri menjaga dan melamun. Kini mengertilah dia. Insyaflah dia bahwa dia dan Sutejo sama-sama keras hati. Dan dia kini baru sadar pula bahwa diam-diam, entah sejak kapan, dia telah jatuh cinta kepada suaminya sendiri! Dia sebenarnya mencintai Joko Handoko. Hanya ingatannya saja yang mengganggunya, ketinggian hatinya yang tanpa disadarinya mengingatkan dia bahwa Joko Handoko adalah anak orang jahat maka dia lebih condong kepada Sutejo. Dan dia pun tidak tahu betul mengapa terjadi hal aneh dalam hatinya, terjadi kerenggangan dan kehampaan hatinya mengenai cinta kasihnya terhadap Sutejo. Apakah hal ini dimulai semenjak dia melihat Sutejo menjadi suami orang lain? Mungkin saja! Betapapun juga, dia merasa girang mendapatkan kenyataan bahwa dia mencintai suaminya! Tanpa disadarinya, melihat wajah suaminya yang tampan dalam tidur pulas, meraba paha suaminya yang tadi telah dirawat, dibersihkan lukanya dan dibalutnya, timbul rasa haru di dalam hatinya dan dia merebahkan kepalanya dengan lembut di atas dada Joko Handoko.   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sulastri telah memondong tubuh suaminya dan membawanya lari sampai ke Gunung Semeru di mana terdapat sebuah lapangan rumput dekat sebuah sungai kecil yang airnya bening. Tempat ini sunyi sekali dan baik dijadikan tempat persembunyian sementara karena di situ jauh dari dusun-dusun sehingga tidak mungkin pasukan Mojopahit akan sampai ke tempat itu. Ketika dia memondong tubuh Joko Handoko, pemuda ini masih belum sadar benar dan ketika Sulastri merebahkannya di atas rumput dan memeriksanya luka di paha suaminya dengan hati-hati, terdengar Joko Handoko mengeluh lirih.   Suastri cepat mendekati dan meraba dahi suaminya yang agak panas. Joko Handoko membuka matanya, memandang ke kanan kiri, mencari-cari dengan pandang matanya. "Mana dia...?" bisiknya.   "Siapakah yang kau cari, Kakangmas?"   "Dia... di mana Dimas Sutejo tadi?"   Sulastri tersenyum ditahan. "Sudah sejak malam tadi dia pergi, Kakangmas." Lalu dia menceritakan betapa Sutejo datang membantunya sehingga akhirnya dia dapat menewaskan tiga orang kakek raksasa yang tangguh itu, kemudian dengan bantuan Sutejo, dia berhasil membawa Joko Handoko melarikan diri dan melewatkan malam di sebuah gubug sawah.   "Baru pagi tadi kau kubawa ke tempat ini, Kakangmas, di tempat ini sunyi dan jauh dari pedusunan."   "Tapi... tapi ke mana perginya Dimas Sutejo?" kembali Joko Handoko bertanya dengan alis berkerut.   "Dia? Tentu saja menyusul Gurunya di Gunung Kawi," jawab Sulastri.   Joko Handoko lalu mencoba untuk bangun dan Sulastri cepat membantunya sehingga dia kini di atas tanah bertilamkan rumput hijau tebal. Begitu duduk, nampaklah oleh Joko Handoko betapa indah tempat itu. Rumput menghampar luas seperti permadani hijau yang amat indah, tidak ada cacatnya seperti rumput yang sering diinjak manusia atau binatang. Air sungai gemeririk berdendang sejuk dan nyaman, airnya jernih sekali sehingga nampak batu dan pasir di bawahnya, dan air bermain-main dengan batu-batu besar yang mandi di tengah sungai. Pagi itu cerah sekali, sinar matahari keemasan membakar seluruh tempat itu dengan cahaya kuning keemasan yang luar biasa indahnya. Di langit yang bersih nampak burung beterbangan dan di pohon-pohon tak jauh dari situ terdengar kicau burung saling bersahutan. Pagi yang indah!   Joko Handoko teringat lagi akan Sutejo. "Diajeng, tempat ini memang baik sekali untuk aku beristirahat. Sebaiknya engkau cepat menyusul Dimas Sutejo ke Kawi dan...."   "Cukup, Kakangmas, jangan lanjutkan lagi!"   Joko Handoko terkejut sekali. Ketika dia bicara tadi, dia menunduk untu menyembunyikan perasaannya yang tertekan. Maka kini, mendengar suara isterinya yang menggetar mengandung isak, dia terkejut dan cepat mengangkat muka memandang dan dia terpesona!   Pandang mata isterinya itu! Wajah isterinya itu! Senyum penuh keharuan itu! Dan air mata yang bergantung di bulu mata itu! Apa artinya ini semua?   "Apa...? Mengapa...?" Dia berbisik bingung.   Sulastri mengejapkan mata dan dua tetes air mata jatuh ke sepasang pipnya.   "Kau diamlah, jangan banyak bicara, kau perlu istirahat dan lukamu perlu dicuci. Tubuhmu agak panas, aku khawatir kau terserang demam karena lukamu," kata Sulastri dan dengan cekatan dia lalu berlari ke sungai, mengambil daun lompong yang lebar dan mengambil air jernih dengan daun itu. Kemudian, dengan teliti dan penuh perhatian, dengan sentuhan-sentuhan mesra, dia mencuci luka di paha kaki Joko Handoko. Dicucinya darah di sekitar luka itu sampai bersih dan untung bahwa dia masih membawa obat luka berupa bubukan yang dulu dia dapat dari Kaloka untuk mengobati luka di dadanya. Obat itu masih banyak dan sengaja dibawanya karena obat luka memang perlu bagi seorang yang sedang maju menghadapi perang seperti dia. Kini dia dapat mengobati luka di paha suaminya dan membalutnya dengan robekan kembennya setelah luka itu ditutup dengan saputangan yang bersih.   "Bagaimana rasanya, Kakangmas? Nyeri sekalikah?" tanya Sulastri penuh perhatian setelah selesai merawat luka itu. "Kau tunggu di sini dulu, ya? Aku akan mencarikan makanan untukmu..."   "Diajeng... ah, terima kasih sekali atas segala kebaikanmu ini, Diajeng. Akan tetapi, sungguh aku dapat merawat diri sendiri. Engkau sebaiknya cepat menyusul Dimas Sutejo. Jangan kausia-siakan kesempatan baik ini untuk meraih kebahagiaan hidupmu, Diajeng Sulastri. "Ucapan itu keluar dengan suara bersungguh-sungguh. Sulastri menatap wajah suaminya, mukanya menjadi pucat karena tiba-tiba dia memperoleh dugaan bahwa suaminya ini telah menjadi patah hati dan berbalik tidak suka kepadanya! Maka tanpa dapat dicegahnya lagi, dia lalu menangis sesenggukan sambil menutupi mukanya dengan kedua tangannya!   Bukan main kagetnya Joko Handoko melihat keadaan isterinya itu. Dia mengenal Sulastri sebagai seorang wanita yang keras hati, yang tidak mudah menangis dan kalau sekali waktu menangis pun tidak pernah sesenggukan dan sesedih ini! Sulastri menangis seperti anak kecil yang putus harapan!   "Diajeng! Ada apakah...? Mengapa kau... kau berduka seperti ini...? Apakah yang terjadi antara engkau dan Dimas Sutejo?"Joko Handoko menduga bahwa tangis ini pasti disebabkan oleh persoalan antara isterinya dan Sutejo karena kiranya tidak ada persoalan yang dapat membuat Sulastri berduka seperti itu kecuali persoalan yang menyangkut diri pria itu.   "Ahh... Kakangmas... tidak dapatkah... tidak maukah engkau... melupakan Kakang Tejo dan tidak menyebut-nyebut namanya lagi?"   "Baiklah kalau engkau menghendaki demikian, Diajeng, aku tidak akan menyebut namanya lagi. Akan tetapi engkau... kenapa menangis?"   Sulastri mengangkat mukanya dan menurunkan kedua tangannya. Mukanya pucat dan basah air mata, dan kini mata yang basah itu menatap wajah Joko Handoko. "Kakangmas... apakah... apakah kau sudah tidak cinta lagi kepadaku...?"   Joko Handoko melongo, penuh keheranan. "Demi para Dewata yang Agung...!"Mengapa engkau sampai hati pertanyaan seperti itu kepadaku, Diajeng? Aku tidak cinta lagi kepadamu? Ya Tuhan...! Masih perlukah aku harus menyatakan itu dengan kata-kata?"   Sulastri mengangguk. "Katakanlah agar aku yakin Kakangmas..."   "Tapi... tapi... apa gunanya? Hanya akan menyakitkan hati kita berdua, Diajeng..., sudahlah, engkau tahu bahwa aku cinta padamu dengan sepenuh jiwa ragaku, Diajeng Sulastri, dan aku pun tahu bahwa engkau hanya mencinta Dimas Sutejo seorang..."   "Kau keliru, Kakangmas!"   "Apa...? Apa maksudmu...? Wajah yang berduka itu kini pucat dan mata itu terbelalak menatap wajah Sulastri. Bukan main rasa kasihan wanita itu melihat keadaan pria itu seperti orang yang menggantungkan harapannya pada sehelai rambut. Wajah yang patut dikasihani, patut dicinta!   "Maksudku..., lupakah engkau bahwa aku ini isterimu, Kakangmas?"   "Eh" Isteriku...?"   "Dan bahwa seorang isteri hanya mencinta suaminya seorang?"   "Ehh?" Joko Handoko merasa seperti dalam mimpi, "Apa maksudmu? Kau... maksudkan bahwa engkau... mencintaiku...? Tak mungkin...?"   "Mengapa tak mungkin, Kakangmas? Kalau engkau mencintaku dengan sepenuh jiwa ragamu, yang sudah kulihat kenyataannya, mengapa aku sebagai seorang isteri tidak mungkin membalas cinta kasih seorang suami yang demikian hebat seperti engkau?"   "Tapi, tapi... dia..."   "Selama ini aku seperti buta, Kakangmas. Sesungguhnya cinta kasihku hanya kepada kau seorang..., yaitu kalau... kalau belum terlambat... kalau kau sudi memaafkan segala kebodohanku selama ini..."   "Naik sedu sedan di tenggorokan Joko Handoko. Sejenak dia hanya terbelalak memandang wajah isterinya, sukar mengeluarkan kata-kata. Matanya basah dan dua titik air mata tergantung di bulu matanya. "Aku... memaafkanmu...? Diajeng...! Sulastri isteriku sayang...!" Dan melupakan luka di pahanya, Joko Handoko lalu merangkul dan memeluk, mendekap kepala isterinya itu di dadanya, erat-erat seolah-olah dia khawatir kalau akan kehilangan isterinya, khawatir kalau-kalau semua itu hanya mimpi belaka, seolah-olah dia hendak membenamkan kepala itu dalam-dalam di lubuk hatinya!   "Kakangmas...!" Sulastri terisak, hatinya penuh keharuan, penuh kebahagiaan!   "Diajeng... tidak... tidak sedang mimpikah aku...?" Joko Handoko berbisik, masih pening oleh pesona.   Sulastri menggerakkan kepalanya, mengangkat mukanya sehingga mukanya dekat sekali dengan muka Joko Handoko yang menunduk. Sulastri mengangkat lagi mukanya lebih tinggi sehingga hidungnya menyentuh pipi suaminya, bibirnya menyentuh bibir suaminya, lembut dan halus, lalu dia berbisik, "Apakah ini mimpi, suamiku?"   "Sulastri...!" Joko Handoko memeluk dan menciumi wajah itu, mata itu, pipi dan bibir itu, berulang-ulang seolah-olah dia masih belum percaya benar. Sulastri terisak dan membalas pencurahan kasih sayang suaminya.   Mereka lupa segala-galanya. Bergembira seperti sepasang pengantin baru! Sulastri bersikap seperti seekor burung merpati yang malu-malu, kadang-kadang menjauhi, lalu mendekat dan membiarkan dirinya dicumbu, menggoda dan menantang suaminya agar mengejarnya. Tentu saja Joko Handoko tidak dapat mengejar karena berjalan saja dia masih pincang. Mesra sekali kedua orang yang sedang diayun gelombang asmara itu. Dan malamnya, di bawah cahaya bulan yang sejuk, bertilamkan rumput hijau tebal, di alam terbuka, di dekat sungai yang gemericik seperti lagu pengantin, Joko Handoko dan Sulastri saling mencurahkan cinta mereka yang menggelora. Mereka seolah-olah ingin menebus semua penundaan antara mereka selama ini.   Perbuatan apa pun yang dilakukan orang dengan dasar cinta, termasuk perbuatan dalam hubungan sex, adalah indah dan bersih! Tidak ada pikiran kotor di dalamnya, yang ada hanya pencurahan kemesraan dan kasih sayang antara pria dan wanita yang berpuncak pada hubungan sex yang wajar dan bersih. Akan tetapi, hubungan sex tanpa didasari cinta kasih, hanya merupakan pengejaran kesenangan belaka, hanya keinginan memuaskan nafsu berahi belaka dan karenanya sudah pasti menimbulkan berbagai macam akibat yang buruk. Dalam pelaksanaan pengejaran itu, terjadilah pelacuran, perjinaan, perkosaan, dan sebagainya dan semua itu pasti mendatangkan rasa takut, konflik batin dan penderitaan. Cinta bukanlah permainan pikiran. Sebaliknya, nafsu berahi dan kesenangan ditimbulkan oleh pikiran yang mengenangkan segala pengalaman yang lalu, baik pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain.   Pada malam terang bulan itu, di waktu suami isteri memadu kasih, saling mencurahkan kasih asmara penuh kemesraan dan keindahan di alam terbuka, beratapkan langit, bertilamkan rumput, berdinding pohon-pohon, diterangi sinar bulan dan dibuai gendang gemericik air sungai, tepat pada saat itu, jauh di puncak Gunung Kawi, seorang pemuda duduk bersila di luar sebuah pondok, duduk diam dan tenggelam ke dalam keheningan yang gaib, dengan wajah tenang berseri, mulutnya tersenyum dan bermandikan cahaya bulan. Pemuda ini bukan lain adalah Sutejo!   Lumajang jatuh. Bala tentara Mojopahit terlampau besar dan kuat bagi Lumajang sehingga pertahanan Lumajang bobol dan kadipaten itu ditundukkan. Ki Patih Nambi, Adipati Wirorojo, dan para senopati lain, gugur dalam perang. Ada pula sebagian senopati yang menakluk. Perang pemberontakan Lumajang yang dipimpin oleh Ki Patih Nambi berakhir.   Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa kemelut di Mojopahit sudah berakhir! Jauh daripada itu. Pengangkatan Pangeran Kolo Gemet menjadi Raja Jayanagara menimbulkan serangkaian pemberontakan yang susul-menyusul. Pertentangan yang bersumber pada persaingan antara keturunan Sang Prabu Kertanegara dan keturunan Dara Petak dari Melayu berlangsung terus, bahkan makin menghebat. Setelah pemberontakan Ki Patih Nambi berhasil dipadamkan pada tahun 1316, maka dua tiga tahun kemudian pecah pula pemberontakan yang dipimpin oleh Semi dan Kuti. Seperti tercatat dalam sejarah, dalam pemberontakan Kuti dalam tahun 1319, muncullah nama Gajah Mada, seorang berpangkat bekel dengan belasan orang anak buah pasukannya yang kebetulan pada waktu itu menjadi pengawal Sang Prabu Jayanagara. Kepala bhayangkara Gajah Mada inilah yang kemudian mempersatukan Mojopahit setelah kematian Sang Prabu Jayanagara yang terbunuh oleh Tanca, seorang dharma putera, yaitu abdi kinasih dari Sang Prabu sendiri. Kelak Gajah Mada ini yang menjadi Patih Gajah Mada yang terkenal dalam sejarah yang berhasil mendatangkan jaman keemasan kepada Mojopahit sehingga kerajaan itu menjadi sebuah kerajaan yang amat besar.   Resi Mahapati yang telah berjasa dalam penumpasan pemberontakan Lumajang, diangkat menjadi orang kepercayaan Sang Prabu dan menjadi orang yang berpengaruh besar. Akan tetapi akhirnya setelah dia berhasil melakukan hasutan-hasutan yang mengobarkan pemberontakan Kuti, ketahuan pula akan kepalsuannya, bahwa selama ini dia adalah seorang penghasut dan pengadu domba, maka akhirnya Sang Resi Mahapati terbunuh juga! Bermacam-macam catatan mengenai kematian Resi Mahapati ini, ada yang mengatakan bahwa dia dihukum picis, tubuhnya cineleng-celeng, yaitu disayat-sayat sampai mati. Ada pula yang mengatakan bahwa dia tewas dalam tangan seorang wanita bernama Dyah Retnawulan yang membalas dendam. Betapapun juga, jelas Sang Resi ini mati dalam keadaan tubuh tidak utuh, sesuai dengan kutuk yang dikeluarkan oleh Lembu Sora sebelum senopati ini tewas, juga oleh pengkhianatan Resi Mahapati.   Sampai di sini, berakhirlah cerita KEMELUT DI MOJOPAHIT ini, dan pengarang mengucapkan selamat berpisah sampai jumpa lagi di dalam karangan lain, dengan harapan mudah-mudahan karangan ini selain dapat menghibur hati pembaca di kala senggang, juga mengandung manfaat untuk dapat mengenal diri sendiri lahir batin setiap saat.   Sebagai catatan perlu diberitahukan bahwa latar belakang untuk cerita ini diambil dari buku sejarah Kerajaan Mojopahit yang ditulis oleh Prof. Dr. Slamet Mulyono berjudul "Menuju Puncak Kemegahan" terbitan P.N. Balai Pustaka tahun 1965.   TAMAT